Jufri Al katiri Ahmadiyah Qadian Dalam P

AHMADIYAH QADIAN}DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA: KAJIAN TENTANG AGAMA DI RUANG PUBLIK

  Disertasi

  Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

  Doktor dalam Bidang DakwahdanKomunikasi

  Oleh: JufriAlkatiri 12.3.00.0.07.01.0030

  Promotor

  Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA

  Prof. Dr. Murodi, MA

KONSENTRASI DAKWAH DAN KOMUNIKASI SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

  2014 M1435 H

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI

  Disertasi dengan judul: “Ahmadiyah QadianDalam

  Perspektif Komunikasi Antarbudaya: Kajian Tentang Agama

  Di Ruang Publik” yang ditulis oleh Jufri Alkatiri, NIM 12.3.00.0.07.01.0030 telah lulus dan diperbaiki sesuai saran dan masukan Tim Penguji pada Ujian Pendahuluan Disertasi hari Rabu,

  18 Juni 2014, dan disetujui untuk diajukan pada sidang Ujian Terbuka (Promosi).

TIM PENGUJI

  N

  Keterangan

  Nama Penguji

  No

  Tanda tangan

  Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA

  1 Ketua Sidangmerangkap Penguji

  Tanggal..........

  Prof. Dr. Suwito, MA

  2 Penguji 1

  Tanggal..........

  Prof. Dr. Zainun Kamal, MA

  3 Penguji 2

  \ Tanggal.........

  Prof. Dr.Soedijarto, MA

  4 Penguji 3

  Tanggal..........

  Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA

  5 Pembimbingmerangkap Penguji 1

  Tanggal.........

  Prof. Dr. Murodi, MA

  6 PembimbingMerangkap Penguji 2

  Tanggal …..…

SURAT PERNYATAAN

  Yang bertanda tangan di bawah ini:

  Nama

  : Jufri Alkatiri

  : Dakwah dan Komunikasi

  Dengan ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:

  “Ahmadiyah

  Qadian

  Dalam

  Perspektif Komunikasi

  Antarbudaya: Kajian Tentang Agama Di Ruang Publik”adalah karya asli saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya yang dapat berakibat pada pembatalan gelar kesarjanaan saya.

  Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa paksaan dari siapa pun.

  Jakarta, Mei 2014 Yang Menyatakan

  JufriAlkatiri

KATA PENGANTAR

  Bismillāhirra ḥmānirraḥīm

  Segala puji dan syukur penulis panjatkan pada Alla>h swt, semata karena anugerah-Nya, penulis mampu menyelesaikan tugas akhir disertasi pada Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini. S{alawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada baginda Rasu>lulla>h Muh{ammad saw, keluarga, sahabat, serta umat terkasihnya.

  Disertasi sederhana ini bermuladari keinginan penulis untuk turut andil menyumbangkan pemikiran tentang keilmuan dakwah dan komunikasi, terutama da’wah bi al-h}a>l yaitu dakwah yang disertai tindakan nyata dan komunikasi antarbudaya Ahmadiyah Qadian dengan Islam arus utama. Penulis menyadari, apa yang penulis suguhkan melalui disertasi sederhana ini belum mampu memberikan informasi dan kontribusi baru bagi perkembangan ilmu

  terbaik.Kekuranganini menyadarkan penulis, bahwa tugas akhir ini mustahil terselesaikan tanpa dukungan dan bantuan, baik moril maupun meteril dari banyak pihak. Karena itu, kesadaran penulis untukmengucapkanterima kasih sebesar-besarnya, terutama kepada:

  Pertama,Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. H. Azyumardi

  Azra MA, seorang intelektual-organik yang pikiran dan sepak terjang beliau senantiasa menjadi inspirasi dan teladan bagi

  penulis, mahasiswa dan kalangan akademik.

  Kedua, pembimbing disertasi Prof. Dr. H. Azyumardi Azra MA dan Prof. Dr. H. Murodi MA, yang dengan ketekunan dan keikhlasannya terus mendampingi dan mengarahkan penulis, baik secara teknis maupun substansi, hingga disertasi ini layak diajukan ke sidang munaqasah. Mohon maaf, jika selama bimbingan penulis banyak merepotkan dan mengganggu waktunya. Semoga Alla>h Swt mencatat amal baik untuk kesediaan Prof AzyumardiAzra dan Prof Dr. Murodi. Tidak lupa untuk Prof. Dr. H. Suwito MA, dan Prof Dr. Andi Faisal Bakti MA yang memberikan dorongan dan semangat dalam merampungkan disertasi ini.

  Ketiga, para dosen dan pegawai akademik Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. H. Suwito, Prof. Dr. H. Thib Raya, Prof. Dr. Zainul Kamal, Prof. Dr. Atho Mudzhar, Prof. Dr. Bambang Pranowo, Prof. Dr. Ikhsan Tanggok, Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, Prof. Dr. Sukron Kamil, Dr. Fuad Jabali, Dr. Yusuf Rahman, Dr. Asep Syaepuddin Djahar, Dr. Muhbib, Dr. Muhammad Zuhdi, Prof. Dr. Musdah Mulia (ICRP),dan Dr. Suparto, serta staf dan karyawan Sekolah Pascasarjana UIN dan teman-teman sesama mahasiswa Sekolah Pascasarjana. Mohon maaf, jika selama berinteraksi penulis terlalu banyak minta dilayani, sementara penulis tidak mampu memberikan apapun. Semoga kebaikan mereka dibalas kebaikan pula oleh-Nya.

  Keempat, isteri tercinta penulis, Ir. Ries Mariana, yang tiada bosan mendampingi, memotivasi, dan memberi masukan berharga bagi penulis. Kala semangat mengendur dan kebosanan menghampiri, dialah sosok yang tidak henti-hentinya melecut penulis untuk terus berlari sekencang-kencangnya dan tidak perlu berputus asa. Juga kedua putri penulis, Dikara Maitri Pradipta Alkarisya dan Anindita Keumalahayati Alkarisya yang bersedia mengalah mengijinkan ayahnya kuliah lagi mengambil S3 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,padahal mereka juga sedang merampungkan studinya di FISIP Jurusan Hubungan Internasional UNAIR Surabaya dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Depok. Bukan itu saja, Dikara yang juga Keempat, isteri tercinta penulis, Ir. Ries Mariana, yang tiada bosan mendampingi, memotivasi, dan memberi masukan berharga bagi penulis. Kala semangat mengendur dan kebosanan menghampiri, dialah sosok yang tidak henti-hentinya melecut penulis untuk terus berlari sekencang-kencangnya dan tidak perlu berputus asa. Juga kedua putri penulis, Dikara Maitri Pradipta Alkarisya dan Anindita Keumalahayati Alkarisya yang bersedia mengalah mengijinkan ayahnya kuliah lagi mengambil S3 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,padahal mereka juga sedang merampungkan studinya di FISIP Jurusan Hubungan Internasional UNAIR Surabaya dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Depok. Bukan itu saja, Dikara yang juga

  

  Kelima, ayahanda dan ibunda penulis, almarhum Syamsuir dan almarhumah Halimatun serta kedua bapak dan ibu mertua almarhum Roeslan Prawirodisastro danalmarhumah Hajjah Supinah, serta kakak penulis Hj.Umi Nur Rochyati, SPd, MM.

  Keenam, teman-teman di News Liputan 6 SCTV yang memberikan dorongan dan memotivasi penulis untuk secepatnya merampungkan studi doktoral di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

  Ketujuh, Muballigh, Pimpinan dan Pengurus PB Jamaat Ahmadiyah Indonesia di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Parung Bogor terutama Amir Nasional H. Abdul Basit, Ustad Zafrulloh Ahmad Pontoh, Ustad Rakeeman R.A.M Jumaan, Ustad Fadhal Ahmad, dan Ekky Sobandi, MSi. Selain itu, ucapan terimakasih penulis untuk Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Ketua Umum MUI Pusat Prof. Dr. Din Syamsuddin, Rois Syuriah PBNU KH Masdar Mashudi, Prof Dr. Adnan Buyung Nasution,Direktur Wahid Institute Ahmad Suedi, Setara Institute Jakarta, dan Anggota Dewan Pakar Lembaga Kebudayaan Betawi Abdul Chaer untuk menyediakan waktunya diwawancarai dan berdiskusi dengan penulis.

  Sebagai kalam pamungkas, penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari yang diharapkan. Karenanya, penulis membuka tangan lebar-lebar untuk menerima saran, kritik, atau masukan yang konstruktif dari siapapun, untuk kelengkapan disertasi ini. Luruskan dan tamballah kekurangan-kekurangan yang bertebaran di lembaran-lembaran disertasi ini. Semoga saran, kritik atau masukan pembaca menjadi bagian dari tawa>s}aw bi al-h}aqq, dan mendapat balasan setimpal dari-Nya. Akhirnya, terima kasih kepada siapa pun yang menilai disertasi ini ada maupun tidak ada maknanya.

  Sekian dan terima kasih. Wassalam.

  Jakarta, Mei 2014

JUFRI ALKATIRI

ABSTRAK

  Penelitian ini bertujuan membuktikan bahwa perbedaan agama berpengaruh signifikan terhadap proses komunikasi antarabudaya. Semakin eksklusif suatu budaya semakin mudah menimbulkan konflik antarbudaya. Semakin kecil ruang komunikasi semakin terbuka konflik fisik antarumat beragama.

  Kesimpulan ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari teori Larry A. Samovar dalam Communication between Cultures (2007) yang mengatakan bahwa komunikasi antara umat Islam arus utama dengan Jemaat Ahmadiyah tidak mudah dilakukan karenamemiliki latar belakang agama dan budaya yang berbeda. Joseph A. DeVito dalam Human Communication (1996) mengungkapkan bahwa semakin besar perbedaan budaya semakin sulit komunikasi antarbudaya dilakukan.

  Disertasi ini mendukung teori Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama dalam bukunya Communication in Contexts, Intercultural Communication in Contexts (New York: Mc Graw- Hill, 2004), perbedaan dan penafsiran agama seringkali menjadi akar konflik budaya. Dan disertasiinimemperkuat pemikiran Jurgen Habermas dalam, Religion in the Public Sphere, bahwa agama di ruang publik dituntut melepaskan klaim sebagaisatu-satunya yang memiliki otoritas untuk menafsirkan dan menentukan cara hidup yang legitimated. Agama ketika masuk ke ruang publik harus ditafsirkan secara sekuler, berdasarkan prinsip rasionalitas.

  Disertasiiniadalahpenelitiankualitatifdenganmetode wawancara,

  dokumentasi,

  dan

  partisipatoris.Penelitianinimenggunakanpendekatanantropologiko munikasidengan

  cara

  menguraikan,

  menjabarkan, dan

  mengelompokkan fakta-fakta yang kemudian dianalisis dan memberikan pemahaman serta penjelasan, sehingga terungkap penyebab konflik Jemaat Ahmadiyah Qadian dengan Islam arus utama. Sumber datayang digunakan adalah primer dansekunder, kemudian dianalisis dengan teori komunikasi antarbudaya dan teoriinteraksisimboliksecaradeskriptif analitis.

ABSTRACT

  This thesis is intended to prove that religious difference

  brings significant impact on cross cultural communication process. More exclusive is a culture, more cross cultural conflicts take place. Smaller communication space will promote more open physical conflict amongst religious community.

  The conclusion of this thesis is a deeper elaboration of

  Theory Larry A. Samovar in Communication between Cultures (2007) which states that the communications among Muslim people of Jemaat Ahmadiyah is not easy to conduct as they have different cultural and religion background. Joseph A. DeVito in Human Communication (1996) stated that wider different culture promotes a more complicated cross cultural communications.

  This thesis supports the notion stated by Judith N.

  Martin and Thomas K. Nakayama in his book Communication in Contexts, Intercultural Communication in Contexts (New York: Mc Graw-Hill, 2004), the difference and perception of religion has been the root problem of cultural conflict. This thesis is also strengthen by the idea of Jurgen Habermas in Religion in the Public Sphere, that religion in public area is forced to release the claim as the only authorized party to make the perception and decide a legitimated lifestyle. When religion entered the public area, it should be perceived as secular, based on rationality principles.

  This thesis is the qualitative research in methods of

  interviewing, documentation, and participatory. This research use approach anthropology communication by means of expounding, describe, and group of facts then analyzed and provide understanding and explanations, so unfold cause conflict with Islamic Ahmadiyah Qadian the mainstream. Sources of data used is the primary and secondary, then analyzed with the theory of intercultural communication and symbolic interaction theory is descriptive analytic.

  صخلملا

  . تافاقثلانيبلاصتلااةيلمعىفلاديرثأتالذةينيدلاتافلاتخلاانأتابثإىلإثحبلااذهفدهي

  . تافاقثلانيبتاعارصلاقيقحتىلعتلهستفامعمتلرةفاقثترصنحااملكو . مهنيبةيدالداتاعارصلاتحتفنافعمتلمجادارفأنيبتلااصتلااةحاسمتقاضاملكو

  تافاقثلانيبتلااصتلاا , راواسم

  . أيرلاةيرظنلتاحيضوتلاونمديزميهةجيتنلاهذهو

  ) Communication

  between

  Cultures (

  ةينيدلامتهايفلخفلاتخلامهنيبمايقلابةلوهسلانمسيلةيدحمأةعامجعمونيملسلدانيبتلااصتلاانلاوقيثيح

  Human ( ةيرشبلاتلااصتلاا

  , فيوتيفيد

  . أفيسونجاكاذكهو

  . ةيفاقثلاو

  ) C ommunication

  . تافاقثلانيبلصاوتلايفتابوعصلاتدادزافةيفاقثلاتافلاتخلااتدازاملكنهأبرعي

  . نثيدوجةيرظنديؤتةجيتنلاهذهتناكو تاقايسلاوتافاقثلانيبلصاوتلا,تاقايسيفتلااصتلاا امبهاتكيفاماياكان . كساموتونترام

  Communication in Contexts, Intercultural Communication in (

  .) 2004 , ليهوارغكم :

  كرويوين

  () Context s

  . عمتلمجادنعيفاقثلاعارصلاىلإنايحلأانميرثكيفيدؤيةينيدلاصوصنلايرسفتيففلاتخلاانلأاقثيح Religion in the Public ( ماعللاالمجايفنيدلا , سامرباهنيغروييجأرلااضيأةساردلاهذهديؤتو

  . هيرسفتةحصىفاديحوارابتعاهعلاخإىلعبولطمماعلاءاضفلايفنيدلانلأاقثيح ) Sphere . ةينلاقعلاأدبمىلإادنتسمايناملعايرسفتهيرسفتبجيماعلاءاضفلايفلخدامدنعنيدلانأاذكهو

  لاسلجملسيئرللاثماهيلعدمتعمرداصمنمددععمةقمعتلداتاراولحاوهثحبلااذهليسيئرلاردصلداامأ

  راببايسينودنإةيدحمأةعاملجةيذيفنتلاةئيهلسيئرلاوءاملعلاةضنهةيذيفنتلاةئيهلسيئرلاوايسينودنلإاءاملع

  ةينيدلانوئشلثوحبلاةرازوواراتيسلادهعموديحولادهعموةيدملمحةيذيفنتلاةئيهلسيئرلاواتركاجوروجوبونجو

  ) رهظمءاطع (

  لاتاساردلاةيلكسيردتلاةئيهءاضعأوناندعاسينودنلأاةيروهملجاسيئرلاداشرلإناويدلانمقباسوضعدحأو

  هاملجاعمةيناديلداتاظحلالدا,كلذىلإةفاضلإاب . اتركابجةيموكلحاةيملاسلإاهللاةيادهفيرشةعماجىفايلع

  . ةيدحملأاةعاملجانمةفئاطلاونيملسلداري

  ظعميفةيدحمأبةقلعتلداتاساردلاوايسينودنإبةيدحمأعابتأتايمانيدودوجوبةقلعتلداةيبيرجتلاتانايبلاكلاذكو

  . ةيملاسلإانادلبلام

  . ةكراشلداوقيثوتلاوةثدالمحاجهنلدامادختسابيعونلاثحبلاةساردلاهذنهوكتو

  لحافينصتواهفصووةضيرعلاطوطلخاقيرطنعتلااصتلااويجولوبورثنلأاجهنلداةساردلاهذهاضيأمدختستو

  . ةيدحمأةعاجمونيملسلداعمعارصلاةيضقفشتكتىتحيرسافتلاوهمافلدايرفوتللاخنمليلحتثماهيلتيتلاقئاق تيلانمةفرعلداوتامولعلدارفوتنأنكمتيتلاتلالمجاوتلااقلداوبتكللاثتماباتكلاضعبيهةيوناثلاتانايبلارداصنمأنيحيفو

  . ةيدحملأيسيئرلارا

  يليلحتلايفصولاجهنلدامادختسابوتافاقثلانيبيزمرللاصاوتلاةيرظنقيرطنعاهعمجمتيتلاتانايبللايلحتمتيثم

  . ةيدحملأاو,فنعلاو,تافاقثلانيبلصاوتلا : ةيسيئرلاتاملكلا

PEDOMAN TRANSLETERASI ARAB-LATIN

  Huruf Arab

  Nama

  Huruf Latin

  dilambangkan dilambangkan

  ha (titik di bawah)

  es (dengan titik di bawah)

  de (dengan titik di

  te (dengan titik di te (dengan titik di

  

  Koma terbalik di

  Catatan: Huruf al-madd berupa al-alif dilambangkan dengan ā seperti qāla ( لاق)

  Huruf al-madd berupa al-wāw dilambangkan dengan ū seperti qālū ( اولاق)

  Huruf al-madd berupa al-yā’ dilambangkan dengan ī seperti qīla ( ليق)

  Huruf al-tā’ al-marbū ṭah (ة) yang terletak di akhir kata ditulis h, Sedangkan al-tā’ al-marbū ṭah (ة) yang menjadi al-muḍāf ditulis t seperti wazārat al-tarbiyah ( ةيبترلا ةرازو). Sedangkan, kata yang di akhirnya al-tā’al-marbū ṭah (ة) yang menjadi ṣifat dan mawṣūf ditulis h seperti al-risālah al-qa ṣīrah (ةيرصقلا ةلاسرلا) Tanda bintang () adalah pemisah antara al-‘arū ḍ(penggalan bait

  pertama) dengan al- ḍarb (penggalan bait kedua) dalam bait-bait puisi.

  makin sulit untuk melihat identitas religius sebagai bagian dari agama tertentu saja. 1

  Bukan itu saja, identitas religius berpotensi untuk membentuk identitas budaya. 2 Islam Sunni, misalnya, sering

  diidentifikasi sebagai konsep religius budaya Indonesia, sedangkan kelompok lain, seperti Syi’ah atau Ahmadiyah, dipandang tidak

  memiliki identitas kebudayaan di Indonesia. 3 Kelompok-kelompok tersebut sering dikaitkan dengan sejumlah konsep mutakhir,

  misalnya transnasionalisme Islam 4 atau internasionalisme Islam. Salah satu akibatnya munculnya konflik antarbudaya. 5 Karena itu, perbedaan agama kerap menjadi akar konflik 6 di banyak negara,

  misalnya di Timur Tengah, Irlandia Utara, India, dan Pakistan, hingga Bosnia-Herzegovina. Hingga saat ini pun, misalnya hal serupa terjadi pada segelintir orang Arab-Amerika hidup di bawah kecurigaan, bahkan penghambatan dalam beribadah yang dilakukan

  1 Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts (New York: Mc Graw-Hill, 2004), 79. Martin dan

  Nakayama mengatakan, bagaimana komunikasi mempengaruhi budaya. Budaya tidak akan bisa terbentuk tanpa komunikasi. Pola-pola komunikasi yang tentunya sesuai dengan latar belakang dan nilai-nilai budaya akan menggambarkan identitas budaya seseorang maupun kelompok orang

  2 Lihat Tracy Novinger, Intercultural Communication A Practical Guade

  (Austin USA: University of Texas Press), 2001.

  3 Lihat Brian Morris, Religion and Anthropology: A Critical Introduction (New York, Cambridge University Press, 2006), 45

  4 Transnasionalisme Islam yaitu ideologi dan gerakan sosial politik dan keagamaan yang lintas negara. Namun, dalam konteks NU, istilah

  transnasionalisme diacu dan dirujukkan pada ideologi dan gerakan sosial politik dan keagamaan yang tunggal dan mendunia dari Timur Tengah. Lihat sumber https:fr-fr.facebook.comnoteswarga-nahdliyin-dukung-pancasila-tolak- khilafahnu-vis-a-vis-transnasionalisme, diakses , 30 Januari 2014

  5 Lihat Robert N. Bellah, Beyond Belief: Esei-Esei tentang Agama di Dunia Modern (Jakarta: Paramadina, 2000), 11

  6 Nicola Colbran\, ‚Realities and Challenges in Realising Freedom of Religion or Belief in Indonesia,‛ Norwegian Centre for Human Rights, Oslo,

  Norway. The International Journal of Human Rights Vol. 14, No. 5 (September 2010): 678–704.

  masyarakat di sekelilingnya sejalan dengan upaya pemerintah Amerika Serikat untuk menekan terorisme. 7

  Sedangkan Karen Armstrong melihat agama menjadi penyebab seluruh peperangan besar dalam sejarah umat manusia. Pada kenyataannya, penyebab konflik biasanya akibat ketamakan, kebencian, dan ambisi, namun dalam upaya untuk mensterilkannya, emosi-emosi yang memperturutkan nafsu sendiri

  ini kerap dibungkus dalam retorika agama. 8 Agama memang dianggap sebagai sumber ajaran keluruhan dan kerukunan. Namun

  tidak jarang timbul gesekan antarpemeluk agama. Kenyataan ini harus disadari, bukan sebagai bahan untuk provokasi namun diharapkan masyarakat harus berupaya mengelola kemajemukan.

  Agama, menurut cara pandang komunikasi antarbudaya, tergolong ke dalam ranah budaya. 9 Komunikasi jika ditinjau dalam

  perspektif Islam, memiliki posisi yang sangat krusial. Menurut Hamid Mowlana dan Joseph A. Kechichian dalam Communications Media, bahwa komunikasi telah menjadi bagian instrumental dan integral dari Islam sejak awal sebagai gerakan religio-politik. 10

  Salah satu media yang diasumsikan mempunyai kekuatan untuk memobilisasi massa adalah agama. 11 Menurut Azyumardi Azra,

  7 Bandingkan dengan Helen Hardcare, "Religion and Civil Society in Contemporary Japan", Japanese Journal of Religious Studies , 2004, 411,

  http:nirc.nanzan-u.ac.jpnfile2851 (diakses pada tanggal 1 Juli 2013).

  8 Karen Armstrong , Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas

  Kasih (Bandung: Penerbit Mizan 2013),10. 9

  Tariq Ramadhan, What I Believe (Oxford: Oxford University, 2010),

  90-95.

  10 Hamid Mowlana dan Joseph A. Kechichian, ‚Communications Media,‛ The Oxford Encyclopedia of the Islamic World,

  http:www.oxfordislamicstudies.com articleoprt236e0157?_Hi=0_pos=1 , (diakses 30 Juni 2013).

  11 Clifford Geertz mendefinisikan agama sebagai simbol yang berperan untuk membangun suasana yang kuat ( resource ), pervasive , dan tahan lama

  dalam diri manusia dengan cara merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum dan membungkus konsepsi-konsepsi itu dengan fakta. Lihat Daniel L. Pal, Eight Theories of Religion (Lahore: Oxford University Press, 1966), 414, Robert C. Trundle, (2011) agama dapat dipolitisir menjadi pembunuh ideologi dan agama. Lihat Robert C. Trundle, ‚America’s Religion Versus Religion in America: A Philosophic Profile‛, Journal for the Study of Religion and Ideologies , vol.11, issue 33 (2012), 3-20.

  Fundamentalisme, 13 Modernisme Hingga Post-Modernisme, fundamentalisme Islam melancarkan jihad terhadap kaum muslim

  yang dipandangnya telah menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Banyak mempraktikkan bid’ah, khurafat, takhayul, dan semacamnya. Selain itu, dalam buku Membela Kebebasan

  Beragama: 15 Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme 16 , Azra dalam menyikapi fenomena perbedaan teologi

  antara paham Islam di luar mainstream seperti Lia Eden, Ahmadiyah, Usman Roy, dan Syiah perlu secara terus menerus dilakukan upaya dialog.

  Di samping itu, menurut Azra, penting juga untuk meninggalkan ego masing-masing dan dan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan statemen keagamaan, terutama bagi lembaga

  12 Fundamentalisme sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-

  dasar atau asas-asas (fondasi). Karenanya, kelompok-kelompok yang mengikuti paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang ada di lingkungan agamanya sendiri. Mereka menganggap diri sendiri lebih murni dan dengan demikian juga lebih benar daripada lawan-lawan mereka yang iman atau ajaran agamanya telah tercemar.

  13 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996),37.

  14 Lihat juga Azyumardi Azra, Membela Kebebasan Beragama Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, Budhy Munawar-

  Rachman (ed) (Jakarta: Demokrasi Project Yayasan Abad Demokrasi: 2011), 266.

  15 Liberalisme adalah suatu paham atau tradisi politik yang menjunjung tinggi terhadap kebebasan. Secara umum paham ini ingin menciptakan sebuah

  masyarakat yang menjamin adanya kebebasan berfikir, berpolitik dan kebebasan dalam memiliki harta benda bagi setiap orang. Kata liberal berasal dari bahasa Latin liber yang artinya adalah bebas, merdeka atau bukan hamba. Marcus Aurelius (121-180) dalam tulisannya yang berjudul Meditation menjelaskan dalam sistem pemerintahan yang mendasarkan pada kebebasan. .kses

  Pluralisme bukan hanya berarti actual plurality (kemajemukan atau keaneragaman) yang justru menggambarkan kesan fragmentasi, bukan juga sekedar ‚kebaikan negatif‛ sebagai lawan dari fanatisme, melainkan harus dipahami sebagai ‚pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban‛ ( genuine engagement of diversity within the bonds of civility ). Lihat, Budi Munzwar Rachman, Islam Pluralis,31; Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani : Arkeologi Pemikiran ‚Civil Siciety ‛ dalam Iskam Indonesia (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999),23-23.

  keagamaan yang dianggap legitimate bagi umatnya. Karena statemen, apalagi fatwa, mereka dapat dijadikan pemicu atau

  alasan bagi kalangan tertentu untuk melakukan tindak kekerasan terhadap aliran agama atau paham lainnya. Lembaga-lembaga penting seperti MUI, misalnya, sepatutnya mengurangi kecenderungan cepat-cepat mengeluarkan fatwa – tanpa terlebih dahulu mengadakan dialog yang melibatkan pelbagai kalangan dan elemen Islam yang berbeda paham teologinya. Dengan begitu dapat tercipta fatwa yang dapat menyejukan suasana keberagamaan. Jadi, setiap fatwa yang dibuat seyogianya harus lebih mengutamakan dialog. Kecenderungan MUI belakangan ini, senang cepat-cepat mengeluarkan fatwa, tetapi fatwa itu tidak terlalu menolong penciptaan kehidupan intra-umat Islam yang

  lebih baik. 17 Fatwa pengharaman MUI terhadap pluralisme, menurut Azra keliru. Sebab, fatwa MUI itu didasarkan pada

  pemahaman yang tidak benar mengenai pluralisme. Pluralisme sejatinya bukan mencampuradukkan atau sinkretisme agama. Mendukung pluralisme, bukan berarti mencampuradukkan akidah

  dengan agama-agama lain. 18

  Menurut Abdul Hadi, bangsa Indonesia harus kembali ke UUD 1945. Ketika dalam UUD ada yang menyebutkan kebebasan

  17 Lihat juga Azyumardi Azra, Membela Kebebasan Beragama Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme…. 266-267.

  18 Lihat juga Azyumardi Azra, Membela Kebebasan Beragama Percakapan tentang Sekularisme, Liberal isme, dan Pluralisme….267-268.

  Pengafirmasian saya terhadap pluralisme sama sekali tidak bertindak sinkretis dalam beragama. Karena saya tidak menerima sinkretisme. Yang dimaksud pluralisme, menurut hemat saya, sederhananya adalah mengakui bahwa di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, terdapat bukan hanya orang Islam, tetapi ada pemeluk agama lainnya. Kita harus mengakui bahwa setiap agama dengan para pemeluknya masing-masing mempunyai hak yang sama untuk eksis sebagaimana juga agama yang kita anut mempunyai hak atas keberadaannya. Maka yang kemudian harus dibangun adalah perasaan saling menghormati, tetapi bukan sinkretisme. Kalau ada yang menganggap bahwa menerima pluralisme berarti kita melakukan sinkretisme keagamaan, maka pandangan seperti itu kacau adanya. Untuk itu persepsi bahwa orang yang menerima pluralisme berarti mengamini sinkretisme, harus ditolak. Orang Kristen juga menolak itu, begitupun penganut agama lainnya. Jadi pada hematnya, jika mereka menerima pandangan pluralisme, maka mereka harus tetap mengimani agama yang dianutnya secara total.

  beragama, tetapi harus diingat di situ bukan kebebasan seluas- luasnya. Kebebasan agama hanya bisa diterapkan bagi kelompok-

  kelompok yang memang asli lahir dari budaya Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah. Sedangkan kelompok seperti Ahmadiyah, tidak lain adalah alat kapitalis yang terusir dari negara asalnya.

  Bukan berarti dia tidak suka terhadap kelompok ini. 19 Bagaimanapun kalau terjadi kekerasan terhadap mereka, negara

  tetap harus melakukan tindakan tegas.

  Agama, secara khusus sangat penting dalam pembicaraan komunikasi antarbudaya, karena agama merupakan cara pandang ( worldview); sesuatu yang menuntun manusia dan menolong manusia menentukan gambaran dunia ini dan bagaimana mereka

  berperan dalam dunia tersebut. 20 Cara pandang merupakan inti dari perilaku manusia, karena suatu cara pandang akan menjelaskan

  realitas dan mengajarkan seseorang untuk melakukan peran secara efektif. 21

  Islam di berbagai zaman dan di berbagai daerah di Indonesia, berhadapan dengan adat dan struktur sosial setempat

  19 Lihat juga Abdul Hadi WM, Membela Kebebasan Beragama Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Budhy Munawar-

  Rachman (ed) (Jakarta: Demokrasi Project Yayasan Abad Demokrasi: 2011), 85. Bagi saya silakan saja Ahmadiyah hidup di negeri ini, kalau terjadi sesuatu atas mereka, maka itu adalah tanggung jawab pemerintah. Saya ingat ketika terjadi kerusuhan di Solo antara pendukung Sarekat Islam dengan masyarakat Tionghoa, di mana persoalannya bukan karena agama, tetapi lebih oleh karena motif ekonomi. Kalau sekarang seenaknya konglomerat membawa uang negara ke luar negeri, bukankah wajar jika warga marah. Jangan lagi disebut konflik etnis, ras, atau bahkan agama. Konsep SARA harus kita hilangkan. Biarkan orang Kristen mengkritik orang Islam, begitu pun sebaliknya. Masalahnya selama ini media masa tidak mampu menampung, akhirnya yang terjadi adalah munculnya sekat-sekat kelompok agama. Penyebab itu semua, sebagaimana sebelumnya saya katakan, karena menggejalanya budaya lisan. Jadi, sebagaimana saya utarakan dari awal, pokok soalnya adalah pendidikan kita yang tidak memiliki muatan kultur.

  20 Lihat Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, Communication Between Cultures (New York: Oxford University Press, 1995),10.

  21 Lihat Andi Faisal Bakti, Nation Building, Kontribusi Komunikasi Lintas Agama dan Budaya terhadap Kebangkitan Bangsa Indonesia (Jakarta:

  Churia Press, 2006),185 Churia Press, 2006),185

  sosial dengan adat dan struktur sosial dalam sejarah dan wilayah Indonesia. Berbagai bentuk interaksi kongkret menunjukkan pula keanekaragaman wajah Islam dalam manifestasi sejarahnya.

  Hadirnya Islam di ruang publik secara umum bisa dilihat sebagai penyebaran nilai, ajaran, dan simbol-simbol Islam pada masyarakat dengan memanfaatkan ruang publik, yaitu ruang atau arena, baik nyata maupun virtual yang digunakan secara bersama oleh warga masyarakat untuk mengomunikasikan dan menegosiasikan berbagai ide dan kepentingan, termasuk di

  dalamnya pandangan dan kepentingan agama. 23 Samovar, Porter, dan Jain mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai

  intercultural communication occurs whenever a message producer is a member of one culture and a message receiver is a member of another. 24 Komunikasi antarbudaya merupakan satu hal yang sama

  kompleksnya dengan kebudayaan. Komunikasi antarbudaya terjadi di antara komunikator dan komunikan yang memiliki latar belakang

  kebudayaan berbeda.

  Sedangkan

  komunikasi

  22 Lihat juga pendapat Silvio Ferrari, "Religion and the Development of Civil Society", Internatioanl Journal for Religiuos Freedom Vol 4 Issue 2 2011,

  35, http:www.iirf.eufileadminuser_uploadJournal IJRF_Vol4-2.pdf (diakses pada tanggal 30 Juni 2013).

  23 Menggunakan perspektif Jurgen Habermas, pemaparan dan pewacanaan Islam di ruang publik bagaimanapun mengandung dimensi politis

  berbagai kekuatan sosial berusaha mengartikulasikan secara publik kepentingan- kepentingan kepada Negara. Lihat, ‚Islam di Ruang Publik, Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia‛, Sukron Kamil, Noorhaidi Hasan dan Irfan Abubakar (ed), Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, 2-3. Maraknya Islam di ruang publik khususnya selama periode reformasi ditunjukkan oleh beberapa indikasi yang cukup menonjol. Di bidang politik, gejalan ini ditandai dengan lahirnya partai- partai politik Islam baru yang aktif mendengungkan seruan-seruan Islamis dan munculnya gerakan Islam militan seperti Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Front Pembela Islam (FPI). Di bidang ekonomi, terjadi ekspansi bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnnya. Di bidang kbudayaan, berkembang penerbitan buku-buku yang bertajuk Islam dan berkembangnya industri film yang mengangkat tema-tema Islami, seperti Ayat-Ayat Cinta.

  24 Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antarbudaya (Jakarta:Pusat Antar- Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun terbit), 24.

  antarbudaya meliputi aspek komunikasi, sementara karakteristik utama dari komunikasi yaitu makna. Komunikasi terjadi ketika

  seseorang mengatribusikan makna pada tuturan atau tindakan orang lain.

  Dalam upaya meningkatkan hubungan baik antarumat beragama, perlu dijalin komunikasi yang bersifat antarbudaya

  ( 25 intercultural communication), dengan demikian, akan dapat terjalin suasana keakraban antarpemeluk agama. Komunikasi juga

  dapat dipahami sebagai satu proses simbolis, di mana realitas diproduksi, dipertahankan, diperbaiki, dan ditransformasikan. 26

  Komunikasi antarbudaya, merupakan komunikasi antara orang- orang yang berbeda kebudayaan, misalnya; antara suku bangsa, etnik, ras, dan kelas sosial, tanpa kecuali komunikasi antarkelompok. Contohnya, jemaat Ahmadiyah dan kelompok Islam arus utama Indonesia. Pentingnya melakukan komunikasi antarbudaya dalam melihat konflik Ahmadiyah dengan Islam arus utama untuk mengkaji seberapa jauh fungsi dan peran komunikasi antarbudaya yang dilakukan kelompok Ahmadiyah dalam

  melakukan interaksi keagamaan dengan Islam 27 mainstream.

  Sejumlah pengertian tentang konflik antara lain adanya pertentangan yang timbul di dalam seseorang maupun dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Konflik dapat berupa perselisihan ( disagreement), adanya keteganyan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antar kedua belah pihak, sampai kepada mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai pengahalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing-masing.

  25 Komunikasi antarbudaya perlu diterapkan dalam dialog dan interaksi antarumat beragama sehari-hari. Menurut Roger dan Steinfatt (1999),

  sebagaimana dikutif oleh Judy Pearson, et.al, bahwa yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya adalah pertukaran informasi antarindividu yang tidak sama dalam hal budaya. Judy Pearson, et.al, Human Communication (New York: McGraw Hill,2003), 210.

  26 Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, Communication Between

  Cultures, 10 . 27 Lihat juga Azyumardi Azra, Membela Kebebasan Beragama

  Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme…. 256-257.

  Dampak dari aksi kekerasan dapat mengarah kepada tindakan fisik yang bersifat personal, artinya mengarah pada orang

  atau kelompok tertentu yang dilakukan secara disengaja maupun tidak disengaja. Pada dasarnya konflik dan kekerasan ada perbedaan, namun keduanya memiliki hubungan erat. Tidak ada kekerasan tanpa diawali konflik, sementara konflik tidak harus berujung pada kekerasan. Kekerasan dapat terjadi jika pihak-pihak

  yang terlibat di dalamnya tidak mampu menyelesaikannya. 28 Dalam pandangan Habermas, agama di ruang publik dituntut untuk

  melepaskan klaim sebagai yang satu-satunya memiliki otoritas untuk menafsirkan dan menentukan cara hidup mana yang

  legitimed. 29 Agama ketika masuk ke ruang publik harus ditafsirkan secara sekular berdasarkan prinsip rasionalitas.

  Pandangannya ini dipengaruhi oleh konsep Demokrasi Deliberatif 30 , bahwa negara dan agama harus dipisahkan perannya.

  28 Bandingkan dengan arti kekerasan (violence) secara etimologi berasal dari bahasa latin ‚vis‛ yang artinya kekuatan, kehebatan, kedahsyatan dan

  kekerasan dan ‚lotus‛ yang artinya membawa. Lihat Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 358- 359. Thomas Santoso dalam pengantar buku Teori-teori Kekerasan mengungkapkan pendapat Johan Galtung, seorang kriminolog dari Norwegia, yang mendefinisikan kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar, lihat Thomas Santoso, eds. Teori-teori Kekerasan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002). Dalam literatur Islam, kekerasan agresif dalam pengertian pembunuhan untuk mendapat yang diinginkan, terjadi pertama kali dilakukan oleh Qobil terhap Habil, anak Nabi Adam AS, karena memperebutkan perempuan jelita, Iqlimah, hingga akhirnya terjadi kekerasan dalam bentuk pembunuhan terhadap Habil. Dalam al- Qur’an kisah ini dapat dilihat dalam surah al-Maidah, 5:27-30. Lihat juga, Ala’i Najib, ‚Perempuan dan Perdamaian: Catatan tentang Peacebuilding‛ dalam

  Jurnal Taswirul Afkar , edisi No. 22 tahun 2007, 9.

  29 Lihat F. Budi Hardiman, Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 230.

  Mengenai konsep ‚Agama di Ruang Publik‛ Habermas menulis khusus tentang itu dalam bukunya, Between Naturalism and Religion (New York: Polity Press, 2009) yang diterjemahkan dari buku asli Zwischen Naturalismus und Religion tahun 2005. Secara khusus pada sub-judul ‚Religion in The Public Sphere‛.

  30 Demokrasi Deliberatif dalam pengertian Habermas yaitu suatu upaya untuk merekontruksi proses komunikasi dalam kontek negara demokratis.

  Deliberatif: konsultasi, menimbang, dan musyawarah. Demokrasi deliberatif adalah suatu pandangan yang diadopsi dari pemikiran Habermas, seorang

  Meskipun demikian, Habermas mengakui bahwa agama adalah pandangan hidup atau doktrin yang lengkap, namun ketika dibawa

  ke ruang public, doktrin-doktrin metafisikanya harus dijelaskan secara rasional. 31 Agama di ruang publik mensyaratkan adanya

  komunikasi dua arah atau dalam istilah Habermas disebut dengan diskursus praktis. 32 Dalam proses komunikasi ini terjadi diskusi di

  ruang publik dengan mempertahankan ruang tersebut dalam keadaan tetap netral, karena landasannya adalah rasionalitas bukan doktrin-doktrin keagamaan yang bersifat personal. Doktrin-doktrin itu disampaikan melalui bahasa yang dapat diterima oleh semua orang, sehingga ada proses diskursus yang mengarah pada

  konsensus. 33

  Negara terkait dengan agama di Ruang Publik, dalam pandangan Habermas, harus bebas dari paham keberpihakan pada salah satu agama. Agama harus tetap netral atau liberal: The consencus on constitutional principles in which all citizens must share pertains also to the principle of separation of church and state. 34 Terbukanya akses publik menjadi hal penting bagi

  pergerakan komunikasi antarbudaya karena demi terwujudnya kepentingan publik, sehingga free public sphere sangat diperlukan. 35 Peran agama, menurut Habermas, akan digantikan

  pemikir dari aliran Frankfrut School . Inti pandangan ini adalah upaya bagaimana mengaktifkan individu dalam masyarakat sebagai warga negara untuk berkomunikasi, sehingga komunikasi yang terjadi pada level warga itu mampu mempengaruhi pengambilan keputusan publik pada level sistem politik. Dalam praktiknya, demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tatacara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warganegara. Partisipasi warga (citizen participation) merupakan inti dari demokrasi deliberatif. Lihat Jurgen Habermas, Religion in Public Sphere , 125.

  31 F. Budi Hardiman, Ruang Publik, 121. Lihat juga pemikiran Habermas

  yang disarikan oleh F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 74.

  32 F. Budi Hardiman, Ruang Publik… 19. 33 Lihat Jurgen Habermas , Religion in Public Sphere , 120. 34 Jurgen Habermas, Religion on Public Sphere, 128.

  35 Castells mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan ruang publik adalah ruang komunikasi ide dan proyek yang muncul dari masyarakat dan

  ditujukan kepada para pengambil keputusan di lembaga-lembaga masyarakat. Manuel Castells, ‚The New Public Sphere: Global Civil Society, ditujukan kepada para pengambil keputusan di lembaga-lembaga masyarakat. Manuel Castells, ‚The New Public Sphere: Global Civil Society,

  ini dimainkan oleh praksis ritual keagamaan akan digantikan oleh tindakan komunikatif. 36 Sedangkan otoritas ‚Yang Kudus‛ secara

  suksesif akan digantikan oleh otoritas dari konsensus-konsensus yang tiap-tiap kali diupayakan. Seiring dengan berjalannya proses modernisasi kekuasan dari ‚Yang Suci‛ disublimasikan menjadi kekuasaan yang mengikat dari klaim-klaim keabsahan yang

  senantiasa dapat dikritik. 37 Untuk menguji teori Habermas tersebut, penulis membandingkannya dengan teori Armando

  Salvatore dan Mark Le Vine yang meragukan konsep public sphere Jurgen Habermas mengenai kemampuan untuk menganalisis Islam Publik. Dalam pandangan mereka, konsep Habermas terlalu terbatas menjelasksn format dan akses ruang-ruang publik serta tidak dapat menciptakan kesempatan mengklaim ulang kebaikan bersama (common good) yang diupayakan oleh berbagai gerakan kelompok sosial, termasuk kelompok sosial religius, yang tidak merefleksikan semacam sekularitas yang diproduksi negara modern dengan berbagai variannya seperti liberal, publik, dan

  sosialis. 38 Di beberapa daerah misalnya, di Lombok, Nusa

  Tenggara Barat, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sering mendapatkan perlakuan intimidasi, mulai penyegelan masjid tempat mereka ibadah, sampai penjarahan hak milik mereka, serta

  pengusiran secara paksa dari tanah kelahirannya. 39 Sedangkan di

  Communication Networks, and Global Governance‛, Annals of the American Academy of Political and Social Science , Vol. 616, Public Diplomacy in a Changing World (Mar., 2008), 78, http:www.jstor.orgstable25097995 (diakses pada tanggal 26 Juni 2013).

  36 Jurgen Habermas Religion on Public Sphere, 128 . 37 Lihat A. Sunarko dalam F. Budi Hardiman, Ruang Publik, 220. 38 Armando Salvatore dan Mark LeVine, ‚Recontructing The Public

  Sphere in Muslim Majority Societies‛ dalam

  Religion, Social Pratice, And

  Contested Hegemonies: Recontructing the Public Sphere in Muslim Majurity Societies, Armando Salvatore dan Mark Le Vine (ed) (New York: Palgrave Macmillan, 2005), 5-6.

  39 Mengenai konflik Jemaat Ahmadiyah dan Non-Ahmadiyah di NTB, terdapat penelitian khusus yang menyoroti hal tersebut. Lihat, Lalu Ahmad

  Zaenuri, Konflik Jemaat Ahmadiyah dengan Masyarakat Non-Ahmadiyah (Studi Kasus di Lombok NTB), Disertasi SPS UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 2009.

  Kemang Parung, Bogor, Jawa Barat tahun 2005, 2007, tahun 2013, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mengalami hal serupa. Pada

  tahun 2005, Ahmadiyah di Parung ini tergolong besar, bahkan dikenal sebagai pusat kegiatan Ahmadiyah di Indonesia. JAI berada di Desa Pondok Udik, Kemang memiliki pusat pendidikan kader, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pesantren Mubarok, dan perguruan tinggi Islam Ahmadiyah.

  Pada tahun 2007 dan 2009 kelompok terbesar Jemaat Ahmadiyah Qadian di Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat, diserang dan dihancurkan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Islam. Delapan rumah jemaat dihancurkan, sementara tujuh masjid dirusak dan dibakar, tiga di antaranya disegel aparat kepolisian. Dampak yang lebih menakutkan, tiga warga Ahmadiyah dirawat di rumah sakit, satu di

  antaranya mengalami luka tusukan benda tajam. 40

  Dalam kasus Ahmadiyah Qadian dengan Islam arus utama bukan isu kebebasan beragama tetapi penafsiran perbedaan paham kenabian. Menanggapi perbedaan tersebut, Pengurus Pusat Jemaat Ahmadiyah membenarkan bahwa komunikasi yang mereka lakukan selama ini pada umat Islam arus utama tidak sebaik dan seintensif dengan umat Kristen maupun Katolik. Menurut salah seorang pengurus PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Rakeeman R.A.M. Jumaan, ada kesalahan persepsi komunikasi akibat warga Ahmadiyah menjadi korban kekerasan karena ajaran Ahmadiyah

  dianggap menyimang dan sesat. 41

  Perbedaan itu, didasarkan pada adanya pandangan yang keliru terhadap keyakinan Ahmadiyah dalam hal khata>m al- nabi>yi>n. Padahal Ahmadiyah meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi yang terakhir dan tidak akan datang nabi lagi,

  baik nabi lama maupun nabi baru. 42 Sekelompok ormas Islam menganggap ajaran Ahmadiyah Qadian dianggap melenceng dan

  menyesatkan dari ajaran Islam sebenarnya karena mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad saw. Hal ini sangat

  40 Majalah Madina, Edisi 3, Desember 2009. 41 Wawancara mendalam dengan Rakeeman RAM Jumaan, Pengurus

  Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, di Parung, Jawa Barat, 14 Pebruari 2014.

  42 Wawancara mendalam dengan Rakeeman R>A>M Jumaan, Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, di Parung, Jawa Barat, 14 Pebruari 2014.

  bertentangan dengan pandangan umumnya kaum muslim yang mempercayai Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir. 43

  Menurut Goenawan Mohamad, presiden pertama Indonesia Soekarno menghargai gerakan Ahmadiyah. Selama masa pembuangannya di Ende, Nusa Tenggara Timur, dia pernah didesas-desuskan mendirikan cabang Ahmadiyah, namun Soekarno dalam sepucuk suratnya tahun 1936, membantah desas-desus tersebut.

  Saya tidak percaya bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa dia seorang mujaddid. Namun dia menyatakan mendapat banyak faedah dari buku-buku yang dikeluarkan Ahmadiyah, misalnya Mohammad the Prophet karya Mohammad Ali dan Het Evangelie van den daad karya Chawadja Kamaloeddin. Majalah Ahmadiyah, Islamic Review, kata Bung Karno, banyak memuat artikel yang bagus. 44

  Mohamad menulis, pada waktu itu, Bung Karno tentu sadar akan sikap negatif kalangan Islam, terutama Muhammadiyah,

  terhadap Ahmadiyah yang terungkap sejak tahun 1929. 45 Adanya

  43 Lihat Lalu Ahmad Zuhaeri, ‚Konflik Jemaat Ahmadiyah dengan Masyarakat Non Ahmadiyah‛ Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

  Hidayatullah, (2009), 15.

  44 Goenawan Mohamad, ‚Dari Ende ke Arab Saudi‛, Majalah Prisma , edisi khusus volume 32, No.2 dan No 3 tahun 2013), 152.

  45 Namun dia, tidak menutup pintu bagi ide-ide yang dianggap baik dari kalangan ini – ‚baik‛ dalam perspektif seorang penganjur modernitas.

  Ahmadiyah adalah salah satu faktor penting di dalam pembaharuan pengertian Islam di India,‛ kata Bung Karno dalam tulisannya, ‚Me-muda-kan Pengertian Islam‛. Dalam hal ini Bung Karno tidak seorang diri. Seperti dia, sebelumnya, Tjokroaminoto, juga mendapatkan Qur’an dari terjemahan dan tafsir seorang ulama Ahmadiyah, Muhammad Ali, The Holy Qur’an . Organisasi pemuda Islam yang berpengaruh, Jong Islamieten Bond, yang didirikan para pemuda terpelajar pada tahun 1924 yang pernah mengundang seorang mubalig Ahmadiyah Lahore, Wali Ahmad Baig, sebagai salah seorang pengajar di organisasi itu – sebagaimana halnya tokoh Islam ‚reformis‛ lain, misalnya, A Fachruddin dari Muhammadiyah. Meskipun demikian, ada hal yang tak akan mendekatkan Bung Karno ke kalangan Ahmadiyah: Selain kultus mereka terhadap Mirza Gulam Ahmad adalah apa yang dikatakan Bung Karno sebagai ‚kecintaan‛ para pelopor Ahmadiyah ‚kepada imperialisme Inggris.‛ Semangat antikolonial bertaut dengan keyakinan akan modernitas dan pandangan sejarah yang Ahmadiyah adalah salah satu faktor penting di dalam pembaharuan pengertian Islam di India,‛ kata Bung Karno dalam tulisannya, ‚Me-muda-kan Pengertian Islam‛. Dalam hal ini Bung Karno tidak seorang diri. Seperti dia, sebelumnya, Tjokroaminoto, juga mendapatkan Qur’an dari terjemahan dan tafsir seorang ulama Ahmadiyah, Muhammad Ali, The Holy Qur’an . Organisasi pemuda Islam yang berpengaruh, Jong Islamieten Bond, yang didirikan para pemuda terpelajar pada tahun 1924 yang pernah mengundang seorang mubalig Ahmadiyah Lahore, Wali Ahmad Baig, sebagai salah seorang pengajar di organisasi itu – sebagaimana halnya tokoh Islam ‚reformis‛ lain, misalnya, A Fachruddin dari Muhammadiyah. Meskipun demikian, ada hal yang tak akan mendekatkan Bung Karno ke kalangan Ahmadiyah: Selain kultus mereka terhadap Mirza Gulam Ahmad adalah apa yang dikatakan Bung Karno sebagai ‚kecintaan‛ para pelopor Ahmadiyah ‚kepada imperialisme Inggris.‛ Semangat antikolonial bertaut dengan keyakinan akan modernitas dan pandangan sejarah yang

  merasa bahwa identitas religius mereka berbeda dengan jemaat Ahmadiyah, bahkan mereka meminta Ahmadiyah tidak menyatakan diri sebagai umat Islam.

  Perasaan adanya ketidaksamaan identitas itu, menyebabkan umat Islam arus utama merasa terganggu jika Ahmadiyah tetap menyatakan diri sebagai Islam. Jika umat Islam secara keseluruhan merupakan satu kelompok budaya, maka Ahmadiyah dianggap tidak memiliki keyakinan dan persepsi yang sama dengan kelompok Islam arus utama. Jadi jelas masalah utama dalam kasus Ahmadiyah Qadian, bukan isu kebebasan beragama, tetapi

  penafsiran perbedaan paham kenabian. 46 Jika melihat Islam sebagai budaya yang merupakan area penampilan yang cair dan

  tidak baku, maka bisa dikatakan bahwa upaya negosiasi dan kompetisi yang dilakukan Ahmadiyah dalam gelanggang Islam belum berhasil, atau belum mencapai tujuannya. Penolakan keras masih mendominasi dan terlegitimasi, walaupun penerimaan dari beberapa kelompok Islam lainnya seperti; Jaringan Islam Liberal (JIL) maupun kelompok Nasionalis Abdurrahman Wahid tetap

  ada. 47

  Perpecahan keagamaan, akibat fanatisme sempit sering dilukiskan sebagai bahaya sosial paling besar dan eksplosif bagi Indonesia yang plural budaya, agama, dan suku bangsa. Padahal, manusia dikenal sebagai makhluk Allah yang paling cerdas. Kecerdasan yang dimiliki manusia menempatkannya sebagai