Upaya Korea Selatan Dalam Memperbaiki Hubungan Dengan Korea Utara Melalui Kebijakan The Policy of Peace and Prosperity (Pemerintahan Roh Moo Hyun periode 2003-2008)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semenanjung Korea merupakan wilayah yang terletak di kawasan Asia Timur Laut.
Semenanjung Korea berabad-abad dalam sejarahnya merupakan wilayah yang sangat penting
sebagai daerah yang menghubungkan Asia Timur Laut dengan dunia luar. Posisi geografis
Korea menyebabkan sepanjang sejarahnya ia mempunyai arti penting dari sudut strategis. Hal
ini karena Semenanjung Korea terletak di tengah tiga negara besar yaitu Jepang, Cina, dan
Rusia.
Di masa lampau Cina, Jepang dan, Rusia menjadi pihak-pihak yang mengganggu
perkembangan negara dan bangsa Korea, sedangkan di masa modern Amerika Serikat ikut
serta mencampuri urusan negara Korea. Terpecahnya Korea menjadi dua Negara yang
berdaulat merupakan akibat dari Perang Dunia II yang pada akhirnya dijustifikasi melalui
Perang Dingin hingga saat ini1. Kedua negara Korea tersebut merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari konflik ideologi Liberal-Demokratis dan Komunis-Sosialis antara Blok Barat
(Amerika) dan Blok Timur (Uni Soviet). Kedua belah pihak tersebut saling mencari daerah
pengaruh (enclave) untuk kepentingan strategis masing-masing, yang akhirnya akan
mempengaruhi stabilitas politik dan keamanan di Semenanjung Korea khususnya dan Asia
Timur pada umumnya. 2
Dalam skripsi ini, penulis menempatkan kebijakan Korea Selatan terhadap Korea
Utara di bawah pemerintahan Roh Moo-hyun (2003-2008) sebagai tema serta pembahasan

utama. Konsep kebijakan tersebut lebih dikenal dengan nama the Policy of Peace and
YangSeung-Yoon,dan Mohtar Mas‟oed, Masyarakat, Politik,dan Pemerintahan Korea : Sebuah Pengantar,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h.1
2
Ibid, h. 4
1

xii
Universitas Sumatera Utara

Prosperity.
The Policy of Peace and Prosperity merupakan kebijakan resmi Korea Selatan
terhadap Korea Utara yang secara resmi dideklarasikan oleh Presiden Roh Moo-hyun (20032008). Pada pidato perdananya (25 Februari 2003), Roh Moo-hyun mendeklarasikan bahwa
ia melanjutkan Sunshine Policy terhadap Korea Utara yang diterapkan oleh pemerintahan
sebelumnya, yakni pemerintahan Presiden Kim Dae- jung. 3Pemerintah Roh melanjutkan
kebijakan tersebut dengan modifikasi dan penamaan baru melalui konsep Kebijakan
Perdamaian dan Kesejahteraan (Policy of Peace and Prosperity).

Sunshine Policy (햇볕정책) atau Kebijakan Sinar Matahari merupakan bentuk
kebijakan pemerintah Korea Selatan dalam upaya memperbaiki hubungannya dengan Korea

Utara yang digagas oleh Presiden Kim Dae-jung (1998-2003).

4

Kebijakan ini didasarkan

pada tiga prinsip utama berdasarkan pidato pelantikan Kim Dae-jung pada tahun 1998.
Pertama, prinsip non-toleransi terhadap segala bentuk ancaman militer maupun provokasi
bersenjata oleh Korea Utara. Kedua, prinsip unifikasi dua Korea tanpa menggunakan
ancaman ataupun kekerasan. Ketiga, prinsip mendorong peningkatan pertukaran serta
kerjasama antara Korea Selatan-Korea Utara melalui pemberlakukan kembali perjanjian
rekonsiliasi tahun 1991. Perjanjian rekonsiliasi atau Treaty of Reconciliation and
Nonaggression, merupakan perjanjian yang ditandatangani oleh Korea Selatan dan Korea
Utara pada tanggal 13 Desember 1991. Pada perjanjian itu, Seoul dan Pyongyang sepakat
untuk menghentikan hubungan permusuhan dan bekerja sama dalam bidang keamanan.

3

Do-Hyeogn Cha.Challenges and Opportunities:
TheParticipatoryGovernment‟sPolicyTowardNorthKorea.EastAsianReview.Vol.16, No. 2. Summer2004, 97.

4
Chung-in Moon. The Sunshine Policy and the Korean Summit:Assessment and Prospects. East Asia Review,
Vol. 12, No. 4, Winter2000,21.

xiii
Universitas Sumatera Utara

Istilah Sunshine Policy, diambil dari dongeng Korea mengenai angin dan matahari 5.
Dalam dongeng diceritakan tentang matahari dan angin yang bersaing untuk melihat siapa
yang mampu membuat seorang pejalan kaki melepaskan jas yang sedang dikenakannya.
Ketika angin gagal melakukannya walaupun sudah berhembus keras, matahari menggunakan
kehangatannya untuk membuat pejalan kaki itu melepaskan jasnya. Kim Dae-jung
berpendapat bahwa sinar matahari akan lebih dapat memberikan dampak efektif
dibandingkan dengan kekuatan angin dalam mempengaruhi Korea Utara untuk tidak lagi
mengisolasi diri dan tidak lagi bersikap konfrontatif.
Presiden Kim membentuk Sunshine Policy dengan tujuan utamanya yaitu membangun
perdamaian bersama untuk mengendurkan tensi politik maupun militer dalam hubungan
antara Korea Selatan dan Korea Utara6. Untuk mengaplikasikan kebijakannya tersebut,
pemerintah Kim menggunakan instrumen kebijakan dengan melakukan pemisahan politik
dari ekonomi (separation of politics from economics) yang berarti mendorong pertukaran

dan kerjasama di bidang ekonomi tanpa menghubungkannya dengan masalah atau situasi
politik maupun militer yang terjadi serta mengijinkan perusahaan-perusahaan perorangan
atau swasta untuk menanamkan modal di Korea utara dalam sektor-sektor industri.
Selain itu, instrumen lain yang digunakan adalah memberikan subsidi gandum,
penyediaan reaktor air ringan, pertemuan kembali keluarga yang terpisah, serta pertukaran
sosial-budaya.7Namun seiring berjalannya waktu, pendekatan dan pemulihan kembali
hubungan diplomatik antara Korea Utara dengan negara-negara Barat menjadi salah satu
prioritas utama karena hal tersebut akan membantu Korea Utara keluar dari isolasi negara-

5

HaggarsStephandanMarcusNoland.NorthKoreain2007Shufflingin from the Cold. Asian Survey, Vol. XLVIII,
No. 1, January/February2008, 111.
6
Kyung-suk, Chae. The Future of the Sunshine Policy: Strategic for Survival. East Asian Review, Vol. 14, No.
4, Winter 2002, 3-4.
7
Yoo, Chanyul. South Korea‟s Sunshine Policy Revisited. Korean Social Science Journal, XXXI No. 2. 2004,
110.


xiv
Universitas Sumatera Utara

negara Barat. 8Menurut data yang dikutip dari artikel Chae Kyung-suk berjudul The Future
of the Sunshine Policy: Strategic for Survival, salah satu bentuk implementasi dari instrumeninstrumen kebijakannya tersebut adalah seperti pada tahun 1998, Korea Selatan memberikan
total 11 juta dolar jagung (30.000 ton) dan tepung (10.000 ton) dalam bantuan ke Utara yang
disalurkan melalui Program Pangan Dunia (World Food Programme/WFP). Selain itu, Sejak
1999, Korea Selatan juga membantu menyelesaikan akar penyebab permasalahan ketersedian
pangan di Korea Utara dengan mengirimkan pupuk. Kemudian pada tahun 1999, Korea
Selatan menghabiskan 46.2 juta won untuk mengirim 155 ribu ton pupuk kepada Korea
Utara. Penyediaan pupuk ini dilakukan kembali pada tahun 2001, ketika Korea Selatan
menyediakan 200.00 ton pupuk untuk Korea Utara. Selain itu, Korea Selatan juga
memberikan 500 dollar obat-obatan melalui Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Organization/WHO) untuk program pemberantasan penyakit di Korea Utara. Selain itu juga,
pada Mei 2001, Korea Selatan mengirim obat-obatan, peralatan pengendali hama, vaksin
imunisasi dan produk perawatan medis lainnya kepada Korea Utara.
Atas bantuan-bantuan yang telah diberikan tersebut, Korea Selatan menerapkan
karakteristik kebijakan yang bersifat timbal balik serta fleksibel terhadap Utara Korea
(apolicy of flexible reciprocity towards North Korea). 9Timbal balik berarti bahwa kebijakan
Korea Selatan yang salah satunya adalah memberikan bantuan kepada Korea Utara hanya

perlu dibalas dengan menjaga dan memperbaiki hubungan antar-Korea dan tidak dengan
diberi balasan atau ganti yang setara (dalam arti bentuk dan jumlah bantuan yang telah
diberikan).
Hasil penerapan Sunshine Policy yang dilakukan oleh pemerintah Kim Dae- jung
8

Chung-in Moon. The Sunshine Policy and the Korean Summit: Assessment and Prospects. East Asia Review,
Vol. 12, No. 4, Winter 2000, 7-8.
9

Govindasamy, Geetha. Kim Dae Jung and The Sunshine Policy: An Appealing Policy Option for Inter-Korean
Relations. Sarjana. Vol. 27. No. 1, June 2012, 5.

xv
Universitas Sumatera Utara

membawa kemajuan bagi hubungan dua Korea. Pencapaian-pencapaian penting yang berhasil
direalisasikan antara lain adalah pada 1998, Kim Dae-jung berhasil melancarkan proyek
bersama antar Korea yakni proyek pariwisata dan turisme Gunung Kumgang dan proyek
komplek industri Kaesong di Korea Utara.


10

Selain itu juga, pada Juni 2000, ia berhasil

melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi Korea (Korean Summit) yang dilakukan oleh
presiden Kim Dae-jung dan pemimpin Korea Utara, Kim Jong-il.
Penerapan Sunshine Policy dibawah pemerintahan Kim Dae-jung dilanjutkan oleh
pemerintahan selanjutnya, yakni Roh Moo-hyun. Pemerintahan Roh memodifikasi namanya
menjadi „the Policy of Peace and Prosperity‟. Kebijakan pemerintah Roh Moo-hyun tersebut,
oleh para ahli/cendikiawan dalam tulisan baik berupa buku, jurnal, maupun artikel secara
garis besar dikategorikan sebagai Sunshine Policy (karena melanjutkan kebijakan pemerintah
terdahulu: Kim Dae- jung).
Sebagai contoh: (1) dalam buku yang ditulis oleh profesor ilmu politik di Yonsei
University,South Korea,berjudul “the Sunshine Policy: In Defense of Engagement as a Path
to Peace in Korea‟ yang diterbitkan oleh Yonsei University Press pada tahun 2012, ia
menuliskan pada halaman kata pengantarnya (preface) halaman ix bahwa “The Sunshine
Policy, the theme of this book, was introduced by the late president Kim Dae-jung with the
vision of attaining a lasting peace on the Korean Peninsula ... This Policy was continued,
both in spirit and letter, by his successor, President Roh Moo-hyun, under the rubric of the

Peace and ProsperityPolicy.”; (2) Kang In-duk, Menteri Unifikasi Korea Selatan periode
2001-2002, menulis dalam artikel yang berjudul „Toward Peace and Prosperity: The New
Government‟s North Korea Policy‟ yang diterbitkan dalam jurnal East Asian Review, Vol.
15, No. 1, Spring 2003 menuliskan bahwa “In his inaugural address, Roh outlined his new

10

Chung-in Moon. Op.Cit, h. 4.

xvi
Universitas Sumatera Utara

Peace andProsperity Policy which will maintain the general framework of theSunshine
Policy while aiming at a more widespread nationalconsensus and bipartisan cooperation,
two areas that the previousadministration neglected.” (halaman 3-4); (3) Hong Nack Kim
menulis artikel dalam International Journal of Korean Studies Vol. XII, No. 1Fall/Winter
2008 halaman 3 berjudul The Lee Myung-Bak Government‟s North Korea PolicyAnd the
Prospects for Inter-Korean Relationsbahwa “For ten years, from February 1998 to February
2008, under the two left-leaning governments, South Korea pursued the so-called "Sunshine
Policy" of engagement toward North Korea. This policy was initially advocated by former

President Kim Dae-Jung from 1998 to 2003 and retained by his successor, Roh Moo-Hyun,
as the policy of "Peace and Prosperity" from 2003 to February 2008.‟
Akan tetapi, Sunshine Policy yang dijalankan oleh pemerintahan Roh Moo- hyun
memiliki beberapa modifikasi atau penambahan prinsip/konsep kebijakan,

sehingga lebih

spesifik dikenal dengan istilah the Policy of Peace and Prosperity. Perbedaan tersebut antara
lain adalah, Kim Dae-jung dalam melaksanakan kebijakannya melakukan pemisahan antara
ekonomi dan Politik. Tetapi Roh Moo- hyun mencoba meletakkan kebijakan antar Korea,
kebijakan regional, serta aliansi Korea Selatan-Amerika Serikat ke dalam satu rumusan
kebijakan.

11

Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah the Policy of

Peace and Prosperity yang juga merupakan istilah umumuntuk merujuk secara spesifik pada
kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara di bawah pemerintahan Roh Moo-hyun.
Pemerintah Roh dalam menjalankan kebijakannya berada pada kondisi internasional

yang berbeda dari pemerintah sebelumnnya.Roh Moo-hyun mewarisi peluang sekaligus
tantangan dari penerapan kebijakan tersebut12. Ia memiliki keuntungan karena sudah ada

Do-Hyeogn Cha.Challenges and Opportunities: The Participatory Government‟s Policy Toward North Korea.
East Asian Review. Vol. 16, No. 2. Summer 2004, 97.
12
Do-Hyeogn Cha.Challenges and Opportunities: The Participatory Government‟s Policy Toward North Korea.
East Asian Review. Vol. 16, No. 2. Summer 2004, 97.

11

xvii
Universitas Sumatera Utara

bentuk dasar atau bentuk nyata, hasil dari “warisan‟ pemerintah sebelumnya atas Sunshine
Policy. Misalnya, proyek pariwisata Mt. Kumgang yang mulai dijalankan sejak tahun 1998
dan Korean Summit bersejarah yang terjadi pada tahun 2000. Terkait hal tersebut, pemerintah
Roh mendapat keuntungan, yakni dapat melanjutkan dan mengembangkan program yang
sudah dicapai oleh pemerintahan sebelumnya demi melancarkan tujuan kebijakannya
terhadap Korea Utara.

Namun disamping itu,, pemerintah Roh Moo-hyun juga menghadapi tantangan dalam
menjalankan kebijakannya tersebut. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh Sunshine Policy
datang dari Amerika Serikat. Selama masa pemerintah Korea Selatan terhadap Korea Utara.
Bill Clinton turut terlibat dengan Korea Utara serta membuat terobosan dalam hubungan
Amerika Serikat-Korea Utara, salah satunya adalah dengan dilakukanya kunjungan
Madeleine Albright (menteri luar negeri Amerika Serikat pada masa Bill Clinton) ke
Pyongyang pada Oktober 2000. Sementara itu, berbeda dengan masa pemerintahan Bill
Clinton, pada masa pemerintahan George W. Bush yang secara resmi diawali pada tahun
2001 menerapkan kebijakan keras (hardline policy) terhadap Korea Utara yang dikenal
dengan istilah informal „Anything but Clinton‟ (ABC).

13

Hal tersebut menunjukkan adanya

perubahan sikap dari Amerika Serikat yang pada masa Bill Clinton sebelumnya mendukung
kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara dengan soft diplomacy yang dilakukannya,
berubah dengan hardline policy yang diterapkan oleh Presiden George W. Bush.
Salah satu hardline policy yang dilakukan oleh presiden Bush adalah

ketika ia

menyebut Korea Utara sebagai salah satu poros setan (exis of evil) tahun 2002 pasca peristiwa
9/11. Lim Dong-woon, salah satu perancang utama Sunshine Policy secara terbuka
menyalahkan presiden Bush dan pemikiran neo-konservatifnya atas perubahan yang terjadi di

13

Chung-in Moon, Op.Cit. h. 79.

xviii
Universitas Sumatera Utara

Korea. Ia juga menyatakan bahwa sebutan “poros setan‟ yang disebutkan oleh presiden Bush
terhadap Korea Utara serta sikap presiden Bush yang menunjukkan keinginannya untuk
menghancurkan rezim Korea Utara melalui serangan pre-emptive membuat kejutan bagi
masyarakat Korea Selatan.
Disamping itu, tantangan lain yang juga dihadapi oleh pemerintah Roh Moo- hyun
adalah sikap dari Korea Utara yang pada bulan Januari 2003 menarik diri dari NonProliferation Treaty (NPT) dan membuang peralatan pemantauan milik International Atomic
Energy Agency (IAEA) di reaktor nuklir di Yongbon. Setelah itu, Korea Utara kembali
menghidupkan reaktor nuklirnya tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa Korea Utara
kembali bersikap agresif

kepada dunia internasional dengan mengoperasikan reaktor

nuklirnya. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Roh Moo-hyun,
yang pada saat itu

baru memulai masa jabatannya, dalam mengaplikasikan kebijakannya

yang melanjutkan prinsip-prinsip dari kebijkan terdahulu.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penulisan skripsi ini penulis
mengambil judul UPAYA KOREA SELATAN DALAM MEMPERBAIKI HUBUNGAN
DENGAN KOREA UTARA MELALUI KEBIJAKAN THE POLICY OF PEACE AND
PROSPERITY (PEMERINTAHAN ROH MOO HYUN PERIODE 2003-2008).
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya di latar belakang, maka
rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimanakah upaya Korea Selatan dalam
memperbaiki hubungan dengan Korea Utara melalui kebijakan the Policy of Peace and
Prosperity pada pemerintahan Roh Moo Hyun periode 2003-2008?

xix
Universitas Sumatera Utara

1.3.

Batasan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis membuat batasan masalah yang akan dibahas agar

tujuan dari hasil penelitian ini tidak menyimpang dari judul yang telah dibuat. Oleh sebab itu
batasan penelitian ini berfokus kepada :
1. Bagaimana kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara pada pemerintahan Roh
Moo Hyun?
2. Bagaimana penerapan kebijakan the Policy of Peace and Prosperity?
3. Apa saja analisis hambatan dan pencapaian dalam proses penerapan kebijakan
tersebut?
4. Rentang waktu dalam penelitian ini dibatasi pada pemerintahan Roh Moo Hyun pada
tahun 2003-2008.
1.4.

Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara pada pemerintahan
Roh Moo Hyun
2. Untuk mendeskripsikan penerapan kebijakan the Policy of Peace and Prosperity

3. Untuk menganalisis hambatan dan pencapaian upaya Korea Selatan dalam
memperbaiki hubungan dengan Korea Utara melalui kebijakan The Policy of Peace
and Prosperity pada pemerintahan Roh Moo Hyun periode 2003-2008

1.5.

Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menerapkan beberapa teori yang
dapat digunakan penulis sebagai acuan analisisnya, diantaranya yaitu teori Kebijakan
Luar Negeri, Konsep Politik Luar Negeri, Diplomasi, Bantuan Luar Negeri, dan
Reunifikasi.

xx
Universitas Sumatera Utara

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu untuk menambah kajian referensi
di Departemen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara tentang
upaya Korea Selatan dalam memperbaiki hubungan dengan Korea Utara melalui
kebijakan the Policy of Peace and Prosperity pada pemerintahan Roh Moo Hyun
periode 2003-2008.
3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat
indonesia mengenai penerapan kebijakan the Policy of Peace and Prosperity pada
pemerintahan Roh Moo Hyun 2003-2008.
1.6.

Kerangka Teori
1.6.1. Konsep Politik Luar Negeri
Konsep politik luar negeri mengandung unsur tindakan, yaitu hal-hal yang dilakukan

oleh suatu pemerintah tertentu kepada pihak lain untuk menghasilkan orientasi, memenuhi
peran atau mencapai dan mempertahankan tujuan tertentu. Dalam kaitan ini, tindakan suatu
Negara merupakan bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk mengubah atau mendukung
tindakan pemerintah Negara lain yang berperan dalam menentukan berhasil tidaknya
pencapaian tujuan Negara tersebut.

14

Chris

Brown

dalam

bukunya

Understanding

International Relation memberikan pandangan sederhana dalam pandangan politik luar
negeri, menurut Brown, politik internasional dapat dipahami sebagai cara untuk
mengartikulasikan dan memperjuangkan kepentingan nasional terhadap dunia luar.15Dalam
hal ini, penulis mengambil sebuah kesimpulan bahwa dalam sistem internasional pola
perilaku Negara didasarkan pada kepentingan nasional serta strategi berdasarkan

14

KJ. Holsti, Politik Internasional: Kerangka Untuk Analisa, M. Tahrir Azhary (pent) Erlangga, 1983, h. 158.
Chris Brown, Understanding International Relation, 2nd edition, London, Palgrave,2001, h. 68-86, Dikutip
dari Politik Luar Negeri Indonesia “Di Tengah Pusaran Politik Domestik” , Genewati Wuryandari (ed), Pustaka
Pelajar, Jakarta, 2008, h. 14.

15

xxi
Universitas Sumatera Utara

kalkulasi posisi mereka di dalam sistem internasionalnya. Namun dilihat dari bagaimana
Negara merumuskan kepentingan nasionalnya dan aspek-aspek apa saja yang akan
ditonjolkan serta kebijakan yang dihasilkan.
Menurut H.J Morgenthau bahwa Negara sesungguhnya adalah aktor yang sepenuhnya
rasional. Karena itu tindakan-tindakan Negara akan dilakukan secara perhitungan untung
rugi yang jelas.

16

Menurut Kenneth Waltz, aktor diasumsikan melakukan suatu tindakan

rasional yang telah dikalkulasikan. Singkatnya suatu Negara harus mempertahankan
kelangsungan hidupnya (survival) agar tidak mudah diserang/rawan (vulnerability) dalam
sistem internasional anarki. Perilaku Negara
kepentingan

nasional

ditunjukan

kepada

pencapaian

dengan

mempertimbangkan kapabilitas yang dimilikinya.
Politik luar negeri cenderung berubah dari waktu ke waktu tanpa indikasi yang jelas.
17

Meskipun demikian, untuk memahami perilaku politik luar negeri yang dinamis, William

D. Coplin mengidentifikasikan dalam empat determinan politik luar negeri. Pertama, adalah
konteks internasional, artinya, situasi politik internasional yang sedang terjadi pada waktu
tertentu dapat mempengaruhi bagaimana Negara itu akan berperilaku. Dalam hal ini, Coplin
menyatakan bahwa ada tiga elemen penting dalam membahas dampak konteks internasional
terhadap politik luar negeri suatu Negara, yaitu geografis, ekonomis, dan politik. Geografi
merupakan suatu hal yang konstan keberadaannya. Namun tidak lagi terpenting seperti yang
diberikan oleh para pendukung geopolitik pada masa lalu. Sebagaimana halnya geografi,
faktor ekonomi juga memainkan peran penting dalam menentukan kebijakan luar negeri.
Faktor kedua yang menjadi determinan dalam politik luar negeri adalah perilaku para
pengambil keputusan. Perilaku pemerintah yang dipengaruhi oleh persepsi, pengalaman,
pengetahuan, dan kepentingan individu-individu

dalam pemerintahannya menjadi faktor

16

Kenneth N. Waltz, Theory Of International Politics, New York: McGraw-Hill Inc, 1979, h. 125-127.
William D. Coplin, Pengantar Politik Internasional : Suatu Telaah Teoritis, Bandung, Penerbit Sinar Baru,
1992, h. 165.

17

xxii
Universitas Sumatera Utara

penting dalam penentuan kebijakan luar negeri. Sementara itu, determinan ketiga adalah
kondisi ekonomi dan politik. Kemampuan ekonomi dan politik suatu Negara dapat
mempengaruhi Negara tersebut dalam interaksinya dengan Negara lain. Keempat, determinan
terakhir yang memepengaruhi politik luar negeri adalah politik dalam negeri. Dalam hal ini,
situasi politik yang terjadi dalam negeri akan memberikan pengaruh dalam perumusan dan
pelaksanaan politik luar negeri.
Dalam kaitannya dengan faktor yang ada Struktur dan pembuatan keputusan Korea
Utara, Kim Jung II memainkan peran yang sangat penting. Sikap Kim Jung Il untuk
memelihara rejim dan sekaligus membangun ekonomi nasional dengan memobilisasi militer.
Untuk menjaga keamanan rejim maupun pertumbuhan ekonomi, Korea Utara secara efektif
berubah menjadi “negara yang mengutamakan militer”. Salah satunya yaitu dengan
mengembangkan program nuklir. Pengembangan program nuklir Korea Utara sebagai reaksi
terhadap berubahnya sistem di lingkungannya. Pengembangan nuklir tersebut sebagai
upayanya untuk mempertahankan Bargaining position atau posisi tawar menawar di dalam
masyarakat internasional.
Menurut Walter S Jones menegaskan bahwa kemungkinan pecahnya perang salah
satunya dapat diakibatkan oleh adanya perlombaan senjata yang secara strategis tidak stabil
dan secara politis tidak dapat terkendali18. Pengembangan persenjataan di Kawasan Asia
Timur yang terus ditingkatkan akan menimbulkan pecahnya perselisihan dan konflik dari
pihak lawan yang sudah terjadi sebelumnya. Dengan kata lain, kondisi yang ada akan
memperparah konflik yang sudah ada sebelumnya.
1.6.2

Kebijakan Luar Negeri

Setiap negara memiliki kepentingan serta tujuan nasional yang ingin dicapai dengan
melakukan interaksi dengan negara ataupun aktor lain dalam politik internasional. Rumusan
18

Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan Ekonomi-Politik Internasional, Tatanan Dunia,
Jilid 2, Gramedia Utama, Jakarta, 1993, h. 196-199.

xxiii
Universitas Sumatera Utara

kepentingan nasional serta tujuan bersama suatu negara diformulasikan ke dalam kebijakan
luar negeri. Setiap negara dan setiap periode pemerintahan Kim Dae-jung, Presiden Amerika
Serikat yang pada saat itu adalah Bill Clinton (1993-2001), turut berperan aktif dalam
mendukung kebijakan pemerintahan negara memiliki rumusan kebijakan luar negeri yang
berbeda, tergantung pada situasi ataupun kondisi domestik maupun internasional yang sedang
terjadi. 19Kebijakan Luar negeri menurut Rosenau (1974) merupakan tindakan otoritatif yang
diambil oleh pemerintah baik untuk menjaga aspek yang diinginkannya dari lingkungan
internasional, maupun mengubah aspek yang tidak diinginkan. Kebijakan luar negeri dibuat
bedasarkan kalkulasi dan orientasi atas tujuan yang akan dicapai. Bentuk kebijakan luar
negeri dapat berupa hubungan diplomatik, mengeluarkan doktrin, membuat aliansi,
mencanangkan tujuan jangka panjang maupun jangka pendek.
Selain itu, kebijakan luar negeri dapat dikatakan sebagai strategi atau rencana
tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain
atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional
spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional 20. Untuk memenuhi
kepentingan nasionalnya itu, Negara-negara maupun aktor dari Negara tersebut melakukan
berbagai macam kerjasama diantaranya adalah kerjasama bilateral, trilateral, regional, dan
multilateral.
Dengan kata lain. Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan
yang dibuat oleh para pembuat keputusan Negara dalam menghadapi Negara lain atau aktor
politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang
dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional.

19

Eby Hara Abubakar. 2011. Analisis Politik Luar Negeri. Bandung: Nuansa, 13.
Banyu Perwita, Anak Agung & Yanyan Mochamad Yani, 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 49.
20

xxiv
Universitas Sumatera Utara

Dalam proses kebijakan luar negeri suatu Negara, ada dua tahap utama yang
dilaluinya, yakni: proses pembuatan kebijakan dan proses implementasi (pelaksanaan) dari
kebijakan tersebut. Dalam pandangan sederhana, pembuatan kebijakan
merupakan

urusan

ekslusif

luar

negeri

pemerintah.Sehingga, kebijakan luar negeri merupakan

pencapaian kepentingan nasional suatu Negara yang prosesnya dirumuskan, diawasi, dan
dikontrol oleh pemerintah21. Setelah membuat keputusan kunci, mereka kemudian
menyerahkannya kepada Departemen Luar Negeri untuk diimplementasikan.
Kebijakan luar negeri menurut Aleksius Jemadu merupakan instrumen kebijakan yang
dimiliki oleh pemerintah suatu negara berdaulat untuk menjalin hubungan dengan aktor-aktor
lain dalam politik dunia demi mencapai tujuan nasionalnya.
Sementara itu, menurut Howard Lentner kebijakan luar negeri harus mencakup tiga
elemen dasar dari setiap kebijakan, yaitu:penentuan tujuan yang hendak dicapai (selection of
objectives), pengerahan sumberdaya atau instrumen untuk mencapai tujuan tersebut
(mobilization of means) dan pelaksaan (implementation) dari kebijakan yang terdiri dari
rangkaian tindakan dengan secara aktual menggunakan sumberdaya yang sudah ditetapkan.
1.6.3. Diplomasi
Menurut buku John Baylis dan Steve Smith diplomasi dalam hubungan internasional
merupakan salah satu dari serangkaian instrumen (one of a set of

instruments) yang

mengimplemantasikan dan merealisasikan keputusan- keputusan yang telah diambil
pemerintah (melalui Departemen Luar Negeri) 22. Diplomasi sebagai kegiatan pemerintah
tidak hanya merujuk pada instrument kebijakan tertentu, tapi juga untuk seluruh proses
permbuatan kebijakan dan pelaksanaanya.
21

Baylis, John and Steve Smith. 2005. The Globalization of World Politics. United States : Oxford University
Press, 396.
22
Baylis, John and Steve Smith. 2005. The Globalization of World Politics. United States : Oxford University
Press, 398.

xxv
Universitas Sumatera Utara

Disamping itu, diplomasi juga merupakan istilah yang dapat memiliki makna berbeda,
tergantung pada pengguna dan penggunaanya.Diplomasi dapat dibagi menjadi dua perspektif
dalam konteks politik dunia (world politic), yakni perspektif makro, dan perspektif mikro23.
Dalam perspektif makro politik dunia, diplomasi mengacu pada proses komunikasi
yang merupakan pusat kerja dari sistem global. Jika politik dunia ditandai hanya dengan
ketegangan antara konflik dan kerjasama, diplomasi bersama dengan perang (diplomacy
together with war), dapat dikatakan mewakili lembaga yang menentukan. Jika konfik dan
kerjasama ditempatkan pada dua ujung sebuah spektrum, diplomasi dapat diletakan pada
kerjasama dan mewakili bentuk interaksi yang fokus pada resolusi konflik dengan melalui
dialog dan negosiasi. Diplomasi secara fundamental berkaitan dengan upaya untuk
menciptakan stabilitas dan ketertiban dalam sistem global, keberadaanya diperkuat untuk
mencegah konflik agar tidak berujung dengan perang24.
Semantara, dalam perspektif mikro erat kaitannya dengan aktor internasional seperti
negara.Pemahaman tentang diplomasi memberikan wawasan ke dalam mengungkapkan
perilaku para aktor itu sendiri dalam sistem global. Dari perspektif ini, diplomasi dapat
diidentifikasi sebagai instrumen kebijakan daripada sebuah proses global. Semua aktor
memiliki tujuan akhir sesuai dengan bagaimana perilaku kebijakan luar negeri mereka
diarahkan. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, aktor membutuhkan “sarana‟ atau lebih
sering disebut dengan istilah “instrumen‟. Diplomasi menyediakan salah satu instrumen yang
digunakan oleh aktor internasional untuk mengimplementasikan kebijakan luar negerinya.
Diplomasi dapat digunakan secara langsung (diplomasi murni/pure diplomacy) dengan pihak
lain atau sebagai sarana berkomunikasi atau menggunakan acaman dari instrumen lain
(diplomasi campuran/mixed diplomacy).
23

Soemarsono Mestoko, Indonesia dan Hubungan Antar Bangsa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1985, h. 25-26
K.J Holsti, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis, M. Tahrir Azhary (pent), Erlangga, Jakarta, 1987,
h.241

24

xxvi
Universitas Sumatera Utara

Persuasi atau diplomasi murni (pure diplomacy) dapat dikatakan cukup untuk
memperoleh kebijakan suatu negara di luar negeri. Namun, diplomasi juga terhubung dengan
instrumen kebijakan lainnya untuk menghasilkan apa yang disebut dengan diplomasi
campuran (mixed diplomacy)25. Dari sini, diplomasi menjadi jalur komunikasi apakah
ancaman atau instrumen lainnya yang akan diterapkan kepada pihak lain. Sikap persuasif
dalam diplomasi lebih sering berhasil jika negara menerapkan konsep “sticks” and/or
“carrots”.
Diplomasi dalam konteks kebijakan luar negeri mengacu pada penggunaan diplomasi
sebagai instrumen kebijakan yang memiliki peluang lebih besar karena memiliki hubungan
dengan instrumen lain, seperti kekuatan ekonomi atau militer untuk memungkinkan aktor
internasional dapat mencapai tujuan kebijakannya. Semua aktor memiliki tujuan, dan ke arah
mana perilaku kebijakan luar negeri mereka tergantung pada tujuanya masing-masing.
Terdapat tiga jenis instrumen kebijakan yang dapat digunakan dalam berbagai cara,
baik sebagai manfaat potensial atau sebagai hukuman dalam upaya perilaku pihak lain,
seperti yang dikutip dalam Baylis& Smith, yakni :
Angkatan militer sebagai instrumen kebijakan dapat digunakan sebagai ancaman atau
dikerahkan sebagai “otot‟ dalam negosiasi. Diplomasi dan kekuatan

militer,

sering

digunakan secara bersamaan dan dianggapsebagai instrumen kebijakan luar negeri secara
tradisional. Hal tersebut menyebabkan Negara-negara berkembang berupaya mencari
instrumen lain sebagai alternatif untuk memperkuat posisi mereka dalam negosiasi.
Instrumen

kedua

adalah

penggunaan

langkah-langkah

ekonomi.Diplomasi

menggunakan instrumen-instrumen ekonomi bukanlah hal yang baru dalam hubungan
internasional.Penggunaan instrumen ekonomi dalam diplomasi baik berupa perdagangan
25

Baylis, John and Steve Smith. Op. Cit. h. 398.

xxvii
Universitas Sumatera Utara

maupun bantuan luar negeri juga dapat digunakan sebagai “stick‟ maupun “carrot‟ bagi
negara lain yang dituju.
Instrumen ketiga adalah dengan menargetkan pemerintah secara langsung, atau
disebut juga dengan subversi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia subversi merupakan
gerakan, usaha, atau rencana menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan menggunakan cara di
luar undang-undang. Berbeda dengan instrumen-instrumen sebelumnya, karena instrumen ini
difokuskan pada upaya mendukung kelompok- kelompok tertentu dalam negara lain dengan
tujuan merusak ataumenggulingkan pemerintahan negara tersebut. Instrumen subversi
mencakup berbagai teknik, termasuk propaganda, kegiatan intelejen, dan membantu
kelompok pemberontak26.
1.6.4. Bantuan Luar Negeri
Bantuan luar negeri merupakan salah satu instrumen kebijakan yang sering digunakan
dalam hubungan luar negeri. Secara umum, bantuan luar negeri dapat didefinisikan sebagai
transfer sumber daya dari satu pemerintahan ke pemerintah lain yang dapat berbentuk barang
atau dana.
Parson dan Payasilian mengajukan empat teori mengenai batuan luar negeri, yaitu :
1.

Aliran realis menyatakan bahwa tujuan utama dari bantuan luar negeri adalah bukan

untuk menunjukkan idealisme abstrak aspirasi kemanusiaan tetapi untuk proyeksi „power‟
secara nasional. Bantuan luar negeri merupakan komponen penting bagi kebijakan keamanan
internasional.
2.

Teori ketergantungan (dependensia) menyatakan bahwa bantuan luar negeri

digunakan oleh negara kaya untuk mempengaruhi hubungan domestik dan luar negeri negara

26

Ibid, h. 399.

xxviii
Universitas Sumatera Utara

penerima bantuan, merangkul elit politik lokal di negara penerima bantuan untuk tujuan
komersil dan keamanan nasional. Kemudian, melalui jaringan internasional, keuangan
internasional dan struktur produksi, bantuan luar negeri ditujukan untuk mengeksploitasi
sumber daya alam negara penerima bantuan. Sehingga para penganut teori dependensia
menganggap bawa bantuan luar negeri dapat digunakan sebagai sebuah instrumen untuk
perlindungan dan ekspansi negara kayak ke miskin, sebuah
3.

Sistem untuk mengekalkan ketergantungan.

4.

Aliran moralis/idealis menyatakan bahwa bantuan luar negeri secara esensial

merupakan gerakan kemanusiaan yang menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan internasional.
Menurut aliran idealis, negara yang lebih kaya memiliki tanggung jawab moral untuk
mempererat kerjasama Utara-Selatan yang lebih besar dan merespon kebutuhan
pembangunan ekonomi dan sosial di Selatan. Maka itu,

moralis

berpendapat

bahwa

bantuan luar negeri mendorong dukungan yang saling menguntungkan (mutual supportive)
dan hubungan menguntungkan sejalan dengan pembangunan ekonomi dan hak asasi manusia,
hukum, dan ketertiban internasional.
5.

Teori bureaucratic incrementalist menyatakan bahwa bantuan luar negeri sebagai

kebijakan publik, produk dari politik domestik yang melibatkan opini publik, kelompok
kepentingan, dan institusi pemerintah yang secara langsung terlibat dalam proses pembuatan
kebijakan yang mempromosikan kepentingan nasional melalui agenda politik. Teori ini juga
menyatakan bahwa tujuan yang dikejar negara donor dalam lingkup kepentingan ekonomi
politik internasional, antara lain adalah kombinasi tujuan kemanusiaan, geopolitik, ideologi,
kepentingan komersil, masalah lingkungan, dan berbagai faktor dalam politik domestik 27.

27

Banyu Perwita, Anak Agung & Yanyan Mochamad Yani, 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 81.

xxix
Universitas Sumatera Utara

Bantuan luar negeri umumnya tidak ditujukkan untuk kepentingan politik jangka
pendek melainkan untuk prinsip-prinsip kemanusiaan atau pembangunan ekonomi jangka
panjang.Dalam jangka panjang, bantuan luar negeri dimaksudkan untuk membantu menjamin
beberapa tujuan politik negara donor yang tidak dapat dicapai hanya dengan melalui
diplomasi, propaganda, atau kebijakan publik28.
Aliran modal dari luar negeri yang tergolong sebagai bantuan luar negeri dapat berupa
pemberian (grant) dan pinjaman luar negeri (loan) yang diberikan oleh negara-negara donor
atau badan-badan internasional yang khusus dibentuk untuk memberikan pinjaman luar
negeri, seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development
Bank), Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund), dan Sebagainya 29.
Holsti membagi program bantuan luar negeri ke dalam empat jenis, yaitu :
1.

Bantuan militer

2.

Bantuan teknik

3.

Grant dan program komoditi impor

4.

Pijaman pembangunan
1.6.5. Reunifikasi
Reunifikasi merupakan suatu penyatuan atau menggabungkan kembali. Istilah

reunifikasi berdasar dari kata unifikasi yang berarti hal
menjadikan seragam.

30

menyatukan hal yang

Reunifikasi dari kata re + unify yaitu, “ to restore the unity or

intergrity of (As a divided country) “. Dari kata dasar tersebut, kemudian Almond an Schuster

28

Ibid, h. 82.
Ibid, h. 83.
30
Tim Penyusun Kamus Bahasa, Kamus Besar Indonesia, Edisi ke-3 Cetakan Pertama, Balai Pustaka, Jakarta,
2001, h. 954.
29

xxx
Universitas Sumatera Utara

memberi pengertian atau definisi mengenai reunifikasi yaitu “The act or process of reunifying
( advocating of the divided country)” yang dapat diartikan sebagai tindakan atau proses
penyatuan kembali atas suatu Negara yang pernah dipisahkan.
Sedangkan Thomas A.Baylis, dalam studinya mengenai reunifikasi menyatakan
pendapatnya bahwa “in fact, the world reunification it self was often replaced by the term
einheit or until. Einheit did not necessarily mean unification in a legal or political sense but
rather in a larger moral sense”, dalam kenyataannya, kata reunifikasi sendiri sering
digantikan dengan einheit atau persatuan. Einheit atau persatuan tidak perlu berarti penyatuan
dalam pengertian hukum atau politik tetapi cukup pada pengertian moral yang lebih besar31.
Munculnya keinginan unifikasi kedua Negara Korea untuk berunifikasi sebenarnya
sudah sejak lama ada. Namun harapan itu terhalang oleh pemerintahan militer AS dan USSR
dengan dalih pembagian Semenanjung Korea telah ditetapkan dalam perundingan sekutu,
yakni Negara-negara pemenang Perang Dunia Kedua. Pada saat kekuatan besar tesebut
meninggalkan Korea, usaha-usaha kongkret untuk mewujudkan Negara Korea yang bersatu
kembali digiatkan oleh kedua Negara Korea. Terbukti reunifikasi secara damai melalui
jalur diplomasidilakukan secara terang-terangan oleh Korea Selatan sejak terbentuknya
Republik Korea tahun 1948 dan masih terus diupayakan sampai saat ini baik dilakukan
dengan cara perundingan, kerjasama, maupun dialog32.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Korea Utara dalam mewujudkan Negara Korea
yang satu, walaupun dalam kenyataannya kebijakan luar negeri Korea Utara baik dengan
Korea Selatan maupun dengan Negara-negara lainnya cenderung mengancam. Namun saat

Almond and Schuster, Websters‟s, New Twentieth Century Dictionary Of the English Language : unabridged,
edisi ke-2, New York, 1983, h. 15.
32
Baca tulisan Thomas A. Baylis, The Germanys or One? The Return The “German Question”, dalam Ursula
Hoffman-Lange (ed), Social and Political Structure in The West Germany, “From Authori Tarianism to Post
Industrial Democracy”, West View Special Studies in West European Politics and Society, Munich, 1998,
h.190.

31

xxxi
Universitas Sumatera Utara

ini, Korea Utara mulai mempertimbangkan dan menjalankan upaya penyatuan melalui jalur
diplomatik atau negosiasi.
Terwujudnya reunifikasi Korea merupakan harapan rakyat di Semenanjung Korea
karena pada awalnya mereka adalah bangsa yang satu namun terpisakan oleh persaingan
antara Negara super power pada masa Perang Dingin. Namun ironisnya, hambatan-hambatan
yang ada dalam peroses penyatuan kembali Korea justru dari dalam negeri dan berkaitan
dengan upaya kedua Negara tersebut dalam menjaga dan mempertahankan kepentingan
nasionalnya tersebut, seperti kesenjangan ekonomi yang cukup besar, perbedaan ideologi dan
adanya isu pengembangan nuklir yang semakin memperburuk keadaan maupun belum
adanya formulasi yang tepat bagi Korea yang satu.
1.7. Metodologi Penelitian
1.7.1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan historis.
Metode deskriptif merupakan suatu cara untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat
fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu, penelitian ini
berusaha untuk menggambarkan situasi atau kejadiandan juga metode historis. Menurut
Kuntowijoyo metode historis merupakan prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan
data masa lalu atau peninggalan-peninggalan masa lalu untuk memahami kejadian atau suatu
keadaan yang berlangsung pada masa lalu. Hasil dari penelitian historis dapat dipergunakan
untuk meramalkan kejadian atau keadaan masa yang akan datang. Metode Historis lebih
memusatkan pada data masa lalu berupa peninggalan atau artefak, dokumen, arsip, dan
tempat-tempat yang dianggap keramat. Tujuan penelitian historis adalah membuat

xxxii
Universitas Sumatera Utara

rekontruksi masa lampau secara objektif, dan sistematis dengan mengumpulkan,
memverifikasikan, menginterpretasi, mensintesa dan menuliskan menjadi kisah sejarah.33
1.7.2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang tujuan utamanya adalah untuk memperoleh wawasan tentang
topik tertentu. Fokus penelitian kualitatif adalah eksplorasi. Hal ini digunakan untuk
memperoleh pemahaman tentang alasan yang mendasari opini dan motivasi.34
1.7.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan cara studi pustaka.
Melalui studi pustaka, data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang di dapat dari buku,
jurnal, website, artikel, ataupun sumber – sumber lain yang berkaitan dengan judul penelitian
ini. Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca, menganalisis, kemudian mengutip
dari sumber – sumber tersebut.
1.7.4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
menggunakan jenis data kualitatif, dimana analisis data dalam penelitian ini dilakukan pada
saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode
tertentu.35
1.8.

Sistematika Penulisan

33

Kuntowijoyo. Pengantar ilmu sejarah. Yogyakarta : Yayasan Bandung Budaya. 1995. Hal. 89.
John W. Creswell. 2014.Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar), hal. 4.
35
Sumadi Surya Brata. 1992. Metode Penelitian. Jakarta; Rajawali pers. Hal 47.
34

xxxiii
Universitas Sumatera Utara

Sistematika Penulisan merupakan suatu penjabaran secara deskriptif tentang hal-hal yang
akan ditulis, yang secara garis besar terdiri dari Bagian Awal, Bagian Isi dan Bagian akhir.
Dalam Penulisan Penelitian ini penulis membaginya ke dalam empat bab. Adapun susunan
penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, kerangka konsep, metodologi penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB II : PASANG SURUT HUBUNGAN ANTARA KOREA SELATAN DAN
KOREA UTARA
Dalam bab ini berisi data tentang sejarah konflik semenanjung Korea, kronologi
kependudukan Jepang di Korea, akhir perang dunia ke-2 dan pembagian dua Korea, perang
Korea (1950-1953), hingga kebijakan Korea Selatan terhadap Korea Utara sebelum
pemerintahan Roh Moo Hyun.
BAB III : THE POLICY OF PEACE AND PROSPERITY
Dalam bab ini berisi penjelasan data yang telah di peroleh dari sumber-sumber
terkait, mengenai prinsip dan tujuan, instrumen dalam the Policy of Peace and Prosperity,
hambatan-hambatan dalam penerapan the Policy of Peace and Prosperity, serta
pencapaian the Policy of Peace and Prosperity.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini berisi kesimpulan akhir dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis,
beserta saran – saran yang akan dikemukakan penulis terkait dengan penelitian tersebut.

xxxiv
Universitas Sumatera Utara