Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Kartu Tanda Penduduk (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1649 Pid.Sus 2015 Pn.Mdn

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemalsuan merupakan salah satu bentuk perbuatan yang disebut sebagai
kejahatan yaitu sebagai suatu perbuatan yang sifatnya bertentangan dengan
kepentingan hukum. Sebab dan akibat dari kejahatan itu menjadi perhatian utama
dari berbagai pihak, dengan mengadakan penelitian-penelitian berdasarkan
metode-metode ilmiah agar diperoleh suatu kepastian untuk menetapkan porsi dan
klasifikasi dari kejahatan tersebut.
Fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sekarang ini adalah
selalu igin cepat menyelesaikan sesuatu hal tanpa memikirkan akibat yang akan
ditimbulkan dari perbuatannya tersebut, padahal perbuatannya itu sudah jelas-jelas
dilarang. Manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan pemuas diri dan
bahkan keinginan untuk mempertahankan status diri hal itu banyak dilakukan
tanpa berfikir secara matang yang dapat merugikan lingkungan dan diri sendiri.
Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan
selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat bahkan negara. Kenyataan
telah membuktikan bahwa kejahatan dan pelanggaran hanya dapat dicegah
dan dikurangi, tetapi sulit untuk diberantas secara tuntas. Antisipasi atas
kejahatan dan pelanggaran tersebut diantaranya dengan memfungsikan

instrumen hukum pidana secara efektif dan tepat melalui penegakan
hukum (law enforcement). 1
Kejahatan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan
masyarakat. “Kejahatan bukanlah sebagai suatu variabel yang berdiri sendiri,
semakin maju dan berkembang peradaban umat manusia, akan semakin mewarnai
1

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 2

1
Universitas Sumatera Utara

2

bentuk dan corak kejahatan yang akan muncul kepermukaan”. 2 kejahatan atau
tindak kriminal merupakan salah satu dari perilaku menyimpang yang selalu ada
dan melekat pada setiap bentuk masyarakat.
Salah satu bentuk kejahatan yang sering terjadi pada lingkungan
masyarakat adalah pemalsuan. Kejahatan pemalsuan tidak terbatas pada kalangan
masyarakat tertentu saja, melainkan setiap ada kesempatan dan tersedia objeknya

maka kejahatan pemalsuan itu dapat terjadi. Delik pemalsuan merupakan bagian
dari kejahatan terhadap harta benda. Kejahatan pemalsuan yang paling sering
terjadi di dalam masyarakat adalah pemalsuan surat.
Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat dengan kejahatan
pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur
keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (objek), yang sesuatunya
itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya
bertentangan dengan yang sebenarnya. 3
Pemalsuan surat mengancam kepentingan masyarakat berupa kepercayaan
terhadap surat-surat yang mempunyai akibat hukum.
Penyerangan terhadap kepercayaan atas kebenaran adalah perbuatan yang
patut di pidana, yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu
kejahatan. Memberikan atau menempatkan sifat terlarangnya bagi
perbuatan-perbuatan berupa penyerangan terhadap kepercayaan itu dalam
undang-undang adalah berupa suatu perlindungan hukum terhadap
kepercayaan atas kebenarannya dari objek-objek itu. 4
Kejahatan pemalsuan dengan objek pemalsuan surat yang banyak
ditemukan di lingkungan masyarakat adalah kejahatan pemalsuan Kartu Tanda
Penduduk (selanjutya disebut KTP). KTP adalah identitas resmi penduduk sebagai
bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana (dalam hal ini Dinas

2

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Raja Grafindo, Jakarta, 2003, hlm.7
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Rajawali Pers, Jakarta, 2000, hlm. 3
4
S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni Jakarta, 2003. hlm.
3

5.

Universitas Sumatera Utara

3

Kependudukan dan Pencatatan Sipil) yang berlaku di Seluruh Wilayah Negara
Kesatuan Indonesia.
Pelaku kejahatan pemalsuan Kartu Tanda Penduduk (KTP) menurut Pasal
96A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang
menyebutkan bahwa setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak,
menerbitkan, dan/atau mendistribusikan Dokumen Kependudukan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Contoh kasus pemalsuan KTP adalah dalam kasus putusan Pengadilan
Negeri Medan Nomor 1649/Pid.Sus/2015/PN.Mdn dengan terdakwa Leonard
Bangun Als Leo. Adapun modus operandi pemalsuan tersebut dilakukan terdakwa
dengan cara mengetik dan mencetak KTP atau dokumen palsu lainnya seperti
Kartu Keluarga, Akta Kelahiran berdasaran pesanan dengan menggunakan
komputer dan perlengkapan percetakan yang ada di tempat usahanya.
Setiap ada pesanan pembuatan KTP, KK, akta kelahiran dan dokumen
lainnya terdakwa dengan memberikan data-data dan blanko kosong dan kemudian
terdakwa melakukan pengetikan dengan cara mengambil banko kosong,
memasukannya ke dalam mesin printer, mengetik data-data ke dalam computer,
pas photo di scan melalui mesin scan dan diletakkan sesuai tempatnya di dalam
blanko, begitu juga dengan letak stempel serta tanda tangan. Setelah sesuai

Universitas Sumatera Utara

4


terdakwa mencetaknya dan menyerahkan kepada pemesan yang kemudian
membubuhkan tanda tangan pejabat serta stempel yang telah dibuatnya.
Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagai perbuatan yang secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagai orang yang melakukan, yang
menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, membuat surat palsu
atau memalsukan surat berupa KTP, KK serta akta kelahiran yang dapat
menimbulkan hak, perikatan atau pembebasan hutang atau yang diperuntukan
sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh
orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, jika
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Pemalsuan KTP berdampak luas, serta menimbulkan persoalan kompleks
di masyarakat. Pemalsuan KTP tidak hanya perbuatan pidana sebagaimana
kejahatan umumnya, tapi berdampak lebih luas semisal menimbulkan kerugian di
bidang bisnis, politik, bahkan keamanan negara. Identitas yang dipalsukan akan
menimbulkan persoalan lain semisal dalam dunia bisnis proses administrasi
pinjaman atau kredit di bank dan jual beli akan rancu. Begitu juga di bidang
politik, pendataan kependudukan dalam momentum pilkada bisa dimanfaatkan
untuk penggelembungan suara apabila KTP bisa dipalsukan. Keamanan negara
juga bisa dikacaukan apabila KTP palsu marak beredar, karena bisa digunakan

siapa saja termasuk orang asing yang mungkin punya misi tertentu.
Mengetahui dan membahas secara lebih jelas dalam mengungkapkan
kejahatan pemalsuan KTP, maka dipilih skripsi yang berjudul, “Analisis Yuridis

Universitas Sumatera Utara

5

Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Kartu Tanda Penduduk (Studi Putusan
Pengadilan Negeri Medan Nomor 1649/Pid.Sus/2015/PN.Mdn)”.

B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pemalsuan
Kartu Tanda Penduduk ?
2. Bagaimana penerapan sanksi pidana teerhadap
Penduduk

dalam


putusan

Pengadilan

pemalsuan Kartu Tanda
Negeri

Medan

Nomor

1649/Pid.Sus/2015/PN.Mdn.

D. Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana
pemalsuan Kartu Tanda Penduduk.
2. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana teerhadap

pemalsuan Kartu


Tanda Penduduk dalam putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor
1649/Pid.Sus/2015/PN.Mdn.

E. Manfaat Penulisan
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan:
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan untuk
pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut bagi teoritis yang ingin
mengetahui dan memperdalam tentang masalah pemalsuan KTP.

Universitas Sumatera Utara

6

2. Secara Praktis :
a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat khususnya
memberikan informasi ilmiah mengenai kejahatan pemalsuan KTP.
b. Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi penegak hukum
dalam menyelesaikan masalah penggunaan KTP palsu.
F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian
mengenai “Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Kartu Tanda
Penduduk

(Studi

Putusan

Pengadilan

Negeri

Medan

Nomor

1649/Pid.Sus/2015/PN.Mdn)” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun sendiri
dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan
implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini

dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata yang
sama, maka penulis akan bertanggungjawab sepenuhnya.
G. Tinjauan Kepustakaan.
1. Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan
Seperti diketahui bahwa istilah het strafbare feit telah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia yang artinya antara lain sebagai berikut :
a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum.
b. Peristiwa pidana
c. Perbuatan pidana
d. Tindak pidana. 5

5

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar
Pemidanaan dan Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.26

Universitas Sumatera Utara

7


Tentang apa yang diartikan dengan strafbaar feit (tindak pidana) para
sarjana memberikan pengertian yang berbeda-beda.
Menurut M Hamdan merumuskan strafbaar feit adalah
Suatu handeling (tindakan atau perbuatan) yang diancam dengan pidana
oleh Undang-Undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig)
dilakukan dengan kesalahan schuld oleh seseorang yang mampu
bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan
unsur yaitu :
a. Unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan.
b. Unsur subjektif yang berupa kesalahan dan kemampuan bertanggung
jawab. 6
Moeljatno menyebutkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh
aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang
melanggar larangan tersebut. Selanjutnya Mulyatno menyebutkan bahwa menurut
wujudnya atau sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatanperbuatan yang melawan hukum, merugikan masyarakat dalam arti bertentangan
dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat
yang dianggap baik dan adil. 7
R. Tresna menyebutkan bahwa :
Peristiwa pidana adalah suatu perbuatan rangkaian perbuatan manusia
yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan perundangundangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
penghukuman. Ia juga menyatakan bahwa supaya suatu perbuatan dapat
disebut peristiwa pidana, perbuatan itu harus memenuhi beberapa syarat
yaitu :
a. Harus ada suatu perbuatan manusia
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam
ketentuan umum
c. Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat yaitu orangnya
harus dapat dipertanggung jawabkan.
d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum
6

M. Hamdan., Tindak Pidana Suap dan Money Politics, Pustaka Bangsa Press, Medan,
2005, hlm.8
7
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm.54

Universitas Sumatera Utara

8

e.

Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukuman di dalam
Undang-Undang. 8

R. Soesilo menyebutkan bahwa :
Tindak pidana adalah sesuatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan
oleh Undang-Undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang
yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan hukuman. Dalam
hal ini tindak pidana itu juga terdiri dari dua unsur yaitu :
a. Unsur yang bersifat objektif yang meliputi :
1) Perbuatan manusia yaitu perbuatan yang positif atau suatu
perbuatan yang negatif yang menyebabkan pidana.
2) Akibat perbuatan manusia yaitu akibat yang terdiri atas
merusakkan atau membahayakan kepentingan-kepentingan hukum
yang menurut norma hukum itu perlu ada supaya dapat dihukum.
3) Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan-keadaan ini bisa
jadi terdapat pada waktu melakukan perbuatan.
4) Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan itu
melawan hukum, jika bertentangan dengan undang-undang.
b. Unsur yang bersifat subjektif yaitu unsur yang ada dalam diri si
pelaku itu sendiri yaitu kesalahan dari orang yang melanggar aturanaturan pidana, artinya pelanggaran itu harus dapat dipertanggung
jawabkan kepada pelanggar. 9
Perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut :
a. Melawan hukum
b. Merugikan masyarakat
c. Dilarang oleh aturan pidana
d. Pelakunya diancam dengan hukuman pidana. 10
Perbuatan itu menjadi suatu tindak pidana adalah dilarang oleh aturan
pidana dan pelakunya diancam dengan pidana, sedangkan melawan hukum dan
merugikan masyarakat menunjukkan sifat perbuatan tersebut. Suatu perbuatan
yang bersifat melawan hukum dan merugikan masyarakat belum tentu hal itu
merupakan suatu tindak pidana sebelum dipastikan adanya larangan atau aturan
8

R. Tresna, Asas-Asas Hukum Pidana, Tiara, Jakarta, 2009, hlm.28
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, 2008, hlm.26
10
M. Hamdan., Op.Cit, hlm.10
9

Universitas Sumatera Utara

9

pidananya (Pasal 1 KUHPidana) yang diancamkan terhadap pelakunya. Perbuatan
yang bersifat melawan hukum dan yang merugikan masyarakat banyak sekali,
tetapi baru masuk dalam lapangan hukum pidana apabila telah ada larangan oleh
peraturan pidana dan pelakunya diancam dengan hukuman.
Sesuatu perbuatan itu merupakan tindak pidana atau tidak, haruslah dilihat
pada ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku (hukum pidana positif). Di
dalam KUH.Pidana yang berlaku sekarang ini, tindak pidana ini dibagi menjadi
dua kelompok yaitu kejahatan yang diatur dalam Buku Kedua dan pelanggaran
yang diatur dalam Buku Ketiga. Apa kriteria yang dipergunakan untuk
mengelompokkan dari dua bentuk tindak pidana ini, KUHPidana sendiri tidak ada
memberikan penjelasan sehingga orang beranggapan bahwa kejahatan tersebut
adalah perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang

berat, dan pelanggaran

adalah perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang ringan. Hal ini juga didasari
bahwa pada kejahatan umumnya sanksi pidana yang diancamkan adalah lebih
berat daripada ancaman pidana yang ada pada pelanggaran.
Ilmu Hukum Pidana mengengal beberapa jenis tindak pidana, diantaranya
adalah :
a. Tindak pidana formil.
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya dititik
beratkan kepada perbuatan yang dilarang. Jadi tindak pidana tersebut
telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang
sebagaimana yang tercantum atau dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan (pidana). Misalnya Pasal 362 KUH.Pidana
perbuatan yang dilarang tersebut adalah mengambil milik orang lain.
b. Tindak pidana materil.
Tindak pidana materil adalah tindak pidana yang perumusannya dititik
beratkan kepada akibat yang dilarang (dalam suatu Undang-Undang).
Jadi tindak pidana ini baru selesai apabila akibat yang dilarang (dari
suatu perbuatan) itu telah terjadi. Misalnya Pasal 338 KUH.Pidana,
akibat yang dilarang tersebut adalah hilangnya nyawa orang lain.

Universitas Sumatera Utara

10

c. Tindak pidana comisionis
Tindak pidana comisionis adalah tindak pidana yang berupa
pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh UndangUndang.
d. Tindak pidana omisionis.
Tindak pidana omisionis adalah tindak pidana yang berupa
pelanggaran terhadap perintah yang telah ditetapkan oleh UndangUndang. Misalnya Pasal 522 KUH.Pidana, tidak menghadap sebagai
saksi di muka pengadilan.
e. Dolus dan culpa
Dolus adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan
culpa adalah tindak pidana yang dilakukan dengan kelalaian atau
karena kealpaan.
f. Tindak pidana aduan (klachtdelict).
Dalam hal ini tindak pidana yang dilakukan itu baru dapat dilakukan
penuntutan, apabila ada pengaduan. Jadi jika tidak ada pengaduan,
maka tindak pidana tersebut tidak akan dituntut. Misalnya Pasal 284
KUH.Pidana, tindak pidana perzinahan, dengan demikian delik aduan
ini dapat diketahui langsung dari bunyi rumusan pasal. 11
Menurut Sudarto, bahwa secara dogmatis masalah pokok yang
berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal yaitu :
a. Perbuatan yang dilarang
b. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu
c. Pidana yang diancamkan terhadap pelanggar larangan itu. 12
Mengenai kata perbuatan yang dilarang, dalam hukum pidana mempunyai
banyak istilah yang berasal dari bahasa Belanda (Het Strafbare feit) yang
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia antara lain :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Perbuatan yang dilarang hukum
Perbuatan yang dapat dihukum
Perbuatan pidana
Peristiwa pidana
Tindak pidana.
Delik (berasal dari bahasa Latin delictum). 13

11

R.Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHLM.Pidana
Indonesia, Eresco,Bandung, 2002, hlm.106
12
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 2003,
hlm.62
13
M. Hamdan, Op.Cit, hlm.8

Universitas Sumatera Utara

11

Tentang orang yang melakukan perbuatan yang dilarang (tindak pidana)
yaitu setiap pelaku yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana atas
perbuatannya yang dilarang dalam suatu Undang-Undang. Pertanggung jawaban
pidana adalah diteruskannya celaan yang secara objektif ada pada tindak pidana
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat
yang memenuhi syarat dalam Undang-Undang (pidana) untuk dapat dikenai
pidana karena perbuatannya.
Tentang pidana yang diancamkan terhadap si pelaku yaitu hukuman yang
dapat dijatuhkan kepada setiap pelaku yang melanggar Undang-Undang, baik
hukuman yang berupa hukuman pokok maupun hukuman tambahan.
Pemalsuan berasal dari kata dasar palsu yang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia artinya adalah tiruan. 14 Pemalsuan dari bahasa Belanda yaitu Vervalsing
atau Bedrog yang artinya proses, cara atau perbuatan memalsu. 15
Pemalsuan yang artinya tidak tulen, tidak sah, tiruan, gadungan, tidak
jujur, sumbang. Pemalsuan berarti proses, cara, perbuatan memalsukan.
Dengan kata lain perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran
terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh
keuntungan bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Sedangkan, surat
(geschrift) adalah suatu lembar kertas yang di atasnya terdapat tulisan yang
terdiri dari kalimat dan huruf termaksud angka yang mengandung/berisi
buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan tangan,
dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan
alat dan cara apapun. 16
Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap
kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri
sendiri atau orang lain. Suatu pergaulan hidup yang teratur dalam masyarakat
14

WJS. Poerwadarmina, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta,
2008, hlm.817
15
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Pramadya Puspa, Semarang, 2007, hlm. 618
16
Adam Chazawi, Op. Cit, hlm. 97

Universitas Sumatera Utara

12

yang maju dan teratur tidak dapat berlangsung lama tanpa adanya jaminan
kebenaran atas beberapa bukti surat dan dokumen-dokumen lainnya. Karenanya
perbuatan pemalsuan merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari
masyarakat tersebut.
Menurut Adami Chazawi mengemukakan bahwa suatu perbuatan
pemalsuan dapat dihukum apabila terjadi perkosaan terhadap jaminan atau
kepercayaan dalam hal :
a. Pelaku mempunyai niat atau maksud untuk mempergunakan sesuatu
barang yang tidak benar dengan menggambarkan keadaan barang yang
tidak benar itu seolah-olah benar atau mempergunakan sesuatu barang
yang tidak asli seolah-olah asli, hingga orang lain percaya bahwa
barang tersebut adalah benar dan asli dan karenanya orang lain
terperdaya.
b. Unsur niat atau maksud tidak perlu mengikuti unsur menguntungkan
diri sendiri atau orang lain (sebaliknya dari berbagai jenis perbuatan
penipuan).
c. Perbuatan tersebut harus menimbulkan suatu bahaya umum yang
khusus dalam pemalsuan tulisan atau surat dan sebagainya dirumuskan
dengan mensyaratkan kemungkinan kerugian dihubungkan dengan
sifat daripada tulisan atau surat tersebut. 17
Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya mengandung
sistem ketidak benaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu
nampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan
dengan yang sebenarnya. 18
Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap dua
norma dasar:
a. Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggaranya dapat tergolong dalam
kelompok kejahatan penipuan.
17
18

Ibid, hlm.98
Ibid, hlm. 2-3.

Universitas Sumatera Utara

13

b. Ketertiban masyarakat, yang pelanggaranya tergolong dalam kelompok
kejahatan terhadap negara/ketertiban masyarakat. 19
Ketidakbenaran dari sesuatu tersebut menyebabkan banyaknya masyarakat
yang tidak dapat membedakan mana yang asli dan mana yang palsu hal ini
dikarenakan sipelaku menggunakan banyak cara yang menyebabkan masyarakat
terjebak dalam kondisi tersebut. Ketidakbenaran terhadap kebenaran tersebut
dilakukan dengan cara :
a. Pemalsuan intelektuil dapat terdiri atas pernyataan atau pemberitahuan
yang diletakkan dalam suatu tulisan atau surat, pernyataan atau
pemberitahuan mana sejak semula adalah tidak benar dengan perkataan
lain orang yang memberikan pernyataan atau pemberitahuan itu
mengetahui atau memahami, bahwa hal itu tidak benar atau tidak sesuai
dengan kebenaraan, hingga tulisan atau surat itu mempunyai isi tidak
benar.
b. Pemalsuan materiil :
1) Perbuatan mengubah sesuatu benda, tanda, merk, mata uang,
tulisan/huruf yang semula asli dan benar sedemikian rupa hingga
benda, tanda, merk, mata uang, tulisan/surat itu menunjukkan atau
menyatakan sesuatu hal yang lain daripada yang aslinya. Benda,
tanda, merk, mata uang, tulisan/surat itu telah secara materiil
dipalsukan, tetapi karenanya isinya juga menjadi palsu atau tidak
benar.
2) Perbuatan membuat benda, tanda, merk, mata uang atau tulisan/surat
sejak semula sedemikian rupa, hingga mirip dengan yang aslinya atau
yang benarnya, tetapi bukan yang asli. 20
Penggolongan

kejahatan

pemalsuan

didasarkan

atas

objek

dari

pemalsuaan, yang jika dirincikan lebih lanjut ada 6 (enam) objek kejahatan yang
terdapat dalam KUHP yang antra lain adalah :
a. Keterangan di atas sumpah
b. Mata uang
c. Uang kertas
19

HLM.A.K. Mochlm. Anwar, Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1990, hlm. 128
20
HLM.A.K. Mochlm. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP buku II), Alumni,
Bandung, 1980, hlm. 155.

Universitas Sumatera Utara

14

d. Materai
e. Merek.
f. Surat. 21

Dengan perbuatan tersebut di atas, meskipun dapat digolongkan di dalam
pemalsuan secara materiil, tetapi berhubung karenanya juga isinya menjadi palsu
atau tidak benar, maka sekaligus terjadi pemalsuan materiil dan pemalsuan
intelektuil. Pemalsuan intelektuil yang murni hanya dapat terjadi apabila suatu
data/tulisan/surat merupakan data/tulisan/surat sendiri yang keseluruhannya asli,
tidak diubah, tetapi pernyataan yang termuat di dalamnya adalah tidak asli atau
tidak benar.
2. Pengertian Pertanggungjawaban
Pengertian

perbuatan

pidana

tidak

termasuk

pengertian

pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarang dan
diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana.
Pertanggungjawaban dalam konsep hukum pidana merupakan sentral yang
dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa Latin ajaran kesalahan dikenal
dengan dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu
perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu
jahat. 22
Dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang
dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undangundang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan
dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut
21
22

Ibid. hlm.6
Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 155

Universitas Sumatera Utara

15

melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan
hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan
bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada
kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu
dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang
telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini
dia mempunyai kesalahan.
Berdasarkan hal tersebut maka pertanggung jawaban pidana atau
kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu:
a. Dapat dipertanggungjawabkan kepada si pembuat atau kemampuan
bertanggungjawab dari si pembuat.
b. Ada hubungan tertentu dalam batin orang yang berbuat, baik dalam
bentuk kesengajaan maupun kealpaan.
c. Tidak ada dasar alasan yang menghapus pertanggungjawaban si
pembuat atau tidak ada alasan penghapusan kesalahan. 23
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang
objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi
syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan
pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah
asas kesalahan. Ini berarti pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia
mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya dan yang dipertanggungjawabkan orang itu
adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana
karena

telah
23

ada

tindak

pidana

yang

dilakukan

oleh

seseorang.

Ibid, hlm.156

Universitas Sumatera Utara

16

Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang
dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas
kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu. 24
Berbicara mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang, maka
harus diketahui apakah dapat dimintanya pertanggungjawaban pelaku atas tindak
pidana yang dilakukannya, yang terdiri dari unsur :
a. Kesalahan.
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum,
sehingga meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang
dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk
penjatuhan pidana.
Pemidanaan masih memerlukan adanya syarat bahwa orang yang
melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Asasnya
adalah tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). "Peran
unsur kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana terlihat dengan
adanya asas mens rea yaitu subjektif guilt yang melekat pada si pembuat,
subjektif guilt ini merupakan kesengajaan atau kealpaan yang melekat pada
si pembuat. 25
Pengertian kesalahan berdasarkan pendapat-pendapat ahli hukum dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1) Mezger mengatakan bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat yang
memberdasarkan adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak
pidana.
2) Simons
mengartikan
kesalahan
sebagai
dasar
untuk
pertanggungjawaban dalam hukum pidana maka kesalahan tersebut
berupa keadaan pschisch dari si pembuat. Hubungannya terhadap
pembuat itu dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychish
perbuatannya dapat dicelakan kepada si pembuat.
24

Chairul Huda. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 68
25
Sudarto, Op.Cit, hlm. 52

Universitas Sumatera Utara

17

3) Van Hamel mengatakan bahwa kesalahan pada suatu delik merupakan
pengertian psychologis, hubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan
terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan
adalah pertanggungjawaban dalam hukum.
4) Van Hattum berpendapat bahwa pengertian kesalahan yang paling
luas memuat semua unsur dalam mana seseorang dipertanggung
jawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan
hukum, meliputi semua hal.
5) Pompe mengatakan pada pelanggaran norma yang dilakukan karena
kesalahannya biasanya sifat melawan hukum itu adalah perbuatannya
yakni segi dalam yang berkaitan dengan kehendak si pembuat adalah
kesalahan. 26
Seseorang dapat dinyatakan bersalah dan dapat dipertanggungjawabkan
perbuatan pidana sehingga dapat dipidana apabila telah memenuhi unsur-unsur
kesalahan dalam arti luas, sekaligus sebagai unsur subjektif. Syarat pemidanaan
tersebut, meliputi: 27
1) Kesengajaan.
Defenisi sengaja berdasarkan memorie van toelichting (memori penjelasan)
adalah merupakan kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan
kejahatan tersebut. Kata opzettelijk (dengan sengaja) yang tersebar di dalam
beberapa Pasal KUHP adalah sama dengan willens en wetens, yaitu
menghendaki dan mengetahui. 28
2) Kelalaian (Culva).
Dalam hukum pidana dikenal beberapa jenis kelalaian yakni:
a) Culva Lata adalah kelalaian yang berat.
b) Culva Levissima adalah kelalaian yang ringan jadi culva ini belum cukup
untuk menghukum seseorang karena melakukan suatu kejahatan karena
culva. 29

26

Ibid, hlm.53
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, P.T.Rienka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 103.
28
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 273.
29
Sudarto, Op. Cit., hlm.104.
27

Universitas Sumatera Utara

18

3) Dapat dipertanggungjawabkan.
Pompe mengatakan bahwa :
Dapat dipertanggungjawabkan maksudnya ia ada pada suatu keadaan jiwa
pembuat, yang memiliki cukup akal dan kemauan, oleh karena cukup
mampu untuk mengerti arti perbuatannya dan sesuai dengan pandangan itu
untuk menentukan kemauannya. Kemampuan berfikir terdapat pada orangorang normal dan oleh sebab itu kemampuan berfikir dapat diduga pada si
pembuat. Dengan kata lain dapat dipertanggunjawabkan perbuatan pidana
itu kepada pelaku apabila pelaku mempunyai kemampuan berfikir dan
menginsyafi arti perbuatannya. 30
Berdasarkan pendapat di atas maka kesalahan mengandung unsur
pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Pencelaan di
sini bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan tetapi pencelaan berdasarkan hukum
yang berlaku.
b. Kemampuan Bertanggungjawab.
Pertanggungjawaban pidana memerlukan syarat bahwa pembuat mampu
bertanggungjawab, karena tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggung
jawabkan apabila ia tidak mampu bertanggungjawab. Simons mengatakan bahwa
kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan psikis, yang membenarkan
adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum ataupun
orangnya. Seseorang mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat, yakni
apabila: 31
1) Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri.
2) Mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan
dengan hukum.
3) Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
30

Martiman Prodjohamidjodjo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indoensia,
Paradnya Paramita, Jakarta, 1996, hlm. 32
31
Moeljatno, Op.Cit, hlm. 165.

Universitas Sumatera Utara

19

c. Alasan penghapus pidana
Ketidakmampuan

bertanggungjawab

sebenarnya

merupakan

alasan

penghapus kesalahan atau pemaaf. Menentukan keadaan dimana seseorang tidak
mampu bertanggungjawab sehingga ia tidak dipidana dapat dilakukan melalui
metode berikut, yakni:
1) Metode biologis yaitu suatu cara dengan mengurai atau meninjau jiwa
seseorang, yang dilakukan oleh seorang psikiater.
2) Metode psikologis yaitu dengan cara menunjukkan hubungan keadaan
jiwa abnormal dengan perbuatannya, yang dipentingkan dalam metode
ini adalah akibat penyakit jiwa dengan perbuatannya sehingga
dikatakan tidak mampu bertanggungjawab dan tidak dapat dipidana.
3) Metode gabungan dari kedua cara tersebut dengan menunjukkan
keadaan jiwa dan kemudian keadaan jiwa itu dimulai dengan
perbuatannya untuk dinyatakan tidak mampu bertanggungjawab. 32
Ilmu hukum pidana mengadakan pembedaan antara dapat dipidananya
perbuatan dan dapat dipidananya pembuat, penghapusan pidana ini menyangkut
perbuatan dan pembuatnya, sehingga dibedakan dalam dua jenis alasan
penghapusan pidana (umum), yakni:
1) Alasan pembenar, yakni alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik dalam
undang-undang, kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak
mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP
adalah pada:
a) Pasal 49 ayat (1) merupakan suatu pembelaan darurat (memaksa) yang
memiliki syarat:
(1) Adanya serangan, tidak terhadap semua serangan dapat diadakan
pembelaan melainkan pada serangan yang bersifat seketika, melawan
hukum, sengaja ditujukan pada badan, perikesopanan dan harta benda.
32

Martiman Prodjohamidjodjo, Op. Cit, hlm. 36

Universitas Sumatera Utara

20

(2) Adanya pembelaan yang perlu diajukan terhadap serangan itu, dengan
syarat: pembelaan harus dan perlu diadakan, pembelaan harus
menyangkut pembelaan pada badan, perikesopanan dan harta benda.
b) Pasal 50 merupakan suatu perbuatan karena menjalankan suatu perundangundangan. Perundang-undangan di sini maksudnya adalah tiap peraturan
yang dibuat oleh pemerintah, maka kewajiban/tugas itu diperintahkan oleh
peraturan undang-undang. Dalam hukum acara pidana dan acara perdata
dapat dijumpai adanya kewajiban dan tugas-tugas atau wewenang yang
diberikan pada pejabat/orang yang bertindak, untuk dapat membebaskan
dari tuntutan. Syarat dari Pasal ini adalah tindakan tersebut dilakukan
secara patut, wajar dan masuk akal.
c) Pasal 51 ayat (1) yakni melaksanakan perintah jabatan. Perintah jabatan di
sini haruslah perintah jabatan yang sah, sah maksudnya adalah bila
perintah tersebut berdasarkan tugas, wewenang atau kewajiban yang
didasarkan pada suatu peraturan, dan anatar orang yang diperintah dengan
orang yang memerintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada
hubungan subordinasi, meskipun sifatnya sementara serta tindakan
tersebut tidak boleh melampaui batas kepatutan.
2) Alasan Pemaaf yakni menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang
ini tidak dapat dicela, (menurut hukum) dengan kata lain ia tidak bersalah atau
tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya merupakan
perbuatan pidana akan tetapi pelakunya tidak dapat dipidana. Sehingga alasan
pemaaf ini yang terdapat pada KUHP adalah pada:
a) Pasal 44 KUHP menentukan, tidak dipidana seseorang yang melakukan
suatu tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya(non

Universitas Sumatera Utara

21

composmentis atau is unable to account for his action or to govern them)
karena :
(1) Jiwanya cacat dalam pertumbuhan.
(2) Jiwanya terganggu karena penyakit. 33
Pembuat undang-undang dalam merumuskan Pasal 44 KUHP
bertolak

pangkal

pada

anggapan

bahwa

setiap

orang

mampu

bertanggungjawab, karena dianggap setiap orang mempunyai jiwa yang
sehat. Itulah sebabnya mengapa justru yang dirumuskan Pasal 44 KUHP
mengenal

ketidakmampuan

bertanggungjawab. 34

Sebaliknya

dari

ketentuan tersebut dapat juga diambil suatu pengertian tentang
kemampuan bertanggungjawab yaitu dengan menggunakan penafsiran
secara membalik (redenering a contrario). Jika yang tidak mampu
bertanggungjawab itu adalah seseorang yang jiwanya cacat dalam
pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit maka seseorang yang
mampu bertanggungjawab adalah yang tidak mempunyai keadaan-keadaan
seperti ditentukan tersebut.
b) Pasal 48 karena daya paksa, daya paksa maksudnya adalah tidak dapat
diharapkan dari si pembuat untuk mengadakan perlawanan, maka daya
paksa dapat dibedakan dalam dua hal yakni:
1) Paksaan absolut, dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam,
dalam hal ini kekuatan tersebut sama sekali tidak dapat ditahan.

33

EY Kanter dan SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 257.
34
Ibid, hlm.257

Universitas Sumatera Utara

22

2) Paksaan relatif, sebenarnya paksaan itu dapat ditahan tetapi dari orang
yang di dalang paksaan itu tidak dapat diharapkan bahwa ia akan
mengadakan perlawanan.
c) Pasal 49 ayat (2) yakni pelampauan batas pembelaan darurat yang terdiri
dari syarat:
1) Melampaui batas pembelaan yang diperlukan.
2) Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari goncangan
jiwa yang hebat.
3) Goncangan jiwa yang hebat itu disebabkan oleh adanya serangan,
maka harus ada hubungan kausal antara keduanya.
d) Pasal 51 ayat (2) yakni dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan
yang tidak sah, namun harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah.
2) Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang
diperintah.
3. Pengertian Pidana dan Pemidanaan.
Di Indonesia sarjana hukum membedakan istilah hukuman dan pidana
yang dalam bahasa Belanda hanya di kenal dengan satu kata atau istilah untuk
keduanya yaitu straf.
Menurut Van Bemmelen arti Pidana atau straf menurut hukum positif
dewasa ini adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan
oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara
sebagai penanggung jawab dan ketertiban hukum umum bagi seseorang

Universitas Sumatera Utara

23

pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu
peraturan hukum harus ditegakkan oleh negara. 35
Menurut Simons, pidana atau straf adalah suatu penderitaan yang oleh
undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma,
yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang
bersalah. 36
Berdasarkan rumusan mengenai pidana diatas dapat diketahui, bahwa
pidana itu hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. ini berarti
bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat
mempunyai tujuan. Adapun unsur-unsur atau ciri-ciri pidana menurut Priatno
ialah sebagai berikut:
a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).
c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau Badan Hukum (korporasi)
yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. 37
Setelah dijelaskan mengenai pengertian pidana kemudian akan dijelaskan
pengertian pemidanaan sendiri. Menurut Muladi, perkataan pemidanaan itu adalah
sinonim dengan perkataan penghukuman yang dapat diartikan sebagai berikut:
Penghukuman itu berasal dan kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai
menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya. Penetapkan hukum
untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan
tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana,
35

P.A.F Lamintang. Hukum Penitensier Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. hlm. 47
Ibid, hlm.48
37
Priyatno Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT. Relika
Aditomo, Bandung, 2006, hlm. 27
36

Universitas Sumatera Utara

24

maka istilah tesebut harus disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara
pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau
penjatuhan pidana oleh hakim. 38
Adapun dasar pembenaran dan tujuan pemidanaan pada umumnya dibagi
dalam 3 (tiga) kelompok teori, yaitu:
a. Teori Absolut (Teori Pembalasan)

Pandangan yang bersifat absolut (yang dikenal juga dengan teori
retributif), dianggap sebagai pandangan paling klasik mengenai konsepsi
pemidanaan. Dalam pandangan ini, diandaikan bahwa setiap individu manusia itu
bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Setiap perbuatan dengan sendirinya
mengandung konsekuensi untuk mendapatkan respon positif atau negatif. Jika
perbuatan itu bersifat sosial, maka ganjaran yang diperoleh pelakunya positif,
seperti berupa penghargaan atau pujian dan sebagainya. Tetapi jika perbuatannya
itu bersifat antisosial, maka ganjarannya bersifat negatif, misalnya dicela,
dimusuhi, atau bahkan dihukum sebagai imbalan atau pembalasan terhadap
perbuatannya yang antisosial.
Ciri khas dari ajaran-ajaran absolut, terutama Kant dan Hegel, adalah
keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana sekalipun pemidanaan sebenarnya
tidak berguna, bahkan bilapun membuat keadaan pelaku kejahatan menjadi lebih
buruk. 39 Menurut teori ini yang menjadi dasar hukum dijatuhkannya pidana
adalah kejahatan itu sendiri. Teori ini berfokus pada hukuman/pemidanaan
sebagai suatu tuntutan mutlak untuk mengadakan pembalasan (vergelding)
38

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni,
Bandung, 2005, lm. 33.
39
Abul Khair dan Mohammad Eka Putra, Pemidanaan, Usu Press, Medan, 2011, hlm. 31

Universitas Sumatera Utara

25

terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan jahat. Selanjutnya dikatakan
oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan pada sikorban, maka harus
diberikan pula penderitaan sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan
perbuatan jahat. Jadi penderitaan harus dibalas dengan penderitaan. 40 Menurut
teori retributif, setiap kejahatan harus diikuti pidana, tidak boleh tidak, tanpa
tawar-menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan.
Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dari dijatuhkannya pidana. Hanya
dilihat kemasa lampau dan tidak dilihat kemasa depan. 41
Bagi penganut teori ini, maka pemidanaan atas perbuatan yang salah
bersifat adil, karena memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh
kejahatan. Kant dalam bukunya Metapysische Anfangsgrunde der Rechtslehre dan
Hegel dalam bukunya Grundlinien der Philosophic des Rechts sebagaimana
disebutkan dalam Van Bemmelen, mempertahankan pembalasan sebagai dasar
pemidanaan. Kant melihat dalam pidana sesuatu yang dinamakan imperatif
katagoris, yang berarti: seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia berbuat
jahat. Pidana itu bukanlah sarana untuk mencapai suatu tujuan, akan tetapi
pernyataan dari keadilan. Hegel berpendapat bahwa kejahatan akan diakhiri oleh
pidana. Menurut Hegel, pidana ialah suatu penyangkalan dari penyangkalan
hukum, yang terletak dalam kejahatan itu sendiri. 42
Berdasarkan uraian diatas, maka suatu pidana tidaklah bertujuan untuk
praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung

40

Marlina, Hukum Penitensier, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 41
R. Wirjono Prodjokoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Eresco, Bandung,
1989, hlm. 23.
42
Abul Khair dan Mohammad Eka Putra, Op.Cit., hlm. 32.
41

Universitas Sumatera Utara

26

unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Jadi, pidana secara mutlak harus ada
karena dilakukannya suatu kejahatan. Karena itulah maka teori ini disebut teori
pembalasan. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu
dijatuhkan, akan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana adalah
pembalasan.
b. Teori Relatif (teori tujuan).

Teori ini menyebutkan, dasar suatu pemidanaan adalah pertahanan tata
tertib masyarakat. Oleh karena itu, maka yang menjadi tujuan pemidanaan adalah
menghindarkan atau mencegah (prevensi) agar kejahatan itu tidak terulang lagi.
Pidana dijatuhkan bukan semata-mata karena telah dilakukannya kejahatan,
melainkan harus dipersoalkan pula manfaat suatu pidana dimasa depan, baik bagi
si penjahat maupun masyarakat. 43 Teori ini juga menyebutkan, bahwa memidana
bukanlah untuk memutuskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu
sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi
kepentingan masyarakat. Oleh karena itu menurut J.Andreas, teori ini dapat
disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence).
Sedangkan menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut sebagai teori atau
aliran reduktif (the reductive point of view) karena dasar pembenaran pidana
menurut teori ini adalah untuk mengurangi frekwensi kejahatan. Oleh karena itu
para penganutnya dapat disebut golongan reducers (penganut teori reduktif).
Pidana

bukanlah

sekedar

untuk

melakukan

pembalasan

atau

pengimbalanan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi

43

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Di Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hlm. 34

Universitas Sumatera Utara

27

mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun
sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran pidana
menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia
peccatum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccaetur (supaya
orang jangan melakukan kejahatan). 44
Inilah Makna ucapan yang terkenal dari Seneca, seorang filosof romawi:
“Nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne peccetur” (artinya, tidak seorang
normalpun yang dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat tetapi ia
dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat tetapi ia dipidana agar
tidak ada perbuatan jahat). 45 Menurut teori relatif, pidana bukanlah sekedar untuk
melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi agar
orang jangan melakukan kejahatan.
Faktor terpenting bagi utilitaris ialah bahwa suatu pemidanaan dapat
menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang bermanfaat secara preventif, apapun
artinya: penjeraan dan penangkalan, reformasi dan rehabilitasi, atau pendidikan
moral. Namun demikian, kepedulian teoretis menuntut usaha untuk lebih
mendalami utilitarian theory , yaitu:
1) Tujuan pemidanaan memberi efek penjeraan dan penangkalan (deterence).
Penjeraan sebagai efek pemidanaan,menjauhkan si terpidana dari
kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama; sedangkan tujuan untuk
penangkal, pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan
menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat. Wesley
Cragg menilai bahwa fungsi penjeraan dari efek pemidanaan sepatutnya
lebih dianggap sebagai suatu bentuk kontrol sosial. Karena itu,
pemidanaan sebagai penjeraan mempengaruhi sikap dan perilaku si
terpidana maupun warga masyarakat. Pengaruh itu dianggap bisa sangat
berdaya-hasil bila dikomunikasikan secara negatif, yaitu dengan menakutnakuti orang, atau menurut perkara Philip Bean, “ maksud dibalik
44
45

Dwidja Priyatno, Op.Cit, hlm. 25
Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit, hlm. 16

Universitas Sumatera Utara

28

penjeraan ialah mengancam orang-orang lain” untuk kelak tidak
melakukan kejahatan.
2) Pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggap pula
pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada
si terpidana. Kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu
penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat. Kejahatan itu dibaca
pula sebagai simpton disharmoni mental atau ketidakseimbangan personal
yang membutuhkan terapi psikiatri, conseling, latihan-latihan spiritual, dan
sebagainya. Itulah sebabnya ciri khas dari pandangan tersebut ialah
pemidanaan merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang
terpidana agar kembali berintegrasi dalam komunitas atau masyarakatnya
secara wajar. Dalam bahasa utilitarianisme dapat dikatakan bahwa efek
preventif dalam proses rehabilitasi ini terpusat pada siterpidana.
3) Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral. Bentuk ketiga teori tujuan
ini merupakan bagian dari doktrin bahwa pemidanaan merupakan proses
reformasi. Setiap pemidanaan pada dasarnya menyatakan perbuatan
terpidana adalah salah, tidak dapat diterima oleh masyarakat dan bahwa
terpidana telah bertindak melawan kewajibannya dalam masyarakat.
Karena itu dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk
menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan atasnya. 46
c. Teori gabungan

Aliran ini lahir sebagai jalan keluar dari teori absolut dan teori relatif yang
belum dapat memberi hasil yang memuaskan. Aliran ini didasarkan pada tujuan
pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat yang diterapkan secara
terpadu.sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan
itu, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan
dapat menunjang tercapainya tujuan tersebut. Baru kemudian dengan bertolak
atau berorientasi pada tujuan tersebut dapat diterapkan cara, sarana atau tindakan
apa yang akan digunakan. Sehingga jelas kebijaksanaan yang pertama-tama harus

46

M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System
& Implementasinya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 44-45

Universitas Sumatera Utara

29

dimasukkan dalam perencanaan strategi dibidang pemidanaan adalah menetapkan
tujuan pidana dan pemidanaan. 47
Teori ini menitikberatkan kepada suatu kombinasi dari teori absolut dan
relatif. Menurut teori ini, tujuan pidana selain untuk pembalasan kepada sipelaku
juga

dimaksudkan

untuk

melindungi

masyarakat

dengan

mewujudkan

ketertiban. 48 Dalam teori gabungan (verinigning theorien) dasar hukuman adalah
tertelatak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi
disamping itu juga yang menjadi dasar adalah tujuan daripada hukum. Teori
gabungan diciptakan karena menurut teori ini, baik teori absolut atau pembalasan
maupun teori relatif dan tujuan dianggap berat sebelah, sempit dan sepihak.
Keberatan teori gabungan (verinigning theorien) terhadap teori absolut
atau pembalasan (vergeldings theorien) adalah:
1) Dalam menentukan balasan sulit sekali menetapkan batasan-batasannya
atau sulit menentukan bertanya hukuman.
2) Apa dasar untuk memberi hak kepada negara untuk menjatuhkan
hukuman sebagai pembalasan.
3) Hukuman sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat.
4) Singkatnya dalam teori ini dasar pembalasan sama sekali tidak memberi
keputusan hukum bagi kepentingan masyarakat, sedang hukum pidana
diadakan untuk kepentingan masyarakat. 49
Keberatan teori gabungan (verinigning theorien) terhadap teori relatif atau
tujuan adalah:
1) Dalam teori relatif hukum dipakai sebagai cara untuk mencegah
kejahatan yaitu, baik yang dimaksud un

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65