Kadar hs-CRP pada pasien DM tipe 2 Dengan dan Tanpa Hipertensi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

C-Reaktif Protein (CRP)

2.1.1. Definisi
C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu protein fase akut yang
pada serum normal dijumpai dalam jumlah yang sangat sedikit (1ng/L).
CRP merupakan marker inflamasi sistemik. Kadarnya naik beberapa ribu
kali lipat dalam menanggapi infeksi atau peradangan akut.
2.1.2. Sejarah
Pada tahun 1930 William Tillet dan Thomas Francis di Institut
Rockefeller mengobservasi substansi dalam serum penderita Pneumonia
pneumokokkus. Serum penderita membentuk presipitasi ketika dicampur
dengan Capsular (C) Polisakarida dari dinding sel Pneumococcus.
Aktivitas ‘C-reactive’ ini tidak dijumpai pada orang yang sehat. MacLeod
dan Avery kemudian menemukan substansi ini suatu protein dan
menambahkan nama ‘acute phase’ di akhir. Lofstrom menemukan respon
fase akut yang mirip pada keadaan inflamasi akut dan kronik, dan
kemudian diakui menjadi CRP yaitu protein fase akut nonspesifik.1,16

2.1.3. Struktur dan Sintesis CRP.
CRP merupakan protein fase akut Pentraxin, suatu protein pengikat
kalsium dengan sifat pertahanan imunologis. Molekul CRP terdiri dari 5-6
subunit polipeptida non glikosilat yang identik, terdiri dari 206 residu asam
amino, dan berikatan satu sama lain secara non kovalen, membentuk satu

6

molekul berbentuk cakram (disc) dengan berat molekul 110 – 140 kDa,
setiap unit mempunyai berat molekul 23 kDa.1,17

Gambar 2.1. Struktur CRP
Sumber: W. Saunders (2003)
CRP merupakan marker inflamasi sistemik non spesifik terutama
dihasilkan oleh hepatosit di bawah pengaruh sitokin seperti interleukin -6
(IL-6) dan tumor necrosis factor-alpha (TNF α). CRP secara normal
ditemukan dalam serum manusia dalam jumlah yang sangat sedikit (< 1
mg/L dengan median 0,8 mg/L).1, 17
Eisenhardt dkk pada tahun 2009 menemukan bahwa C-Reactive
Protein terdapat dalam 2 bentuk, yaitu bentuk pentamer (pCRP) dan

monomer (mCRP). Bentuk pentamer dihasilkan oleh sel hepatosit sebagai
reaksi fase akut dalam respon terhadap infeksi, inflamasi dan kerusakan
jaringan. Bentuk monomer berasal dari pentamer CRP yang mengalami
dissosiasi dan mungkin dihasilkan juga oleh sel-sel ekstrahepatik seperti
otot polos dinding arteri, jaringan adiposa dan makrofag.18

7

Gbr 2.2. Peran CRP pada inflamasi vaskular
hs-CRP merupakan pemeriksaan yang dapat mengukur kosentrasi
CRP yang sangat sedikit sehingga bersifat lebih sensitif dengan range
pengukuran 0,1-20 mg/L,baik untuk memeriksa adanya inflamasi derjat
rendah(low level inflammation).Kadar hs-CRP stabil selama jangka waktu
yang lama, stabilitas kimia yang baik, tidak memerlukan tindakan khusus
untuk sampling, memiliki waktu paruh yang relatif panjang (19 jam), tanpa
variasi diurnal. Hal demikan menjadikan CRP digunakan sebagai
biomarker peradangan terdepan untuk aplikasi klinis sehingga dapat
digunakan untuk menegakkan diagnostik inflamasi maupun penyakit
infeksi.,1,4,19
Respon inflamasi berupa aktivasi makrofag dan limfosit T

melepaskan mediator proinflamasi antara lain TNF-α,IL-1dan IL-6 yang

8

dihasilkan oleh makrofag pada luka endotel. Sitokin ini akan merangsang
pembentukan reaktan fase akut, C- reactiveprotein (CRP) di hati.
Sintesa CRP di hati berlangsung sangat cepat, dalam waktu yang
relatif singkat (6-8) jam konsentrasi serum meningkat tajam diatas 5 mg/L
setelah terjadinya reaksi inflamasi, infeksi maupun kerusakan jaringan.
2.1.4. Fungsi Biologis CRP
Fungsi dan peranan CRP di dalam tubuh (in vivo) belum diketahui
seluruhnya, banyak hal yang masih merupakan hipotesis. Meskipun CRP
bukan suatu antibodi, tetapi CRP mempunyai berbagai fungsi biologis
yang menunjukkan peranannya pada proses peradangan dan mekanisme
daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Fungsi biologis CRP diantaranya ialah:20
1. CRP dapat mengikat C-polisakarida (CPS) dari berbagai bakteri
melalui reaksi presipitasi/aglutinasi.
2. CRP dapat meningkatkan aktivitas dan motilitas sel fagosit seperti
granulosit dan monosit/makrofag.

3. CRP dapat mengaktifkan komplemen baik melalui jalur klasik mulai
dengan C1q maupun jalur alternatif.
4. CRP mempunyai daya ikat selektif terhadap limfosit T. Dalam hal ini
diduga CRP memegang peranan dalam pengaturan beberapa
fungsi tertentu selama proses peradangan.
5. CRP mengenal residu fosforilkolin dari fosfolipid, lipoprotein
membran sel rusak, kromatin inti dan kompleks DNA-histon.

9

6. CRP dapat mengikat dan mendetoksikasi bahan toksin endogen

yang terbentuk sebagai hasil kerusakan jaringan.
2.1.5. Cara Pemeriksaan C-Reactive Protein
Ada banyak cara yang dapat dipakai untuk penentuan CRP.
Beberapa cara yang sering dikerjakan di Indonesia terutama di RSUP H.
Adam Malik yaitu:




Cara Aglutinasi Latex.
Imunoassay, biasanya dipakai teknik Double Antibody Sandwich
ELISA.



2.2.

high sensitivityC-Reactive Protein (hs-CRP).
high sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP)
Pemeriksaanhs-CRP dapat mengukur konsentrasi CRP yang

sangat sedikit dengan rentang pengukuran 0,1 – 20 mg/L.17Baik untuk
memeriksa adanya inflamasi derajat rendah (low level inflammation). Pada
dasarnya, tes ini dianjurkan pada orang-orang yang memiliki tingkat risiko
tinggi terhadap penyakit jantung, yaitu pernah mengalami serangan
jantung, memiliki keluarga dengan riwayat penyakit jantung, dislipidemia,
diabetes, hipertensi, wanita menopause, perokok dan obesitas serta
kurang melakukan aktivitas fisik.
AHA / CDC merekomendasikan hs-CRP dengan alasan:

a. hs-CRP adalah indikator global kejadian kardiovaskular di masa
depan pada orang dewasa tanpa riwayat penyakit kardiovaskuler
sebelumnya.

10

b. hs-CRP meningkatkan penilaian risiko dan hasil terapi dalam
pencegahan penyakit kardiovaskular
c. hs-CRP

bermanfaat

sebagai

mengevaluasikemungkinan

marker

kejadian


independen

kardiovaskular

untuk

berulang,

seperti infark miokard ataurestenosis, setelah intervensi koroner
perkutan.
2.2.1. Pemeriksaan Kadar hs-CRP dengan alat Cobas 6000 C 501
analyzer
a. Prinsip dan Metode Pemeriksaan.
Imunoturbidimetri: Merupakan cara penentuan kuantitatif. CRP
dalam serum akan mengikat antibodi spesifik terhadap CRP
membentuk suatu kompleks immun. Kekeruhan (turbidity) yang
terjadi sebagai akibat ikatan tersebut diukur secara fotometris.
Konsentrasi dari CRP ditentukan secara kuantitatif dengan
pengukuran turbidimetrik.21
Gambar 2.3. Prinsip pemeriksaan hs-CRP dengan

metodeParticle Enhanced Immunoturbidimetry

Sumber : Roche Diagnostic GmbH. CRPHS (2011).

11

b. Cara Pemeriksaan Imunoturbidimetri.
Konsentrasi dari CRP ditentukan secara kuantitatif dimana dapat
mengukur kadar sampai < 0,2 mg/L sehingga disebut dengan high
sensitivity C-Reaktive Protein (hs-CRP).Metode berdasarkan reaksi
antara antigen dan antibodi dalam larutan buffer dan diikuti dengan
pengukuran intensitas sinar dari suatu sumber cahaya yang
diteruskan melalui proses imuno presipitasi yang terbentuk dalam
fase cair. Dalam penelitian ini memakai metode imunoturbidimetri
menggunakan reagenC-Reactive Protein (latex) High SensitiveRoche. 21
c. Prosedur pemeriksaanhs-CRP
Sampel ditambah dengan R1 (buffer) kemudian ditambah R2 (latex
antibodi anti CRP) dan dimulai reaksi dimana antibodi anti CRP
yang berikatan dengan mikropartikel latex akan bereaksi dengan
antigen dalam sampel untuk membentuk kompleks Ag-Ab.

Presipitasi dari kompleks Ag-Ab ini diukur secara turbidimetrik.21
2.3.

DIABETES MELITUS

2.3.1. Definisi
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu penyakit kronik yang
ditandai dengan adanya hiperglikemi sebagai akibat berkurangnya
produksi insulin atau gangguan aktifitas dari insulin ataupun keduanya.
Keadaan ini akan mengakibatkan perubahan-perubahan metabolisme
terhadap karbohidrat, lemak maupun protein.22 Hiperglikemia kronik yang
terjadi pada penderita diabetes akan menyebabkan disfungsi dan

12

kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah.
Organ pancreas terdiri dari bagian eksokrin yang merupakan
kelenjar pencernaan dan pancreas endokrin yang merupakan sumber
insulin dan hormon lain seperti glucagon dan somatostatin. Kelenjar

endokrin inilah yang berperan mengatur nutrisi selular mulai dari
kecepatan absorbsi makanan hingga penyimpanannya di tingkat sel.
Disfungsi pancreas endokrin atau respon abnormal dari jaringan sasaran
terhadap

hormon

yang

dihasilkannya

berakibat

gangguan

yang

merupakan sindrom klinis yang disebut Diabetes Melitus.23
2.3.2. Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi DM yang dipakai sekarang ini antara lain klasifikasi DM

menurut ADA (American Diabetes Association) dan WHO (World Health
Organization). Klasifikasi DM yang dipakai di Indonesia menurut
Konsensus PERKENI 2006sesuai dengan klasifikasi DM menurut ADA
1997.24
Klasifikasi DM menurut PERKENI.24
1)

DM tipe 1

2)

DM tipe 2

3)

DM tipe lain: Defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja
insulin, penyakit endokrin pangkreas, Karena obat atau zat kimia
Infeksi, sebab imunologi (jarang). Sindrom genetic lain yang
berkaitan dengan DM

4)

Diabetes Melitus Gestasional.

13

2.3.3. Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus
Gejala klinis berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
merupakan gejala klinis yang khas pada DM. Jika di jumpai pemeriksaan
KGD sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosa DM.
Hasil pemeriksaan KGD puasa ≥ 126mg/dl juga digunakan untuk patokan
diagnosis

DM.

Untuk

kelompok

tanpa

keluhan

khas

DM,

hasil

pemeriksaan KGD yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat
untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut
dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik KGD puasa≥ 126
mg/dl, KGD sewaktu≥ 200 mg/dl pada hari yang lain atau hasil tes
toleransi glukosa oral ( TTGO ) yang abnormal.24
2.4.

Diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2).
DM tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik berupa

hiperglikemi akibat kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas,
gangguan kerja insulin / resistensi insulin, atau keduanya. DM Tipe 2
umumnya mempunyai latar belakang resistensi insulin. Pada awalnya,
resistensi insulin belum menyebabkan diabetes klinis. Sel beta pankreas
masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemi, pada
keadaan ini kadar glukosa darah masih normal atau sedikit meningkat.
Kemudian jika telah terjadi kelelahan sel beta pankreas, baru timbul
diabetes melitus klinis, yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang
meningkat.

25

14

Resistensi insulin ditemukan pada lebih 90 % kasus dan merupakan
penyebab terbanyak pada DM tipe 2.Resistensi insulin awalnya terjadi
pada otot rangka dimana konsentrasi insulin yang lebih besar dibutuhkan
untuk mengangkut glukosa ke dalam sel. Sebagaimana peningkatan
resistensi

insulin,

peningkatan

kompensasi

pada

sekresi

insulin

memungkinkan tubuh untuk mempertahankan konsentrasi glukosa normal
untuk jangka waktu tertentu. Namun, seiring perjalanan penyakit, fungsi βsel pankreas secara bertahap berkurang.26
Insulin memfasilitasi masuknya glukosa kedalam otot, adiposa dan
jaringan lain dengan cara difusi dengan bantuan hexose transporters.
Hormon insulin akan berikatan pada reseptor sel target (insulin reseptor
substrate/IRS) yang kemudian mengaktifasi phosphatydylinositol kinase
(PI-3 kinase) dan sebagai transporter utama untuk uptake glukosa adalah
Glukosa Transporter 4 (GLUT-4). Pada resistensi insulin asam lemak
bebasakan menurunkan signal IRS untuk mengaktifasi PI-3 melalui protein
kinase C sehingga uptake glukosa darah berkurang oleh GLUT-4. Bila hal
ini

terjadi pada

jaringan

adiposa dan

otot

rangka maka akan

menyebabkan peningkatan gula darah 2 jam setelah makan, sedangkan
bila terjadi pada jaringan hati akan menyebabkan peningkatan kadar gula
darah puasa yang terjadi karena proses glukoneogenesis.27
Resistensi insulin berhubungan dengan peningkatan sensitivitas sel β
pankreas dan keadaan hiperinsulinemia merupakan suatu mekanisme
kompensasi. Hal ini terjadi karena hipertropi sel β pankreas disebabkan
oleh rangsangan radikal bebas dari mitokondria pada awalnya sedangkan

15

akhirnya akan menyebabkan gangguan sekresi hormon insulin melalui
percepatan terjadinya proses apoptosis, hal terakhir ini menerangkan
hubungan antara toksisitas lemak dan glukosa yang didasari ketidak
seimbangan produksi radikal bebas dan antioksidan..28
Resistensi insulin juga menyebabkan berbagai kondisi diantaranya
hipertensi yang mengarah pada percepatan proses aterosklerosis.28
2.4.1. Aterosklerosis dan CRP
Aterogenesis merupakan proses keradangan tingkat rendah dan
berkelanjutan yang dimulai sejak usia muda dan berkembang perlahanlahan sampai puluhan tahun. Oleh karena itu pengukuranpetanda
inflamasi

sangat

diperlukan

untuk

memprediksi

resiko

kelainan

kardiovaskular.29
CRP

mempunyai

peran

patofisiologi

langsung

dalam

perkembangan dan progresi aterosklerosis, mekanismenya meliputi
induksi disfungsi endotel, pembentukan sel busa (foam cell), inhibisi
diferensiasi dan survival sel progenitor endotelial dan aktivasi komplemen
pada plak aterosklerotik.29
Adanya reseptor CRP pada monosit dapat membantu penarikan
monosit ke dinding arteri. CRP dapat merangsang makrofag untuk
menghasilkan

tissu

factor

yang

sangat

protrombosis

sehingga

memungkinkan terbentuknya jalur koagulasi dan inflamasi yang saling
berhubungan. Selain itu CRP dapat mengaktivasi komplemen pada
plaque aterosklerosis sehingga bisa menyebabkan instabilitas plaque.
CRP

dapat

menginduksi

ekspresi

16

molekul

adhesi.

CRP

dapat

mensensitisasi sel endotel. Peningkatan CRP berhubungan dengan
disfungsi endotel dan progresifitas aterosklerosis.29
Mekanisme inflamasi memainkan peran sentral dalam semua tahap
aterosklerosis, dari rekrutmen awal leukosit ke dinding arteri hingga
pecahnya plak yang tidak stabil, yang menghasilkan manifestasi klinis.
Paparan

endotel

terhadap

sitokin

proinflamasimenginduksi

terjadinya aktifitas prokoagulasi yang menyebabkan ekspresi molekul
adhesin dan menyebabkan gangguan relaksasi. Perubahan fungsi endotel
ini disebut aktivasi endotel. Peningkatan CRP berhubungan dengan
terjadinya gangguan reaktivitas endotel.29
CRP dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Ikatan CRP pada
ligan dapat mengaktivasi sistem komplemen, menyebabkan penumpukan
C3 pada jaringan. Penumpukn C3 dan aktivasi komplemen pada arteri
sangat berperan pada proses aterogenesis.30
Pada aterosklerosis aktivasi sel-sel imun pada plaque akan
menghasilkan

sitokin

yang

berperan

pada

proses

peradangan.

Interferon,IL-1, TNF yang menginduksi produksi sejumlah IL-6.Sitokinsitokin ini juga diproduksi oleh berbagai jaringan sebagai respon terhadap
infeksi. Interleukin-6 merangsang produksi sejumlah besar protein fase
akut di hepar salah satunya C-Reactive Protein (CRP).30

17

Gambar 2.4. Proses inflamasi yang terlibat pada atherosklerosis.
(sumber: Sevenoaks and Stockley Respiratory Research 2006 7:70)
2.4.2. Kerusakan Endotel dan Aterosklerosis
Hipotesis

terbaru

mengatakan

bahwa

awal

terjadinya

lesi

aterosklerosis yaitu berupa adanya perubahan-perubahan fungsi sel
endotel. Kerusakan endotel menyebabkan perubahan permeabilitas
kapiler, atau perubahan hubungan antara sel endotel dengan jaringan ikat
di bawahnya. Sel endotel dapat terlepas sehingga terjadi hubungan
langsung antara komponen darah dengan dinding arteri. Kerusakan
endotel akan menyebabkan pelepasan growth factor yang akan
merangsang masuknya monosit dan lipid ke dalam pembuluh darah
melalui transport aktif dan pasif. Monosit yang keluar pembuluh darah
akan berubah menjadi makrofag dan memfagosit kolesterol LDL, sehingga

18

akan terbentuk sel busa “foam sel” yang merupakan fatty streak (prekusor
plak aterosklerosis) dan selanjutnya akan menjadi plak fibrosa.30
Aterosklerosis merupakan hasil interaksi yang kompleks dari
berbagai faktor, meliputi disfungsi endotel, perekrutan monosit, inflamasi,
proliferasi sel otot polos, akumulasi dan oksidasi lipid, nekrosis, kalsifikasi
dan trombosis. Aterosklerosis itu sendiri bukanlah suatu penyakit yang
berbahaya,

tetapi

apabila

plak

aterosklerosis

ruptur

dan

terjadi

ketidakseimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme proteksi
maka dapat menyebabkan terjadinya trombosis.30
2.4.3. Aterosklerosis pada penderita DM tipe 2
Kerusakan endotel yang mengawali lesi aterosklerosis pada
penderita DM tipe-2 terjadi akibat hiperglikemi, resistensi insulin dan
hiperinsulinemi, inflamasi trombosis/ fibrinolisis, dislipidemia, hipertensi.
Keadaan

hiperglikemia

dapat

menyebabkan

stres

oksidatif.

Mekanisme yang menyebabkan kerusakan sel akibat hiperglikemia adalah
akibat penumpukan dari spesimen oksigen reaktif ROS (Reactive Oxygen
Species). KGD yang tinggi meningkatkan perbedaan potensial akibat
tingginya proton pada rantai respiratori mitokondria, yang mengakibatkan
perpanjangan

hidup

dari

superoxide-generating

electron

transport

intermediates, sehingga terjadilah penumpukan ROS.31 Saat terjadi
penumpukan ROS ini, menyebabkan kerusakan sel, mekanisme ini
meliputi:

19

1. Peningkatan aliran jalur polyol(Aldosa Reduktase):
Pada normoglikemia, sebagian besar glukosa seluler mengalami
fosforilsasi menjadi glukosa-6-fosfat oleh enzim heksokinase. Bagian kecil
dari glukosa yang tidak mengalami fosforilasi memasuki jalur poliol, yakni
jalur alternatif metabolisme glukosa. Melalui jalur ini, glukosa dalam sel
dapat diubah menjadi sorbitol dengan bantuan enzim aldose reduktase
(AR). Enzim aldose reduktase dapat ditemukan pada sejumlah jaringan
mamalia termasuk lensa dan retina.Enzim tersebut mengkonversi glukosa
menjadi polialkohol sorbitol melalui reduksi gugus aldehid glukosa dalam
keadaan normal, konsentrasi sorbitol di dalam sel rendah. Akan tetapi,
apabila terjadi keadaan hiperglikemia, konsentrasi sorbitol meningkat.
Sorbitol, dengan bantuan enzim sorbitol dehidrogenase (SDH), akan
diubah menjadi fruktosa. Degradasi sorbitol ini berjalan lambat sehingga
sorbitol menumpuk dalam sel, sehingga dapat menyebabkan peningkatan
tekanan osmotik dan selanjutnya dapat merusak sel.31
Masuknya substrat (substrat flux) melalui jalur poliol, selain dapat
meningkatkan kadar sorbitol dan fruktosa intraseluler, juga menurunkan
rasio NADPH terhadap NADP+ Selain itu, rasio NADH terhadap NAD+
sitosolik juga menurun. Berkurangnya NADPH di dalam sel akibat
meningkatnya

AR

dapat

menghambat

aktivitas

enzim

lain

yang

membutuhkan NADPH.31
Hiperglikemia menyebabkan peningkatan konversi glukosa menjadi
sorbitol polialkohol, bersaman dengan penurunan nicotineamid adenosine

20

dinucleotide phosphate (NADPH) dan glutation, meningkatkan sensitivitas
sel terhadap stres oksidatif.31
2.Peningkatan pembentukan advance glycation end product (AGE):
AGEs merupakan salah satu produk sebagai penanda modifikasi
protein akibat dari reaksi gula pereduksi terhadap asam amino. Akumulasi
AGEs di berbagai jaringan merupakan sumber utama radikal bebas
sehingga mampu berperan dalam peningkatan stres oksidatif, serta terkait
dengan patogenesis komplikasi diabetes.
Pada diabetes, akumulasi AGEs secara umum mempercepat
terjadinya aterosklerosis, nefropati, neuropati, retinopati, serta katarak.
Pengikatan

AGEs

terhadap

reseptor

makrofag

spesifik

(RAGEs)

mengakibatkan sintesis sitokin dan faktor pertumbuhan serta peningkatan
stres oksidatif.31,41
3.Aktivasi dari isoform protein kinase C (PKC):
Hiperglikemia menyebabkan peningkatan konversi glukosa menjadi
sorbitol, yang dimetabolisir menjadi fruktosa oleh sorbitol dehidrogenase,
meningkatkan rasio NADH/NAD+. Hal ini menyebabkan triose fosfat yang
teroksidasi dan sintesis de novo dari diacylglycerol (DAG). Peningkatan
DAG mengaktifkan PKC yang akan menimbulkan berbagai efek ekspresi
gen.
4.Peningkatan aliran jalur hexosamine:
Pada

hiperglikemia,

hexosamine-pathway.

glukosa

Produk

akhir

21

semakin
dari

banyak
jalur

ini,

memasuki
UDP-N-

acetylglucosamine,

adalah

substart

yang

diperlukan

untuk

faktor

transkripsi intraseluler, yang mempengaruhi ekspresi dari banyak gen.
Jalur ini berhubungan dengan disfungsi endotelial dan mikrovaskular.
2.5. Hipertensi
2.5.1. Definisi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg.
Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) dan hipertensi
sekunder. Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari
peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder
disebabkan

oleh

penyakit/keadaan

seperti

feokromositoma,

hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit
parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat .31
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure
(JNC VII) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi
menjadikelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2.
Klasifikasi Tekanan
Darah
Normal

Tekanan Sistolik
(mmHg)
< 120

Tekanan Diastolik
(mmHg)
< 80

120-139

80-89

Hipertensi derajat 1

140-159

90-99

Hipertensi derajat 2

≥ 160

≥ 100

Prahipertensi

Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII

The Joint National

Committee on Preventation, Detection

evaluation and treatment of High Blood Preassure dari Amerika Serikat

22

dan badan dunia WHO dengan International Society of Hipertention
membuat definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah seseorang
tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih atau tekanan diastoliknya 90
mmHg atau lebih atau sedang memakai obat anti hipertensi. Pada anakanak, definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah lebih dari 95 persentil
dilihat dari umur, jenis kelamin, dan tinggi badan yang diukur sekurangkurangnya tiga kali pada pengukuran yang terpisah .32
2.5.2. Diagnosis Hipertensi
Diagnosis hipertensi baru dapat ditetapkan setelah dua kali atau
lebih pengukuran pada kunjungan yang berbeda kecuali terdapat
kenaikan yang tinggi atau gejala-gejala klinis. Penegakkan diagnosis
hipertensi adalah dengan melakukan anamnese terhadap keluhan pasien,
riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang.33
Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah
setelah pasien beristirahat 5 menit. Posisi pasien adalah duduk bersandar
dengan kaki di lantai dan lengan setinggi jantung. Ukuran dan letak
manset serta stetoskop harus benar. Ukuran manset standar untuk orang
dewasa adalah panjang 12-13 cm dan lebar 35 cm. Penentuan sistolik
dan diastolik dengan menggunakan Korotkoff fase I dan V. Pengukuran
dilakukan dua kali dengan jeda 1-5 menit. Pengukuran tambahan
dilakukan jika hasil kedua pengukuran sangat berbeda. Konfirmasi
pengukuran pada lengan kontralateral dilakukan pada kunjungan pertama
dan jika didapatkan kenaikan tekanan darah.33

23

2.5.3. Patofisiologi.
Tekanan

darah

arteri

rata-rata

adalah

gaya

utama

untuk

mendorong darah ke jaringan. Tekanan tersebut harus diatur secara ketat
dengan tujuan:1) Dihasilkan gaya dorong yang cukup sehingga otak dan
jaringan lain menerima aliran darah yang adekuat, dan 2) tidak terjadi
tekanan yang terlalu tinggi yang dapat memperberat kerja jantung dan
meningkatkan risiko kerusakan pembuluh darah. Pengaturan tekanan
darah melibatkan integrasi berbagai komponen sistem sirkulasi dan sistem
tubuh lain. Perubahan setiap faktor tersebut akan mengubah tekanan
darah kecuali terjadi perubahan kompensatorik pada variabel lain
sehingga tekanan darah konstan.34
Gbr 2.5 Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah (Sherwood 2001)

24

Berdasarkan bagan tersebut diketahui bahwa tekanan darah
sangat tergantung pada curah jantung (cardiac output) dan resistensi
perifer. Menurut Wilson and Price (2006), besar tekanan darah seseorang
juga dapat dihitung dengan rumus: Di dalam tubuh terdapat baroreseptor
yang

secara

konstan

memantau

tekanan

darah

arteri

rata-rata.

Baroreseptor tersebut adalah sinus caroticus dan baroreseptor arcus
aorta. Setiap perubahan pada tekanan darah akan mencetuskan refleks
baroreseptor yang diperantarai oleh sistem saraf otonom. Tujuan refleks
tersebut adalah penyesuaian curah jantung dan resistensi perifer total
sehingga tekanan darah kembali normal.34
Mekanisme

patofisiologi

yang

berhubungan

dengan

peningkatan

hipertensi esensial antara lain:33
1. Curah jantung dan tahanan perifer
Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang
terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan
berpengaruh

pada

peningkatan

konsentrasi

kalsium

intraseluler.

Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin lama akan mengakibatkan
penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi oleh
angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang
irreversible .
2. Sistem Renin-Angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan
sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah.

25

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin
II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE
memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah.
Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh
hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I
(dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,
angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat
aktif).
Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena
bersifat sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu:
a. Meningkatkan sekresi hormon anti diuretik (ADH) dan rasa haus.
ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal
untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH,
sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis)
sehingga

urin

menjadi

pekat

dan

tinggi

osmolalitasnya.

Untuk

mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan
cara menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah
meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal.
Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal.
Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara

26

meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.
3. Sistem Saraf Otonom.
Sirkulasi sistem saraf simpatik dapat menyebabkan vasokonstriksi
dan dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang
penting dalam pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi
karena interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin
bersama – sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi,
dan beberapa hormon.
4. Disfungsi Endotelium
Sel endotel pembuluh darah mempunyai peran yang penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah
vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endothelium.Secara
klinis

pengobatan

dengan

antihipertensi

menunjukkan

perbaikan

gangguan produksi dari oksida nitrit.
5. Substansi vasoaktif
Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium
dalam mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin
merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin
dapat meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta
mengaktifkan sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide
merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon
peningkatan volum darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan

27

air dari ginjal yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan dan
hipertensi .
6. Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidak normalan dari
dinding pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel
endotelium),

ketidaknormalan

fibrinolisis.Diduga

hipertensi

faktor
dapat

homeostasis,

menyebabkan

platelet,

dan

protombotik

dan

hiperkoagulasiyang semakin lama akan semakin parah dan merusak
organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah dengan pemberian obat
anti-hipertensi.
7. Disfungsi diastolik
Hipertropi

ventrikel

kiri

menyebabkan

ventrikel

tidak

dapat

beristirahat ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan input ventrikel.
Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam
pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar:
Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer.
2.6. Diabetes dan Hipertensi
Prevalensi terjadinya hypertensi pada penderita diabetes adalah
2 kali dari pada yang tidak diabetes. Kaitan yang paling utama adalah
pada penderita diabetes terjadi komplikasi yg progresif dan akseleratif
baik pada mikrovaskular (retinopati dan nefropati) serta makrovaskular
(aterosklerosisi). Penyakit makrovaskular merupakan mayoritas kematian
pada penderita DM tipe 2.35

28

Kekurangan insulin pada tingkat sel merupakan mekanisme umum
yang terlibat dalam pengembangan hipertensi pada DM tipe 2. Insulin
memiliki peran penting dalam modulasi metabolisme kalsium seluler. Aksi
insulin

yang menurun

pada

sel-sel otot

polos pembuluh darah

berkontribusi mempercepat baik terhadap kejadian hipertensi dan
aterosklerosis. Pengamatan terbaru menunjukkan gangguan respon
seluler terhadap insulin mempengaruhi peningkatan tonus otot polos
pembuluh darah (ciri hipertensi pada penderita diabetes). Penelitian barubaru ini menunjukkan bahwa insulin melemahkan respon kontraktil
vaskular dari fenilefrin, serotonin, dan kalium klorida. Dengan demikian,
tampak insulin yang biasanya melemahkan respon vaskular otot polos
kontraktil faktor vasoaktif,sedangkan pada resistensi insulin terjadi
peningkatan reaktivitas vaskular.36
Peningkatan tekanan darah pada resistensi insulin terjadi karena
insulin meningkatkan retensi natrium pada ginjal. Resistensi insulin juga
berhubungan dengan peningkatan aktivitas saraf simpatis dan hipertrofi
otot polos pada dinding pembuluh darah.
Pada penderita diabetes mellitus, hipertensi dikaitkan dengan
resistensi insulin dan kelainan pada sistem renin-angiotensin dan
sympathetic tone, yang mengakibatkan konsekuensi pembuluh darah dan
metabolisme yang berkontribusi terhadap morbiditas. Kelainan metabolik
yang berhubungan dengan diabetes mellitus berkontribusi terhadap
disfungsi endotel. Sel endotel mensintesis beberapa zat bioaktif kuat yang
mengatur struktur dan fungsi pembuluh darah. Zat-zat ini termasuk oksida

29

nitrat, spesies reaktif lainnya, prostaglandin, endothelin, dan angiotensin
II. Pada individu tanpa diabetes, oksida nitrat membantu untuk
menghambat aterosklerosis dan melindungi pembuluh darah. Namun,
bioavailabilitas oksida nitrat yang diturunkan endotelium berkurang pada
individu dengan diabetes. Karena hiperglikemia menghambat produksi
endhotelium dan meningkatkan produksi supoeroksid anion (oksigen
reaktif) yang merusak pembentukan nitrit oksida. Produksi nitrit oksida
selanjutnya akan dihambat lebih lanjut oleh resistensi insulin.Karena
resistensi insulin menyebabkan pelepasan asam lemak berlebih dari
jaringan adiposa. Asam lemak bebas akan

mengaktifkan protein kinase

C, menghambat phosphatidylinositol-3, dan meningkatkan produksi
spesies

oksigen

reaktif,

semua

mekanisme

ini

secara

langsung

mempengaruhi produksi oksida nitrat atau menurunkan bioavailabilitas
nitrit oksida.36
Insulin menyebabkan up-regulation reseptor angiotensin I dan
mengakibatkan oversensitisasi otot polos pembuluh darah terhadap
peningkatan kalsium dan kontraksi yang dimediasi angiotensin-II.
Sehingga pemaparan lama hiperinsulinemia berimplikasi terjadinya
aterogenesis dan hipertensi.9,38
Peningkatan kadar sodium juga diperkirakan berperan pada
hipertensi penderita DM. Sodium dapat meningkat sekitar 10% bahkan
pada penderita diabetes yang normotensif. Penderita diabetes memiliki
gangguan kemampuan untuk mengekskresikan intravenous saline load
dan

gagal

untuk

menambahkan

30

sodium

ke

dalam

urin

untuk

diekskresikan. Mekanisme retensi sodium pada diabetes sebenarnya
masih kurang begitu diketahui namun diperkirakan berkaitan dengan
peningkatan reabsorbsi glukosa. Selain itu dipostulasikan juga bahwa
retensi sodium pada diabetes berkaitan dengan penurunan untuk
melepaskan faktor natriuretik seperti dopamin ,prostaglandin dan kalikrein
serta efak tubular insulin.
Peningkatan resistensi vaskular perifer dan kontraktilitas otot polos
vaskular berespon terhadap agonist seperti nor-epinefrin dan angiotensin
II menjadi dasar terjadinya hipertensi pada diabetes. Resistensi insulin
memberikan respon yang berlebihan terhadap agonist-agonist tersebut,
namun alasan secara detil mengapa terjadi respon berlebih tersebut
masih belum jelas.
Pada hiperglikemia kronis, dapat terjadi peningkatan rigiditas
vaskular dengan mempromosikan perubahan struktural vaskular. Pada
kosentrasi yang tinggi, glukosa memberikan efek toksik pada sel
endotelial sehingga terjadi penurunan relaksasi endothelial-mediated
vascular, yang akan meningkatkan konstriksi dan hiperplasia sel otot polos
vaskular serta remodelling vaskular. Selain itu terdapat bukti bahwa
hiperglikemia dapat mempercepat pembentukan produk glikosilasi non
enzimatik yang berkumpul pada protein dinding pembuluh. Pengikatan
protein

yang mengalami hasil akhir glikosilasi kepada makrofag

menginduksi sintesis dan sekresi Tumor Nekrosis Faktor dan IL-1. Sitokin
tersebut akan menstimulasi sel lain untuk meningkatkan sintesis protein
dan berproliferasi.39

31

Insulin memiliki efek meningkatkan konstriksi pembuluh darah
melalui stimulasi dari sistem saraf simpatik dan meningkatkan absorbsi
dari sodium, akibatnya terjadi keseimbangan antara vasokonstriksi dan
vasodilatasi sehingga akan mempertahankan tekanan darah dalam
keadaan normal. Pada keadaan patofisiologis, misalnya pada obesitas,
keseimbangan akan terganggu dengan peningkatan efek simpatis sebagai
respon hiperinsulinemia bersama dengan vasodilatasi yang diperantarai
insulin (vascular insulin resistence). Terdapat korelasi negatif antara
vasodilatasi yang diinduksi insulin dan tekanan darah. Hubungan antara
resistensi insulin, hiperinsulinemia, dan hipertansi kemungkinan bukan
bersifat kausatif tetapi berhubungan dengan kelainan patofisiologi.38
UKPDS melakukan analisis yang menunjukkan pentingnya awal
penilaian tekanan darah dalam perjalanan diabetes. Meningkatkan kontrol
tekanan darah pada pasien diabetes telah terbukti efektif dalam
mengurangi risiko komplikasi kardiovaskular dan nefropati. Bahwa
pengobatan glikemia pada pasien dengan DM tipe 2 adalah sulit karena
hiperglikemia progresif, lebih mudah untuk mempertahankan peningkatan
kontrol tekanan darah. Penelitian UKPDS, penurunan rata-rata 10 mmHg
tekanan sistolik dapat menurunkan resiko komplikasi sebesar 12%,
kematian 15%, Infark miokard 11% dan komplikasi mikrovaskuler 13 %.
Adanya Hipertensi pada pasien DM tipe 2 berarti akan diikuti risiko
tinggi kejadian penyakit kardiovaskuler.

32

2.7. Kerangka Konsep

DM TIPE 2

Hiperglikemia

Stress

HATI

IL-1
IL-6

Inflamasi,keru
sakan endotel

hs-CRP
Atherosklerosis

Hipertensi

33

Penyakit
Kardiovaskular