Pertanggungjawaban Serta Pelaksanaan Ganti Rugi Terhadap Kecelakaan Air Asia Qz8501 Ditinjau Dari Konvensi Internasional

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angan-angan manusia untuk dapat terbang agaknya telah dipunyai manusia sejak ia dapat berfikir. Pada mulanya, selama manusia belum mempunyai kemampuan sendiri untuk terbang, kemampuan ini dikhayalkan kepada makhluk-makhluk gaib, cerita-cerita tentang dewa-dewa dan makhluk lain yang dapat terbang, kita jumpai sejak waktu berabad-abad yang lalu, baik di Eropa, Asia maupun benua-benua lain. Misalnya kita kenal dongeng tentang Icarus, yang membuat sayap-sayap dari bulu-bulu yang direkatkannya dengan lilin, tapi kemudian terbang terlalu dekat dengan matahari. Sehingga lilin mencair dan ia terjatuh ke dalam laut yang hingga saat ini masih dinamakan dengan Laut Icaria. Suatu dongeng untuk pertama kali mengisahkan manusia yang dapat terbang dengan pertolongan alat mekanis, yang disatu pihak menunjukkan pengetahuan tentang ilmu alam yang masih primitif, akan tetapi dilain pihak seolah-olah merupakan suatu ramalan kemampuan manusia.1

1 Suherman, E ; “Hukum Udara Indonesia dan Internasional”, Bandung, Penerbit Alumni, 1983,. Hal. 2-3.

Umat manusia dalam perkembangannya merealisasikan imajinasinya tersebut untuk terbang dengan alat mekanis yang seiring perjalanan waktu dijadikan salah satu kebutuhan hidup sebagai alat transportasi untuk menjangkau dari satu tempat ke tempat yang lain.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang bercirikan nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan oleh undang-undang maka guna mendukung pertumbuhan ekonomi, diperlukan sarana transportasi nasional dalam hal penerbangan yang memiliki standar pelayanan yang optimal dengan mengedepankan keselamatan dan keamanan yang optimal.


(2)

Suda\h menjadi suatu kenyataan bahwa Indonesia memiliki pengangkutan udara sipil komersial baik domestik maupun internasional. Namun di dalam prakteknya, dunia penerbangan tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan sebagai alat untuk mempermudah mobilisasi manusia, acapkali berbagai kendala terjadi dalam dunia penerbangan bahkan dengan resiko paling buruk seperti jatuhnya korban jiwa.

Bersandar dari hal di atas bangsa ini terus menerus melakukan inovasi-inovasi untuk mencegah dan menanggulangi resiko-resiko yang bermunculan dalam dunia penerbangan, salah satunya dengan perangkat hukum untuk pesawat udara. Dari sekian banyak objek kajian daripada hukum udara, yang menjadi fokus penulis disini ialah pengaturan hukum mengenai ganti rugi bagi korban kecelakaan angkutan penerbangan sipil sebagai kepastian hukum yang menjadi hak bagi setiap orang terkait hubungan langsung dengan layanan penerbangan di Indonesia.

Penelitian ini membahas aspek ganti-rugi yang diatur dalam Konvensi Internasional seperti halnya di dalam Konvensi Warsawa 1929 atau konvensi untuk unifikasi ketentuan-ketentuan tertentu sehubungan dengan pengangkutan udara internasional (Convention for the

Unification of Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air) ditandatangani di

Warsawa pada tanggal 12 Oktober 1929 dan mulai berlaku sejak tanggal 13 Februari 1933. Konvensi ini merupakan perjanjian pertama dibidang hukum udara perdata dan merupakan salah satu perjanjian yang paling tua dan paling berhasil dalam menyeragamkan suatu bidang tertentu dalam hukum perdata. Sampai saat ini Konvensi Warsawa telah diratifikasi lebih kurang 130 Negara termasuk Indonesia melalui Staatsblaad 1933 No.347 yang dengan ketentuan peralihan dalam UUD 1945 tetap berlaku2

2

. Dalam konteks penerbangan sipil dan juga membahas aspek teknis dalam pelaksanaan ganti rugi bagi korban terkait kasus kecelakaan yang terjadi pada pesawat Air Asia dengan nomor penerbangan


(3)

QZ8501/AWQ8501 yang dinyatakan menghilang pada saat terbang dari Surabaya, Indonesia menuju Singapura pada tanggal 28 Desember 2014. Dengan membawa 155 penumpang dan 7 orang kru di dalam pesawat.3

B. Rumusan Masalah

Dengan melihat banyaknya kerugian yang diderita oleh penumpang maskapai penerbangan akibat kecelakaan, maka sudah sepantasnyalah dalam hal ini, pemberian ganti rugi harus diberikan bagi para pengguna jasa pengangkutan udara.

Berangkat dari uraian di atas maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Serta Pelaksanaan Ganti Rugi Terhadap Kecelakaan Air Asia QZ8501 Ditinjau Dari Konvensi Internasional.”

1. Bagaimana pengaturan hukum internasional tentang angkutan udara pada penerbangan internasional?

2. Bagaimana pertanggungjawaban angkutan udara terhadap kecelakaan penerbangan internasional?

3. Bagaimana mekanisme pelaksanaan ganti rugi terhadap kecelakaan Air Asia QZ8501 menurut konvensi internasional?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun Tujuan Penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui aspek pertanggungjawaban dari pengaturan konvensi Internasional sebagai sumber hukum dan panduan resmi dari instrumen penerbangan sipil yang menganut


(4)

sistem tanggung jawab yaitu ; Prinsip Presumption of Liabilty dan Prinsip Limitation of

Liability.4

1. Untuk mengetahui aspek teknis pelaksanaan ganti rugi terhadap kecelakaan penerbangan sipil menurut konvensi internasional dan hukum nasional yang meliputi ; tahapan ganti rugi, besaran ganti rugi dan objek ganti rugi dan hal-hal yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan teknis ganti rugi.

2. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban dan pelaksanaan ganti rugi akibat kerugian yang timbul dalam penerbangan sipil terkait kasus kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501 yang mengakibatkan kerugian pesawat terbang, asuransi penerbangan, penanggungan biaya korban yang cacat dan korban jiwa.

Adapun manfaat penelitian ini ;

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau manfaat baik dari sisi teoritis maupun praktis.

1. Manfaat secara teoritis

Memberikan sumbangan akademis bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, dan Hukum Internasional pada khususnya. Serta memberikan sumbangan akademis dalam merumuskan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penerbangan, khususnya yang berkaitan dengan penerbangan sipil.

2. Manfaat praktis

Membantu aparat penegak hukum dan pemerintah dalam penerapan pengaturan hukum internasional mengenai penerbangan sipil dan pelaksanaan teknis terhadap ganti rugi daripada insiden kecelakaan penerbangan sipil, juga memberikan pengetahuan yang berguna bagi masyarakat mengenai haknya sebagai pengguna jasa penerbangan sipil.


(5)

D. Keaslian Penulisan

Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana, maka seyogyanya skripsi yang saya yang berjudul “Pertanggungjawaban Serta Pelaksanaan Ganti Rugi Terhadap Kecelakaan Air Asia QZ8501 Ditinjau Dari Konvensi Internasional” ditulis berdasarkan buah pikiran yang benar-benar asli tanpa melakukan tindakan peniruan (plagiat)baik sebagian ataupun seluruhnya dari karya orang lain. Dalam proses penulisan skripsi ini Penulis juga memperoleh data dari buku-buku, jurnal ilmiah, media cetak dan media elektronik. Jika ada kesamaan pendapat dan kutipan, hal itu semata-mata digunakan sebagai referensi dan penunjang yang Penulis perlukan demi penyempurnaan penulisan skripsi ini. Dengan Demikian judul yang penulis pilih telah diperiksa dalam arsip bagian Hukum Internasional dan penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan belum pernah ada judul yang sama, mirip bahkan persis, demikian juga dengan pembahasan yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU tertanggal 20 Maret 2015 judul tersebut dinyatakan tidak ada yang sama dan telah disetujui oleh Ketua Departemen Hukum Internasional.

E. Tinjauan Pustaka 1. Tanggung jawab

Penekanan dalam arti tangung jawab disini ialah kewajiban memperbaiki kembali kesalahan yang pernah terjadi.5

5

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung ,Penerbit Alumni, 2003, hal. 4.

Liability dapat diartikan sebagai kewajiban membayar ganti kerugian yang diderita, misalnya dalam perjanjian transportasi udara, perusahaan penerbangan “bertanggung jawab” atas keselamatan penumpang.


(6)

Tanggung Jawab Pengangkut Udara di dalam pengangkutan udara diatur dalam beberapa peraturan antara lain ;

i. Ordonansi Pengangkutan Udara (Staatblad 1939 No. 100)

Salah satu peraturan terpenting bagi pengangkutan udara di Indonesia adalah Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchvervoer Ordonantie), seperti dimuat dalam Staatsblad Tahun 1939 No. 100. Peraturan ini hingga kini masih berlaku. Persoalan utama yang diatur dalam peraturan ini adalah persoalan tanggung jawab pengangkut.6

a. Pasal 24 ayat 1

Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara, ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut udara terdapat dalam beberapa pasal, yaitu:

”Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka atau jejas-jejas lain pada tubuh, yang diderita oleh seorang penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang”. b. Pasal 25 ayat 1

”Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang terjadi sebagai akibat dari kemusnahan, kehilangan atau kerusakan bagasi atau barang, bilamana kejadian yang menyebabkan kerugian itu terjadi selama pengangkutan udara”.

c. Pasal 28

”Jika tidak ada persetujuan lain, maka pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian, yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi atau barang”.

6


(7)

Selain tanggung jawab pengangkut, Ordonansi Pengangkutan Udara juga menyebutkan besarnya jumlah penggantian ganti rugi. Namun dalam hal jumlah penggantian ini menjadi suatu kekurangan peraturan ini pada masa kini. Limit penggantian yang ditentukan dalam peraturan ini sudah sama sekali tidak sesuai lagi dengan keadaan ekonomis sekarang, yaitu karena limit jumlah-jumlah ganti rugi sebagaimana ditentukan dalam peraturan ini adalah jumlah-jumlah yang sesuai untuk waktu peraturan ini dibuat, yaitu dalam tahun-tahun sebelum tahun 1939.7

1. Undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan Dalam Undang-Undang Penerbangan ini, ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut udara terdapat dalam Pasal 43 ayat 1, yaitu yang berbunyi : ”Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga bertanggung jawab atas:

• kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; • musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;

• keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.”

Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 ini, Ordonansi Pengangkutan Udara dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini atau belum diganti dengan Undang-Undang yang baru. Ketentuan ini dijelaskan dalam Pasal 74 butir a Undang-Undang No. 15 Tahun 1992.

2. Peraturan Pemerintah RI No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara.

Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 40 Tahun 1995, ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut udara terdapat dalam Pasal 42, yang menyebutkan:

7


(8)

”Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal bertanggung jawab atas:

• kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; • musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;

• keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.”

Dalam peraturan ini ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut sama dengan ketentuan yang ada dalam Undang- Undang No. 15 Tahun 1992. Namun dalam Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut mengenai batas jumlah pemberian ganti rugi, yang tidak disebutkan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 1992. Dalam pemberian batas jumlah ganti rugi, peraturan ini telah sesuai dengan keadaan ekonomis sekarang ini.

2. Ganti-rugi

Pengertian kerugian menurut R. Setiawan, adalah kerugian nyata yang terjadi karena wanprestasi. Adapun besarnya kerugian ditentukan dengan mem-bandingkan keadaan kekayaan setelah wanprestasi dengan keadaan jika sekiranya tidak terjadi wanprestasi.8

Pengertian kerugian yang hampir sama dikemukakan pula oleh Yahya Harahap, ganti rugi ialah “kerugian nyata” atau “fietelijke nadeel” yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi.

9

8

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1977, h. 17 9 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, h. 66.

Kerugian nyata ini ditentukan oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur. Lebih lanjut dibahas oleh Harahap, kalau begitu dapat kita ambil suatu rumusan, besarnya jumlah ganti rugi kira-kira sebesar jumlah yang “wajar” sesuai dengan besarnya nilai prestasi yang menjadi obyek perjanjian dibanding dengan keadaan yang


(9)

menyebabkan timbulnya wanprestasi. Atau ada juga yang berpendapat besarnya ganti rugi ialah “sebesar kerugian nyata” yang diderita kreditur yang menyebabkan timbulnya kekurangan nilai keutungan yang akan diperolehnya.

Lebih lanjut dikatakan oleh Abdulkadir Muhammad, bahwa pasal 1243 KUHPerdata sampai dengan pasal 1248 KUHPerdata merupakan pembatasan-pembatasan yang sifatnya sebagai perlindungan undang-undang terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak kreditur sebagai akibat wanprestasi.10

Pengertian kerugian yang lebih luas dikemukakan oleh Mr. J. H. Nieuwenhuis sebagaimana yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, pengertian kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak yang lain.

11

Bila kita tinjau secara mendalam, kerugian adalah suatu pengertian yang relatif, yang bertumpu pada suatu perbandingan antara dua keadaan. Kerugian adalah selisih (yang merugikan) antara keadaan yang timbul sebagai akibat pelanggaran norma, dan situasi yang seyogyanya akan timbul anadaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi. Lebih lanjut Nieuwenhuis mengatakan bahwa kita harus hati-hati agar tidak melukiskan kerugian sebagai perbedaan antara situasi sebelum dan setelah wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum.

Yang dimaksud dengan pelanggaran norma oleh Nieuwenhuis di sini adalah berupa wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.

12

10 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, h. 41.

11 Mr. J.H. Nieuwenhuis, terjemahan Djasadin Saragih, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Airlangga University Press, Surabaya, 1985, h. 54.

12 Ibid.

Pengertian kerugian dibentuk oleh perbandingan antara situasi sesungguhnya (bagaiaman dalam kenyataannya keadaan harta kekayaan sebagai akibat pelanggaran norma) dengan situasi hipotesis (situasi itu akan menjadi bagaimana andaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi). Sehingga dapat ditarik suatu rumusan mengenai kerugian adalah situasi


(10)

berkurangnya harta kekayaan salah satu pihak yang ditimbulkan dari suatu perikatan (baik melalui perjanjian maupun melalui undang-undang) dikarenakan pelanggaran norma oleh pihak lain.

Sedangkan dalam hal pengangkutan udara maka perlu dipahami pihak-pihak yang berhak atas ganti rugi. Untuk menetapkan siapa-siapa yang berhak atas ganti rugi maka terlebih dahulu dilihat siapa-siapa saja yang menderita kerugian (kecuali tentunya pihak pengangkut dan operator sendiri). Yang dapat menderita kerugian pada suatu pengangkutan udara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :

a. Mereka yang mempunyai perjanjian pengangkutan dengan dan ;

b. Mereka yang sama sekali tidak mempunyai hubungan hukum dengan pengangkut / operator.

Dengan ketentuan dalam kelompok (a) termasuk ; penumpang, pengirim atau penerima barang dan dalam kelompok (b) termasuk pihak ketiga didarat.13

Dengan batasan bahwa penumpang adalah setiap orang yang mempunyai hubungan dengan pengangkutan udara berdasarkan suatu perjanjian pengangkutan, jadi tidak termasuk orang-orang yang berdasarkan suatu perjanjian kerja berada dalam pesawat terbang . adanya perjanjian pengangkutan dapat dibuktikan dengan adanya tiket. Sedangkan pengirim barang

(consignor) atau seorang yang menerima barang (consignee) merupakan pihak-pihak dalam

suatu perjanjian angkutan barang, hal mana dapat dibuktikan dengan surat muatan udara

(airway bill). Pihak-pihak inilah yang dapat menderita kerugian dan karenanya pihak-pihak

inilah yang berhak atas ganti-rugi.

14

13

Dalam hal tubrukan udara atau aerial collision termasuk yang dirugikan adalah operator pesawat terbang lainnya. Aerial collisin tidak diatur dalam Perjanjian Roma, yang hanya mengatur tentang tanggung jawab kedua operator terhadap pihak ketiga di darat. (pasal 7). Persoalan aerial collision pernah menjadi perhatian ICAO (International Civil Aviation Organization) dalam Legal Commitee, 11th. Session , Tokyo, 1957, ICAO Doc.7921-/CI43-2, Tahun 1958.

14

Suherman, E ; “Hukum Udara Indonesia dan Internasional”, Bandung, Penerbit Alumni, 1983,. Hal. 75

Dalam hal penumpang tewas , maka Ordonansi Pengangkutan Udara menetapkan bahwa yang dapat menuntut ganti rugi adalah suami atau


(11)

isteri penumpang, anak atau anak-anaknya atau orang tuanya, yang biasa menjadi tanggungannya, sedangkan besarnya ganti rugi dinilai dengan kedudukan dan kekayaan mereka yang bersangkutan serta sesuai dengan keadaan.15

3. Pesawat Udara

Pengertian pesawat udara terdapat di dalam ketentuan umum UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang tertulis Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan. Pengertian ini dengan sengaja mengecualikan kendaraan air seperti hover aircraf atau disebut juga Hoovercraft16 dari

defenisi pesawat udara. Pengecualian ini jelas tertera di dalam Penjelasan Undang-Undang ini.17

Dengan pasal di atas Negara-Negara pembuat Konvensi Jenewa 1948 bermaksud untuk, sesuai dengan tujuan konvensi tersebut, membatasi pengertian pesawat udara pada pesawat Untuk keperluan mengenai batasan pesawat udara lebih jelas tertera dalam Annex 7 Konvensi Chicago 1944 yang dimodifikasi Tahun 1967 harus dilengkapi dengan dengan batasan yang diterima dalam Konvensi Jenewa 1948 pasal XVI :

. . . aircraft shall include the airframe, engines, propellers, radio aparatus, and all others articles intended for use in the aircraft wheter installed therein or temporarily separated therefrom . . .

15

Ibid. 16

Suatu alat transpor yang bergerak diatas suatu bantal udara, pesawat ini tidak termasuk dalam batasan dalam Konvensi Chicago 1944 tahun 1967 dan tidak merupakan objek hukum dari hukum udara serta ketentuan-ketentuan internasional lainnya yang berkaitan dengan pesawat udara.

17 Mieke Komar Kantaatmadja, pada ceramah “Implementasi Undang-Undang No.15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan” dalam Foreign Airline General Sales Agent Association (FAGA), Jakarta, 18 November 1992.(Penulis menetapkan pengertian pesawat udara dalam UU penerbangan yang baru yaitu UU No. 1 Tahun 2009 dikarenakan tidak adanya perubahan dalam hal pengertian pesawat udara dari UU No. 15 Tahun 1992 terhadap UU No.1 tahun 2009 tentang penerbangan)


(12)

udara yang digunakan untuk angkutan udara sipil atau Civiele Luchtverkeer. Pengertian di atas, mengecualikan balon kabel, balon bebas, dan pesawat layang, kapal terbang, 18

Maksud daripada hal di atas di tertuang dalam Konvensi Jenewa 1948 adalah untuk mengatur hak-hak yang melekat maupun diletakkan pada pesawat udara yang dipergunakan untuk angkutan udara sipil internasional.

helikopter dan juga pesawat udara lain yang tujuan penggunaannya adalah untuk usaha yang bersifat militer, bea cukai, dan polisi.

Maka dari itu sudah jelaslah batasan mengenai pesawat udara dalam hal ini, dan dirinci kembali di dalam ketentuan umum UU No. 1 Tahun 2009 Tentang penerbangan dalam ketentuan umum tertera mengenai Pesawat Udara Sipil yaitu pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga dan ada juga Pesawat Udara Sipil Asing adalah pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga yang mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan negara asing.

19

4. Kecelakaan Pesawat Udara

Defenisi daripada kecelakaan pesawat udara adalah suatu kejadian yang berhubungan dengan operasi suatu pesawat udara yang terjadi setelah orang naik ke pesawat udara dengan maksud untuk terbang sampai orang tersebut meninggalkan pesawat udara tersebut, dalam kejadian mana ;

1. Seorang tewas atau luka berat sebagai akibat dari beradanya di dalam atau di atas pesawat udara atau karena kontak langsung dengan pesawat udara atau sesuatu yang melekat pada pesawat udara ;

18

Nederland dengan besluit 22 Mei 1981, menetapkan alat-alat penerbangan yang tidak termasuk ke dalam pengertian pesawat udara menurut Luchtvaart Wet 195.

19

Mieke Komar Kantaatmadja, “Lembaga Jaminan Kebendaan Pesawat Udara Indonesia Ditinjau Dari Hukum Udara” , Penerbit Alumni, Bandung, 1989, hal. 25


(13)

2. Pesawat udara yang menderita kerusakan berat ; 3. Suatu tabrakan antara dua atau lebih pesawat udara.20

Defenisi daripada luka berat disini adalah suatu luka yang memerlukan perawatan dirumah sakit dan pengobatan selama lima hari atau lebih atau mengakibatkan patah tulang (kecuali patah jari tangan, jari kaki, atau hidung tanpa komplikasi), luka-luka yang menyebabkan pendarahan, atau mengenai otot, luka pada bagian dalam, atau luka bakar taraf 2 dan 3 atau luka bakar pada lebih dari 5% dari kulit.21 Defenisi ini hanya dapat diterapkan dalam ketentuan umum Konvensi Warsawa, tidak dalam Ordonansi Pengangkutan Udara, yang mensyaratkan kecelakaan ada hubungannya dengan pengangkutan udara.22

5. Konvensi Internasional

Menurut Mochtar Kusumaatmadja23

20

CASR (Civil Aviation Safety Regulation) Indonesia, Section 39.O.2.a. 21

Suherman, E ; “Hukum Udara Indonesia dan Internasional”, Bandung, Penerbit Alumni, 1983. Hal.77. 22

Keputusan United States District Court , Southern District of New York, dalam perkara Joe del Pillar lawan Eastern Airlines, mengenai “Sakit punggung karena tempat duduk tidak dapat dimiringkan kebelakang”. Gugatan ditolak.

23

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional,(Bandung: Alumni, 2003), hal. 4

Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara:

1. negara dengan negara;

2. negara dengan subjek hukum lain bukan negara satu sama lain.

Pada hakekatnya sumber hukum udara internasional bersumber pada hukum internasional dan hukum nasional. Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional mengatakan “International Custom, as evidence of a general practices accepted as law”. Sumber hukum udara internasional dapat berupa multilateral maupun bilateral diantaranya :


(14)

a. Multilateral & Bilateral

Sumber hukum udara internasional yang bersifat multilateral adalah berupa konvensi-konvensi internasional yang bersifat multilateral juga bersifat bilateral. Pada saat ini Indonesia telah mempunyai perjanjian angkutan udara timbal balik (bilateral air

transport agreement) tidak kurang dari 67 negara yang dapat digunakan sebagai

sumber hukum internasional.

b. Hukum Kebiasaan Internasional

Dalam pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, hukum kebiasaan internasional juga merupakan salah satu sumber hukum internasional. Di dalam hukum udara internasional juga dikenal adanya hukum udara kebiasaan internasional.

c. Ajaran Hukum (Doktrin)

Ajaran Hukum (Doktrin) dalam hukum internasional dapat digunakan sebagai salah satu sumber hukum udara. Dalam common law system, atau anglo saxon System dikenal adanya ajaran hukum mengenai pemindahan resiko dari pelaku kepada korban. Menurut ajaran hukum tersebut, perusahaan penerbangan yang menyediakan transportasi umum bertanggung jawab terhadap kerugian negara yang diderita korban. Tanggung jawab tersebut berpindah dari korban (injured people) kepada pelaku

(actor).

d. Yurisprudensi

Ada beberapa yurisprudensi yang dapat dikategorikan sebagai salah satu sumber sumber hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 ayat (1). Banyak kasus sengketa yang berkenaan dengan hukum udara, terutama berkenaan dengan tanggung


(15)

jawab hukum perusahaan penerbangan terhadap penumpang dan atau pengirim barang maupun terhadap pihak ketiga.

Dari hal di atas disebutkan bahwa konvensi internasional adalah sumber daripada hukum udara internasional. Konvensi adalah kumpulan norma yang diterima secara umum. konvensi juga dapat dikatakan sebagai pertemuan sekelompok orang yang bersama-sama bertukar pikiran, pengalaman dan informasi melalui pembicaraan terbuka, saling siap untuk didengar dan mendengar serta mempelajari, mendiskusikan kemudian menyimpulkan topik-topik yang dibahas dalam pertemuan tersebut.

Adapun konvensi-konvensi internasional yang erat kaitannya dengan hukum udara antara lain :

1. Konvensi Paris Tahun1919 tentang Penerbangan Internasional 2. Konvensi Warsawa Tahun 1929 tentang Hukum Udara.

3. Konvensi Chicago Tahun 1944 tentang penerbangan sipil Internasional.

4. Konvensi Roma tahun 1952 tentang Prinsip yang berlaku di ruang Udara dan ruang angkasa.

5. Space Treaty Tahun 1967.

6. Deklarasi Bogota Tahun 1967.

7. Conventoin on Internasional Liability cause by space objects tahun 1972

Maka dari itu konvensi-konvensi ini pula yang beberapa diantaranya menjadi rujukan serta dasar hukum penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau


(16)

beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.24

Adapun yang menjadi jenis penelitian dari karya ilmiah ini adalah penelitian normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian terhadap sinkronisasi hukum.25

2. Sumber Data

Dengan tujuan untuk mengetahui dasar hukum internasional terhadap peristiwa kecelakaan Air Asia QZ8501 dan bagaimana penerapannya sesuai dengan hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang penerbangan sipil yakni dalam UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu metode penulisan yang menggambarkan semua data yang kemudian dianalisis dan dibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang berangsung dan selanjutnya mencoba untuk memberikan pemecahan masalahnya.

Sumber data yang diperoleh dalam penulisan karya tulis ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk yang telah jadi, dikumpulkan dan diolah menjadi data yang siap pakai26

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yang relevan dengan masalah penelitian, yakni berupa Undang-undang, Perjanjian Internasional seperti ; Konvensi Warsawa 1929, Konvensi Chicago 1944, Undang Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan sebagainya.

. Data sekunder dalam penulisan ini terdiri dari :

24

Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum “, JakSarta: UI Press, 2005, hal. 43

25

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,” Penelitian Hukum Normatif”, Jakarta:UI Press, 2003, hal. 15.


(17)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, thesis, disertasi, jurnal, makalah, surat kabar, majalah, artikel, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan lain-lain baik di bidang hukum maupun di luar bidang hukum yang digunakan untuk melengkapi data penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan di dalam pengumpulan data adalah library research atau studi kepustakaan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan landasan dalam menganalisis data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, langsung maupun tidak langsung (internet). Dengan demikian akan diperoleh suatu kesimpulan yang lebih terarah dari pokok bahasan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi dokumen terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.


(18)

4. Analisis Data

Data pada skripsi ini dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah proses kegiatan yang meliputi, mencatat, mengorganisasikan, mengelompokkan dan mensintesiskan data selanjutnya memaknai setiap kategori data, mencari dan menemukan pola, hubungan – hubungan, dan memaparkan temuan–temuan dalam bentuk deskripsi naratif yang bisa dimengerti dan dipahami oleh orang lain. Analisis data kualitatif merupakan metode untuk mendapatkan data yang mendalam dan suatu data yang mengandung makna dan dilakukan pada obyek yang alamiah27

G. Sistematika Penulisan

. Metode ini menggunakan data yang terbentuk atas suatu penilaian atau ukuran secara tidak langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

Untuk memudahkan pemahaman dalam upaya mendapatkan jawaban atas rumusan masalah, maka pembahasan akan diuraikan secara garis besar melalui sistematika penulisan. Tujuannya agar tidak terjadi kesimpangsiuran pemikiran dalam menguraikan lebih lanjut mengenai inti permasalahan yang akan dicari jawabannya. Pada bagian ini terdapat ringkasan garis besar dari 5 (lima) bab yang terdapat dalam skripsi. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang akan mendukung keutuhan pembahasan setiap sub-bab. Sistematikanya adalah sebagai berikut:

BAB I membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Sebagai bagian awal dari penelitian ini, maka diuraikan hal-hal yang menjadi latar belakang


(19)

penelitian ini dan permasalahan serta urgensi dilakukannya penelitian dalam hal pertanggungjawaban serta pelaksanaan ganti rugi kecelakaan Air Asia QZ8501. BAB II membahas tentang sejarah dan pengertian angkutan udara, fungsi angkutan udara,

klasifikasi penerbangan, pengaturan hukum tentang angkutan udara dan penerbangan.

BAB III membahas tentang kondisi subjektif penerbangan di Indonesia, kendala yang terjadi dalam kegiatan penerbangan di Indonesia, pertanggungjawaban maskapai penerbangan atau airlines terhadap kecelakaan penerbangan, peran pemerintah dalam menanggulangi kecelakaan penerbangan internasional di wilayah jurisdiksi Negara Kepulauan Republik Indonesia.

BAB IV membahas lebih spesifik mengenai kasus kecelakaan Air Asia QZ8501, upaya yang dilakukan terkait pelaksanaan ganti rugi dalam kasus kecelakaan Air Asia QZ8501, kendala yang terjadi dalam pelaksanaan ganti rugi korban kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501 serta tahapan dan besaran ganti rugi terhadap korban kecelakaan penerbangan Air Asia QZ8501 menurut konvensi internasional.

BAB V membahas tentang penutup dari penelitian ini yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Sebagai bagian akhir dari skripsi, maka dalam bab ini dirangkum intisari, serta memberikan saran mengenai tanggung jawab penerbangan dan pelaksanaan ganti rugi terhadap kecelakaan Air Asia QZ8501 sesuai dengan konvensi internasional yang mungkin dapat bermanfaat dan dapat diaplikasikan.


(1)

a. Multilateral & Bilateral

Sumber hukum udara internasional yang bersifat multilateral adalah berupa konvensi-konvensi internasional yang bersifat multilateral juga bersifat bilateral. Pada saat ini Indonesia telah mempunyai perjanjian angkutan udara timbal balik (bilateral air transport agreement) tidak kurang dari 67 negara yang dapat digunakan sebagai sumber hukum internasional.

b. Hukum Kebiasaan Internasional

Dalam pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, hukum kebiasaan internasional juga merupakan salah satu sumber hukum internasional. Di dalam hukum udara internasional juga dikenal adanya hukum udara kebiasaan internasional.

c. Ajaran Hukum (Doktrin)

Ajaran Hukum (Doktrin) dalam hukum internasional dapat digunakan sebagai salah satu sumber hukum udara. Dalam common law system, atau anglo saxon System dikenal adanya ajaran hukum mengenai pemindahan resiko dari pelaku kepada korban. Menurut ajaran hukum tersebut, perusahaan penerbangan yang menyediakan transportasi umum bertanggung jawab terhadap kerugian negara yang diderita korban. Tanggung jawab tersebut berpindah dari korban (injured people) kepada pelaku (actor).

d. Yurisprudensi

Ada beberapa yurisprudensi yang dapat dikategorikan sebagai salah satu sumber sumber hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 ayat (1). Banyak kasus sengketa yang berkenaan dengan hukum udara, terutama berkenaan dengan tanggung


(2)

jawab hukum perusahaan penerbangan terhadap penumpang dan atau pengirim barang maupun terhadap pihak ketiga.

Dari hal di atas disebutkan bahwa konvensi internasional adalah sumber daripada hukum udara internasional. Konvensi adalah kumpulan norma yang diterima secara umum. konvensi juga dapat dikatakan sebagai pertemuan sekelompok orang yang bersama-sama bertukar pikiran, pengalaman dan informasi melalui pembicaraan terbuka, saling siap untuk didengar dan mendengar serta mempelajari, mendiskusikan kemudian menyimpulkan topik-topik yang dibahas dalam pertemuan tersebut.

Adapun konvensi-konvensi internasional yang erat kaitannya dengan hukum udara antara lain :

1. Konvensi Paris Tahun1919 tentang Penerbangan Internasional 2. Konvensi Warsawa Tahun 1929 tentang Hukum Udara.

3. Konvensi Chicago Tahun 1944 tentang penerbangan sipil Internasional.

4. Konvensi Roma tahun 1952 tentang Prinsip yang berlaku di ruang Udara dan ruang angkasa.

5. Space Treaty Tahun 1967.

6. Deklarasi Bogota Tahun 1967.

7. Conventoin on Internasional Liability cause by space objects tahun 1972

Maka dari itu konvensi-konvensi ini pula yang beberapa diantaranya menjadi rujukan serta dasar hukum penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau


(3)

beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.24

Adapun yang menjadi jenis penelitian dari karya ilmiah ini adalah penelitian normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian terhadap sinkronisasi hukum.25

2. Sumber Data

Dengan tujuan untuk mengetahui dasar hukum internasional terhadap peristiwa kecelakaan Air Asia QZ8501 dan bagaimana penerapannya sesuai dengan hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang penerbangan sipil yakni dalam UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu metode penulisan yang menggambarkan semua data yang kemudian dianalisis dan dibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang berangsung dan selanjutnya mencoba untuk memberikan pemecahan masalahnya.

Sumber data yang diperoleh dalam penulisan karya tulis ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk yang telah jadi, dikumpulkan dan diolah menjadi data yang siap pakai26

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yang relevan dengan masalah penelitian, yakni berupa Undang-undang, Perjanjian Internasional seperti ; Konvensi Warsawa 1929, Konvensi Chicago 1944, Undang Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan sebagainya.

. Data sekunder dalam penulisan ini terdiri dari :

24

Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum “, JakSarta: UI Press, 2005, hal. 43

25

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,” Penelitian Hukum Normatif”, Jakarta:UI Press, 2003, hal. 15.


(4)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, thesis, disertasi, jurnal, makalah, surat kabar, majalah, artikel, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan lain-lain baik di bidang hukum maupun di luar bidang hukum yang digunakan untuk melengkapi data penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan di dalam pengumpulan data adalah library research atau studi kepustakaan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan landasan dalam menganalisis data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, langsung maupun tidak langsung (internet). Dengan demikian akan diperoleh suatu kesimpulan yang lebih terarah dari pokok bahasan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi dokumen terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.


(5)

4. Analisis Data

Data pada skripsi ini dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah proses kegiatan yang meliputi, mencatat, mengorganisasikan, mengelompokkan dan mensintesiskan data selanjutnya memaknai setiap kategori data, mencari dan menemukan pola, hubungan – hubungan, dan memaparkan temuan–temuan dalam bentuk deskripsi naratif yang bisa dimengerti dan dipahami oleh orang lain. Analisis data kualitatif merupakan metode untuk mendapatkan data yang mendalam dan suatu data yang mengandung makna dan dilakukan pada obyek yang alamiah27

G. Sistematika Penulisan

. Metode ini menggunakan data yang terbentuk atas suatu penilaian atau ukuran secara tidak langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

Untuk memudahkan pemahaman dalam upaya mendapatkan jawaban atas rumusan masalah, maka pembahasan akan diuraikan secara garis besar melalui sistematika penulisan. Tujuannya agar tidak terjadi kesimpangsiuran pemikiran dalam menguraikan lebih lanjut mengenai inti permasalahan yang akan dicari jawabannya. Pada bagian ini terdapat ringkasan garis besar dari 5 (lima) bab yang terdapat dalam skripsi. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang akan mendukung keutuhan pembahasan setiap sub-bab. Sistematikanya adalah sebagai berikut:

BAB I membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Sebagai bagian awal dari penelitian ini, maka diuraikan hal-hal yang menjadi latar belakang


(6)

penelitian ini dan permasalahan serta urgensi dilakukannya penelitian dalam hal pertanggungjawaban serta pelaksanaan ganti rugi kecelakaan Air Asia QZ8501. BAB II membahas tentang sejarah dan pengertian angkutan udara, fungsi angkutan udara,

klasifikasi penerbangan, pengaturan hukum tentang angkutan udara dan penerbangan.

BAB III membahas tentang kondisi subjektif penerbangan di Indonesia, kendala yang terjadi dalam kegiatan penerbangan di Indonesia, pertanggungjawaban maskapai penerbangan atau airlines terhadap kecelakaan penerbangan, peran pemerintah dalam menanggulangi kecelakaan penerbangan internasional di wilayah jurisdiksi Negara Kepulauan Republik Indonesia.

BAB IV membahas lebih spesifik mengenai kasus kecelakaan Air Asia QZ8501, upaya yang dilakukan terkait pelaksanaan ganti rugi dalam kasus kecelakaan Air Asia QZ8501, kendala yang terjadi dalam pelaksanaan ganti rugi korban kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501 serta tahapan dan besaran ganti rugi terhadap korban kecelakaan penerbangan Air Asia QZ8501 menurut konvensi internasional.

BAB V membahas tentang penutup dari penelitian ini yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Sebagai bagian akhir dari skripsi, maka dalam bab ini dirangkum intisari, serta memberikan saran mengenai tanggung jawab penerbangan dan pelaksanaan ganti rugi terhadap kecelakaan Air Asia QZ8501 sesuai dengan konvensi internasional yang mungkin dapat bermanfaat dan dapat diaplikasikan.