Pengaruh Rasio Keuangan, Struktur Corporate Governance, dan Ukuran Perusahaan Terhadap Financial Distress (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Periode 2011-2014)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kondisi perekonomian Indonesia yang tidak stabil telah mempengaruhi
aktivitas dan kinerja perusahaan.Seperti yang telah diketahui sebelumnya, krisis
perekonomian global kini semakin akut.Indonesia dan negara-negara berkembang
di dunia saat ini tengah terkena imbas negatif gejolak keuangan global.Menurut
Managing Director IMF Christine Lagarde (2015) Indonesia saat ini telah
terperangkap di sisi yang salah dari beberapa pergeseran ekonomi global.Sisi
pertama yang mempengaruhi ekonomi Indonesia adalah perlambatan ekonomi
China yang semakin memperkeruh perekonomian nasional. China merupakan
salah satu mitra dagang utama Indonesia, sehingga perlambatan ekonomi dan
pengetatan likuiditas China akan saat berpengaruh terhadap perekonomian negara
berkembang.
Pada saat yang sama, kenaikan harga komoditas telah mencapai puncak
dan hal tersebut menyebabkan harga akan cenderung terus menurun. Kedua faktor
diatas mengindikasikan bahwa barang - barang asal Indonesia masih akan terus
melemah sampai beberapa tahun kedepan. Pelemahan harga komoditas ini
memiliki dampak pada investasi di Indonesia karena para investor menarik
investasinya pada komoditas.
Ketidakstabilan perekonomian negara maju juga menjadi salah satu
penyebab terjadinya krisis di negara berkembang. Saat perekonomian Amerika
1
Universitas Sumatera Utara
Serikat lesu, maka dapat dipastikan perdagangan dengan negara tersebut juga
mengalami kesulitan. Bukan hanya itu, arus investasi dari Amerika Serikat juga
dapat dipastikan akan berkurang. Beberapa implikasi krisis keuangan global
terhadap ekonomi Indonesia dapat berupa resesi, menurunnya pertumbuhan
ekonomi, perubahan tingkat bunga, devaluasi mata uang, tingkat inflasi,
ketidakstabilan moneter dan perubahan kebijakan fiskal.
Disamping itu, pemulihan perekonomian Amerika Serikat juga merupakan
faktor
lain
yang
semakin
memperburuk
perekonomian
nasional.
Saat
perekonomian negara maju mulai mengalami pemulihan, hal ini berarti akan
berdampak pada kenaikan suku bunga . Kenaikan suku bunga ini akan
menimbulkan risiko bagi negara-negara berkembang, termasuk juga Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami
perlambatan. Berikut adalah grafik yang menunjukan tingkat pertumbuhan
ekonomi Indonesia dari tahun 2012-2015:
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
(%)
8
6
6,08
5,58
5,02
4,73
4
2
Tingkat
Pertumbuhan
Ekonomi (%)
0
2012
2013
2014
2015
Gambar 1.1 Grafik Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
Sumber :www.bps.go.id , data diolah
Menurut Sukirno (2006) pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan
sebagai “perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang
2
Universitas Sumatera Utara
dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah.” Pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang disajikan diatas dilihat berdasarkan Produk Domestik
Bruto
(PDB).Grafik
diatas
menunjukkan
penurunan
dan
perlambatan
pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir. PDB pada tahun 2013 sebesar
5,58 %, turun sekitar 8,2 % dari tahun 2012. Penurunan juga berlanjut pada tahun
2014, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,02 % saja. Tingkat pertumbuhan
terendah terjadi pada tahun 2015 menjadi dibawah 5 persen yaitu hanya 4,73 %.
Hal ini merupakan level terendah untuk pertama kalinya sejak krisis keuangan
global.
Krisis juga berdampak pada perusahaan kecil maupun perusahaan besar
yang ada di Indonesia. Beberapa perusahaan di Indonesia terpaksa bangkrut akibat
ketidakstabilan ekonomi yang melanda. Hal ini dikarenakan nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika yang semakin terpuruk. Berdasarkan data dari Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2015) sedikitnya ada lima perusahaan yang
mengalami kebangkrutan beberapa tahun terakhir. Lima perusahaan tersebut
yakni, PT Kirin Dinamika, PT Delta Inova, PT Agro Pantes, PT Gunaparamita
dan PT Panasonic. Selain lima perusahaan yang kini telah bangkrut, ada beberapa
perusahaan lainnya yang terancam pailit. Beberapa perusahaan seperti PT Graha
Adi Karya Logam, PT Tempo Scan Pasific, PT Kawasaki dan PT Madurasa sudah
melakukan tindakan efisiensi seperti pengurangan tenaga kerja.
Selain perusahaan diatas, tercatat juga beberapa perusahaan manufaktur
yang terpaksa harus delisting akibat dari krisis yang melanda perekonomian dalam
negeri. Pranowo (2010) mengungkapkan bahwa “perusahaan bisa didelisting dari
3
Universitas Sumatera Utara
Bursa Efek Indonesia (BEI) disebabkan karena perusahaan tersebut berada pada
kondisi financial distress atau sedang mengalami kesulitan keuangan.” Menurut
Brahmana (2007) suatu perusahaan dapat dikategorikan sedang mengalami
financial distress
dimana “jika perusahaan tersebut memiliki kinerja yang
menunjukan laba operasinya negatif, laba bersih negatif, nilai buku ekuitas
negatif, dan perusahaan yang melakukan merger.”
PT. Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam 5 (lima) tahun terakhir tercatat
telah mendelisting 20 (dua puluh) saham yang tercatat di BEI. Proses delisting
dilakukan apabila perusahaan tersebut mengalami kepailitan dan sudah lama
melakukan penghentian perdagangan sementara. Menurut Direktur Utama BEI
(2013) bursa akan mendelisting jika perusahaan tersebut tidak lagi memenuhi
persyaratan sesuai dengan Peraturan Bursa Nomor I-I tentang Penghapusan
Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting) serta Ketentuan
III.3.1.1 yang mengatur bahwa Bursa menghapus pencatatan saham Perusahaan
Tercatat apabila Perusahaan Tercatat mengalami sekurang-kurangnya satu kondisi
atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif keberlangsungan usaha
perusahaan tercatat sebagai emiten terbuka, dan perusahaan tercatat tidak dapat
menunjukan indikasi pemulihan yang memadai. Berikut adalah grafik yang
menunjukan tingkat saham yang telah di-delisting dari Bursa Efek Indonesia
tahun 2011-2015 :
4
Universitas Sumatera Utara
Saham delisting
8
6
4
Saham delisting
2
0
2011 2012 2013 2014 2015
Gambar 1.2
Grafik Saham Delisting 2011-2015
Sumber : www.sahamok.com, data diolah
Grafik diatas menjelaskan pada tahun 2011 BEI telah men-delisting 5
perusahaan yang terdiri dari perusahaan New Century Development Tbk, Aqua
Golden Mississippi Tbk, Dynaplast Tbk, Anta Express Tour and Travel Services
Tbk, dan Alfa Retailindo Tbk. Di tahun 2012 BEI men-delisting 4 perusahaan
yang terdiri dari perusahaan Multibreeder Adirama Indonesia Tbk, Katarina
Utama Tbk, Suryainti Permata Tbk, dan Surya Intirindo Makmur Tbk. Tahun
2013, BEI kembali men-delisting 7 perusahaan yang terdiri dari perusahaan Indo
Setu Bara Resources Tbk, Indosiar Karya Media Tbk, Amstelco Indonesia Tbk,
Dayaindo Resources Internasional Tbk, Panasia Filamen Inti Tbk, Panca
Wirasakti Tbk dan Surabaya Agung Industri Pulp dan Kertas Tbk. Pada tahun
2014 terjadi penurunan tingkat delisting saham perusahaan tercatat, hal ini
dikarenakan BEI hanya men-delisting 1 perusahaan saja yaitu perusahaan Asia
Natural Resources Tbk. Dan di tahun 2015, BEI men-delisting 3 perusahaan yaitu
Davomas Abadi Tbk, Bank Ekonomi Raharja Tbk, dan Unitex Tbk. Dari data-data
5
Universitas Sumatera Utara
diatas secara keseluruhan pada tahun 2011-2015 Bursa Efek Indonesia sudah
men-delisting 9 perusahaan manufaktur yang disebabkan karena perusahaan
tersebut tidak memiliki keberlangsungan usaha (going concern). Berikut adalah
tabel perusahaan manufaktur yang di-delisting dari BEI periode 2011-2015 :
Tabel 1.1
Perusahaan Manufaktur yang dide-listing dari BEI 2011-2015
No
Nama Perusahaan
1
Aqua Golden Mississippi Tbk
2
3
Dynaplast Tbk
Karwell Indonesia Tbk
Multibreeder Adirama Indonesia
Tbk
Surya Intrindo Makmur Tbk
Pan Asia Filament Inti Tbk
Surabaya Agung Industri Pulp &
Kertas Tbk
Davomas Abadi Tbk
Unitex Tbk
4
5
6
7
8
9
IPO
Delisting
01 Maret 1990
01 April 2011
05 Agustus 1991
17 Mei 2001
27 Juli 2011
03 Mei 2012
28 Februari 1994
02 Juli 2012
28 Maret 2000
01 Januari 2000
03 Desember 2012
14 Maret 2013
03 Mei 1993
31 Oktober 2013
22 Desember 1994
16 Juni 1989
21 Januari 2015
07 Desember 2015
Sumber :www.sahamok.com, data diolah
Tabel diatas menjelaskan dalam kurun waktu 5 tahun terdapat 9 (sembilan)
perusahaan
manufaktur
yang
harus
di-delisting
dari
Bursa
Efek
Indonesia.Penyebab perusahaan – perusahaan diatas di-delisting ada banyak
faktor, salah satu contohnya seperti yang dialami perusahaan Davomas Abadi
Tbk. Davomas merupakan emiten produsen coklat yang terpaksa harus didelisting karena terlambat menyampaikan laporan keuangannya selama dua tahun
berturut-turut.Keterlambatan pelaporan ini dikarenakan kinerja perusahaan yang
semakin terpuruk dalam dua tahun terakhir akibat mengalami kerugian.
Disamping itu, perusahaan juga dilanda permasalahan gagal bayar obligasi senilai
6
Universitas Sumatera Utara
US$198 juta, yang telah jatuh tempo pada 2014 lalu dengan kupon sebesar 11%.
Hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa perusahaan telah mengalami
financial distress.
Kebangkrutan suatu perusahaan dapat dilihat dan diukur melalui laporan
keuangannya.Agar
informasi laporan keuangan yang tersaji menjadi lebih
bermanfaat dalam pengambilan keputusan, maka data keuangan harus dikonversi
menjadi informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan ekonomis. Untuk
membuktikan bahwa laporan keuangan bermanfaat maka perlu dilakukan
penelitian. Salah satu penelitian yaitu dengan cara menggunakan rasio-rasio
keuangan untuk memprediksi kinerja keuangan perusahaan seperti kebangkrutan
dan financial distress.
Menurut Platt dan Platt (2002) financial distress yaitu “suatu proses
menurunnya posisi financial perusahaan yang dialami sebelum perusahaan
bangkrut ataupun mengalami likuidasi.” Menurut Brahmana (2007) kesulitan
keuanganterjadi karena kurangnya kemampuan entitas dalam mengerjakan dan
menjaga stabilitas kinerja keuangan sehingga mengakibatkan suatu entitas berada
dalam kondisi kerugian operasional dan bersih untuk periode bersangkutan.Dalam
penelitian Triwahyuningtias (2012) menjelaskan kondisi financial distress dapat
dimulai dari kesulitan likuiditas (jangka pendek) sebagai indikasi financial
distress yang paling ringan, sampai kepernyataan kebangkrutan yang merupakan
financial distress yang paling berat.
7
Universitas Sumatera Utara
Dengan mengetahui kondisi financial distress perusahaan sejak dini
diharapkan dapat dilakukan tindakan-tindakan untuk mengantisipasi kondisi yang
mengarah pada kebangkrutan.Analisa laporan keuangan dapat menjadi salah satu
alat yang dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan.Laporan keuangan
dapat dijadikan dasar untuk mengukur kesehatan suatu perusahaan melalui rasiorasio keuangan yang ada. Kesehatan perusahaan akan mencerminkan kemampuan
perusahaan dalam menjalankan usahanya, distribusi aktivannya, keefektifan
penggunaan aktivanya, hasil usaha atau pendapatan yang telah dicapai, bebanbeban tetap yang harus dibayar, serta potensi kebangkrutan yang akan dialami.
Oleh karena itu, rasio keuangan bermanfaat dalam memprediksi kebangkrutan
bisnis untuk periode satu sampai lima tahun sebelum bisnis tersebut benar-benar
bangkrut (Nasser dan Aryati, 2000).
Platt
dan
Platt
(2002)
menyatakan
kegunaaninformasijikasuatuperusahaanmengalamifinancialdistressadalah:
1.Dapat mempercepat tindakan manajemen untuk mencegah masalah
sebelumterjadi kebangkrutan.
2.Pihak manajemendapat mengambil tindakan merger atau takeover agar
perusahaan lebih mampu untuk membayar hutang dan mengelola
perusahaan dengan lebih baik.
3.Memberi tanda peringatan dini/awal adanya kebangkrutan pada masa
yang akan datang.
Penelitian yang dilakukan oleh Altman (1968) dalam Luciana (2003)
merupakan penelitian awal yang mengkaji pemanfaatan analisis rasio keuangan
sebagai alat dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan.Altman menggunakan
8
Universitas Sumatera Utara
teknik statistik (analisis diskriminan berganda - multiple discriminant analysis)
untuk menghasilkan alat yang merupakan fungsi linier dari beberapa variabel
penjelas.Alat prediksi ini menggolongkan atau memprediksi kemungkinan
bangkrut atau tidak bangkrutnya perusahaan.
Altman menemukan adanya lima rasio keuangan yang dapat digunakan
dalam mendeteksi kebangkrutan perusahaan dua tahun sebelum perusahaan
tersebut bangkrut. Kelima rasio tersebut terdiri dari : cash flow to total debt, net
income to total assets, total debt to total assets, working capital to total assets ,
dan current ratio. Masing –masing rasio tersebut mencerminkan tingkat likuiditas,
usia perusahaan dan profitabilitas kumulatif, profitabilitas, struktur keuangan, dan
tingkat perputaran modal. Altman menyatakan jika perusahaan memiliki indeks
kebangkrutan 2,99 atau lebih maka perusahaan tidak termasuk dalam kategori
yang akan mengalami kebangkrutan. Sedangkan perusahaan yang memiliki indeks
kebangkrutan 1,81 atau kurang maka perusahaan termasuk dalam kategori
perusahaan bangkrut.
Pada penelitian Almilia dan Kristijadi (2003) telah menjelaskan beberapa
cara yang telah dilakukan penelitian terdahulu untuk menguji apakah
suatuperusahaanmengalamifinancialdistress yaitu dapatditentukandengan cara,
seperti :
1. Lau
(1987)
dan
Hill
et
al.
(1996)
menggunakan
adanya
pemberhentian tenaga kerja atau menghilangkan pembayaran deviden.
9
Universitas Sumatera Utara
2. Asquith, Gertnerdan Scharfstein (1994) menggunakan interest coverage
ratio untuk mendefinisikanfinancial distress.
3. Whitaker(1999)mengukurfinancialdistressdengancaraadanya
arus
kas
yang lebih kecil dari utang jangka panjang saat ini.
4. John, Langdan Netter (1992) mendefinisikan financial distress sebagai
perubahan harga ekuitas.
Padasisilain,PlattdanPlatt(2002)melakukanpenelitian
terhadap24perusahaanyangmengalamifinacialdistressdan6
perusahaanyangtidakmengalamifinacialdistress, dengan menggunakan
model
logit mereka berusaha untuk menentukan rasio keuangan yang paling dominan
untuk
memprediksi
Variabelnet
adanya
income/sales
financialdistress.
memilikihubungan
Temuandaripenelitianadalah:
negatifterhadapkemungkinan
perusahaanakanmengalami financialdistress.Semakinbesarrasio ini maka semakin
kecil kemungkinan perusahaan mengalami financial distress.Sedangkan variabel
current liabilities / total assets memilikihubungan positif terhadap kemungkinan
perusahaanakanmengalami
financialdistress.
Semakinbesarrasio
ini
maka
semakin besar kemungkinan perusahaan mengalami financial distress.
Selain menggunakan rasio keuangan perusahaan, faktor lain yang dapat
digunakan untuk memprediksi terjadinya kondisi
financial distress pada
perusahaan yaitu dengan menggunakan struktur corporate governance yang ada
didalam perusahaan. Menurut Monks dan Minow (2001) corporate governance
merupakan “tata kelola perusahaan yang menjelaskan hubungan antara berbagai
partisipan dalam perusahaan yang menentukan arah dan kinerja perusahaan.” Hal
10
Universitas Sumatera Utara
ini menjelaskan bahwa kinerja dan nilai perusahaan dapat ditingkatkan melalui
penerapan corporate governance yang baik didalam perusahaan.Karena salah
satu faktor yang dapat menyebabkan perusahaan berada dalam kondisi financial
distress yaitu kegagalan strategi corporate governance yang diterapkan dalam
perusahaan tersebut.
Beberapa hasil penelitian terdahulu telah menunjukkan hasil yang
berbeda-beda mengenai pengaruh rasio keuangan dan struktur corporate
governance dalam memprediksi kondisi financial distress seperti penelitian yang
dilakukan oleh Hapsari (2012) yang meneliti mengenai rasio keuangan dalam
memprediksi kondisi financial distress perusahaan manufaktur di BEI
menunjukan hasil bahwa rasio likuiditas (current ratio) dan rasio profitabilitas
(profit margin on sales) tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi financial
distress perusahaan sedangkan rasio profitabilitas (return on assets) dan rasio
leverage (current liabilities total asset) berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap kondisi financial distress perusahaan. Disamping itu, penelitian lainnya
yang dilakukan Triwahyuningtyas (2012) yang meneliti tentang pengaruh struktur
kepemilikan, ukuran dewan, komisaris independen, likuiditas dan leverage
terhadap terjadinya kondisi financial distress menunjukkan hasil bahwa struktur
kepemilikan, ukuran dewan direksi, likuiditas dan leverage memiliki pengaruh
signifikan terhadap kemungkinan financial distress. Sedangkan ukuran dewan
komisaris dan komisaris independen tidak memiliki pengaruh terhadap financial
distress.
11
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Merkusiwati (2014) yang
meneliti mengenai pengaruh mekanisme corporate governance , likuiditas,
leverage, dan ukuran perusahaan pada financial distress menunjukan hasil bahwa
ukuran perusahaan memiliki pengaruh negatif dan signifikan pada financial
distress. Sedangkan mekanisme corporate governance, likuiditas, dan leverage
tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap financial distress.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Hanifah dan Purwanto (2013) yang
meneliti mengenai pengaruh struktur corporate governance dan financial
indicators terhadap kondisi financial distress telah menunjukan hasil yang
berbeda pula. Penelitian ini menunjukan hasil bahwa ukuran dewan direksi,
kepemilikan manajerial, kepemilikan intitusional, leverage, dan operating
capacity berpengaruh terhadap financial distress.Sedangkan ukuran dewan
komisaris, komisaris
independen, ukuran komite audit, likuiditas, dan
profitabilitas tidak berpengaruh terhadap financial distress.
Berdasarkan perbedaan hasil penelitian terdahulu dan masalah yang terjadi
yang telah dijelaskan diatas, penulis merasa tertarik meneliti kembali dan
mengambil serta menggabungkan beberapa variabel dari peneliti terdahulu yang
paling berpengaruh dalam memprediksi kemungkinan terjadinya financial distress
kemudian mereplikasinya, selanjutnya penulis tuangkan dalam skripsi yang
berjudul :
“Pengaruh Rasio Keuangan, Struktur Corporate Governance dan
Ukuran Perusahaan terhadap Financial Distress (Studi Empiris pada
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Periode 2011-2014)”.
12
Universitas Sumatera Utara
1.2.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah
dalam penelitian ini menjadi:
1. Apakah likuiditas, leverage , profitabilitas dan rasio aktivitas berpengaruh
terhadap financial distress baik secara simultan maupun parsial pada
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)?.
2. Apakah komisaris independen, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan
institusional berpengaruh terhadap financial distress baik secara simultan
maupun parsial pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI)?.
3. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap financial distress pada
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)?.
4. Apakah likuiditas, leverage , profitabilitas, rasio aktivitas, komisaris
independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional , dan
ukuran perusahaan berpengaruh terhadap financial distress secara simultan
pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
(BEI)?.
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penelitian yang dibuat penulis
adalah.
1. Untuk mengetahui likuiditas, profitabilitas, leverage, dan ukuran
perusahaan berpengaruh terhadap financial distress baik secara simultan
13
Universitas Sumatera Utara
maupun parsial pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI).
2. Untuk mengetahui apakah komisaris independen, kepemilikan manajerial,
dan kepemilikan institusional berpengaruh terhadap financial distress baik
secara simultan maupun parsial pada perusahaan manufaktur yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
3. Untuk mengetahui apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap
financial distress pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia (BEI).
4. Untuk mengetahui apakah likuiditas, leverage , profitabilitas, rasio
aktivitas, komisaris independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan
institusional , dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap financial
distress secara simultan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI).
1.4.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak,
diantaranya berikut ini:
a) Bagi Peneliti
Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan wawasan dan
pengetahuan yang lebih, khususnya mengenai bidang penelitian yaitu
pengaruh likuiditas, leverage, profitabilitas, rasio aktivitas, komisaris
14
Universitas Sumatera Utara
independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan ukuran
perusahaan terhadap financial distress
b) Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan referensi dalam
melakukan penelitian sejenis serta menambah pengetahuan dan bukti
empiris tentang financial distress dan faktor yang mempengaruhinya.
c) Bagi Investor dan Calon Investor
Penelitian ini diharapkan dapat membantu investor untuk menilai kondisi
keuangan suatu perusahaan. Melalui informasi tersebut, investor dapat
lebih bijak mengambil sebuah keputusan investasi, apakah akan
melakukan investasi dengan membeli saham perusahaan atau akan
menjual saham yang sudah dimiliki.
d) Bagi Manajemen Perusahaan
Penelitian ini dapat memberikan peringatan dini jika perusahaan sudah
menunjukkan gejala-gejala financial distress.Melalui informasi tersebut
perusahaan
dapat
mulai
melakukan
tindakan-tindakan
untuk
mengantisipasi sehingga tidak sampai masuk ke dalam kondisi financial
distress.
15
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kondisi perekonomian Indonesia yang tidak stabil telah mempengaruhi
aktivitas dan kinerja perusahaan.Seperti yang telah diketahui sebelumnya, krisis
perekonomian global kini semakin akut.Indonesia dan negara-negara berkembang
di dunia saat ini tengah terkena imbas negatif gejolak keuangan global.Menurut
Managing Director IMF Christine Lagarde (2015) Indonesia saat ini telah
terperangkap di sisi yang salah dari beberapa pergeseran ekonomi global.Sisi
pertama yang mempengaruhi ekonomi Indonesia adalah perlambatan ekonomi
China yang semakin memperkeruh perekonomian nasional. China merupakan
salah satu mitra dagang utama Indonesia, sehingga perlambatan ekonomi dan
pengetatan likuiditas China akan saat berpengaruh terhadap perekonomian negara
berkembang.
Pada saat yang sama, kenaikan harga komoditas telah mencapai puncak
dan hal tersebut menyebabkan harga akan cenderung terus menurun. Kedua faktor
diatas mengindikasikan bahwa barang - barang asal Indonesia masih akan terus
melemah sampai beberapa tahun kedepan. Pelemahan harga komoditas ini
memiliki dampak pada investasi di Indonesia karena para investor menarik
investasinya pada komoditas.
Ketidakstabilan perekonomian negara maju juga menjadi salah satu
penyebab terjadinya krisis di negara berkembang. Saat perekonomian Amerika
1
Universitas Sumatera Utara
Serikat lesu, maka dapat dipastikan perdagangan dengan negara tersebut juga
mengalami kesulitan. Bukan hanya itu, arus investasi dari Amerika Serikat juga
dapat dipastikan akan berkurang. Beberapa implikasi krisis keuangan global
terhadap ekonomi Indonesia dapat berupa resesi, menurunnya pertumbuhan
ekonomi, perubahan tingkat bunga, devaluasi mata uang, tingkat inflasi,
ketidakstabilan moneter dan perubahan kebijakan fiskal.
Disamping itu, pemulihan perekonomian Amerika Serikat juga merupakan
faktor
lain
yang
semakin
memperburuk
perekonomian
nasional.
Saat
perekonomian negara maju mulai mengalami pemulihan, hal ini berarti akan
berdampak pada kenaikan suku bunga . Kenaikan suku bunga ini akan
menimbulkan risiko bagi negara-negara berkembang, termasuk juga Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami
perlambatan. Berikut adalah grafik yang menunjukan tingkat pertumbuhan
ekonomi Indonesia dari tahun 2012-2015:
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
(%)
8
6
6,08
5,58
5,02
4,73
4
2
Tingkat
Pertumbuhan
Ekonomi (%)
0
2012
2013
2014
2015
Gambar 1.1 Grafik Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
Sumber :www.bps.go.id , data diolah
Menurut Sukirno (2006) pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan
sebagai “perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang
2
Universitas Sumatera Utara
dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah.” Pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang disajikan diatas dilihat berdasarkan Produk Domestik
Bruto
(PDB).Grafik
diatas
menunjukkan
penurunan
dan
perlambatan
pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir. PDB pada tahun 2013 sebesar
5,58 %, turun sekitar 8,2 % dari tahun 2012. Penurunan juga berlanjut pada tahun
2014, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,02 % saja. Tingkat pertumbuhan
terendah terjadi pada tahun 2015 menjadi dibawah 5 persen yaitu hanya 4,73 %.
Hal ini merupakan level terendah untuk pertama kalinya sejak krisis keuangan
global.
Krisis juga berdampak pada perusahaan kecil maupun perusahaan besar
yang ada di Indonesia. Beberapa perusahaan di Indonesia terpaksa bangkrut akibat
ketidakstabilan ekonomi yang melanda. Hal ini dikarenakan nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika yang semakin terpuruk. Berdasarkan data dari Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2015) sedikitnya ada lima perusahaan yang
mengalami kebangkrutan beberapa tahun terakhir. Lima perusahaan tersebut
yakni, PT Kirin Dinamika, PT Delta Inova, PT Agro Pantes, PT Gunaparamita
dan PT Panasonic. Selain lima perusahaan yang kini telah bangkrut, ada beberapa
perusahaan lainnya yang terancam pailit. Beberapa perusahaan seperti PT Graha
Adi Karya Logam, PT Tempo Scan Pasific, PT Kawasaki dan PT Madurasa sudah
melakukan tindakan efisiensi seperti pengurangan tenaga kerja.
Selain perusahaan diatas, tercatat juga beberapa perusahaan manufaktur
yang terpaksa harus delisting akibat dari krisis yang melanda perekonomian dalam
negeri. Pranowo (2010) mengungkapkan bahwa “perusahaan bisa didelisting dari
3
Universitas Sumatera Utara
Bursa Efek Indonesia (BEI) disebabkan karena perusahaan tersebut berada pada
kondisi financial distress atau sedang mengalami kesulitan keuangan.” Menurut
Brahmana (2007) suatu perusahaan dapat dikategorikan sedang mengalami
financial distress
dimana “jika perusahaan tersebut memiliki kinerja yang
menunjukan laba operasinya negatif, laba bersih negatif, nilai buku ekuitas
negatif, dan perusahaan yang melakukan merger.”
PT. Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam 5 (lima) tahun terakhir tercatat
telah mendelisting 20 (dua puluh) saham yang tercatat di BEI. Proses delisting
dilakukan apabila perusahaan tersebut mengalami kepailitan dan sudah lama
melakukan penghentian perdagangan sementara. Menurut Direktur Utama BEI
(2013) bursa akan mendelisting jika perusahaan tersebut tidak lagi memenuhi
persyaratan sesuai dengan Peraturan Bursa Nomor I-I tentang Penghapusan
Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting) serta Ketentuan
III.3.1.1 yang mengatur bahwa Bursa menghapus pencatatan saham Perusahaan
Tercatat apabila Perusahaan Tercatat mengalami sekurang-kurangnya satu kondisi
atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif keberlangsungan usaha
perusahaan tercatat sebagai emiten terbuka, dan perusahaan tercatat tidak dapat
menunjukan indikasi pemulihan yang memadai. Berikut adalah grafik yang
menunjukan tingkat saham yang telah di-delisting dari Bursa Efek Indonesia
tahun 2011-2015 :
4
Universitas Sumatera Utara
Saham delisting
8
6
4
Saham delisting
2
0
2011 2012 2013 2014 2015
Gambar 1.2
Grafik Saham Delisting 2011-2015
Sumber : www.sahamok.com, data diolah
Grafik diatas menjelaskan pada tahun 2011 BEI telah men-delisting 5
perusahaan yang terdiri dari perusahaan New Century Development Tbk, Aqua
Golden Mississippi Tbk, Dynaplast Tbk, Anta Express Tour and Travel Services
Tbk, dan Alfa Retailindo Tbk. Di tahun 2012 BEI men-delisting 4 perusahaan
yang terdiri dari perusahaan Multibreeder Adirama Indonesia Tbk, Katarina
Utama Tbk, Suryainti Permata Tbk, dan Surya Intirindo Makmur Tbk. Tahun
2013, BEI kembali men-delisting 7 perusahaan yang terdiri dari perusahaan Indo
Setu Bara Resources Tbk, Indosiar Karya Media Tbk, Amstelco Indonesia Tbk,
Dayaindo Resources Internasional Tbk, Panasia Filamen Inti Tbk, Panca
Wirasakti Tbk dan Surabaya Agung Industri Pulp dan Kertas Tbk. Pada tahun
2014 terjadi penurunan tingkat delisting saham perusahaan tercatat, hal ini
dikarenakan BEI hanya men-delisting 1 perusahaan saja yaitu perusahaan Asia
Natural Resources Tbk. Dan di tahun 2015, BEI men-delisting 3 perusahaan yaitu
Davomas Abadi Tbk, Bank Ekonomi Raharja Tbk, dan Unitex Tbk. Dari data-data
5
Universitas Sumatera Utara
diatas secara keseluruhan pada tahun 2011-2015 Bursa Efek Indonesia sudah
men-delisting 9 perusahaan manufaktur yang disebabkan karena perusahaan
tersebut tidak memiliki keberlangsungan usaha (going concern). Berikut adalah
tabel perusahaan manufaktur yang di-delisting dari BEI periode 2011-2015 :
Tabel 1.1
Perusahaan Manufaktur yang dide-listing dari BEI 2011-2015
No
Nama Perusahaan
1
Aqua Golden Mississippi Tbk
2
3
Dynaplast Tbk
Karwell Indonesia Tbk
Multibreeder Adirama Indonesia
Tbk
Surya Intrindo Makmur Tbk
Pan Asia Filament Inti Tbk
Surabaya Agung Industri Pulp &
Kertas Tbk
Davomas Abadi Tbk
Unitex Tbk
4
5
6
7
8
9
IPO
Delisting
01 Maret 1990
01 April 2011
05 Agustus 1991
17 Mei 2001
27 Juli 2011
03 Mei 2012
28 Februari 1994
02 Juli 2012
28 Maret 2000
01 Januari 2000
03 Desember 2012
14 Maret 2013
03 Mei 1993
31 Oktober 2013
22 Desember 1994
16 Juni 1989
21 Januari 2015
07 Desember 2015
Sumber :www.sahamok.com, data diolah
Tabel diatas menjelaskan dalam kurun waktu 5 tahun terdapat 9 (sembilan)
perusahaan
manufaktur
yang
harus
di-delisting
dari
Bursa
Efek
Indonesia.Penyebab perusahaan – perusahaan diatas di-delisting ada banyak
faktor, salah satu contohnya seperti yang dialami perusahaan Davomas Abadi
Tbk. Davomas merupakan emiten produsen coklat yang terpaksa harus didelisting karena terlambat menyampaikan laporan keuangannya selama dua tahun
berturut-turut.Keterlambatan pelaporan ini dikarenakan kinerja perusahaan yang
semakin terpuruk dalam dua tahun terakhir akibat mengalami kerugian.
Disamping itu, perusahaan juga dilanda permasalahan gagal bayar obligasi senilai
6
Universitas Sumatera Utara
US$198 juta, yang telah jatuh tempo pada 2014 lalu dengan kupon sebesar 11%.
Hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa perusahaan telah mengalami
financial distress.
Kebangkrutan suatu perusahaan dapat dilihat dan diukur melalui laporan
keuangannya.Agar
informasi laporan keuangan yang tersaji menjadi lebih
bermanfaat dalam pengambilan keputusan, maka data keuangan harus dikonversi
menjadi informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan ekonomis. Untuk
membuktikan bahwa laporan keuangan bermanfaat maka perlu dilakukan
penelitian. Salah satu penelitian yaitu dengan cara menggunakan rasio-rasio
keuangan untuk memprediksi kinerja keuangan perusahaan seperti kebangkrutan
dan financial distress.
Menurut Platt dan Platt (2002) financial distress yaitu “suatu proses
menurunnya posisi financial perusahaan yang dialami sebelum perusahaan
bangkrut ataupun mengalami likuidasi.” Menurut Brahmana (2007) kesulitan
keuanganterjadi karena kurangnya kemampuan entitas dalam mengerjakan dan
menjaga stabilitas kinerja keuangan sehingga mengakibatkan suatu entitas berada
dalam kondisi kerugian operasional dan bersih untuk periode bersangkutan.Dalam
penelitian Triwahyuningtias (2012) menjelaskan kondisi financial distress dapat
dimulai dari kesulitan likuiditas (jangka pendek) sebagai indikasi financial
distress yang paling ringan, sampai kepernyataan kebangkrutan yang merupakan
financial distress yang paling berat.
7
Universitas Sumatera Utara
Dengan mengetahui kondisi financial distress perusahaan sejak dini
diharapkan dapat dilakukan tindakan-tindakan untuk mengantisipasi kondisi yang
mengarah pada kebangkrutan.Analisa laporan keuangan dapat menjadi salah satu
alat yang dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan.Laporan keuangan
dapat dijadikan dasar untuk mengukur kesehatan suatu perusahaan melalui rasiorasio keuangan yang ada. Kesehatan perusahaan akan mencerminkan kemampuan
perusahaan dalam menjalankan usahanya, distribusi aktivannya, keefektifan
penggunaan aktivanya, hasil usaha atau pendapatan yang telah dicapai, bebanbeban tetap yang harus dibayar, serta potensi kebangkrutan yang akan dialami.
Oleh karena itu, rasio keuangan bermanfaat dalam memprediksi kebangkrutan
bisnis untuk periode satu sampai lima tahun sebelum bisnis tersebut benar-benar
bangkrut (Nasser dan Aryati, 2000).
Platt
dan
Platt
(2002)
menyatakan
kegunaaninformasijikasuatuperusahaanmengalamifinancialdistressadalah:
1.Dapat mempercepat tindakan manajemen untuk mencegah masalah
sebelumterjadi kebangkrutan.
2.Pihak manajemendapat mengambil tindakan merger atau takeover agar
perusahaan lebih mampu untuk membayar hutang dan mengelola
perusahaan dengan lebih baik.
3.Memberi tanda peringatan dini/awal adanya kebangkrutan pada masa
yang akan datang.
Penelitian yang dilakukan oleh Altman (1968) dalam Luciana (2003)
merupakan penelitian awal yang mengkaji pemanfaatan analisis rasio keuangan
sebagai alat dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan.Altman menggunakan
8
Universitas Sumatera Utara
teknik statistik (analisis diskriminan berganda - multiple discriminant analysis)
untuk menghasilkan alat yang merupakan fungsi linier dari beberapa variabel
penjelas.Alat prediksi ini menggolongkan atau memprediksi kemungkinan
bangkrut atau tidak bangkrutnya perusahaan.
Altman menemukan adanya lima rasio keuangan yang dapat digunakan
dalam mendeteksi kebangkrutan perusahaan dua tahun sebelum perusahaan
tersebut bangkrut. Kelima rasio tersebut terdiri dari : cash flow to total debt, net
income to total assets, total debt to total assets, working capital to total assets ,
dan current ratio. Masing –masing rasio tersebut mencerminkan tingkat likuiditas,
usia perusahaan dan profitabilitas kumulatif, profitabilitas, struktur keuangan, dan
tingkat perputaran modal. Altman menyatakan jika perusahaan memiliki indeks
kebangkrutan 2,99 atau lebih maka perusahaan tidak termasuk dalam kategori
yang akan mengalami kebangkrutan. Sedangkan perusahaan yang memiliki indeks
kebangkrutan 1,81 atau kurang maka perusahaan termasuk dalam kategori
perusahaan bangkrut.
Pada penelitian Almilia dan Kristijadi (2003) telah menjelaskan beberapa
cara yang telah dilakukan penelitian terdahulu untuk menguji apakah
suatuperusahaanmengalamifinancialdistress yaitu dapatditentukandengan cara,
seperti :
1. Lau
(1987)
dan
Hill
et
al.
(1996)
menggunakan
adanya
pemberhentian tenaga kerja atau menghilangkan pembayaran deviden.
9
Universitas Sumatera Utara
2. Asquith, Gertnerdan Scharfstein (1994) menggunakan interest coverage
ratio untuk mendefinisikanfinancial distress.
3. Whitaker(1999)mengukurfinancialdistressdengancaraadanya
arus
kas
yang lebih kecil dari utang jangka panjang saat ini.
4. John, Langdan Netter (1992) mendefinisikan financial distress sebagai
perubahan harga ekuitas.
Padasisilain,PlattdanPlatt(2002)melakukanpenelitian
terhadap24perusahaanyangmengalamifinacialdistressdan6
perusahaanyangtidakmengalamifinacialdistress, dengan menggunakan
model
logit mereka berusaha untuk menentukan rasio keuangan yang paling dominan
untuk
memprediksi
Variabelnet
adanya
income/sales
financialdistress.
memilikihubungan
Temuandaripenelitianadalah:
negatifterhadapkemungkinan
perusahaanakanmengalami financialdistress.Semakinbesarrasio ini maka semakin
kecil kemungkinan perusahaan mengalami financial distress.Sedangkan variabel
current liabilities / total assets memilikihubungan positif terhadap kemungkinan
perusahaanakanmengalami
financialdistress.
Semakinbesarrasio
ini
maka
semakin besar kemungkinan perusahaan mengalami financial distress.
Selain menggunakan rasio keuangan perusahaan, faktor lain yang dapat
digunakan untuk memprediksi terjadinya kondisi
financial distress pada
perusahaan yaitu dengan menggunakan struktur corporate governance yang ada
didalam perusahaan. Menurut Monks dan Minow (2001) corporate governance
merupakan “tata kelola perusahaan yang menjelaskan hubungan antara berbagai
partisipan dalam perusahaan yang menentukan arah dan kinerja perusahaan.” Hal
10
Universitas Sumatera Utara
ini menjelaskan bahwa kinerja dan nilai perusahaan dapat ditingkatkan melalui
penerapan corporate governance yang baik didalam perusahaan.Karena salah
satu faktor yang dapat menyebabkan perusahaan berada dalam kondisi financial
distress yaitu kegagalan strategi corporate governance yang diterapkan dalam
perusahaan tersebut.
Beberapa hasil penelitian terdahulu telah menunjukkan hasil yang
berbeda-beda mengenai pengaruh rasio keuangan dan struktur corporate
governance dalam memprediksi kondisi financial distress seperti penelitian yang
dilakukan oleh Hapsari (2012) yang meneliti mengenai rasio keuangan dalam
memprediksi kondisi financial distress perusahaan manufaktur di BEI
menunjukan hasil bahwa rasio likuiditas (current ratio) dan rasio profitabilitas
(profit margin on sales) tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi financial
distress perusahaan sedangkan rasio profitabilitas (return on assets) dan rasio
leverage (current liabilities total asset) berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap kondisi financial distress perusahaan. Disamping itu, penelitian lainnya
yang dilakukan Triwahyuningtyas (2012) yang meneliti tentang pengaruh struktur
kepemilikan, ukuran dewan, komisaris independen, likuiditas dan leverage
terhadap terjadinya kondisi financial distress menunjukkan hasil bahwa struktur
kepemilikan, ukuran dewan direksi, likuiditas dan leverage memiliki pengaruh
signifikan terhadap kemungkinan financial distress. Sedangkan ukuran dewan
komisaris dan komisaris independen tidak memiliki pengaruh terhadap financial
distress.
11
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Merkusiwati (2014) yang
meneliti mengenai pengaruh mekanisme corporate governance , likuiditas,
leverage, dan ukuran perusahaan pada financial distress menunjukan hasil bahwa
ukuran perusahaan memiliki pengaruh negatif dan signifikan pada financial
distress. Sedangkan mekanisme corporate governance, likuiditas, dan leverage
tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap financial distress.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Hanifah dan Purwanto (2013) yang
meneliti mengenai pengaruh struktur corporate governance dan financial
indicators terhadap kondisi financial distress telah menunjukan hasil yang
berbeda pula. Penelitian ini menunjukan hasil bahwa ukuran dewan direksi,
kepemilikan manajerial, kepemilikan intitusional, leverage, dan operating
capacity berpengaruh terhadap financial distress.Sedangkan ukuran dewan
komisaris, komisaris
independen, ukuran komite audit, likuiditas, dan
profitabilitas tidak berpengaruh terhadap financial distress.
Berdasarkan perbedaan hasil penelitian terdahulu dan masalah yang terjadi
yang telah dijelaskan diatas, penulis merasa tertarik meneliti kembali dan
mengambil serta menggabungkan beberapa variabel dari peneliti terdahulu yang
paling berpengaruh dalam memprediksi kemungkinan terjadinya financial distress
kemudian mereplikasinya, selanjutnya penulis tuangkan dalam skripsi yang
berjudul :
“Pengaruh Rasio Keuangan, Struktur Corporate Governance dan
Ukuran Perusahaan terhadap Financial Distress (Studi Empiris pada
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Periode 2011-2014)”.
12
Universitas Sumatera Utara
1.2.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah
dalam penelitian ini menjadi:
1. Apakah likuiditas, leverage , profitabilitas dan rasio aktivitas berpengaruh
terhadap financial distress baik secara simultan maupun parsial pada
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)?.
2. Apakah komisaris independen, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan
institusional berpengaruh terhadap financial distress baik secara simultan
maupun parsial pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI)?.
3. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap financial distress pada
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)?.
4. Apakah likuiditas, leverage , profitabilitas, rasio aktivitas, komisaris
independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional , dan
ukuran perusahaan berpengaruh terhadap financial distress secara simultan
pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
(BEI)?.
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penelitian yang dibuat penulis
adalah.
1. Untuk mengetahui likuiditas, profitabilitas, leverage, dan ukuran
perusahaan berpengaruh terhadap financial distress baik secara simultan
13
Universitas Sumatera Utara
maupun parsial pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI).
2. Untuk mengetahui apakah komisaris independen, kepemilikan manajerial,
dan kepemilikan institusional berpengaruh terhadap financial distress baik
secara simultan maupun parsial pada perusahaan manufaktur yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
3. Untuk mengetahui apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap
financial distress pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia (BEI).
4. Untuk mengetahui apakah likuiditas, leverage , profitabilitas, rasio
aktivitas, komisaris independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan
institusional , dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap financial
distress secara simultan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI).
1.4.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak,
diantaranya berikut ini:
a) Bagi Peneliti
Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan wawasan dan
pengetahuan yang lebih, khususnya mengenai bidang penelitian yaitu
pengaruh likuiditas, leverage, profitabilitas, rasio aktivitas, komisaris
14
Universitas Sumatera Utara
independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan ukuran
perusahaan terhadap financial distress
b) Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan referensi dalam
melakukan penelitian sejenis serta menambah pengetahuan dan bukti
empiris tentang financial distress dan faktor yang mempengaruhinya.
c) Bagi Investor dan Calon Investor
Penelitian ini diharapkan dapat membantu investor untuk menilai kondisi
keuangan suatu perusahaan. Melalui informasi tersebut, investor dapat
lebih bijak mengambil sebuah keputusan investasi, apakah akan
melakukan investasi dengan membeli saham perusahaan atau akan
menjual saham yang sudah dimiliki.
d) Bagi Manajemen Perusahaan
Penelitian ini dapat memberikan peringatan dini jika perusahaan sudah
menunjukkan gejala-gejala financial distress.Melalui informasi tersebut
perusahaan
dapat
mulai
melakukan
tindakan-tindakan
untuk
mengantisipasi sehingga tidak sampai masuk ke dalam kondisi financial
distress.
15
Universitas Sumatera Utara