Pertanggungjawaban Serta Pelaksanaan Ganti Rugi Terhadap Kecelakaan Air Asia Qz8501 Ditinjau Dari Konvensi Internasional

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN SERTA PELAKSANAAN GANTI RUGI

TERHADAP KECELAKAAN AIR ASIA QZ8501 DITINJAU DARI

KONVENSI INTERNASIONAL

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

Bakhtiaruddin Dalimunthe

110200189

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN SERTA PELAKSANAAN GANTI RUGI TERHADAP KECELAKAAN AIR ASIA QZ8501 DITINJAU DARI KONVENSI

INTERNASIONAL SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

BAKHTIARUDDIN DALIMUNTHE NIM: 110200189

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL Disetujui/Diketehui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum NIP. 195612101986012001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum Dr. Sutiarnoto MS, SH.,M.Hum NIP : 195612101986012001 NIP : 195610101986031003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayahnya Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini serta teriring Shalawat dan Salam Penulis haturkan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia keluar dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu dan islam. Penulisan skripsi ini berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN SERTA PELAKSANAAN GANTI RUGI

TERHADAP KECELAKAAN AIR ASIA QZ8501 DITINJAU DARI KONVENSI INTERNASIONAL”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas dan memenuhi persyaratan

mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua saya Nirwan Dalimunthe, SH dan Elys Purwanti yang telah mendoakan serta memberikan cinta, kesabaran, perhatian, bantuan dan pengorbanan yang tak ternilai sehingga saya dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan formal hingga Strata Satu (S1). Semoga Allah SWT memberikan umur yang panjang dan rezeky yang berkah kepada beliau untuk dapat melihat apa yang sudah mereka perjuangkan selama ini, Amin ya Robbal

Al-Amin.

Dalam proses penyusunan skripsi ini saya juga mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah diberikan, saya menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Subhilhar, Ph.D selaku Pelaksana Tugas Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(4)

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H.,M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H.,M.H., DFM selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak OK Saidin S.H.,M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Dr. Chairul Bariah S.H., M.Hum.selaku Dosen Pembimbing Akademik;

7. Ibu Dr. Chairul Bariah S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Internasional; 8. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum

Internasional;

9. Ibu Dr. Chairul Bariah S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I. Terimakasih atas waktu, saran dan bimbingan yang Ibu berikan selama ini hingga saya menyelesaikan skripsi ini;

10. Bapak Dr. Sutiarnoto MS, SH., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Dosen Mata Kuliah Hukum Udara yang memberikan materi dalam perkuliahan yang kemudian menjadi acuan saya untuk menyelesaikan skripsi ini;

11. Seluruh dosen dan pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 12. Saudara saya Rusdawaty Dalimunthe yang saya sayangi.

13. Hj. Duma Sari Dalimunthe, SH yang membantu saya sejak memasuki dunia perkuliahan dan seluruh sanak keluarga yang senantiasa memperhatikan serta mendukung jalur pendidikan yang saya tempuh.

14. Teman – teman saya di Grup D FH USU ’11 terkhusus kepada Nurul Hasnita, Viennaroito, Reno, Joshua, Billy, Dinand, Rensius, Dimas dan lain – lain.

15. Teman – teman saya di International Law Student Association (ILSA) ’11 terkhusus kepada senioren kami Bang Saka dan Bang Arko yang senantiasa memberikan materi –


(5)

materi serta arahan mengenai bagaimana menghadapi perkuliahan di Departemen Hukum Internasional.

16. Rekan – rekan seperjuangan Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara baik anggota biasa, anggota muda, senioren dan alumni terkhusus kepada Pengurus HMI Komisariat FH USU periode 2013 – 2014; Kakanda Hary Azhar Ananda, Kakanda Izma Suci, Kakanda Nurul Atika, Kakanda Ihsan, Yuanda Winaldi, Tengku Azlansyah (Fito), Ibnu Hidayah, Hadyan Yunhas, Pupimbiddi (MVP), Sandhitya Sultan, Putri Zulfita, Rizky Chr (Kiki), Tengku Devi, Nida Syafwani Nst, Adinda Rafika Fazal, Anggi, Ray bachtian.

17. Rekan – rekan di Komisi Pemilihan Umum Universitas Sumatera, terkhusus kepada abangda Muhammad Angga selaku bendahara KPU USU yang senantiasa memberikan arahan kepada kami dalam melaksanakan Pemilihan Umum Presiden Mahasiswa USU tahun 2014.

18. Rekan – Rekan di Komisi Pemilihan Umum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2014 – 2015; Putri Zulfita, Tengku Devy Malinda, Nova Dina Tari, Nurul Ayu, Syahfitri Ditami, Adinda Morando Simbolon, Dimas Saragih, Andre, Mazmur, Wakibosri, Willfred Tobing, Susilo Laharjo, Rafika Fazal, Alex Mulandar yang senantiasa bahu – membahu dalam mensukseskan ajang pesta demokrasi tahunan, Pemilu Presma USU Tahun 2014 dan Pemilu FH USU tahun 2015.

19. Rekan – rekan Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara periode 2013 – 2014 terkhusus kepada Abangda Muhammad Akbar Siregar selaku mantan Gubernur PEMA FH USU serta teman – teman di Bidang Kewirausahaan PEMA FH USU Periode 2013 - 2014.

20. Sahabat lama Nida Syafwani Nasution yang bersedia memberikan masukan dalam menyelesaikan skripsi saya.


(6)

21. Sahabat yang pernah saya sayangi Ririn Ardhila yang sempat membagi waktunya selama perkuliahan maupun di luar perkuliahan.

22. Sahabat kami Aditya Hartomo, Muhammad Aganta, Rizky Trinanda, Baginda Taris, Irwin Rinaldi, Fahmi Natigor, Nurqumala Hayati, Halimun Bahry, Dany Agus, Fariz Khibran, Ryan Prayuda, Nando dan yang lain – lain.

23. Seluruh Civitas Akademik Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara terkhusus FH USU stambuk 2011.

Medan, 3 Juli 2015

Bakhtiaruddin Dalimunthe Nim : 110200189


(7)

Daftar Isi

Lembar pengesahan...i

Kata pengantar...ii

Daftar isi...vi

Abstraksi...x

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...4

D. Keaslian Penulisan...5

E. Tinjauan Pustaka...6

F. Metode Penelitian...18

1. Jenis dan Sifat Penelitian...18

2. Sumber Data...19

3. Teknik Pengumpulan Data...20

4. Analisis Data...20

G. Sistematika Penulisan...21

BAB II. PENGATURAN HUKUM TENTANG ANGKUTAN UDARA PADA PENERBANGAN INTERNASIONAL A. Sejarah dan Pengertian Angkutan Udara...23

B. Fungsi Angkutan Udara...31

1. unsur penunjang...31

2. unsur pendorong...32


(8)

1. Angkutan udara dalam negeri...38

2. Angkutan udara luar negeri...39

3. Angkutan udara tidak berjadwal...42

4. Angkutan udara bukan niaga...44

5. Angkutan udara perintis...45

D. Pengaturan Hukum Tentang Angkutan Udara Dan Penerbangan...47

1. Pengerian dan istilah hukum udara atau hukum penerbangan...47

2. Sumber hukum udara internasional...48

3. Hukum udara dan kaitannya dengan tanggung jawab...52

4. Dasar hukum udara atau hukum penerbangan di Indonesia...56

BAB III. PERTANGGUNG JAWABAN ANGKUTAN UDARA TERHADAP KECELAKAAN PENERBANGAN A. Kondisi Subjektif Penerbangan Di Indonesia...59

B. Kendala Yang Terjadi Dalam Kegiatan Penerbangan Di Indonesia...62

C. Pertanggungjawaban Maskapai Penerbangan Atau Airlines Terhadap Kecelakaan Penerbangan...66

1. Prinsip tanggung jawab dalam hukum udara internasional...68

1.1. Prinsip presumption of liability...68

1.2. Prinsip presumption of non-liability...69

1.3. Prinsip absolute of liability...69

1.4. Prinsip limitation of liability...69

2. Sistem tanggung jawab...69

2.1. Sistem warsawa...70

2.2. Sistem roma...74


(9)

2.4. Sistem guetemala...78

3. Prinsip tanggung jawab dalam hukum nasional (UURI No.1 Tahun 2009)...80

4. Besaran ganti rugi dan santunan...81

5. Pihak yang berhak atas ganti rugi...87

6. Asuransi untuk tanggung jawab...88

D. Peran Pemerintah Dalam Menanggulangi Kecelakaan Penerbangan Internasional Di Wilayah Jurisdiksi NKRI...95

BAB IV. MEKANISME PELAKSANAAN GANTI RUGI TERHADAP KECELAKAAN AIR ASIA QZ8501 MENURUT KONVENSI INTERNASIONAL A. Kasus Kecelakaan Air Asia QZ8501...97

B. Upaya Yang Dilakukan Terkait Pelaksanaan Ganti Rugi Dalam Kasus Kecelakaan Air Asia QZ8501...103

C. Kendala Yang Terjadi Dalam Pelaksanaan Ganti Rugi Korban Kecelakaan Air Asia QZ8501...105

D. Tahapan Dan Besaran Ganti Rugi Terhadap Korban Kecelakaan Penerbangan Air Asia QZ8501 Menurut Konvensi Internasional ...107

1. Ganti rugi kecelakaan Air Asia QZ8501 menurut Konvensi Warsawa 1929...108

2. Ganti rugi kecelakaan Air Asia QZ8501 menurut Konvensi Montreal 1999...113


(10)

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan...118 B. Saran...120


(11)

ABSTRAKSI

Dr. Chairul Bariah, SH., M.Hum * Dr. Sutiarnoto MS, SH., M.Hum **

Bakhtiaruddin Dalimunthe***

Indonesia sebagai negara kepulauan yang bercirikan nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan oleh undang-undang maka guna mendukung pertumbuhan ekonomi, diperlukan sarana transportasi nasional dalam hal penerbangan yang memiliki standar pelayanan yang optimal dengan mengedepankan keselamatan dan keamanan yang optimal. Berdasarkan hal ini maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana pengaturan hukum internasional tentang angkutan udara pada penerbangan internasional? Bagaimana pertanggungjawaban angkutan udara terhadap kecelakaan penerbangan internasional? Bagaimana mekanisme pelaksanaan ganti rugi terhadap kecelakaan Air Asia QZ8501 menurut konvensi internasional?

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif disebut juga penelitian doctrinal research yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim di pengadilan. Metode penelitian yuridis normatif merupakan prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya dan sifat penelitian adalah deskriptif analitis yakni menggambarkan dan menguraikan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pertanggung jawaban atas kecelakaan penerbangan sipil.

Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut prinsip

presumption of liability dimana perusahaan transportasi penerbangan bertanggung jawab

tanpa harus dibuktikan terdahulu oleh pengadilan dan prinsip Limitation of Liability yang membatasi tanggung jawab perusahaan transportasi penerbangan. sementara dalam penerapan Konvensi Internasional, Indonesia meratifikasi Konvensi Warsawa 1929 melalui Ordonansi Pengangkutan Udara (Staatblad 1939 No. 100).

Selanjutnya dalam peraturan perundang – undangan di Indonesia yang mengacu kepada kegiatan penerbangan diatur oleh Undang – undang nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan dan diperbaharui dengan Undang – undang no. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan maka kecelakaan Air Asia dengan nomor penerbangan QZ8501 pada hari Minggu 28 Desember 2014 dari Surabaya, Indonesia menuju Singapura mengacu pada Konvensi Warsawa 1929 yang telah diratifikasi di Indonesia melalui Ordonansi pengangkutan Udara (staatsblad 1939 no.100) maka dengan landasan ini pula penulis menyimpulkan bahwasannya PT. Indonesia Air Asia demi hukum bertanggung jawab, tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu kesalahan daripada perusahaan penerbangan, tetapi tanggung jawab perusahaan penerbangan terbatas.

Kata Kunci: Pertanggung jawaban, Kecelakaan Air Asia QZ8501, Konvensi Internasional. * Dosen Pembimbing I

** Dosen Pembimbing II


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angan-angan manusia untuk dapat terbang agaknya telah dipunyai manusia sejak ia dapat berfikir. Pada mulanya, selama manusia belum mempunyai kemampuan sendiri untuk terbang, kemampuan ini dikhayalkan kepada makhluk-makhluk gaib, cerita-cerita tentang dewa-dewa dan makhluk lain yang dapat terbang, kita jumpai sejak waktu berabad-abad yang lalu, baik di Eropa, Asia maupun benua-benua lain. Misalnya kita kenal dongeng tentang Icarus, yang membuat sayap-sayap dari bulu-bulu yang direkatkannya dengan lilin, tapi kemudian terbang terlalu dekat dengan matahari. Sehingga lilin mencair dan ia terjatuh ke dalam laut yang hingga saat ini masih dinamakan dengan Laut Icaria. Suatu dongeng untuk pertama kali mengisahkan manusia yang dapat terbang dengan pertolongan alat mekanis, yang disatu pihak menunjukkan pengetahuan tentang ilmu alam yang masih primitif, akan tetapi dilain pihak seolah-olah merupakan suatu ramalan kemampuan manusia.1

1 Suherman, E ; “Hukum Udara Indonesia dan Internasional”, Bandung, Penerbit Alumni, 1983,. Hal. 2-3.

Umat manusia dalam perkembangannya merealisasikan imajinasinya tersebut untuk terbang dengan alat mekanis yang seiring perjalanan waktu dijadikan salah satu kebutuhan hidup sebagai alat transportasi untuk menjangkau dari satu tempat ke tempat yang lain.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang bercirikan nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan oleh undang-undang maka guna mendukung pertumbuhan ekonomi, diperlukan sarana transportasi nasional dalam hal penerbangan yang memiliki standar pelayanan yang optimal dengan mengedepankan keselamatan dan keamanan yang optimal.


(13)

Suda\h menjadi suatu kenyataan bahwa Indonesia memiliki pengangkutan udara sipil komersial baik domestik maupun internasional. Namun di dalam prakteknya, dunia penerbangan tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan sebagai alat untuk mempermudah mobilisasi manusia, acapkali berbagai kendala terjadi dalam dunia penerbangan bahkan dengan resiko paling buruk seperti jatuhnya korban jiwa.

Bersandar dari hal di atas bangsa ini terus menerus melakukan inovasi-inovasi untuk mencegah dan menanggulangi resiko-resiko yang bermunculan dalam dunia penerbangan, salah satunya dengan perangkat hukum untuk pesawat udara. Dari sekian banyak objek kajian daripada hukum udara, yang menjadi fokus penulis disini ialah pengaturan hukum mengenai ganti rugi bagi korban kecelakaan angkutan penerbangan sipil sebagai kepastian hukum yang menjadi hak bagi setiap orang terkait hubungan langsung dengan layanan penerbangan di Indonesia.

Penelitian ini membahas aspek ganti-rugi yang diatur dalam Konvensi Internasional seperti halnya di dalam Konvensi Warsawa 1929 atau konvensi untuk unifikasi ketentuan-ketentuan tertentu sehubungan dengan pengangkutan udara internasional (Convention for the

Unification of Certain Rules Relating to Internasional Carriage by Air) ditandatangani di

Warsawa pada tanggal 12 Oktober 1929 dan mulai berlaku sejak tanggal 13 Februari 1933. Konvensi ini merupakan perjanjian pertama dibidang hukum udara perdata dan merupakan salah satu perjanjian yang paling tua dan paling berhasil dalam menyeragamkan suatu bidang tertentu dalam hukum perdata. Sampai saat ini Konvensi Warsawa telah diratifikasi lebih kurang 130 Negara termasuk Indonesia melalui Staatsblaad 1933 No.347 yang dengan ketentuan peralihan dalam UUD 1945 tetap berlaku2

2

. Dalam konteks penerbangan sipil dan juga membahas aspek teknis dalam pelaksanaan ganti rugi bagi korban terkait kasus kecelakaan yang terjadi pada pesawat Air Asia dengan nomor penerbangan


(14)

QZ8501/AWQ8501 yang dinyatakan menghilang pada saat terbang dari Surabaya, Indonesia menuju Singapura pada tanggal 28 Desember 2014. Dengan membawa 155 penumpang dan 7 orang kru di dalam pesawat.3

B. Rumusan Masalah

Dengan melihat banyaknya kerugian yang diderita oleh penumpang maskapai penerbangan akibat kecelakaan, maka sudah sepantasnyalah dalam hal ini, pemberian ganti rugi harus diberikan bagi para pengguna jasa pengangkutan udara.

Berangkat dari uraian di atas maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Serta Pelaksanaan Ganti Rugi Terhadap

Kecelakaan Air Asia QZ8501 Ditinjau Dari Konvensi Internasional.”

1. Bagaimana pengaturan hukum internasional tentang angkutan udara pada penerbangan internasional?

2. Bagaimana pertanggungjawaban angkutan udara terhadap kecelakaan penerbangan internasional?

3. Bagaimana mekanisme pelaksanaan ganti rugi terhadap kecelakaan Air Asia QZ8501 menurut konvensi internasional?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun Tujuan Penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui aspek pertanggungjawaban dari pengaturan konvensi Internasional sebagai sumber hukum dan panduan resmi dari instrumen penerbangan sipil yang menganut


(15)

sistem tanggung jawab yaitu ; Prinsip Presumption of Liabilty dan Prinsip Limitation of

Liability.4

1. Untuk mengetahui aspek teknis pelaksanaan ganti rugi terhadap kecelakaan penerbangan sipil menurut konvensi internasional dan hukum nasional yang meliputi ; tahapan ganti rugi, besaran ganti rugi dan objek ganti rugi dan hal-hal yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan teknis ganti rugi.

2. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban dan pelaksanaan ganti rugi akibat kerugian yang timbul dalam penerbangan sipil terkait kasus kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501 yang mengakibatkan kerugian pesawat terbang, asuransi penerbangan, penanggungan biaya korban yang cacat dan korban jiwa.

Adapun manfaat penelitian ini ;

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau manfaat baik dari sisi teoritis maupun praktis.

1. Manfaat secara teoritis

Memberikan sumbangan akademis bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, dan Hukum Internasional pada khususnya. Serta memberikan sumbangan akademis dalam merumuskan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penerbangan, khususnya yang berkaitan dengan penerbangan sipil.

2. Manfaat praktis

Membantu aparat penegak hukum dan pemerintah dalam penerapan pengaturan hukum internasional mengenai penerbangan sipil dan pelaksanaan teknis terhadap ganti rugi daripada insiden kecelakaan penerbangan sipil, juga memberikan pengetahuan yang berguna bagi masyarakat mengenai haknya sebagai pengguna jasa penerbangan sipil.


(16)

D. Keaslian Penulisan

Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana, maka seyogyanya skripsi yang saya yang berjudul “Pertanggungjawaban Serta Pelaksanaan Ganti Rugi Terhadap Kecelakaan Air Asia QZ8501 Ditinjau Dari Konvensi Internasional” ditulis berdasarkan buah pikiran yang benar-benar asli tanpa melakukan tindakan peniruan (plagiat)baik sebagian ataupun seluruhnya dari karya orang lain. Dalam proses penulisan skripsi ini Penulis juga memperoleh data dari buku-buku, jurnal ilmiah, media cetak dan media elektronik. Jika ada kesamaan pendapat dan kutipan, hal itu semata-mata digunakan sebagai referensi dan penunjang yang Penulis perlukan demi penyempurnaan penulisan skripsi ini. Dengan Demikian judul yang penulis pilih telah diperiksa dalam arsip bagian Hukum Internasional dan penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan belum pernah ada judul yang sama, mirip bahkan persis, demikian juga dengan pembahasan yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU tertanggal 20 Maret 2015 judul tersebut dinyatakan tidak ada yang sama dan telah disetujui oleh Ketua Departemen Hukum Internasional.

E. Tinjauan Pustaka 1. Tanggung jawab

Penekanan dalam arti tangung jawab disini ialah kewajiban memperbaiki kembali kesalahan yang pernah terjadi.5

5

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung ,Penerbit Alumni, 2003, hal. 4.

Liability dapat diartikan sebagai kewajiban membayar ganti kerugian yang diderita, misalnya dalam perjanjian transportasi udara, perusahaan penerbangan “bertanggung jawab” atas keselamatan penumpang.


(17)

Tanggung Jawab Pengangkut Udara di dalam pengangkutan udara diatur dalam beberapa peraturan antara lain ;

i. Ordonansi Pengangkutan Udara (Staatblad 1939 No. 100)

Salah satu peraturan terpenting bagi pengangkutan udara di Indonesia adalah Ordonansi Pengangkutan Udara (Luchvervoer Ordonantie), seperti dimuat dalam Staatsblad Tahun 1939 No. 100. Peraturan ini hingga kini masih berlaku. Persoalan utama yang diatur dalam peraturan ini adalah persoalan tanggung jawab pengangkut.6

a. Pasal 24 ayat 1

Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara, ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut udara terdapat dalam beberapa pasal, yaitu:

”Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka atau jejas-jejas lain pada tubuh, yang diderita oleh seorang penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi di atas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat terbang”. b. Pasal 25 ayat 1

”Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang terjadi sebagai akibat dari kemusnahan, kehilangan atau kerusakan bagasi atau barang, bilamana kejadian yang menyebabkan kerugian itu terjadi selama pengangkutan udara”.

c. Pasal 28

”Jika tidak ada persetujuan lain, maka pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian, yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi atau barang”.

6


(18)

Selain tanggung jawab pengangkut, Ordonansi Pengangkutan Udara juga menyebutkan besarnya jumlah penggantian ganti rugi. Namun dalam hal jumlah penggantian ini menjadi suatu kekurangan peraturan ini pada masa kini. Limit penggantian yang ditentukan dalam peraturan ini sudah sama sekali tidak sesuai lagi dengan keadaan ekonomis sekarang, yaitu karena limit jumlah-jumlah ganti rugi sebagaimana ditentukan dalam peraturan ini adalah jumlah-jumlah yang sesuai untuk waktu peraturan ini dibuat, yaitu dalam tahun-tahun sebelum tahun 1939.7

1. Undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan Dalam Undang-Undang Penerbangan ini, ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut udara terdapat dalam Pasal 43 ayat 1, yaitu yang berbunyi : ”Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga bertanggung jawab atas:

• kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; • musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;

• keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.”

Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 ini, Ordonansi Pengangkutan Udara dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini atau belum diganti dengan Undang-Undang yang baru. Ketentuan ini dijelaskan dalam Pasal 74 butir a Undang-Undang No. 15 Tahun 1992.

2. Peraturan Pemerintah RI No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara.

Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 40 Tahun 1995, ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut udara terdapat dalam Pasal 42, yang menyebutkan:

7


(19)

”Perusahaan angkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal bertanggung jawab atas:

• kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; • musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut;

• keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut.”

Dalam peraturan ini ketentuan mengenai tanggung jawab pengangkut sama dengan ketentuan yang ada dalam Undang- Undang No. 15 Tahun 1992. Namun dalam Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut mengenai batas jumlah pemberian ganti rugi, yang tidak disebutkan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 1992. Dalam pemberian batas jumlah ganti rugi, peraturan ini telah sesuai dengan keadaan ekonomis sekarang ini.

2. Ganti-rugi

Pengertian kerugian menurut R. Setiawan, adalah kerugian nyata yang terjadi karena wanprestasi. Adapun besarnya kerugian ditentukan dengan mem-bandingkan keadaan kekayaan setelah wanprestasi dengan keadaan jika sekiranya tidak terjadi wanprestasi.8

Pengertian kerugian yang hampir sama dikemukakan pula oleh Yahya Harahap, ganti rugi ialah “kerugian nyata” atau “fietelijke nadeel” yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi.

9

8

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1977, h. 17

9 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, h. 66.

Kerugian nyata ini ditentukan oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur. Lebih lanjut dibahas oleh Harahap, kalau begitu dapat kita ambil suatu rumusan, besarnya jumlah ganti rugi kira-kira sebesar jumlah yang “wajar” sesuai dengan besarnya nilai prestasi yang menjadi obyek perjanjian dibanding dengan keadaan yang


(20)

menyebabkan timbulnya wanprestasi. Atau ada juga yang berpendapat besarnya ganti rugi ialah “sebesar kerugian nyata” yang diderita kreditur yang menyebabkan timbulnya kekurangan nilai keutungan yang akan diperolehnya.

Lebih lanjut dikatakan oleh Abdulkadir Muhammad, bahwa pasal 1243 KUHPerdata sampai dengan pasal 1248 KUHPerdata merupakan pembatasan-pembatasan yang sifatnya sebagai perlindungan undang-undang terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak kreditur sebagai akibat wanprestasi.10

Pengertian kerugian yang lebih luas dikemukakan oleh Mr. J. H. Nieuwenhuis sebagaimana yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, pengertian kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak yang lain.

11

Bila kita tinjau secara mendalam, kerugian adalah suatu pengertian yang relatif, yang bertumpu pada suatu perbandingan antara dua keadaan. Kerugian adalah selisih (yang merugikan) antara keadaan yang timbul sebagai akibat pelanggaran norma, dan situasi yang seyogyanya akan timbul anadaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi. Lebih lanjut Nieuwenhuis mengatakan bahwa kita harus hati-hati agar tidak melukiskan kerugian sebagai perbedaan antara situasi sebelum dan setelah wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum.

Yang dimaksud dengan pelanggaran norma oleh Nieuwenhuis di sini adalah berupa wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.

12

10 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, h. 41.

11 Mr. J.H. Nieuwenhuis, terjemahan Djasadin Saragih, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Airlangga University

Press, Surabaya, 1985, h. 54.

12

Ibid.

Pengertian kerugian dibentuk oleh perbandingan antara situasi sesungguhnya (bagaiaman dalam kenyataannya keadaan harta kekayaan sebagai akibat pelanggaran norma) dengan situasi hipotesis (situasi itu akan menjadi bagaimana andaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi). Sehingga dapat ditarik suatu rumusan mengenai kerugian adalah situasi


(21)

berkurangnya harta kekayaan salah satu pihak yang ditimbulkan dari suatu perikatan (baik melalui perjanjian maupun melalui undang-undang) dikarenakan pelanggaran norma oleh pihak lain.

Sedangkan dalam hal pengangkutan udara maka perlu dipahami pihak-pihak yang berhak atas ganti rugi. Untuk menetapkan siapa-siapa yang berhak atas ganti rugi maka terlebih dahulu dilihat siapa-siapa saja yang menderita kerugian (kecuali tentunya pihak pengangkut dan operator sendiri). Yang dapat menderita kerugian pada suatu pengangkutan udara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :

a. Mereka yang mempunyai perjanjian pengangkutan dengan dan ;

b. Mereka yang sama sekali tidak mempunyai hubungan hukum dengan pengangkut / operator.

Dengan ketentuan dalam kelompok (a) termasuk ; penumpang, pengirim atau penerima barang dan dalam kelompok (b) termasuk pihak ketiga didarat.13

Dengan batasan bahwa penumpang adalah setiap orang yang mempunyai hubungan dengan pengangkutan udara berdasarkan suatu perjanjian pengangkutan, jadi tidak termasuk orang-orang yang berdasarkan suatu perjanjian kerja berada dalam pesawat terbang . adanya perjanjian pengangkutan dapat dibuktikan dengan adanya tiket. Sedangkan pengirim barang

(consignor) atau seorang yang menerima barang (consignee) merupakan pihak-pihak dalam

suatu perjanjian angkutan barang, hal mana dapat dibuktikan dengan surat muatan udara

(airway bill). Pihak-pihak inilah yang dapat menderita kerugian dan karenanya pihak-pihak

inilah yang berhak atas ganti-rugi.

14

13

Dalam hal tubrukan udara atau aerial collision termasuk yang dirugikan adalah operator pesawat terbang lainnya. Aerial collisin tidak diatur dalam Perjanjian Roma, yang hanya mengatur tentang tanggung jawab kedua operator terhadap pihak ketiga di darat. (pasal 7). Persoalan aerial collision pernah menjadi perhatian ICAO (International Civil Aviation Organization) dalam Legal Commitee, 11th. Session , Tokyo, 1957, ICAO Doc.7921-/CI43-2, Tahun 1958.

14

Suherman, E ; “Hukum Udara Indonesia dan Internasional”, Bandung, Penerbit Alumni, 1983,. Hal. 75

Dalam hal penumpang tewas , maka Ordonansi Pengangkutan Udara menetapkan bahwa yang dapat menuntut ganti rugi adalah suami atau


(22)

isteri penumpang, anak atau anak-anaknya atau orang tuanya, yang biasa menjadi tanggungannya, sedangkan besarnya ganti rugi dinilai dengan kedudukan dan kekayaan mereka yang bersangkutan serta sesuai dengan keadaan.15

3. Pesawat Udara

Pengertian pesawat udara terdapat di dalam ketentuan umum UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang tertulis Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan. Pengertian ini dengan sengaja mengecualikan kendaraan air seperti hover aircraf atau disebut juga Hoovercraft16 dari

defenisi pesawat udara. Pengecualian ini jelas tertera di dalam Penjelasan Undang-Undang ini.17

Dengan pasal di atas Negara-Negara pembuat Konvensi Jenewa 1948 bermaksud untuk, sesuai dengan tujuan konvensi tersebut, membatasi pengertian pesawat udara pada pesawat Untuk keperluan mengenai batasan pesawat udara lebih jelas tertera dalam Annex 7 Konvensi Chicago 1944 yang dimodifikasi Tahun 1967 harus dilengkapi dengan dengan batasan yang diterima dalam Konvensi Jenewa 1948 pasal XVI :

. . . aircraft shall include the airframe, engines, propellers, radio aparatus, and all others articles intended for use in the aircraft wheter installed therein or temporarily separated therefrom . . .

15

Ibid.

16

Suatu alat transpor yang bergerak diatas suatu bantal udara, pesawat ini tidak termasuk dalam batasan dalam Konvensi Chicago 1944 tahun 1967 dan tidak merupakan objek hukum dari hukum udara serta ketentuan-ketentuan internasional lainnya yang berkaitan dengan pesawat udara.

17 Mieke Komar Kantaatmadja, pada ceramah “Implementasi Undang-Undang No.15 Tahun 1992 Tentang

Penerbangan” dalam Foreign Airline General Sales Agent Association (FAGA), Jakarta, 18 November 1992.(Penulis menetapkan pengertian pesawat udara dalam UU penerbangan yang baru yaitu UU No. 1 Tahun 2009 dikarenakan tidak adanya perubahan dalam hal pengertian pesawat udara dari UU No. 15 Tahun 1992 terhadap UU No.1 tahun 2009 tentang penerbangan)


(23)

udara yang digunakan untuk angkutan udara sipil atau Civiele Luchtverkeer. Pengertian di atas, mengecualikan balon kabel, balon bebas, dan pesawat layang, kapal terbang, 18

Maksud daripada hal di atas di tertuang dalam Konvensi Jenewa 1948 adalah untuk mengatur hak-hak yang melekat maupun diletakkan pada pesawat udara yang dipergunakan untuk angkutan udara sipil internasional.

helikopter dan juga pesawat udara lain yang tujuan penggunaannya adalah untuk usaha yang bersifat militer, bea cukai, dan polisi.

Maka dari itu sudah jelaslah batasan mengenai pesawat udara dalam hal ini, dan dirinci kembali di dalam ketentuan umum UU No. 1 Tahun 2009 Tentang penerbangan dalam ketentuan umum tertera mengenai Pesawat Udara Sipil yaitu pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga dan ada juga Pesawat Udara Sipil Asing adalah pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga yang mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan negara asing.

19

4. Kecelakaan Pesawat Udara

Defenisi daripada kecelakaan pesawat udara adalah suatu kejadian yang berhubungan dengan operasi suatu pesawat udara yang terjadi setelah orang naik ke pesawat udara dengan maksud untuk terbang sampai orang tersebut meninggalkan pesawat udara tersebut, dalam kejadian mana ;

1. Seorang tewas atau luka berat sebagai akibat dari beradanya di dalam atau di atas pesawat udara atau karena kontak langsung dengan pesawat udara atau sesuatu yang melekat pada pesawat udara ;

18

Nederland dengan besluit 22 Mei 1981, menetapkan alat-alat penerbangan yang tidak termasuk ke dalam pengertian pesawat udara menurut Luchtvaart Wet 195.

19

Mieke Komar Kantaatmadja, “Lembaga Jaminan Kebendaan Pesawat Udara Indonesia Ditinjau Dari Hukum


(24)

2. Pesawat udara yang menderita kerusakan berat ; 3. Suatu tabrakan antara dua atau lebih pesawat udara.20

Defenisi daripada luka berat disini adalah suatu luka yang memerlukan perawatan dirumah sakit dan pengobatan selama lima hari atau lebih atau mengakibatkan patah tulang (kecuali patah jari tangan, jari kaki, atau hidung tanpa komplikasi), luka-luka yang menyebabkan pendarahan, atau mengenai otot, luka pada bagian dalam, atau luka bakar taraf 2 dan 3 atau luka bakar pada lebih dari 5% dari kulit.21 Defenisi ini hanya dapat diterapkan dalam ketentuan umum Konvensi Warsawa, tidak dalam Ordonansi Pengangkutan Udara, yang mensyaratkan kecelakaan ada hubungannya dengan pengangkutan udara.22

5. Konvensi Internasional

Menurut Mochtar Kusumaatmadja23

20

CASR (Civil Aviation Safety Regulation) Indonesia, Section 39.O.2.a.

21

Suherman, E ; “Hukum Udara Indonesia dan Internasional”, Bandung, Penerbit Alumni, 1983. Hal.77.

22

Keputusan United States District Court , Southern District of New York, dalam perkara Joe del Pillar lawan Eastern Airlines, mengenai “Sakit punggung karena tempat duduk tidak dapat dimiringkan kebelakang”. Gugatan ditolak.

23

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional,(Bandung: Alumni, 2003), hal. 4

Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara:

1. negara dengan negara;

2. negara dengan subjek hukum lain bukan negara satu sama lain.

Pada hakekatnya sumber hukum udara internasional bersumber pada hukum internasional dan hukum nasional. Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional mengatakan “International Custom, as evidence of a general practices accepted as law”. Sumber hukum udara internasional dapat berupa multilateral maupun bilateral diantaranya :


(25)

a. Multilateral & Bilateral

Sumber hukum udara internasional yang bersifat multilateral adalah berupa konvensi-konvensi internasional yang bersifat multilateral juga bersifat bilateral. Pada saat ini Indonesia telah mempunyai perjanjian angkutan udara timbal balik (bilateral air

transport agreement) tidak kurang dari 67 negara yang dapat digunakan sebagai

sumber hukum internasional.

b. Hukum Kebiasaan Internasional

Dalam pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, hukum kebiasaan internasional juga merupakan salah satu sumber hukum internasional. Di dalam hukum udara internasional juga dikenal adanya hukum udara kebiasaan internasional.

c. Ajaran Hukum (Doktrin)

Ajaran Hukum (Doktrin) dalam hukum internasional dapat digunakan sebagai salah satu sumber hukum udara. Dalam common law system, atau anglo saxon System dikenal adanya ajaran hukum mengenai pemindahan resiko dari pelaku kepada korban. Menurut ajaran hukum tersebut, perusahaan penerbangan yang menyediakan transportasi umum bertanggung jawab terhadap kerugian negara yang diderita korban. Tanggung jawab tersebut berpindah dari korban (injured people) kepada pelaku

(actor).

d. Yurisprudensi

Ada beberapa yurisprudensi yang dapat dikategorikan sebagai salah satu sumber sumber hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 ayat (1). Banyak kasus sengketa yang berkenaan dengan hukum udara, terutama berkenaan dengan tanggung


(26)

jawab hukum perusahaan penerbangan terhadap penumpang dan atau pengirim barang maupun terhadap pihak ketiga.

Dari hal di atas disebutkan bahwa konvensi internasional adalah sumber daripada hukum udara internasional. Konvensi adalah kumpulan norma yang diterima secara umum. konvensi juga dapat dikatakan sebagai pertemuan sekelompok orang yang bersama-sama bertukar pikiran, pengalaman dan informasi melalui pembicaraan terbuka, saling siap untuk didengar dan mendengar serta mempelajari, mendiskusikan kemudian menyimpulkan topik-topik yang dibahas dalam pertemuan tersebut.

Adapun konvensi-konvensi internasional yang erat kaitannya dengan hukum udara antara lain :

1. Konvensi Paris Tahun1919 tentang Penerbangan Internasional 2. Konvensi Warsawa Tahun 1929 tentang Hukum Udara.

3. Konvensi Chicago Tahun 1944 tentang penerbangan sipil Internasional.

4. Konvensi Roma tahun 1952 tentang Prinsip yang berlaku di ruang Udara dan ruang angkasa.

5. Space Treaty Tahun 1967.

6. Deklarasi Bogota Tahun 1967.

7. Conventoin on Internasional Liability cause by space objects tahun 1972

Maka dari itu konvensi-konvensi ini pula yang beberapa diantaranya menjadi rujukan serta dasar hukum penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau


(27)

beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.24

Adapun yang menjadi jenis penelitian dari karya ilmiah ini adalah penelitian normatif. Penelitian normatif merupakan penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian terhadap sinkronisasi hukum.25

2. Sumber Data

Dengan tujuan untuk mengetahui dasar hukum internasional terhadap peristiwa kecelakaan Air Asia QZ8501 dan bagaimana penerapannya sesuai dengan hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang penerbangan sipil yakni dalam UU No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu metode penulisan yang menggambarkan semua data yang kemudian dianalisis dan dibandingkan berdasarkan kenyataan yang sedang berangsung dan selanjutnya mencoba untuk memberikan pemecahan masalahnya.

Sumber data yang diperoleh dalam penulisan karya tulis ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk yang telah jadi, dikumpulkan dan diolah menjadi data yang siap pakai26

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yang relevan dengan masalah penelitian, yakni berupa Undang-undang, Perjanjian Internasional seperti ; Konvensi Warsawa 1929, Konvensi Chicago 1944, Undang Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan sebagainya.

. Data sekunder dalam penulisan ini terdiri dari :

24

Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum “, JakSarta: UI Press, 2005, hal. 43

25

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,” Penelitian Hukum Normatif”, Jakarta:UI Press, 2003, hal. 15.


(28)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, thesis, disertasi, jurnal, makalah, surat kabar, majalah, artikel, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan lain-lain baik di bidang hukum maupun di luar bidang hukum yang digunakan untuk melengkapi data penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan di dalam pengumpulan data adalah library research atau studi kepustakaan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan landasan dalam menganalisis data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, langsung maupun tidak langsung (internet). Dengan demikian akan diperoleh suatu kesimpulan yang lebih terarah dari pokok bahasan. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi dokumen terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.


(29)

4. Analisis Data

Data pada skripsi ini dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah proses kegiatan yang meliputi, mencatat, mengorganisasikan, mengelompokkan dan mensintesiskan data selanjutnya memaknai setiap kategori data, mencari dan menemukan pola, hubungan – hubungan, dan memaparkan temuan–temuan dalam bentuk deskripsi naratif yang bisa dimengerti dan dipahami oleh orang lain. Analisis data kualitatif merupakan metode untuk mendapatkan data yang mendalam dan suatu data yang mengandung makna dan dilakukan pada obyek yang alamiah27

G. Sistematika Penulisan

. Metode ini menggunakan data yang terbentuk atas suatu penilaian atau ukuran secara tidak langsung dengan kata lain yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

Untuk memudahkan pemahaman dalam upaya mendapatkan jawaban atas rumusan masalah, maka pembahasan akan diuraikan secara garis besar melalui sistematika penulisan. Tujuannya agar tidak terjadi kesimpangsiuran pemikiran dalam menguraikan lebih lanjut mengenai inti permasalahan yang akan dicari jawabannya. Pada bagian ini terdapat ringkasan garis besar dari 5 (lima) bab yang terdapat dalam skripsi. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang akan mendukung keutuhan pembahasan setiap sub-bab. Sistematikanya adalah sebagai berikut:

BAB I membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Sebagai bagian awal dari penelitian ini, maka diuraikan hal-hal yang menjadi latar belakang


(30)

penelitian ini dan permasalahan serta urgensi dilakukannya penelitian dalam hal pertanggungjawaban serta pelaksanaan ganti rugi kecelakaan Air Asia QZ8501. BAB II membahas tentang sejarah dan pengertian angkutan udara, fungsi angkutan udara,

klasifikasi penerbangan, pengaturan hukum tentang angkutan udara dan penerbangan.

BAB III membahas tentang kondisi subjektif penerbangan di Indonesia, kendala yang terjadi dalam kegiatan penerbangan di Indonesia, pertanggungjawaban maskapai penerbangan atau airlines terhadap kecelakaan penerbangan, peran pemerintah dalam menanggulangi kecelakaan penerbangan internasional di wilayah jurisdiksi Negara Kepulauan Republik Indonesia.

BAB IV membahas lebih spesifik mengenai kasus kecelakaan Air Asia QZ8501, upaya yang dilakukan terkait pelaksanaan ganti rugi dalam kasus kecelakaan Air Asia QZ8501, kendala yang terjadi dalam pelaksanaan ganti rugi korban kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501 serta tahapan dan besaran ganti rugi terhadap korban kecelakaan penerbangan Air Asia QZ8501 menurut konvensi internasional.

BAB V membahas tentang penutup dari penelitian ini yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Sebagai bagian akhir dari skripsi, maka dalam bab ini dirangkum intisari, serta memberikan saran mengenai tanggung jawab penerbangan dan pelaksanaan ganti rugi terhadap kecelakaan Air Asia QZ8501 sesuai dengan konvensi internasional yang mungkin dapat bermanfaat dan dapat diaplikasikan.


(31)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG ANGKUTAN UDARA PADA PENERBANGAN INTERNASIONAL

A. Sejarah dan Pengertian Angkutan Udara

Pesawat terbang yang lebih berat dari udara diterbangkan pertama kali oleh Wright Bersaudara (Orville Wright dan Wilbur Wright) dengan menggunakan pesawat rancangan sendiri yang dinamakan Flyer yang diluncurkan pada tahun 1903 di Amerika Serikat. Pesawat tersebut mengudara setinggi 36 meter selama 12 detik. Pada tahun yang sama Wright bersaudara menciptakan pesawat udara dengan 12 mesin tenaga kuda buatan sendiri, sayapnya membentang selebar 12 meter, terbuat dari kayu dan dilapisi kain katun, pilot pesawat tersebut berbaring di bawah sayap dan selanjutnya Wright bersaudara berhasil membuat pesawat yang dapat terbang lebih dari satu setengah jam pada 1908. Sedangkan untuk pesawat yang lebih ringan dari udara sudah terbang jauh sebelumnya.

Kelahiran moda transportasi udara baru lahir sejak permulaan abad ke-17. Pada saat itu Francisco de Lana dan Galier mencoba mengembangkan model pesawat udara yang dapat terbang di atmosfer kemudian diikuti oleh Peter de Gusman di Lisabon yang berhasil terbang di ruang udara dengan menggunakan udara yang dipanaskan.28

28

Priyatna Abdulrassyid, “Kedaulatan Negara di Ruang Udara”, Pusat Penelitian Hukum Angkasa ; Jakarta, 1972.

Sedangkan Black berhasil terbang dengan balon yang diisi dengan zat air pada 1767 yang diikuti oleh Cavallo pada 1782. Black terbang juga dengan balon yang diisi dengan gas. Percobaan penerbangan tersebut dilanjutkan oleh Montgolfier bersaudara di Prancis dengan balon yang diisi dengan udara panas. Setelah berhasil percobaan-percobaan tersebut, akhirnya Blanchard bersama Jaffies berhasil terbang melintasi selat Callais dengan menggunakan balon bebas pada 1785


(32)

yang pernah digunakan untuk perang Franco-Prusia tahun 1870-1871 untuk mengungsikan pejabat negaranya.

Sebenarnya jauh sebelum perang Franco-Prusia pada 1852 Giffrad telah berhasil terbang dengan balon yang diberi mesin uap. Kemudian pada tahun 1884 Renard bersama Krebbs juga berhasil menciptakan sebuah balon dengan baling-baling bermesin listrik yang digerakkan dengan tenaga baterai , dan terakhir Von Zeppelin pada 1889 berhasil membuat balon bebas bermotor yang dapat dikemudikan dan berhasil terbang melintasi Danau Constance di Swiss pada 1900. Tahun berikutnya Santos-Dumont berhasil terbang disekitar kota Paris. Sejak Francisco de Lana pada 1870 sempai dengan 1889 , Von Zeppelin terbang dengan pesawat udara yang dikembangkan lebih ringan daripada udara, sedangkan sejak akhir abad ke-19 Santos-Dumont mulai mengembangkan teknik pembuatan pesawat udara yang lebih berat daripada udara. Walupun sebenarnya pemikiran demikian telah diimpikan pada abad ke-15. Pada awal abad ke-15 Sir George Cayley juga menciptakan model pesawat udara seperti pesawat terbang layang.29

Kemudian teknologi pesawat semakin berkembang dengan lahirnya pesawat komersial yang dapat menampung penumpang lebih banyak lagi dalam sekali jalan. Alat transportasi udara masa lalu berkembang menjadi pesawat komersil yang mempunyai baling-baling lebih banyak dan membuat pesawat jenis ini dapat bergerak lebih kencang. Selanjutnya adalah

Penerbangan balon udara dikembangkan lebih lanjut sehingga tercipta pesawat udara yang lebih berat daripada udara, seperti halnya yang dilakukan oleh Wright bersaudara di Kitty Hawk Amerika Serikat. Sejak penerbangan Wright bersaudara pada tahun 1903 tersebut, telah terbukti bahwa penerbangan dapat dilakukan dengan pesawat udara yang lebih ringan daripada udara maupun lebih berat daripada udara. Penerbangan tersebut hanya dapat dilakukan pada ruang udara yang terdapat gas-gas udara.

29

H.K. Martono dan Amad Sudiro , Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public International and National Air Law), Rajawali Pers ; Jakarta, 2012. Hal. 10


(33)

teknologi pesawat jet dimana pesawat jenis ini menggunakan turbin untuk membuat mereka dapat melaju lebih cepat lagi dan biasanya pesawat jenis ini digunakan oleh pihak militer untuk perang maupun membawa bom yang dapat melawan musuh dengan seketika.

Seperti halnya perkembangan pesawat, perkembangan pesawat penumpang sipil juga diwarnai perkembangan balon udara panas dan zeppelin. Zeppelin boleh disebut pesawat penumpang sejati karena mampu mengangkut penumpang dan dapat dikendalikan selayaknya pesawat terbang. Ia pertama kali digunakan sebagai pesawat penumpang pada 1909 oleh maskapai penerbangan pertama, Deutsche Luftschiffahrts-AG (DELAG,Jerman). Pada masa keemasannya, diselenggarakan penerbangan transatlantik meskipun diperlukan waktu penerbangan beberapa hari. Hindenburg, salah satu pesawat Zeppelin, dilengkapi dengan kabin kamar, ruang cafetaria yang dilengkapi dengan piano, dan sarana-sarana lain yang menunjang kenyamanan penumpang meskipun tarif yang dikenakan sangat mahal. Kecelakaan Hindenburg pada tahun 1937 dianggap sebagai era berakhirnya pesawat terbang Zeppelin.

Pada masa Wright bersaudara, pesawat dirancang hanya untuk mengangkut satu orang penumpang. Kemudian diusahakan agar pesawat dapat mengangkut seorang atau lebih penumpang dan barang-barang pos, meskipun pada masa itu, pesawat terbang masih berupa wahana eksperimental.

Pasca Perang Dunia I justru malah membuat era penerbangan sipil tumbuh dan berkembang pesat. Larangan terhadap Jerman untuk mengembangkan industri pesawat militernya rupanya tidak diikuti pembatasan terhadap penerbangan sipil, sehingga dalam waktu singkat muncullah pesawat - pesawat sipil yang diproduksi, misalnya tipe Junker, serta berdirinya perusahaan penerbangan Lufthansa, yang diikuti dengan perusahaan penerbangan lain yakni KLM (yang tertua di dunia) dan lain-lain dari berbagai negara di Eropa maupun Amerika. Berbagai inovasi dilakukan pada pesawat sipil untuk kenyamanan penumpang,


(34)

antara lain televisi dan radio (meskipun suaranya terganggu oleh bunyi mesin pesawat), interior yang mewah, serta fasilitas dapur dan toilet udara. Diadakannya penerbangan perintis jarak jauh mewarnai era ini seperti penerbangan dari Amsterdam-Batavia, London-Sydney, dan penerbangan keliling dunia lainnya.

Sesudah Perang Dunia II, penerbangan sipil mulai bangkit lagi. Maskapai baru didirikan di berbagai belahan dunia dengan bermodalkan pesawat pesawat angkut militer yang tidak terpakai lagi dan inovasi terbaru berupa mesin jet, yang muncul terlebih dahulu dibandingkan mesin turboprop, serta mulai adanya pesawat penumpang sipil berukuran besar yang dioperasikan di berbagai negara. Tercatat pesawat jet tipe Comet sebagai pesawat jet sipil pertama yang dioperasikan. Namun, kecelakaan yang terjadi akibat kelelahan logam, yang saat itu masih sukar diidentifikasi, membuat perkembangan pesawat jet agak terhambat. Pesawat Comet sendiri akhirnya dibuat dalam versi militer sebagai pesawat intai dengan nama Nimrod. Namun, temuan-temuan baru serta penyempurnaanya membuat tetap digunakannya pesawat jet dalam penerbangan sipil pada masa masa kemudian. Dibuatnya pesawat tipe Lockheed, Convair, Hawker Sidley mewarnai tipe pesawat pada masa itu.

Kemudian, muncullah ide membuat pesawat terbang berukuran jumbo jet yang mampu melintasi berbagai negara. Pesawat jet pertama yang mengangkasa adalah de Havilland Comet. Pabrik pesawat Amerika Serikat, Boeing, juga membuat pesawat jet. Pesawat jet pertama yang dibuat adalah Boeing 707. Pabrik ini lalu membuat Boeing 747, yang merupakan pesawat jumbo jet terbesar kedua yang beroperasi secara komersial sekarang, setelah Airbus A380. Dengan adanya pesawat berukuran jumbo, biaya tiket dapat dipangkas arena pesawat mampu mengangkut 300 lebih penumpang ke tujuan dalam satu kali pemberangkatan. Diyakini bahwa adanya arus mobilitas yang tinggi dan parawisata juga merupakan bibit runtuhnya komunisme. Tercatat PAN-AM sebagai maskapai pertama yang mengoperasikan pesawat tipe ini pada dekade 70-an, yang kemudian bangkrut satu dasawarsa


(35)

kemudian. Singapore Airlines adalah maskapai penerbangan pertama yang mengoperasikan A380 pada tahun 2008. Selain Boeing 747, muncul pula DC 10 dari Douglas Company, yang akhirnya dilebur menjadi McDonnel Douglas dan akhirnya diakuisisi Boeing pada tahun 1998. Lockheed L 1011 Tristar serta Airbus A 300 dikeluarkan Konsorsium Eropa Airbus Industry. Penyempurnaan-penyempurnaan pada masa ini melahirkan konsep FFCC (Forward Facing Crew Cocpit)30 yang dirintis Airbus dengan Garuda Indonesia sebagai operator pertama yang disempurnakan menjadi glass cockpit pada era menjelang abad ke-21, ketika semuanya menjadi serbamudah dan otomatis untuk menerbangkan pesawat sebesar apa pun. Muncullah Superjumbo A 380, yang juga mewarnai perkembangan pesawat penumpang pada masa ini.31

Dalam perkembangannya pesawat udara yang lebih ringan daripada udara maupun pesawat udara yang lebih berat daripada udara dapat digunakan untuk berbagai keperluan militer bahkan dapat digunakan sebagai mata-mata, sehingga menarik perhatian para ahli hukum udara internasional untuk meletakkan dasar hukum internasional. Pada saat itu, tahun 1900 praktis belum ada dasar hukum yang mengatur penerbangan dengan jelas, karena itu untuk pertama kalinya Prof. Ernest Nys dari Universitas Brussel berpendapat bahwa penerbangan tersebut perlu diatur dalam hukum udara yang merupakan cabang daripada ilmu hukum. Hal itu diatur dalam laporan kepada Institute of International Law pada tahun 1902. Prof. Ernest Nys berpendapat yang menjadi masalah bukanlah status udaranya melainkan menyangkut masalah penggunaan ruang udara (space) dimana terdapat udara. Ruangan tersebut adalah ruangan dimana terdapat udara yang dapat merupakan tenaga dorong pesawat

30

FFCC ( Forward Facing Crew Cocpit) merupakan Konsep penerbangan dengan dua awak pesawat, ditemukan oleh Wiweko Soepono pria kelahiran Blitar, Jawa Timur pada 18 Januari 1923 dan meninggal di Jakarta, 8 September 2000 pada umur 77 tahun ini dulunya adalah direktur utama Garuda Indonesia pada periode 1968-1984. Pesawat pertama kokpit dua awak (crew) di dunia adalah Airbus A300-B4 FFCC (Forward Facing Crew Cockpit), beliau juga dikenal sebagai penemu pesawat komersil two-man cockpit yang diterapkan pabrik

Airbus Industrie.


(36)

udara sehingga dapat terbang. Adanya udara tempat penerbangan berlangsung tersebut membatasi lingkup berlakunya hukum udara. 32

Pengertian pesawat udara memang sukar digolongkan namun ada beberapa konvensi yang mengatur beberapa pengertian “pesawat udara” seperti halnya yang diatur dalam lampiran (Annexes) 6, 7 dan 8 Konvensi Chicago mengatakan bahwa pesawat udara itu adalah ....”any machine that can derive support in the atmosphere from the reaction of the

air”

Perkembangan dalam bidang penerbangan tidak berhenti sampai disitu saja. seperti sudah disinggung sepintas lalu di atas, berbagai temuan mengenai alat-alat yang dapat terbang di udara setelah Perang Dunia II yang ditemukan oleh bangsa besar seperti Amerika dan Uni Soviet, mendorong kita berpikir lebih lanjut tentang bagaimana defenisi daripada alat-alat penerbangan demikian dan sejauh mana batasannya.

33

32

Ibid, H. K Martono dan Amad Sudiro, Hal. 10.

33 Frans Likadja “Masalah Lintas di Ruang Udara ; Bina Cipta. Hal.52

Jadi, karena reaksi udaralah maka pesawat itu mendapat daya angkat sehingga dapat berada di udara. Melihat kesanggupan pesawat udara mencapai jarak ketinggian tertentu , dapat dikatakan secara nyata negara dapat mengatur hak sampai ketinggian tertentu, oleh karena pada prinsipnya memang negara mempunyai kedaulatan terhadap ruang udara yang berada di atas wilayahnya.

Yang menjadi persoalan sekarang ialah pesawat ruang angkasa yang mempunyai daya angkat tidak bergantung pada adanya reaksi udara, akan tetapi mempunyai daya sendiri yakni daya tolak, seperti roket dan sebagainya. Akan tetapi lepas dari apakah pesawat udara mempunyai daya angkat atau daya tolak, yang sudah dapat ditentukan ialah seperti pada jenis pesawat tersebut diatas yang dapat digolongkan kedalam pengertian pesawat udara ialah pesawat yang mendapat daya angkat dari reaksi udara.


(37)

Masalah kedaulatan negara di ruang udara yang berada di atas wilayahnya sejauh ini rumusan daripada Konvensi Paris dan Konvensi Chicago tentang hal ini sangatlah samar akan tetapi bila kita membaca pasal 3 Konvensi Chicago di katakan bahwa this convention shall

applicable only the civil aircraft. Secara eksplisit dikatakan bahwa konvensi ini hanya

berlaku terhadap pesawat udara sipil. Dengan menghilangkan istilah sipil tetap akan kita peroleh suatu penegasan bahwa konvensi ini hanya berlaku terhadap pesawat udara, tentunya dalam pengertian yang diterangkan di atas tadi. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Annex 7 Konvensi Chicago 1944 yang dimodifikasi Tahun 1967 harus dilengkapi dengan dengan batasan yang diterima dalam Konvensi Jenewa 1948 pasal XVI :

. . . aircraft shall include the airframe, engines, propellers, radio aparatus, and all others articles intended for use in the aircraft wheter installed therein or temporarily separated therefrom . . .

Makna dari ketentuan Annex di atas adalah yang dimaksud dengan pesawat termasuk badan pesawat, mesin, baling – baling, perangkat radio dan perangkat lainnya yang digunakan dalam pesawat atau yang secara sementara terpisah dari sana.

Dengan pasal di atas Negara-Negara pembuat Konvensi Jenewa 1948 bermaksud untuk, sesuai dengan tujuan konvensi tersebut, membatasi pengertian pesawat udara pada pesawat udara yang digunakan untuk angkutan udara sipil atau Civiele Luchtverkeer.

Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Defenisi pesawat terbang terbagi kembali dari umum ke khusus seperti halnya yang tercantum dalam ketentuan umum yang menyebutkan “Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.”

Hal ini pula yang memperjelas defenisi daripada pesawat udara sebagai objek daripada hukum udara itu sendiri agar jelas sejauh mana batasan mengenai pesawat udara dan sejauh


(38)

mana defenisi daripada pesawat udara sipil seperti halnya yang akan dibahas lebih lanjut dalam penilitian ini sebagaimana yang kita ketahui maskapai Air Asia merupakan maskapai penerbangan sipil yang terdaftar di Indonesia.

B. Fungsi Angkutan Udara

Seperti fungsi transportasi lainnya (darat dan laut), angkutan atau transportasi udara mempunyai fungsi sebagai unsur penunjang dan pendorong34

1. Unsur Penunjang

;

Sebagai unsur penunjang dimaksudkan untuk meningkatkan pengembangan berbagai kegiatan pada sektor-sektor lain di luar sektor transportasi, meliputi sektor pertanian, perdagangan, industri, pendidikan, kesehatan, kepariwisataan, transmigrasi dan lainnya, dimana diantaranya sektor-sektor berikut :

• Perdagangan

mengangkut penumpang khususnya pelaku ekonomi dan pebisnis untuk berbisnis. • Industri

mengangkut berbagai macam barang hasil industri manufaktur (misalnya tekstil, barang elektronia dan lainnya) untuk didistribusikan guna memenuhi kebutuhan masyarakat di berbagai daerah.

• Pendidikan

mengangkut barang-barang untuk pendidikan (seperti buku dan sarana pendidikan lainnya).

• Kesehatan

mengangkut barang-barang kesehatan (seperti obat-obatan dan sarana kesehatan lainnya).

34


(39)

• Kepariwisataan

mengangkut para wisatawan dalam dan luar negri yang akan mengunjungi objek-objek wisata yang tersebar lokasinya di berbagai daerah

• Transmigrasi

mengangkut para transmigran. • Pertanian

Mengangkut bahan-bahan pertanian

2. Unsur Pendorong

Fungsi transportasi udara sebagai unsur pendorong dimaksudkan untuk membantu membuka daerah terisolasi, terpencil, tertinggal dan perbatasan yang tersebar di berbagai wilayah, menggunakan pesawat udara menuju ke bandar udara yang terletak tidak jauh dari daerah-daerah tersebut.

• Daerah terisolasi adalah daerah yang belum dijangkau oleh jasa pelayanan transportasi, dengan demikian daerah tersebut tidak mempunyai akses hubungan ke dan dari daerah lain

• Daerah terpencil adalah daerah yang terletak jauh dari pusat kegiatan, karena terletak jauh maka daerah ini tidak dilirik oleh pelaku ekonomi untuk melaksanakan berbagai kegiatan ekonomi karena tidak efektif dan tidak efisien.

• Daerah tertinggal adalah daerah yang memiliki tingkat kesejahteraan masyarakatnya sangat rendah dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat rata-rata. Tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dari indikator pendapatan per kapita. Rendahnya pendapatan per kapita menyebabkan kemampuan melaksanakan kegiatan ekonomi dan pembangunan sangat lamban.


(40)

• Daerah perbatasan adalah daerah yang terletak pada lokasi yang terluar atau terdepan berbatasan dengan negara tetangga (negara lain). Sebagian besar pulau-pulau terluar masih terisolasi dan pembangunan disana sangat terbatas.

Contoh : Kepulauan Natuna yang berbatasan dengan Myanmar, Pulau Mianggas dan pulau Matrore diujung utara sulawesi utara berbatasan dengan Filipina.

C. Klasifikasi Penerbangan

Setelah Konvensi Chicago, perkembangan masalah lalu-lintas penerbangan makin mendapat perhatian yang cukup besar. Hal ini disebabkan adanya beberapa pendapat baru mengenai beberapa alat penerbangan yang mempunyai kesanggupan terbang tinggi melebihi kemampuan terdahulu. Hal ini tidak dapat disangkal para ahli, berbagai pengalaman masa lampau, senantiasa mencari cara teknologi, bagaimana dapat mempertinggi ceiling (langit-langit) dan kecepatan pesawat udara. Oleh karena itu dalam pertemuan anggota ICAO (International Civil Aviation Organization) untuk merumuskan dan mengadakan pembagian wilayah /daerah yanng menjadi tanggung jawabnya, dengan sengaja membedakan antara FIR

(Flight Information Region) dan UIR (Upper Flight Information Region), maksudnya ialah

dalam pembagian daerah tanggung jawab itu, dirasa perlu menentukan bahwa FIR memberikan pelayanan terhadap pesawat udara dengan daya terbang sampai jarak ketinggian 20.000 kaki, sedangkan UIR untuk penerbangan di atas jarak ketinggian 20.000 kaki ke atas. Dengan menentukan hal terakhir maka para ahli sudah dapat meramalkan terlebih dahulu bahwa diwaktu mendatang, akan ada penerbangan yang berada di atas jarak ketinggian 20.000 kaki sampai pada batas yang belum ditentukan. Pesawat udara tipe U-2 kepunyaan Amerika Serikat mempunyai kesanggupan terbang tinggi, hal mana telah menimbulkan persolan penting sehubungan dengan kedaulatan negara di ruang udara.


(41)

Saling tuduh-menuduh terjadi antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet tentang adanya pelanggaran kedaultan sekitar tahun1955 dan tahun 1960.

Peluncuran sputnik oleh Uni Soviet dalam tahun 1957 telah pula menggemparkan dunia, hal ini menunjukkan bahwa daya/kesanggupan terbang alat-alat penerbangan makin lama makin dapat mencapai suatu jarak ketinggian yang tidak terpikirkan sebelumnya. Jadi, walaupun dalam penetapan UIR dikatakan bahwa daerah tanggung jawab tersebut ialah pada jarak ketinggian 20.000 kaki sampai pada batas yang tidak ditentukan, mungkin belum sampai dipikirkan bahwa pada suatu waktu betul-betul akan ada penerbangan yang mempunyai kesanggupan terbang sampai mencapai suatu jarak ketinggian yang luar biasa.

Dengan perkembangan ini maka persoalan lain yang timbul sehubungan dengan masalah lalu-lintas ruang udara ini ialah tentang klasifikasi pesawat udara yang dimaksudkan baik dalam Konvensi Paris 1919 maupun Konvensi Chicago 1944.

Klasifikasi pesawat udara diatur dalam Bab VII tercantum dalam pasal 30, 31,32 dan 33 Konvensi Paris 1919, masing-masing mengatur jenis pesawat udara, pesawat udara militer. Menurut pasal 30 Konvensi Paris 1919 pesawat udara terdiri dari tiga jenis pesawat udara, masing – masing pesawat udara militer yang sepenuhnya digunakan dinas pemerintahan, seperti bea cukai, polisi dan pesawat udara lainnya. Semua pesawat udara selain pesawat udara militer, dinas pemerintahan, bea cukai dan polisi termasuk pesawat udara sipil.35

a. Military aircraft.

Usaha para ahli dalam mengadakan klasifikasi pesawat udara seperti yang dapat dilihat pada pasal 30 Konvensi Paris 1919 mengatakan demikian :

“The following shall be deemed to be state aircraft.

b. Aircraft exclusively employed in State service , such as post, Custom, Police. Every other aircraft shall be deemed to be private aircraft.

35


(42)

All State Aircraft other than military, custom, and police aircraft shall be treated as private aircraft and such as shall be subject to all the provisions of the present convention.”

Yang dimaksud dengan ketentuan yang tertera di atas adalah merujuk kepada ketentuan mengenai pesawat udara negara yang di dalamnnya termasuk :

a. Pesawat udara militer

b. Pesawat yang secara khusus dipergunakan untuk keperluan negara seperti kegiatan pos, kebiasaan negara dan pelayanan kepolisian.

Diluar daripada ketentuan di atas maka disebut sebagai pesawat udara pribadi, segalanya akan diperlakukan sebagai pesawat pribadi dan dikatakan sebagai subjek dari semua ketentuan yang ada dalam konvensi.

Dalam Konvensi Chicago terdapat pula pasal yang mengadakan klasifikasi pesawat udara. Pasal 3 Konvensi Chicago yang berbunyi :

“Civil and state aircraft.

a. This convention shall be applicable only to civil aircraft, and shall not be applicable to state aircraft.

b. Aircraft used ini military, custom and police service shall be deemed to be state aircraft.

c. No state aircraft of a contracting state shall fly over the territory of another state land or land thereon without authorization by special agreement of otherwise, and in accordance with the terms of thereof.

d. The contracting state undertake, when issuing regulations of their state aircraft, that they will have due regard for the safety of navigation of civil aircraft.

Yang dimaksud dengan klasifikasi pesawat udara sebagaimana yang disebutkan diatas antara lain membedakan yang mana pesawat udara sipil dam pesawat udara negara yaitu :


(43)

a. Konvensi ini hanya berlaku kepada pesawat udara sipil, dan tidak berlaku untuk pesawat udara negara

b. Pesawat udara yang digunakan untuk keperluan militer, keperluan negara dan pelayanan polisi dianggap sebagai pesawat udara negara

c. Tidak ada pesawat udara yang oleh persetujuan negara dapat terbang melampaui wilayah negara lain atau wilayah lain tanpa ada perjanjian khusus atau sebaliknya dan sesuai dengan ketentuan yang dimaksud.

d. Persetujuan negara kolong didapat ketika ada penerbitan mengenai regulasi pesawat negara dikarenakan mereka mendapat penghargaan untuk keamanan navigasi penerbangan sipil.

Lepas dari kekurangan klasifikasi pesawat udara tersebut36

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang penerbangan, masalah aspek ekonomi angkutan udara diatur secara komprehensif. Hal ini dapat diamati dalam pasal 53 sampai pasal 138. Dalam pasal –pasal tersebut diatur angkutan udara niaga, pelayanan angkutan udara niaga berjadwal , angkutan udara bukan niaga , angkutan perintis, perizinan angkutan udara niaga, perizinan angkutan udara bukan niaga, kewajiban pemegang izin angkutan

, yang penting dalam membahas masalah lintas-lintas wilayah udara ini adalah tanggung jawab masing-masing negara terhadap setiap penerbangan yang terjadi dalam daerah tanggung jawabnya baik FIR dan UIR yang kesemuanya ditunjuk kepada keselamatan pesawat itu sendiri. Suatu hal yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa Konvensi Chicago secara ekplisit mengatakan bahwa konvensi ini hanya berlaku bagi pesawat udara sipil dan tidak berlaku bagi pesawat udara negara (state aircraft). Klasifikasi tersebut tidak hanya terdapat dalam Konvensi Chicago akan tetapi juga dalam undang-undang penerbangan nasional berbagai negara.

36


(44)

udara, jejaring dan rute penerbangan , tarif, kegiatan usaha penunjang angkutan udara sebagai berikut.

Kegiatan angkutan udara niaga dapat dilakukan secara berjadwal dalam rute penerbangan yang dilakukan secara tetap dan teratur, dan/atau pelayanan angkutan udara niaga yang tidak terikat pada rute dan jadwal penerbangan yang tetap dan teratur oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional dan/atau asing untuk mengangkut penumpang dan kargo atau khusus mengangkut kargo.37 Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga. 38

1. Angkutan Udara Dalam Negeri

Adapun klasifikasi angkutan udara yang lebih lanjut diatur dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang penerbangan lebih jelas dapat dilihat sebagai berikut :

Angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga berjadwal. Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal tersebut dalam hal adanya kebutuhan kapasitas angkutan udara pada rute tertentu yang tidak dapat dipenuhi oelh kapasitas angkutan udara niaga berjadwal yang dilaksanakan dengan ketentuan angkutan udara niaga tidak berjadwal, antara lain paket wisata, MICE (Meeting,

Insentive Travel,Convention and Exhibition), angkutan haji bantuan bencana alam,

kegiatan kemanusiaan dan kegiatan yang bersifat nasional dan internasional dan persetujuan yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama enam bulan dan dapat diperpanjang untuk satu kali pada rute yang sama, dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal setelah mendapat persetujuan dari menteri perhubungan. Kegiatan angkutan udara tidak berjadwal yang bersifat sementara tersebut dapat dilakukan atas inisiatif instansi pemerintah dan/atau atas

37

Pasal 83 UURI No.1 Tahun 2009


(45)

permintaan badan usaha angkutan udara niaga nasional. Kegiatan angkutan udara tidak berjadwal yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal tersebut tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang tidak menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha angkutan udara berjadwal lainnya.39

2. Angkutan Udara Luar Negeri

Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal luar negeri dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dan/atau perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing untuk mengangkut penumpang dan kargo berdasarkan perjanjian angkutan udara yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu negara asing yang menjadi mitra perikatan (contracting party) atau perjanjian angkutan udara yang bersifat khusus atau umum yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan beberapa negara asing yang menjadi mitra perikatan dan anggota dalam perjanjian ini bersifat tetap. Dalam hal angkutan niaga berjadwal luar negeri tetap harus diatur dengan perjanjian bilateral. Perjanjian bilateral atau multilateral tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangankan kepentingan kedaulatan negara, keutuhan wilayah nasional, kepentingan ekonomi nasional dan kelangsungan badan usaha angkutan udara nasional.berdasarkan prinsip keadilan (fairness) dan timbal balik (reciprocity). Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional untuk mengangkut penumpang dan kargo tersebut harus merupakan badan usaha angkutan udara niaga yang ditunjuk oleh pemerintah Republik Indonesia dan mendapat persetujuan dari negara asing yang bersangkutan. Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing tersebut merupakan perusahaan angkutan udara niaga yang telah


(46)

ditunjuk oleh negara yang bersangkutan dan mendapat persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.40

Dalam hal ini indonesia melakukan perjanjian yang dilakukan antara satu negara dan organisasi komunitas negara atau antar organisasi komunitas negara, yang keanggotaannya bersifat terbuka.mengenai angkutan udara dengan suatu organisasi komunitas negara asing, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral dengan masing-masing negara anggota komunitas tersebut. Dalam hal Indonesia sebagai anggota dari suatu organisasi komunitas negara yang melakukan perjanjian plurilateral mengenai angkutan udara dengan suatu organisasi komunitas negara lain, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan ketentuan yang disepakati dalam perjanjain tersebut. Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dapat melakukan kerjasama angkutan udara dengan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional lainnya untuk melayani angkutan dalam negeri dan atau luar negeri. Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dapat melakukan kerjasama dengan perusahaan angkutan udara asing untuk melayani angkutan udara luar negeri.

41

Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing khusus mengangkut kargo dapat menurunkan dan menaikkan kargo di wilayah Indonesia berdasarkan perjanjian bilateral dan multilateral dan pelaksanaannya melalui mekanisme yang mengikat para pihak. Perjanjian bilteral dan multilateral tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan dan timbal balik. Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing khusus mengangkut kargo tersebut harus merupakan perusahaan

40

Pasal 86 UURI No.1 tahun 2009


(47)

angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh negara yang bersangkutan dan mendapat persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.42

Pembukaan pasar angkutan udara dengan memberikan peluang/ kesempatan kepada perusahaan angkutan udara asing untuk melayani penerbangan dari wilayah Republik Indonesia dengan pembatasan hak angkut udara, menuju ruang udara pelaksanaanhaka angkut udara tidak membatasi, antara lain, tempat tujuan, frekuensi penerbangan, kapasitas angkut, penerapan tarif, dan kebebasan di udara (freedom of

the air) dari dan ke Indonesia untuk angkutan udara niaga asing dilaksanakan antara

lain, sesuai dengan kesiapan daya saing perusahaan angkutan udara nasional berdasarkan perjanjian bilateral dan multilateral dan pelaksanaannya melalui mekanisme yang mengikat para pihak. Perjanjian bilateral dan multilateral tersebut dibuat sesuai denga ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan dan timbal balik. 43

3. Angkutan Udara Tidak Berjadwal

Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri hanya dapat dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal. Angkutan udara tidak berjadwal dalam negeri tersebut dilaksanakan berdasarkan persetujuan terbang (flight approval). Badan usaha tersebut dalam keadaan tidak terpenuhi atau tidak terlayaninya permintaan jasa angkutan udara oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal pada rute tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal setelah mendapat persetujuan dari Menteri perhubungan. Kegiatan angkutan udara niaga bersifat berjadwal yang bersifat sementara tersebut dapat dilakukan atas inisiatif

42

Pasal 88 UURI No.1 tahun 2009


(48)

instansi pemerintah, pemerintah daerah dan atau badan usaha angkutan udara niaga nasional. Kegiatan angkutan udara berjadwal tersebut tidak menyebabkan terganggungnya pelayanan angkutan udara pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha udara niaga berjadwal lainnya.44

Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal dapat berupa rombongan tertentu yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama bukan untuk tujuan wisata (affinity

group) ; kolompok penumpang yang membeli seluruh atau kapasitas pesawat udara

untuk melakukan paket perjalanan termasuk pengaturan akomodasi dan transportasi lokal (inclusive tour charter) antara lain untuk keperluan haji, umroh, paket wisata, dan MICE ; seorang yang membeli seluruh kapasitas pesawat udara untuk kepentingan sendiri (own use charter); taksi udara (air taxi) ; atau kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal lainnya antara lain dalam satu pesawat terdiri dari berbagai kelompok dan dengan tujuan yang berbeda-beda (split charter), untuk orang sakit, kegiatan kemanusiaan, dan kegiatan terjun payung.

45

Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional wajib mendapat persetujuan terbang dari Menteri Perhubungan. Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan udara niaga asingwajib mendapat persetujuan terbang dari menteri setelah mendapat persetujuan terbang dari menteri yang membidanig urusan luar negeri berupa diplomatic clearance dan meneteri yang membidangi urusan pertahanan berupa security clearance.

46

Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut penumpang dari wilayah Indonesia, kecuali penumpangnya sendiri yang diturunkan pada penerbangan sebelumnya (in-bound

44 Pasal 91 UURI No.1 tahun 2009

45

Pasal 92 UURI No.1 tahun 2009


(49)

traffic). Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asingyang melanggar

ketentuan mengangkut penumpang dari wilayah Indonesia dikenakan sanksi berupa denda administratif tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penerimaan negara bukan pajak.47

Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus mengangkut kargo yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut dari wilayah Indonesia, kecuali dengan izin Menteri Perhubungan. Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkutan kargo dari wilayah Indonesia, dikenakan sanksi berupa administratif. Besaran denda administratif karena mengangkut kargo dari wilayah Indonesia tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penerimaan negara bukan pajak. Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga, kerja sama angkutan udara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan48

4. Angkutan Udara Bukan Niaga .

Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga keagamaan, lembaga sosial, dan perkumpulan olah raga, orang perseorangan dan/atau badan usaha Indonesia lainnya. Kegiatan angkutan udara bukan niaga berupa angkutan udara untuk kegiatan keudaraan (aerial work), misalnya kegiatan penyemprotan pertanian, pemadam kebakaran, hujan buatan, pemotretan udara, survei dan pemetaan, pencarian pertolongan , kalibrasi, serta patroli ; angkutan udara untuk kegiatan pendidikan dan /atau pelatihan personel pesawat udara atau angkutan udara bukan niaga lainnya yang kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan udara niaga.49

47 Pasal 94 UURI No.1 tahun 2009

48

Pasal 95 UURI No.1 tahun 2009

49

Pasal 101 UURI No.1 tahun 2009


(50)

Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga dilarang melakukan kegiatan angkutan udara niaga, kecuali atas izin Menteri Perhubungan. Izin menteri perhubungan tersebut dapat diberikan kepada pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga untuk melakukan kegiatan angkutan penumpang dan barang pada daerah atau wilayah yang tidak dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga, dengan memenuhi antara lain, asuransi, menerbitkan tiket, melaporkan atau menyerahkan manifes kepada penyelengara bandara udara, dan persetujuan yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama enam bulan dan hanya dpat diperpanjang untuk satu kali pada rute yang sama. Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tanpa izin Menteri Perhubungan tersebut dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin; dan /atau pencabutan izin.50 Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan udara bukan niaga, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan.51

5. Angkutan Udara Perintis

Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional berdasarkan kesepakatan antara pemerintah dan badan usaha angkutan udara nasional setelah dilakukannya proses pelelangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan pemerintah. Dalam penyelenggaraan angkutan udara perintis tersebut pemerintah wajib menjamin ketersediaan laham, prasarana angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan, seta kompensasi antara lain, memberikan subsidi tambahan. Angkutan udara perintis dilaksanakan secara terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah. Angkutan udara perintis

50

Pasal 102 UURI No.1 tahun 2009


(1)

bertanggung jawab, tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu kesalahan daripada perusahaan penerbangan, tetapi tanggung jawab perusahaan penerbangan terbatas. Batas tanggung jawab atau ganti rugi tersebut tercantum dalam pasal 22 Konvensi Warsawa 1929. Menurut pasal tersebut, tanggung jawab perusahaan penerbangan ( PT. Indonesia Air Asia) bertanggung jawab sebesar 125,000 gold francs (seratus dua puluh lima ribu gold francs) atau setara dengan US$ 10.000 (sepuluh ribu dollar Amerika Serikat) untuk penumpang yang meninggal dunia. Maka dari itu jika dikonversi ke rupiah senilai berkisar Rp.130 juta per pumpang ( Rp. 13,297.41 per dollar). Sedangkan ganti kerugian untuk bagasi tercatat sebesar 250 gold francs (dua ratus lima puluh gold francs) dan untuk bagasi tangan sebesar 5,000 gold francs. Namun jika dilihat dari pihak – pihak yang terlibat dalam kecelakaan Air Asia QZ8501 maka dapat diberlakukan pula Konvensi Montreal 1999 maka ganti rugi yang diberikan kepada penumpang korban kecelakaan mencapai Rp.1. 770. 000. 000 (satu milyar tujuh ratus tujuh puluh tujuh juta rupiah) dengan tahap – tahap yang dilakukan dalam proses ganti – rugi jika mengacu pada Konvensi Montreal 1999. Walaupun Indonesia yang dalam kasus ini menjadi negara keberangkatan belum meratifikasi Konvensi Montreal 1999 akan tetapi konvensi ini dapat dijadikan alas gugat bagi penumpang yang berasal dari negara anggota Konvensi Montreal 1999 yang menjadi korban dalam kasus kecelakaan Air Asia QZ8501.

B. SARAN

1. Kecelakaan Air Asia ini menambah daftar musibah penerbangan komersial 10 tahun terakhir yang diperkirakan memakan korban mencapai 851 orang. Hal ini merupakan sebuah catatan hitam dalam proses evolusi manusia dalam memobilisasi kehidupan agar lebih mudah. Adanya praktik yang tidak sesuai dengan standar operasional prosedur


(2)

menggambarkan masih kurangnya kesadaran daripada keselamatan penerbangan, seperti yang diungkapkan oleh Patrick Hudson dari Centre for Safety Science, Leiden University mengungkapkan tentang evolusi budaya keselamatan penerbangan yaitu ; pathological, reactive, calculative, proactive dan generative.

2. Lebih lanjut seperti yang diungkapkan oleh David Krech yang mengatakan bahwa culture is as people do, dan dalam explicit culture akan terlihat standard behaviour event dan standar interpersonal behaviour event. Dalam dunia penerbangan, ada standar – standar yang dibuat oleh manusia untuk membuat penerbangan yang aman, cepat dan teratur. Ada standar – standar yang harus dipatuhi oleh komunitas penerbangan dalam kehidupan profesionalnya, ada standar – standar yang harus dipatuhi dalam berkomunikasi antar tenaga operasional penerbangan. Ada standard phraseologies yang harus dipatuhi oleh penerbang dan Air Traffic Controller (ATC) dalam berkomunikasi. 3. Kepatuhan terhadap regulasi penerbangan tidak hanya harus dilakukan oleh perusahaan

penerbangan namun juga oleh pemerintah Indonesia sebagai negara anggota ICAO ( International Civil Aviation Organization) harus mematuhi ketentuan – ketentuan yang tertuang dalam Annex 1 hingga Annex 18 Konvensi Chicago 1944. Indonesia telah diaudit dalam 121 temuan ICAO yang harus dipatuhi dan ditindaklanjuti negara berkaitan dengan kepatuhan terhadap Annexes. Tindak lanjut yang tidak mudah dan memerlukan waktu karena kepatuhan terhadap Annexes tersebut harus ada bukti baik berupa kebijakan umum dalam bentuk Keputusan Menteri, maupun kebijakan teknis dalam bentuk SK Dirjen atau bentuk dokumen dan berbagai manual operasi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdulkadir Muhammad ; Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982. Ali, Zainuddin ; “Metode Penelitian Hukum”. Jakarta, Sinar Grafika, 2010.

Abdulrassyid, Priyatna ; “Kedaulatan Negara di Ruang Udara”, Pusat Penelitian Hukum Angkasa ; Jakarta, 1972.

Kantaatmadja, Komar, Mieke ; “Lembaga Jaminan Kebendaan Pesawat Udara Indonesia Ditinjau Dari Hukum Udara” , Penerbit Alumni, Bandung, 1989.

Kusumaatmadja, Mochtar ; Pengantar Hukum Internasional, Bandung ,Penerbit Alumni, 2003.

Likadja, Frans ; “Masalah Lintas di Ruang Udara” , Bina Cipta.

Martono, H.K. dan Sudiro, Amad : “Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public International and National Air Law”), Rajawali Pers ; Jakarta, 2012.

Martono. H.K. dan Sudiro, Amad ; “Hukum Angkutan Udara”, Rajawali Pers ; Jakarta, 2011.

Martono, H.K ; “Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional Bagian Pertama”, Rajawali Pers, Jakarta, 2011.

Nieuwenhuis, J.H. Mr ; terjemahan Djasadin Saragih, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Airlangga University Press, Surabaya, 1985.

Setiawan, R ; Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1977.

Soekanto, Soerjono ; “Pengantar Penelitian Hukum “, JakSarta: UI Press, 2005.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri ; ” Penelitian Hukum Normatif”, Jakarta:UI Press, 2003.


(4)

Suherman, E ; “Hukum Udara Indonesia dan Internasional”, Bandung, Penerbit Alumni, 1983.

Suherman, E ; “Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara”, Bandung, Penerbit Alumni, 1983 Sugiyono ; “Statistika Untuk Penelitian”, Alfabeta: Bandung, 2009.

Supriyadi, Yaddy ; “Keselamatan Penerbangan Teori dan Problematika”, PT. Telaga Ilmu Indonesia, Tangerang, 2012

Yahya

Harahap, M ; Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.

Instrumen Hukum

Konvensi Paris Tahun1919 Konvensi Warsawa 1929 Konvensi Chicago 1944 Konvensi Roma 1952 Konvensi Guandalajara 1961 Konvensi Montreal 1999 Protokol The Hague 1955 Protokol Guetemala City 1971 Protokol Montreal 1975

Treaties On Aeronautical Law ( Toronto; The Carswell Company Limited) CASR (Civil Aviation Safety Regulation)

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata

Peraturan Perundang - undangan


(5)

UURI No. 15 Tahun 1992 UURI No. 33 Tahun 1964 UURI No.1 tahun 2009 PP No.17 Tahun 1965

Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 137 Tahun 1964, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2720. Permenkeu Nomor 37 Tahun 2008

Permenhub Nomor 77 Tahun 2011 Permenhub Nomor 92 Tahun 2011

Website

www.tempo.com


(6)

Artikel “Penanganan Korban Kecelakaan Air AsiaQZ8501” oleh Rohani Budi Prihatin Vol. VII/1/I/P3DI/Januari2015.

Artikel “Klaim Asuransi Korban Kecelakaan Air Asia QZ8501 menurut Undang - undang Penerbangan”.