FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SERANGAN (2)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SERANGAN BERULANG
(RELAPS) PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU
DI RSUD LABUANG BAJI MAKASSAR
Rahmawati11), Nurlina2), A. Nur Anna AS3)
Diploma III Keperawatan, Akademi Keperawatan Muhammadiyah Makassar (Rahmawati 1)
email: amma75@rocketmail.com
2
Diploma III Keperawatan, Akademi Keperawatan Muhammadiyah Makassar (Nurlina 2)
email: nurlinajamal@gmail.com
3
Diploma III Keperawatan, Akademi Keperawatan Muhammadiyah Makassar (A. Nur Anna AS 3)
email: encengk_asibrah@yahoo.co.id
1

Abstract
World Health Organization (WHO) has declared TB a "Global Emergency" since 1992. In 2009
there were 9.4 million new cases with 1.7 million deaths globally. Most of the deaths are in developing
countries. The prevalence of TB in Indonesia was ranked fourth highest in the world which have an
impact on reducing the productivity and quality of patients life .Pulmonary TB patients who had been
treated will heal with treatment and regular treatment, but the risk of relapse after receiving Anti-TB
Drugs (ATD).

The aim of research to determine the factors that influence recurrent attacks (relapses) in
patients with pulmonary tuberculosis in Makassar Labuang Baji hospital.
The study design was a qualitative sampling using purposive sampling on six (6) participants.
Data collection using in-depth interviews were taped, then transcribed verbatim and analyzed with
phenomenological method. The study was in May-June 2015.
The results showed factors that influence the recurrent attacks (relapses) in patients with
pulmonary tuberculosis is knowledge, smoking and exposure, nutritional, environmental, economic, and
other diseases. Recommended the need to increase patients' knowledge about the care, treatment and
prevention of diseases, nutritional improvement and preservation of the environment by involving
families and health workers
Keywords: Factors, recurrent attacks, relapses, pulmonary tuberculosis.

Pendahuluan
World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai “ Global
Emergency” sejak tahun 1992 (Lewis, et al,
2011). Pada tahun 2009 ada 9,4 juta kasus baru
dengan 1,7 juta kematian secara global. Sebagian
besar
kematian terdapat pada negara

berkembang yang memiliki keterbatasan sumber
daya (Belay et al, 2011). Prevalensinya penderita
TB di Indonesia menempati peringkat empat
terbanyak di seluruh dunia yang berdampak
terhadap penurunan produktivitas dan kualitas
hidup pasien. Jumlah penderita TB paru di
Indonesia adalah kasus menular 236.954 jiwa,
semua kasus 321.308 jiwa, BTA positif 197.797
jiwa dan CDR (Case Detection Rate) 83,5%.
Jumlah penderita TB Paru di Sulawesi Selatan
adalah kasus menular 17.034 jiwa, semua kasus
11.052 jiwa, BTA positif 8.935 jiwa dan CDR

(Case Detection Rate) 52,5 % (Depkes RI, 2012).
Data bina P2PL, jumlah penderita TB paru di
kota Makassar selama tahun 2012 adalah kasus
baru sebanyak 1.951 jiwa, kasus lama 127 jiwa,
kasus baru + kasus lama sebanyak 2.078 jiwa dan
prevalensi sebanyak 15.172 jiwa (Dinkes, 2012).
Hasil penelitian Sianturi (2013) tentang analisis

faktor yang berhubungan dengan kekambuhan
TB paru yaitu pendidikan (p=0,046; OR =
3,889), pengetahuan penderita (p=0,0001; OR =
17,250), sikap penderita (p=0,004; OR = 7,500),
status gizi (p=0,001; OR = 9,048), riwayat
minum obat (p=0,001; OR = 9,450).
Peningkatan prevalensi TB paru berdampak
terhadap produktivitas. Sekitar 75% pasien TB
adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan
seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan ratarata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal
tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan

tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia
meninggal akibat TB, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain
merugikan secara ekonomis, TB juga
memberikan dampak buruk lainnya secara sosial
stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.
Pasien TB paru yang mendapat penanganan yang

baik akan sembuh dengan perawatan dan
pengobatan teratur, namun beresiko untuk
kambuh kembali atau relaps setelah mendapat
Obat Anti TB (OAT). Oleh karena itu, perlu
diketahui secara mendalam faktor-faktor yang
mempengaruhi serangan berulang (relaps) pada
pasien Tuberkulosis paru di RSUD Labung Baji
Makassar, sehingga dapat menjadi bahan
informasi bagi Pimpinan dalam membuat
kebijakan
terkait
dengan
penanganan
tuberkulosis paru, sehingga seluruh tenaga
kesehatan RS khususnya tenaga perawat dapat
melakukan upaya-upaya dalam mencegah
serangan berulang pada pasien TB paru melalui
pemberian asuhan keperawatan.
Metode Penelitian
Desain penelitian adalah kualitatif

dengan pengambilan sampel menggunakan
purposive sampling pada 6 (enam) partisipan.
Pengumpulan data menggunakan wawancara
mendalam yang direkam, kemudian ditranskrip
verbatim dan dianalisis metode fenomenologi
yang dikembangkan Colaizzi (1978).
Hasil dan Pembahasan
Analisis transkrip hasil wawancara dengan
pendekatan analisis collaizi’s, tema yang
teridentifikasi ada enam yaitu :

Pengetahuan

Merokok, dan
terpapar

Penyakit lain

Faktor
mempengaruhi

serangan ulang

Ekonomi

Gizi

Lingkungan

Gambar 1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Serangan Berulang (Relaps)TB Paru

1. Pengetahuan
Pengetahuan partisipan tentang penyakit
tuberkulosis paru adalah :
a. Tn. Y : awalnya muntah darah, batuk 4
minggu kayaknya, penyakit menular.
b. Tn. P : penyakit menular, menularnya
melalui udara saat batuk harus menutup
mulut, alat makan juga harus dipisah,
meriang, panas, berkeringat malam,

batuk-batuk, nafsu makan berkurang,
lemas,
berat
badan
turun.
Pencegahannya makan makanan bergizi,
istrahat cukup, berobat teratur. Penyakit
mematikan
c. Ny. He : sakit kepala, sakit badan-badan,
batuk, sesak nafas, ngilu kalau berdiri.
Setelah sembuh tidak boleh kerja, makan
makanan bergizi, istirahat yang cukup
d. Ny. Ha : penyakit menular, menurunkan
berat badan, nafsu makan, sakit dada,
nyeri dada, nyeri pada tenggorokan, sakit
kepala, ngilu tulang-tulang, ituji yang
kurasakan, keringat dingin pada malam
hari. Pencegahan pake masker. Setelah
sembuh minum vitamin, makan yang
teratur, istirahat yang cukup

e. Ny. K : penyakit menular, membuat daya
tahan tubuh menurun, berat badan
menurun, penyakit mematikan, bisa
dikucilkan dari masyarakat, seharusnya
minum vitamin dan susu tapi saya tidak
mampu beli, olahraga kalau pagi.
f. Tn. J : banyak sebenarnya cuma penyakit
tidak mau sembuh.
Berdasarkan data tersebut di atas,
mayoritas partisipan memiliki pengetahuan
tentang tanda dan gejala penyakit TB paru,
penularan, pencegahan dan dampak yang
ditimbulkan. Namun partisipan tidak
mengaplikasikan pengetahuannya dalam
bentuk perilaku. Sesuai hasil pengamatan dan
wawancara menunjukkan partisipan belum
mampu melakukan upaya perawatan dan
pencegahan secara kontinyu. Misalnya dalam
penggunaan masker, tidak semua penderita
menggunakan secara kontinyu dengan alasan

tidak nyaman dan sesak, sehingga beresiko
menularkan kepada oang lain.
Penelitian di Bangladesh ditemukan
sebagian besar (99%) dari peserta telah
mendengar tentang TB, dan hampir semua
tahu bahwa TB adalah penyakit menular yang
belum dapat disembuhkan. Lebih dari
setengah (53%) dari Key Community
Members (KCMs) memiliki pengetahuan
yang baik mengenai TB, tetapi pekerja
Bangladesh Rural Advancement Committee
(BRAC) yang ditemukan lebih luas
dibandingkan dengan KCMs lainnya.

Namun, kesenjangan pengetahuan yang
cukup diamati antara BRAC petugas
kesehatan masyarakat. Hasil kualitatif
mengungkapkan bahwa sebagian besar
KCMs menyadari tentang tanda-tanda, gejala
dan jalur transmisi TB dan percaya bahwa

merokok dan kecanduan adalah penyebab
utama penularan TB. Pengetahuan tentang
TB anak miskin bahkan di antara petugas
kesehatan BRAC. Stigma yang terkait
dengan TB tidak jarang. Hampir semua
responden menyatakan bahwa gadis-gadis
muda yang didiagnosis dengan TB. Temuan
studi ini telah mengungkapkan berbagai
tingkat pengetahuan dan sikap tentang TB di
antara KCMs. Hal ini juga memberikan
wawasan tentang pengetahuan mengenai TB
anak miskin dan menunjukkan bahwa
meskipun signifikan stigma keberhasilan
program TB belum lazim di masyarakat.
Kegiatan Advocacy Communication Social
Mobilization (ACSM) masa depan harus
melibatkan anggota masyarakat terhadap
stigma dan mempromosikan informasi yang
terkait TB anak untuk perbaikan lebih lanjut
Pengendalian Program TB dari BRAC (Paul

et al., 2015).
Hasil penelitian Raynes (2013)
tentang perbedaan budaya pada penyedia
pelayanan kesehatan terkait pengetahuan,
sikap dan praktek untuk mengobati
tuberkulosis. Bahwa budaya kesadaran
secara
bermakna
dikaitkan
dengan
kemungkinan
peningkatan
mengenali
manifestasi dari tuberkulosis, manajemen
penyakit tidak terkait dengan budaya
kesadaran dan budaya kesadaran antara
penyedia pelayanan akan menjadi faktor
sangat penting untuk pengenalan diagnosis
dan manajemen TBC.
2. Merokok dan terpapar
Partisipan mengungkapkan bahwa :
a. Tn. Y : selalu kontak dengan perokok
b. Tn. P : saya merokok, 2 bungkus sehari,
minuman keras
c. Ny. He : di rumah ada yang merokok,
mahasiswa. Kalau bapak merokok tapi di
luar
d. Ny. Ha : terpapar asap rokok dari
lingkungan kerja dan suamiku perokok
berat. terpapar dengan asap rokok 3
Tahun
e. Ny. K : dari muda memang saya merokok,
satu bungkusji, saya lama, dari umur 18
tahun mulai merokok, tidak ada yang
merokok di rumah, paling tetanggatetangga, tapi kalau ada yang merokok
pakai masker aja

Berdasarkan data tersebut di atas,
sebagian partisipan memiliki kebiasaan
merokok dan sebagian terpapar dengan
asap rokok dari lingkungannya. Padahal
perilaku merokok dapat
merusak
makrofag paru-paru, sehingga kuman TB
Paru resisten terhadap pengobatan yang
dilakukan oleh pasien.
Menurut
Setiarni.,
Sutomo.,
Hariyono (2013)
ada hubungan
bermakna antara kebiasaan merokok
dengan kejadian tuberkulosis paru pada
orang dewasa (p=0,011) dengan nilai
RR=2,407 artinya responden yang
memiliki kebiasaan merokok berisiko
untuk terkena penyakit TB paru sebesar
2,407 kali lebih besar dibandingkan
dengan responden yang tidak merokok.
Sejalan dengan hasil penelitian
Maksalmina (2013) bahwa sebagian besar
penderita TB paru mempunyai kebiasaan
merokok. Sedangkan hasil penelitian
Haris., Thaha.,
Abdullah (2014)
menunjukkan umur merokok di usia
muda dan lama merokok 10 tahun
merupakan faktor risiko yang tidak
bermakna terhadap kejadian tidak
konversi. Jumlah batang rokok yang
dihisap merupakan faktor risiko yang
bermakna terhadap kejadian konversi.
Direkomendasikan agar menghindari dan
tidak melakukan aktivitas merokok,
khususnya pada pasien yang menjalani
pengobatan.
Hal
yang
berbeda
diungkapkan oleh Sejati dan Sofiana
(2015) bahwa tidak ada hubungan antara
kebiasaan merokok dengan tuberkulosis
(p=1,000).
3. Gizi
Penghasilan yang didapatkan partisipan
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari :
a. Tn. Y : seperti nasi, sayur, ikan.
b. Tn. P : untuk kebutuhan keluarga,
perbaiki gizi.
c. Ny. He : jenis makanan bergizi yang ibu
makan? sayur bayam, sayur bening, telur
rebus
d. Ny. Ha mengatakan malas makan, faktor
menunya yang kurang karena ekonomi
e. Menurut Ny. K makanan yang sayur,
sayur bening, tempe, ikan, telur, tapi
sekarang jarang dapatkan yang begitu.
seharusnya minum vitamin dan susu tapi
saya tidak mampu beli
f. Tn. J mengatakan bahwa itu makan yang
tidak enak sejak awal minum obat. Saya
minum itu obat makanku tidak enak, tidak

ada saya rasa, yang enak saja cuma
indomie
Mayoritas
partisipan
dapat
memberikan penjelasan tentang zat-zat gizi
yang diperlukan tubuh, namun mereka tidak
mampu memenuhi kebutuhan zat gizi
tersebut setiap hari karena keterbatasan
ekonomi. Selain itu, penyakit lain yang
diderita pasien dapat mempengaruhi daya
tahan tubuh, sehingga beresiko mengalami
kekambuhan.
Hasil penelitian Maksalmina (2013)
menunjukkan sebagian besar laki-laki dengan
TB paru mempunyai status gizi rendah.
Setelah terpapar dengan M.Tuberculosis,
sekitar 5% orang yang terinfeksi akan
berlanjut menjadi TB aktif dalam 1 tahun,
sisanya infeksi laten selama beberapa tahun
dan kemudian aktif kembali dan menyebar.
(Robinson, J. M, et all, 2014).
4. Lingkungan
a. Tn. Y beresiko menularkan ke keluarga,
anak dan isteri, tinggal di perkampungan.
b. Tn. P Berisko menularkan ke ibu,
ponakan, ada yang menderita sakit batuk
yang tinggal serumah dengan bapak yang
dulu? ada dulu, waktu masih koska di
Lombok, yang batuk adalah yang punya
rumah, kayaknya terkena TB baru dia
tidak tahu, mungkin dari situ tertularka
dari sana di Lombok. Tempat tinggal?
kalau padat tidak terlalu, mungkin polusi
karena tengah kota. Pernahki konsumsi
obat terlarang? Pernah sabu, cimen,
ganja.
c. Ny. He mengatakan tempat tinggalnya
padat. ada orang yang sakit juga disitu?
ada anak kos, kuliah. Tinggal bersama?
anak dan suaminya.
d. Ny. Ha tinggal serumah berapa orang? 7
orang. Tertular dari kakak ada tapi sudah
meninggal terkena TBC kelenjar, waktu
itu saya yang rawat, tidak pakai masker.
Beresiko menularkan ke anak dan
keluarga yang lain.
e. Menurut Ny. K ngak, saya di ruang
tamuka bikin untuk tidur, terus saya sama
anak saya yang kecil 11 tahun sama 9
tahun di dalem. Iyya anaknya teman kerja
tapi yang enam bulan dia sembuh
sekarang, dibanding saya, karena saya
seorang perokok dulu.
f. Tn. J mengatakan bahwa bapaknya
menderita TB dan tinggal serumah, kerja
di pabrik gula, pake maskerki? Tidak
karena ruang terbuka
Berdasarkan
hasil
wawancara,
beberapa partisipan mengatakan bahwa
lingkungan tempat tinggal ataupun tempat

kerja mereka ada yang menderita penyakit
TB Paru, sehingga penyakit yang diderita
karena tertular dari keluarga ataupun orang
lain. Selain itu, ada beberapa penderita yang
tinggal di rumah kontrakan dengan ukuran
kamar yang tidak sebanding dengan jumlah
penghuninya, lingkungan rumahnya padat,
serta sering terpapar dengan asap rokok dari
keluarga dan tetangga yang merokok.
Keadaan ini akan memudahkan penularan
penyakit TB paru.
Analisis sensitivitas menunjukkan
bahwa PCF (passive case finding) + ACF
(Active Case Finding) akan efektif biaya
apabila prevalensi batuk kronis disaring oleh
ACF. Pelaksanaan investigasi pada rumah
tangga
sebagai
bagian
yang
direkomendasikan
untuk
strategi
pengendalian TB harus diprioritaskan
(Sekandi et al., 2015).
Seratus empat puluh dan 80 kontrol,
penggunaan bus 44.9%, pada kelompok TB
25.7% tidak memliki kontak baru TB rumah
tangga, 13% dilaporkan memilki kontak
dengan penderita TB, dan tidak kontrol 3,8%
dan 4,1%. Dalam analisis multivariat
didapatkan usia, pendapatan rumah tangga,
kontak rumah tangga, dan menggunakan bus
/ minibus untuk pulang-pergi ketempat kerja
secara independen terikat dengan TB.
Penggunaan bus/minibus diduga faktor
resiko kejadian TB yang tinggi (Zamudio et
al, 2015).
Studi pada insiden HCA-TB di mana
kemungkinan pasien dan rekan kerja yang
terdeteksi tertular. Pada diagnosis TB aktif
0.05% bayi, 0.57% anak-anak, 0.03% pada
dewasa dan petugas kesehatan. Pada kasus
TB aktif yang komplikasi antara individu
yang terpapar adalah 0.57% bayi, 0.09% pada
anak-anak, 4.32% pada dewasa dan 2.62%
untuk petugas kesehatan yang beresiko
(Schepisi et al., 2015).
5. Ekonomi
a. Tn. Y mengatakan penghasilannya
tidak tahu, tidak pasti, biasa dua
ratus, biasa juga tiga ratus, pedagang
keliling
b. Tn. P memperoleh penghasilan 2 juta
sebulan di restoran bagian miuman,
sejak sakit nda kerja.
c. Ny. He rata-rata penghasilan satu juta
perbulan, tukang sapu di citra land,
tapi berhenti kerja karena sakit
d. Ny. Ha mengatakan tidak bekerja dan
hanya tinggal bersama saudaranya
selama sakit.
e. Ny. K pekerjaan tukang urut, saya
tidak bekerja selama saya sakit.

f. Tn. J kerja di pabrik gula
Rata-rata partisipan mengungkapkan
penghasilannya kurang mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
karena penghasilan yang diperoleh setiap
bulan digunakan untuk kebutuhan makan,
kontrakan rumah dan biaya lainnya. Sebagian
partisipan memiliki latar belakang pekerjaan
sebagai tukang sapu, tukang pijat, pedagang
keliling dan restoran. Saat dinyatakan sakit
sudah tidak dipekerjakan lagi. Hal ini akan
mempengaruhi status gizi yang berdampak
pada penurunan daya tahan tubuh sehingga
beresiko menimbulkan kekambuhan. Hal
yang berbeda diungkapkan oleh Sejati dan
Sofiana (2015) dan Setiarni., Sutomo.,
Hariyono (2013) bahwa tidak ada hubungan
antara kejadian TB paru dengan status
ekonomi.
Kondisi parah epidemi tuberkulosis
didokumentasikan di Asia, pencegahan
tuberkulosis paru dan kontrol adalah prioritas
utama
bagi
kesehatan
masyarakat.
Tuberkulosis dapat menyebabkan masalah
besar pada kehidupan sosial dan ekonomi.
Pada tahun 2012 diperkirakan sekitar 8,6 juta
kasus TB baru dan 1,3 juta meninggal karena
TB. Dari 22 negara yang mempunyai beban
tinggi karena TB, yang menyumbang kasus
sekitar 80 % dari kasus TB di dunia.
Di
negara-negara
berkembang,
seperempat dari populasi hidup termiskin di
dunia. Negara-negara tersebut adalah Afrika
Selatan, Bangladesh, Pakistan, Indonesia,
China, Republik Demokratik Kongo,
Mozambik, Nigeria, Ethiopia, Filipina, dan
Myanmar. Asia Tenggara dan wilayah pasifik
barat menyumbang sekitar 58% dari kasus
TB yang ada di dunia pada tahun 2012, India
dan China memiliki jumlah terbesar (masingmasing 26% dan 12% dari total data global)
(Cai., Wang., Ma., Wang., Han., dan Li.
2015).
6. Penyakit lain
a. Tn. Y mengatakan menderita penyakit
gula
b. Tn. P mengatakan menderita hepatitis
c. Ny. He mengatakan menderita penyakit
maag.
d. Ny. K sakit maag
e. Tn. J mengatakan menderita penyakit
gula
Mayoritas partisipan
memiliki
penyakit yang pernah diderita sebelumnya
seperti penyakit gula (diabetes mellitus),
penyakit kuning (Hepatitis), dan penyakit
maag (gastritis). Kondisi ini akan
mempengaruhi daya tahan tubuh, akan tetapi

berdasarkan hasil wawancara faktor penyakit
bukan merupakan hal yang paling
berpengaruh terjadinya penyakit TB Paru.
Penelitian yang dilakukan oleh Miller,
et all (2015) bahwa pasien tuberkulosis yang
sudah melakukan pengobatan mempunyai
resiko kematian yang cukup besar,
diperkirakan sekitar 1000 orang pertahun.
Kematian pada pasien yang sudah melakukan
pengobatan dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti HIV, ras, penyakit lain dan tempat
kelahiran.
Perawatan
pada
pasien
Tuberkulosis merupakan salah satu yang
dilakukan sebagai bentuk modifikasi resiko
setelah
melakukan
pengobatan
dan
pencegahan.
Wu., Lo., Yang., Chu., dan Chou (2015)
melakukan penelitian dengan hasil bahwa
lansia (OR 2,68-8,09), tinggal di bagian
Timur (OR 2.01), positif dahak bakteriologi
(OR 2.54), normal X-ray dada (OR 2.28), dan
komorbiditas dengan penyakit ginjal kronis
(OR 2.35), stroke (OR 1,74) atau penyakit
hati kronis (OR 1,29) yang paling mungkin
menjadi penyebab kematian TB tertentu,
sedangkan kanker (OR 0,79) kurang
mungkin. Untuk kematian non-TB spesifik
pada pasien yang lebih muda dari 65 tahun,
jenis kelamin laki-laki (OR 2.04) dan
komorbiditas dengan HIV (OR 5.92),
penyakit ginjal kronis (OR 8.02), stroke (OR
3,75), kanker (OR 9,79), penyakit hati kronis
(OR 2.71) atau diabetes mellitus (OR 1,38)
merupakan faktor risiko. Faktor yang berbeda
berkorelasi dengan kematian-TB spesifik
dibandingkan dengan kematian-non-TB
tertentu, dan dampak dari komorbiditas
secara bertahap menurun pada peningkatan
usia. Untuk mengurangi kematian pada
pasien TB, pertimbangan khusus untuk
pasien TB dengan usia tua, tinggal di wilayah
Timur, positif sputum bakteriologi dan
komorbiditas dengan penyakit ginjal kronis
atau stroke sangat penting. Secara khusus,
tinggal diwilayah Timur meningkatkan risiko
kematian pada pasien TB di semua kelompok
umur. Dalam hal kematian akibat TB di
antara pasien yang lebih muda dari 65 tahun,
pasien dengan HIV, penyakit ginjal kronis
atau kanker memiliki 6-10 kali peningkatan
risiko kematian non-TB spesifik.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi serangan berulang
(relaps) pada pasien tuberkulosis paru adalah
pengetahuan, merokok dan terpapar, gizi,
lingkungan, ekonomi, dan penyakit lain.

Ucapan Terima Kasih
Terima kasih disampaikan kepada Direktur
RSUD Labuang Baji Makassar beserta
jajarannya atas terlaksananya penelitian ini. Juga
terima kasih kepada Ristekdikti atas bantuan
dananya, sehingga penelitian ini dapat terlaksana
dengan baik.
Referensi
Belay M, Bjune G, Ameni G, Abebe M. (2011).
Serodiagnostic Performance of Resat-6CFP-10 in the Diagnosis of Pulmonary
Tuberculosis
in
Ethiopia.
http://dx.doi.org/10.4172/21611068.1000103.pdf, diakses 25 April 2014
Cai, J., Wang, X., Ma, A., Wang, Q., Han, X., &
Li, Y. (2015). Factors associated with
patient and provider delays for
tuberculosis diagnosis and treatment in
asia: A systematic review and metaanalysis.
PLoS
One,
10(3)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.
0120088 , diakses 25 Juli 2015
Dinkes (2012). Profil Kesehatan Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2012. Makassar,
www.depkes.go.id/, diakses 2 April 2014
Haris, D., R., S., Thaha. I., L., M., & Abdullah,
A., Z. (2014). Pasien TB Paru di Rumah
Sakit Dan Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat Kota Makassar. Retrieved
from
http://repository.unhas.ac.id.pdf,
diakses 25 Juli 2015
Lewis L Sharon., Dirksen SR., Heitkemper,
Bucher, Camera. (2011). Medikal Surgical
Nursing: Assessment and Management of
Clical Problems. Saunders Elsevier : St.
Louis, Missouri USA
Maksalmina, Z. (2013). Faktor-Faktor yang
Menyebabkan
Kejadian
TB
(Tuberkulosis) Paru Pada Laki-Laki Di
Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni
Kabupaten
Pekalongan.
www.digilib.stikesmuh-pkj.ac.id/ diakses
30 Juli 2015
Miller, Thaddeus L,DrP.H., M.P.H., Wilson, F.
A., PhD., Pang, Jenny W,M.D., M.P.H.,
Beavers, S., M.D., Hoger, S., DrP.H.,
Sharnprapai, S., M.P.H., Weis, S. E., D.O.
(2015). Mortality Hazard and Survival
After Tuberculosis Treatment. American
Journal of Public Health, 105(5), 930-937.
Retrieved from http://search.proquest.com ,
diakses 30 Juli 2015
Paul, S., Akter, R., Aftab, A., Khan, A. M.,
Barua, M., Islam, S., Sarker, M. (2015).
Knowledge and Attitude of Key
Community
Members
Towards

Tuberculosis: Mixed Method Study From
Brac TB Control Areas in Bangladesh.
BMC
Public
Health,
15
doi:http://dx.doi.org/10.1186/s12889-0151390-5, diakses 30 Juli 2015
Raynes., E. A. (2013). Cultural Differences in
Healthcare
Providers’
Knowledge,
Attitudes, and Practices in Treating
Tuberculosis.
Walden
University.
Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/,
diakses 30 Juli 2015
Robinson, J. M., Saputra, L. (2014). Buku Ajar
Visual Nursing Medikal Bedah. Binarupa
Aksara : Pamulang, Tanggerang Selatan
Sianturi R. (2013). Analisis Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kekambuhan Tb
Paru. Jurnal diterbitkan. Semarang:
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas
Negeri Semarang, journal.unnes.ac.id/sju/,
diakses tanggal 4 April 2014
Schepisi, M. S., Sotgiu, G., Contini, S., Puro, V.,
Ippolito, G., & Girardi, E. (2015).
Tuberculosis
Transmission
from
Healthcare Workers to Patients and CoWorkers: A Systematic Literature Review
and Meta-Analysis. PLoS One, 10(4)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.
0121639, diakses 30 Juli 2015
Sejati, A., & Sofiana, L. (2015). Faktor-Faktor
Terjadinya Tuberculosis. Retrieved from
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/ke
mas, diakses 30 Juli 2015
Sekandi, J. N., Dobbin, K., Oloya, J., Okwera,
A., Whalen, C. C., & Corso, P. S. (2015).
Cost-effectiveness Analysis of Community
Active Case Finding and Household
Contact Investigation for Tuberculosis
Case Detection in Urban Africa. PLoS
One,
10(2)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.
0117009, diakses 30 Juli 2015
Setiarni, S., M., Sutomo, A., H., & Hariyono, W.
(2013). Hubungan Antara Tingkat
Pengetahuan, Status Ekonomi dan
Kebiasaan Merokok gengan Kejadian
Tuberculosis Paru pada Orang Dewasa di
Wilayah Kerja Puskesmas Tuan-Tuan
Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat.
Retrieved
from
www.journal.uad.ac.id/index.php/KesMas,
diakses 30 Juli 2015
Wu, Y., Lo, H., Yang, S., Chu, D., & Chou, P.
(2015).
Comparing
The
Factors
Correlated With Tuberculosis-Specific
and Non-Tuberculosis-Specific Deaths In
Different
Age
Groups
Among
Tuberculosis-Related Deaths In Taiwan.

PLoS
One,
10(3)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.
0118929, diakses 30 Juli 2015
Zamudio, C., Krapp, F., Choi, H. W., Shah, L.,
Ciampi, A., Gotuzzo, E., Brewer, T. F.
(2015). Public Transportation and

Tuberculosis Transmission In A High
Incidence Setting. PLoS One, 10(2)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.
0115230, diakses 30 Juli 2015