pemikiran politik indonesia yang 1

NAMA

: IBNU SYUJA’I SYAKURO

FAKULTAS

: FISIP

NIM

: 130565201134

UNIVERSITAS : UMRAH

PRODI

: ILMU PEMERINTAHAN
PEMIKIRAN POLITIK INDONESIA

Pemikiran politik soekarno
Pada tanggal 17 Mei 1956 Presiden Soekarno Mendapat Kehormatan Untuk

Menyampaikan Pidato Di Depan Kongres Amerika Serikat Dalam Rangka Kunjungan
Resminya Ke Negeri Tersebut. Sebagaimana Dilaporkan Dalam Halaman Pertama New York
Times Pada Hari Berikutnya, Dalam Pidato Itu Dengan Gigih Soekarno Menyerang
Kolonialisme. Perjuangan Dan Pengorbanan Yang Telah Kami Lakukan Demi Pembebasan
Rakyat Kami Dari Belenggu Kolonialisme,” Kata Bung Karno, “Telah Berlangsung Dari
Generasi Ke Generasi Selama Berabad-Abad.” Tetapi, Tambahnya, Perjuangan Itu Masih
Belum Selesai. “Bagaimana Perjuangan Itu Bisa Dikatakan Selesai Jika Jutaan Manusia Di
Asia Maupun Afrika Masih Berada Di Bawah Dominasi Kolonial, Masih Belum Bisa
Menikmatikemerdekaan.
Menarik Untuk Disimak Bahwa Meskipun Pidato Itu Dengan Keras Menentang
Kolonialisme Dan Imperialisme, Serta Cukup Kritis Terhadap Negara-Negara Barat, Ia
Mendapat Sambutan Luar Biasa Di Amerika Serikat (AS). Namun, Lebih Menarik Lagi
Karena Pidato Itu Menunjukkan Konsistensi Pemikiran Dan Sikap-Sikap Bung Karno.
Sebagaimana Kita Tahu, Kuatnya Semangat Antikolonialisme Dalam Pidato Itu Bukanlah
Merupakan Hal Baru Bagi Bung Karno. Bahkan Sejak Masa Mudanya, Terutama Pada
Periode Tahun 1926-1933, Semangat Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme Itu Sudah
Jelas Tampak. Bisa Dikatakan Bahwa Sikap Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme
Soekarno Pada Tahun 1950-An Dan Selanjutnya Hanyalah Merupakan Kelanjutan Dari
Pemikiran-Pemikiran Dia Waktu Muda.Tulisan Berikut Dimaksudkan Untuk Secara Singkat
Melihat Pemikiran Soekarno Muda Dalam Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme-Dan

Selanjutnya Elitisme-Serta Bagaimana Relevansinya Untuk Sekarang.
 Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme
Salah Satu Tulisan Pokok Yang Biasanya Diacu Untuk Menunjukkan Sikap Dan
Pemikiran Soekarno Dalam Menentang Kolonialisme Adalah Tulisannya Yang Terkenal Yang
Berjudul Nasionalisme, Islam Dan Marxisme”. Dalam Tulisan Yang Aslinya Dimuat Secara
Berseri Di Jurnal Indonesia Muda Tahun 1926 Itu, Sikap Antikolonialisme Tersebut Tampak
Jelas Sekali. Menurut Soekarno, Yang Pertama-Tama Perlu Disadari Adalah Bahwa Alasan
Utama Kenapa Para Kolonialis Eropa Datang Ke Asia Bukanlah Untuk Menjalankan Suatu
Kewajiban Luhur Tertentu. Mereka Datang Terutama “Untuk Mengisi Perutnya Yang
Keroncong Belaka.” Artinya, Motivasi Pokok Dari Kolonialisme Itu Adalah Ekonomi.

Sebagai Sistem Yang Motivasi Utamanya Adalah Ekonomi, Soekarno Percaya,
Kolonialisme Erat Terkait Dengan Kapitalisme, Yakni Suatu Sistem Ekonomi Yang Dikelola
Oleh Sekelompok Kecil Pemilik Modal Yang Tujuan Pokoknya Adalah Memaksimalisasi
Keuntungan. Dalam Upaya Memaksimalisasi Keuntungan Itu, Kaum Kapitalis Tak SeganSegan Untuk Mengeksploitasi Orang Lain. Melalui Kolonialisme Para Kapitalis Eropa
Memeras Tenaga Dan Kekayaan Alam Rakyat Negeri-Negeri Terjajah Demi Keuntungan
Mereka. Melalui Kolonialisme Inilah Di Asia Dan Afrika, Termasuk Indonesia, Kapitalisme
Mendorong Terjadinya Apa Yang Ia Sebut Sebagai Exploitation De L’homme Par L’homme
Atau Eksploitasi Manusia Oleh Manusia Lain.
Soekarno Menentang Kolonialisme Dan Kapitalisme Itu. Keduanya Melahirkan Struktur

Masyarakat Yang Eksploitatif. Sebagai Suatu Sistem Yang Eksploitatif, Kapitalisme Itu
Mendorong Imperialisme, Baik Imperialisme Politik Maupun Imperialisme Ekonomi. Tetapi
Soekarno Muda Tak Ingin Menyamakan Begitu Saja Imperialisme Dengan Pemerintah
Kolonial. Imperialisme.
 Anti-Elitisme
Selain Kolonialisme Dan Imperialisme, Di Mata Soekarno Ada Tantangan Besar Lain
Yang Tak Kalah Pentingnya Untuk Dilawan, Yakni Elitisme. Elitisme Mendorong
Sekelompok Orang Merasa Diri Memiliki Status Sosial-Politik Yang Lebih Tinggi Daripada
Orang-Orang Lain, Terutama Rakyat Kebanyakan. Elitisme Ini Tak Kalah Bahayanya,
Menurut Soekarno, Karena Melalui Sistem Feodal Yang Ada Ia Bisa Dipraktikkan Oleh
Tokoh-Tokoh Pribumi Terhadap Rakyat Negeri Sendiri.
Kalau Dibiarkan, Sikap Ini Tidak Hanya Bisa Memecah-Belah Masyarakat Terjajah,
Tetapi Juga Memungkinkan Lestarinya Sistem Kolonial Maupun Sikap-Sikap Imperialis
Yang Sedang Mau Dilawan Itu. Lebih Dari Itu, Elitisme Bisa Menjadi Penghambat SikapSikap Demokratis Dalam Masyarakat Modern Yang Dicita-Citakan Bagi Indonesia Merdeka.
Soekarno Melihat Bahwa Kecenderungan Elitisme Itu Tercermin Kuat Dalam Struktur
Bahasa Jawa Yang Dengan Pola “Kromo” Dan “Ngoko”-Nya Mendukung Adanya Stratifikasi
Sosial Dalam Masyarakat. Untuk Menunjukkan Ketidaksetujuannya Atas Stratifikasi
Demikian Itu, Dalam Rapat Tahunan Jong Java Di Surabaya Pada Bulan Februari 1921,
Soekarno Berpidato Dalam Bahasa Jawa Ngoko, Dengan Akibat Bahwa Ia Menimbulkan
Keributan Dan Ditegur Oleh Ketua Panitia. Upaya Soekarno Yang Jauh Lebih Besar Dalam

Rangka Menentang Elitisme Dan Meninggikan Harkat Rakyat Kecil Di Dalam Proses
Perjuangan Kemerdekaan Tentu Saja Adalah Pencetusan Gagasan Marhaenisme. Dalam
Kaitan Dengan Usaha Mengatasi Elitisme Itu Ditegaskan Bahwa Marhaneisme “Menolak
Tiap Tindak Borjuisme” Yang, Bagi Soekarno, Merupakan Sumber Dari Kepincangan Yang
Ada Dalam Masyarakat. Ia Berpandangan Bahwa Orang Tidak Seharusnya Berpandangan
Rendah Terhadap Rakyat. Sebagaimana Dikatakan Oleh Ruth Mcvey, Bagi Soekarno Rakyat
Merupakan “Padanan Mesianik Dari Proletariat Dalam Pemikiran Marx,” Dalam Arti Bahwa
Mereka Ini Merupakan “Kelompok Yang Sekarang Ini Lemah Dan Terampas Hak-Haknya,
Tetapi Yang Nantinya, Ketika Digerakkan Dalam Gelora Revolusi, Akan Mampu Mengubah
Dunia.”

Pemikiran politik m. natsir
Agama, menurut menurut Natsir harus dijadikan pondasi dalam mendirikan suatu
negara. Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem peribadatan antara makhluk dengan
Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu adalah lebih dari sebuah sistem peribadatan. Ia adalah satu
kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna.
Yang dituju oleh Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap orang,
hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah dan perundangundangan. Tapi adalah ajaran Islam juga, bahwa dalam soal-soal keduniawian, orang diberi
kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya dalam musyawarah bersama, seperti
dalam firman Allah SWT.: “Dan hendaklah urusan mereka diputuslan dengan

musyawarah!”.
Natsir memang mencoba menjawab kesulitan-kesulitan yang dihadapi masyarakat
Islam, dengan dasar pemikiran, bahwa ajaran Islam sangat dinamis untuk diterapkan pada
setiap waktu dan zaman. Dari sudut ini, ia jauh melampaui pemikiran Maududi atupun Ibu
Khaldun yang melihat sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW dan khalifah yang empat,
sebagai satu-satunya alternatif sistem pemerintahan negara Islam.
Kedinamisan pemikiran-pemikirannya itu dituangkan dalam beberapa periode.
Setidaknya ada tiga periode pemikiran yang menjadi pokok utama pemikiran Natsir. Yaitu
periode 1930-1940, periode pasca kemerdekaan, dan periode konstituante. Berbicara tentang
negara, Natsir berpendapat bahwa negara adalah suatu ‘institution’ yang mempunyai hak,
tugas dan tujuan yang khusus. Institution adalah suatu badan, organisasi yang mempunyai
tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri serta
diakui oleh umum. Negara harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat.
Karena itu, dasar pun harus sesuatu faham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang
terang dan dapat dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari, yang terang dan dapat
dimengerti dalam menyusun hidup sehari-hari rakyat perorangan maupun kolektif.
Maka di dalam menyusun suatu UUD bagi negara, dan untuk mencapai hasil yang
memuaskan, perlulah bertolak dari pokok pikiran yang pasti, yakni UUD bagi negara
Indonesia harus menempatkan negara dalam hubungan yang seerat-eratnya dengan
masyarakat yang hidup di negeri ini. Tegasnya, UUD negara itu haruslah berurat dan berakar

dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam akal pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan
serta falsafah hidup dari rakyat dalam negeri ini. Dasar negara yang tidak memenuhi syarat
yang demikian itu, tentulah menempatkan negara terombang-ambing, labil dan tidak duduk di
atas sendi-sendi yang pokok.
Pemikiran politik K.H Ahmad Dahlan
Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar dalam buku Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, hampir seluruh
pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat
Islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan (stagnasi), kebodohan, serta
keterbelakangan. Kondisi ini sangat merugikan bangsa Indonesia.

Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide
pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya pertama ke
Mekkah. Kemudian ide itu lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua. KH Ahmad
Dahlan pergi ke Mekah dua kali, pertama selama 8 bulan (setelah menikah dengan Siti
Walidah binti Haji Fadhil), dan yang kedua pada tahun 1903 dengan anaknya, Muhammad
Siraj Dahlan. Yang kedua ini ia bermukim selama satu tahun. Sepulangnya ia dirikan asrama
untuk mengajar, murid-muridnya berdatangan dari Yogya maupun luar Yogya (antara lain
Pekalongan, Batang, Magelang, Semarang, Solo).
Ada perbedaan menarik mengenai cara mengajarnya, ketika belum berangkat ke

Mekah yang kedua, KH Ahmad Dahlan masih mengajarkan kitab-kitab kalangan “ahlussunah
wal jamaah” berupa kitab aqaid, fikih dalam mahzab Syafi’i dan tasawuf dari Imam alGhazali. Namun, setelah berangkat yang kedua kali ke Mekah, kitab-kitab yang dibaca
adalah kitab-kitab berisi pembaharuan keagamaan. Diantara kitab-kitab yang sering dibaca
antara lain; Risalat at-Tauhid (Muhammad Abduh), Tafsir Juz Amma (sama), Dariat al Marif
(Farid Wajdi), Al Tasawul wa al Wasilah (Ibnu Taimiyyah), dll.
Dapat dikatakan disinilah mulai munculnya pergeseran pemikiran. Pergeseran ini
memiliki beberapa faktor-faktor penyebab tentunya, selain buku-buku yang dia bawa
tersebut. Secara umum, ide-ide pembaharuan Ahmad Dahlan menurut Ramayulis dan Samsul
Nizar dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi, yaitu; Pertama, berupaya memurnikan
(purifikasi) ajaran Islam dari khurafat, tahayul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur
dalam akidah dan ibadah umat Islam. Kedua, mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring
pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan
penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.
Ide-ide pembaharuan tersebut hanya dapat dilaksanakan melalui pendidikan. Menurut
Ahmad Dahlan pendidikan juga merupakan upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam
dari pola berpikir yang statis menuju pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Jadi
berarti pola pemikiran Ahmad Dahlan hampir sama dengan pola pemikiran Mohammad
Abduh. Menurut Abduh bahwa revolusi dalam bidang politik tidak akan ada artinya, sebelum
ada perubahan mental secara besar-besaran dan dilalui secara berangsur-angsur atau secara
evolusi. Tegasnya bagi Muhammad Abduh dalam rangka memperjuangakn terwujudnya

’izzul Isalam wal muslimin di samping umat Islam harus berani merebut kekuasaan politik
kenegaraan, maka terlebih dahulu yang perlu dibenahi adalah memperberbaharui sembersumber para mujaddin dan ulama.
Lewat sumber-sumber inilah akan lahir kader-kader pembaharu yang akan menyebar
ke seluruh dunia. Mengenai pelaksanaan pendidikan ---menurut Dahlan-- hendaknya
didasarkan pada landasan yang kokoh yaitu Al-Qur an dan Sunnah. andasan ini merupakan
kerangka filosofis bagi memrumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara
vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk). Seperti yang diketahui, semangat besar
gerakan pemurnian Islam yang dibawa oleh tokoh-tokoh seperti Wahabbi dan Abduh adalah
kembali kepada kitab dan sunnah. Ahmad Dahlan terpengaruh banyak oleh pemikiran
mereka dan teman-temannya seperti Rasyid Ridha atau Ibnu Tamimiyah. Bagi KH.

Ahmad Dahlan, fokus paling penting dalam pemikirannya adalah pendidikan. Maka
itu Muhammadiyah pertamanya dirintis dari sekolah yang ia dirikan, dan hingga kini banyak
sekali sekolah Muhammadiyah yang terdapat di Indonesia.
Untuk mewujudkan ide pembaharuannya di bidang pendidikan, maka Dahlan merasa
perlu mendirikan lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu
dengan menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih
cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia
menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisonal secara
integral. Ada satu hal yang cocok untuk mencari sebab mengapa KH. Ahmad dahlan tergelitik

untuk melakukan pembaharuan pemikiran, dalam hal ini dikaitkan dengan hal yg lebih
spesifik, yakni masalah sosial. Menurut keterangan yg diperoloh dr biografinya, KH Ahmad
Dahlan sangat gemar membaca, termasuk majalah-majalah berbahasa arab seperti majalah Al
Manar dan Al Urwatul Wutsqa yg diperoleh dr hasil selundupan dari pelabuhan Tuban, Jawa
Timur.
Dia tidak memiliki peribadi pemberontak dan cenderung lurus-lurus saja semasa
mudanya tapi dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan terampil. Dan mempertimbangkan
usianya yang baru 36 tahun, mungkin mempengaruhi pula pemikirannya yang masih mudah
menerima unsur-unsur baru. Pemikirannya terpengaruh banyak oleh reformis Timur
Tengah. Malahan ada keterangan bahwa KH Ahmad Dahlan sempat bertemu langsung pada
Sayid Rasyid Ridha tatkala di Mekah dan sejak itu ia membaca karya-karya Abduh, Ridha,
Ibnu, dll. Jika KH Ahmad Dahlan tidak mengambil seluruh substansinya, maka setidaknya ia
telah mengambil spiritnya.
Mempertimbangkan keadaan di ambang awal abad 20 itu, hampir semua kelompok
agama berada dalam keadaan yang stagnan. Belum majubya pendidikan dan tekanan dari
pihak Belanda melatarbelakangi hal tersebut. KH Ahmad Dahlan mengalami kegelisahan,
yang cenderung tidak muncul dikalnagan umat yang lain. Disebut kegelisahan karena
tindakannya yang mengarah pada hal-hal sosial yang peduli umat dan tampak pula dalam
renungannya tentang kematian. Setelah ditelusuri secara seksama, setidaknya terdapat tiga
faktor minor KH Ahmad Dahlan terinspirasi. Ketiga faktor tersebut adalah; renungan tentang

kematian sebagai pendorong beramal saleh, beragama harus menyapa kehidupan, dan tauhid
sebagai semangat dalam menerjemahkan kehidupan. KH Ahmad Dahlan merasakan dan
menuliskan renungan mengenai keadaan setelah mati dan kegelisahan serta kekhawatiran
yang ia rasakan.
Sedangkan untuk yang kedua, ia menuliskan pemikirannya tentang peran agama
dalam kehidupan. Menurutnya agama seharusnya bukan hanya sekadar menjadi ritual tapi
benar-benar dipahami sebagai pegangan hidup.
“Agama itu pada mulanya bercahaya berkilauan, akan tetapi semakin lama semakin suram.
Namun yang suram itu bukan agmanya melankan manusianya” KH Ahmad Dahlan
Kutipan perkataan KH Ahmad Dahlan itu menunjukkan agama dianggap suram
karena tidak dipahami dengan baik. Ia memulai pemaknaan lebih kepada agama Islam dalam

keseharian, diantaranya dengan membaca tafsir. Ia tidak menyukai keadaan umat yang sering
melakukan pengajian yang hanya mengaji dalam bahasa arabnya, tanpa mengerti artinya.
Menurutnya, umat haruslah mengerti arti dari Al Qur’an. Dan yang terakhir, arti
tauhid menurut KH Ahmad Dahlan adalah persaudaraan berdasar ketunggalan akidah dan
syariah dan persaudaraan kemanusiaan. Yang pertama berarti memegang teguh akidah
ketuhanan yang maha esa, tapi menjaga ukhuwah islamiyah. Disini berarti menghormati
yang lain. Terdapat tataran yang berbeda dalam syariah bukanlah suatu yang besar dan
bermasalah dalam kelompok-kelompok dalam umat. Selama akidah ketuhanan tidak bisa

lain, hanya menyembah Allah swt. Sedangkan untuk arti dari persaudaraan kemanusiaan,
lebih kepada nilai sosial, yang berarti menunjukkan keinginan untuk menghadirkan
kesejateraan bersama bagi umat.
Pemikiran politik H.O.S. Tjokroaminoto
Dalam beberapa tulisan, terutama tulisan Humaidi mengenai pemikiran Tjokroaminoto,
maka ada dua perbedaan antara pemikiran Tjokroaminoto pada masa sebelum dan sesudah
berumur 40 tahun, atau lebih tepatnya ketika ia keluar dari penjara kolonial. Humaidi sendiri
membagi masa ini menjadi masa “Tjokro Muda” dan “Tjokro Tua”. Digambarkan bahwa
“Tjokro Muda” adalahTjokro yang bersemangat, dan melihat Islam sebagai alat untuk
memperjuangkan nasionalisme, memperjuangkan persatuan nasional. Sementara “Tjokro
Tua” adalah Tjokro yang mulai berpikir secara dikotomis yaitu membedakan Islam dan
komunisme sebagai bagian terpisah dalam menafsirkan nasionalisme.
“Tjokro Muda” memiliki kecenderungan menjadikan Islam sebagai tali pemersatu di
organisasi SI dan untuk mengangkat derajat kaum bumiputera secara sah. Untuk mengejar
ketertinggalan kaum bumi putera, Tjokro juga tidak lupa menuturkan cerita Subali dan
Sugriwa yang mencari Cupu Manik Astragino. Dalam cerita tersebut, digambarkan mengenai
Subali dan Sugriwa yang siap mati untuk mendapatkan senjata itu. Tentu, penceritaan ini
adalah sebuah ajakan simbolik, dengan menggunakan pendekatan “world view”masyarakat
Jawa. Cupu diartikan sebagai adalah lambang kemajuan, sedang Subali dan Sugriwa adalah
merujuk kepada kaum bumi putera yang sedang mengejar kemajuan, yang bersedia
mengorbankan diri demi sebuah cita-cita. Arti penting dari pemaparan ini menunjukkan
beberapa hal. Pertama, kadar pemahaman Tjokro mengenai Islam tidaklah mendalam,
cenderung biasa-biasa saja. Ia menjadikan Islam hanya sebatas klaim legitimasi, tetapi ia lupa
mendasarkan klaimnya dari kitab apa, ayat apa. Kedua, terlihat watak sinkretis dalam
pemahaman ke-Islaman Tjokro. Pada satu sisi ia mengambil pembenaran secara agama, tetapi
pada sisi lain ia juga menyandarkan pada cerita wayang yang notabenenya bekas peninggalan
budaya hinduisme-jawa yang membekas pada pemahaman golongan Islam abangan.
Kemudian pada perkembangannya, pemikiran Tjokro tidak banyak berubah. Karena
ketika berpidato mengenai Islam yang kebanyakan ditujukan untuk simbol persatuan
nasional. Namun perubahan dalam diri Tjokro, yang membuatnya lebih memikirkan Islam,
yaitu pada tahun 1922. Ada dua hal yang kiranya dinilai penting atau bahkan memicu
terjadinya perubahan dalam diri Tjokro. Pertama, sejak Agustus 1921 hingga April 1922,
Tjokro berada dalam penjara. Keadaan ini, tentu saja dilihat Tjokro sebagai suatu proses
simbolik untuk melakukan refleksi. Sangat mungkin juga, ada pemaknaan lain bahwa umur

40 tahun dalam penjara, adalah daulat akan keberadaannya sebagai pemimpin pergerakan,
sama dengan umur Nabi Muhammad ketika diangkat menjadi utusan Allah. Kedua, Setelah
keluar dari penjara, ia berusaha untuk kembali ke CSI (Central Sarekat Islam) dan menarik
pengikut dari kaum buruh. Usahanya ini gagal.
Tentunya, hal ini semakin menguatkan perspektif Tjokro bahwa untuk membangun
nasionalisme dalam arti yang luas, tidak dapat dibangun dari sesuatu yang general.
Nasionalisme harus dibangun atas dasar kesamaan, dan untuk itu diperlukan unsur pembeda
guna membersihkannya dari unsur lain. Tjokro percaya hal itu adalah Islam. Pemahaman
“baru” Tjokro mengenai Islam, secara substansial tampak dalam brosur “Sosialisme Di
Dalam Islam”. Brosur ini, selain sebagai hasil kerja pikiran Tjokro, juga sebuah
pembentukan opini dan upaya untuk menarik mereka yang sudah teracuni komunis untuk
kembali kepada SI. Brosur tersebut berisikan beberapa hal pokok, yaitu perikemanusiaan
sebagai dasar bangunan Islam, perdamaian, sosialisme dan persaudaraan. Islam sama dengan
sosialisme karena tiga hal, yaitu unsur kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Dari segi
isi, kelihatannya Tjokroaminoto sudah ingin memberi batasan antara Sosialisme Islam dan
komunisme. Karena sosialisme Islam, menyandarkan kekuatannya kepada Allah.
Pada tahun 1922-1924, Tjokro aktif menjadi pemimpin dari Kongres Al-Islam yang
disponsori oleh kaum modernis. Hal ini sebagai pembuktian mengenai kecenderungan
pemahamannya tentang Islam sebagai sebuah ideologi. Selain itu, Tjokro juga bersemangat
menanggapi isu kekhalifahan yang dikemukakan oleh Ibnu saud. Hal ini memperjelas bahwa
pemikiran Tjokro telah dipengaruhi oleh ide-ide Pan-Islamisme. Pada akhirnya
kecenderungan pan-Islamis semakin menguat dalam pemikiran Tjokro. Ketika muncul
federasi PPPKI, PSI yang diketuai Tjokro sangat ingin muncul sebagai kekuatan yang
menguasainya. Tjokro juga semakin keras berpidato mengenai dikotomi nasionalisme Islam
dan sekuler. Kaum beragama, harus memilih organisasi yang didasarkan agama, tutur Tjokro.
Arti dari gerakan Pan-Islamis Tjokro ini menyiratkan bahwa setidaknya yang dibayangkan
Tjokro adalah sebuah nasionalisme, sebuah kebangsaan yang didasarkan semangat persatuan
nasib. Islam maupun sekuler, dalam dikotomi ini, di akui sebagai unsur yang sedang berjuang
demi nasionalisme.
Pemikiran politik karto suwiryo
Kartosuwiryo adalah seorang Tokoh Pejuang Islam Revolusioner yang dalam sejarah
kita di catat dengan tinta agak kelam kalau tidak boleh dikatakan hitam. Namun setelah
mendalami pemikirannya dari beberapa literatur sesungguhnya "Beliau" adalah seorang
yang istiqomah(teguh pendirian) dan memiliki kecintaan yang mendalam terhadap Islam.
berikut pemikiran beliau (As-Syahid S. M. Kartosuwiryo) yang penulis kutip dari beberapa
literatur. Negara Islam! Itulah cita-cita hakiki bagi Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo (SM
Kartosuwiryo) bahkan untuk merealisasikan tujuan tersebut ia rela untuk diburu bahkan
diberikan hukuman mati oleh pemerintah Soekarno pada saat itu. Kartosuwiryo sedemikian
rupa memperjuangkan Negara Islam.
Bagi seorang Kartosuwiryo demi terwujudnya masyarakat Islam yang sempurna baik
pada tataran ibadah maupun muamalah serta hukum, maka yang dibutuhkan untuk hal itu
adalah sebuah Negara Islam. Seperti yang terdapat pada kaidah Ushul fiqh yang menyatakan

bahwa “sesuatu yang dikarenakan keberadaannya untuk menuju sesuatu yang telah
diwajibkan maka keberadaannya menjadi wajib”. Karena itu keberadaan Negara Islam
adalah wajib adanya dikarenakan dengan perantara Negara tersebut maka aturan–aturan
mengenai syariat akan menjadi lebih sempurna.
Meskipun pada tahap awal perjuangannya dilakukan melalui perantara parlemen dengan
menggunakan kendaraan partai seperti di PSII pada periode sebelum kemerdekaan dan
Masyumi setelah di era awal–awal kemerdekaan, namun dikarenakan adanya kekecewaan
yang sangat dalam pada diri Kartosuwiryo mengenai teman-temannya di parlemen,
Kartosuwiryo kemudian berinisiatif untuk berjuang di luar parlemen. Hal ini dapat dibuktikan
dalam sebuah dokumentasi yang disusun oleh majelis penerangan negara Islam bahwa
Kartosuwiryo dilukiskan sebagai pribadi yang mempunyai intelektualitas tinggi, namun ia
tak pernah memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya karena ia
selalu berada pada sebuah lingkungan orang-orang yang tujuan utamanya hanya untuk
mengejar kekuasaan belaka. (“Darul Islam dan Kartosuwiryo”/Holk H Dengel). Hal tersebut
diperburuk ketika Amir Syarifudin naik menjabat sebagai Perdana Menteri menggantikan
Syahrir. Karena bagi Kartosuwiryo Amir Syarifudin merupakan musuh dalam
selimut karena ia telah menjual Negara Indonesia (Pasundan) kepada para penjajah terutama
ketika terjadi Perjanjian Renville.
 Jalan Menuju Sebuah Negara Islam
Selama hampir lima tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia memasuki masamasa revolusi (1945–1950). Menyusul kekalahan Jepang dari sekutu, Belanda
bermaksud untuk kembali menjajah Indonesia. Dan tak diragukan lagi bahwa yang
diprioritaskan oleh para pendiri bangsa pada saat itu adalah kemampuan untuk
memperahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda untuk
kembali berkuasa. Bahkan setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada pemerintah
pada tahun 1949 kelompok Islam perlahan-lahan mulai memperlihatkan kekuatannya yang
cukup besar melalui perantara partai politik Islam Masyumi, yang dibentuk pada bulan
November 1945.
Untuk alasan itu sampai-sampai Syahrir, seorang pemimpin Partai Sosialis Indonesia
(PSI) dan juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri di era revolusi, menyatakan “Jika
pemilihan umum dilaksanakan pada tahun-tahun tersebut, maka Masyumi yang pada saat
itu merupakan gabungan dari kalangan muslim modernis seperti Muhammadiyah dan
ortodoks seperti NU, dengan jumlah anggotanya lebih besar di daerah pedesaan akan
memperoleh 80 persen suara. (“Islam dan Negara” /Bachtiar Effendy). Setelah
memproklamirkan Negara tersebut Kartosuwiryo lebih memilih untuk tidak bekerja-sama
dengan pihak manapun baik Belanda dan Republik, sehingga ia mulai mendemonstrasikan
pengalamannya ketika ia membuat sikap politik hijrah PSII, bagi dia hanya ada dua tempat
pilihan bagi manusia yaitu Darul Islam atau Darul Kufar.
Pemikiran politik soeharto
Ia adalah enigmatic. Soeharto presiden ke 2 di republik Indonesia menjadi salah
seorang tokoh yang determinan dalam sejarah Indonesia modern. Dalam novelnya Pramodya

Ananta Toer menuturkan dua sosok yang diametral, dalam cerita yaitu Wiranggaleng dalam
Arus Balik dan Minke dalam Bumi Manusia. Yang satu begitu hegemonik dalam melahap
sebahagian besar porsi dari sebuah arus besar , yang satu merupakan noktah dari gambaran
besar arus yang ada.
Dalam hal iniSoeharto terlanjur dilekatkan dengan kemampuannya melahap banyak
saham dalam warna Orde Baru. Hal ini dapat dilihat pada analisis para Indonesianis maupun
dalam negeri, bahkan Liddle mengistilahkannya dengan Soeharto deterministic. Berbeda
dengan pendahulunya Soekarno yang lebih glamour dalam garis keturunan, Soeharto
cenderung tidak menonjolkan silsilah keluarganya ke khalayak ramai. Soeharto lahir pada 8
Juni 1921 di dusun Kemusuk. Dia adalah seorang anak desa yang lahir dari keluarga petani
miskin. Ibunya ialah Sukirah dan ayahnya ialah Kertosudiro. Penderitaan hidup sedari kecil
membuatnya berhati- hati untuk bergantung pada orang lain dalam hal apa pun. Ia juga lebih
menyukai hubungan dekat dengan beberapa orang saja dimana ia menjadi tokoh
dominannya. Hal inilah yang sedikit banyak menjelaskan mengenai blok aliansi yang dipintal
dan disulam oleh Soeharto sepanjang masa kekuasaannya. Soeharto naik ke tampuk
kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari perannya dalam usaha penumpasan PKI. Episode
seputar perpindahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto hingga saat ini masih menyisakan
sekelumit misteri yang mengusik, mulai dari surat Supersemar, Gestapu yang terjadi, dan
peran penting Soeharto dan lain sebagainya.
Pada awalnya Soeharto bukanlah tokoh yang diperhitungkan dan kuat namun seiring
perjalanan waktu kepiawaiannya dalam mengelola pintal kekuasaan membuatnya teramankan
di kursi RI 1. Masa pemerintahan Soeharto dikenal dengan istilah Orde Baru sebagai antitesa
dari masa pemerintahan Soekarno yang diistilahkan dengan istilah Orde Lama. Perbedaan
yang didengungkan antar kedua fase sejarah ini ialah Orde Baru melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen, sedangkan Orde Lama tidak melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tentunya hal ini merupakan tafsiran
yangdebatable di masa reformasi dikarenakan bagaimana atas nama konstitusi justru menjadi
pelumpuh kegiatan oposisi, demokrasi yang jauh dari harapan, dan pengokohan otoriter
dalam durasi yang panjang. Akibat langsung dari masa Orde Lama ialah 2 terminologi
penting dalam Orde Baru yaitu pembangunan ekonomi dan stabilisasi politik. Dalam hal
pembangunan ekonomi, bagaimana Soeharto mempercayakan pada etnis Tionghoa dalam
mengembangkan bisnisnya baik itu dari kalangan keluarga maupun pengusaha yang
dibesarkan oleh Negara. Dalam hal ini dapat dilihat percikan pengaruh dari masa kecil
Soeharto yang mempercayakan pada beberapa pihak dengan dirinya menjadi tokoh.
Pembangunan ekonomi juga memberi ruang bagi masuknya modal asing dan sejumlah
pinjaman asing. Dalam hal ini bagaimana teori Harold Dumer yang menekankan pada modal
dan investasi diterapkan untuk menyokong pembangunan ekonomi yang dinamis.
Teori trickle down effect akhirnya menjadi pemenang dalam fase Orde Baru setelah debat
intelektual dan adu kekuatan yang mengerucut pada peristiwa MALARI. Sedangkan dalam
hal stabilisasi politik, melalui otobiografinya, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya
– dijelaskan bahwa hanya oposisi loyal yang dibolehkan hidup. Hal ini membawa dampak
pada pelumpuhan pemikiran dan aksi oposisi. Oposisi di masa kejayaan Soeharto tertindas
secara struktural dan kultural. Kemeriahan yang diperlihatkan dalam konfigurasi persaingan
pemilu 1955, tiada terlihat sepanjang pemilu di masa Orde Baru dikarenakan relatif berusaha

dimandulkannya politik aliran dan hegemoniknya Golkar dalam setiap kemenangan dalam
sejarah pemilu Orde Baru. Stabilisasi politik ini menjadi permasalahan dikarenakan
menimbulkan korban jiwa (seperti peristiwa Tanjung Priok,dll) dan mencederai jiwa
demokrasi yang menghargai perbedaan pendapat .
Berbeda dengan Soekarno yang meluap- luap emosinya dalam pidato, figur Soeharto
merupakan sosok yang kalem. Soeharto juga tidak meninggalkan kumpulan tulisan seperti
halnya Mao, Ho Chi Minh, ataupun Mahathir. Yang menarik dari penuturan salah seorang
teknokrat Orde Baru bahwa dalam beberapa tahun pertama ketika mereka bertemu Soeharto,
ia akan duduk dan mendengarkan. Dengan menggunakan pulpen Parker gemuk, ia mencatat
pada buku notes besar selagi mereka terus berbicara.
Namun, sang teknokrat ini menyatakan, bahwa setelah beberapa tahun, ketika ia
cukup menguasai apa yang perlu ia ketahui, malah ia yang berbicara, dan giliran para
teknokratlah yang mengeluarkan pena untuk mencatat apa- apa yang ia minta untuk
dikerjakan.
Kemandirian Soeharto sedari kecil membawa imbas pada ketrampilan Soeharto dalam
memimpin pemerintahan. Soeharto begitu leluasa untuk memikat dan memarginalisasikan
kelompok maupun orang- orang di sekitarnya. Dalam lingkar kekuasaannya berdiri para
teknokrat, pengusaha, petinggi militer, sebagai mesin patronase yang rumit yang memastikan
bahwa semua pelaku dalam Orde Baru secara praktis terkompromikan dan berutang budi
kepadanya sehingga mereka tidak memiliki ruang manuver politik. Kemampuannya dalam
mengendalikan dan memilah kelompok yang akan dijadikan pendamping kekuasaannya
memperlihatkan aksi politik yang unik bahkan dalam skala dunia sekalipun.
Dalam kaitannya dengan politik aliran, tradisionalisme Jawa juga mempengaruhi
corak pemikiran dari Soeharto sepanjang pemerintahannya. Idiom- idom Jawa yang
ditunjukkannya pada sejumlah kesempatan dan penghayatannya yang mendalam pada
falsafah Jawa. Pada era 1990-an, pada dekade terakhir pemerintahannya terjadi perubahan
signifikan pada diri Soeharto dengan memberikan akses lebih terbuka bagi kalangan muslim
yang selama ini termarginalisasikan dalam kebijakannya. ICMI dan Muamalat dianggap
representasi dari kekuatan sosial politik dan ekonomi ummat yang menjadi pertanda Soeharto
di usianya yang kian menua mulai berusaha mendalami Islam dan tertarik pada Islam.
Sekalipun begitu unsur budaya Jawa tidak lantas hilang sama sekali. Istilah lengser
keprabon yang kemudian dipakai bagi pergantian pucuk RI 1 merupakan idiom Jawa.
Terakhir, Soeharto merupakan dinamika yang unik dan teramat mewarnai corak Indonesia
pada masanya dan masih kita rasakan gaungnya hingga sekarang. Diperlukan penilaian
sejarah yang jernih dan kearifan untuk memaafkan sosok yang menyejarah ini.
Pemikiran politik tan malaka
Marxisme akar filsafat tan malaka yang diaktualisasikan kedalam partai murba.
Murbaisme adalah formula tepat bagi keyakinan politik Tan Malaka. Hal itu ditunjukkan
ketika revolusi Indonesia bergolak Tan malaka tetap berpendapat, ini adalah revolusi nasional
Indonesia dan tidak ada hubungannya dengan perlawanan terhadap facisme, seperti yang
dipropagandakan oleh kaum komunis. Dalam konteks tersebut revolusi nasional dilihat
semata-mata sebagai bentuk perlawanan terhadap imperialisme Belanda. Namun kaum

komunis Indonesia tidak berdiri diatas itu, bagi mereka facisme jepang hanyalah merupakan
satu tahap dari perkembangan kapitalisme, untuk itu facisme harus diperangi. Bagi Tan
Malaka sikap facisme buta adalah bentuk ke-tidaknasionalisme-an. Bagi Tan Malaka revolusi
Indonesia memiliki dua sisi, revolusi nasional adalah bingkainya dan revolusi social adalah
isinya.
Jadi revolusi Indonesia tidaklah berhenti pada revolusi politik semata-mata, naumn
harus dilanjutkan dengan emansipasi social sebagai kelanjutan revolusi tersebut. Melaui
MADILOGnya pula, bisa ditunjukkan bahwa Tan Malaka berusaha mensintesakan Marxisme
dalam konteks ke-indonesia-an, dengan melacak akar-akar kebangsaan dan kebudayaan
masyarakat untuk kemudia diselaraskan dengan keyakinan politiknya, yaitu Murbaisme.
Murbaisme dengan demikian tidak sama dengan komunisme. Atau lebih enaknya dikatakan
Marxis-Nasionalis. Ia memiliki ciri khas dalam menuangkan ide-ide nasionalisme, yang
membedakannya dengan tokoh-tokh yang lain.dalam pemikirannya terdapat konvergensi
anatara ideology Marxisme, yang sebenarnya bersifat internasionalis dan mengedepankan
solidaritas kaum buruh sedunia, tanpa dibatasi rasa kebangsaan, dengan ideology
nasionalisme yang memiliki ciri khas pada nation state.
Disamping itu, dalam MADILOG ia juga memperlihatkan penghargaannya terhadap
islam. Islam sangat mempengaruhi pola pikir dan perilakunya. Islam diakuinya sebagai
penerang obor dalam hidupnya. Selanjutnya kalau ia dikatakan seorang komunis, tetapi
mengapa ia begitu menekankan aspek persatuan diantara sesama warga bangsa apapun
afiliasi politik maupun ideologinya, mengapa ia tidak berjuang untuk perjuangan kelas yang
menjadi bagian penting dalam teori Marxis-Leninis. Dan yang lebih mencolok lagi adalah
mengapa ia ber-Tuhan?, hal itu dibuktikannya ketika ibunya sakit, ia sempat berulang-ulang
melantunkan bacaan surat yasin dalam al-qur'an.
Pemikiran politik tradisionalisme jawa
Pemunculan aliran ini agak kontroversial karena aliran ini tidak muncul sebagai
kekuatan politik formal yang kongkret, melainkan sangat mempengaruhi cara pandang aktoraktor politik dalam Partai Indonesia Raya (PIR), kelompok-kelompok Teosufis (kebatinan)
dan sangat berpengaruh dalam birokrasi pemerintahan (pamong Praja).
Soekarno sebagai Founding Father dirasa banyak dipengaruhi pemikiran politik
jawa/tradisionlisme jawa & mungin tradisionalisme jawa pun memengaruhi pemikiran
Nasionalisme radikal lainnya.
Nasionalisme Radikal& tradisionalisme jawa memang agak sukar dibedakan, hal ini
disebabkan karna :
1.

Sama bersifat eklektif

2.

Sama menghormati NKRI& pemimpinnya

3.

Sama menolak Individualisme& kapitalisme

Pada masa kejayaan soekarno sangat kental tradisi jawa. Raja bergelar Narasoma
(memperhatikan rakyatnya), soekarno dgn marhaenisme/sarinah . Salya(bijaksana), soekarno
dgn penyambung lidah rakyat
Konsepsi tradisionalisme jawa bisa terlihat dalam masa pemerintahn soekarno, dan
pula pihak-pihak lain spt dlm pidato seopomo dg konsep negara integralistik(staatsidee) Juga
dlm pihak-pihak yang menentang implementasi negara islam, contohnya dlm tulisan pidato
atmodarmito di dpn sidang konstituante 12 novbr 1957.
Menurt ia rakyat indonesia belum menjiwai islam walaupun secara sejarah pernah
diwarnai kerajaan-kerajaan islam namun peninggalan-peninggalan slalu dari hindu
budha,seperti keris. Kebudayaan politik di Indonesia pada dasarnya bersumber dari tingkah
laku, pola dan interaksi yang majemuk, Menurut Herbert Feith dan Lance Castles dalam buku
”Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965”. ada lima aliran pemikiran politik yang mewarnai
perpolitikan di Indoensia, yakni: nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam,
sosialisme demokrat, dan komunisme. Kelima aliran pemikiran inilah yang membentuk
budaya politik dan sistem politik di Indonesia dari masa lampau sampai masa sekarang,
dengan berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia. Membicarakan Budaya politik di
Indonesia tak lepas dari pemikiran politik yang secara historis mewarnai perpolitikan di
Indonesia. Aliran politik Indonesia menurut Herbert Feith dan Lance Castles dalam buku
”Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965”. yang mewarnai perpolitikan di Indoensia, yakni:
Aliran pemikiran ini dalam pemilu 1955 direfleksikan melalui partai-partai peserta pemilu,
diantaranya komunisme diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), nasionalisme radikal
(PNI), Islam (Masyumi, NU), tradisionalisme Jawa (PNI, NU, PKI), dan sosialisme demokrat
(PSI,Masyumi,PNI).
Pemikiran Radikal-progressif Soekarno sudah terbentuk sejak usianya masih sangat
muda, salah satu tulisannya yang bisa menjadi acuan adalah “Nasionalisme, Islam dan
Marxisme” cikal bakal munculnya NASAKOM. Dalam Tulisan yang dimuat di Jurnal
Indonesia Muda tahun 1926 itu, Soekarno dengan terang-terangan mengatakan bahwa
maksud kedatangan kolonialis datang ke Indonesia adalah untuk memenuhi hasratnya
mengakumulasi modal dan keuntungan (ekonomis).
Pemikiran politik Soekarno kemudian di Praksiskan dengan mendirikan Partai
progressif Partai Nasionalis Indonesia (PNI) tanggal 4 Juli 1927, Tujuannya jelas untuk
mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1928 ia menulis artikel berjudul Jerit
Kegemparan di mana ia menunjukkan bahwa sekarang ini pemerintah kolonial mulai waswas
dengan semakin kuatnya pergerakan nasional yang mengancam kekuasaannya. Ketika pada
tanggal 29 Desember 1929 Soekarno ditangkap dan pada tanggal 29 Agustus 1930
disidangkan oleh pemerintah kolonial, Soekarno justru memanfaatkan kesempatan di
persidangan itu. Dalam pledoinya yang terkenal berjudul Indonesia Menggugat dengan tegas
ia menyatakan perlawanannya terhadap kolonialisme. Dan tak lama setelah dibebaskan dari
penjara pada tanggal 31 Desember 1931 ia bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo),
yakni partai berhaluan Radikal non-koperatif dengan kolonialis belanda yang dibentuk pada
tahun 1931 untuk menggantikan PNI yang telah dibubarkan oleh pemerintah kolonial.

Pemikiran politik islam agus salim
Gagasan untuk mengkaji Islam sebagai nilai alternatif baik dalam
perspektif interpretasi tekstual maupun kajian kontekstual mengenai kemampuan Islam
memberikan solusi baru pada temuan-temuan di semua dimensi kehidupan akhir-akhir ini
semakin merebak luas.

Penguasaan lebih mendalam mengenai wawasan pemikiran secara filosofis, terutama
penjelajahan intelektual terhadap gagasan-gagasan berfikir barat yang seakan tak terbendung
lagi datangnya bagi kaum muslimin sudah dimulai sejak abad ke-21, pemikir-pemikir muslim
sedang bergulat kuat untuk menemukan jati diri pemikiranya agar bisa memanfaatkan ide-ide
yang merayap tak terhingga sebagai akibat modernisasi berfikir radikal yang diterapkan
Barat.
Adanya perbedaan pemikiran tentang konsep politik dalam pengertian strategi
perjuangan umat Islam Indonesia, gejala-gejalanya sangat nyata dan bahkan sebetulnya dapat
dilacak akar-akarnya sejak tokoh-tokoh bangsa ini merumuskan bentuk dan dasar negara.
Oleh karena itu, Indonesia kontemporer saat ini juga tak pernah sepi dari masalah tersebut,
yang oleh banyak pengamat sering dikelompokkan ke dalam dua model politik Islam, yaitu
pendekatan struktural dan pendekatan kultural.
Pemikiran politik (fundamentalis dan liberalis) sama-sama ingin merespon
kondisi kontemporer di Indonesia yang terkait dengan umat Islam. Hanya saja pendekatannya
saja yang berbeda, bahkan saling berlawanan. Islam liberal menghadirkan Islam masa lalu
demi modernitas. Islam liberal mengangkat tema sekitar demokratisasi, sedangkan Islam
fundamentalistik yang revivalis menegaskan modernitas atas nama masa lalu yang
mengangkat tema sekitar pergerakan syari’at Islam.
Pemikiran politik islam soekarno
 Islam dan Nasionalisme
Hingga di sini, Soekarno pada tahun 1926 masih sepakat dengan konsepsi seperti di atas.
Ia dengan mengamati gerakan yang dipimpin Jamaluddin al-Afghani dengan PanIslamismenya, menyimpulkan bahwa gerakan tersebut merupakan gerakan internasionalisme.
Oleh karena itu tidak terbatas pada suatu bangsa saja. Ia menyebutkan bahwa pergerakan
Islamisme pada hakikatnya tiada bangsa. Dan Soekarno pun mengakui adanya konsepsi
teritorial politik dalam agama Islam. Darul Islam dan Darul Harb.
Soekarno mengatakan :
“Islam yang sejati adalah suatu religious democrative, satu kerakyatan yang bersandar
kepada persatuan agama. Islam yang sejati mencantumkan kepada soal khalifah itu
beberapa syarat, yang dua di antaranya maha penting, maha riil. Khalifah harus dipilih

oleh umat islam dan khalifah harus berkuasa sungguh-sungguh buat menegakkan dan
melindungi Islam di seluruh kalangan umat”.
Tetapi konsepsi khilafat tersebut, termasuk dengan syarat-syaratnya, telah berakhir dengan
naiknya Muawiyah sebagai Khalifah setelah Ali bin Abi Thalib. Dalam hal ini Soekarno
mengatakan, “Padamlah tabiat Islam yang sebenarnya.”

Pada kesempatan lain Soekarno mengatakan :
Islam yang sejati tidaklah mengandung asas anti-nasionalis; Islam yang sejati tidaklah
bertabiat anti sosialis. “. . . Islam yang sejati mewajibkan pada pemeluknya mencintai
dan bekerja untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk rakyat di antara
mana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul Islam?
Islamisme yang memusuhi pergerakan Nasional yang layak bukanlah Islamisme yang
sejati; Islamisme yang demikian adalah Islamisme yang ‘kolot’, Islamisme yang tak mengerti
aliran zaman”!
Di sini Soekarno menegaskan, meskipun Islam tidak mengenal batas-batas geopolitis,
karena mendasarkan diri pada persahabatan umat manusia, tidaklah pada tempatnya kalau
Islam menentang gerakan nasionalisme. Nasionalisme hanyalah ungkapan rasa cinta terhadap
tanah air dan hal tersebut tidaklah bertentangan dengan Islam.
 Islam dan Internasionalisme
Sejalan dengan pendapat itu Soekarno menyebutkan bahwa internasionalisme Islam telah
surut dan tak mungkin dapat diberlakukan lagi. Tetapi alasan-alasan yang diajukannya tidak
didasarkan kepada ajaran-ajaran agama : Al-Qur’an dan Sunnah. Alasannya hanya didasarkan
kepada realitas sejarah yang pernah dilalui oleh umat islam. Konsep khilafat yang telah
berlalu itu tidak lagi sejalan dengan ajaran islam, dan khalifah tidak lagi memenuhi syarat
yang telah ditentukan, sebab ia tidak dipilih dan bahkan tidak mampu melakukan usaha-usaha
menegakkan dan melindungi Islam dan umatnya di seluruh dunia. Hal itu disebabkan luasnya
wilayah teritorial yang didiami oleh umat islam.
Sebagai ganti dari konsep internasionalisme itu, Soekarno menyebutkan, “kini diambil
alih nasionalisme di kalangan bangsa-bangsa Muslimin”. Konsep alternatif ini jelas berasal
dari Barat (Eropa), dan Soekarno lebih dahulu menjadi seorang nasionalis daripada seorang
muslim yang banyak mempelajari ajaran-ajaran Islam. Berdasarkan itu semua, di samping ia
memang berpendapat bahwa humum-hukum Islam itu bersifat fleksibel, maka ia
menampilakan nasionalisme sebagai alternatif dari konsep internasionalisme (Khilafat) Islam.
Namun nasionalisme itu memang tidak seluruhnya bertentangan dengan ajaran Islam.

 Hubungan Agama dan Negara
Dalam konsep Nasionalisme, mengharuskan dipisahkannya antara agama dan negara.
Meskipun ia pada dasarnya tidak menolak sama sekali adanya persatuan agama dan negara.
Ia berpendapat bahwa persatuan agama dan negara dalam Islam, dan secara murni
menjalankan ajaran-ajaran Islam tersebut,karena ia sangat yakin bahwa orang-orang yang
bukan penganut agama Islam akan menolak gagasan itu. Sementara Islam mengajarkan
kepada umatnya asas demokrasi. Pendapatnya tentang pemisahan antara negara dan agama
didasarkan kepada pengetahuannya tentang dunia Islam dengan gerakan-gerakan politiknya
Mustafa Kemal Attaturk, bahkan ia juga dianggap sebagai orang yang mempropagandakan
ide-idenya di Indonesia.

Pemikiran politik islam Bung Hatta
 Pemikiran dan Konsep Ekonomi Bung Hatta
Bagi Bung Hatta, ajaran agama Islam yang diterimanya sejak kecil bukan untuk
memamerkan kemampuan mengaji karena sudah seharusnya orang Islam belajar al-Qur’an,
atau memakai atribut-atribut dan asesori yang menggambarkan dirinya seorang Islam. Bagi
Bung Hatta, Islam untuk diamalkan, bagaikan garam, tak terlihat tetapi terasa dalam
makanan, bukan sebagai gincu (lipstick), kelihatan tetapi tak terasa. Sebaliknya bagi Bung
Hatta, nilai-nilai Islam harus dijadikan sarana untuk mensejahterakan rakyat. Ilmu ekonomi
harus membuat sistem perekonomian Indonesian menjadi sarana mensejahterakan rakyat,
bukan untuk kepentingan kelompok atau individu.
 Pemikiran Hatta tentang Demokrasi
Cita-cita tentang keadilan sosial adalah sari pati dari nilai-nilai timur dan barat yang
mengkristal dan membentuk visi Hatta mengenai masalah-masalah politik kenegaraan. Hatta
sangat percaya bahwa demokrasi adalah hari depan sistem politik Indonesia. Kepercayaan
yang mendalam kepada prinsip demokrasi inilah yang pernah menempatkan Hatta pada posisi
yang berseberangan dengan Bung Karno ketika masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966).
Hatta menilai sistem ini sebagai sistem otoriterian yang menindas demokrasi. Sekalipun
pendapatnya berbenturan dengan Bung Karno, Hatta tetap saja memberikan fair
chance kepada presiden untuk membuktikan dalam realitas. Sekalipun tertindas, di mata
Hatta demokrasi tidak akan pernah lenyap dari bumi Indonesia.
Menurut Hatta ada tiga sumber pokok demokrasi yang mengakar di
Indonesia. Pertama, sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip humanisme, sementara
prinsi-prinsip ini dinilai juga sekaligus sebagai sebagai tujuan. Kedua, ajaran Islam
memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat. Ketiga, pola hidup dalam
bentuk kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa wilayah Indonesia. Ketiga sumber
inilah yang akan menjamin kelestarian demokrasi di Indonesia. Baginya, suatu kombinasi
organik antara tiga sumber kekuatan yang bercorak sosio religius inilah yang memberi
keyakinan kepada Hatta bahwa demokrasi telah lama berakar di Indonesia tidak terkecuali di

desa-desa. Bila di desa yang menjadi tempat tinggal sekitar 70% rakyat Indonesia masih
mampu bertahan, maka siapakah yang meragukan hari depan demokrasi di Indonesia.