Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis Cantor 1849) yang Didaratkan di KUD Gabion Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

73

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis)
Klasifikasi ikan Tongkol Komo menurut Collette, dkk., (2011) adalah
sebagai berikut :
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelas

: Actinopterygii

Ordo


: Perciformes

Famili

: Scombridae

Genus

: Euthynnus

Spesies

: Euthynnus affinis

Sinonim

: Euthynnus yaito, Thynnus affinis, Wanderer wallisi

Nama umum : Tongkol Komo, Kawakawa, Eastern Little Tuna, Black Skipjack,
Mackerel Tuna, Oceanic Bonito, Bonito (Gambar 2.)


Gambar 2. Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis)

Universitas Sumatera Utara

74

Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis), juga dikenal sebagai tuna kecil,
dari family Scombridae yang meliputi tongkol, tuna dan cakalang (bonito). Ikan
Tongkol Komo memiliki bentuk tubuh fusiform, memanjang dan penampang
lintangnya membundar. Bentuk tubuh yang demikian memungkinkan ikan
berenang dengan sangat cepat. Bentuk kepala meruncing, mulut lebar dan miring
ke bawah dengan gigi yang kuat pada kedua rahangnya, serta tipe mulut terminal.
Bentuk sisiknya sangat kecil dan termasuk tipe stenoid. Pada batang ekor ikan
terdapat 3 buah “keel” (rigi-rigi yang bagian tengahnya mempunyai puncak yang
tajam). Keel tengah berbentuk memanjang dan tinggi dibandingkan dengan dua
keel lain yang mengapitnya (Fishbase, 2014).
Ikan Tongkol Komo adalah tuna kecil khas bergaris-garis gelap dengan
pola pada punggung dan bintik-bintik gelap 2-5 di atas sirip ventral. Ini dapat
dibedakan dari spesies yang sama dengan pola bergaris dengan bintik-bintik dan

jika dibedakan dengan Tongkol krai/tongkol abu (Auxis thazard), kurangnya
ruang antara sirip dorsal. Ikan Tongkol Komo dapat tumbuh dengan panjang
cagak (FL) 100 cm dan sekitar 20 kg bobot badan tetapi lebih sering sekitar 60 cm
dan 3 kg. Makanan mereka adalah ikan kecil, khususnya clupeids (ikan haring,
pilchards) dan silversides, serta cumi-cumi, krustasea dan zooplankton. Predator
mereka termasuk billfish dan hiu (NSW Government, 2008).
Ikan Tongkol Komo mempunyai sirip lengkap yaitu sepasang sirip dada,
sepasang sirip perut, dua sirip punggung, satu sirip anal dan satu sirip ekor. Warna
daerah punggung biru tua, kepala agak hitam, terdapat belang-belang hitam pada
daerah punggung yang tidak bersisik di atas garis sisi. Perut berwarna putih,
pewarnaan tubuh yang demikian ini, dimana warna bagian dorsal gelap dan

Universitas Sumatera Utara

75

bagian ventral terang, dinamakan counter shading sebagai salah satu upaya
penyamaran (Fishbase, 2014).

Habitat dan Distribusi Ikan Tongkol Komo

Ikan Tongkol Komo merupakan ikan pelagis, spesies yang mendiami
perairan neritik suhu berkisar 18–29°C Seperti scombridae lainnya, E. affinis
cenderung membentuk gerombolan multispesies berdasarkan ukuran, yaitu
dengan Thunnus albacares, Katsuwonus pelamis, Auxis sp., dan Megalaspis
cordyla (carangidae), yang terdiri dari 100 sampai lebih dari 5000 spesies.
Meskipun ikan matang secara seksual mungkin ditemui sepanjang tahun, ada
puncak pemijahan musiman bervariasi sesuai dengan daerah: contohnya MaretMei di perairan Filipina; selama periode Monsun Timur Laut (Northeast
Monsoon) (Oktober-November-April-Mei) sekitar Seychelles; dari tengah periode
Monsun Timur Laut (Northeast Monsoon) ke awal Monsun Tenggara (Southeast
Monsoon) (Januari-Juli) dari Afrika Timur; dan dari bulan Agustus sampai
Oktober di Indonesia (FAO, 2014).
Ikan Tongkol Komo atau Kawakawa merupakan spesies tuna pelagis yang
bermigrasi secara luas di perairan tropis dan subtropis di wilayah Indo-Pasifik. Di
bagian barat Samudra Pasifik, spesies ini didistribusikan di sepanjang benua Asia
dari Malaysia timur laut melalui daratan Cina, Taiwan, dan ke selatan Jepang
(Yesaki, 1994). Kondisi oseanografi yang mempengaruhi migrasi ikan tuna yaitu
suhu, salinitas, kecerahan, arus, oksigen terlarut, kandungan fosfat, dan
ketersediaan makanan. Sedangkan faktor-faktor oseanografi yang langsung
mempengaruhi penyebaran tuna besar dan Tongkol adalah suhu, arus, dan
salinitas (Hela dan Laevastu, 1961).


Universitas Sumatera Utara

76

Ikan Tongkol Komo adalah spesies pelagis besar yang ditemukan di
perairan tropis Indo-Pasifik (Gambar 3). Meskipun juga menghuni perairan laut,
ikan Tongkol Komo lebih memilih untuk tetap dekat dengan pantai dan ukuran
juvenil bahkan ditemukan di teluk dan pelabuhan. Ini adalah spesies yang beruaya
dan sering membentuk gerombolan besar yang sering bercampur dengan spesies
scombridae lainnya (NSW Government, 2008).

Gambar 3. Peta Sebaran Ikan Tongkol Komo (FAO, 2014)
Satu-satunya informasi yang tersedia untuk Samudera Hindia: 1,4 kg
betina (48 cm panjang cagak), sedangkan betina dengan bobot 4,6 kg (65 cm
panjang cagak). Rasio jenis kelamin pada ikan dewasa adalah sekitar 1:1,
sedangkan laki-laki mendominasi dalam tahap dewasa. E. affinis adalah predator
yang sangat oportunistik makan tanpa pandang bulu pada ikan, udang dan cumi.
Pada gilirannya, ada saatnya dimangsa oleh marlins dan hiu (FAO, 2014).


Universitas Sumatera Utara

77

Alat Tangkap
Terdapat 6 alat tangkap yang menangkap ikan pelagis besar yaitu payang,
pukat cincin, Gill net, bagan tancap, rawai tetap dan pancing tonda. Namun
berdasarkan pendekatan General Linier model berdasarkan urutan alat tangkap
yang memangkap ikan Tongkol Komo adalah rawai tetap, gill net, pancing
tonda, pukat cincin, payang dan bagan tancap (Lelono, 2011).
Purse Seine (Pukat Cincin)
Purse seine (pukat cincin) adalah jaring yang berbentuk empat persegi
panjang, tanpa kantong dan digunakan untuk menangkap gerombolan ikan
permukaan (pelagic fish). Alat tangkap ini digolongkan dalam kelompok jaring
lingkar (surrounding nets). Von Brandt (1984) diacu oleh Iriana, dkk., (2012)
menyatakan bahwa pukat cincin merupakan alat tangkap yang lebih efektif untuk
menangkap ikan-ikan pelagis kecil di sekitar permukaan air. Pukat cincin di buat
dengan dinding jaring yang panjang, dengan panjang jaring bagian bawah sama
atau lebih panjang dari bagian atas. Dengan bentuk konstruksi jaring seperti ini,
tidak ada kantong yang berbentuk permanen pada jaring pukat cincin.

Karakteristik jaring purse seine terletak pada cincin yang terdapat pada bagian
bawah jaring yang dapat dilihat pada Gambar 4.

Universitas Sumatera Utara

78

Gambar 4. Cara Kerja Alat Tangkap Pukat cincin (Dirjen KKP, 2015)
Pukat cincin adalah alat (gear) yang digunakan untuk menangkap ikanikan “pelagic shoaling species” yang berarti ikan-ikan tersebut haruslah
membentuk shoal (gerombol), berada di dekat permukaan air (sea surface) dan
sangatlah diharapkan pula densitas shoal tersebut tinggi yang berarti jarak ikan
dengan ikan yang lainnya haruslah sedekat mungkin. Pukat cincin pertama kali
dipergunakan di perairan Rodhe Island untuk menangkap ikan menhaden
(Brevoortia tyrannus). Pada tahun 1870 panjang pukat cincin diubah dari 65
fathom menjadi 250 fathom (1 fathom = 1,825 m). Dan bentuk inilah pukat cincin
diperkenalkan ke negara-negara Scandivania pada tahun yang sama (Sudirman
dan Mallawa, 2012).

Universitas Sumatera Utara


79

Gillnet (Jaring Insang)
Jaring insang adalah suatu alat tangkap yang berbentuk empat persegi
panjang yang dilengkapi dengan pelampung, pemberat ris atas dan pemberat ris
bawah. Besar mata jaring disesuaikan dengan sasaran yang akan ditangkap. Jaring
ini terdiri dari satuan-satuan jaring yang biasa disebut tinting (piece). Dalam
operasi penangkapan jaring insang terdiri dari beberapa tinting yang digabung
menjadi satu sehingga merupakan satu perangkat (unit) yang panjang. Jaring
insang termasuk alat tangkap selektif, besar mata jaring dapat disesuaikan dengan
ukuran ikan yang akan ditangkap (Subani dan Barus, 1989 dalam Aprillia, 2011).
Alat tangkap jaring insang dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Alat Tangkap Jaring Insang (PERMEN 8, 2008)

Universitas Sumatera Utara

80

Long Line (Pancing Rawai)

Hasil tangkapan pancing rawai bisa berupa ikan kerapu, kembung, tongkol
dan lainnya. Pancing rawai adalah alat tangkap pancing yang berjumlah 400
mata pancing. Pengoperasian dilaksanakan pada siang dan malam, pada saat
siang hari disebut perlakuan pertama, kemudian pada malam hari adalah
perlakuan berikutnya, dilakukan secara bergantian siang dan malam. Sementara
untuk mengetahui perbedaan jenis umpan, pada waktu siang hari pengoperasian
pancing menggunakan umpan ikan juwi kemudian juga menggunakan umpan
udang putih, begitu juga pada malam hari dilakukan perlakuan yang sama,
sehingga dapat diketahui hasil tangkapan terbanyak dapat tertangkap dengan
perbedaan waktu pengoperasian dan umpan yang sudah ditentukan. Umpan ikan
juwi dan umpan udang putih kemudian diikatkan pada mata pancing (Rikza,
dkk., 2013). Pengoperasian alat tangkap rawai dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Pengoperasian Pancing Rawai (Musthofa, 2011)

Universitas Sumatera Utara

81

Hubungan Panjang dan Bobot

Dalam biologi perikanan, hubungan panjang bobot ikan merupakan salah
satu informasi pelengkap yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan
sumberdaya perikanan, misalnya dalam penentuan selektifitas alat tangkap agar
ikan–ikan yang tertangkap hanya yang berukuran layak tangkap (Vanichkul dan
Hongskul

(1966) diacu oleh Merta (1993). Lebih lanjut Richter (2007) dan

Blackweel (2000) yang diacu oleh Mulfizar, dkk., (2012), menyebutkan bahwa
pengukuran panjang bobot ikan bertujuan untuk mengetahui variasi bobot
dan panjang tertentu dari ikan secara individual atau kelompok–kelompok
individu sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan, kesehatan, produktifitas
dan kondisi fisiologis termasuk perkembangan gonad. Analisa

hubungan

panjang bobot juga dapat mengestimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan
index of plumpness, yang merupakan salah satu hal penting dari pertumbuhan
untuk membandingkan kondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan
atau individu tertentu.

Hubungan panjang bobot sangat penting dalam biologi perikanan, karena
dapat memberikan informasi tentang kondisi stok. Data biologi berupa hubungan
panjang bobot melalui proses lebih lanjut akan menghasilkan keluaran terakhir
berupa tingkat penangkapan optimum dan hasil tangkapan maksimum lestari.
Hubungan panjang bobot dapat menyediakan informasi yang penting untuk
salah

satu

spesies ikan dari suatu daerah. Meskipun

informasi

tentang

hubungan panjang bobot untuk salah satu spesies ikan dapat menggunakan
ikan dari daerah lain dalam pengkajian (Masyahoro, 2009).

Universitas Sumatera Utara

82

Hubungan panjang dan bobot hampir mengikuti hukum kubik, yaitu bobot
ikan merupakan hasil pangkat tiga dari panjangnya, nilai pangkat (b) dari analisis
tersebut dapat menjelaskan pola pertumbuhan. Nilai b yang lebih besar dari 3
menunjukkan bahwa tipe petumbuhan ikan tersebut bersifat allometrik positif,
artinya pertumbuhan bobot lebih besar dibandingkan petumbuhan panjang. Nilai b
lebih kecil dari 3 menunjukkan bahwa tipe pertumbuhan ikan bersifat allometrik
negatif, yakni pertumbuhan panjang lebih besar daripada pertumbuhan bobot. Jika
nila b sama dengan 3, tipe pertumbuhan ikan bersifat isometrik yang artinya
pertumbuhan panjang sama dengan petumbuhan bobot. Tipe pertumbuhan
memberikan informasi mengenai baik atau buruknya pertumbuhan ikan yang
hidup di lokasi pengamatan, sehingga akan ada gambaran mengenai ekosistem
yang sesuai atau tidak untuk tempat ikan tersebut (Effendie, 1979).

Pertumbuhan
Pertumbuhan ikan merupakan perubahan dimensi (panjang, bobot,
volume, jumlah dan ukuran) persatuan waktu baik individu, stok maupun
komunitas, sehingga pertumbuhan ini banyak dipengaruhi faktor lingkungan
seperti makanan, jumlah ikan, jenis makanan, dan kondisi ikan. Pertumbuhan
yang cepat dapat mengindikasikan kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan
yang sesuai (Moyle dan Cech 2004 dalam Tutupoho 2008). Widodo dan Suadi
(2006) Berpendapat laju pertumbuhan ikan di tentukan oleh: (i) faktor genetik
yang berbentuk dalam setiap spesies, (ii) jumlah pakan, (iii) temperature, (iv)
siklus hormonal, dan (v) beberapa faktor lain seperti suasana berdesak-desakkan
(crowding) yang menekan pertumbuhan ikan.

Universitas Sumatera Utara

83

Pola pertumbuhan dapat memberikan informasi tentang hubungan panjang
bobot dan faktor kondisi ikan, merupakan langkah utama yang penting dalam
upaya pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan. Pola pertumbuhan dalam
pengelolaan

sumberdaya

perikanan sangat

bermanfaat dalam penentuan

selektivitas alat tangkap agar ikan-ikan yang tertangkap hanya yang berukuran
layak tangkap (Mulfizar, dkk., 2012).
Pertumbuhan merupakan proses utama dalam hidup ikan, selain
reproduksi. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran ikan dalam jangka waktu
tertentu, ukuran ini bisa dinyatakan dalam satuan panjang, bobot maupun volume.
Ikan bertumbuh terus sepanjang hidupnya, sehingga dikatakan bahwa ikan
mempunyai sifat pertumbuhan tidak terbatas (Rahardjo, dkk., 2011).
Secara umum pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu
keturunan (genetik), jenis kelamin, parasit dan penyakit. Faktor eksternal yang
mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu jumlah dan ukuran makanan yang
tersedia, jumlah ikan yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu,
oksigen terlarut (Weatherley, 1972 yang diacu oleh Tutupoho, 2008).
Pertumbuhan sebagai salah satu aspek biologi ikan adalah suatu indikator
yang baik untuk melihat kesehatan individu, populasi, dan lingkungan.
Pertumbuhan yang cepat dapat mengindikasikan kelimpahan makanan dan kondisi
lingkungan yang sesuai. Selain itu, pengetahuan tentang struktur populasi dapat
menjadi dasar pengelolaan yang lebih baik. Pengetahuan yang tepat tentang umur
ikan merupakan hal penting untuk mengungkap permasalahan daur hidup ikan,

Universitas Sumatera Utara

84

seperti ketahanan hidup, laju pertumbuhan, dan umur ikan saat matang gonad
(Rounsefell dan Everhart 1962 yang diacu oleh Syahrir 2013).
Seperti telah dikemukakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Faktor ini dapat digolongkan menjadi dua bagian yang besar yaitu faktor
dalam dan faktor luar. Faktor-faktor ini ada yang dapat dikontrol dan ada juga
yang tidak. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sukar dikontrol,
diantaranya ialah keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Dalam suatu kultur,
faktor keturunan mungkin dapat dikontrol dengan mengadakan seleksi untuk
mencari ikan yang baik pertumbuhannya. Faktor luar utama yang mempengaruhi
pertumbuhan ialah makanan dan suhu perairan. Namun dari kedua faktor itu
belum diketahui faktor mana yang memegang peranan lebih besar (Effendie,
2002). Royce (1973) dalam Febriani (2010) menyatakan kombinasi dari kedua
faktor ini biasanya sangat berpengaruh di daerah perairan temperate atau wilayah
artik yang membeku pada musim dingin. Hal ini dikarenakan ketika suhu
mendekati 0°C maka aktivitas metabolisme dan pertumbuhan bersifat minimal.
Pola pertumbuhan ikan dapat diketahui dengan melakukan analisis
hubungan panjang bobotnya. Bobot dapat dianggap sebagai fungsi dari panjang.
Nilai praktis yang didapat dari perhitungan panjang bobot dapat digunakan untuk
menduga bobot dari panjang ikan atau sebaliknya, keterangan mengenai
pertumbuhan, kemontokan dan perubahan dari lingkungan (Effendie, 2002).

Universitas Sumatera Utara

85

Faktor Kondisi
Faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokkan ikan
dengan angka. Faktor kondisi ini disebut juga Ponderal’s index (Legler 1961 yang
diacu oleh Effendie 1979). Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dari segi
kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi. Satuan faktor
kondisi sendiri tidak berarti apapun, namun kegunaanya akan terlihat jika
dibandingkan dengan individu lain atau antara satu kelompok dengan kelompok
lain. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot ikan. Variasi
nilai faktor kondisi bergantung pada makanan, umur, jenis kelamin, dan
kematangan gonad. Faktor kondisi yang tinggi pada ikan betina dan jantan
menunjukkan ikan dalam tahap perkembangan gonad, sedangkan faktor kondisi
yang rendah mengindikasikan ikan kurang mendapat asupan makanan
(Effendie 1979).
Pada analisis hubungan panjang bobot ikan tongkol di Kepulauan
Anambas yang diteliti oleh Susilawati, dkk., (2013) bahwa ikan tongkol yang
memiliki pola pertumbuhan Allometrik Negatif. Tidak terjadi variasi temporal
nilai faktor kondisi ikan pada setiap harinya secara ekstrim bahkan relatif nilai
yang berkisar antara 1 – 3 maka dari data hasil yang diperoleh dapat diambil
kesimpulan bahwa ikan dalam keadaan baik dan memiliki bentuk yang kurang
pipih. Hal ini menyebabkan kemontokan ikan kurang dikarenakan pengaruh
makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad. Pertumbuhan ini disebut
dengan pertumbuhan allometrik karena nilainya kurang dari 3 menunjukkan
keadaan ikan yang kurus dimana pertambahan

panjangnya lebih cepat dari

pertambahan bobotnya.

Universitas Sumatera Utara

86

Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Mortalitas dapat terjadi karena adanya aktifitas penangkapan yang
dilakukan manusia dan alami yang terjadi karena kematian akibat predasi,
penyakit, dan umur. Laju mortalitas total (Z) ikan jantan lebih besar dibanding
ikan betina sehingga stok ikan jantan lebih rentan dibandingkan ikan betina.
Sementara laju mortalitas alami (M) ikan betina lebih besar dibanding dengan
ikan jantan, hal tersebut karena laju pertumbuhan (K) ikan betina lebih besar
daripada ikan jantan. Perbedaan laju mortalitas diakibatkan karena perbedaan nilai
L∞ dan K. Selain itu mortalitas alami juga disebabkan akibat pemangsaan,
penyakit, stress, pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre dan Venema 1999).
Laju mortalitas alami yang tidak sama antara ikan jantan dan betina
mengakibatkan komposisi antar ikan jantan dan betina yang berbeda. Perbedaan
laju mortalitas, pertumbuhan, dan tingkah laku bergerombol antar jantan dan
betina mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah jantan dan
betina (Putri, 2013).
Laju eksploitasi (E) merupakan bagian dari populasi ikan yang ditangkap
selama periode waktu tertentu (1 tahun), sehingga laju eksploitasi juga
didefinisikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah
total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alami maupun faktor
penangkapan. Eksploitasi optimal dicapai jika laju mortalitas penangkapan (F)
sama dengan laju mortalitas alami (M), yaitu 0.5 (Pauly, 1984).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi Ikan Tongkol (Auxis thazard) yang Didaratkan di KUD Gabion Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

5 78 74

Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis Cantor 1849) yang Didaratkan di KUD Gabion Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

14 86 80

Biologi Reproduksi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis Cantor, 1849) di Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Banten

4 57 47

Pendugaan Potensi Lestari dan Pertumbuhan Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

2 17 108

Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis Cantor 1849) yang Didaratkan di KUD Gabion Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

1 1 15

Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis Cantor 1849) yang Didaratkan di KUD Gabion Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

0 0 2

Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis Cantor 1849) yang Didaratkan di KUD Gabion Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

0 0 5

Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis Cantor 1849) yang Didaratkan di KUD Gabion Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

0 0 4

Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi Ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis Cantor 1849) yang Didaratkan di KUD Gabion Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

0 0 11

Pendugaan Potensi Lestari dan Pertumbuhan Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Sumatera Utara

0 0 17