Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ( Studi Putusan No. 64 Pid.Sus. K 2013 PN.Mdn)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berperan untuk mendorong percepatan
pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat sehingga rakyat
dapat hidup dengan makmur dan sejahtera. Namun demikian, harapan
peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat masih belum sepenuhnya
tercapai. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator atau tolak ukur
kesejahteraan yang relatif masih buruk seperti tingkat kemiskinan, tingkat
pengangguran yang tinggi, kesenjangan pendapatan yang tinggi, dan lain
sebagainya.
Di Indonesia, salah satu penyebab belum tercapainya kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat adalah masih mewabahnya penyakit korupsi. Korupsi tidak
saja merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian negara, tetapi juga
mengakibatkan terhambatnya pembangunan nasional. Anggaran yang seharusnya
dipergunakan untuk pembangunan jalan, gedung sekolah, rumah sakit, puskesmas,
sarana olahraga, dan lain sebagainya dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas
sarana dan prasaranana pelayanan publik kini telah disalahgunakan untuk
kepentingan pribadi, keluarga, ataupun kelompok tertentu dengan cara berbuat
korupsi sehingga rakyat jauh dari kata sejahtera.

Korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan
keuangan dan perekonomian negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap

Universitas Sumatera Utara

hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan
sebagai extraordinary crime sehingga pemberantasannya harus dilakukan dengan
cara yang luar biasa. Dampak dari tindak pidana korupsi selama ini, selain
merugikan keuangan dan perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan
dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. 1
Salah satu lahan korupsi yang paling subur dan sistemik adalah di bidang
pengadaan barang/jasa pemerintah. Sektor ini memiliki pengaruh yang sangat
besar dalam membangun kekuatan ekonomi di suatu negara, dan juga rentannya
sektor ini terhadap resiko mal administrasi dan tindak pidana korupsi yang
merugikan keuangan negara. Sepanjang berdirinya Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), tidak kurang 50 (lima puluh) perkara yang terkait penyimpangan
pengadaan

barang/jasa


pemerintah

di

mana

perkara-perkara

tersebut

mengakibatkan kerugian negara sebesar 35 (tiga puluh lima) persen dari total nilai
proyeknya. 2
Tidak banyak bidang yang menimbulkan godaan atau membuka peluang
demikian besar untuk korupsi seperti pengadaan barang dan jasa. Setiap tingkat
dalam administrasi pemerintahan dan setiap lembaga pemerintahan membeli
barang dan jasa, dan kuantitas dan nilainya seringkali tidak masuk akal besarnya. 3
Sistem pengadaan di Indonesia secara luas diyakini merupakan sumber utama
bagi kebocoran anggaran, yang memungkinkan korupsi dan kolusi yang memberi
1


Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance, (Jakarta: Timpani
Publishing, 2010), hlm. 77-78.
2
http://pantaupengadaan.org/files/Laporan%20Kajian%20Korupsi%20Pengadaan%20dan
%20Rekomendasi%20Sanksi.pdf, Laporan Kajian Korupsi Pengadaan dan Rekomendasi Sanksi,
hlm. 76, diakses tanggal 29 Februari 2016 Pukul 21.00 Wib.
3
Transparency International Indonesia, Strategi Memberantas Korupsi (Elemen Sistem
Integritas Nasional), (Jakarta: Yayasan Obor Rakyat, 2003), hlm. 378.

Universitas Sumatera Utara

sumbangan besar terhadap kemerosotan pelayanan jasa bagi rakyat Indonesia.
Besarnya pengadaan mengesankan skala potensial masalah tersebut. 4
Korupsi sebagai sebuah kejahatan pada masa kini dapat diibaratkan seperti
penyakit mematikan yang tidak kunjung disembuhkan. Korupsi didalam
pemerintahan khususnya, seperti korupsi pengadaan barang/jasa (procurement/
public procurement) menyerap anggaran sedikit demi sedikit dan secara perlahan
dan pasti telah menghabiskan anggaran negara yang seharusnya dialokasikan
untuk kepentingan rakyat. Akibatnya, berbagai fasilitas dan akses masyarakat

akan kebutuhan tertentu tidak mampu diakomodasi oleh pemerintah secara
maksimal. 5
Merujuk pada data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan 70
persen praktik korupsi berakar dari sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), dari 560 kasus korupsi
sepanjang 2013 dengan angka kerugian negara sebesar Rp. 7,3 Triliun, 40,7
persen (228 kasus) merupakan kasus yang berkaitan dengan korupsi dalam sektor
pengadaan barang dan jasa pemerintah. Lebih lanjut, dari 1271 tersangka, sekitar
47,6 persen (605 orang) merupakan tersangka korupsi pengadaan barang dan jasa.
Fakta lain, berdasarkan Laporan Akuntabilitas Kinerja KPK 2014, penanganan
berdasarkan jenis perkara menunjukkan dari 58 perkara korupsi sepanjang 2014,
15 diantaranya kasus korupsi pengadaan barang dan jasa. Sisanya berupa 5 kasus

4

World Bank Office Jakarta, Memerangi Korupsi di Indonesia Memperkuat Akuntabilitas
Untuk Kemajuan, (Jakarta: World Bank Office Jakarta, 2003), hlm. 87.
5
http://pantaupengadaan.org/files/Laporan%20Kajian%20Korupsi%20Pengadaan%20dan
%20Rekomendasi%20Sanksi.pdf, Laporan Kajian Korupsi Pengadaan dan Rekomendasi Sanksi,

op.cit, hlm. 76, diakses tanggal 29 Februari 2016 Pukul 21.00 Wib.

Universitas Sumatera Utara

korupsi perizinan, 20 untuk penyuapan, 6 pungutan, 4 penyalahgunaan anggaran,
5 pencucian uang, dan 3 kasus merintangi pemeriksaan KPK. 6
Sementara itu, menurut data yang dihimpun oleh Transparency
International Indonesia, jumlah pengadaan barang dan jasa di lembaga pemerintah
rata-rata mencapai sekitar 15%-30% dari Penghasilan Kotor Dalam Negeri (Gross
Domestic Product/GDP). Banyaknya pengadaan barang dan jasa di lembagalembaga pemerintah, merupakan peluang yang menggiurkan dan tentunya
meningkatkan resiko terjadinya korupsi. Besarnya kerugian akibat korupsi
diperkirakan mencapai 10%-25% pada skala normal. Dalam beberapa kasus
kerugian yang ditimbulkan mencapai 40%-50% dari nilai kontrak. 7
Dalam konteks pengadaan barang dan jasa, masih banyak pihak yang
senang menyuap dan/atau disuap, menunjuk langsung penyedia barang/jasa tanpa
argumentasi yang valid, melakukan kolusi untuk memenangkan perusahaan
tertentu, juga mengatur proses lelang pengadaan barang/jasa untuk kepentingan
diri sendiri atau kelompok sendiri dengan merugikan orang lain. 8
Berkaitan dengan korupsi dalam pengadaan, Robert Klitgaard,Dkk berkata
bahwa jenis-jenis utama korupsi adalah kolusi dalam lelang (biaya/harga menjadi

tinggi bagi Pemerintah Daerah, dan pejabat bisa mendapat bagian dari
pembayaran, bisa juga tidak), komisi dari pemasok agar persaingan dalam
pengadaan barang dan jasa dapat “diatur”, dan suap bagi pejabat yang berwenang

6

http://nasional.sindonews.com, Perang Melawan Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa,
diakses pada tanggal 27 Februari 2016 pkl. 13.58 Wib.
7
http://ti.or.id/publikasi/buku/handbook_ina.pdf, Mencegah Korupsi Dalam Pengadaan
Barang dan Jasa Publik, hlm. 1, Diakses Tanggal 29 Februari 2016 Pukul 21.30 Wib.
8
Suswinarno, Mengantisipasi Resiko Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
(Jakarta: Visimedia, 2013), hlm. Vii.

Universitas Sumatera Utara

mengatur perilaku pemenang tender (mengizinkan kenaikan biaya dan perubahan
pada spesifikasi kontrak meski sebenarnya tidak perlu). 9
Sebagai kejahatan yang struktural, korupsi di pengadaan sesungguhnya

bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri. Tahapan korupsi dilakukan sejak di
penganggaran, lelang, hingga pelaksanaan kegiatan pengadaan. Walaupun audit
investigasi BPK hanya dilakukan terhadap proyek yang telah berjalan, pola dan
tahapan korupsinya mengindikasikan bahwa proyek ini bermasalah sejak diproses
penganggaran. 10
Korupsi merupakan salah satu kejahatan kerah putih (white collar crime)
atau kejahatan berdasi. Berbeda dengan kejahatan konvensional yang melibatkan
para pelaku kejahatan jalanan (street crime, blue collar crime, blue jeans crime),
terhadap white collar crime ini, pihak yang terlibat adalah mereka yang
merupakan

orang-orang

terpandang

dalam

masyarakat

dan


biasanya

berpendidikan tinggi. 11 Hal yang sama juga terjadi dalam korupsi pengadaan
barang dan jasa pemerintah, dimana para pelakunya juga merupakan orang-orang
yang terpandang, berpendidikan tinggi, serta mempunyai status sosial yang
terpandang di masyarakat karena dalam pengadaan barang dan jasa sudah barang
tentu melibatkan para pejabat baik di pusat ataupun di daerah, serta pihak rekanan
sebagai penyedia barang dan jasa.

9

Robert Klitgaard,dkk, Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 134-135.
10
Russel Butarbutar, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Dibidang Konstruksi, (Bekasi: Gramata Publishing),
hlm. 10.
11
H. Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi Dalam Perspektif HAN, (Jakarta: Sinar Grafika,

2013), hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara

Dasar hukum tentang pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan
pemerintah pada dasarnya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah Juncto Perpres Nomor 35 Tahun 2011 tentang Perubahan
atas PerpresNomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Juncto Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Perpres
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Juncto Perpres
Nomor 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 54 Tahun
2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Juncto Perpres Nomor 4 Tahun
2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Dalam Perpres tersebut telah dimuat suatu pakta integritas, yaitu suatu
surat pernyataan yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan Kolusi,
Korupsi, dan Nepotisme (KKN) dalam pengadaan barang dan jasa. Akan tetapi
data dan fakta menunjukkan hingga kini korupsi dalam pengadaan barang dan jasa
pemerintah masih merupakan salah satu korupsi yang paling subur.

Dewasa ini, negara kita telah memiliki Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Semua perangkat hukum yang ada ternyata belum juga mampu memberantas
korupsi sehingga Presiden Republik Indonesia menginstruksikan percepatan
pemberantasan tindak pidana korupsi melalui Inpres Nomor 5 tahun 2004, tetapi

Universitas Sumatera Utara

faktanya, korupsi dalam bidang pengadaan barang/jasa pemerintah terus
meningkat. 12
Salah satu kasus korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah adalah
kasus korupsi pengadaan di Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir atas nama
Terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes. (Putusan PN Medan No. 64/ Pid.Sus.K/
2013/ PN.Mdn)” dimana Terdakwa oleh Majelis Hakim dihukum melanggar Pasal
5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak

Perundang-Undangan dalam rangka untuk memberantas korupsi diantaranya
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi, walaupun sudah banyak
aturan hukum untuk memberantas korupsi, tetapi belum juga dapat menyelesaikan
permasalahan korupsi di negara ini khususnya korupsi dibidang pengadaan barang
dan jasa. Yang lebih mengkhawatirkan adalah

aktor-aktor atau pelaku yang

sebenarnya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sangat susah untuk
dibawa ke muka hukum.
Berbicara mengenai pertanggungjawaban dalam korupsi pengadaan barang
dan jasa akan terkait dengan kapan seseorang terbukti melakukan penyimpangan

12

Russel Butarbutar, op.cit, hlm. 12-13.

Universitas Sumatera Utara

dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa menjadi pertanggungjawaban
jabatan dan kapan menjadi pertanggungjawaban pribadi atau pertanggungjawaban
pidana. 13 Hal ini dikarenakan dalam menentukan kesalahan yang menjadi dasar
atau parameter pertanggungjawaban dalam korupsi pengadaan barang dan jasa
tidak saja ditinjau dari aspek hukum pidana tetapi juga harus ditinjau dari aspek
hukum administrasi. Oleh karena itu, sebelum menentukan dapat atau tidaknya
seorang pelaku korupsi dimintai pertanggungjawaban pidana maka harus terlebih
dahulu dikaji apakah perbuatan pelaku termasuk dalam pertanggungjawaban
jabatan atau merupakan pertanggungjawaban pribadi. Pertanggungjawaban
pribadi akan melahirkan pertanggungjawaban jabatan.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk
membahas skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak
Pidana Korupsi Dalam Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
(Studi Putusan No. 64/ Pid.Sus.K/ 2013/ PN.Mdn)”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, maka yang menjadi
permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagaimanakah pengaturan hukum tentang pengadaan barang dan jasa
pemerintah dan hubungannya dengan tindak pidana korupsi ?

13

https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&cad=rja&ua
ct=8&ved=0ahUKEwiWpMbM0MLMAhWHKJQKHdqKCXgQFghfMAg&url=http%3A%2F%2
Falviprofdr.blogspot.com%2F2014%2F06%2Ftindak-pidana-korupsi-dalampengadaan.html&usg=AFQjCNFwbYU_PdTzMxpEbxoAmCEo1V3txg&sig2=7TnyT4CNv4yWB
1hf9CbS6A&bvm=bv.121421273,d.dGo, Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan
Jasa, diakses Tanggal 29 Februari 2016 Pukul 21.30 Wib.

Universitas Sumatera Utara

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi
dalam proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah ditinjau dari UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?
3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi
dalam proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam putusan No. 64/
Pid. Sus. K/ 2013/ PN. Mdn ?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan
sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk menganalisa dan mengkaji tentang pengaturan hukum pengadaan
barang dan jasa pemerintah dan hubungannya dengan tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak
pidana korupsi dalam proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Untuk mengkaji bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana
korupsi dalam proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam putusan
No. 64/ Pid. Sus. K/ 2013/ PN. Mdn).

Universitas Sumatera Utara

D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara
teoritis terhadap disiplin ilmu hukum, khususnya hukum pidana sehingga dapat
berguna bagi perkembangan ilmu hukum di Indonesia khususnya yang terkait
dengan pengaturan pengadaan barang dan jasa pemerintah dan pengaturan tentang
tindak pidana korupsi sehingga korupsi dalam sektor pengadaan barang dan jasa
dapat lebih di minimalisir.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan
penegakan hukum , sehingga dapat dijadikan masukan bagi para penyelenggara
Negara dan penegak hukum dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mulianya
memperjuangkan kehidupan rakyat dan memperjuangkan tujuan hukum yang
dicita-citakan.

E. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi yang berjudul Pertanggungjawaban Pidana Pelaku
Tindak Pidana Korupsi Dalam Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
(Studi Putusan No. 64/ Pid.Sus.K/ 2013/ PN.Mdn) adalah murni merupakan hasil
karya penulis sendiri yang mana penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh
pengamatan penulis melalui media, baik media cetak maupun media elektronik
akan banyaknya kasus korupsi dalam bidang pengadaan barang dan jasa
pemerintah. Setelah penulis memeriksa di arsip hasil-hasil penulisan skripsi di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara penulis tidak menemukan skripsi

Universitas Sumatera Utara

yang sama dengan judul skripsi ini, namun skripsi yang berkaitan dengan korupsi
dalam pengadaan barang/jasa pemerintah ada penulis temukan di perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yaitu atas nama :
1. Nama

: Awlia Sofwan Lubis

NIM

: 090200355

Judul Skripsi

: Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah Ditinjau Dari UU Nomor 31 Tahun 1999
Juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

Tahun

: 2013

Namun demikian, materi yang di bahas dalam skripsi ini berbeda dengan
yang dibahas dalam skripsi yang penulis sebutkan di atas, dan apabila terdapat
kesamaan materi yang dibahas dalam skripsi ini dengan skripsi yang lainnya, itu
murni adalah ketidaktahuan dan ketidaksengajaan dari penulis. Oleh karena itu,
secara moral dan secara ilmiah penulis akan mempertanggungjawabkan seluruh
materi dari skripsi ini.

F. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Pidana, Tindak Pidana, dan Pemidanaan.
a. Pengertian Pidana
Salah satu yang membedakan hukum pidana dengan cabang ilmu hukum
yang lainnya adalah disamping mengatur tentang apa-apa saja yang menjadi
keharusan-keharusan dan larangan-larangan, hukum pidana juga disertai dengan

Universitas Sumatera Utara

sanksi yaitu berupa penjatuhan pidana terhadap siapa saja yang melanggar
keharusan-keharusan dan larangan tersebut.
Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang membedakannya
dengan hukum perdata. Dalam gugatan perdata pada umumnya, pertanyaan timbul
mengenai berapa besar jika ada, tergugat telah merugikan penggugat dan
kemudian pemulihan apa jika ada yang sepadan untuk mengganti kerugian
penggugat. Dalam perkara pidana, sebaliknya, seberapa jauh terdakwa telah
merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada terdakwa
karena telah melanggar hukum (pidana). 14
Sudarto sebagaimana dalam buku Mahrus Ali, memberikan pengertian
pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 15 Sedangkan
menurut Roeslan Saleh pidana adalah reaksi atas delik yang banyak berwujud
suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik. 16
Jan Remmelink dalam Mohammad Ekaputra 17 mengemukakan bahwa
pidana merupakan suatu pembalasan berupa penderitaan yang dijatuhkan
penguasa terhadap seseorang tertentu yang dianggap bertindak secara salah
melanggar aturan perilaku, yang pelanggaran terhadapnya diancamkan dengan
pidana. Sanksi pidana tersebut dimaksudkan sebagai upaya menjaga ketentraman
(keamanan) dan pengaturan (kontrol) lebih baik dari masyarakat.
14

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi), (Jakarta: Rineka Cipta, 2008),

hlm. 27.
15

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 186.
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan(Cetakan Kedua), (Jakarta: Sinar Grafika,
2004), hlm. 9
17
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2013), hlm.
140.
16

Universitas Sumatera Utara

Adapun unsur-unsur dan ciri-ciri pidana pada pokoknya adalah sebagai
berikut 18:
1) Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang).
3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut Undang-Undang.
4) Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh Negara atas diri seseorang
karena telah melanggar hukum.
Dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diatur
jenis-jenis pidana yang meliputi :
1. Pidana Pokok :
a. Pidana Mati
b. Pidana Penjara
c. Pidana Kurungan
d. Pidana Denda
e. Pidana Tutupan
2. Pidana Tambahan :
a. Pencabutan Hak-Hak Tertentu
b. Perampasan Barang-Barang tertentu
c. Pengumuman Putusan Hakim
b. Pengertian Tindak Pidana
Sebagaimana diketahui bahwa istilah “tindak pidana” atau “peristiwa
pidana” adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau
“delict”. Pembentuk Undang-Undang kita telah menggunakan perkataan
“strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana”
18

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 186.

Universitas Sumatera Utara

didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan
sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan
perkataan “strafbaar feit” tersebut. 19 Perkataan “feit” itu sendiri didalam bahasa
Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de
werkelijkheid”, sedangkan “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara
harfiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari
suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh
karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah
manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. 20
Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur
yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi
patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan
tindak pidana atau tidak.
Menurut Vos, peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan
dapat dipidana oleh Undang-Undang (Een strafbaar feit is een door de wet
strafbaar gesteld feit). 21
Sementara itu Moeljatno memberikan pengertian tentang perbuatan pidana
sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar

19

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Cetakan Keempat),
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 181.
20
Ibid.
21
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana (Hukum Pidana
Untuk tiap Orang), (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007), hlm. 37.

Universitas Sumatera Utara

larangan tersebut. 22 Ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya, maka
unsur-unsur perbuatan pidana meliputi beberapa hal. Pertama, perbuatan itu
berwujud suatu kelakuan, baik aktif maupun pasif yang berakibat pada timbulnya
suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum. Kedua, kelakuan dan akibat
yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertiannya
yang formil maupun materiil. Ketiga, adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang
menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum. 23
Setiap tindak pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) pada umumnya dapat kita jabarkan kedalam unsur-unsur yang
pada dasarnya dapat kita bagi menjadi menjadi dua macam unsur, yaitu 24:
1. Unsur Subjektif
Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat
pada diri sipelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku, dan termasuk
kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur
subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa)
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) KUHP.
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam pasal-pasal
pencurian, penipuan, dan lan-lain.

22

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi, Cetakan Kesembilan), (Jakarta:
Rineka Cipta, 2015), hlm. 59.
23
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 100.
24
P.A.F. Lamintang, op.cit, hlm 193.

Universitas Sumatera Utara

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya
terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP.
5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan
tindak pidana menurut pasal 308 KUHP.
2. Unsur Objektif
Yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan.
Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
1. Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid.
2. Kualitas dari sipelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di
dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP.
3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.
c. Pengertian Pemidanaan.
Sebagaimana terjadi di antara ahli filsafat, di antara ahli hukum pidana pun
diskusi mengenai pemidanaan masih terus berlangsung. Disadari bahwa terdapat
gap antara apa yang disebut pemidanaan dan apa yang digunakan sekarang
sebagai metode untuk melaksanakan kepatuhan. 25
Sebagian berpandangan, pemidanaan adalah sebuah persoalan yang murni
hukum (purely legal matter). J.D. Mabbott, dalam Teguh Prasetyo dan Abdul

25

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 73.

Universitas Sumatera Utara

Halim Barkatullah 26, misalnya memandang seorang ”penjahat” sebagai seorang
yang telah melanggar hukum, bukan orang jahat. Sebagai seorang retributivis,
Mabbott memandang, pemidanaan merupakan akibat wajar yang disebabkan
bukan dari hukum, tetapi dari pelanggaran hukum. Artinya, jahat atau tidak jahat,
bila seseorang telah bersalah melanggar hukum maka orang itu harus dipidana.
Jerome Hall berusaha untuk memberi batasan konseptual tentang
pemidanaan yang dianggap sebagai kemajuan besar yang telah dicapai. Hall
membuat deskripsi yang terperinci mengenai pemidanaan sebagai berikut 27:
Pertama, pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam
hidup.
Kedua, ia memaksa dengan kekerasan.
Ketiga, ia diberikan atas nama negara, ia “diotorisasikan”.
Keempat,

pemidanaan

mensyaratkan

adanya

peraturan-peraturan,

pelanggarannya, dan penentuannya, yang diekspresikan dalam putusan.
Kelima, ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan,
dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan
kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika.
Keenam, tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan
kejahatan, dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas
(kepribadian) si pelanggar, motif, dan dorongannya.
Menurut Ted Honderich sebagaimana dalam buku Teguh Prasetyo dan
Abdul Halim Barkatullah, pemidanaan harus memuat 3 unsur berikut 28:
26
27

Ibid.
Ibid, hlm. 74.

Universitas Sumatera Utara

Pertama,

pemidanaan

harus

mengandung

semacam

kehilangan

(deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan
sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama pada dasarnya
merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subjek yang menjadi
korban sebagai akibat dari tindakan sadar subjek lain. Secara aktual, tindakan
subjek lain dianggap salah bukan saja karena mengakibatkan penderitaan bagi
orang lain, tetapi juga karena melawan hukum yang berlaku secara sah.
Kedua, setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang
secara hukum. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu
tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu
lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan tindakan balas
dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.
Ketiga, penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan
hanya pada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau
peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya.

2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Undang-undang hukum pidana umumnya hanya menentukan kelakuankelakuan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dan sanksi pidana yang diancam
terhadap pembuatnya. Sedangkan asas-asas umum pertanggungjawaban pidana
sepertinya kurang mendapat perhatian pembentuk undang-undang. Masalah
terakhir ini umumnya tetap menjadi bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Dengan kata lain, seolah-olah
28

Ibid, hlm. 75.

Universitas Sumatera Utara

aturan perundang-undangan sengaja meninggalkan (tidak menjelaskan lebih jauh)
masalah itu. 29 Salah satu contoh dapat kita jumpai dalam pasal 362 KUHP yang
berbunyi:
“Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali seluruhnya
atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan
memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian,
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda paling
sebanyak-banyaknya Rp.900,-”.
Dari bunyi pasal 362 KUHP tersebut diatas terlihat jelas bahwa pembuat
Undang-Undang hanya mengatur tentang perbuatan mana yang dikategorikan
sebagai pencurian dan sanksi pidana apa yang diancam terhadap pembuatnya
tanpa mengatur bagaimana sebenarnya ketentuan seseorang tersebut untuk dapat
dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal tersebut.
Dalam KUHP, masalah pertanggungjawaban pidana dihubungkan dengan
alasan-alasan penghapus pidana, sebagaimana ditentukan dalam pasal 44, 48, 49,
50, dan 51 KUHP. Selain itu, sekalipun dalam pasal 183 Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
diamanatkan pentingnya kesalahan dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa,
tetapi keterangan selanjutnya mengenai hal ini masih sangat sedikit. Demikian
pula halnya dengan pasal 6 ayat (2) dan pasal 8 Undang-Undang No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (telah dicabut dan diganti dengan UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) . Dengan
demikian, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana sangat menentukan dalam
29

Chairul Huda, “Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’ ”, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm. 2-3.

Universitas Sumatera Utara

pemidanaan pembuat, tetapi keterangannya sangat minim dalam peraturan
perundang-undangan. 30
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang
objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi
syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan
pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah
asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana
jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. 31
Berkaitan dengan konsep pertanggungjawaban pidana maka prinsip utama
yang berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku. Menurut Vos
sebagaimana dalam buku Edy Yunara, pengertian kesalahan (schuld) mempunyai
3 (tiga) tanda khusus yaitu 32:
1. Kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukan perbuatan
(toerekeningsvatbaarheid van de dader).
2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu, dapat
berupa kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban bagi
si pembuat atas perbuatannya itu.
Konsepsi

yang

menempatkan

kesalahan

sebagai

faktor

penentu

pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law system.
Sejak abad kedua belas, dalam hukum pidana negara-negara common law system,

30

Ibid, hlm. 3.
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 156.
32
Edy Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Korporasi Berikut Studi Kasus,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 28.
31

Universitas Sumatera Utara

berlaku maksim Latin “actus non est reus, nisi mens sit rea’’. Suatu kelakuan
tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat. Pada satu sisi,
doktrin ini menyebabkan adanya mens rea merupakan suatu keharusan dalam
tindak pidana. Pada sisi lain, hal ini menegaskan bahwa untuk dapat
mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat
ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut. Dengan demikian, mens
rea yang dalam hal ini di sinonimkan dengan ‘guilty of mind’ atau ‘vicious will’,
merupakan hal yang menentukan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana. 33
Dipisahkannya

tindak

pidana

dan

pertanggungjawaban

pidana

menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan
sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. 34 Bahwa
untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan
pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang
dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis yaitu “tidak
dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld, Ohne Schuld Keine
Strafe)”. 35

3. Pengertian Tindak Pidana Korupsi.
Istilah korupsi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia baru
dikenal kali pertama dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf
Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 (BN No. 40
Tahun 1958) yang diberlakukan pula bagi penduduk dalam wilayah kekuasaan
33

Chairul Huda, op.cit, hlm. 5.
Ibid, hlm. 6.
35
Moeljatno, op.cit, hlm. 63.

34

Universitas Sumatera Utara

angkatan laut melalui Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/I/7
tanggal 17 April 1958. Dalam peraturan penguasa perang tersebut tidak dijelaskan
mengenai pengertian istilah korupsi, tetapi hanya dibedakan menjadi korupsi
pidana dan korupsi lainnya. Demikian juga istilah tindak pidana korupsi tidak
dikenal dalam Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat No. Prt/Peperpu/013/1958
tersebut. Istilah tindak pidana korupsi yang pertama dipergunakan dalam
peraturan perundang-undangan kita ialah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Peperpu) No. 24 Thun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan,
dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. 36 Peperpu No. 24 Tahun 1960 dengan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1960 ditetapkan menjadi Undang-Undang defenitif
atau Undang-Undang No. 24/Prp/1960. Undang-undang itu berupa undangundang hukum pidana khusus pertama tentang tindak pidana korupsi yang bersifat
defenitif di Indonesia, yang pada saat itu popular dengan sebutan Undang-Undang
Antikorupsi. 37
Menurut Fockema Andreae sebagaimana dalam buku Jawade Hafidz
Arsyad, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus.
Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal
corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke
banyak bahasa Eropa, seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu
corruption; dan Belanda, yaitu corruptive (korruptie). Dari bahasa Belanda inilah
kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”. Arti harfiah dari kata korupsi
ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
36

Adami Chazawi, Hukum Pidana Formil dan Materiil Korupsi di Indonesia, (Malang:
Bayu Media, 2005), hlm. 3.
37
Ibid, hlm. 6-7.

Universitas Sumatera Utara

bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau
memfitnah. 38
Sedangkan pengertian korupsi dalam Black’s Law Dictionary adalah suatu
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan
yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain, secara salah menggunakan
jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya
sendiri atau orang lain. 39
Dalam kamus Webster’s Third New International Dictionary adalah
ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang
tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas. Defenisi
lain korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah
jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi
(perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau melanggar aturan-aturan
pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. 40 Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi berarti penyelewengan atau penggelapan uang
negara atau perusahaan untuk kepentingan pribadi atau orang lain. 41
Dalam Pasal 1 angka 1 Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi disebutkan tentang
pengertian tindak pidana korupsi yaitu:
“Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
38

H. Jawade Hafidz Arsyad, op.cit, hlm. 3.
Ibid, hlm. 4.
40
Ibid.
41
H. Juni Sjafrien Jahja, Say No To Korupsi (Mengenal, Mencegah, dan Memberantas
Korupsi di Indonesia), (Jakarta: Visi Media, 2012), hlm. 9.
39

Universitas Sumatera Utara

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
Penjabaran mengenai pengertian dari “Tindak Pidana Korupsi” adalah
semua ketentuan hukum materiil yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 yang diatur di dalam pasal-pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12A,
12B, 13, 14, 15, 16, 21, 22, 23, dan 24. Ditambah lagi dengan tindak pidana
korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 yang menyatakan bahwa :“Setiap orang yang melanggar ketentuan
Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap
Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang ini”. 42
Secara umum, korupsi dipahami sebagai suatu tindakan pejabat publik
yang menyelewengkan kewenangan untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni,
dan kelompok yang mengakibatkan kerugian negara. 43 Selain itu, korupsi dapat
didefenisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk
keuntungan pribadi. Korupsi mencakup perilaku pejabat-pejabat sektor publik,
baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak
pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka,
dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada mereka. 44
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5) tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
42

Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Bandung: Mandar
Maju, 2010), hlm. 25.
43
H. Jawade Hafidz Arsyad, op.cit, hlm. 5.
44
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, menyebutkan pengertian Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme sebagai berikut 45:
1. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketenttuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi.
2. Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antara
penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat,
dan/atau negara.
3. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan
hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya
diatas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
4. Pengertian Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
Menurut Transparency International Indonesia, istilah pengadaan barang
dan jasa (procurement) diartikan secara luas, mencakup penjelasan dari tahap
persiapan, penentuan dan pelaksanaan atau administrasi tender untuk pengadaan
barang, lingkup pekerjaan atau jasa lainnya. Pengadaan barang dan jasa juga tak
hanya sebatas pada pemilihan rekanan proyek dengan bagian pembelian
(purchasing) atau perjanjian resmi kedua belah pihak saja, tetapi mencakup
seluruh proses sejak awal perencanaan, persiapan, perizinan, penentuan pemenang
tender hingga tahap pelaksanaan dan proses administrasi dalam pengadaan
barang, pekerjaan atau jasa seperti jasa konsultasi teknis, jasa konsultasi
keuangan, dan jasa konsultasi hukum atau jasa konsultasi lainnya. 46
Pengadaan barang dan jasa di pemerintah meliputi seluruh kontrak
pengadaan antara pemerintah (Departemen Pemerintah, Badan Usaha Milik
Negara, dan Lembaga Negara lainnya) dan perusahaan (baik milik negara atau

45

Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
46
http://ti.or.id/publikasi/buku/handbook_ina.pdf, Mencegah Korupsi Dalam Pengadaan
Barang dan Jasa Publik, op.cit, hlm. 2, diakses Tanggal 29 Februari 2016 Pukul 22.05 Wib.

Universitas Sumatera Utara

swasta) bahkan perorangan. Pengadaan barang dan jasa pada hakikatnya adalah
upaya pihak pengguna untuk mendapatkan atau mewujudkan barang dan jasa
yang diinginkannya, dengan menggunakan metoda dan proses tertentu agar
dicapai kesepakatan harga, waktu, dan kesepakatan lainnya. 47
Pengertian pengadaan barang dan jasa pemerintah menurut Pasal 1 Angka
1 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah

adalah

kegiatan

untuk

memperoleh

barang/jasa

oleh

Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang
prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh
kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.

G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat
dalam perumusan masalah diatas adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu
dengan melakukan analisis terhadap asas-asas hukum dengan mengacu pada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang
mempunyai hubungan dengan judul karya ilmiah ini.
Penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencakup 48:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum
b. Penelitian terhadap sistematik hukum
47

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai
Permasalahannya (Edisi Kedua), (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 4
48
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Cetakan Ke
enambelas), (Jakarta: Rajawali Press, 2014), hlm. 14.

Universitas Sumatera Utara

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal
d. Perbandingan hukum, dan
e. Sejarah hukum.
2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data
sekunder adalah data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi
bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun
arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Sumber data
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan
hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bahan hukum primer yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu :
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara Juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara Juncto Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.

Universitas Sumatera Utara

4) Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
7) Peraturan Presiden Nomor

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah Juncto Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun
2011 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Juncto Peraturan Presiden
Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Juncto Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah Juncto Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015
tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan
hukum primer yang dapat membantu menganalisis serta memahami bahan
hukum primer, yaitu berupa buku-buku dan bahan pustaka lainnya yang
berkaitan erat dengan penelitian ini, dan putusan pengadilan.

Universitas Sumatera Utara

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman
dan pengertian atas bahan hukum lainnya.
3. Metode pengumpulan data
Studi Kepustakaan (Library Research), yakni studi dokumen dengan
mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan-tulisan
ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan
penulisan skripsi ini, dan dokumen yang diteliti adalah putusan pengadilan.
4. Analisis Data
Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif.
Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan analisa
terhadap permasalahan yang akan diteliti. Teknik analisis data yang digunakan
adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu mengumpulkan data, mengkualifikasi,
kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya
menarik kesimpulan untuk menentukan hasil.

H. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi haruslah disusun atau ditulis secara sistematis agar
dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan dan
pembahasan yang jelas.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab yang
dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai isi skripsi ini.
Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

BAB I

Pendahuluan
Bab ini dimulai dengan mengemukakan mengenai latar belakang,
perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian
penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.

BAB II

Pengaturan Hukum Tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah dan Hubungannya Dengan Tindak Pidana
Korupsi
Bab ini menguraikan tentang pengaturan hukum tentang pengadaan
barang dan jasa pemerintah , modus operandi tindak pidana korupsi
dalam proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah, serta bentukbentuk penyimpangan dalam proyek pengadaan barang dan jasa
pemerintah dan kaitannya dengan tindak pidana korupsi.

BAB III

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Dalam Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Bab ini memaparkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai
konsep pertanggungjawaban pidana dalam ilmu hukum pidana
Indonesia, subjek hukum (pelaku) tindak pidana korupsi dalam
pengadaan barang dan jasa pemerintah, Pertanggungjawaban
Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Proyek Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah Menurut Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Universitas Sumatera Utara

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
BAB IV

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Dalam Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Dalam
Putusan No. 64/ Pid. Sus. K/ 2013/ PN. Mdn)
Bab ini memaparkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai
pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dalam
proyek pengadaan barang dan jasa dalam putusan No. 64/ Pid. Sus.
K/ 2013/ PN. Mdn. Bab ini dimulai dengan kronologis kasus,
dakwaan, tuntutan, fakta hukum, putusan, analisis kasus, dan
analisis tentang pertanggungjawaban pidana pelaku.

BAB V

Kesimpulan dan Saran
Bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi ini. Bab ini
berisi mengenai kesimpulan dari jawaban permasalahan yang
menjadi objek penelitian dan saran dari penulis atas permasalahan
yang timbul tersebut.

Universitas Sumatera Utara