Demokrasi Pluralis Sebagai Model Demokra

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Demokrasi dengan bentuk sederhana namun kuat telah dikemukakan oleh
Abraham Lincoln sebagai suatu bentuk pemerintahan dari rakyat untuk
rakyat CITATION Rob84 \l 1057 . Demokrasi dianggap sebagai suatu model pemerintahan
yang ideal bagi segala permasalahan kemasyarakatan dan bertujuan untuk
menciptakan kesejahteraan rakyat. Sejak awal kehadirannya demokrasi memang
menjadi harapan bagi masyarakat atas indahnya kehidupan sosial, maupun politik.
Partisipasi langsung tentu saja menjadi hal penting yang terkandung di dalam
model ini.[ CITATION Yud11 \l 1057 ]
Namun demikian, bergeraknya zaman ditengarai menjadi dasar kenapa
konsep-konsep demokrasi era klasik dirasa beberapa pakar tidak lagi memadai.
Hal yang pernah difikirkan oleh pemikir-pemikir demokrasi era klasik saat ini
dirasa terlalu naif dan sulit tercapai secara esensi, karena pada dasarnya dunia ini
tidak sempurna dan dinamisnya pergerakan dunia. [ CITATION Bud10 \l 1057 ]
Mengacu kepada keterbatasan konsep-konsep era klasik yang dianggap
terlalu mengambang, idealistis, dan utopis, maka sebagai terobosan munculah
konsep-konsep kontemporer/baru yang bertujuan untuk membuat demokrasi lebih
bisa menjawab dinamika sosial di zaman sekarang ini. Salah satunya dengan
konsep demokrasi pluralis.[ CITATION Dav87 \l 1057 ]


CITATION Rob84 \l 1057 Meskipun definisi demokrasi seperti itu dikenal luas sebagai definisi
dari Lincoln, menurut Clifford D. May (1987) credit definisi seperti itu barangkali seharusnya
diberikan kepada Daniel Webster. Webster dalam pidatonya pada 1830-33 tahun sebelum pidato
Lincoln di Gettysburg-mengemukakan sesuatu tentang “People’s goverment, made for the people,
and answerable to the people”

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. DEMOKRASI
Dalam bentuk yang lebih konkrit demokrasi dijelaskan oleh Robert A.
Dahl, Sebuah demokrasi idealnya memiliki : (1) persamaan hak pilih dalam
menentukan keputusan kolektif yang mengikat, (2) partisipasi efektif, yaitu
kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan
keputusan secara kolektif, (3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang
sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses
politik dan pemerintahan secara logis, (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu
adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana
yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk
mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili

masyakat, dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat yang tercakup semua
orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.[ CITATION Zol07 \l 1057 ]
B. PLURALISME
Pluralisme merupakan salah satu pilar dari bangunan demokrasi, pada
konsepnya pluralisme dapat dipahami sebagai bentuk keterlibatan aktif dalam
keragaman dan perbedaannya, dengan tujuan membangun peradaban bersama.
Dalam pengertian ini, pluralisme lebih dari sekedar mengakui pluralitas dan
perbedaan, tetapi juga tentunya aktif dalam merangkai keragaman dan perbedaan
itu untuk tujuan sosial yang lebih tinggi, yaitu kebersamaan dalam membangun
peradaban. [ CITATION Nur10 \l 1057 ]

C. DEMOKRASI PLURALIS
Tidak bisa dipungkiri, pluralisme adalah salah satu pilar demokrasi.
Pluralisme berkaitan dengan gagasan demokrasi, pluralisme merupakan suatu
keniscayaan dalam suatu negara demokratis. Kebebasan dalam berpendapat
bersinergi dengan keragaman cara berfikir, budaya, suku, ras dsb. Negara modern
hari ini tentunya terdiri dari berbagai lapisan, golongan, karakter, budaya, suku
yang kesemuanya membaur menjadi satu. Maka, demokrasi pluralis adalah
merupakan jawaban dari dinamisnya zaman [ CITATION Bud10 \l 1057 ].
Demokrasi pluralis secara sederhana dipahami sebagai model demokrasi

yang lebih modern. Dengan bentuk yang bersifat sesuai dengan zaman, model ini
mampu menjawab pluralitas suatu negara, atauapun keragaman yang ada di
tengah-tengah masyarakat. Demokrasi pluralis seperti yang telah diungkaapkan
ahli, sifatnya lebih otonom. Daerah relatif mandiri secara pengambilan kebijakan
yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak, yang terpenting adalah suara
ataupun pendapat minoritas juga bisa tersampaikan dengan baik, dan lebih
spesifik lagi biasanya di setiap daerah yang bersifat tersebut, cenderung
melakukan dan diberikan konsensus untuk pengambilan sebuah kebijakan.
Misalnya di Misalnya di Kupang ada konsensus jika walikota beragama
Katolik maka wakilnya atau Sekda beragama Protestan, atau sebaliknya.
Demikian juga di Maluku, sebelum konflik, jabatan gubernur dan wakil
gubernur/sekwilda akan diduduki secara berimbang antara agama Islam dan
Kristen. Atau sejumlah wilayah lainnya yang melakukan pembagian porsi
kekuasaan atas dasar etnisitas. Atau misalanya, Gubernur Daerah Istimewa

Yogyakarta adalah Sultan Yogyakarta yang bertahta, sementara wakil gubernur
adalah Pangeran Paku Alam yang bertahta.
Maka daripada itu, penulis melihat demokrasi pluralis sebagai model
demokrasi modern lebih mampu mengakomodir permasalahan-permasalahan
kemasyarakatan ketimbang demokrasi secara klasik tanpa unsur pembaruan.


BAB III
PEMBAHASAN
Demokrasi yang ideal saat awal perkembangannya di Athena memang
benar-benar berpengaruh terhadap segala keputusan, kebijakan, ataupun
permasalahan yang menyangkut pemerintahan dan masyarakat saat itu. Hal ini
dianggap sebagian besar pemikir-pemikir terdahulu karena jumlah penduduk
Athena saat itu yang relatif sedikit, dan tidak terlalu kompleks pemikiran
masyarkat Athena secara individual[ CITATION Dav87 \l 1057 ]. Maka, gejalagejala sosial saat itu masih dalam taraf mampu dipahami oleh pemerintah. Namun,
berbeda dengan zaman saat ini.
Sebagai contoh, dari sekian banyak konsep dan teori demokrasi, Amerika
Serikat menerapkan demokrasi liberal dengan beberapa karakteristik tentunya.
Jika ditarik konsep demokrasi liberal ini, ia akan mengacu pada teori demokrasi
pluralis atau pluralisme demokrasi yang dikemukakan oleh Robert A. Dahl.
Dalam kaitan itulah, penerapan demokrasi di Amerika Serikat dengan demokrasi
liberal dilihat dari sisi pengakuan atas pluralismenya. [ CITATION Rob85 \l
1057 ]

Mengenai demokrasi ini, Robert A. Dahl menyatakannya, dalam
penggunaan istilah pluralisme atau pluralis, Dahl mengacu pada pluralisme

organisasi yaitu adanya pluralitas sebagian besar organisasi atau subsistem yang
secara relatif bersifat otonom di dalam wilayah sebuah negara. Menurutnya,
sebuah negara disebut demokrasi

pluralis, jika: (1) ia merupakan demokrasi

dalam arti poliarki,1 dan (2) organisasi-organisasi penting lainnya relatif bersifat
otonom.
Konsepsi Dahl tentang poliarki mengandung dua dimensi, yakni oposisi
(persaingan yang terorganisasi melalui pemilu yang teratur, bebas dan adil) dan
partisipasi (hak hampir semua orang dewasa untuk memilih dan berkompetisi
memperebutkan jabatan publik). Namun sebetulnya di dalam dua dimensi ini
terdapat dimensi ketiga, berupa kebebasan sipil yang membuat oposisi dan
partisipasi benar-benar bermakna. Poliarki bukan hanya mencakup kebebasan
memilih dan berkontestasi untuk jabatan publik tapi juga kebebasan berbicara dan
mempublikasikan pandangan-pandangan yang berbeda, kebebasan membentuk
dan bergabung dengan organisasi dan akses terhadap sumber-sumber informasi
alternatif.[ CITATION Rob85 \l 1057 ]
Demokrasi pluralis sebagai model demokrasi modern tidak terlepas dari
kebebasan berpendapat, partisipasi, maupun hal lain yang berkaitan. Pluralisme

ataupun keberagaman harus dimengerti sebagai sebuah tatanan sekaligus sebagai
suatu kondisi kebebasan tertentu. Jika ingin mengupayakan pluralisme, maka kita
1 Mengenai demokrasi yang diidentikkan dengan poliarki, Dahl menyatakan bahwa poliarki
adalah sistem politik yang bercirikan suatu kompetisi yang bebas dan wajar di antara kelompok
minoritas yang berpengaruh dan mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan. Dia juga
memandang proses yang menentukan untuk meyakinkan bahwa para pemimpin politik akan lebih
tanggap terhadap kepentingan warga negara biasa dan tampaknya percaya bahwa dengan segala
kelemahannya akan memungkinkan setiap kelompok yang aktif dan diakui menjadikan dirinya
didengar secara efektif pada tingkat tertentu proses pembuatan keputusan.[ CITATION Rob84 \l
1057 ]

harus menegakkan politik kesetaraan yang berangkat dari hak dan kebebasan
individu. Penghormatan atas individu berarti menghormati hak-hak individu,
tanpa melihat agama, budaya, suku, dan ras. Negara sebagai pengatur, harus
mampu menjaga hak-hak dasar individu. Demokrasi pluralis tidak akan tercipta
efektif bila tidak adanya basic framework ini.[ CITATION Bud10 \l 1057 ]

BAB IV
PENUTUP
Demokrasi sejatinya memang suatu bentuk pemerintahan dari rakyat untuk

rakyat. Namun lebih spesifik tentunya terjadi pembaharuan di setiap negaranegara yang notabene memiliki karakteristik berbeda. Dalam upaya-upaya untuk
mensinergikan bentuk ini dengan dinamika zaman tentunya harus dilakukan
beberapa modifikasi dan perubahan. Tentunya perubahan dilakukan sesuai dengan
spesifikasi suatu negara, dengan tujuan terakomodirnya kepentingan seluruh
lapisan masyarakat, sekalipun kaum minoritas.
Kemudian juga, bentuk demokrasi pluralis ini adalah bentuk kerjasama
dan itikad bersama antara pemerintah sebagai pengambil kebijakan, dan
masyarakat sebagai subjek dalam pensuksesan suatu kebijakan agar dapat berdiri
efektif dan kebijakan tesebut haruslah dibalut dengan keragaman suku, budaya,
agama, ras, dll.

Bibliography
Dahl, R. A. (1985). Dilema Demokrasi Pluralis. Antara Otonomi dan Kontrol.
Jakarta: Rajawali Press.
Dahl, R. A. (1984). Polyarchy, Pluralism, and Scale. Scandinavian Political
Studies Vol.7, No.4.
Held, D. (1987). Models Of Democracy. Cambridge: Polity Press.
Latif, Y. (2011). Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Majid, N. (2010). Api Islam, Jalan Hidup Seorang Visioner. Jakarta: PT. Kompas

Media Nusantara.
Munawar-Rachman, B. (2010). Argumen Islam Terhadap Pluralisme. Jakarta: PT.
Grasindo.
Zoltan T.P, B. K. (2007). Direct Democracy In Europe: Development and
Prospects. Netherland: VS Verlag.