Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ino Fo Makati Nyinga sebagai Konseling Social Justice T2 752015006 BAB II

BAB II
KONSELING MULTIKULTURAL DAN SOCIAL JUSTICE

2.1 Konseling Multikultural
Ekonomi global, kebijakan luar negeri dan dalam negeri, dan teknologi kemajuan
telah memberikan kontribusi terhadap munculnya sistem di seluruh dunia. Menurut
Friedman, akibat dari dampak ini, negara dan budaya semua saling mempengaruhi satu sama
lain. Negara-negara yang kuat memiliki pengaruh yang signifikan pada kehidupan sehari-hari
warga yang lebih kecil, negara yang kurang kuat memiliki potensi pengaruh global melalui
komunikasi canggih dan teknologi komputer.1
Hal ini agak jelas, karena itu, bahwa model berbasis psikologi dan konseling telah
sangat dipengaruhi baik secara positif maupun negatif. Seluruh bidang konseling,
bagaimanapun perlu merespon terhadap peradaban manusia memasuki abad ke-21.
Bagaimana perilaku manusia, lingkungan dengan kesadaran tertentu, sensitivitas, dan rasa
saling menghormati tergantung konteks darimana konteks budaya muncul. Dan hal ini harus
sesuai Dengan etika kepedulian, kasih sayang, tanggung jawab. profesi konseling bergantung
pada strategi budaya yang tepat dan efektif untuk membantu memandu untuk memenuhi
tantangan tersebut.2
Konseling multikultural diperkenalkan di Amerika Serikat pada abad ke 20. Amerika
Asosiasi Konseling ( ACA ) terbentuk pada tahun 1955 dibawah naungan Amerika Personil
dan Bimbingan Konseling ( APGA ). Pada masa proses pembentukan tersebut adapun

pemaparan yang disampaikan oleh Copeland mengenai tujuan dari konseling multikultural
bagi masyarakat minoritas di Amerika Utara selama hampir lima puluh tahun terakhir ini
1

Friedman dalam Lawrence H. Gerstein, P. Paul heppner, dkk, Essentials of Cross- Cultural
Counseling, (London: Sage Publications, 2012), 1.
2
Gerstein, P. Paul heppner, dkk, Essentials....., 2.

10

masyarakat minoritas diwajibkan untuk mengikuti tradisi yang ada dalam kebudayaan di
Amerika Utara, dari hal inilah yang membuat Copeland dalam pandangannya terhadap
masyarakat mayoritas di Amerika Utara untuk menekankan pada perbedaan-perbedan yang
terjadi pada konteks masyarakat dalam kaitannya terhadap konseling multikultural.3

Hal

ysng sama seperti multikulturalisme telah digambarkan oleh Pedersen (1991) sebagai
"kekuatan keempat" atau dimensi keempat, namun kedua istilah ini sepenuhnya tidak

memadai. Dengan menyebutnya sebagai kekuatan keempat, secara implisit dibingkai dalam
persaingan dengan humanisme, behaviorisme, dan psikodinamik, yang bukan maksudnya.
Multikulturalisme adalah sarana untuk mengatasi permasalahan budaya dan keragaman sosial
di masyarakat.4 Penulis berpendapat bahwa konseling multikultural muncul sebagai bagian
dalam menangani masalah-masalah berkaitan dengan keragaman budaya sebagai bentuk
pemahaman tentang budaya sebagai identitas kehidupan masyarakat yang kolektif.
2.1.1 Pemahaman Budaya
Dalam kehidupan sehari-hari, tiap individu akan menunjukan siapa sebenarnya
dirinya. Hal ini ditunjukan dengan memberikan pendapat dan perilaku tertentu, bagaimana
bersikap dan mungkin menunjukan beberapa keanehan tertentu. Aktualisasi ini berbeda
dengan apa yang selama ini dianut masyarakat pada umumnya. Individu dalam berperilaku
mengacu pada sesuatu yang diyakini baik dan dianggap benar oleh masyarakat yang ada
disekitarnya. Keyakinan ini menjadi panutan bagi masyarakat secara umum keyakinan ini
bisa bersumber dari agama dan kesepakatan umum. Keyakinan yang muncul di dalam

Copeland, E. J, “Cross-Cultural Counseling and Psychoterapy: A Historial Perspective. Implications
for Research and Training,” Counseling and Development.(1983), 10-15.
4
Manivong J. Ratts and Paul B Pedersen, Counseling for Multiculturalism and Social Justice :
Integration, Theory, and Application. ( United States: American Counseling Association, 2014), 25.

3

11

masyarakat ini diwujudkan dalam bentuk pemikiran atau ide.5 Ide ini yang selalu diterapkan
dari generasi ke generasi yang membentuk sebuah tatanan kehidupan masyarakat.
Budaya-budaya memiliki fitur-fitur atau dan makna-makna yang spesifik dan
mungkin unik, misalnya, bahasa, mitos, makna, simbol. Menurut Shweder, melalui budaya
kita berpikir, merasakan, berperilaku dan mengelola realitas kita.6 Budaya memegang
peranan penting dalam kehidupan berelasi membentuk satu komunitas hidup bahkan
mengelola lingkungan. budaya yang telah dibangun orang bagi dirinya bisa memiliki makna
yang berbeda bagi anak-anak mereka. Jika budaya yang telah diciptakan orang dewasa tidak
sesuai dengan aspirasi anak-anak mereka, maka anak-anak mereka mungkin akan
memodifikasi budaya itu. Konflik-konflik generasional muncul karena orang dewasa
menggunakan masa lalu untuk memahami masa kini dan menggunakan masa lalu untuk
membentuk masa depan.7 Menurut penulis budaya merupakan tata cara masyarakat
membangun relasi dengan yang lain yang berdampak pada kehidupan yang akan datang
dalam pengertian budaya bersifat jangka panjang.
Kebanyakan ahli antropologi juga mengklaim bahwa ada empat dasar komponen
budaya: (1) interaksi sosial ditularkan melalui enkulturalisasi; (2) pengetahuan (orang-orang

berbagi pengetahuan yang cukup bahwa mereka dapat berperilaku cara-cara yang dapat
diterima dan berarti bagi orang lain, sehingga mereka tidak terus salah paham satu sama lain);
(3) ada perilaku bersama atau pola keteraturan; dan (4) ada pengalaman kolektif dari
kelompok tertentu.8 Berdasarkan pemahaman di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
budaya merupakan sikap atau pengetahuan yang berfungsi untuk membentuk sebuah

5

Sulistyarini, Mohammad Jauhar, Dasar-Dasar Konseling, (Jakarta: Prestasi Pustaka 2014), 262.
Shweder dalam Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, dkk, , Indigenous and Cultural Psyichology, Terjemahan
Helly Prajitno Soetjipto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 57.
7
Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, dkk, Indigenous,... 59.
8
Tyler dalam Lawrence H. Gerstein, P. Paul heppner, dkk, Essentials....., 26.
6

12

keteraturan perilaku bersama yang saling menguntungkan yang berfungsi sebagai

pengetahuan kolektif masyarakat.
Definisi budaya secara singkat coba di jelaskan oleh Barry adalah pandangan hidup
sekelompok orang atau secara umum cara hidup kita seperti ini, the way we are, yang
diekspresikan dengan cara (sekelompok orang) berfikir, mempresepsi, menilai, dan
bertindak.9 budaya menurut Clifford Geertz, dapat dipahami sebagai:
Pola makna yang tertanam dalam simbol dan ditransmisikan secara historis,
sebuah sistem konsepsi turunan yang diekspresikan dalam bentuk simbolik yang
digunakan (orang-orang) untuk berkomunikasi, bertahan hidup, dan
mengembangkan pengetahuan mereka tentang hidup dan sikap terhadapnya.10

Suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu.
Dengan demikian, suatu budaya hasil kelompok masyarakat tertentu akan dianggap lebih
tinggi dan bahkan mungkin lebih diinginkan. Hal ini dilakukan agar kelompok masyarakat
tertentu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih baik. Nilai selalu berhubungan dengan hal
yang baik dan buruk, karena nilai berkaitan dengan keyakinan yang dimiliki individu, maka
hal itu akan terkait pula dengan bagaimana individu mengadopsi nilai. Dengan demikian,
antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat mempunyai perbedaan walau
mereka berasal dari latar belakang budaya yang sama.11 Menurut Sue, Berbicara tentang
keragaman budaya berarti memfokuskan kembali dialog tentang perbedaan yang berkaitan
dengan gender, status sosial ekonomi, Atau orientasi religius Di sisi lain, banyak kelompok

sering merasa dikecualikan dari perdebatan multikultural dan menemukan diri mereka saling
bertentangan satu sama lain. Meningkatkan pemahaman multikultural dan sensitivitas budaya
berarti menyeimbangkan pemahaman tentang kekuatan sosiopolitik yang mencairkan
pentingnya ras, dan di sisi lain tentang kebutuhan kita untuk mengakui keberadaan kelompok
9

Barry dalam Dedi Supriadi, Konseling Lintas Budaya: Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam
Bidang BK (FIP UPI, 2001), 5.
10
Clifford Geertz dalam John Mcleod, Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus (Jakarta: Kencana,
2010), 274.
11
Sulistyarini, Mohammad jauhar, Dasar-Dasar Konseling (Jakarta: Prestasi Pustaka 2014), 265.

13

lain, identitas yang terkait dengan kelas sosial, jenis kelamin, kemampuan / kecacatan, usia,
afiliasi keagamaan, Dan orientasi seksual.12 Dari pernyataan di atas maka dapat ditarik
sebuah dasar pemikiran bahwa budaya mampu memainkan peranan yang cukup besar
menyangkut predikat kesetaraan antar individu karena berkaitan dengan nilai-nilai dan norma

yang berlaku dalam kehidupan yang fungsinya mengatur kehidupan masyarakat sehingga
selalu selaras dan harmonis.
2.1.2 Aspek Kultur Dasar dalam Konseling Multikultural
1. Konsep Realitas
Memahami orang-orang dari budaya yang berbeda tentu memiliki ide yang berbeda
tentang realitas. Realitas yang dipahami misalnya dualistik atau holistik. Dalam budaya
Barat, yang memahami realitas bersifat dualistik yang membagi dunia dalam dua tipe entitas:
jiwa dan tubuh. Jiwa terdiri dari ide, konsep, dan pikiran. Sedangkan tubuh bersifat nyata,
dapat diamati, dan berkembang dalam ruang. Realitas dualisme berdampak pada peningkatan
pemisahan antara diri dan objek, atau diri dan yang lain. Diri dikaitkan dengan jiwa dan
dirancang di luar serta jauh dari dunia luar. Dunia luar yang dimaksud adalah dunia segala
sesuatu atau orang lain. orang-orang selain dunia Barat menganggap dunia sebagai sebuah
kesatuan.misalnya Buddhisme, Hinduisme, dan agama dunia lain yang memahami bentuk
fisik, mental, dan spiritual sebagai aspek atau sisi dari satu realitas tunggal, bukan sebagai
domain yang terpisah.13
Pemahaman seseorang terhadap realitas dapat ditemukan dalam ruang konseling.
Berbagai elemen kunci dalam konseling, kata yang digunakan oleh seseorang dalam
mengekspresikan dan mendeskripsikan masalah memberikan sudut pandang mendasar,
implisit, dan filosofis dari sebuah budaya terhadap apa yang dimiliki individu. Konsep
penyembuhan dengan menggunakan budaya tergantung pada realitas yang dualistik atau

12
13

Derald. W. Sue, Multicultural: Social Work Practice (Canada: Jhon Wiley & Son, 2006), 16.
Mcleod, Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus, … 277.

14

holistik. Budaya dualis masyarakat Barat, membicarakan masalah yang ada saja akan
memasukkannya ke penanganan mental. budaya yang terdiri dari kesatuan jiwa, raga, dan
roh, praktek penyembuhannya akan menghadapkan seseorang kepada ketiga hal itu misalnya
meditasi, latihan, dan diet.14
2. Memahami Diri
Memahami diri menjadi seseorang sangat bervariasi dari satu budaya dengan budaya
yang lain berbeda. Diri menurut Landrine (1992),15 self adalah inner thing (sisi dalam diri
sesuatu) atau daerah pengalaman diri yang berdiri sendiri dan lengkap dari Budaya Barat,
diyakini sebagai peletak dasar, pembuat, dan pengontrol perilaku. Landrine menabrakan
konsep diri Budaya Barat dengan pengalaman diri indexical dalam Budaya non-Barat:
Selain itu dalam konsep memahami diri terdapat pendekatan individualis dan
pendekatan kolektif. Kedua pendekatan ini tentunya memiliki perbedaan. Pendekatan

individualis yang mendominasi Budaya Barat dan juga pendekatan kolektif merupakan bagian
dari Budaya tradisional. Orang dengan pendekatan kolektif senang menganggap dirinya
sebagai anggota dari keluarga, suku, atau kelompok sosial lain dan membuat keputusan
berdasarkan kebutuhan, nilai, dan prioritas jaringan sosial ini. Budaya individualis
menekankan pada perasaan bersalah, merujuk pada pengalaman batin, dan penyalahan diri.
Orang dengan budaya kolektif lebih senang berbicara mengenai rasa malu, merujuk pada
situasi dimana mereka tertangkap basa oleh orang yang berkuasa. Akan sangat sulit untuk
memahami orang lain yang ada dalam dua pendekatan yang berbeda.16
3. Konstruksi moral
Membuat pilihan moral, memutuskan yang benar dan salah adalah inti kehidupan.
Akan tetapi membuat pilihan moral ada dan dipengaruhi oleh budaya. Moralitas Barat yakin
dengan pilihan dan tanggung jawab individu dan kemauan untuk dibimbing oleh prinsip
14
15
16

Mcleod, Pengantar Konseling, … 277.
Landrine dalam John Mcleod, Pengantar Konseling, … 277, 278.
Mcleod, Pengantar Konseling,… 278.


15

moral yang abstrak seperti keadilan atau kejujuran. Sedangkan Budaya tradisional isu moral
sangat ditentukan oleh takdir misalnya karma. Ajaran dan prinsip moral tertanam dalam
cerita bukan diartikulasi dalam konsep abstrak. Perbedaan antara memilih (budaya Barat) dan
takdir (budaya tradisional) sangat berpengaruh dalam konseling. Nilai moral dalam budaya
individual cenderung menghadirkan nilai seperti pencapaian, otonomi, indenpenden, dan
rasionalitas. Sedangkan budaya kolektivis lebih menekankan pada nilai sosiabilitas,
pengorbanan, dan kesesuaian.17
4. Konsep waktu
Dari perspektif person (individu) dan kelompok sosial, waktu adalah salah satu
elemen tempat cara hidup dan hubungan terbentuk. Salah satu ciri masyarakat industrial
modern adalah berorientasi pada masa depan. Masa lalu dilupakan dan dihancurkan. Cerita
yang diterima oleh keluarga atau komunitas di masa lalu, bertahan ditingkat yang paling
rendah. Masa lalu diartikan sebagai warisan. Sebaliknya, masyarakat tradisional dan kolektif
didominasi oleh orientasi masa lalu. Terdapat kesinambungan antara cerita di masa lalu dan
sekarang dengan mengkhayalkan para nenek moyang hadir dan berkomunikasi dengan yang
masih hidup. Konsep maju dalam masyarakat modern sangat berperan penting sehingga
sesuatu yang berhubungan dengan praktek, gaya hidup oleh generasi sebelum dianggap
ketinggalan jaman dan using. Sedangkan Budaya tradisional, konsep maju dapat dianggap

sebagai satu ancaman. 18
Bentuk komunikasi dan penyimpangan informasi dalam berbagai pengaturan budaya
juga berpengaruh terhadap pengalaman menjalani waktu. Konstruksi waktu dalam pengaturan
budaya yang berbeda dapat menimbulkan konsekuensi praksis yang dominan maksudnya
dalam masyarakat dengan budaya ketepatan waktu, memberikan perjanjian dengan
menggunakan ketepatan waktu dan durasi adalah hal yang rasional sedangkan bagi budaya
17
18

Mcleod, Pengantar Konseling, … 279.
Mcleod, Pengantar Konseling, … 279.

16

yang lain, hal ini tampak tidak rasional klien akan menemui konselor apabila mereka sudah
siap untuk tujuan konseling.
5. Nilai penting tempat
Dimensi budaya yang paling akhir adalah hubungan antara budaya dengan
lingkungan fisik. Dalam masyarakat modern sebagian besar ikatan antara orang dengan
tempat telah putus. Mobilisasi sosial dan geografis adalah hal yang umum. Masih ada
penghargaan terhadap tempat dalam budaya modern akan tetapi penghargaan itu terpisah dari
individu. Konselor akan menghadapi berbagai budaya dengan pemahaman yang berbeda juga
tentang makna tempat.19
Berdasarkan pemahamn di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya
memiliki sifat kelenturan dalam beradaptasi. Dalam memaknai kebudayan kita melihat ke
dalam konteks dimana budaya ini diterapkan dengan hal seperti ini, maka budaya bisa
ditanggapi dengan baik sebagai suatu identitas diri karena mengandung nilai-nilai yang
melekat dan menjadi pedoman kehidupan.
Menurut Pedersen Ada enam prinsip dasar konseling multikultural:
1. Budaya mengacu pada kelompok orang yang mengidentifikasi atau mengasosiasikan satu
sama lain. Dan merupakan dasar dari beberapa tujuan, kebutuhan, atau kesamaan latar
belakang yang umum.
2. Perbedaan budaya sangat nyata, dan mempengaruhi semua interaksi manusia.
3. Semua konseling bersifat lintas budaya.
4. Konseling multikultural memberi penekanan pada keragaman manusia dalam segala
bentuknya.

19

Mcleod, Pengantar Konseling, … 279.

17

5. Konselor yang kompeten mengembangkan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan
Campur tangan secara efektif dalam kehidupan orang-orang dari latar belakang budaya
yang beragam.
6. Konselor yang kompeten secara kompeten adalah manusia yang terpelajar secara global. 20
2.1.3 Aspek Budaya Diamati Secara Eksternal
Salah satu aspek perbedaan budaya yang dapat diamati adalah perilaku non-verbal.
Budaya dapat diamati dari sinyal non-verbal seseorang seperti sentuhan, kontak mata, gerak
tubuh, dan kedekatan. Misalnya, dalam budaya Barat tatap mata secara langsung dianggap
sebagai tanda kejujuran dan keterbukaan. Dalam budaya yang lain, tindakan itu dianggap
kasar dan intrusif.
Pola perilaku verbal merupakan perbedaan budaya yang dapat diamati. Orang dari
budaya Barat cenderung menyampaikan cerita yang berurutan, logis, dan linear. Sedangkan
orang dengan klutur yang lain cenderung menyampaikan cerita yang berputar dan tampak
tidak akan sampai pada titik tertentu. kuncinya adalah cara seseorang menyampaikannya,
berbicara, bahasa yang digunakan mengkomunikasikan budaya dan identitas mereka. 21
Karakteristik yang lain yang dapat diamati adalah pola hubungan darah. Cara yang
paling penting untuk menggambarkan perbedaan dalam ikatan darah adalah dengan bertanya,
hubungan mana yang paling penting bagi anda? Dalam budaya Barat, jawabannya sering kali
berhubungan dengan pasangan atau partner hidup. Sedangkan budaya yang lain hubungan
yang paling dekat adalah antara orang tua dan anak. Pengaruh gender dalam pembentukan
identitas sangat kuat. Identitas dan peran gender dibentuk dengan cara yang berbeda dalam
Budaya yang berbeda. Ekspresi emosi adalah salah satu sisi budaya yang sangat penting
dalam konseling. budaya yang berbeda menghasilkan beragam pemahaman terhadap emosi
20

Courtland C. Lee, Multicultural Issues in Counseling : New Approaches to Diversity (United States :
American Counseling Association, 2013), 5.
21
Mcleod, Pengantar Konseling, … 180-185.

18

yang diterima dan ekspresi mana yang diizinkan dilakukan dalam depan publik. Caranya
adalah dengan mengamati dan memahami bahasa (verbal dan non-verbal) yang digunakan
dalam menyampaikan emosi dan perasaan. 22
Konsep identitas budaya mengacu pada dimensi budaya keluarga yang meliputi
identitas budaya seseorang, dan bagaimana orang lain memandangnya. faktor-faktor yang
penting identitas seseorang baik yang dirasakan oleh individu maupun bagaimana orang lain
memandangnya. Minta manusia untuk memahami identitas budaya dimulai dengan publikasi
coba untuk ditelaah oleh Cross. Cross mencoba memperluas pemikiran dengan menyertakan
prinsip-prinsip identitas budaya yaitu (a) identitas dipengaruhi oleh pengalaman positif atau
negatif dalam lingkungan sosial, Terutama bagi individu yang terpinggirkan, identitas bisa
difasilitasi, atau dikompromikan; (b) memungkinkan identitas berkembang ke tingkat fungsi
yang lebih tinggi pengalaman hidup yang menantang; dan (c) pembangunan sosial ras, dan
sejarah perbudakan, landasan identitas budaya di dalam diri seseorang dipengaruhi konteks
budaya, termasuk etnisitas, gender dan identitas gender, asumsi spiritual, usia dan tahap
kehidupan, status kemampuan dan kecacatan, keluarga, masyarakat, dan bangsa.23 Menurut
penulis, budaya mampu dikembangkan berkaitan dengan pembentukan identitas masyarakat
dalam pengertian budaya mampu dikondisikan sesuai dengan kehidupan masyarakat seiring
perkembangan zaman.dengan budaya masyarakat mampu untuk bisa mengenal masyarakat
yang laind alam membangun hubungan antar individu.
Menurut Bandura Dua tipe kontrol langsung terhadap lingkungan dapat diidentifikasi:
Primary control ( kontrol primer) dan colletive control ( kontrol kolektif).24 Jika seseorang
menerapkan kontrol langsung terhadap lingkungan, ini adalah kontrol primer. Jika orangorang bersama-sama secara serempak untuk mengelola lingkungannya, ini adalah kontrol
22
17
23
24

Mcleod, Pengantar Konseling, … 181.
Mcleod, Pengantar Konseling, … 181.
Cross dalam John Mcleod, Pengantar Konseling, … 183.
Bandura dalam Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, dkk, Indigenous,... 51.

19

kolektif. Kemudian menurut Bandura ada dua tipe kontrol tidak langsung dapat diidentifikasi
yaitu secondary control (kontrol sekunder) dan proxy control (kontrol proxi).25 Efektifitas
masing-masing tipe kontrol tergantung konteks, individu, organisasi, dan budayanya. Dari
penjelasan diatas maka dapat di tarik landasan berfikir bahwa budaya memainkan fungsi
kontrol manusia dalam mengatur kehidupannya, konseling budaya memahami itu sebagai
jalan masuk untuk memahami manusia bahwa dengan budaya manusia memiliki kebiasaan
yang di satu sisi mampu beradaptasi dengan manusia lainnya dan membantu membangun
stigma yang baik tentang budaya yang lain.

26

Berkaitan dengan itu pula menurut J.D Engel

untuk memahami manusia maka konselor perlu mengetahui tentang kekompleksitas manusia
yang coba untuk dipetakan dalam 4 aspek, yaitu:
1. Aspek fisik
Aspek ini berkaitan erat dengan bagian yang tampak dari hidup kita. Aspek ini
terutama mengacu pada hubungan manusia dengan bagian luar dirinya. Dengan
aspek fisik ini manusia dapat dilihat, diraba, disentuh, dan diukur.
2. Aspek mental
Aspek ini berkaitan dengan pikiran, emosi, dan kepribadian manusia. Aspek
ini juga berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, motivasi, dan integrasi diri manusia.
Selanjutnya, aspek mental mengacu pada hubungan seseorang dengan bagian
dalam dirinya (batin, jiwa). Sesungguhnya aspek ini tidak tampak, sehingga tidak
dapat diraba, disentuh dan diukur. Aspek mental memampukan manusia
berhubungan

dengan

dirinya

sendiri

dan

lingkungannya

secara

utuh,

memberadakan, membuat jarak (distansi), membedakan diri, dan bahkan dengan
diri sendiri.

25
26

Bandura dalam Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, dkk, Indigenous,... 51.
Bandura dalam Uichol Kim, Kuo-Shu Yang, dkk, Indigenous,... 51.

20

3. Aspek spiritual
Aspek ini berhubungan dengan jati diri manusia. Manusia secara khusus dapat
berhubungan dengan sang pencipta sejati. Aspek ini mengacu pada hubungan
manusia dengan sesuatu yang berada jauh di luar jangkauannya. Inilah aspek
vertikal dari kehidupan manusia. Dalam hal ini manusia bergaul dengan sesuatu
yang agung, yang berada di luar dirinya dan mengatasi kehidupannya. Aspek ini
memungkinkan manusia berhubungan dengan dunia lain, misalnya dunia gaib.
4. Aspek sosial
Aspek ini berkaitan dengan keberadaan manusia yang tidak mungkin berdiri
sendiri. Manusia harus dilihat dalam hubungan dengan pihak luar secara
horizontal, yakni dunia sekelilingnya. Manusia selalu hidup dalam sebuah
interelasi dan interaksi yang berkesinambungan. Manusia tidak dapat tumbuh tanpa
relasi dan interaksi. Aspek ini memampukan manusia tidak hanya berelasi dan
berinteraksi dengan sesama manusia, melainkan juga dengan mahluk ciptaan lain:
udara, air, tanah, tumbuhan, binatang, dan sebagainya. 27
Manusia pada dasarnya merupakan mahluk sosial yang ingin menjalin relasi dengan
orang lain. Dalam membangun hubungan tersebut, komunikasi sangat diperlukan dalam
membangun hubungan yang harmonis. komunikasi tercipta secara emosional dan akal sehat
yang memberi kemungkinan bagi manusia untuk menikmati hubungan batin dengan orang
lain. Komunikasi memainkan peran yang penting dalam hubungan kerja manusia. Orang
akan terhubung satu sama lain kalau komunikasinya bisa berjalan dengan efektif. Dari hal ini
dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi memainkan peran penting dalam membangun

27

J.D. Engel, Konseling suatu Fungsi Pastoral (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 25.

21

kehidupan masyarakat yang kolektif dalam hubungannya dengan pemberian bantuan terhadap
orang lain. 28
2.1.4 Tujuan Konseling Multikultural
Istilah konseling dari bahasa Inggris to counsel secara harafiah berarti memberi
arahan atau nasihat. Orang yang melakukan konseling di sebut konselor. Oleh karena itu,
konseling adalah proses pertolongan antara seorang penolong( konselor) dan yang di tolong
(konseli) dengan maksud uintuk meringankan penderitaan klien.29 Dalam membangun suatu
hubungan konseling membutuhkan empati dasar. Kata empati berasal dari bahasa Yunani
yakni em dan pathos yang berarti perasaan yang mendalam untuk memahami dunia orang
lain. Seseorang harus memasuki dunia perasaan orang lain tanpa harus meninggalkan
perasaannya. Dalam hal ini seseorang harus masuk ke dalam perasaan orang lain untuk
memberikan penilaian dan memahaminya dalam persepsi orang tersebut. Empati
memungkinkan orang bukan hanya dapat mengenal, memahami, dan merasakan orang lain
dalam masalahnya, serta seperasaan dengan mereka.30 Empati adalah konstruksi yang sering
jumpai dalam persiapan Sebagai seorang konselor. Kemampuan untuk berempati bergantung
pada kemampuan seseorang untuk masuk dalam prespektif orang lain Dalam konteks
perbedaan budaya, sangat penting bahwa kita memiliki kesadaran diri terhadap budaya
sendiri serta kesadaran akan bagaimana budaya klien kita mungkin berbeda. Hal yang
penting adalah jangan berasumsi bahwa orang lain akan berpikir, bertindak, atau merasa
seperti yang kita lakukan.31 Sejalan dengan kehidupan berdasarkan empati, Vontress
mengidentifikasi setidaknya lima kondisi atau rangkaian pengalaman bersama yang
berkontribusi terhadap empati. Pertama, sebagai anggota masyarakat yang sama, manusia
ditempatkan dalam sistem biologis yang rapuh yang secara universal tidak berubah. Oleh
Engel, Konseling suatu Fungsi Pastoral, … 25.
J.D. Engel Konseling Pastoral dan Isu-Isu Kontemporer (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 67.
30
J. D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2016), 49-60.
31
Kathryn Maccluskie, Acquiring Counseling Skill: Integrating Theory, Multiculturalism, and SelfAwarenes, ( New Jersey: Pearson Education, 2010), 37
28

29

22

karena itu, untuk dapat terus bertahan kita berperilaku dengan cara yang dapat diprediksi,
untuk mempertahankan dan mengabadikannya dalam kehidupan perasaan bagaimana rasanya
mencintai, menjadi tempat berlindung, merasa terancam, atau mengalami kesedihan. Kedua,
orang yang tinggal di wilayah geografis yang sama memahami bagaimana rasanya menghuni
daerah-daerah yang ada di dunia ini. Ketiga, setiap masyarakat yang mendiami suatu
lingkungan tertentu beradaptasi dengan peraturan, nilai, dan sikap yang meluas. Mereka juga
mengerti dan berempati dengan sukacita dan kesusahan dari kelompok masyarakat yang lain.
Keempat, di negara-negara besar, orang menyesuaikan diri dengan spesifik wilayah tempat
mereka tinggal. Mereka sering secara naluriah mengerti dan merasakan apa yang orang lain
rasakan dari daerah yang sama. Kelima, anggota komunitas ras dan etnis biasanya berbagi
ikatan yang dimiliki orang di luar. Komunitas mereka tentu tidak mengerti dengan kebudyaan
yang lain, tapi dengan berempati dengan mudah orang –orang dapat mengidentifikasi “ dari
mana asalnya.32
Berkaitan dengan pemahaman tersebut, menurut Cavanagh konseling harus bisa
menjadi pemahaman baru yang memberi kesempatan bagi masyarakat untuk melihat diri dan
hidup secara berbeda, mengalami dan mengekspresikan perasaan yang berbeda, serta perilaku
dan cara baru bagi mereka.33 Tiga kunci yang ditawarkan Cavanagh34 mengenai konseling
dapat memberi pengalaman baru dalam hubungannya dengan konseling yaitu:
a) Mengenai konflik Internal
Konseling membantu setiap individu menyadari bahwa sebagian besar masalah
mereka berasal dari konflik internal yang belum terpecahkan bukan dari situasi
eksternal. Sumber dari sebagain besar masalah yang membawa orang ke dalam proses

32

Vontress dalam Paul B. Pedersen, Hugh C. Crethar, Jon Carlson, Cultural Empathy : Making
Relationships Central in Counseling and Psychotherapy (United States: American Psychological Association),
44.
33
Cavanagh dalam J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-Isu Kontemporer, … 25.
34
Cavanagh dalam J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-Isu Kontemporer, … 26-27.

23

konseling adalah dalam pemahaman tentang dirinya bukan dari luar diri mereka.
Langkah awal yang harus dilakukan konselor adalah membantu konseling menyadari
bahwa permasalahan ada pada diri mereka secara pribadi dan bukan pada orang lain
dalam lingkungan hidupnya.
b) Menghadapi Kenyataan
Konseling adalah kesempatan untuk menangani realitas secara lebih efektif. Konseli
yang masuk dalam proses konseling tidak hanya bersembunyi dari realitas dan
memanipulasi realitas untuk mengurangi kecemasan tetapi mereka seringkali bisa
membutuhkan dukungan orang lain untuk membantu mereka menghadapi kenyataan.
c) Mengembang Tilikan
Konseling adalah pengalaman mengundang orang untuk menemukan siapa dirinya.
Ketika dia tahu siapa dirinya, ia menyadari kebutuhan khusus, nilai-nilai, sikap, motif,
kekuatan dan kelemahan mereka. Orang tidak seharusnya tahu tentang dirinya, tetapi
juga dapat berhubungan dengan orang lain.
Dalam membangun suatu hubungan konseling membutuhkan empati dasar. Kata
empati berasal dari bahasa Yunani yakni em dan pathos yang berarti perasaan yang
mendalam untuk memahami dunia orang lain. Seseorang harus memasuki dunia perasaan
orang lain tanpa harus meninggalkan perasaannya. Dalam hal ini seseorang harus masuk ke
dalam perasaan orang lain untuk memberikan penilaian dan memahaminya dalam persepsi
orang tersebut. Empati memungkinkan orang bukan hanya dapat mengenal, memahami, dan
merasakan orang lain dalam masalahnya, serta seperasaan dengan mereka.35
Dalam membangun suatu hubungan konseling membutuhkan empati dasar. Kata
empati berasal dari bahasa Yunani yakni em dan pathos yang berarti perasaan yang
mendalam untuk memahami dunia orang lain. Seseorang harus memasuki dunia perasaan

35

Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, … 49-60.

24

orang lain tanpa harus meninggalkan perasaannya. Dalam hal ini seseorang harus masuk ke
dalam perasaan orang lain untuk memberikan penilaian dan memahaminya dalam persepsi
orang tersebut. Empati memungkinkan orang bukan hanya dapat mengenal, memahami, dan
merasakan orang lain dalam masalahnya, serta seperasaan dengan mereka.36
Hal itu juga yang dipahami Kluckhon dan Murray. Di dalam memahami manusia,
tidak hanya dipahami dalam konteks ras atau budayanya saja tapi juga dari berbagai aspek
geografis, sejarah bahkan aspek sosial perlu ditelaah dengan baik. Keseimbangan prespektif
tersebut, pada akhirnya bermuara pada prinsip dasar tentang adanya kesamaan dan perbedaan
antar individu yang digambarkan Kluckhon dan Murray dengan tiga bentuk yaitu a). like all
other persons; menunjuk pada apa yang menjadi nilai keuniversalan manusia. b). like some
other persons; menunjuk pada apa yang dimiliki oleh sebagian manusia atau budaya tapi
tidak dimiliki manusia lain. c).like no other persons; menunjuk pada ciri-ciri yang unik pada
setiap individu yang tidak dimiliki orang lain.37
Agar konseling dapat berjalan efektif dan optimal, budaya harus didefinisikan secara
luas dan kompetensi bahasa harus termasuk faktor lain diluar etnisitas yang mempengaruhi
rasa identitas budaya seseorang. Kompetensi tambahan mungkin diperlukan saat bekerja
dengan kelompok budaya tertentu, dan sarana untuk mengintegrasikan kompetensi ini ke
dalam kerangka keseluruhan sangat penting. Ini kemudian menjadi tanggung jawab konselor
untuk menilai arti penting dari berbagai potensi budaya dan faktor identitas pribadi terhadap
keprihatinan klien.38 Tujuan konseling yang dijelaskan Mcleod antara lain: 39
a) Pemahaman. Mengarah kepada peningkatan kapasitas untuk memilih kontrol rasional
dari pada perasaan dan tindakan.
Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, … 49-60.
Dedi Supriadi, Konseling Lintas Budaya,… 16.
38
Sandra Colins & Nancy Arthur, “Culture-Infused Counselling: A Fresh Look at a Classic Framework
of Multicultural Counseling Competencies,” Counseling Psychology Quarterly 23, no 2. 206
39
Mcleod, Pengantar Konseling, … 13,14.
36

37

25

b) Berhubungan

dengan

orang

lain.

Menjadi

lebih

mampu

membentuk

dan

mempertahankan hubungan yang bermakna dan memuaskan dengan orang lain.
c) Kesadaran diri. Menjadi lebih peka terhadap pemikiran dan perasaan yang selama ini
ditahan dan ditolak, atau mengembangkan perasaan yang lebih akurat berkenan dengan
bagaimana penerimaan orang lain terhadap diri.
d) Penerimaan diri. Pengembangan sikap positif terhadap diri yang ditandai dengan
kemapuan menjelaskan pengalaman yang menjadi kritik diri dan penolakan.
e) Aktualisasi diri atau individuasi. Pergerakan kearah pemenuhan potensi diri atau
penerimaan integrasi diri yang sebelumnya saling bertentangan.
f) Pencerahan. Membantu klien mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
g) Pemecahan masalah. Menemukan pemecahan masalah tertentu yang tak bisa dipecahkan
oleh klien seorang diri.
h) Pendidikan psikologi. Membuat klien mampu menangkap ide dan teknik untuk
memahami dan mengontrol tingkah laku.
i) Memiliki ketrampilan sosial. Mempelajari dan menguasai ketrampilan sosial dan
interpersonal. Seperti mempertahankan kontak mata, tidak menyela pembicaraan, asertif
atau pengendalian kemarahan.
j) Perubahan kognitif. Modifikasi atau mengganti kepercayaan yang tak rasional atau
pemikiran yang tidak dapat diadaptasi.
k) Perubahan tingkah laku. Meodifikasi atau mengganti pola tingkah laku yang merusak.
l) Perubahan sistem. Memperkenalkan perubahan dengan cara beroperasinya sistem sosial.
m) Penguatan. Berkaitan dengan keterampilan, kesadaran, dan pengetahuan yang akan
membuat klien mengontrol kehidupannya.
n) Restitusi. Membantu klien membuat perubahan kecil terhadap perilaku yang merusak.

26

o) Reproduksi dan aksi sosial. Menginspirasi dalam diri seseorang hasrat dan kapasitas
untuk peduli terhadap orang lain, membagi pengetahuan, dan mengkontribusi kebaikan
bersama melalui kesepakatan politik dan kerja komunitas.
Sue menyikapi bahwa sikap atau keyakinan dinyatakan sebagai penyejuk sosial yang
diperlukan dalam pemeriksaan diri dari sikap dan perasaan yang terkait dengan perbedaan
budaya. Oleh karena itu pentingnya sikap atau keyakinan tidak bisa diremehkan dan hal ini
sangat relevan dalam mempertimbangkan dinamika hubungan konselor dan klien ketika
bekerja diseluruh aspek budaya. Ini juga dapat membantu konselor sadar akan diri sendiri dan
memeriksa

sikap

budaya

orang

lain.

Keyakinan

adalah

atribut

penting

dalam

mengembangkan kompetensi budaya dan meningkatkan efektivitas konselor terhadap
keberagaman budaya klien.40 Berbicara mengenai nilai-nilai sama dengan berbicara tentang
dimensi spiritual yang dilakukan oleh manusia. Menurut Krauss, spiritual dilihat sebagai
energi yang menggerakan, energi kehidupan, yang membuat manusia dapat hidup, bernapas,
dan bergerak termasuk pikiran, perasaan, tindakan dan karakter kita pada tataran
konseptual.41 Menurut penulis ketika manusia mengadopsi nilai-nilai budaya, secara tidak
langsung dia sudah membentuk spiritualitas dalam dirinya berkaitan tentang pencarian jati
dirinya.
Menurut Thompson, kepribadian dan pengembangan identitas yang dipahami dengan
baik dari aspek kognitif, afektif, pengembangan moral, dan adaptasi dimaksudkan untuk
memberi informasi kesehatan mental. Konselor mengandalkan teori perilaku pengembangan
manusia untuk membimbing mereka dalam memfasilitasi kesehatan psikologis mereka. Klien
dengan "kesehatan psikologis" beragam didefinisikan sebagai penghapusan yang tidak
diinginkan, promosi aktualisasi diri, peningkatan Spiritualitas, dan sebagainya. Hal ini terkait

40

Sue, D. W and Sue, D. Counseling The Culturally Diverse: Theory and Practice (New York: John
Wiley, 2013).
41
Krauss dalam J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-Isu Kontemporer, … 11.

27

erat dengan budaya, yaitu, norma, peraturan, peran, dan pandangan dunia yang diadopsi
masyarakat untuk memahami dan berfungsi dalam hubungannya di dunia ini.42
2.1.5 Kompetensi dan peran Konselor dalam Konseling Multikultural
Sebagai seorang konselor, perlu ada kualitas yang harus dipenuhi dalam proses konseling.
Patterson43 menyebutkan lima kualitas dasar yang harus dimiliki oleh seorang konselor
konselor yaitu :
1. Respect. Menghargai klien merupakan hal yang paling penting bagi konselor. Hal ini
termasuk memiliki kepercayaan kepada klien dan memiliki asumsi bahwa klien memiliki
kemampuan untuk mengambil tanggung jawab untuk dirinya sendiri (termasuk selama proses
konseling berlangsung), klien memilki kemampuan untuk menentukan pilihan dan
memutuskan dan memecahkan masalah.
2. Genuinenes. Konseling merupakan hubungan yang nyata. Konselor perlu untuk
memiliki kesungguhan dalam memberikan konseling dan juga adalah sosok yang nyata.
Selain itu konselor harus sesuai dengan diri sesungguhnya (kongruensi) ini berarti bahwa
konselor betul-betul menjadi dirinya tanpa kepalsuan.
3. Emphathic understanding. Pemahaman yang empati lebih dari sekedar pengetahuan
tentang klien. Akan tetapi pemahaman yang melibatkan dunia dan budaya klien secara
mendalam. Patterson mengemukakan bahwa kemampuan untuk menunjukkan empati pada
budaya secara konsisten dalam hal-hal yang memiliki makna merupakan variabel penting
untuk melibatkan klien.
4. Communication of empathic, respect and genuiness to the client. Kondisi ini penting
untuk di persepsi, diakui, dan dirasakan oleh klien. Persepsi tersebut akan mengalami

42

Thompson dalam Robert.T Carter, Handbook of Racial-Cultural Pshycology and Counseling,
taining and Practice (New Jersey: Jhon Wiley & Son, 2005), 221.
43
Patterson, CH, “Do We Need Multicultural Counseling Competencies?”, Mental Health Counseling
26, no 1 (2004), 67-73.

28

kesulitan jika klien berbeda dengan konselor baik dari budaya, ras, sosial ekonomi, umur, dan
jender. Oleh karena itu penting bagi konselor untuk memahami perbedaan tersebut. Sue
(Patterson) menyatakan bahwa pemahaman terhadap perbedaan budaya baik secara verbal
maupun nonverbal akan sangat membantu dalam proses konseling.
5. Structuring. Salah satu elemen penting yang terkadang disadari oleh konselor adalah
struktur atau susunan dalam proses konseling. Vontress (Patterson) menyebutkan bahwa
hubungan dengan seorang professional yang menempatkan tanggung jawab utama kepada
individu untuk memecahkan masalahnya sangat sedikit. Pekerjaan konselor dalam proses
konseling sebaiknya menyatakan bahwa apa, bagaimana dan mengapa dia bermaksud
melakukan konseling.
Berdasarkan 5 kompetensi yang dipunyai konselor, Menurut penulis, seorang konselor
perlu untuk melihat konseling Multikultural sebagai hubungan yang tidak hanya bersifat
sementara tetapi sebagai hubungan yang memiliki dampak jangka panjang karena berkaitan
dengan bentuk pemecahan masalah sehingga proses konseling bagi seorang konselor
merupakan tanggung jawab dalam memaknai perbedaan antar individu dalam memaknai nilai
dalam kehidupannya.
Selain itu, Atkinson dkk. (1998) Mengidentifikasi ada enam peran tambahan bagi
konselor selain peran konseling konvensional atau konseling budaya yaitu :
a) Sebagai advokat (mewakili kepentingan klien atau kelompok, berbicara atas
nama mereka),
b) Sebagai agen perubahan (mengubah lingkungan sosial yang mungkin
menindas),
c) Sebagai konsultan (menyangkut masalah relasi),
d) Sebagai penasihat (memberi nasehat dan saran),

29

e) Sebagai fasilitator sistem pendukung masyarakat adat (merujuk klien atau
bekerja dengan layanan dukungan masyarakat: gereja etnis, organisasi
pelayanan,), dan
f)

Sebagai fasilitator dalam hal metode penyembuhan pribumi (metode khusus
budaya dan proses penyembuhan).44

Menurut penulis, konseling akan berhasil apabila konselor mampu untuk
melepaskan diri dalam hubungannnya dengan proses memahami diri baru setelah itu konselor
bisa memahami diri klien. Disini konselor bisa untuk menyesuaikan diri dengan budaya yang
di punyai klien.
2.2 Konseling Social Justice
Ratts et al. mengklasifikasikan konseling social justice sebagai kekuatan kelima
setelah multikultural dalam paradigma Konseling yang dianggap sebagai bentuk revolusioner
dari pendekatan konseling. Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa kondisi
lingkungan mempengaruhi perkembangan manusia.45 Menurut American Association of
Counseling ( ACA) Konseling social justice merupakan pendekatan konseling multifaset di
mana para praktisi berusaha untuk secara bersamaan mempromosikan pembangunan manusia
dan kebaikan bersama dengan mengatasi tantangan yang berkaitan dengan keadilan individu
Konseling keadilan sosial mencakup pemberdayaan individu serta menentang ketidakadilan
dan ketidaksetaraan di masyarakat karena berdampak pada klien dan juga masalah dalam
konteks sistemik mereka. Pekerjaan ini dilakukan dengan fokus pada kebutuhan budaya,
kontekstual, dan individual yang dilayani.46.

44

Attkinson dalam Robert.T Carter, Handbook of Racial-Cultural Pshycology and Counseling,
Training and Practice (New Jersey: Jhon Wiley & Son, 2005), 13.
45
Ratts, Counseling for Multiculturalism and Social Justice, … 28.
46
https://counseling-csj.org/ di unduh pada tanggal 26 Mei 2017 pada pukul 08.00 WIB.

30

Tujuan social justice adalah memberdayakan semua individu, terlepas dari latar
belakang mereka Sehingga mereka dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan
untuk mencapai potensi penuh mereka. Konselor social justice menyadari bahwa masalah
klien dapat dikaitkan dengan struktur yang menindas. Dengan demikian, baik konselor
maupun klien secara aktif terlibat dalam proses mengeksplorasi dan mendapatkan
pengetahuan tentang bagaimana struktur sosial mempengaruhi perkembangan klien. Proses
ini menyebabkan konselor dan klien mempertimbangkan apakah intervensi harus dipusatkan
Pada perubahan individu atau perubahan tingkat sistem.47 Berdasarkan pemahaman di atas,
menurut penulis, konseling social justice sebagai bentuk pembaharuan dalam konseling
dalam kerangka membantu individu menyelesaikan masalah terkait dengan ketidakadilan
sosial yang terjadi di dalam lingkungan kehidupannya sebagai komunitas.
2.2.1 Identitas Budaya dan Social Justice
Keadilan sosial berkaitan dengan gagasan tentang masyarakat adil. Keadilan sosial
adalah gagasan untuk menantang ketidakadilan dan menghargai kemanusiaan. Marsella
mendefinisikan keadilan sosial sebagai "konteks sosial, terutama dalam masyarakat dan
kondisi budaya yang mungkin membatasi atau menghilangkan kemungkinan adanya keadilan
kolektif.48 Ada 2 hal yang menjadi dasar analisis keadilan sosial yaitu :
a) Perhatian untuk memahami kekuatan sosial dan institusi yang mendukung
ketidakadilan dalam sistem sosial dan juga perilaku interpersonal, sikap individu,
atau keyakinan yang mencerm inkan hubungan sosial yang tidak setara;

47

Ratts, Counseling for Multiculturalism and Social Justice,… 28.
Marsella dalam Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice Counseling
(United State of America: Springer, 2016), 99.
48

31

b) Pengakuan terhadap keterkaitan antar fenomena dan latar belakang manusia
termasuk sejarah, politik, budaya, ekonomi, hukum, dll.49
Keadilan sosial berfokus pada tiga hal: Hak, Manfaat, dan Kebutuhan. Hak berfokus
pada apa yang dipercaya bahwa masyarakat sebagai satu komunitas harus menyediakannya
sebagai bagian dari menjadi anggota di dalam masyarakat tersebut. Manfaat berfokus pada
bagaimana masyarakat memantau siapa yang harus menerima hak tersebut. Kebutuhan adalah
basis atau kriteria yang digunakan untuk mendistribusikan sumber daya berdasarkan hak
yang dimiliki individu.50
Berdasarkan pemahaman di atas keadilan sosial selain sebagai bentuk perlawananan
terhadap ketidakadilan juga sebagai bagian bagaimana masyarakat memperoleh hak dalam
upaya mendapatkan kesetaraan dalam hubungan sebagai sebuah komunitas masyarakat yang
memiliki manfaat dalam kehidupannya.
Menurut Ibrahim, sudut pandang perlu dipahami dalam identitas budaya klien, untuk
mengerti variabel perantara yang telah menciptakan prespektif terkait dengan identitas
seseorang berkaitan dengan pengambilan keputusan terkait nilai agar lebih bermakna. Konsep
sudut pandang ini dikonseptualisasikan dari prespektif keyakinan, nilai, dan asumsi yang
berasal dari konteks budaya dan didasarkan pada model nilai eksistensial. 51 Pengembangan
identitas sosial bersifat dinamis, dalam setiap tahap perkembangan, karakteristik dan kualitas
dibagi antara individu dalam kelompok sosial tertentu. Setiap tahap perkembangan identitas
merupakan hasil refleksi bagaimana individu melihat diri mereka dalam kaitannya dengan
dunia mereka dan juga dari pengalaman di luar dunia mereka.52

49

Llewellyn J. Cornelius dan Donna Harrington, A Social Justice Approach to Survey Design and
Analysis (New York: Oxford University, 2014), 7.
50
Cornelius, A Social Justice Approach to Survey…. 8.
51
Ibrahim, Cultural and Sosial Justice Counseling, … 54.
52
Ratts, Counseling for Multiculturalism and Social Justice,… 61.

32

Identitas manusia menurut Sue, ada pada tiga dimensi: yaitu individu, kelompok, dan
universal. Dimensi individual dari identitas mengacu pada karateristik unik masing-masing
orang, seperti kepribadian, nilai, dan sistem kepercayaan. Karakteristik dan atribut ini
membedakan orang pada tingkat individu dan membuat kita masing-masing unik. Dimensi
identitas kelompok mengacu pada pengalaman bersama yang dimiliki orang sebagai akibat
dari menjadi anggota kelompok sosial. Sebagai manusia, kita semua adalah anggota ras, jenis
kelamain, orientasi seksual, religious dan kemampuan kelompok sosial. Sebagai anggota
kelompok, kita berbagi hal-hal tertentu, seperti bahasa atau identitas kelompok, yang
membentuk pengalaman kehidupan. Dimensi identitas universal mengacu pada aspek
universal manusia. Manusia membutuhkan makanan, tempat tinggal, air, dan keamanan untuk
bertahan hidup terlepas dari latar belakang budaya.53 Orang sering berfokus pada dimensi
identitas individual dan universal lebih daripada dimensi identitas kelompok. Namun,
dimensi identitas kelompok sama pentingnya karena mereka menggambarkan pengalaman
bersama yang dimiliki individu sebagai anggota kelompok sosial.54
Berdasarkan pemahaman di atas, dimensi identitas manusia merupakan bagian
bagaimana seorang individu menempatkan dirinya sebagai bagian dalam komunitas
masyarakat. Bagaimana individu dapat beradaptasi ketika membangun hubungan dengan
keragaman budaya yang ada sebagai bentuk pengalaman bersama dalam kehidupan yang
harmonis.

53

… 37.

Sue dalam Manivong J. Ratts, Paul B Pedersen, Counseling for Multiculturalism and Social Justice,

54

Sue dalam Manivong J. Ratts, Paul B Pedersen, Counseling for Multiculturalism and Social
Justice,… 37.

33

2.2.2

Model dan Proses Akulturasi Dalam Social Justice
Sebagai masyarakat kolektif, setiap individu dalam masyarakat terhubung dengan

budaya sebagai bentuk identitas. Bagi keadilan sosial, budaya merupakan merupakan salah
satu bagian rentan dalam masalah ketidakadilan. Berbicara tentang identitas budaya, menurut
Berry, identitas budaya digunakan sebagai kerangka teoritis untuk memahami akulturasi.
Pemikiran saat ini menekankan bahwa akulturasi bukanlah proses perubahan dalam
pengertian melepaskan budaya asal dan berasimilasi ke dalam budaya baru tapi lebih kepada
proses adaptasi ke budaya yang baru tanpa kehilangan budaya asli.55 Berry mengidentifikasi
ada enam dimensi fungsi psikologi yang dipengaruhi akulturasi yaitu: a) Bahasa, b) kognitif,
c)kepribadian, d) identitas, e) sikap, dan f) penekanan akulturatif. Fungsi ini dipengaruhi
tingkat dan waktu yang berbeda, semua perubahan tidak terjadi secara bersamaan. 56 Dari
pemahaman di atas, identitas budaya merupakan cara individu memahami bahwa akulturasi
bukanlah sebuah proses perubahan dengan cara menghilangkan satu bagian budaya, tapi
bagaimana individu memahami bahwa akulturasi merupakan proses pengadaptasian budayabudaya yang ada tanpa kehilangan identitas budaya asli.
Menurut Phinney, faktor penting dalam pengembangan identitas imigran adalah usia
imigrasi. Awalnya

diasumsikan bahwa pola pikir dan pola pengembangan kepribadian

masyarakat imigran akan tercampur dalam budaya tuan rumah.57 Schwartz dkk.
mengidentifikasi beberapa tantangan yang dihadapi oleh imigran, yang Dapat menghalangi
proses pengembangan identitas dan adaptasi imigran positif budaya tuan rumah, tantangan ini
meliputi: (a) kerugian sosial ekonomi. Ini mengacu pada fakta, bahwa imigran biasanya
menempati sosioekonomi rendah Tingkat daripada budaya tuan rumah, ini menurunkan
kemampuan imigran untuk berinteraksi Dengan budaya dominan, atau untuk mengakses
55
56
57

… 126.

Berry dalam Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice Counseling, … 124.
Berry dalam Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice Counseling, … 79.
Phinney dalam dalam Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice Counseling,

34

peluang, bisa menimbulkan beberapa hal negatif (b) perbedaan orientasi budaya antara
Imigran dan masyarakat penerima.58
Tapi kemudian Barry melakukan penelitian menunjukan bahwa ada dua dimensi
otonom yang mendasari proses akulturasi: hubungan individu ke budaya asal mereka dan
masyarakat tempat dimana mereka masuk. Hubungan ini terwujud dalam beberapa cara,
misalnya preferensi untuk keterlibatan dalam dua budaya dan perilaku yang mereka ikuti,
misalnya bahasa, pengetahuan dan perilaku.59 Penelitian mengidentifikasi ada perbedaan
antara adaptasi psikologis dan sosikultural. Adaptasi psikologis mengacu pada hasil
psikologis internal, yaitu rasa identitas pribadi dan budaya, kesehatan mental dan pencapaian
kepuasan pribadi dalam hidup dan bekerja dalam konteks budaya yang baru; sedangkan
adaptasi sosiokultural mengacu pada hasil psikologis eksternal yang menghubungkan
individu dengan kehidupan yang baru, termasuk kemampuan mereka menghadapi masalah
sehari-hari.60 Menurut Ibrahim, Kunci untuk memahami banyak identitas dalam masyarakat
yang beragam secara budaya adalah dengan memahami tingkat akulturasi klien terhadap
budaya mainstream, seiring dengan identitas budaya, identitas etnis, dan worldview.61
Berdasarkan pemahaman di atas, dalam pengembangan identitas diri masyarakat imigran, ada
proses akulturasi yang terjadi sebagai bagian bagaimana mereka beradaptasi dengan
lingkungan yang baru dari faktor internal maupun eksternal individu dalam lingkungan
budaya tempat mereka berada.

58

… 136.

Schwartz dkk. Dalam Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice Counseling,

Berry dalam Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and Sosial Justice Counseling, … 126.
Farah A. Ibrahim dan Jiana R. Heuer, Cultural and