Pertanggungjawaban Serta Pelaksanaan Ganti Rugi Terhadap Kecelakaan Air Asia Qz8501 Ditinjau Dari Konvensi Internasional

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG ANGKUTAN UDARA PADA PENERBANGAN INTERNASIONAL

A. Sejarah dan Pengertian Angkutan Udara

Pesawat terbang yang lebih berat dari udara diterbangkan pertama kali oleh Wright Bersaudara (Orville Wright dan Wilbur Wright) dengan menggunakan pesawat rancangan sendiri yang dinamakan Flyer yang diluncurkan pada tahun 1903 di Amerika Serikat. Pesawat tersebut mengudara setinggi 36 meter selama 12 detik. Pada tahun yang sama Wright bersaudara menciptakan pesawat udara dengan 12 mesin tenaga kuda buatan sendiri, sayapnya membentang selebar 12 meter, terbuat dari kayu dan dilapisi kain katun, pilot pesawat tersebut berbaring di bawah sayap dan selanjutnya Wright bersaudara berhasil membuat pesawat yang dapat terbang lebih dari satu setengah jam pada 1908. Sedangkan untuk pesawat yang lebih ringan dari udara sudah terbang jauh sebelumnya.

Kelahiran moda transportasi udara baru lahir sejak permulaan abad ke-17. Pada saat itu Francisco de Lana dan Galier mencoba mengembangkan model pesawat udara yang dapat terbang di atmosfer kemudian diikuti oleh Peter de Gusman di Lisabon yang berhasil terbang di ruang udara dengan menggunakan udara yang dipanaskan.28

28

Priyatna Abdulrassyid, “Kedaulatan Negara di Ruang Udara”, Pusat Penelitian Hukum Angkasa ; Jakarta, 1972.

Sedangkan Black berhasil terbang dengan balon yang diisi dengan zat air pada 1767 yang diikuti oleh Cavallo pada 1782. Black terbang juga dengan balon yang diisi dengan gas. Percobaan penerbangan tersebut dilanjutkan oleh Montgolfier bersaudara di Prancis dengan balon yang diisi dengan udara panas. Setelah berhasil percobaan-percobaan tersebut, akhirnya Blanchard bersama Jaffies berhasil terbang melintasi selat Callais dengan menggunakan balon bebas pada 1785


(2)

yang pernah digunakan untuk perang Franco-Prusia tahun 1870-1871 untuk mengungsikan pejabat negaranya.

Sebenarnya jauh sebelum perang Franco-Prusia pada 1852 Giffrad telah berhasil terbang dengan balon yang diberi mesin uap. Kemudian pada tahun 1884 Renard bersama Krebbs juga berhasil menciptakan sebuah balon dengan baling-baling bermesin listrik yang digerakkan dengan tenaga baterai , dan terakhir Von Zeppelin pada 1889 berhasil membuat balon bebas bermotor yang dapat dikemudikan dan berhasil terbang melintasi Danau Constance di Swiss pada 1900. Tahun berikutnya Santos-Dumont berhasil terbang disekitar kota Paris. Sejak Francisco de Lana pada 1870 sempai dengan 1889 , Von Zeppelin terbang dengan pesawat udara yang dikembangkan lebih ringan daripada udara, sedangkan sejak akhir abad ke-19 Santos-Dumont mulai mengembangkan teknik pembuatan pesawat udara yang lebih berat daripada udara. Walupun sebenarnya pemikiran demikian telah diimpikan pada abad ke-15. Pada awal abad ke-15 Sir George Cayley juga menciptakan model pesawat udara seperti pesawat terbang layang.29

Kemudian teknologi pesawat semakin berkembang dengan lahirnya pesawat komersial yang dapat menampung penumpang lebih banyak lagi dalam sekali jalan. Alat transportasi udara masa lalu berkembang menjadi pesawat komersil yang mempunyai baling-baling lebih banyak dan membuat pesawat jenis ini dapat bergerak lebih kencang. Selanjutnya adalah

Penerbangan balon udara dikembangkan lebih lanjut sehingga tercipta pesawat udara yang lebih berat daripada udara, seperti halnya yang dilakukan oleh Wright bersaudara di Kitty Hawk Amerika Serikat. Sejak penerbangan Wright bersaudara pada tahun 1903 tersebut, telah terbukti bahwa penerbangan dapat dilakukan dengan pesawat udara yang lebih ringan daripada udara maupun lebih berat daripada udara. Penerbangan tersebut hanya dapat dilakukan pada ruang udara yang terdapat gas-gas udara.

29

H.K. Martono dan Amad Sudiro , Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public International and National Air Law), Rajawali Pers ; Jakarta, 2012. Hal. 10


(3)

teknologi pesawat jet dimana pesawat jenis ini menggunakan turbin untuk membuat mereka dapat melaju lebih cepat lagi dan biasanya pesawat jenis ini digunakan oleh pihak militer untuk perang maupun membawa bom yang dapat melawan musuh dengan seketika.

Seperti halnya perkembangan pesawat, perkembangan pesawat penumpang sipil juga diwarnai perkembangan balon udara panas dan zeppelin. Zeppelin boleh disebut pesawat penumpang sejati karena mampu mengangkut penumpang dan dapat dikendalikan selayaknya pesawat terbang. Ia pertama kali digunakan sebagai pesawat penumpang pada 1909 oleh maskapai penerbangan pertama, Deutsche Luftschiffahrts-AG (DELAG,Jerman). Pada masa keemasannya, diselenggarakan penerbangan transatlantik meskipun diperlukan waktu penerbangan beberapa hari. Hindenburg, salah satu pesawat Zeppelin, dilengkapi dengan kabin kamar, ruang cafetaria yang dilengkapi dengan piano, dan sarana-sarana lain yang menunjang kenyamanan penumpang meskipun tarif yang dikenakan sangat mahal. Kecelakaan Hindenburg pada tahun 1937 dianggap sebagai era berakhirnya pesawat terbang Zeppelin.

Pada masa Wright bersaudara, pesawat dirancang hanya untuk mengangkut satu orang penumpang. Kemudian diusahakan agar pesawat dapat mengangkut seorang atau lebih penumpang dan barang-barang pos, meskipun pada masa itu, pesawat terbang masih berupa wahana eksperimental.

Pasca Perang Dunia I justru malah membuat era penerbangan sipil tumbuh dan berkembang pesat. Larangan terhadap Jerman untuk mengembangkan industri pesawat militernya rupanya tidak diikuti pembatasan terhadap penerbangan sipil, sehingga dalam waktu singkat muncullah pesawat - pesawat sipil yang diproduksi, misalnya tipe Junker, serta berdirinya perusahaan penerbangan Lufthansa, yang diikuti dengan perusahaan penerbangan lain yakni KLM (yang tertua di dunia) dan lain-lain dari berbagai negara di Eropa maupun Amerika. Berbagai inovasi dilakukan pada pesawat sipil untuk kenyamanan penumpang,


(4)

antara lain televisi dan radio (meskipun suaranya terganggu oleh bunyi mesin pesawat), interior yang mewah, serta fasilitas dapur dan toilet udara. Diadakannya penerbangan perintis jarak jauh mewarnai era ini seperti penerbangan dari Amsterdam-Batavia, London-Sydney, dan penerbangan keliling dunia lainnya.

Sesudah Perang Dunia II, penerbangan sipil mulai bangkit lagi. Maskapai baru didirikan di berbagai belahan dunia dengan bermodalkan pesawat pesawat angkut militer yang tidak terpakai lagi dan inovasi terbaru berupa mesin jet, yang muncul terlebih dahulu dibandingkan mesin turboprop, serta mulai adanya pesawat penumpang sipil berukuran besar yang dioperasikan di berbagai negara. Tercatat pesawat jet tipe Comet sebagai pesawat jet sipil pertama yang dioperasikan. Namun, kecelakaan yang terjadi akibat kelelahan logam, yang saat itu masih sukar diidentifikasi, membuat perkembangan pesawat jet agak terhambat. Pesawat Comet sendiri akhirnya dibuat dalam versi militer sebagai pesawat intai dengan nama Nimrod. Namun, temuan-temuan baru serta penyempurnaanya membuat tetap digunakannya pesawat jet dalam penerbangan sipil pada masa masa kemudian. Dibuatnya pesawat tipe Lockheed, Convair, Hawker Sidley mewarnai tipe pesawat pada masa itu.

Kemudian, muncullah ide membuat pesawat terbang berukuran jumbo jet yang mampu melintasi berbagai negara. Pesawat jet pertama yang mengangkasa adalah de Havilland Comet. Pabrik pesawat Amerika Serikat, Boeing, juga membuat pesawat jet. Pesawat jet pertama yang dibuat adalah Boeing 707. Pabrik ini lalu membuat Boeing 747, yang merupakan pesawat jumbo jet terbesar kedua yang beroperasi secara komersial sekarang, setelah Airbus A380. Dengan adanya pesawat berukuran jumbo, biaya tiket dapat dipangkas arena pesawat mampu mengangkut 300 lebih penumpang ke tujuan dalam satu kali pemberangkatan. Diyakini bahwa adanya arus mobilitas yang tinggi dan parawisata juga merupakan bibit runtuhnya komunisme. Tercatat PAN-AM sebagai maskapai pertama yang mengoperasikan pesawat tipe ini pada dekade 70-an, yang kemudian bangkrut satu dasawarsa


(5)

kemudian. Singapore Airlines adalah maskapai penerbangan pertama yang mengoperasikan A380 pada tahun 2008. Selain Boeing 747, muncul pula DC 10 dari Douglas Company, yang akhirnya dilebur menjadi McDonnel Douglas dan akhirnya diakuisisi Boeing pada tahun 1998. Lockheed L 1011 Tristar serta Airbus A 300 dikeluarkan Konsorsium Eropa Airbus Industry. Penyempurnaan-penyempurnaan pada masa ini melahirkan konsep FFCC (Forward Facing Crew Cocpit)30 yang dirintis Airbus dengan Garuda Indonesia sebagai operator pertama yang disempurnakan menjadi glass cockpit pada era menjelang abad ke-21, ketika semuanya menjadi serbamudah dan otomatis untuk menerbangkan pesawat sebesar apa pun. Muncullah Superjumbo A 380, yang juga mewarnai perkembangan pesawat penumpang pada masa ini.31

Dalam perkembangannya pesawat udara yang lebih ringan daripada udara maupun pesawat udara yang lebih berat daripada udara dapat digunakan untuk berbagai keperluan militer bahkan dapat digunakan sebagai mata-mata, sehingga menarik perhatian para ahli hukum udara internasional untuk meletakkan dasar hukum internasional. Pada saat itu, tahun 1900 praktis belum ada dasar hukum yang mengatur penerbangan dengan jelas, karena itu untuk pertama kalinya Prof. Ernest Nys dari Universitas Brussel berpendapat bahwa penerbangan tersebut perlu diatur dalam hukum udara yang merupakan cabang daripada ilmu hukum. Hal itu diatur dalam laporan kepada Institute of International Law pada tahun 1902. Prof. Ernest Nys berpendapat yang menjadi masalah bukanlah status udaranya melainkan menyangkut masalah penggunaan ruang udara (space) dimana terdapat udara. Ruangan tersebut adalah ruangan dimana terdapat udara yang dapat merupakan tenaga dorong pesawat

30

FFCC ( Forward Facing Crew Cocpit) merupakan Konsep penerbangan dengan dua awak pesawat, ditemukan oleh Wiweko Soepono pria kelahiran Blitar, Jawa Timur pada 18 Januari 1923 dan meninggal di Jakarta, 8 September 2000 pada umur 77 tahun ini dulunya adalah direktur utama Garuda Indonesia pada periode 1968-1984. Pesawat pertama kokpit dua awak (crew) di dunia adalah Airbus A300-B4 FFCC (Forward Facing Crew Cockpit), beliau juga dikenal sebagai penemu pesawat komersil two-man cockpit yang diterapkan pabrik Airbus Industrie.


(6)

udara sehingga dapat terbang. Adanya udara tempat penerbangan berlangsung tersebut membatasi lingkup berlakunya hukum udara. 32

Pengertian pesawat udara memang sukar digolongkan namun ada beberapa konvensi yang mengatur beberapa pengertian “pesawat udara” seperti halnya yang diatur dalam lampiran (Annexes) 6, 7 dan 8 Konvensi Chicago mengatakan bahwa pesawat udara itu adalah ....”any machine that can derive support in the atmosphere from the reaction of the air”

Perkembangan dalam bidang penerbangan tidak berhenti sampai disitu saja. seperti sudah disinggung sepintas lalu di atas, berbagai temuan mengenai alat-alat yang dapat terbang di udara setelah Perang Dunia II yang ditemukan oleh bangsa besar seperti Amerika dan Uni Soviet, mendorong kita berpikir lebih lanjut tentang bagaimana defenisi daripada alat-alat penerbangan demikian dan sejauh mana batasannya.

33

32

Ibid, H. K Martono dan Amad Sudiro, Hal. 10.

33

Frans Likadja “Masalah Lintas di Ruang Udara ; Bina Cipta. Hal.52

Jadi, karena reaksi udaralah maka pesawat itu mendapat daya angkat sehingga dapat berada di udara. Melihat kesanggupan pesawat udara mencapai jarak ketinggian tertentu , dapat dikatakan secara nyata negara dapat mengatur hak sampai ketinggian tertentu, oleh karena pada prinsipnya memang negara mempunyai kedaulatan terhadap ruang udara yang berada di atas wilayahnya.

Yang menjadi persoalan sekarang ialah pesawat ruang angkasa yang mempunyai daya angkat tidak bergantung pada adanya reaksi udara, akan tetapi mempunyai daya sendiri yakni daya tolak, seperti roket dan sebagainya. Akan tetapi lepas dari apakah pesawat udara mempunyai daya angkat atau daya tolak, yang sudah dapat ditentukan ialah seperti pada jenis pesawat tersebut diatas yang dapat digolongkan kedalam pengertian pesawat udara ialah pesawat yang mendapat daya angkat dari reaksi udara.


(7)

Masalah kedaulatan negara di ruang udara yang berada di atas wilayahnya sejauh ini rumusan daripada Konvensi Paris dan Konvensi Chicago tentang hal ini sangatlah samar akan tetapi bila kita membaca pasal 3 Konvensi Chicago di katakan bahwa this convention shall

applicable only the civil aircraft. Secara eksplisit dikatakan bahwa konvensi ini hanya

berlaku terhadap pesawat udara sipil. Dengan menghilangkan istilah sipil tetap akan kita peroleh suatu penegasan bahwa konvensi ini hanya berlaku terhadap pesawat udara, tentunya dalam pengertian yang diterangkan di atas tadi. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Annex 7 Konvensi Chicago 1944 yang dimodifikasi Tahun 1967 harus dilengkapi dengan dengan batasan yang diterima dalam Konvensi Jenewa 1948 pasal XVI :

. . . aircraft shall include the airframe, engines, propellers, radio aparatus, and all others articles intended for use in the aircraft wheter installed therein or temporarily separated therefrom . . .

Makna dari ketentuan Annex di atas adalah yang dimaksud dengan pesawat termasuk badan pesawat, mesin, baling – baling, perangkat radio dan perangkat lainnya yang digunakan dalam pesawat atau yang secara sementara terpisah dari sana.

Dengan pasal di atas Negara-Negara pembuat Konvensi Jenewa 1948 bermaksud untuk, sesuai dengan tujuan konvensi tersebut, membatasi pengertian pesawat udara pada pesawat udara yang digunakan untuk angkutan udara sipil atau Civiele Luchtverkeer.

Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Defenisi pesawat terbang terbagi kembali dari umum ke khusus seperti halnya yang tercantum dalam ketentuan umum yang menyebutkan “Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.”

Hal ini pula yang memperjelas defenisi daripada pesawat udara sebagai objek daripada hukum udara itu sendiri agar jelas sejauh mana batasan mengenai pesawat udara dan sejauh


(8)

mana defenisi daripada pesawat udara sipil seperti halnya yang akan dibahas lebih lanjut dalam penilitian ini sebagaimana yang kita ketahui maskapai Air Asia merupakan maskapai penerbangan sipil yang terdaftar di Indonesia.

B. Fungsi Angkutan Udara

Seperti fungsi transportasi lainnya (darat dan laut), angkutan atau transportasi udara mempunyai fungsi sebagai unsur penunjang dan pendorong34

1. Unsur Penunjang

;

Sebagai unsur penunjang dimaksudkan untuk meningkatkan pengembangan berbagai kegiatan pada sektor-sektor lain di luar sektor transportasi, meliputi sektor pertanian, perdagangan, industri, pendidikan, kesehatan, kepariwisataan, transmigrasi dan lainnya, dimana diantaranya sektor-sektor berikut :

• Perdagangan

mengangkut penumpang khususnya pelaku ekonomi dan pebisnis untuk berbisnis. • Industri

mengangkut berbagai macam barang hasil industri manufaktur (misalnya tekstil, barang elektronia dan lainnya) untuk didistribusikan guna memenuhi kebutuhan masyarakat di berbagai daerah.

• Pendidikan

mengangkut barang-barang untuk pendidikan (seperti buku dan sarana pendidikan lainnya).

• Kesehatan

mengangkut barang-barang kesehatan (seperti obat-obatan dan sarana kesehatan lainnya).

34


(9)

• Kepariwisataan

mengangkut para wisatawan dalam dan luar negri yang akan mengunjungi objek-objek wisata yang tersebar lokasinya di berbagai daerah

• Transmigrasi

mengangkut para transmigran. • Pertanian

Mengangkut bahan-bahan pertanian

2. Unsur Pendorong

Fungsi transportasi udara sebagai unsur pendorong dimaksudkan untuk membantu membuka daerah terisolasi, terpencil, tertinggal dan perbatasan yang tersebar di berbagai wilayah, menggunakan pesawat udara menuju ke bandar udara yang terletak tidak jauh dari daerah-daerah tersebut.

• Daerah terisolasi adalah daerah yang belum dijangkau oleh jasa pelayanan transportasi, dengan demikian daerah tersebut tidak mempunyai akses hubungan ke dan dari daerah lain

• Daerah terpencil adalah daerah yang terletak jauh dari pusat kegiatan, karena terletak jauh maka daerah ini tidak dilirik oleh pelaku ekonomi untuk melaksanakan berbagai kegiatan ekonomi karena tidak efektif dan tidak efisien.

• Daerah tertinggal adalah daerah yang memiliki tingkat kesejahteraan masyarakatnya sangat rendah dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat rata-rata. Tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dari indikator pendapatan per kapita. Rendahnya pendapatan per kapita menyebabkan kemampuan melaksanakan kegiatan ekonomi dan pembangunan sangat lamban.


(10)

• Daerah perbatasan adalah daerah yang terletak pada lokasi yang terluar atau terdepan berbatasan dengan negara tetangga (negara lain). Sebagian besar pulau-pulau terluar masih terisolasi dan pembangunan disana sangat terbatas.

Contoh : Kepulauan Natuna yang berbatasan dengan Myanmar, Pulau Mianggas dan pulau Matrore diujung utara sulawesi utara berbatasan dengan Filipina.

C. Klasifikasi Penerbangan

Setelah Konvensi Chicago, perkembangan masalah lalu-lintas penerbangan makin mendapat perhatian yang cukup besar. Hal ini disebabkan adanya beberapa pendapat baru mengenai beberapa alat penerbangan yang mempunyai kesanggupan terbang tinggi melebihi kemampuan terdahulu. Hal ini tidak dapat disangkal para ahli, berbagai pengalaman masa lampau, senantiasa mencari cara teknologi, bagaimana dapat mempertinggi ceiling (langit-langit) dan kecepatan pesawat udara. Oleh karena itu dalam pertemuan anggota ICAO

(International Civil Aviation Organization) untuk merumuskan dan mengadakan pembagian

wilayah /daerah yanng menjadi tanggung jawabnya, dengan sengaja membedakan antara FIR

(Flight Information Region) dan UIR (Upper Flight Information Region), maksudnya ialah

dalam pembagian daerah tanggung jawab itu, dirasa perlu menentukan bahwa FIR memberikan pelayanan terhadap pesawat udara dengan daya terbang sampai jarak ketinggian 20.000 kaki, sedangkan UIR untuk penerbangan di atas jarak ketinggian 20.000 kaki ke atas. Dengan menentukan hal terakhir maka para ahli sudah dapat meramalkan terlebih dahulu bahwa diwaktu mendatang, akan ada penerbangan yang berada di atas jarak ketinggian 20.000 kaki sampai pada batas yang belum ditentukan. Pesawat udara tipe U-2 kepunyaan Amerika Serikat mempunyai kesanggupan terbang tinggi, hal mana telah menimbulkan persolan penting sehubungan dengan kedaulatan negara di ruang udara.


(11)

Saling tuduh-menuduh terjadi antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet tentang adanya pelanggaran kedaultan sekitar tahun1955 dan tahun 1960.

Peluncuran sputnik oleh Uni Soviet dalam tahun 1957 telah pula menggemparkan dunia, hal ini menunjukkan bahwa daya/kesanggupan terbang alat-alat penerbangan makin lama makin dapat mencapai suatu jarak ketinggian yang tidak terpikirkan sebelumnya. Jadi, walaupun dalam penetapan UIR dikatakan bahwa daerah tanggung jawab tersebut ialah pada jarak ketinggian 20.000 kaki sampai pada batas yang tidak ditentukan, mungkin belum sampai dipikirkan bahwa pada suatu waktu betul-betul akan ada penerbangan yang mempunyai kesanggupan terbang sampai mencapai suatu jarak ketinggian yang luar biasa.

Dengan perkembangan ini maka persoalan lain yang timbul sehubungan dengan masalah lalu-lintas ruang udara ini ialah tentang klasifikasi pesawat udara yang dimaksudkan baik dalam Konvensi Paris 1919 maupun Konvensi Chicago 1944.

Klasifikasi pesawat udara diatur dalam Bab VII tercantum dalam pasal 30, 31,32 dan 33 Konvensi Paris 1919, masing-masing mengatur jenis pesawat udara, pesawat udara militer. Menurut pasal 30 Konvensi Paris 1919 pesawat udara terdiri dari tiga jenis pesawat udara, masing – masing pesawat udara militer yang sepenuhnya digunakan dinas pemerintahan, seperti bea cukai, polisi dan pesawat udara lainnya. Semua pesawat udara selain pesawat udara militer, dinas pemerintahan, bea cukai dan polisi termasuk pesawat udara sipil.35

a. Military aircraft.

Usaha para ahli dalam mengadakan klasifikasi pesawat udara seperti yang dapat dilihat pada pasal 30 Konvensi Paris 1919 mengatakan demikian :

“The following shall be deemed to be state aircraft.

b. Aircraft exclusively employed in State service , such as post, Custom, Police.

Every other aircraft shall be deemed to be private aircraft.

35


(12)

All State Aircraft other than military, custom, and police aircraft shall be treated as private aircraft and such as shall be subject to all the provisions of the present convention.”

Yang dimaksud dengan ketentuan yang tertera di atas adalah merujuk kepada ketentuan mengenai pesawat udara negara yang di dalamnnya termasuk :

a. Pesawat udara militer

b. Pesawat yang secara khusus dipergunakan untuk keperluan negara seperti kegiatan pos, kebiasaan negara dan pelayanan kepolisian.

Diluar daripada ketentuan di atas maka disebut sebagai pesawat udara pribadi, segalanya akan diperlakukan sebagai pesawat pribadi dan dikatakan sebagai subjek dari semua ketentuan yang ada dalam konvensi.

Dalam Konvensi Chicago terdapat pula pasal yang mengadakan klasifikasi pesawat udara. Pasal 3 Konvensi Chicago yang berbunyi :

“Civil and state aircraft.

a. This convention shall be applicable only to civil aircraft, and shall not be

applicable to state aircraft.

b. Aircraft used ini military, custom and police service shall be deemed to be state

aircraft.

c. No state aircraft of a contracting state shall fly over the territory of another state

land or land thereon without authorization by special agreement of otherwise, and in accordance with the terms of thereof.

d. The contracting state undertake, when issuing regulations of their state aircraft,

that they will have due regard for the safety of navigation of civil aircraft.

Yang dimaksud dengan klasifikasi pesawat udara sebagaimana yang disebutkan diatas antara lain membedakan yang mana pesawat udara sipil dam pesawat udara negara yaitu :


(13)

a. Konvensi ini hanya berlaku kepada pesawat udara sipil, dan tidak berlaku untuk pesawat udara negara

b. Pesawat udara yang digunakan untuk keperluan militer, keperluan negara dan pelayanan polisi dianggap sebagai pesawat udara negara

c. Tidak ada pesawat udara yang oleh persetujuan negara dapat terbang melampaui wilayah negara lain atau wilayah lain tanpa ada perjanjian khusus atau sebaliknya dan sesuai dengan ketentuan yang dimaksud.

d. Persetujuan negara kolong didapat ketika ada penerbitan mengenai regulasi pesawat negara dikarenakan mereka mendapat penghargaan untuk keamanan navigasi penerbangan sipil.

Lepas dari kekurangan klasifikasi pesawat udara tersebut36

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang penerbangan, masalah aspek ekonomi angkutan udara diatur secara komprehensif. Hal ini dapat diamati dalam pasal 53 sampai pasal 138. Dalam pasal –pasal tersebut diatur angkutan udara niaga, pelayanan angkutan udara niaga berjadwal , angkutan udara bukan niaga , angkutan perintis, perizinan angkutan udara niaga, perizinan angkutan udara bukan niaga, kewajiban pemegang izin angkutan

, yang penting dalam membahas masalah lintas-lintas wilayah udara ini adalah tanggung jawab masing-masing negara terhadap setiap penerbangan yang terjadi dalam daerah tanggung jawabnya baik FIR dan UIR yang kesemuanya ditunjuk kepada keselamatan pesawat itu sendiri. Suatu hal yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa Konvensi Chicago secara ekplisit mengatakan bahwa konvensi ini hanya berlaku bagi pesawat udara sipil dan tidak berlaku bagi pesawat udara negara (state aircraft). Klasifikasi tersebut tidak hanya terdapat dalam Konvensi Chicago akan tetapi juga dalam undang-undang penerbangan nasional berbagai negara.

36


(14)

udara, jejaring dan rute penerbangan , tarif, kegiatan usaha penunjang angkutan udara sebagai berikut.

Kegiatan angkutan udara niaga dapat dilakukan secara berjadwal dalam rute penerbangan yang dilakukan secara tetap dan teratur, dan/atau pelayanan angkutan udara niaga yang tidak terikat pada rute dan jadwal penerbangan yang tetap dan teratur oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional dan/atau asing untuk mengangkut penumpang dan kargo atau khusus mengangkut kargo.37 Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga. 38

1. Angkutan Udara Dalam Negeri

Adapun klasifikasi angkutan udara yang lebih lanjut diatur dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang penerbangan lebih jelas dapat dilihat sebagai berikut :

Angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga berjadwal. Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal tersebut dalam hal adanya kebutuhan kapasitas angkutan udara pada rute tertentu yang tidak dapat dipenuhi oelh kapasitas angkutan udara niaga berjadwal yang dilaksanakan dengan ketentuan angkutan udara niaga tidak berjadwal, antara lain paket wisata, MICE (Meeting,

Insentive Travel,Convention and Exhibition), angkutan haji bantuan bencana alam,

kegiatan kemanusiaan dan kegiatan yang bersifat nasional dan internasional dan persetujuan yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama enam bulan dan dapat diperpanjang untuk satu kali pada rute yang sama, dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal setelah mendapat persetujuan dari menteri perhubungan. Kegiatan angkutan udara tidak berjadwal yang bersifat sementara tersebut dapat dilakukan atas inisiatif instansi pemerintah dan/atau atas

37

Pasal 83 UURI No.1 Tahun 2009

38


(15)

permintaan badan usaha angkutan udara niaga nasional. Kegiatan angkutan udara tidak berjadwal yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal tersebut tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang tidak menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha angkutan udara berjadwal lainnya.39

2. Angkutan Udara Luar Negeri

Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal luar negeri dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dan/atau perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing untuk mengangkut penumpang dan kargo berdasarkan perjanjian angkutan udara yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu negara asing yang menjadi mitra perikatan (contracting party) atau perjanjian angkutan udara yang bersifat khusus atau umum yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan beberapa negara asing yang menjadi mitra perikatan dan anggota dalam perjanjian ini bersifat tetap. Dalam hal angkutan niaga berjadwal luar negeri tetap harus diatur dengan perjanjian bilateral. Perjanjian bilateral atau multilateral tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangankan kepentingan kedaulatan negara, keutuhan wilayah nasional, kepentingan ekonomi nasional dan kelangsungan badan usaha angkutan udara nasional.berdasarkan prinsip keadilan (fairness) dan timbal balik (reciprocity). Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional untuk mengangkut penumpang dan kargo tersebut harus merupakan badan usaha angkutan udara niaga yang ditunjuk oleh pemerintah Republik Indonesia dan mendapat persetujuan dari negara asing yang bersangkutan. Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing tersebut merupakan perusahaan angkutan udara niaga yang telah

39


(16)

ditunjuk oleh negara yang bersangkutan dan mendapat persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.40

Dalam hal ini indonesia melakukan perjanjian yang dilakukan antara satu negara dan organisasi komunitas negara atau antar organisasi komunitas negara, yang keanggotaannya bersifat terbuka.mengenai angkutan udara dengan suatu organisasi komunitas negara asing, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral dengan masing-masing negara anggota komunitas tersebut. Dalam hal Indonesia sebagai anggota dari suatu organisasi komunitas negara yang melakukan perjanjian plurilateral mengenai angkutan udara dengan suatu organisasi komunitas negara lain, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan ketentuan yang disepakati dalam perjanjain tersebut. Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dapat melakukan kerjasama angkutan udara dengan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional lainnya untuk melayani angkutan dalam negeri dan atau luar negeri. Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dapat melakukan kerjasama dengan perusahaan angkutan udara asing untuk melayani angkutan udara luar negeri.

41

Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing khusus mengangkut kargo dapat menurunkan dan menaikkan kargo di wilayah Indonesia berdasarkan perjanjian bilateral dan multilateral dan pelaksanaannya melalui mekanisme yang mengikat para pihak. Perjanjian bilteral dan multilateral tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan dan timbal balik. Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing khusus mengangkut kargo tersebut harus merupakan perusahaan

40

Pasal 86 UURI No.1 tahun 2009

41


(17)

angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh negara yang bersangkutan dan mendapat persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.42

Pembukaan pasar angkutan udara dengan memberikan peluang/ kesempatan kepada perusahaan angkutan udara asing untuk melayani penerbangan dari wilayah Republik Indonesia dengan pembatasan hak angkut udara, menuju ruang udara pelaksanaanhaka angkut udara tidak membatasi, antara lain, tempat tujuan, frekuensi penerbangan, kapasitas angkut, penerapan tarif, dan kebebasan di udara (freedom of

the air) dari dan ke Indonesia untuk angkutan udara niaga asing dilaksanakan antara

lain, sesuai dengan kesiapan daya saing perusahaan angkutan udara nasional berdasarkan perjanjian bilateral dan multilateral dan pelaksanaannya melalui mekanisme yang mengikat para pihak. Perjanjian bilateral dan multilateral tersebut dibuat sesuai denga ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan dan timbal balik. 43

3. Angkutan Udara Tidak Berjadwal

Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri hanya dapat dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal. Angkutan udara tidak berjadwal dalam negeri tersebut dilaksanakan berdasarkan persetujuan terbang (flight approval). Badan usaha tersebut dalam keadaan tidak terpenuhi atau tidak terlayaninya permintaan jasa angkutan udara oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal pada rute tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal setelah mendapat persetujuan dari Menteri perhubungan. Kegiatan angkutan udara niaga bersifat berjadwal yang bersifat sementara tersebut dapat dilakukan atas inisiatif

42

Pasal 88 UURI No.1 tahun 2009

43


(18)

instansi pemerintah, pemerintah daerah dan atau badan usaha angkutan udara niaga nasional. Kegiatan angkutan udara berjadwal tersebut tidak menyebabkan terganggungnya pelayanan angkutan udara pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha udara niaga berjadwal lainnya.44

Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal dapat berupa rombongan tertentu yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama bukan untuk tujuan wisata (affinity

group) ; kolompok penumpang yang membeli seluruh atau kapasitas pesawat udara

untuk melakukan paket perjalanan termasuk pengaturan akomodasi dan transportasi lokal (inclusive tour charter) antara lain untuk keperluan haji, umroh, paket wisata, dan MICE ; seorang yang membeli seluruh kapasitas pesawat udara untuk kepentingan sendiri (own use charter); taksi udara (air taxi) ; atau kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal lainnya antara lain dalam satu pesawat terdiri dari berbagai kelompok dan dengan tujuan yang berbeda-beda (split charter), untuk orang sakit, kegiatan kemanusiaan, dan kegiatan terjun payung.

45

Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional wajib mendapat persetujuan terbang dari Menteri Perhubungan. Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan udara niaga asingwajib mendapat persetujuan terbang dari menteri setelah mendapat persetujuan terbang dari menteri yang membidanig urusan luar negeri berupa diplomatic clearance dan meneteri yang membidangi urusan pertahanan berupa security clearance.

46

Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut penumpang dari wilayah Indonesia, kecuali penumpangnya sendiri yang diturunkan pada penerbangan sebelumnya (in-bound

44

Pasal 91 UURI No.1 tahun 2009

45

Pasal 92 UURI No.1 tahun 2009

46


(19)

traffic). Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asingyang melanggar ketentuan mengangkut penumpang dari wilayah Indonesia dikenakan sanksi berupa denda administratif tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penerimaan negara bukan pajak.47

Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus mengangkut kargo yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut dari wilayah Indonesia, kecuali dengan izin Menteri Perhubungan. Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkutan kargo dari wilayah Indonesia, dikenakan sanksi berupa administratif. Besaran denda administratif karena mengangkut kargo dari wilayah Indonesia tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penerimaan negara bukan pajak. Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga, kerja sama angkutan udara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan48

4. Angkutan Udara Bukan Niaga .

Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga keagamaan, lembaga sosial, dan perkumpulan olah raga, orang perseorangan dan/atau badan usaha Indonesia lainnya. Kegiatan angkutan udara bukan niaga berupa angkutan udara untuk kegiatan keudaraan (aerial work), misalnya kegiatan penyemprotan pertanian, pemadam kebakaran, hujan buatan, pemotretan udara, survei dan pemetaan, pencarian pertolongan , kalibrasi, serta patroli ; angkutan udara untuk kegiatan pendidikan dan /atau pelatihan personel pesawat udara atau angkutan udara bukan niaga lainnya yang kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan udara niaga.49

47

Pasal 94 UURI No.1 tahun 2009

48

Pasal 95 UURI No.1 tahun 2009

49

Pasal 101 UURI No.1 tahun 2009


(20)

Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga dilarang melakukan kegiatan angkutan udara niaga, kecuali atas izin Menteri Perhubungan. Izin menteri perhubungan tersebut dapat diberikan kepada pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga untuk melakukan kegiatan angkutan penumpang dan barang pada daerah atau wilayah yang tidak dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga, dengan memenuhi antara lain, asuransi, menerbitkan tiket, melaporkan atau menyerahkan manifes kepada penyelengara bandara udara, dan persetujuan yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama enam bulan dan hanya dpat diperpanjang untuk satu kali pada rute yang sama. Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tanpa izin Menteri Perhubungan tersebut dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin; dan /atau pencabutan izin.50 Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan udara bukan niaga, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan.51

5. Angkutan Udara Perintis

Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional berdasarkan kesepakatan antara pemerintah dan badan usaha angkutan udara nasional setelah dilakukannya proses pelelangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan pemerintah. Dalam penyelenggaraan angkutan udara perintis tersebut pemerintah wajib menjamin ketersediaan laham, prasarana angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan, seta kompensasi antara lain, memberikan subsidi tambahan. Angkutan udara perintis dilaksanakan secara terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah. Angkutan udara perintis

50

Pasal 102 UURI No.1 tahun 2009

51


(21)

dievaluasi oleh pemerintah setiap tahun. Hasil evaluasi tersebut dapat mengubah suatu rute angkutan udara perintis menjadi rute komersial.52

Dalam hal tidak tersedianya badan usaha angkutan udara niaga untuk melayani kegiatan angkutan udara perintis oada suatu lokasi, angkutan udara perintis diselenggarakan oeleh pemerintah dapat dilakukan oleh pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga.

53

Badan usaha angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan udara perintis yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga tersebut diberi kompensasi untuk menjamin kelangsungan pelayanan angkutan udara perintis sesuai dengan rute dan jadwal yang telah ditetapkan. Kompensasi tersebut dapat berupa pemberian rute lain diluar rute perintis bagi badan usaha angkutan udara niaga berjadwal untuk mendukung kegiatan angkutan udara perintis; bantuan baiay operasi angkutan udara; dan/atau bantuan biaya angkutan bahan bakar minyak.54

D. Pengaturan Hukum Tentang Angkutan Udara Atau Penerbangan

Pelaksanaan kegiatan angkutan udara perintis dikenakan sanksi administratif berupa tindak diperkenankan mengikuti pelelangan tahun berikutnya dalam hal tidak melaksanakan kegiatan sesuai dengan kontrak pekerjaan tahun berjalan.

1. Pengertian dan istilah hukum udara atau Hukum Penerbangan

Hukum Penerbangan merupakan suatu lapangan hukum yang baru, juga di negara-negara lain, akan tetapi khususnya di Indonesia, sebab Hukum Penerbangan baru timbul ketika manusia mulai mengarungi udara dan erat berhubungan dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam lapangan teknik penerbangan, terutama dalam beberapa tahun sebelum dan

52

Pasal 104 UURI No.1 tahun 2009

53

Pasal 105 UURI No.1 tahun 2009

54


(22)

sesudah Perang Dunia II.55 Menurut E. Suherman bahwa Hukum Udara atau Hukum Penerbangan merupakan lapangan hukum tersendiri, oleh karena itu hukum udara ini mengatur suatu objek yang mempunyai sifat yang khusus, disamping anggapan-anggapan yang memandang hukum udara merupakan lapangan hukum tersendiri, adapula beliau menganggap bahwa Hukum Udara atau Hukum Penerbangan tidaklah lebih daripada kumpulan norma-norma yang diambil dari lapangan hukum yang lain, misalnya Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Dagang, atau Hukum Antar Negara yang diperlukan terhadap penerbangan.56

Mengenai penggunaan istilah daripada Hukum Udara ataupun hukum penerbangan belum menemukan kesepakatan baku secara internasional. Adapun istilah-istilah Hukum Udara (air law), Hukum Penerbangan (aviation law), Hukum Navigasi Udara (air navigation

law) atau Hukum Transportasi Udara (air transportation law), Hukum Penerbangan

(aeronautical law), atau Udara-Aeronautikda penerbangan (air-aeronautical law) saling

bergantian tanpa membedakan satu sama lain. Sedangkan istilah-istilah aviation law atau air

navigation law atau air transportation law atau aerial law atau aeronautical law atau

air-aeronautical law pengertiannya lebih sempit dibandingkan dengan pengertian air law.

57

Kadang-kadang menggunakan istilah aeronautical law terutama dari bahasa Romawi. Dalam bukunya, Nicolas Matteesco Matte menggunakan istilah Air-Aeronautical law58

55

Suherman, E ; “Hukum Udara Indonesia dan Internasional”, Bandung, Penerbit Alumni, 1983,. Hal.1.

56

Ibid. hal .3.

57

H.K. Martono dan Amad Sudiro , Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public International and National Air Law), Rajawali Pers ; Jakarta, 2012. Hal. 3

58

Matte N.M., Treaties On Aeronautical Law ( Toronto; The Carswell Company Limited)

sedangkan dalam praktik pada umumnya menggunakan istilah air law, tetapi dalam hal-hal tertentu menggunakan aviation law. Pengertian air law lebih luas sebab meliputi berbagai aspek hukum konstitusi, administrasi, perdata, dagang, komersial, pidana, publik, pengangkutan, manajemen, dan lain-lain. Verschoor memberi defenisi hukum udara adalah hukum dan


(23)

regulasi yang mengatur penggunaan ruang udara yang bermanfaat bagi penerbangan, kepentingan, umum dan bangsa-bangsa di dunia. 59

2. Sumber Hukum Udara Internasional

Sumber hukum udara dapat bersumber pada hukum internasional maupun hukum nasional. Sesuai dengan pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional (PMI) mengatakan sumber hukum internasional adalah “international treaty, international custom, as evidence

of a general practice, accepted as law”. Sumber hukum udara internasional dapat berupa

multilateral maupun bilateral sebagai berikut. • Multirateral

Sumber hukum udara internasional publik yang bersifat multirateral misalanya treaty for the extradition of criminals and for the protection against anarchism, convention relating to international aerial navigation 1919, convention on commercial aviation

1928 dan lain lain sebagainya

Bilateral air transport agreement (perjanjian angkutan udara internasional timbal

balik)

• Pada saat ini Indonesia telah mempunyai perjanjian angkutan udara internasional timbal balik tidak kurang dari 67 negara60

• Prinsip-prinsip Umum Hukum

yang dapat digunakan sebagai sumber hukum udara internasional dan internasional.

59

Air law is a body of rules governing the use of airspace ajd its benefit for aviatio, the general public and the nations of the world” Verschoor ; An Introduction to Air law ; The Netherland ; Kluwer Law.

60

Negara-negara yang mempunyai perjanjian transportasi dengan Indonesia antara lain Austria, Amerika Serikat, Arab Saudi, Australia, Belanda, Bahrain, Iran, Belgia, Brunei Darussalam, Bulgaria, Korea Selatan, Lebanon, Malaysia, Thailand, Myanmar, Norwegia, Selandia Baru, Prancis, Pakistan, Papua nugini, Filipina, Polandia, RRC, Rumania, Swiss, Singapura, Spanyol, Swedia, Sri lanka, Taiwan, Yordania, Bangladesh, Turki, UEA, Slovakia, Rusia, Vietnam, Mauritius, Kyrghysztan, Kuwait, Madagaskar, Uzbekistan, Hongkong, Oman, Qatar, Canada, Ukraina.


(24)

Salah satu ketentuan umum yang dirumuskan dalam pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional adalah “general principles or law recognized by civilized nations”

sebagai asas –asas yang telah diterima oleh masyarakat internasional publik. • Ajaran Hukum (doctrine)

Ajaran hukum juga dapat digunakan sebagai salah satu sumber hukum udara internasional publik.

• Yurisprudensi

Menurut pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional, Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum udara internasional publik.

Adapun yang menjadi dasar yang paling relevan dengan penelitian ini dan juga berkompeten di dalam dunia penerbangan internasional ialah konvensi internasional antara lain sebagai berikut.

• Konvensi Paris Tahun1919 tentang Penerbangan Internasional

Konvensi yang berjudul Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation

yang ditandatangi di pada 13 Oktober 1919 tersebut terdiri dari dua bagian, masing-masing naskah utama dan naskah tambahan. Naskah utama masing-masing-masing-masing mengatur kedaulatan atas wilayah udara, lintas damai (innocent passage), zona larangan terbang (prohibited area), pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara

(nationality and registration mark), setifikat pendaftaran dan kebangsaan pesawat

udara dan radio penerbangan, kedatangan dan keberangkatan pesawat udara, larangan pengangkutan bahan berbahaya, klasifikasi pesawat udara (aircraft

classification), komisi navigasi penerbangan dan ketentuan penutup , dan naskah


(25)

• Konvensi Warsawa 1929 tentang Pengangkutan Udara Internasional

Konvensi Warsawa 1929 atau konvensi untuk unifikasi ketentuan-ketentuan tertentu sehubungan dengan pengangkutan udara internasional (Convention for the

Unification of Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air)

ditandatangani di Warsawa pada tanggal 12 Oktober 1929 dan mulai berlaku sejak tanggal 13 Februari 1933. Konvensi ini merupakan perjanjian pertama dibidang hukum udara perdata dan merupakan salah satu perjanjian yang paling tua dan paling berhasil dalam menyeragamkan suatu bidang tertentu dalam hukum perdata. • Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional

Kandungan yang diuraikan dalam konvensi ini terbatas dari aspek-aspek ekonomi, kadaulatan atas wilayah udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, SAR, dokumen penerbangan, dam organisasi penerbangan sipil internasional.

• Konvensi Roma 1952

Konvensi Roma 1952 yang berjudul Convention on Damaged Caused by Fireign

Aircraft to The Third Parties on the Surface mengatur prinsip tanggung jawab

hukum (legal liability principle), lingkup tanggung jawab hukum, pengamanan tanggung jawab, prosedur dan tata cara pengajuan gugatan, ketentuan umum dan penutup. Konvensi ini hanya berlaku terhadap pesawat udara asing yang mengalami kecelakaan di negara anggota dan kerugian tersebut terjadi di permukaan bumi.. • Konvensi Guandalajara 1961

Konvensi ini merupakan suplemen dari Konvensi Warsawa 1929. Konvensi tersebut mengatur pengertian, berlakunya konvensi, pegawai actual air carrier, gugatan, batas tanggung jawab, pembagian tanggung jawab, alamat gugatan pengadilan, pembebasan tanggung jawab, dan ketentuan – ketentuan penutup.


(26)

Konvensi ini berjudul Convention for the Unification of Certain Rules for the

Internasional Carriage bu Air yang pada prinsipnya mengatur secara integral

ketentuan – ketentuan yang termuat dalam Konvensi Warsawa 1929, The Hague Protocol of 1955, Guandalajara Convention of 1961, Guetemala City Protocol of 1971, dan Additional Protocol Montreal of 1975 No. 1, 2, 3, dan 4. Konvensi ini mewadahi pengaturan yang meliputi ketentuan umum, dokumen transportasi udara yang terdiri dari tiket penumpang (passenger ticket’s), tiket bagasi (bagage claim tag) dan surat muatan udara (airwaybill), tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan, jumlah ganti kerugian, perhitungan ganti kerugian, batas tanggung jawab, jangka waktu pengajuan gugatan dan ditutup oleh yurisdiksi pengadilan.

3. Hukum Udara dan Kaitannya dengan Tanggung Jawab.

Dalam Hukum Udara terdapat beberapa sistem dan prinsip mengenai tanggung jawab, yaitu apa yang dapat disebut sistem warsawa, system roma dan system Guatemala.

Sistem Warsawa mempergunakan prinsip “presumption of liability” dan prinsip

“limitation of liability” untuk kerugian pada penumpang, barang dan bagasi tercatat,

sedangkan untuk kerugian pada bagasi tangan di pergunakan prinsip “presumption of

non-liability” dan prinsip “limitation of liability”.

Prinsip – prinsip ini dipergunakan pula dalam ordonansi pengangkutan udara. Sistem Roma mempergunakan prinsip “absolute liability” dan prinsip “limitation of liability”, sedangkan dalam system Guatemala dipergunakan prinsip ‘Absolute liability” dan prinsip

“limitation of liability” untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang dan bagasinya,

tanpa membedakan antara bagasi tercatat dan bagasi tangan, bagi barang dipergunakan prinsip “presumption of liability” dan prinsip ”Limitation of liability”, sedangkan untuk


(27)

kerugian karena keterlambatan dipergunakan prinsip prinsip – prinsip yang sama dengan untuk barang.

Pada “liability Convention tahun 1972 dipergunakan prinsip “absolute liability” apabila kerugian ditimbulkan di permukaan bumi dan prinsip “Liability based on fault” apabila kerugian di timbulkan pada benda angkasa atau orang didalamnya, yang diluncurkan oleh suatu Negara lain.

Prinsip – prinsip tanggung jawab yang dipergunakan dalam hukum udara dan hukum angkasa adalah:

1. Prinsip “presumption of liability”61

2. Prinsip “Presumption of non-liability

yang dipergunakan dalam konvensi Warsawa tahun 1929, protocol the hague tahun 1955 dan Ordonansi pengangkutan udara untuk penumpang, bagasi tercatat dan barang, dan protocol Guatemala tahun 1971 untuk barang dan kelambatan.

62

3. Prinsip “Absolute liability

yang dipergunakan dalam Konvensi Warsawa tahun 1929, protocol The Hague tahun 1955 dan Ordonansi Pengangkut Udara untuk bagasi tangan.

63

4. Prinsip “Absolute liability” yang dipergunakan dalam protocol Guatemala tahun 1971 untuk tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasinya.

yang dipergunakan dalam Konvensi Roma tahun 1952 untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di permukaan bumi.

61

Prinsip presumption of liability adalah prinsip dimana pengangkut bertanggung jawab tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu.

62

Prinsip presumption of liability adalah prinsip dimana pengangkut tidak selalu bertanggung jawab dan harus dibuktikan terlebih dahulu. Prinsip ini hanya berlaku kepada bagasi tangan.

63

Prinsip absolute of liability adalah prinsip yang bermaksud bahwa tanggung jawab adalah mutlak oleh pengangkut (airlines) tanpa ada kemungkinan membebaskan diri.


(28)

5. Prinsip “Absolute liability” yang dipergunakan dalam Liability Convention tahun 1972 untuk kerugian yang ditimbulkan oleh benda – benda dipermukaan bumi dan pesawat udara yang sedang terbang.

6. Prinsip “Liability based on fault64

7. Prinsip “limitation of liability

” yang dipergunakan dalam Liability Convention tahun 1972 untuk kerugian yang ditimbulkan oleh benda angkasa lain dan orang didalamnya.

65

8. Prinsip “Limitation of liability” yang dipergunakan dalam protocol Guatemala tahun1971 untuk penumpang dan bagasinya.

yang dipergunakan dalam Konvensi Warsawa tahun 1929, protocol the Hague dan Ordonansi pengangkutan untuk penumpang bagasi tercatat dan barang dan dalam protocol Guatemala tahun 2971 untuk barang dan kelambatan.

9. Prinsip “Limitation of liability” yang dipergunakan dalam Konvensi Roma tahun 1952.

Terdapat beberapa prinsip yang pada dasarnya sama, namun ada beberapa perbedaan yang prinsipil yang perlu dikemukakan.

Prinsip “Absolute liability” dalam konvensi Roma tidak benar – benar mutlak karena masih ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya bagi operator pesawat udara, yaitu dalam hal kejadian adalah akibat dari suatu konflik bersenjata atau huru hara atau disebabkan oleh kesalahan pihak yang menderita kerugian sendiri sedangkan prinsip “Absolute liability” dalam protocol Guatemala masih memberi kesempatan untuk

64

Prinsip liability of fault adalah prinsip dimana tanggung jawab yang dilaksanakan akibat suatu benda atau kejadian dari luar angkasa.

65


(29)

membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal kerugian yang disebabkan oleh penumpang sendiri.

Prinsip “Limitation of liability” dalam Konvensi Warsawa dan Ordonansi pengangkutan udara, bersifat tidak mutlak, karena batas tanggung jawab itu masih dapat dilampaui, yaitu apabila kerugian ditimbulkan dengan sengaja oleh pengangkut atau karena kelalaian berat

(gross negligensi), berbeda dengan prinsip “Limitation of liability” dalam Konvensi Roma

dan protocol Guatemala yang tidak dapat dilampaui karena sebab apapun juga. Masalah tanggung jawab senantiasa aktual, dan akan selalu aktual selama ada kemungkinan kecelakaan pesawat udara atau peristiwa – peristiwa lain yang menimbulkan kerugian – kerugian pada penumpang atau pihak – pihak lain dengan siapa pihak pengangkut mempunyai perjanjian angkutan, baik untuk angkutan udara internasional maupun dalam negeri, apapun sebab – sebabnya.

Dalam Hukum Udara Internasional masalah tanggung jawab telah lama menjadi perhatian, karena dalam kenyataan Konvensi internasional ke duayang penting setelah konvensi Paris tahun 1919 yang mengatur aspek pengaturan penerbangan Internasional setelah Perang Dunia ke-I adalah Konvensi Warsawa tahun 1929 yang mengatur masalah tanggung jawab pengangkut dan dokumen, angkutan pada penerbangan Internasional,dan di susul tahun 1933 oleh Konvensi Roma yang mengatur tanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga dipermukaan bumi. Perjanjian Roma tahun 1933 ini kemudian diganti oleh Konvensi Roma tahun 1952.

Konvensi Warsawa sendiri beberapa kali di ubah dengan beberapa protocol, yaitu protocol The Hague tahun 1955 dan protocol Guatemala tahun 1971 dengan protocol tambahan Montreal tahun 1975 nomor 1 sampai 4. Di samping itu terdapat suatu konvensi tambahan yaitu Konvensi Guadalajara tahun 1961 yang mengatur tanggung jawab pada jenis charter tertentu.


(30)

Konvensi Warsawa sampai sekarang menjadi merupakan perjanjian multilateral dalam bidang hukum Udara perdata yang paling banyak pesertanya dan di perlakukan pula bagi penerbangan dalam negeri antara lain di Indonesia, meskipun dengan beberapa perubahan dan tambahan, yaitu sebagaimana diatur dalam Ordonansi pengangkutan Udara (staatsblad 1939 no.100).

4. Dasar Hukum Udara atau Hukum Penerbangan di Indonesia

Dasar hukum penerbangan di Indonesia terdapat dalam Undang-undang No.1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Selain itu juga terdapat dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) S.100 tahun 1939 yang sebagian besar aturan-aturan tersebut mengacu pada Konvensi Warsawa tahun 1929.

Indonesia telah menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sejak tanggl 27 April 1950 telah menyempurnakan Undang - Undang Nomor 15 Tahun 1992 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Undang-Undang disusun dengan mengacu kepada Konvensi Chicago 1944 dan memerhatikan kebutuhan pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 mengatur kedaulatan atas wilayah udara di Indonesia, pelanggaran wilayah kedaulatan, produkasi pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan keamanan di dalam pesawat udara, pengadaan pesawat udara, asuransi pesawat udara, independensi investigasi kecelakaan pesawat udara, pembentukan majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan umum, berbagai jenis angkutan udara baik niaga berjadwal, tidak berjadwal maupun bukan niaga dalam negeri ataupun luar negeri, modal harus single majority shares tetap berada pada warga Indonesia atau badan hukum Indonesia, persyaratan minimum mendirikan perusahaan penerbangan baru harus mempunyai 10 pesawat udara, 5 dimiliki dan 5 dikuasai, perhitungan tarif transportasi pesawat udara berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya


(31)

tambahan, pelayanan bagi penyandang cacat, orang lanjut usia, anak dibawah umur, pengangkutan nahan dan/atau barang berbahaya (dangerous goods), ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, konsep tanggung jawab pengangkut, asuransi tanggung jawab pengangkut, tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga (third parties liability), tatanan kebandarudaraan baik lokasi maupun persyaratan, obstacles, perubahan iklim yang menimbulkan panas bumi, sumber daya manusia baik di bidang operasi penerbangan, teknisi bandar udara maupun navigasi penerbangan, fasilitas navigasi penerbangan (single air

provider), penegakan hukum, penerapan sanksi administratif yang selama ini tidak diatur,

budaya keselamatan penerbangan, penanggulangan tindakan melawan hukum, dan berbagai ketentuan baru yang sebelumnya tidak diatur, guna mendukung keselamatan transportasi udara nasional maupun internasional.66

Jiwa dari undang-undang ini bermaksud memisahkan regulator dengan operator sehingga fungsi, tugas, tanggung jawab masing-masing jelas. Di samping itu, Undang-Undang No.1 Tahun 2009 juga bermaksud memberi kesempatan kepada swasta dan pemerintah daerah untuk ikut serta berperan dalam pembangunan penerbangan di Indonesia. Undang- undang ini mengalami perubahan yang signifikan, sebab semula hanya 103 pasal dalam perkembangannya membengkak menjadi 466 pasal.

67

66

H.K. Martono dan Amad Sudiro , Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public International and National Air Law), Rajawali Pers ; Jakarta, 2012. Hal.233


(1)

Konvensi ini berjudul Convention for the Unification of Certain Rules for the Internasional Carriage bu Air yang pada prinsipnya mengatur secara integral ketentuan – ketentuan yang termuat dalam Konvensi Warsawa 1929, The Hague Protocol of 1955, Guandalajara Convention of 1961, Guetemala City Protocol of 1971, dan Additional Protocol Montreal of 1975 No. 1, 2, 3, dan 4. Konvensi ini mewadahi pengaturan yang meliputi ketentuan umum, dokumen transportasi udara yang terdiri dari tiket penumpang (passenger ticket’s), tiket bagasi (bagage claim tag) dan surat muatan udara (airwaybill), tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan, jumlah ganti kerugian, perhitungan ganti kerugian, batas tanggung jawab, jangka waktu pengajuan gugatan dan ditutup oleh yurisdiksi pengadilan.

3. Hukum Udara dan Kaitannya dengan Tanggung Jawab.

Dalam Hukum Udara terdapat beberapa sistem dan prinsip mengenai tanggung jawab, yaitu apa yang dapat disebut sistem warsawa, system roma dan system Guatemala.

Sistem Warsawa mempergunakan prinsip “presumption of liability” dan prinsip

“limitation of liability” untuk kerugian pada penumpang, barang dan bagasi tercatat, sedangkan untuk kerugian pada bagasi tangan di pergunakan prinsip “presumption of non-liability” dan prinsip “limitation of liability”.

Prinsip – prinsip ini dipergunakan pula dalam ordonansi pengangkutan udara. Sistem Roma mempergunakan prinsip “absolute liability” dan prinsip “limitation of liability”, sedangkan dalam system Guatemala dipergunakan prinsip ‘Absolute liability” dan prinsip

“limitation of liability” untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang dan bagasinya, tanpa membedakan antara bagasi tercatat dan bagasi tangan, bagi barang dipergunakan prinsip “presumption of liability” dan prinsip ”Limitation of liability”, sedangkan untuk


(2)

kerugian karena keterlambatan dipergunakan prinsip prinsip – prinsip yang sama dengan untuk barang.

Pada “liability Convention tahun 1972 dipergunakan prinsip “absolute liability” apabila kerugian ditimbulkan di permukaan bumi dan prinsip “Liability based on fault” apabila kerugian di timbulkan pada benda angkasa atau orang didalamnya, yang diluncurkan oleh suatu Negara lain.

Prinsip – prinsip tanggung jawab yang dipergunakan dalam hukum udara dan hukum angkasa adalah:

1. Prinsip “presumption of liability”61

2. Prinsip “Presumption of non-liability

yang dipergunakan dalam konvensi Warsawa tahun 1929, protocol the hague tahun 1955 dan Ordonansi pengangkutan udara untuk penumpang, bagasi tercatat dan barang, dan protocol Guatemala tahun 1971 untuk barang dan kelambatan.

62

3. Prinsip “Absolute liability

yang dipergunakan dalam Konvensi Warsawa tahun 1929, protocol The Hague tahun 1955 dan Ordonansi Pengangkut Udara untuk bagasi tangan.

63

4. Prinsip “Absolute liability” yang dipergunakan dalam protocol Guatemala tahun 1971 untuk tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasinya.

yang dipergunakan dalam Konvensi Roma tahun 1952 untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di permukaan bumi.

61

Prinsip presumption of liability adalah prinsip dimana pengangkut bertanggung jawab tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu.

62

Prinsip presumption of liability adalah prinsip dimana pengangkut tidak selalu bertanggung jawab dan harus dibuktikan terlebih dahulu. Prinsip ini hanya berlaku kepada bagasi tangan.

63

Prinsip absolute of liability adalah prinsip yang bermaksud bahwa tanggung jawab adalah mutlak oleh pengangkut (airlines) tanpa ada kemungkinan membebaskan diri.


(3)

5. Prinsip “Absolute liability” yang dipergunakan dalam Liability Convention tahun 1972 untuk kerugian yang ditimbulkan oleh benda – benda dipermukaan bumi dan pesawat udara yang sedang terbang.

6. Prinsip “Liability based on fault64

7. Prinsip “limitation of liability

” yang dipergunakan dalam Liability Convention tahun 1972 untuk kerugian yang ditimbulkan oleh benda angkasa lain dan orang didalamnya.

65

8. Prinsip “Limitation of liability” yang dipergunakan dalam protocol Guatemala tahun1971 untuk penumpang dan bagasinya.

yang dipergunakan dalam Konvensi Warsawa tahun 1929, protocol the Hague dan Ordonansi pengangkutan untuk penumpang bagasi tercatat dan barang dan dalam protocol Guatemala tahun 2971 untuk barang dan kelambatan.

9. Prinsip “Limitation of liability” yang dipergunakan dalam Konvensi Roma tahun 1952.

Terdapat beberapa prinsip yang pada dasarnya sama, namun ada beberapa perbedaan yang prinsipil yang perlu dikemukakan.

Prinsip “Absolute liability” dalam konvensi Roma tidak benar – benar mutlak karena masih ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya bagi operator pesawat udara, yaitu dalam hal kejadian adalah akibat dari suatu konflik bersenjata atau huru hara atau disebabkan oleh kesalahan pihak yang menderita kerugian sendiri sedangkan prinsip “Absolute liability” dalam protocol Guatemala masih memberi kesempatan untuk

64

Prinsip liability of fault adalah prinsip dimana tanggung jawab yang dilaksanakan akibat suatu benda atau kejadian dari luar angkasa.

65


(4)

membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal kerugian yang disebabkan oleh penumpang sendiri.

Prinsip “Limitation of liability” dalam Konvensi Warsawa dan Ordonansi pengangkutan udara, bersifat tidak mutlak, karena batas tanggung jawab itu masih dapat dilampaui, yaitu apabila kerugian ditimbulkan dengan sengaja oleh pengangkut atau karena kelalaian berat

(gross negligensi), berbeda dengan prinsip “Limitation of liability” dalam Konvensi Roma dan protocol Guatemala yang tidak dapat dilampaui karena sebab apapun juga. Masalah tanggung jawab senantiasa aktual, dan akan selalu aktual selama ada kemungkinan kecelakaan pesawat udara atau peristiwa – peristiwa lain yang menimbulkan kerugian – kerugian pada penumpang atau pihak – pihak lain dengan siapa pihak pengangkut mempunyai perjanjian angkutan, baik untuk angkutan udara internasional maupun dalam negeri, apapun sebab – sebabnya.

Dalam Hukum Udara Internasional masalah tanggung jawab telah lama menjadi perhatian, karena dalam kenyataan Konvensi internasional ke duayang penting setelah konvensi Paris tahun 1919 yang mengatur aspek pengaturan penerbangan Internasional setelah Perang Dunia ke-I adalah Konvensi Warsawa tahun 1929 yang mengatur masalah tanggung jawab pengangkut dan dokumen, angkutan pada penerbangan Internasional,dan di susul tahun 1933 oleh Konvensi Roma yang mengatur tanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga dipermukaan bumi. Perjanjian Roma tahun 1933 ini kemudian diganti oleh Konvensi Roma tahun 1952.

Konvensi Warsawa sendiri beberapa kali di ubah dengan beberapa protocol, yaitu protocol The Hague tahun 1955 dan protocol Guatemala tahun 1971 dengan protocol tambahan Montreal tahun 1975 nomor 1 sampai 4. Di samping itu terdapat suatu konvensi tambahan yaitu Konvensi Guadalajara tahun 1961 yang mengatur tanggung jawab pada jenis charter tertentu.


(5)

Konvensi Warsawa sampai sekarang menjadi merupakan perjanjian multilateral dalam bidang hukum Udara perdata yang paling banyak pesertanya dan di perlakukan pula bagi penerbangan dalam negeri antara lain di Indonesia, meskipun dengan beberapa perubahan dan tambahan, yaitu sebagaimana diatur dalam Ordonansi pengangkutan Udara (staatsblad 1939 no.100).

4. Dasar Hukum Udara atau Hukum Penerbangan di Indonesia

Dasar hukum penerbangan di Indonesia terdapat dalam Undang-undang No.1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Selain itu juga terdapat dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) S.100 tahun 1939 yang sebagian besar aturan-aturan tersebut mengacu pada Konvensi Warsawa tahun 1929.

Indonesia telah menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sejak tanggl 27 April 1950 telah menyempurnakan Undang - Undang Nomor 15 Tahun 1992 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Undang-Undang disusun dengan mengacu kepada Konvensi Chicago 1944 dan memerhatikan kebutuhan pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 mengatur kedaulatan atas wilayah udara di Indonesia, pelanggaran wilayah kedaulatan, produkasi pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan keamanan di dalam pesawat udara, pengadaan pesawat udara, asuransi pesawat udara, independensi investigasi kecelakaan pesawat udara, pembentukan majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan umum, berbagai jenis angkutan udara baik niaga berjadwal, tidak berjadwal maupun bukan niaga dalam negeri ataupun luar negeri, modal harus single majority shares tetap berada pada warga Indonesia atau badan hukum Indonesia, persyaratan minimum mendirikan perusahaan penerbangan baru harus mempunyai 10 pesawat udara, 5 dimiliki dan 5 dikuasai, perhitungan tarif transportasi pesawat udara berdasarkan komponen tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya


(6)

tambahan, pelayanan bagi penyandang cacat, orang lanjut usia, anak dibawah umur, pengangkutan nahan dan/atau barang berbahaya (dangerous goods), ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, konsep tanggung jawab pengangkut, asuransi tanggung jawab pengangkut, tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga (third parties liability), tatanan kebandarudaraan baik lokasi maupun persyaratan, obstacles, perubahan iklim yang menimbulkan panas bumi, sumber daya manusia baik di bidang operasi penerbangan, teknisi bandar udara maupun navigasi penerbangan, fasilitas navigasi penerbangan (single air provider), penegakan hukum, penerapan sanksi administratif yang selama ini tidak diatur, budaya keselamatan penerbangan, penanggulangan tindakan melawan hukum, dan berbagai ketentuan baru yang sebelumnya tidak diatur, guna mendukung keselamatan transportasi udara nasional maupun internasional.66

Jiwa dari undang-undang ini bermaksud memisahkan regulator dengan operator sehingga fungsi, tugas, tanggung jawab masing-masing jelas. Di samping itu, Undang-Undang No.1 Tahun 2009 juga bermaksud memberi kesempatan kepada swasta dan pemerintah daerah untuk ikut serta berperan dalam pembangunan penerbangan di Indonesia. Undang- undang ini mengalami perubahan yang signifikan, sebab semula hanya 103 pasal dalam perkembangannya membengkak menjadi 466 pasal.

67

66

H.K. Martono dan Amad Sudiro , Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public International and National Air Law), Rajawali Pers ; Jakarta, 2012. Hal.233