Kedudukan Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Di Pengadilan Negeri Medan (Studi Terhadap Efektivitas Perma Nomor 1 Tahun 2016)

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak

bisa terhindar dari sengketa. Perbedaan pendapat maupun persepsi diantara
manusia yang menjadi pemicu timbulnya sengketa. Sengketa merupakan salah
satu hal yang dapat muncul kapan saja dan dimana saja. Sengketa bermula dari
suatu kondisi dimana salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak tertentu yang
dimana hal ini diawali oleh rasa tidak puas yang bersifat tertutup. Proses sengketa
terjadi karena tidak adanya titik temu antara para pihak yang bersengketa. Bentuk
sengketa bermacam-macam dimana setiap permasalahannya memiliki banyak
lika-liku. Terdapat beberapa pilihan dalam menyelesaikan sengketa hukum salah
satunya yang paling sering dipakai oleh masyarakat adalah penyelesaian sengketa
melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan terkadang tidak
memberikan penyelesaian sebagaimana yang diharapkan oleh para pihak.
Penyelesaian dengan cara ini juga dikenal memakan waktu yang cukup lama dan
mengeluarkan biaya yang cukup mahal.
Dalam proses litigasi, pemeriksaan suatu perkara dianggap telah selesai

karena semua tingkat upaya hukum telah digunakan secara maksimal. Akibatnya
perkara tersebut akan dianggap tuntas dengan ditandai proses eksekusi. Namun
bila ditelaah, sebenarnya dengan berakhirnya proses litigasi bukan berarti
sengketa di antara para pihak telah benar-benar selesai, karena dengan munculnya

1
Universitas Sumatera Utara

pihak yang kalah, justru sering menumbuhkan dendam yang berkepanjangan,
sehingga pihak yang kalah akan terus melakukan ronrongan kepada pemenangnya
agar ia tidak bisa menikmati hasil kemenangannya itu. Kondisi seperti itu justru
menjadi kontraproduktif dengan tujuan penyelesaian sengketa itu sendiri, karena
bukan hanya konfliknya tidak selesai secara tuntas, namun pihak yang nyata-nyata
telah dinyatakan menang oleh putusan pengadilan pun pada kenyataannya tidak
bisa menikmati kemenangan itu secara nyaman dan tentram. 2
Penyelesaian dengan cara litigasi ini hanya digunakan untuk memuaskan
rasa emosional demi mencari kepuasan pribadi dengan keinginan agar pihak
lawan dinyatakan kalah oleh putusan pengadilan negeri dimana kebanyakan pihak
yang mengajukan tidak memperhitungkan apakah nilai yang disengketakan itu
sebanding atau tidak dengan pengorbanan yang telah dilakukan selama proses

persidangan yang begitu panjang. Proses litigasi memang lebih memberikan
kepastian hukum karena putusannya dapat dilaksanakan dengan kekuatan
eksekusi, namun pada kenyataannya eksekusi itu justru dianggap tidak bisa
memberi kenyamanan dalam menikmati hasil dari kemenangan itu, bahkan dalam
beberapa kasus eksekusi tidak dapat dijalankan. Kinerja institusi penegak hukum
masih dianggap kurang memenuhi harapan dan perasaan keadilan dalam
masyarakat dimana lembaga peradilan yang seharusnya menjadi jalan terakhir
untuk mendapatkan keadilan akan tetapi sering tidak mampu memberikan
keadilan yang diharapkan.
Berangkat dari kekurangan penyelesaian sengketa melalui litigasi ini,
kemudian berkembanglah berbagai pilihan penyelesaian sengketa atau disebut
2

Rachmadi Usman (Buku I), Mediasi di Pengadilan dalam Teori dan Praktik, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2012), hal.13-14.

2
Universitas Sumatera Utara

alternatif penyelesaian sengketa yang dianggap sebagai pengganti dari mekanisme

penyelesaian sengketa di pengadilan dimana penyelesaian sengketa ini dilakukan
diluar pengadilan atau non litigasi yang lebih menguntungkan para pencari
keadilan yang bertujuan untuk mengakomodir keinginan-keinginan para pihak
yang bersengketa. Adapun alternatif tersebut antara lain : Arbitrase, konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Kesepakatan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan ini dilakukan dengan cara mufakat oleh para pihak.
Penyelesaian sengketa dengan cara ini dilaksanakan berdasarkan prinsip
kesukarelaan yang pelaksanaannya tergantung pada ketaatan para pihak yang
bersengketa.
Mas

Achmad

Sentosa

dalam

makalahnya

“Perkembangan


ADR

Indonesia” mengemukakan sekurang-kurangnya ada 5 (lima) faktor utama yang
memberikan dasar diperlukannya pengembangan penyelesaian sengketa alternatif
di Indonesia, yaitu : 3
1. Sebagai upaya meningkatkan daya saing dalam mengundang penanaman
modal ke Indonesia.
2. Tuntutan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang
aefisien dan mampu memenuhi rasa keadilan.
3. Upaya untuk mengimbangi meningkatnya daya kritis masyarakat yang
dibarengi dengan tuntutan berperan serta aktif dalam proses pembangunan
( termasuk pengambilan keputusan terhadap urusan-urusan publik).
4. Menumbuhkan iklim persaingan sehat (peer pressive) bagi lembaga
peradilan.
5. Sebagai langkah antisipasif membendung derasnya arus perkara mengalir
ke pengadilan.

Alternatif penyelesaian sengketa menawarkan berbagai bentuk proses
penyelesaian yang fleksibel dengan menerapkan satu atau beberapa bentuk

mekanisme yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan dengan
3

Ibid, hal.17-18.

3
Universitas Sumatera Utara

demikian sengketa diusahakan mencapai suatu penyelesaian final. Usaha ini
ditempuh melalui proses yang sifatnya informal dan sesuai bagi sengketa yang
kadang-kadang sangat pribadi atau melalui proses mekanisme yang disusun
bersama oleh para pihak secara kesepakatan agar dapat pula dimanfaatkan
dikemudian hari bagi sengketa yang lebih besar, teknis dan kompleks. 4
Istilah alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam UndangUndang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (LN Tahun 1999 No. 138). Istilah alternatif penyelesaian sengketa
merupakan terjemahan dari istilah Inggris alternative dispute resolution yang
lazim disingkat dengan sebutan ADR. Namun, sebagian kalangan akademik di
Indonesia menerjemahkan istilah alternative dispute resolution dengan istilah
“pilihan penyelesaian sengketa”. 5
Alternatif penyelesaian sengketa diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimana dalam pasal
1 angka 10 dijelaskan bahwa :
“Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melaui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli.”
Bentuk

Alternatif

penyelesaian

sengketa

yang

cukup

pesat


perkembangannya salah satunya adalah mediasi. Mediasi pada dasarnya adalah
negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai
4

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar,
( Jakarta : Fikahati Aneska, 2002), hal.2.
5
Takdir Rahmadi, Mediasi : Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat,
(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010), hal.10.

4
Universitas Sumatera Utara

prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu dalam situasi konflik untuk
mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses tawarmenawar bila tidak ada negosiasi tidak ada mediasi. Mediator dalam mediasi,
berbeda halnya dengan arbiter atau hakim. Mediator tidak mempunyai kekuasaan
untuk memaksakan suatu penyelesaian pada pihak-pihak yang bersengketa. 6
Menurut Tolberg dan Taylor yang dimaksud dengan mediasi adalah
“Suatu proses dimana para pihak dengan bantuan seseorang atau beberapa orang
secara sistematis menyelesaikan permasalahan yang disengketakan untuk mencari

alternatif dan dapat mempercaya penyelesaian yang dapat mengakomodasi
kebutuhan mereka.” 7
Mediasi sebagai bagian dari alternatif penyelesaian sengketa atau pilihan
penyelesaian sengketa dimana mediasi ini dilakukan dengan tujuan untuk
menyelesaikan sengketa antara para pihak yang dilakukan oleh pihak ketiga yang
bersifat netral dan imparsial. Dalam penyelesaian sengketa dengan cara mediasi
ini menempatkan kedua belah pihak yang berperkara dalam posisi yang sama,
tidak ada pihak yang menang ataupun pihak yang kalah. Dalam penyelesaian
sengketa dengan cara mediasi ini harus adanya keinginan dan itikad baik dari para
pihak yang juga akan dibantu oleh pihak ketiga dalam melaksanakan perdamaian
itu. Adapun pihak ketiga dalam mediasi tersebut disebut mediator yang bertugas
membantu para pihak dalam menyelesaikan masalahnya

akan tetapi tidak

memiliki wewenang dalam mengambil keputusan.

6

Nurnaningsih Amriani, Mediasi : Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di

Pengadilan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), hal.28-29.
7
http://www.suduthukum.com/2016/08/upaya-damai-mediasi-pengertian-sejarah, diakses
pada tanggal 22 Oktober 2016.

5
Universitas Sumatera Utara

Dalam proses mediasi terjadi permufakatan diantara para pihak dan
bantuan mediator dalam mediasi ini diharapkan mampu menemukan berbagai
pilihan solusi penyelesaian sengketa, yang akan dilakukan oleh para pihak yang
bersengketa. Hasil dari mediasi ini dituangkan dalam kesepakatan tertulis, yang
bersifat final dan mengikat para pihak yang bersengketa agar dilaksanakan dengan
asas itikad baik. Adapun maksud dari “Itikad Baik” adalah dimana para pihak
yang bersengketa menyampaikan saran-saran melalui jalur yang bagaimana
sengketa akan diselesaikan oleh mediator, karena mereka sendiri tidak mampu
melakukannya.

Melalui


kebebasan

ini

dimungkinkan

kepada

mediator

memberikan penyelesaian yang inovatif melalui suatu bentuk penyelesaian yang
tidak dapat dilakukan oleh pengadilan, akan tetapi para pihak yang bersengketa
memperoleh manfaat yang saling menguntungkan. 8
Pendekatan mufakat dalam mediasi mengandung arti, bahwa segala
sesuatu yang dihasilkan merupakan hasil dari persetujuan bersama ataupun
kesepakatan para pihak. Penyelesaian itu dapat dicapai jika semua pihak yang
bersengketa dapat menerima penyelesaian itu. Mediator yang netral mengandung
arti bahwa mediator tidak memihak kepada para pihak, tidak memiliki
kepentingan dengan sengketa yang sedang terjadi, serta tidak diuntungkan
maupun dirugikan bila ternyata sengketa dapat diselesaikan maupun menemukan

jalan buntu.
Mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang memiliki
kelebihan-kelebihan sehingga menjadi pilihan yang tepat bagi para pihak yang
bersengketa. Adapun kelebihan mediasi adalah kerahasiaan dan ketertutupan yang

8

Priyatna Abdurrasyid,Op.Cit., hal.34-35.

6
Universitas Sumatera Utara

menjadi daya tarik bagi kalangan tertentu, contohnya para pengusaha yang tidak
ingin masalah yang dihadapinya diketahui oleh publik. Mediasi juga dilakukan
secara cepat, dan menghasilkan kesepakatan secara komperehensif yang dimana
keputusan itu dapat diterima dengan baik oleh para pihak. Para pihak dalam
mediasi juga dapat memakai bahasa sehari-hari yang lazim mereka gunakan tanpa
perlu memakai istilah-istilah hukum yang lazim dipakai dalam proses beracara di
pengadilan. Meskipun mediasi memiliki banyak kekuatan, akan tetapi mediasi
juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu juga diketahui para pihak bahwa
mediasi hanya akan dapat dilaksanakan secara efektif jika para pihak benar-benar
memiliki keinginan untuk menyelesaiakan sengketa diantara mereka dengan cara
mediasi ini, karena jika hanya salah satu dari mereka yang ingin melakukannya
maka mediasi ini tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
Latar

belakang

lahirnya

mediasi

pada

dasarnya

adalah

karena

pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi
salah satu instrumen yang mengatasi penumpukan perkara di pengadilan. Mediasi
merupakan salah satu proses yang lebih cepat dan murah serta memberikan
kesempatan para pihak yang bersengketa agar dapat memperoleh keadilan dan
rasa kepuasan atas hasil dari penyelesaian sengketa yang tengah mereka hadapi.
Perdamaian pada dasarnya telah ada dalam dasar negara Indonesia, yaitu
Pancasila dimana disiratkan bahwa asas penyelesaian sengketa adalah
musyawarah untuk mufakat. Penyelesaian perkara di luar pengadilan telah dirintis
sejak lama oleh para ahli hukum sehingga Mahkamah Agung sebagai lembaga
tertinggi merasa bertanggung jawab untuk merealisasikan undang-undang tentang
mediasi. Mahkamah Agung pada September 2001 mengadakan Rapat kerja

7
Universitas Sumatera Utara

Nasional yang menghasilkan SEMA No. 1 Tahun 2002 Tentang pemberdayaan
pengadilan tingkat pertama menerapkan lembaga damai. Pada Januari 2003
Mahkamah Agung mengadakan temu karya yang dimana hasil dari temu karya ini
menghasilkan Perma No. 2 Tahun 2003.
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 ini menjadikan mediasi
sebagai salah satu proses beracara di pengadilan. Bahwa semua perkara perdata
yang diajukan pada pengadilan tingkat pertama harus terlebih dahulu diselesaikan
dengan upaya damai. Dalam perma ini hakim diwajibkan untuk menawarkan
mediasi kepada para pihak yang berperkara dimana sebelum dilakukannya
mediasi hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak mengenai
prosedur

dan

biaya

mediasi.

Pada

tahun

2008

Mahkamah

Agung

menyempurnakan prosedur mediasi ini dengan melahirkan Perma No. 1 Tahun
2008. Penyempurnaan tersebut dilakukan karena Perma No. 2 tahun 2003
mengalami masalah yang menyebabkan penerapannya tidak efektif di pengadilan.
Perma ini dikeluarkan untuk mempercepat, mempermudah proses penyelesaian
sengketa dimana kehadiran perma ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian,
ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak.
Perma No. 1 tahun 2008 yang dikeluarkan pada tanggal 31 Juli 2008 ini
membawa beberapa perubahan penting dimana memungkinkan para pihak
menempuh mediasi pada tingkat banding atau kasasi. Sangat berbeda dengan
Perma No 2 tahun 2003 dimana mediasi hanya ditawarkan pada awal saja.
Lahirnya Perma No 1 tahun 2008 ini sebagai suatu hal positif yang membantu
para pihak untuk lebih memahami mediasi. Perma No. 1 Tahun 2008 ini
memberikan pengaturan yang lebih lengkap mengenai proses mediasi di

8
Universitas Sumatera Utara

pengadilan. Peraturan ini mengarahkan para pihak yang berperkara agar
menempuh proses perdamaian secara detail. Mediasi wajib dilakukan dengan hatihati untuk menghindari penyalahgunaan oleh pihak yang tidak beritikad baik.
Mediasi tidak hanya bermanfaat bagi para pihak, tetapi juga bermanfaat bagi
pengadilan. Mediasi dapat mengurangi kemungkinan penumpukan jumlah perkara
yang diajukan ke pengadilan, sehingga jika banyak perkara yang berhasil melalui
proses mediasi ini akan membuat pemeriksaan perkara di pengadilan berjalan
lebih cepat.
Mengenai mediator dalam Perma No. 2 tahun 2003, mediator adalah pihak
ketiga yang menyelesaikan perkara para pihak. Dalam Perma No. 2 tahun 2003
dan juga UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa sama sekali tidak menyebutkan tentang syarat-syarat ataupun kriteria
yang harus dipenuhi oleh seorang mediator. Dalam Pasal 1 angka 6 Perma No. 1
tahun 2008 menyebutkan bahwa :
“Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses
perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa
tanpa

menggunakan

cara

memutus

atau

memaksakan

sebuah

penyelesaian.”

Mediator tidak dibenarkan masuk kedalam proses mediasi tanpa
persetujuan tertulis dari pihak dalam sengketa yang akan dimediasikan. Sebelum
persetujuan diberikan, mediator harus menyampaikan kepada para pihak adanya
kemungkinan kepentingan yang dimilikinya menyangkut dengan salah satu pihak

9
Universitas Sumatera Utara

dan keadaan lainnya yang mungkin dapat mempengaruhi azas prasangka tidak
berpihak. 9
Dalam pasal 14 Perma No.1 tahun 2008 disebutkan bahwa :
“Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu
pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut
tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi
yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri
pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. Jika setelah
proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang
sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan
yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam
surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat
menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat
menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara
yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak
tidak lengkap.”

Dibentuknya Perma No. 1 tahun 2008 adalah dengan maksud mengatasi
kekurangan Perma No. 2 tahun 2003. Akan tetapi, pelaksanaan perma ini masih
juga memiliki beberapa hambatan dalam pelaksanannya. Adapun faktor yang
menghambat pelaksanaan itu antara lain :
1. Terbatasnya jumlah mediator dan jumlah hakim
2. Itikad baik para pihak yang bersengketa
Dimana itikad baik sangat penting agar tercapainya keberhasilan dalam
mediasi. Apabila para pihak hanya mengejar keuntungan tanpa
memperhatikan kepentingan mereka, maka perdamaian dengan cara
mediasi akan sangat sulit tercapai.
3. Kurangnya dukungan para hakim

9

Ibid, hal.44.

10
Universitas Sumatera Utara

Perlunya penciptaan insentif yang jelas dan transparan bagi para hakim
yang sukses mendamaikan, sehingga para hakim dapat mendukung
sepenuhnya proses mediasi.
4. Ruangan Mediasi
Diperlukannya rehabilitasi gedung kantor pengadilan, dimana saat ini
masih banyaknya pengadilan yang kekurangan ruangan.
Hambatan pelaksanaan Perma No.1 Tahun 2008 menjadi alasan
dilahirkannya Perma No.1 Tahun 2016. Dimana Perma No.1 Tahun 2008
dianggap belum efektif pelaksanaannya. Ada beberapa poin penting dalam Perma
No.1 Tahun 2016 yang berbeda dengan Perma No. 1 Tahun 2008. Salah satunya,
Jangka waktu penyelesaian mediasi dalam Perma No.1 Tahun 2016 menjadi 30
hari, dimana sebelumnya dalam Perma No. 1 Tahun 2008 adalah 40 hari. Dalam
Perma No.1 Tahun 2016 diwajibkan bagi para pihak untuk hadir dengan atau
tanpa kuasa hukumnya, kecuali ada ada alasan yang sah seperti kondisi kesehatan
yang tidak baik, berdasarkan surat keterangan dokter, sedang menjalankan tugas
negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak mungkin ditinggalkan. Hal
yang terpenting adalah adanya itikad baik oleh para pihak dan sanksi bagi pihak
yang tidak memiliki itikad baik dalam proses mediasi.
Terdapat tiga faktor yang menyebabkan ketidakberhasilan proses mediasi
yakni tidak adanya itikad baik para pihak, peran advokat atau kuasa hukum para
pihak, dan penjelasan majelis yang memeriksa perkara belum optimal sehingga
mengakibatkan para pihak kurang memahami bagaimana proses mediasi. Dalam
Perma No.1 Tahun 2016 mewajibkan para pihak beritikad baik ketika melakukan
mediasi. Jika tidak, akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang tidak

11
Universitas Sumatera Utara

beritikad baik yaitu berdasarkan laporan mediator adanya putusan gugatan tidak
dapat diterima disertai hukuman membayar biaya mediasi dan biaya perkara.
Majelis hakim yang memeriksa perkara wajib menjelaskan prosedur mediasi
secara jelas kepada para pihak serta memberi penjelasan mengenai dokumendokumen persetujuan melakukan mediasi dengan itikad baik yang harus
ditandatangani oleh para pihak.
Perma No. 1 Tahun 2016 diterbitkan dengan tujuan untuk meningkatkan
keberhasilan mediasi di pengadilan umum dan pengadilan agama. Perma yang
terbaru ini memiliki pengaturan mediasi yang cakupannya lebih luas dari Perma
sebelumnya. Dalam Perma No. 1 Tahun 2016 ini juga kembali menegaskan
peranan mediator independen agar berperan lebih aktif dalam penyelesaian
perkara di luar pengadilan dan lahirnya mediator-mediator handal dan yang
mampu menyelesaikan permasalahan di masyarakat dengan cara damai.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang di atas, penulis
tertarik

untuk

mengadakan

penelitian

dengan

judul

“KEDUDUKAN

MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN
NEGERI MEDAN ( STUDI TERHADAP EFEKTIVITAS PERMA NOMOR
1 TAHUN 2016)”.

B.

Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang di atas, maka

dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Kedudukan Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Di
Pengadilan Negeri Medan ?

12
Universitas Sumatera Utara

2. Bagaimana efektivitas Perma Nomor 1 Tahun 2016 di Pengadilan Negeri
Medan ?
3. Kendala-Kendala Apa Saja Yang Dialami Mediator Dalam Pelaksanaan
Mediasi Di Pengadilan Negeri Medan ?

C.

Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan

sebelumnya, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kedudukan mediator dalam penyelesaian sengketa di
Pengadilan Negeri Medan.
2. Untuk mengetahui efektivitas Perma Nomor 1 Tahun 2016 di Pengadilan
Negeri Medan.
3. Untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang dialami mediator dalam
pelaksanaan mediasi di Pengadilan Negeri Medan.

D.

Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan penulis dalam skripsi ini adalah :
1. Secara teoritis
Penulisan skripsi ini diharapkan sebagai acuan dalam perkembangan ilmu
hukum di Indonesia. Hal-hal yang tertuang dalam penulisan skripsi Ini
diharapkan menambah pengetahuan para mahasiswa hukum dan juga
masyarakat khususnya berkaitan tentang mediasi di pengadilan serta
kedudukan mediator dalam mediasi. Skripsi ini diharapkan dapat
memberikan gambaran yang nyata kepada masyarakat tentang bagaimana

13
Universitas Sumatera Utara

pelaksanaan mediasi di pengadilan dengan diterapkannya Perma No. 1
Tahun 2016 Tentang prosedur mediasi di Pengadilan.
2. Secara praktis
Penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi mahasiswa, praktisi
hukum khususnya bagi advokat dan para hakim, pemerintah, mediator
dalam mediasi, maupun masyarakat khususnya para pihak yang terlibat
dalam suatu sengketa sehingga penulisan skripsi ini dapat dijadikan acuan
dalam penyelesaian sengketa yang melalui proses mediasi.

E.

Metode Penelitian
Dalam melakukan suatu penelitian kita tidak terlepas dengan penggunaan

metode. Setiap penelitian haruslah menggunakan metode guna menganalisa
permasalahan yang akan dibahas dalam suatu penelitian. Adapun metode yang
dipakai penulis adalah :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis
normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif adalah penelitian dengan
cara pengambilan bahan maupun data dari kepustakaan dimana penelitian
ini mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan norma-norma
hukum dalam masyarakat. Sedangkan penelitian yuridis empiris terdiri
atas penelitian terhadap identifikasi hukum, penelitian terhadap efektivitas
hukum yang meliputi (kaidah hukum, penegak hukum, sarana atau
fasilitas,

dan kesadaran hukum masyarakat), penelitian terhadap

14
Universitas Sumatera Utara

perbandingan hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian psikologi
hukum. 10
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif yang dimana
penelitian ini berusaha memberikan gambaran tentang sebagian ataupun
keseluruhan objek yang akan diteliti. Penelitian deskriptif bertujuan
menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala
atau kelompok tertentu, atau untu menentukan penyebaran suatu gejala,
atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan
gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini, kadang-kadang berawal dari
hipotesis, tetapi dapat juga tidak bertolak dari hipotesis, dapat membentuk
teori-teori baru atau memperkuat teori yang sudah ada, dan dapat
menggunakan data kualitatif atau kuantitatif. 11
3. Sumber data
Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data primer dan
data sekunder, yaitu :
a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung ke lapangan dengan
cara wawancara. Penulis melakukan wawancara dengan mediator
hakim yang melaksanakan mediasi di Pengadilan Negeri Medan.
b. Data Sekunder
Data yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan meliputi bukubuku yang berkaitan dengan objek penelitian, peraturan perundang-

10

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal.30-46.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta : Raja
grafindo Persada, 2014), hal.25-26.
11

15
Universitas Sumatera Utara

undangan, artikel hukum, pendapat para sarjana, dan bahan lainnya.
Data sekunder ini dapat dibagi menjadi :
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri
peraturan peundang-undangan yang berkaitan dengan judul
penelitian yaitu Perma No.1 Tahun 2016 Tentang prosedur
mediasi di pengadilan.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan tentang hukum primer antara lain berupa buku-buku
ataupun tulisan ilmiah hukum yang berkaitan dengan judul
penelitian.
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
tentang bahan hukum primer dan sekunder antara lain berupa
kamus, ensiklopedia, surat kabar, maupun artikel hukum dari
internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan (Data Sekunder)
Dilakukan dengan mempelajari berbagai sumber bacaan yang
berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini. Seperti :
Buku-buku hukum, surat kabar, majalah hukum, makalah hukum,
maupun artikel hukum dari internet, serta pendapat sarjana hukum dan
bahan-bahan lainnya.
b. Studi Lapangan (Data Primer)
Penelitian langsung ke lapangan yang dilakukan dengan wawancara
antara penulis dengan mediator hakim yang melaksanakan mediasi di

16
Universitas Sumatera Utara

Pengadilan Negeri Medan. Wawancara yang dilakukan penulis terkait
mengenai efektivitas Perma No.1 Tahun 2016 di Pengadilan Negeri
Medan.
5. Analisis Data
Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, metode
kualitatif ini digunakan agar penulis dapat mengerti dan memahami gejala
yang ditelitinya. 12 Penulisan skripsi dengan metode analisis kualitatif
dilakukan dengan menelaah bahan-bahan hukum baik dari buku-buku,
internet, serta peraturan perundang-undangan dan juga melakukan analisis
hukum tentang peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat
pada saat sekarang ini. Peneliti mencari tahu dan menggali sumber yang
berkaitan dengan peristiwa hukum yang dituangkan dalam penelitian ini.

F.

Keaslian Penulisan
Skripsi

ini

berjudul



KEDUDUKAN

MEDIATOR

DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN NEGERI MEDAN (STUDI
TERHADAP EFEKTIVITAS PERMA NOMOR 1 TAHUN 2016)”. Langkah
awal yang dilakukan penulis sebelumnya adalah melakukan penelusuran terhadap
judul skripsi yang ada pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Sepengetahuan penulis materi yang dibahas dalam skripsi ini belum pernah
dijadikan judul ataupun pembahasan pada skripsi yang ada di Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sehingga penulis tertarik
mengangkat judul skripsi ini.
12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia
Press, 2007), hal.21.

17
Universitas Sumatera Utara

G.

Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini akan mempermudah penulisan dan penjabaran

penulisan skripsi dengan memberikan gambaran yang lebih jelas. Penelitian ini
dibagi menjadi lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I :

PENDAHULUAN
Bab ini berisikan tentang latar belakang, yaitu apa alasan yang
mendorong penulis untuk mengangkat judul ini dalam suatu
penelitian hukum. Permasalahan, yaitu hal-hal yang menjadi
permasalahan dalam penulisan skripsi ini yang nantinya akan dicari
solusi dari suatu permasalahan tersebut. Tujuan penulisan yaitu
maksud dari penulis melakukan penulisan skripsi ini. Manfaat
penulisan, yaitu apa manfaat yang ditimbulkan dengan adanya
skripsi ini baik manfaat bagi penulis sendiri maupun pembacanya.
Metode penelitian, yaitu metode yang penulis pakai dalam mengkaji
setiap permasalahan yang ada. Keaslian penulisan, yaitu penegasan
bahwa skripsi ini bukan merupakan plagiat dari penulisan orang lain
dan dapat dijamin keasliannya. Sistematika penulisan yaitu uraian
ringkas tentang skripsi ini.

BAB II :

TINJAUAN UMUM TENTANG PILIHAN PENYELESAIAN
SENGKETA
Bab ini menguraikan tentang pengertian umum dan penyebab
timbulnya sengketa, latar belakang lahirnya pilihan penyelesaian
sengketa, bentuk-bentuk dan pelaksanaan pilihan penyelesaian
sengketa.

18
Universitas Sumatera Utara

BAB III :

TINJAUAN UMUM TENTANG MEDIASI DAN PROSEDUR
MEDIASI DI PENGADILAN
Bab ini membahas tentang latar belakang lahirnya prosedur
mediasi di Pengadilan, esensi mediasi dalam penyelesaian perkara
perdata di Pengadilan, pengertian mediator dan fungsi mediator di
Pengadilan.

BAB IV :

KEDUDUKAN
SENGKETA DI

MEDIATOR

DALAM

PENYELESAIAN

PENGADILAN NEGERI MEDAN (STUDI

TERHADAP EFEKTIVITAS PERMA NOMOR 1 TAHUN 2016 )
Bab ini menjelaskan tentang bagaimana kedudukan mediator dalam
penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri Medan, bagaimana
efektivitas Perma Nomor 1 Tahun 2016 di Pengadilan Negeri
Medan, apa saja kendala-kendala yang dialami mediator dalam
pelaksanaan mediasi di Pengadilan Negeri Medan.
BAB V :

KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan skripsi ini yang
berisikan kesimpulan dan saran dari bab-bab yang telah dibahas
sebelumnya.

19
Universitas Sumatera Utara