Analisis Implementasi Kebijakan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir Dan Anak Balita Di Kota Banda Aceh Tahun 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Teori Kebijakan Publik
Kebijakan adalah sarana yang dengannya tujuan akan dicapai. Kebijakan
meliputi pedoman, aturan dan prosedur yang ditetapkan untuk mendukung upayaupaya pencapaian tujuan yang tersurat.Kebijakan adalah panduan untuk mengambil
keputusan dan menangani situasi-situasi yang repetitive atau berulang-ulang (Davis.
2011).
Definisi Kebijakan Publik menurut Robert Eyestone (1971) dan Thomas R.
Dye, (1984), yang

dirangkum

oleh

Budi Winarno (2007) dalam bukunya

“Kebijakan Publik” adalah :
1. Hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Eyestone. R.(1971).
2. Apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Dye,
Thomas R. (1984).

Dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi
Kinerja, Dan Revisi Kebijakan Publik Di lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan
Daerah, pengertian umum dari kebijakan adalah keputusan yang dibuat suatu lembaga
pemerintah atau organisasi dan bersifat mengikat para pihak yang terkait dengan
lembaga tersebut.

2.2.Pengertian Implementasi Kebijakan Publik
Grindle (1980) menyatakan, implementasi merupakan proses umum tindakan
administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Sedangkan Van Meter
dan Horn menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok
yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan. Grindle (1980) menambahkan bahwa
proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan,
program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk
mencapai sasaran (Winarno. 2007).
Implementasi kebijakan adalah suatu kegiatan atau proses pelaksanaan atau
penerapan

kebijakan


publik

yang

telah

ditetapkan

(Permenpan

Nomor

PER/04/M.PAN/4/2007).

2.3.Perspektif Implementasi Kebijakan
Dalam bukunya Public Policy, Nugroho (2009) memberi makna implementasi
kebijakan sebagai “cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.Tidak lebih
dan tidak kurang”. Ditambahkan pula, bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan
publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu: langsung mengimplementasikan

dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari
kebijakan publik tesebut. Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1. Sekuensi Implementasi Kebijakan (Nugroho R, 2009)
Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah adalah
jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering
diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung
operasional antara lain Keppres, Inpress, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah,
Keputusan Kepala Dinas dan lain-lain. Implementasi kebijakan adalah hal yang
paling berat, karena di sini masalah-masalah yang tidak dijumpai dalam konsep,
muncul di lapangan.Selain itu, ancaman utama adalah konsistensi implementasi.
Sebagian besar negara berkembang mempunyai masalah yang sama yaitu
implementasi dilaksanakan tanpa pertimbangan waktu. Apabila kebijakan tersebut
bersifat darurat, tidak diperlukan waktu untuk sosialisasinya. Namun, apabila tidak
darurat, sebaiknya perlu melakukan proses yang wajar (Nugroho, 2009).

Sosialisasi
Kebijakan

Penerapan kebijakan tanpa sanksi

(6-1 tahun) disertai perbaikan
kebijakan (policy refinement)

Penerapan dengan sanksi disertai
pengawasan dan pengendalian

Evaluasi kebijakan (pada akhir
tahun ke 3 dan/atau ke 5
sejak diterapkan dengan

Gambar 2.2. Proses
PER/04/M.PAN/4/2007)

Implementasi

Kebijakan

(Permenpan

Nomor


Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan perspektif
proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, program pemerintah
dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan
pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara lain cara
pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Sedangkan
pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil manakala program membawa
dampak seperti yang diinginkan. Suatu program mungkin saja berhasil dilihat dari
sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau
sebaliknya (Winarno, 2007).

2.4.Model dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan
Untuk memperkaya pemahaman kita tentang berbagai variabel yang terlibat di
dalam implementasi, maka akan dikolaborasi beberapa model implementasi kebijakan
di bawah ini :
2.4.1.Model Donal S. Van Meter & Carl E. Van Horn
Ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni (1)
Standar dan sasaran kebijakan; (2) Sumberdaya implementasi; (3) Komunikasi antar
organisasi; (4) Karakteristik agen pelaksana; (5) Disposisi implementor; (6)
Lingkungan kondisi sosial, ekonomi dan politik.

2.4.2.Model Danielle A.Mazmanian & Paul A. Sabatier
Kebijakan publik dipengaruhi oleh tiga kelompok variabel, yaitu (1)
Karakteristik masalah; (2) Karakteristik kebijakan / undang-undang; (3) Variabel
lingkungan.
2.4.3.Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn
Model implementasi kebijakan berdasarkan konsep manajemen strategis yang
mengarah pada praktek manajemen yang sistematis dan tidak meninggalkan kaidahkaidah pokok.Kelemahannya, konsep ini tidak secara tegas menunjukkan mana yang
bersifat politis, strategis dan teknis atau operasional.
2.4.4.Model Malcom Goggin, Ann Bowman dan James Lester
Model ini mengembangkan apa yang disebut sebagai “Communication model”
untuk implementasi kebijakan ini bertujuan mengembangkan sebuah model
implementasi kebijakan yang lebih ilmiah dengan mengedepankan pendekatan

metode penelitian dengan adanya variabel independent, intervening dan dependent
dan meletakkan faktor komunikasi sebagai penggerak dalam implementasi kebijakan.
2.4.5.Model Marille S. Grindle
Ada dua

variabel


kebijakan (content

yang

fundamental yang mempengaruhi, yakni isi

of policy)

dan lingkungan implementasi (context of

implementation). Variabel tersebut mencakup hal sebagai berikut, yaitu: (1) sejauh
mana kepentingan kelompok atau sasaran atau target group termuat dalam isi
kebijakan publik; (2) jenis manfaat yang diterima target group; (3) sejauh mana
perubahan yang diinginkan oleh kebijakan.
2.4.6.Model Richard Elmore, Michael Lipsky dan Benny Hjern & David
O`Porter
Model ini dimulai dari mengidentifikasi jaringan aktor yang terlibat dalam
proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka : tujuan, strategi, aktivitas, dan
kontak-kontak yang dimiliki.
2.4.7.Model G. Shabbir Cheema & Dennis A. Rondinelli

Menurut G. Shabbir Cheema dan Dennis A Rondinelli ada empat kelompok
variabel dapat mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program, yaitu (1) kondisi
lingkungan; (2) hubungan antar organisasi; (3) sumber daya organisasi untuk
implementasi program; (4) karakteristik dan kemampuan agen pelaksana.
2.4.8.Model David L. Wiener & Aidan R. Vinning
Ada tiga kelompok variable besar yang dapat mempengaruhi keberhasilan
implementasi program kebijakan, yaitu (1) Logika dari suatu kebijakan; (2) Sebuah

kebijakan harus sesuai dengan tuntutan lingkungan; (3) Kemampuan implementor
(Purwitasari, 2012).
2.4.9.Model George C. Edwards III
Implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau
pendekatan. Salah satunya ialah implementation problems approach yang
diperkenalkan oleh Edwards III (1980). Edwards III mengajukan pendekatan masalah
implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni:
(i) faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan? dan (ii) faktor
apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan? Berdasarkan kedua
pertanyaan tersebut dirumuskan empat faktor yang merupakan syarat utama
keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi
atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi.Empat

faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan
(Mulyono. 2009).
Empat faktor yang mempengaruhi model implementasi kebijakan yang
berpekstif top down iniyaitu:
a. Komunikasi
Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus diinformasikan
kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi
implementasi.
b. Sumber Daya
Dalam implementasi kebijakan harus ditunjang oleh sumber daya, baik

sumber daya manusia, material dan metoda.
c. Disposisi
Karakteristik, sikap yang dimiliki oleh implementor kebijakan, seperti
komitmen, kejujuran, komunikatif, cerdik dan bersifat demokratis.
d. Struktur Birokrasi
Organisasi menyediakan peta sederhana untuk menunjukkan secara umum
kegiatan-kegiatannya

dan


jarak

dari

puncak

menunjukkan

status

relatifnya.Garis-garis interaksi formal yang ditetapkan (Mulyono. 2009).

Komunikasi

Sumberdaya
Implementasi
Disposisi

Struktur

Birokrasi

Gambar 2.3. Empat Faktor yang Memengaruhi Implementasi
(Edwards III, 1980)

Setelah mengetahui model-model implementasi kebijakan, masalah penting
adalah model mana yang terbaik yang hendak dipakai?Jawabannya adalah tidak ada
model terbaik.Setiap jenis kebijakan publik memerlukan model implementasi
kebijakan yang berlainan. Namun sebenarnya, pilihan yang paling efektif adalah jika
kita bisa membuat kombinasi implementasi kebijkan publik yang partisipasitif,
artinya bersifat top-downer dan bottom-upper. Model seperti ini biasanya lebih dapat
berjalan secara efektif, berkesinambungan dan murah (Nugroho R. 2009).

2.5.Qanun KIBBLA Kota Banda Aceh
Pemerintah Kota Banda Aceh telah menerbitkan peraturan daerah atau qanun
nomor 17 tahun 2011 Tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir dan Anak Balita
(KIBBLA) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan anak serta
menurunkan angka kematian ibu dan bayi melalui peningkatan kualitas pelayanan.
Tujuan diterbitkan qanun ini dapat dilihat sesuai dengan pasal 3
dijelaskan yaitu :
“Tujuan penyelenggaraan pelayanan KIBBLA adalah :
a) Terwujudnya peningkatan kualitas KIBBLA;
b) Tercapainya penurunan angka kematian ibu melahirkan dan bayi baru
lahir dan anak balita melalui peningkatan kualitas pelayanan;
c) Terbangunnya partisipasi masyarakat dalam pelayanan KIBBLA; dan
d) Terjadinya perubahan perilaku masyarakat, pemerintah dan pemberi jasa
pelayanan kesehatan yang kurang menguntungkan KIBBLA.”
Sosialisasi Qanun KIBBLA ini harus dapat disampaikan kepada masyarakat
sebagai pengguna layanan, dimana masyarakat harus tahu apa yang menjadi hak dan
kewajibannya. Hal ini dijelaskan dalam pasal-pasal berikut :

Pada pasal 7 dijelaskan bahwa :
“Setiap Ibu berhak :
a) Mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik selama masa kehamilan;
b) Mendapatkan bantuan persalinan dari tenaga kesehatan yang terampil
dan terlatih sesuai standar pelayanan kesehatan kebidanan;
c) Mendapatkan pelayanan kesehatan masa nifas; dan
d) Menolak pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga dan sarana
kesehatan yang tidak memiliki kompetensi dan sertifikasi.”
Pemerintah Kota Banda Aceh mempunyai tanggung jawab dalam upaya untuk
menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Hal ini dapat dilihat pada pasal 6 yaitu :
“Pemerintah Kota bertanggungjawab untuk menurunkan angka kematian ibu
dan angka kematian bayi, serta meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
yang dilaksanakan melalui optimalisasi pelayanan KIBBLA”
Pada pasal 9 dijelaskan bahwa, Pemerintah Kota Banda Aceh mempunyai
kewajiban sebagai berikut :
“Pemerintah Kota wajib :
a) Melakukan perencanaan dan penganggaran terhadap pelayanan KIBBLA;
b) Memberikan bimbingan, penerangan dan penyuluhan kepada masyarakat
mengenai pentingnya KIBBLA;
c) Menyediakan pelayanan KIBBLA yang terjangkau dan berkualitas bagi
ibu, bayi baru lahir dan anak balita secara berjenjang dan
berkesinambungan;
d) Menyediakan kebutuhan tenaga, alat dan lainnya terutama untuk sarana
pelayanan kesehatan Pemerintah Kota sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan keuangan daerah;
e) Melakukan pengaturan, pembinaan dan pengawasan dalam bidang
pelayanan KIBBLA;
f) Mengupayakan pembebasan pembiayaan pelayanan KIBBLA untuk
penduduk miskin dan tidak mampu sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan
g) Melakukan kemitraan dengan pihak swasta guna meningkatkan derajat
KIBBLA.”
Pemerintah Kota Banda Aceh juga berkewajiban untuk memberikan
pelayanan KIBBLA yang berkualitas, ini jelaskan pada pasal 22 yaitu :

“Jaminan Pelayanan KIBBLA
1) Pemerintah Kota memberikan jaminan pelayanan KIBBLA yang
berkualitas meliputi:
a. Pelayanan KIBBLA di Puskesmas dan jaringannya;
b. Pelayanan kegawatdaruratan dasar kebidanan dan bayi di
Puskesmas PONED; dan
c. Pelayanan kegawatdaruratan komprehensif kebidanan dan bayi di
RSU PONEK.
2) Pelaksanaan jaminan pelayanan KIBBLA sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan partisipasi aktif masyarakat.“
Pemerintah Kota Banda Aceh juga bertanggung jawab terhadap penyediaan
anggaran, dan pemenuhan serta peningkatan kapasitas SDM pelayanan, seperti yang
dijelaskan pada pasal berikut.
Pasal 35 menjelaskan tentang pembiayaan :
“Penyelenggaraan pelayanan KIBBLA yang merupakan tanggungjawab
Pemerintah Kota dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota
dan sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat.”

2.6.Kebijakan Upaya Meningkatkan Derajat Kesehatan Ibu dan Anak
Program Kesehatan Ibu dan Anak merupakan salah satu prioritas utama
pembangunan kesehatan di Indonesia.Program ini bertanggung jawab terhadap
pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu melahirkan dan bayi neonatal.Salah satu
tujuan program ini adalah menurunkan kematian dan kejadian sakit pada ibu dan anak
melalui peningkatan mutu pelayanan dan menjaga kesinambungan pelayanan dasar
dan pelayanan rujukan primer (Sistiarani et.al. 2014).
Indonesia sebelumnya merupakan negara yang agresif melakukan kebijakan
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).Sejak WHO meluncurkan Safe Motherhood

Iniatiative pada tahun 1987, pemerintah Indonesia langsung merespon agenda WHO
dalam kebijakan pembangunan KIA melalui strategi Making Pregnancy Safer (MPS)
(Kemenkes,

2001).Indonesia

juga

merespon

cepat

inisiatif

pembangunan

kependudukan global (International Conference Population and Development/ICPD)
yang pertama kali diadakan di Kairo, Mesir tahun 1994.Salah satu poin yang menjadi
rujukan bagi pemerintah Indonesia adalah mengenai hak remaja untuk memperoleh
pelayanan reproduksi termasuk juga mendapatkan pelayanan konseling yang benar.
Selama dua dekade 1980 - 2000 Indonesia merupakan negara yang sukses dalam
menata program KIA. (Nurizka dan Saputra, 2013).
Upaya untuk mempercepat penurunan AKI telah dimulai sejak akhir tahun
1980-an melalui program Safe Motherhood Initiative yang mendapat perhatian besar
dan dukungan dari berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri (Kementerian
Kesehatan. 2010).
Di Indonesia Safe Motherhood Initiative ditindaklanjuti dengan peluncuran
Gerakan Sayang Ibu di tahun 1996 oleh Presiden yang melibatkan berbagi sektor
pemerintahan di samping sektor kesehatan. Salah satu program utama yang ditujukan
untuk mengatasi masalah kematian ibu adalah penempatan bidan di tingkat desa
secara besar besaran yang bertujuan untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan
ibu dan bayi baru lahir ke masyarakat (Kementerian Kesehatan, 2013).
Kemudian pada tahun 2000 pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium
di New York lahirlah suatu kebijakan tingkat internasional yang disebut dengan
Target Pembangunan Millenium 2015 atau yang sering disebut sekarang “Millenium

Development Goals 2015”. Saat itu Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan 189
negara lain, berkumpul untuk menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York
dan menandatangani Deklarasi Milenium. Deklarasi berisi sebagai komitmen negara
masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 buah sasaran
pembangunan dalam Milenium ini (MDGs), sebagai satu paket tujuan terukur untuk
pembangunan dan pengentasan kemiskinan.
Dalam upaya pencapaian target MDGs tersebut, Kementerian Kesehatan RI
memperkuat strategi intervensi sektor kesehatan untuk mengatasi kematian ibu
dengan mencanangkan strategi Making Pregnancy Safer dengan menetapkan target
pencapaian MDGs 4 dan 5 untuk Indonesia pada tahun 2015 yaitu AKI sebesar 102
per 100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup dan
AKABA sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan, 2010).
Pada tahun 2008, Departemen Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal
Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota yang bertujuan untuk memenuhi pelayanan
kesehatan yang paling mendasar dan esensial pada tingkat yang paling minimal
secara nasional, sehingga dapat mengurangi kesenjangan pelayanan kesehatan yang
termasuk didalamnya pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Pada tahun 2012, diterbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif untuk mendukung
upaya menurunkan angka kematian bayi. Untuk mendukung keberhasilan program
pemberian ASI Eksklusif diharapkan dapat tercapai maka salah satu cara yang dapat

dilakukan adalah dengan menerapkan program inisiasi menyusu dini. Inisiasi
menyusu dini atau IMD merupakan program yang sedang gencar dianjurkan pemerintah Indonesia. WHO dan UNICEF telah merekomendasikan inisiasi menyusu
dini sebagai tindakan penyelamatan kehidupan, karena inisiasi menyusu dini dapat
menyelamatkan 22% nyawa bayi sebelum usia 28 hari (Raharjo, 2014).
Ditahun 2012 ini juga diluncurkan program Expanding Maternal and
Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan
neonatal sebesar 25%. Program ini dicanangkan oleh Kemeterian Kesehatan bekerja
sama dengan USAID selama 5 tahun (2012 s/d 2016), program ini dilaksanakan di
provinsi dan kabupaten dengan jumlah kematian ibu dan neonatal yang besar, yaitu
Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi
Selatan. Dasar pemilihan provinsi-provinsi tersebut dikarenakan 52,6% dari jumlah
total kejadian kematian ibu di Indonesia berasal dari enam provinsi tersebut.
Sehingga dengan menurunkan angka kematian ibu di enam provinsi tersebut
diharapkan akan dapat menurunkan angka kematian ibu di Indonesia secara
signifikan (Kementerian Kesehatan, 2013).
Pada tahun 2014, Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Upaya Kesehatan Anak yang bertujuan
untuk meningkatkan pelayanan kesehatan anak dari mulai dalam kandungan sampai
usia

remaja

dan

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Nomor

97

Tahun

2014

TentangPelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Dan
Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta Pelayanan

Kesehatan Seksual. Kemudian yang terakhir adalah diterbitkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi. Dari lingkup
pelayanan kesehatan reproduksi tersebut, masalah kesehatan ibu, infertilitas dan
aborsi menjadi isu yang penting dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan
reproduksi terutama pada kesehatan reproduksi perempuan. Permasalahan kesehatan
ibu menjadi penting karena angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi dan
memerlukan perhatian serta upaya khusus untuk menurunkannya. Sedangkan
infertilitas dan aborsi menjadi isu penting karena sangat terkait dengan aspek
etikolegal.
Beberapa kabupaten lainnya di Indonesia juga telah memiliki regulasi daerah
yang spesifik mengatur tentang penurunan AKI, antara lain Kabupaten Pasuruan di
Jawa Timur, Kabupaten Takalar di Sulawesi Selatan dan Kabupaten Kupang di Nusa
Tenggara Timur (NTT). Kabupaten Pasuruan menurunkan Peraturan Daerah (Perda),
Peraturan Bupati (Perbup) dan Peraturan Desa (Perdes) mengenai KIBBLA
(Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir) pada tahun 2008, dan berhasil menurunkan
berbagai angka indikator kesehatan ibu, anak dan balita, bahkan mendapatkan MDGs
Award pada tahun 2012 dari Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs.
Kabupaten

Takalar

berupaya

menurunkan

Angka

Kematian

Ibu

dengan

mengeluarkan Perda No 2 Tahun 2010 tentang Kemitraan Bidan dan Dukun dan telah
mencapai nol angka kematian ibu, sehingga menjadi daerah percontohan bagi daerah
lain (Nurizka dan Saputra, 2013).

Dikabupaten Sampang, kebijakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan
bayi dicanangkan program yaitu Lima Bebas dan Dua Plus (LIBAS 2+) mencakup (1)
Bebas Kematian Ibu Melahirkan (2) Bebas Kematian Bayi (3) Bebas Gizi Buruk (4)
Bebas Tuberculosis (TBC), dan (5) Bebas bayi yang tidak terimunisasi lengkap,
sedangkan 2+ terdiri dari (1) Pelayanan gratis masyarakat miskin (2) Tuntas
penanganan kusta. Program ini telah disahkan melalui Peraturan Bupati No.24/2011
Tentang LIBAS 2+ dan dibiayai oleh dana bagi hasil cukai tembakau Kabupaten
Sampang tahun 2011 (Imron, 2013).
Di Kabupaten Flores Timur, kebijakan untuk menurunkan kasus kematian ibu
dan bayi dimulai pada akhir tahun 2010melalui Program 2H2 (2 hari sebelum
perkiraan persalinan dan 2 hari sesudah ibu bersalin).Sejak program 2H2 diterapkan,
terlihat kemajuan nyata.Di tahun 2009, terdapat 14 kasus kematian ibu melahirkan.
Angka itu mengalami penurunan signifikan dua tahun setelah adanya 2H2 Center
yakni 10 kasus di tahun 2010 dan 6 kasus di tahun 2011 (Mardiyanti H.I. dkk, 2013).
Pendekatan lainnya yang dapat dilakukan dalam upaya menurunkan kasus
kematian ibu dan bayi melalui pendekatan kebijakan yang mencakup dari hulu ke
hilir dari Perencanaan Program KIA berbasis bukti sampai dengan Kebijakan
menggunakan DAK untuk KIA (Marthias dkk, 2013)

2.7.Teori Kendala atau Theory of Constraint
Teori Kendala atau Theory Of Constraints (TOC) merupakan sebuah filosofi
manajemen yang mula-mula dikembangkan oleh Eliyahu M. Goldratt dan dikenalkan

dalam bukunya, The Goal. Dapat diartikan bahwa TOC adalah suatu pendekatan ke
arah peningkatan proses yang berfokus pada elemen-elemen yang dibatasi untuk
meningkatkan output. Hal ini berdasarkan fakta bahwa, seperti sebuah rantai dengan
link yang paling lemah, dalam beberapa system yang kompleks pada waktu tertentu,
sering terdapat satu aspek dalam system yang membatasi kemampuannya untuk
mencapai lebih banyak tujuannya. Usaha yang berfokus pada masalah dapat
meningkatkan atau memaksimumkan kembali inisiatif yang ada.agar system tersebut
mencapai kemajuan yang signifikan, hambatannya perlu untuk diidentifikasi dan
keseluruhan system perlu diatur. Sesekali elemen proses yang dibatasi diperbaiki,
jaringan paling lemah yang berikutnya dapat ditujukan dalam suatu pendekatan
interaktif (Pujianto A. 2014).

2.8.Landasan Teori
Menurut Davis (2011) Kebijakan adalah sarana yang dengannya tujuan akan
dicapai. Kebijakan meliputi pedoman, aturan dan prosedur yang ditetapkan untuk
mendukung upaya-upaya pencapaian tujuan yang tersurat. Kebijakan adalah panduan
untuk mengambil keputusan dan menangani situasi-situasi yang repetitive atau
berulang-ulang.
Menurut Winarno (2007), Kebijakan Publik adalah :
1. Hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Eyestone (1971).
2. Apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak
dilakukan. Dye dan Thomas (1984).

Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
PER/04/M.PAN/4/2007, Kebijakan Publik adalah keputusan yang dibuat oleh
pemerintah atau lembaga pemerintahan untuk mengatasi masalah tertentu, untuk
melakukan kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan
dengan kepentingan dan manfaat orang banyak. Implementasi adalah suatu kegiatan
atau proses pelaksanaan atau penerapan kebijakan publik yang telah ditetapkan.
Menurut Goerge C. Edwards yang dikutip oleh Winarno (2007), implementasi
kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik, antara pembentukan kebijakan
dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya.
Adaempat faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu komunikasi,
sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.
Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah adalah
jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering
diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung
operasional antara lain Keppres, Inpress, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah,
Keputusan Kepala Dinas dan lain-lain.
Dari penjelasan diatas maka dapat kita tarik benang merah bahwa Qanun Kota
Banda Aceh Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir dan
Anak Balita adalah kebijakan publik yang bertujuan untuk meningkatkan derajat
kesehatan ibu dan anak serta menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Implementasi
qanun ini harus dimulai dengan sosialisasi selama 6 bulan sebelum diterapkan dengan
sanksi setelah 1 tahun berjalan.Qanun ini juga memerlukan kebijakan publik penjelas
dalam bentuk Peraturan Walikota sebagai petunjuk teknis pelaksanaannya. Dalam

proses implementasinya juga dapat dipengaruhi empat faktor yaitu komunikasi,
sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.
Pelaksanaan implementasi Qanun Kota Banda Aceh Nomor 17 Tahun 2011
Tentang Kesehatan Ibu Bayi Baru Lahir dan Anak Balita dalam tiga tahun ini masih
menunjukkan tingginya angka kematian ibu dan bayi bahkan ada kecenderungan
meningkat dari tahun tahun sebelum adanya Qanun tersebut. Hal ini menjadi dasar
pertimbangan untuk dilakukan penelitian implementasi kebijakan dari Qanun tersebut
di atas.

2.9.Kerangka Pikir
Dari landasan teori yang telah dipaparkan diatas, maka penelitian ini berfokus
pada analisis implementasi Qanun Kota Banda Aceh nomor 17 tahun 2011 tentang
Kesehatan Ibu, Bayi Baru dan Anak Balita di Kota Banda Aceh Tahun 2015. Variabel
dalam penelitian ini mengunakan metode implementasi menurut pandangan George
C. Edward III (1980) yang dipengaruhi empat variabel yaitu :
1. Komunikasi
Dalam variabel ini, yang akan dilihat adalah sebagai berikut :
a. Sosialisasi ; Bagaimana sosialisasi qanun ini dilakukan.
b. Kejelasan isi/content ; Penelitian ini ingin melihat kejelasan dari isi atau
pasal-pasal yang ada, apakah sudah jelas dan dapat langsung diterapkan oleh
pelaksana kebijakan (implementor) dan masyarakat sebagai sasaran
pengguna layanan.

c. Metode Pelaksanaan ; Dalam penelitian ini, ingin diketahui apakah ada
metode pelaksanaan atau peraturan pelaksanaan dalam implementasi
kebijakan Qanun ini untuk mencapai tujuannya.
2. Sumber Daya
Dari segi sumber daya, yang ingin diketahui dalam penelitian ini yaitu
a. Anggaran ; Bagaimana dukungan anggaran terhadap pelaksanaan Qanun ini.
b. SDM : Bagaimana kesiapan baik dari kualitas maupun kuantitas dari SDM
sebagai pelaksana kebijakan dari Qanun ini.
c. Sistem Pelayanan dan Rujukan ; Bagaimana mekanisme sistem pelayanan
untuk mendukung tercapainya tujuan dari qanun ini.
3. Disposisi
Pada variabel ini, yang ingin diketahui adalah :
a. Sikap Pelaksana ; Bagaimanakah sikap pelaksana / implementor untuk
mewujudkan tujuan dari kebijakan Qanun ini.
b. Monitoring Evaluasi ; Bagaimana pelaksanaan monitoring dan evaluasi
terhadap Qanun ini.
4. Struktur Birokrasi
Dalam penelitian ini, ingin diketahui juga bagaimana koordinasi yang telah
dilakukan, yaitu
a. Koordinasi Berjenjang ; bagaimanakah koordinasi yang telah dilakukan baik
itu lintas program atau pun lintas sektor untuk mencapai tujuan dari qanun
ini.
b. SOP Kebijakan ; apakah ada SOP kebijakan/kegiatan lainnya yang
mendukung tercapai tujuan dari qanun ini.

Penelitian ini juga ingin mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam
pelaksanaan implementasi Qanun KIBBLA di Kota Banda Aceh Tahun 2015 dengan
menggunakan metode analisis theory of constraint.

Komunikasi :
1. Sosialisasi
2. Kejelasan
isi/content
3. Metode
Sumber Daya
1. Anggaran
2. SDM
3. Sistem Pelayanan
dan rujukan
Disposisi
1. Sikap Pelaksana
2. Monitoring
Evaluasi
Struktur Birokrasi
1. Koordinasi berjenjang
2 SOP Kebijakan
Gambar 2.4. Kerangka Pikir

Implementasi