Akulturasi Islam Dengan Budaya dalam Bid

Akulturasi Islam Dengan Budaya dalam Bidang Pemikiran Dan Ritual
Keagamaan
1. Pengantar
Tradisi pemikiran islam yang berkembang di Indonesia dapat dibagi
menjadi dua periode. Pertama, tradisi pemikiran sebelum bersentuhan dengan
paham-paham pembaharuan Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan
Muhammad Iqbal. Kedua, tradisi pemikiran yang berkembang setelah
terpengaruh oleh mereka(sentuhan modernism).
Dalam ritual bidang keagamaan (upacara) sampai saat ini di Negara kita
masih banyak sekali kita dapati. Bagi masyarakat Indonesia upacara sudah
mendarah daging dan sulit ditinggalkan. Hal itu dikarenakan sebagian
masyarakat Indonesia sulit membedakan mana yang agama dan mana yang
budaya. Lebih-lebih, budaya yang muncul di Indonesia yang semula berasal
dari suatu agama berlangsung secara estafet, sehingga sulit dibedakan mana
budaya Islam dan mana yang bukan.
2. Bidang Pemikiran
a. Nuruddin Ar-Raniri
Nama lengkapnya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasan bin Muhammad
Hamid. Dia hidup pada nabad ke-17. Dia dating ke Aceh pada tahun 1644. Dia
berperan penting dalam islamisasi di Aceh, menentang paham Hamzah Fansuri
dan Syamsuddin As-Sumatrani. Misalnya dalam hadist yang artinya:”Barang

siapa mengenal dirinya, maka dia mengenal tuhannya”, telah diselewengkan
oleh Hamzah Al-Fansuri dengan menyatukan manusia dengan tuhan. Menurut
Nuruddin hadist diatas menyatakan bahwa siapa mengenal dirinya sebagai
makhluk, maka dia akan mengenal tuhan sebagai khalik.
b. Mangkunegoro IV
Nama

lengkapnya

yaitu

kanjeng

gusti

pangeran

adipati

ario


(KGPAA)Mangkunegoro IV, dia lahir pada tahun 1809 dan wafat pada 1881.
Adapun diantara pemikirannya, tercantum dalam karangannya yang terkenal
yaitu wedha-tama (pengetahuan yang utama)yang berisi wulang (ajaran). Berisi
enam ajaran, yaitu:
1) Mencari dan menuntut ilmu lahir batin agar hidup dan kehidupannya tidak
mengalami kerusakan.
2) Menempa jiwa dan melaksanakan agama dengan tuntunan para ahli.

3) Ilmu ang benar tidak selalu bersemayam pada orang yang lansia atau muda.
Pada orang yang hina, asalkan mendapat rahmat Tuhan, pasti mampu
ketempatan ilmu.
4) Bagi mereka yang taat beragama, harus membuktikan satunya kata dengan
perbuatan atau padunya ilmu dengan amal.
5) Menghayati ilmu harus dialasi dengan mengekang hawa nafsu dan tawakal.
6) Limpahan anugrah tuhan yang maha kuasa harus ditebus dengan
penghayatan mutlak, kesucian batin, menjauhkan diri dari watak angkara
murka, dan melakukan sembahyang empat macam, yaitu: sembah raga,
sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa.
Ajatan wedhatama juga dapat diringkas menjadi:

1) ajaran bagi para taruna (golongan muda)
a) Dianjurkan untuk mempelajari tata karma dan sopan santun serta memahami
sumber ilmu yang benar.
b) Jangan bersikap angkuh atau menyombongkan diri.
c) Dapat menilai dengan cermat segala macam ajaran sehingga dapat
memanfaatkan ajaran tersebut dan memilih ilmu mana yang sesuai dengan
bakat pribadinya sendiri.
d) Sadarlah dengan apa yang dimaksud menunaikan darma selagi hidup di
dunia ini.
2) Ajaran bagi golongan tua
a) Ilmu mendidik anak.
b) Cara menentukan atau meyakinkan suatu ilmu.
c) Cara menjalankan sembah sujud kehadirat tuhan yang maha kuasa agar
tidak sia-sia usahanya.
d) Meskipun seseorang sudah tua, tetapi tidak berilmu dan tidak memahami
ruas-rasa, pasti mendapat sebutan tuwa-tuwas, dikatakan tua karena
umurnya sudah banyak.
3) Suluk
Suluk adalah kitab-kitab yang menjalankan soal-soal tasawuf. Sifatnya
pantheistik (manusia bersatu dengan tuhan/manunggaling kawula- Gusti). Hal

itu menunjukkan bahwa dalam alam pikiran Indonesia, islam dianggap sebagai
aliran baru, disamping aliran-aliran Tantrayana yang sudah ada pada masa
sebelumnya. Berikut ini adalah beberapa contoh suluk.

a) Suluk Sukarsa, isinya tentang seseorang (Ki Sukarsa)yang mencari ilmu
sejati (ilmu hakikat) untuk mendapat kesempurnaan.
b) Suluk Wujil, isinya tentang wejangan-wejangan sunan Bonang kepada
Wujil, yaitu seorang kerdil, bekas abdi dalem Majapahit.
c) Suluk Marang Semirang, isinya tentang seseorang yang telah mencapai
kesempurnaan, telah lepas dari ikatan-ikatan syari’ah, dan berhasil bersatu
dengan tuhan.
3. Bidang Ritual Keagamaan (upacara)
Sebelum agama Islam masuk ke Pulau Jawa, raja – raja Jawa sudah
biasa melaksanakan upacara. Upacara raja ini disebut raja wedha atau raja
medha. Ternyata pengaruh upacara tersebut merambah kemana – mana, bukan
hanya di keraton saja. Bukan hanya dalam bentuk tertentu tetapi dalam bentuk –
bentuk yang lain.
Pada kesempatan ini dikemukakan beberapa contoh upacara, seperti:
a) Selametan
Selametan atau wilujengan atau selamatan adalah suatu upacara pokok

dari hamper semua ritual upacara dalam sistem religi orang jawa pada umumnya,
dan penganut agami jawi khususnya. Koentjaraningrat menyebutkan, upacara
selametan biasanya diadakan di rumah suatu keluarga, dan dihadiri oleh anggotaanggota keluarga yang pria, dengan beberapa tamu (kebanyakan juga pria),
biasanya tetangga terdekat dan kenalan-yang tinggal tidak terlalu jauh, para
kerabat yang tinggal kota atau dusun yang sama, dan ada kalanya teman-teman
akrab yang mungkin tinggal agak jauh. Para tamu biasanya diundang tak lama
sebelum upacara diadakan.
Seorang antropologi wanita, Ann Stoler, telah menunjukkan kepada kita
bahwa walaupun pada upacara slametan para pri tampaknya memegang peranan,
namun para wanitlah yang menentukan tanggal dan hari diadakannya, bahkan
yang menentukan perlu tidaknya mengadakan selametan, siapa-siapa yang akan
memasak, siapa yang akan diundang, dan siapa yang akan diberi besek
selametan.
Menurut Geertz slametan mempunyai aspek-aspek keagamaan, karena
selama suatu upacara seperti itu segala perasaan agresif terhadap orang lain akan
hilang, dan orang akan merasa tenang. Bahkan menurutnya semua selametan
bersifat religi. Harsja W. Bachtiar berkomentar, tidak semua upacara slametan

merupakan merupakan tidakan keagamaan, bahkan mengecam pandangan Geertz
yang tidak membedakan antara upacara slametan keagamaan, dan upacara

slametan adat, dan antara slametan yang bersifat kramat, dan sifat slametan yang
tidak bersifat kramat. Upacara slametan yang tidak bersifat keagamaan adalah
upacara yang tidak menimbulkan getaran emosi keagamaan pada orang-orang
yang mengadakan slametan itu, maupun pada orang-orang yang hadir, walaupun
pada slametan itu telah diminta hadir seorang pegawai keagamaan untuk
membacakan keagamaan. Walaupun demikian, kedua jenis slametan tersebut
mungkin saja tergabung dalam satu upacara slametan.
b) Daur Hidup
Dimaksud dengan daur hidup adalah upacara yang terkait dengan upacara
– upacara sepanjang lingkaran hidup manusia. Koentjaraningrat mengatakan,
seperti halnya semua kebudayaan di dunia, kebudayaan jawa pun memiliki
serangkaian upacara sendiri untuk merayakan peristiwa penting sepanjang
lingkaran hidup individu. A. van Gannep mengemukakan bahwa rangkaian
upacara sepanjang lingkaran hidup merupakan bentuk tertua dari semua aktivitas
keagamaan dalam kebudayaan manusia. Maka upacara yang terkait dengan daur
hidup seseorang yang paling di perhatikan, baik itu terkait dengan kematian dan
saat sesudahnya. Hal ini mungkin disebabkan karena orang jawa menghormati
arwah orang yang meninggal dunia. Oleh karena itu, salah satu jalan yang dapat
menolong keselamatan roh di alam akhirat adalah dengan menjalankan upacara
(sedekahan). Sedekahan diadakan dari saat meninggalnya sampai ke seribu

harinya. Disamping itu, masih ada upacara – upacara lain yang terkait dengan
upacara daur hidup, misalnya : tingkepan, melahirkan, member nama, kekah dan
memotong rambut, tedhak siten (upacara menyentuh tanah), dan khitanan.