Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas & Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

O L E H :

CHRISTINA GRACE HUTAURUK 060200096

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

(3)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

CHRISTINA GRACE HUTAURUK 060200096

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

H.Abul Khair,SH.M.Hum NIP: 196107021989031001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Prof.Dr.Alvi Syahrin, SH.M.S. Nurmalawaty, SH.M.Hum NIP:19630331198703100 NIP:196209071988112001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan karuniaNya sehingga penuilis dapat menyelesaikan penulisan skripsi untuk menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara yang merupakan kewajiban bagi setiap Mahasiswa yang akan menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan adalah “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No.1384 K/Pid/2005)”. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun skripsi ini. Namun penulis menyadari masih banyak kekurangan dari segi isi maupun penulisannya.

Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

1. Bapak Prof.Dr.Runtung,SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.Dr.Suhaidi, SH.M.Hum, Bapak Syariffudin Hasibuan

SH.MH.DFM, Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum, yang masing-masing adalah selaku Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

3. Bapak Abul Khair, SH.M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana yang telah memberikan bimbingan maupun arahan kepada penulis, dan karena telah menunjukkan Dosen Pembimbing yang sangat banyak berjasa selama proses penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Prof.Alvi Syahrin,SH.M.S, selaku Dosen Pembimbing I dalam

penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktu dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

5. Ibu Nurmalawaty, SH,M.Hum, selaku dosen Pembimbing II dalam

penulisan skripsi ini, yang juga telah berjerih lelah dalam memberikan waktunya untuk membimbing, mengarahkan ,dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

6. Bapak Syaiful Azam SH.M.Hum, selaku Dosen wali penulis yang selama

penulis berada sebagai Mahasiswa di Fakultas Hukum senantiasa memantau dan memperhatikan perkembangan perkuliahan penulis.

7. Bapak/Ibu dosen dan kepada seluruh staff administrasi Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak dan Ibu Penulis yang telah mengasuh dan membimbing serta

memberikan segenap doa dan semangat serta dukungan yang sangat berarti pada penulis hingga saat ini.

9. Untuk semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan


(6)

Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana, bagi penulis sendiri, dan bagi pembaca

Medan, 2010


(7)

ABSTRAKSI Christina Grace Hutauruk * Prof.Dr.Alvi Syahrin,SH,M.Hum **

Nurmalawaty,SH,M.Hum ***

Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)”. Korupsi sering diidentikkan dengan pejabat atau pegawai negeri yang menyalahgunakan keuangan negara, dalam perkembangan saat ini masalah korupsi juga melibatkan anggota legislatif dan yudikatif, para bankir dan konglomerat, serta juga korporasi. Salah satu kasus Korupsi yang dilakukan oleh korporasi adalah Koperasi Distribusi Indonesia (KDI), yang menyeret Nurdin Halid Ketua Umum KDI sebagai pihak yang bertanggungjawaban atas kerugian negara yang terjadi.

Skripsi ini adalah bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi dan bagaimanakah kajian hukum pidana dalam hal pertanggungjawaban pidana korporasi dalam analisi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005 ditinjau dari UU Nomor 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dimana

pengumpulan data dilakukan dengan library research (penelitian kepustakaan)

yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Hasil penelitian sebagai jawaban atas permasalahan diatas adalah, pertama

bahwa korporasi yang dalam kegiatannya melakukan tindak pidana korupsi dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, baik secara langsung maupun dibebankan kepada perorangan yang bertanggungjawab, hal ini sabagaimana diatur dalam Pasal 20 UU No.31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta dengan adanya pengakuan terhadap doktrin strick liability,vicarious liability, doktrin deligasi, doktrin identifikasi, yang mana keseluruhannya memberikan pembenaran bagi pembebanan

pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.Kedua, bahwa terhadap dakwaan

primer, hasil analisa kasus berdasarkan fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa dakwaaan kesatu primer terpenuhi sehingga digunakan UU korupsi untuk menjatuhkan pemidanaan oleh Majelis Hakim MA.

* Penulis

** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR... i

DAFTARISI ...vii

ABSTRAKSI...viii

BAB I PENDAHULUAN .... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 5

C. Tujuandan Manfaat Penulisan... 5

1. Tujuan Penulisan... 5

2. Manfaat Penulisan... 6

D. Keaslian Penulisan... 6

E. Tinjauan Pustaka... 7

1. Pengertian Tindak Pidana... 7

2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana... 14

3. Pengertian Korupsi... 18

4. Pengertian Korporasi... 25

5. Pengertian Pertanggungjawaban Korporasi... 27


(9)

G. Sistematika Penulisan... 36

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI... 38

A. Sejarah Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana... 38

B. Tindak Pidana Korporasi...………... 50

C. Konsep Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Tindak Pidana Korupsi...53

BAB III KAJIAN HUKUM PIDANA DALAM HAL PERTANGGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP PRAKTEK KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH NURDIN HALID (KETUA UMUM KOPERASI DISTRIBUSI INDONESIA).... 89

A. Posisi Kasus………... 89

1. Kronologis... 89

2 Dakwaan JPU... 94

3.Tuntutan JPU... 96

4.Fakta-Fakta Hukum... 97

5. Putusan Mahkamah Agung No.1384/K/Pid/2005...102

B.Analisa Kasus...103

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN...111

A.Kesimpulan... 111


(10)

ABSTRAKSI Christina Grace Hutauruk * Prof.Dr.Alvi Syahrin,SH,M.Hum **

Nurmalawaty,SH,M.Hum ***

Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)”. Korupsi sering diidentikkan dengan pejabat atau pegawai negeri yang menyalahgunakan keuangan negara, dalam perkembangan saat ini masalah korupsi juga melibatkan anggota legislatif dan yudikatif, para bankir dan konglomerat, serta juga korporasi. Salah satu kasus Korupsi yang dilakukan oleh korporasi adalah Koperasi Distribusi Indonesia (KDI), yang menyeret Nurdin Halid Ketua Umum KDI sebagai pihak yang bertanggungjawaban atas kerugian negara yang terjadi.

Skripsi ini adalah bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi dan bagaimanakah kajian hukum pidana dalam hal pertanggungjawaban pidana korporasi dalam analisi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005 ditinjau dari UU Nomor 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dimana

pengumpulan data dilakukan dengan library research (penelitian kepustakaan)

yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Hasil penelitian sebagai jawaban atas permasalahan diatas adalah, pertama

bahwa korporasi yang dalam kegiatannya melakukan tindak pidana korupsi dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, baik secara langsung maupun dibebankan kepada perorangan yang bertanggungjawab, hal ini sabagaimana diatur dalam Pasal 20 UU No.31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta dengan adanya pengakuan terhadap doktrin strick liability,vicarious liability, doktrin deligasi, doktrin identifikasi, yang mana keseluruhannya memberikan pembenaran bagi pembebanan

pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.Kedua, bahwa terhadap dakwaan

primer, hasil analisa kasus berdasarkan fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa dakwaaan kesatu primer terpenuhi sehingga digunakan UU korupsi untuk menjatuhkan pemidanaan oleh Majelis Hakim MA.

* Penulis

** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II


(11)

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara yang sedang berkembang, salah satu cirinya adalah pembangunan di berbagai bidang. Perkembangan dalam bidang usaha sangat pesat yang berdampak pada masyarakat. Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup dijalankan secara perseorangan. Namun seiring dengan perkembangan masyarakat, maka timbul kebutuhan untuk mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha. Misalkan Perseroan Terbatas yang menawarkan saham pada masyarakat sehingga

jumlah kerja sama dapat mencapai ratusan bahkan ribuan orang. 1

Dalam berbagai aspek kehidupan kita dipengaruhi oleh korporasi, apabila pengaruhnya positif tentu tidak perlu dirisaukan, akan tetapi justru banyak dari pengaruh tersebut yang merugikan individu dan masyarakat secara luas. Korporasi tersebut bukanlah barang baru melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradapan dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan beserta kompleksitasnya. Persoalan yang mengundang perdebatan adalah bagaimana menerapkan pertanggungjawaban

1

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (strict liability dan vicarius liability), PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta, 1996, hal. 28


(12)

pada tindak pidana korporasi atau corporate liability, mengingat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia pada Pasal 59 yang dianggap sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi

biologis yang alami (naturlijkee person).

Korupsi merupakan persoalan hukum dan ekonomi suatu bangsa yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju, maupun di negara berkembang.Perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini sudah sedemikian parah, yang mana sering diidentikkan dengan pejabat atau pegawai negeri yang menyalahgunakan keuangan negara, dalam perkembangan saat ini masalah korupsi juga melibatkan anggota legislatif dan yudikatif, para bankir dan konglomerat, serta juga korporasi. Hal ini berdampak membawa kerugian yang

sangat besar bagi keuangan negara.2

Sistem hukum pidana di Indonesia pada dasarnya hanya menganut sistem pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan dan bersifat individual, yang artinya bahwa pertanggungjawaban pidana itu hanya dapat dikenakan terhadap seseorang yang benar-benar melakukan tindak pidana. Namun, berhubung dengan adanya perkembangan dalam hukum pidana yang telah menentukan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, maka timbul suatu kebutuhan mendesak terhadap perubahan sistem dalam hukum pidana itu sendiri, karena sebelumnya hukum pidana di Indonesia hanya menentukan manusia alamiah sebagai subjek hukum. Perubahan ini, pada dasarnya didasarkan

2

Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 1


(13)

pada kompleksitas dunia usaha yang semakin rumit dan berkembang, dimana eksistensi korporasi sudah mulai dikenal luas dan aktivitasnya sudah mulai meresahkan dan mengganggu kepentingan masyarakat dan negara, bahkan sudah mulai merugikan keuangan negara.

Perubahan Undang-Undang 31 Tahun No.1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 terdapat perkembangan baru dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam hal ini dimasukkannya korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi yang dapat

dikenanakan sanksi pidana.3

Sebagai contoh tindak pidana yang bermotif ekonomi (economic crimes)

seperti kejahatan korporasi. Untuk bisa menentukan apakah semata-mata suatu perbuatan bersifat perdata atau kriminal harus diteliti benar-benar apakah dalam

perbuatan tersebut terdapat elemen-elemen kecurangan (deceit), penyesatan

(misrepresentation), penyembunyian kenyataan (concealment of facts),

manipulasi, pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akal-akalan (subterfuge)

atau pengelakan peraturan (ilegal circumvention).

Dengan menempatkan korporasi sebagai subyek tindak pidana akan memberikan harapan serta optimisme bagi upaya pengusutan korupsi secara tuntas dan efektif mungkin.

4

Permasalahan akan segera muncul sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana dari korporasi, karena asas utama dari pertanggungjawaban pidana adalah

harus ada kesalahan (schuld) pada pelaku, sehingga bagaimanakah harus

3

Ibid

4

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta Timur, 2003, hal. xiii


(14)

mengkonstruksikan kesalahan dari suatu korporasi, serta bagaimana pertanggungjawaban pidana dan unsur kesalahan pada korporasi, apakah tetap dapat dipertahankan seperti halnya pada manusia. Konsekuensi dari persoalan tersebut menjadikan peraturan perundang-undangan yang tidak spesifik merumuskan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi sulit untuk diaplikasikan sehingga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.

Pertanggungjawaban korporasi meliputi, perumusan perbuatan yang dilarang (dalam hal apa dan bagaimana suatu kejahatan dikatakan sebagai kejahatan korporasi) dan penentuan kesalahan pelaku masih kurang jelas, begitu juga dalam menentukan siapa-siapa yang dapat melakukan tindak pidana tersebut. Penentuan kesalahan korporasi, yang merupakan urat nadinya hukum pidana juga sangat sulit, karena kesalahan yang dilimpahkan kepada korporasi bukanlah korporasi secara pribadi, sebab pada hakikatnya yang melakukan tindak pidana adalah orang (pengurus korporasi). Begitu juga masalah sanksi pidana yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pertanggungjawaban korporasi, belum tertata secara jelas mana yang pidana pokok, pidana tambahan serta tindakan. Akibat dari ketidak jelasan tersebut akan terjadi keragu-raguan pada majelis hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana, sehingga kecil kemungkinan terealisasinya kepastian hukum dan peraturan hukum yang ideal.

Berdasarkan uraian diatas, penulis mengangap perlu meneliti bagaimana ketentuan pidana dalam Undang No. 31 Tahun 1999 Jo.


(15)

Undang-UndangNo. 20 Tahun 2001 terhadap Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi.

B . Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi dalam UU No.31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

2. Bagaimana kajian Hukum Pidana dalam hal pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam analisis putusan Mahkamah Agung Nomor 1384 K/Pid B/2005?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Dalam penulisan karya ilmiah ini ada tujuan yang menjadi sasaran pencapaian dari apa yang akan dipaparkan oleh penulis. Adapun tujuan yang akan dicapai dari karya ilmiah ini adalah sebagai berikut

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak

pidana tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana korporasi KDI ditinjau dari


(16)

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melalui fakta-fakta dalam kasus tersebut dan analisis fakta-fakta dari kasus.

2. Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memperkaya khasanah Ilmu Pengetahuan, menambah dan

melengkapi perbendaharaan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan hukum kedepan terkhusus menyangkut pertanggungjawaban korporasi.

2. Untuk memberikan kontribusi dalam sosialisasi tentang Korupsi yang

dilakukan oleh korporasi kepada masyarakat dan aparat penegak hukum serta memberikan pemahaman tentang efektivitas berbagai perundang-undangan agar lembaga yang berwenang dapat meningkatkan upaya penerapan Undang-undang tersebut untuk lebih efektif.

D. Keaslian Penulisan

Mengenai keaslian penulisan, karya ilmiah ini dibuat sendiri oleh penulis dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur maupun pengumpulan data-data yang dihimpun dari berbagai sumber seperti buku-buku juga melalui media elektronik seperti internet, sekaligus dari hasil pemikiran penulis sendiri.

Berdasarkan peninjauan yang dilakukan penulis di perpustakaan Fakultas Hukum Sumatera Utara belum pernah ada yang membuat karya ilmiah ini dan


(17)

oleh karenanya karya ilmiah ini dapat saya pertanggungjawabkan secara moral, dan apabila ternyata terdapat judul dan permasalahan yang sama saya bertanggungjawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan salah satu terjemahan dari bahasa Belanda

yaitu “ Het Strafbare feit” yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan berarti:

a. Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum

b. Peristiwa pidana

c. Perbuatan pidana dan

d. Tindak pidana

Istilah ini terdapat dalam Wvs Belanda, dengan demikian juga Wvs Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud

dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha memberikan

arti dan isi dari istilah itu, sayangnya sampai kini belum ada keseragaman

pendapat.5

1. Simons

Beberapa pendapat para ahli hukum mengenai istilah “ Het Strafbare feit”

antara lain:

Menurut Simons “ Een Strafbaar feit” adalah satu tindakan atau perbuatan

yang diancam dengan pidana oleh undang-undang ,yang bertentangan dengan

5

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 67


(18)

hukum dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertangggungjawab. Yang kemudian dibagi dalam dua golongan unsur, yaitu: unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibat keadaan atau masalah tertentu , dan unsur subjektif yang berupa kesalahan dan

kemampuan bertanggung jawab dari petindak. Simons menyatakan bahwa delik

adalah suatu tindakan melawan hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.

Adapun alasan Simons apa sebabnya delik itu harus dirumuskan seperti yang disebutkan diatas karena :

1. Untuk adanya delik syaratnya harus terdapat suatu tindakan yang dilarang

ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban tersebut telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

2. Agar suatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus

memenuhi semua unsur dalam delik sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang.

3. Setiap delik sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut

undang-undang itu, pada hakekatnya merupakan suatu tindakan melawan

hukum.6

6

P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Abadi, Bandung, 1997, hal. 185


(19)

Sampai saat ini masih ditemukan adanya perbedaan pendapat mengenai ajaran sifat melawan hukum dalam kajian hukum pidana antara sifat melawan

hukum formil (formiele wederrechtelijkheid) dan melawan hukum materil

(materiele wederrechtelijkheid).7

a) Sifat melawan hukum formil.

Berikut ini akan dijelaskan lebih mendetail mengenai perbadaan keduanya

Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan ketentuan undang-undang (hukum tertulis). Berdasarkan pengertian ini, maka suatu perbuatan bersifat melawan hukum adalah apabila telah dipenuhi semua unsur yang disebut di dalam rumusan delik. Dengan demikian, jika semua unsur tersebut telah terpenuhi, maka tidak perlu lagi diselidiki apakah perbuatan itu menurut masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.

Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh D. Schaffmeister bahwa sifat melawan huku m dalam arti formil bermakna bahwa suatu perbuatan telah memenuhi semua rumusan delik dari undang-undang. Dengan kata lain terdapatnya melawan hukum secara formil apabila semua bagian yang tertulis dari

rumusan suatu tindak pidana itu telah terpenuhi.8

Para penganut ajaran ”sifat melawan hukum formil” menyatakan bahwa pada setiap pelanggaran delik, maka sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum. Dengan demikian bila suatu delik tidak tegas menyatakan

7

Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hal. 7

8


(20)

bersifat melawan hukum sebagai unsur delik, maka sifat melawan hukumnya tidak perlu dibuktikan. Sedangkan pencantuman sifat melawan hukum secara tegas dalam suatu delik, maka sifat melawan hukumnya harus dibuktikan terlebih

dahulu, barulah seseorang dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana. 9

b) Sifat melawan hukum materil

Sedangkan dalam pengertian melawan hukum secara materil, suatu perbuatan disebut sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan ketentuan hukum tertulis saja. Di samping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan haruslah benar-benar dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan. Dengan demikian suatu perbuatan dikatakan sebagai melawan hukum adalah apabila perbuatan tersebut dipandang tercela dalam suatu masyarakat.

Sifat melawan hukum materiil berarti suatu tindak pidana itu telah melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh

pembentuk undang-undang dalam rumusan tindak pidana tertentu.10 Bersifat

melawan hukum materiil bahwa tidak hanya bertentangan dengan hukum yang

tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis.11

Ukuran untuk mengatakan suatu perbuatan melawan hukum secara materil sebagaimana dikatakan Loebby Logman, bukan didasarkan pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu undang-undang, akan tetapi ditinjau dari nilai yang ada

9

S.R. Sianturi (1983). Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta,Alumni AHM-PTHM,1983, hal. 146.

10

D. Schaffmeister et.al., Op.Cit, hal. 41

11


(21)

dalam masyarakat. Pandangan yang menitik beratkan melawan hukum secara formil cenderung melihatnya dari sisi objek atau perbuatan pelaku. Artinya, apabila perbuatannya telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka tidaklah perlu diuji apakah perbuatan itu melawan hukum secara materil atau tidak. Sebaliknya secara materil, merupakan pandangan yang menitik beratkan melawan hukum dari segi subyek atau pelaku. Dari sisi ini, apabila perbuatan telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka tindakan selanjutnya adalah perlu dibuktikan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum secara

materil dari diri si pelaku.12

12

Loebby Loqman, Beberapa Ikwal di Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,1991, Datacom, Jakarta, hal. 25

Parameter untuk mengatakan suatu perbuatan telah melawan hukum secara materil, bukan didasarkan pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu perundang-undangan, melainkan ditinjau dari rasa kepantasan di dalam masyarakat. Roeslan Saleh menyatakan bahwa dalam hubungannnya melawan hukum materiil ini perlu diingat bahwa aturan-aturan hukum pidana Indonesia sebagian besar telah dimuat dalam KUHP dan undang-undang tertulis lainnya.

Ajaran melawan hukum secara materil hanya mempunyai arti dalam mengecualikan perbuatan-perbuatan yang meskipun termasuk dalam rumusan undang-undang dan karenanya dianggap sebagai tindak pidana. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak menjadi tindak pidana. Hal ini disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materil.


(22)

Sedangkan fungsi positif ajaran sifat melawan hukum secara materil, yaitu walaupun suatu perbuatan itu tidak dilarang oleh undang-undang, namun masyarakat memandangnya sebagai perbuatan tercela sehingga terkategori dalam tindak pidana. Fungsi positif dari ajaran melawan hukum formil ini tidak mungkin dilakukan mengingat Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang memuat asas legalitas.

Banyak pakar sepakat bahwa dalam sistem hukum pidana Indonesia, penerapan ajaran melawan hukum materil ini dalam fungsi yang negatif, yaitu dalam hal pertanggung jawaban pidana. Seseorang bisa saja dilepaskan dari tuntutan pidana apabila perbuatannya tidak melawan hukum secara materil. Dengan kata lain, fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materill ini digunakan sebagai alasan pembenar.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam hal dapat dihukumnya suatu perbuatan pidana, yaitu harus terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana itu sendiri.Unsur-unsur tindak pidana ini terbagi atas dua macam yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Adapun yang termasuk kedalam unsur-unsur subjektif adalah :

1. Kesengajaan (dolus)

Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga bentuk kesengajaan yaitu :

a. kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk)

b. kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn)

c. kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn)

disebut juga dengan dolus eventualis


(23)

Kalau dilihat dalam undang-undang tidak disebutkan arti dari kealpaan, dalam Ilmu pengetahuan hukum pidana kealpaan mempunyai ciri-ciri yaitu:

a. Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena

menggunakan ingatan/otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan ingatan dengan benar, tetapi tidak digunakan, dengan kata lain ia telah melakukan tindakan dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan atau tidak berhati-hati.

b. Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat

mencegahnya, sekiranya akibatnya dapat terjadi, tetapi ia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu, tetapi tidak ia lakukan sehingga merugikan orang lain.

c. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan seperti yang dimaksud

dalam Pasal 53 KUHP.

d. Macam-macam maksud atau Oogmeek yang terdapat dalam kejahatan

pencurian, penipuan, perampasan, dan lain-lain.

e. Merencanakan lebih dahulu seperti pada pembunuhan berencana

f. Perasaan takut seperti yang terdapat dalam pasal 308 KUHP.13

Sedangkan yang dimaksud dengan unsur objektif adalah unsur yang terdapat diluar diri si pelaku.Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah :

a. Perbuatan yang melanggar hukum

13

O.C. Kaligis, Kumpulan Kasus Menarik Jilid 2, 2007,O.C. Kaligis & Associates Jakarta, hal. 85-87.


(24)

b. Akibat yang ditimbulakan dari perbuatan tersebut dapat membahayakan kepentingan orang lain

c. Keadaan-keadaan tertentu

d. Kausalitas atau hubungan sebab-akibat

2. Pompe

Pompe merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran kaidah

(pelanggaran ketertiban umum), terhadap pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.

2.Pengertian Pertanggungjawaban pidana

Menurut kamus besar bahasa Indonesia “Tanggung Jawab” adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,

dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).14 Pidana adalah kejahatan (tentang

pembunuhan, perampokan dan sebagainya)15

Pertangggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan

(verwijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai Selanjutnya pertangungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban dan pidana, merupakan ungkapan-ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dalam moral, agama dan hukum. Tiga hal ini berkaitan dengan yang lain, dan berakar pada suatu keadaan yang sama, yaitu adanya suatu pelanggaran terhadap suatu pelanggaran dan suatu sistem aturan-aturan. Pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan persoalan keadilan.

14

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta,1991, hal.1006 15


(25)

tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, yang secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut. Dasar dari adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidanaya jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut, merupakan hal menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia

dapat dicela oleh karena perbuatan tersebut.16

1. kesengajaan

Kesalahan dalam pengertian seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana, di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.

Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (schuldvorm) dapat juga dikatakan

kesalahan dalam arti yurisis, yang berupa:

2. kealpaan

Unsur-unsur kesalahan (dalam arti yang seluas-luasnya), ialah:

a. adanya kemampuan bertanggungjawab si pembuat; keadaan jiwa si pembuat

harus normal

16


(26)

b. hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya , yang berupa

kesengajaan (dolus) atau kealpaaan (culpa); ini disebut bentuk-bentuk

kesalahan,

c. tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan

pemaaaf.17

Pertanggungjawaban pidana, ada suatu pandangan, yaitu pandangan monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan yang monistis antara lain

dikemukakan oleh Simons yang merumuskan strafbaar feit sebagai perbuatan

yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab

atas perbuatannya. Menurut aliran monisme unsur-unsur strafbaar feit itu meliput i

baik unsur perbuatan, yang lajim disebut unsur objektif, maupun unsur-unsur pembuat, yang lajim dinamakan unsur-unsur subjektif. Oleh karena dicampur

antara unsur perbuatan dan pembuat, maka dapat disimpulkan bahwa strafbaar

feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah

dianggap bahwa kalau terjadi strafbaar feit maka pasti pelakunya dipidana.18

17

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung,1985, hal. 89 18

Muladi, Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Bandung, Bandung, 1991, hal. 50

Penganut pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act

berpendapat, bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang meliputi:

a. kemampuan bertanggungjawab


(27)

c. tidak ada alasan pemaaf19

Pandangan dualistis yang pertama menganutnya adalah Herman

Kontorowicz, dalam tahun 1933 dalam bukunya dengan judul “Tut und Schuld

dimana beliau menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan (Schuld) yang

ketika itu berkuasa, yang oleh beliau dinamakan”Objektive Schuld”, oleh karena

kesalahan dipandang sebagai sifat dari pada kelakuan. Untuk adanya Strafvoraussetzungen (syarat-syarat dari penjatuhan pidana terhadap pembuat)

diperlukan lebih dahulu adanya pembuktian adanya Strafbare Handlung

(perbuatan pidana), lalu sesudahnya itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif

pembuat.20

Pandangan dualistis ini memudahkan dalam melakukan suatu sistematika

unsur-unsur mana dari suatu tindak pidana yang masuk dalam perbuatan dan yang masuk ke dalam pertanggungjawaban pidana (kesalahan). Sehingga hal ini mempunyai dampak positif dalam menjatuhkan suatu putusan dalam proses

pengadilan (Hukum Acara Pidana).21

1. sifat melawan hukum (unrecht);

Masalah pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan unsur kesalahan, menurut Sauer, ada tiga pengertian dasar dalam hukum pidana, yaitu:

2. kesalahan (schuld);

3. pidana (strafe)

19

A.Z Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradnya Paramita,Jakarta,1983, hal. 44 20

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana,Bina Aksara,Jakarta,1983, hal. 22

21


(28)

Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana tertentu.

Dalam KUHP sendiri tidak memberikan batasan, KUHP hanya merumuskannya secara negatif yaitu mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua alasan yaitu:

a. karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan b. jiwanya terganggu karena penyakit.

Orang dalam keadaan dimikian, bila melakukan tindak pidana tidak boleh dipidana .Berdasarkan keterangan diatas, maka dapat kita tarik kesimpulan mengenai pengertian pertanggungjawaban pidana yaitu kemampuan seseorang baik secara mental maupun jasmani untuk menanggung konsekuensi dari perbuatan yang dilakukannnya sesuai dengan undang-undang.

3.Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa Latin “Corruptus” atau “Corruptio” yang

kemudian dalam bahasa Inggris dan bahasa Prancis “Corruption” dalam bahasa

Belanda “Korruptie” dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan


(29)

menyalah gunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta

ketidak beresan lainnya. 22

Istilah korupsi hadir dalam khasanah hukum Indonesia adalah pada Peraturan Peguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 Tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian dimasukkan juga dalam Undang-Undang Nomor 24/Prp/19660 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan kemudian diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001(selanjutnya disebut Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi)23

1. Korupsi penyelewengan atau penggelapan ( uang negara atau perusahaan

dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

Secara harfiah korupsi merupakan suatu yang busuk, jahat dan merusak,menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan dalam pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga dalam kedinasan dibawah kedinasan jabatannya. Jadi dapat ditari suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.

22 Sudarto, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Hukum dan Hukum Pidana, Alumni,Bandung,2005,hal.122

23 Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,PT. Sinar Bakti,Bandung,2002,hal. 1


(30)

2. Korupsi: busuk; rusak;suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan

pribadi)24

Dalam Webster’s New American Dictionary, kata “corruption” diartikan

sebagai “decay” (lapuk), “contamination” (kemasukan sesuatu yang merusak)

dan”impurity” (tidak murni). Sedangkan kata “corrupt” dijelaskan sebagai” to become rotten or putrid” (menjadi busuk, lapuk atau buruk ), juga” to induce decay in something originally clean and sound” (memasukkan sesuatu yang busuk, atau yang lapuk ke dalam sesuatu yang semula bersih dan bagus).

Pengertian Korupsi dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 tahun 1999 Jo. 20 tahun 2001, tidak hanya perbuatan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian saja, tetapi juga menyangkut perbuatan lain, seperti: penyuapan, penggelapan, pemalsuan, merusak barang bukti, atau pemerasan dalam jabatan, gratifikasi .

Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang No.31 tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa yang dapat dihukum adalah setiap orang atau korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.

Pasal 2

(1) Setiap orang secara melawan hukum memperkaya diri atau orang lain

atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipenjara minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun dan denda minimal 200(dua ratus) juta rupiah dan maksimal 1 (satu) milyar rupiah;

24


(31)

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Dalam keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana itu dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya, bencana alam, kerusuhan sosial, krisis ekonomi dan moneter, dan penangulangan Tindak Pidana Korupsi dapat dijatuhkan pidana mati.

Pasal 3

Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana, yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana seumur hidup atau penjara minimal 1(satu) tahun atau maksimal 20 (dua puluh) tahun dan atau denda minimal 50 (lima puluh) juta rupiah maksimal 1 (satu) Milyar rupiah;

Beberapa sarjana memberikan pendapat mereka mengenai istilah korupsi, antara lain:

a. David M. Chalmer menguraikan pengertian korupsi dalam berbagai bidang,

antara lain menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, yang menyangkut kepentingan umum.

b. Fockema Andrea menyataka kata korupsi tersebut berasal dari kata asal

corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun

kebanyak bahasa Eropa, seperti Inggris, yaitu corruption, di Perancis


(32)

Istilah dari bahasa Belanda inilah yang turun ke dalam bahasa Indonesia

yang kita kenal dengan korupsi.25

c. Huntington menyebutkan bahwa korupsi adalah perilaku menyimpang dari

public official atau para pegawai dari norma-norma yang diterima dan dianut masyarakat dengan tujuan memperoleh keuntungan-keuntungan

pribadi.26

d. Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengan menyebutkan benang

merah yang menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu suborbinasi kepentingan umum dibawah kepentingan-kepentingan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum serta dibarengi dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat-akibat yang dirasakan masyarakat.,yang berarti

bahwa penyalahgunaan amanat untuk kepentingan pribadi.27

e. Suyatno, mengatakan korupsi merupakan tindakan desosialiasai yakni suatu

tindakan yang tidak memperdulikan hubungan-hubungan dalam sistem sosial.28

Makna korupsi terus berkembang dari waktu ke waktu sebagai pencerminan kehidupan bermasyarakat dari sisi negatif. Semula istilah korupsi banyak digunakan dalam ilmu politik, akan tetapi kemudian menjadi sorotan

25

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada,Jakarta, hal. 5

26

Chairudin dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama,Bandung 2008, hal. 8

27

Ibid

28


(33)

berbagai disiplin ilmu. Beberapa ahli hukum memberikan arti umum tentang

korupsi dari berbagai sumber dengan klasifikasi, antara lain:29

a. Rumusan korupsi dari sisi pandang teori pasar

Jacob van Klaveren menyatakan bahwa seorang pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor administrasinya sebagai perusahaan dagang, dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal

mungkin. 30

b. Rumusan yang menekankan pada titik berat jabatan pemerintahan

1. L. Bayle, perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang

berkaitan dengan penyalah gunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi. 31

2. M.Mc Mullan menyatakan seorang pejabat pemerintahan dikatakan “korup”

apabila ia menerima uang sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum. Yang menyalahgunakan

kewenagan dan kekuasaan. 32

3. J.S. Nye menyatakan korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari

kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena

29

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi, Mandar Maju,Bandung,2001, hal. 8

30

Ibid , hal.8 31

Ibid , hal.9 32


(34)

kepentingan pribadi, demi mengejar status dan gengsi atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan

pribadi.33

c. Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum

Carl. J. Friesrich, mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggungjawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang, membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan

kepentinan umum.34

d. Rumusan korupsi di bidang politik

Theodore M. Smith, dalam tulisannya “Corruption Tradition and Channge

menyatakan secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada masalah ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di

tingkat profinsi dan kabupaten.35

Rumusan-rumusan rumusan pengerian korupsi pada dasarnya dapat memberi warna pada korupsi dalam hukum positif,oleh karena itu rumusan pengertian korupsi tidak ada yang sama pada setiap negara, tergantung pada

33 Ibid 34

Ibid , hal.10

35 Ibid


(35)

tekanan atau titik beratnya yang diambil oleh pembentuk undang-undang. Dari rumusan korupsi tersebut tercermin bahwa korupsi menyangkut segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik serta penempatan keluarga, golongan, ke dalam dinas di bawah jabatannya.

4. Pengertian Korporasi

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh ahli hukum para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam

bahasa Belanda disebut rechtspersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah

legal person atau legal body, pada mulanya dikembangkan pada hukum Romawi, lebih daari seribu tahun yang lalu, tetapi hingga abad VIII, tidak mengalami

perkembangan.36

Konsep badan hukum itu sebenarnya bermula dari konsep hukum perdata yang tumbuh akibat perkembangan masyarakat. Pengertian korporasi dalam hukum pidana Indonesia lebih luas dari pengertian badan hukum sebagaimana dalam konsep hukum perdata. Menurut beberapa peraturan perundang-undangan hukum pidana Indonesia dinyatakan bahwa pengertian korporasi itu adalah kumpulan teroganisasi dari orang dan atau kekayaan baik merupakan badan

hukum maupun bukan.37

36

H.Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publishing,Malang,2005,hal. 2

37

Remy Syahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,Grafitipers,Jakarta,2006, hal.43


(36)

Korporasi dapat dibagi berdasarkan macamnya, badan hukum (korporasi) dapat dibedakan badan hukum yang orisinil (murni,asli), dan badan hukum yang tidak orisinil. Menurut jenisnya, badan hukum dapat dibagi menjadi badan hukum (korporasi) publik, dan badan hukum privat. Sedangkan menurut sifatnya, badan

hukum dapat dibedakan menjadi korporasi (corporatie) dan yayasan (stichting).

Menurut Subekti dan Tjitrosudiro, yang dimaksud dengan korporasi, adalah: “suatu perseroan yang merupakan badan hukum”. Senada dengan pendapat tersebut, Utrecht dan M. Soleh Djindang, mengemukakan bahwa: “ korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu personifikasi .” Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak

dan kewajiban anggota masing-masing.38

Menurut Moenaf H. Regar korporasi adalah :”badan usaha yang keberadaan dan status hukumnya disamakan denga manusia (orang), tanpa melihat bentuk orgnisasinya. Korporasi dapat memiliki kekayaan dan utang, mempunyai kewajiban dan hak dan dapat bertindak menurut hukum, melakukan gugatan, dan dapat dituntut di depan pengadilan. Oleh karena korporasi adalah buatan manusia yang tidak sama dengan manusia, maka harus dijalankan oleh manusia, yang disebut pengelola atau pengurus. Suatu korporasi biasanya mempunyai 3 (tiga) organ yaitu RUPS, Dewan Komisaris, dan Dewan Direksi

38


(37)

(misalnya Perseroan Terbatas). Batas umur korporasi itu ditentukan dalam

anggran dasarnya, pada saat korporsi itu mengakhiri kegiatannya dan bubar.39

5. Pengertian Pertanggungjawaban Korporasi

Perkembangan pertanggungjawaban pidana di Indonesia, ternyata yang dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya manusia, tetapi juga korporasi. Khusus mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, ternyata terdapat bermacam-macam cara perumusannya yang ditempuh oleh pembuat undang-undang. Berkenaan dengan pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, terdapat 3 (tiga) sistem yaitu :

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang

bertanggungjawab.

2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab.

3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagiai pembuat dan juga sebagai

yang bertanggungjawab.40

Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan dasar pemikirannya adalah: korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu

39

Moenaf H. Regar, Dewan Komisaris, Peranannya sebagai Ogan Perseroan, Bumi Aksara,Jakarta,2000, hal. 9

40


(38)

penguruslah yang melakukan delik itu. Dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.

Sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuanya itu. Dengan kata lain, hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan yang dilarang itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku.

Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang

disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam

kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.

Sengaja berarti juga adanya ‘kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu’. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung

pengertian ‘menghendaki dan mengetahui’ atau biasa disebut dengan ‘willens en

wetens’. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu

perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah

‘menghendaki apa yang ia perbuat’ dan memenuhi unsur wettens atau haruslah

‘mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat’.

Disini dikaitkan dengan ‘teori kehendak’ yang dirumuskan oleh Von Hippel maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘sengaja’ adalah


(39)

‘kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu’ atau ‘akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud

dari dilakukannya perbuatan itu’.41

Menurut Suprapto bahwa korporasi dapat memiliki kesalahan, seperti apa yang dikemukannya, yaitu badan-badan bisa didapat kesalahan, bila kesengajaan Jika unsur ‘kehendak’ atau ‘menghendaki dan mengetahui’ dalam kaitannya dengan unsur ‘kesengajaan’ tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil karena memang maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materiil- maka pembuktian ‘adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku’ seringkali hanya dikaitkan dengan ‘keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum’ yang dituduhkan kepadanya tersebut. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.

Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa asas kesalahan merupakan asas yang mutlak ada dalam hukum pidana yaitu sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana. Yang menjadi permasalahannya ialah bagaimanakah pengaruh asas kesalahan apabila suatu korporasi dituntut untuk suatu tindak pidana? Sebab bagaimanapun

juga badan hukum tidak terdapat dalam jiwa manusia (menselijke psyche) dan

unsur-unsur psychis (de psychische bestanddelen) dapat dikatakan memiliki

kesalahan.

41


(40)

atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu tidak bersifat individuil, karena itu mengenai badan sebagai suatu kolektivitet. Dapatlah kiranya kesalahan itu disebut kesalahan kolektif, yang dapat dibebankan kepada pengurusnya. Selain dari pada itu cukup alasan untuk menganggap badan mempunyai kesalahan dan karena itu harus menanggungnya dengan kekayaannya, karena ia misalnya menerima keuntungan yang terlarang. Hukuman denda yang setimpal dengan pelanggaran dan pencabutan keuntungan tidak wajar yang dijatuhkan pada pribadi seseorang, karena mungkin hal itu melampaui

kemampuannya.42

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana ini ada pandangan baru dari para ahli yang mengatakan bahwa dalam hal pertanggungjawaban badan hukum (korporasi) khususnya untuk pertanggungjawaban pidana dari badan hukum asas kesalahan tidak mutlak berlaku. Sebenarnya apa yang dinyatakan sebagai “pandangan baru” di atas tidaklah asing di dalam doktrin tentang pertanggungjawaban pidana ialah keharusan adanya kesalahan, yang di

negara-negara Anglo Saxon dikenal asas mens rea. Namun demikian syarat umum

adanya kesalahan itu doktrin yang dianut di beberapa negara dikecualikan untuk

tindak pidana tertentu, yaitu apa yang dikenal dengan “strict liability” dan

vicarious liability”.43

Berdasarkan uraian tersebut diatas bahwa dalam masalah pertanggungjawaban pidana korporasi, asas kesalahan masih tetap dipertahankan, tetapi dalam perkembangan bidang hukum, khususnya bidang hukum pidana yang

42

Ibid , hal 91

43


(41)

menyangkut pertanggungjawaban pidana asas kesalahan atau “asas tiada pidana tanpa kesalahan” tidak mutlak berlaku. Pada pandangan baru ini cukuplah fakta yang menderitakan si korban dijadikan dasar untuk menuntut

pertanggungjawaban pidana pada sipelaku sesuai dengan adigum “res apsa

loquitur”, fakta sudah berbicara sendiri.44

1. Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi

yang didalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi, yaitu personil yang memiliki kewenangan sah untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang mengikat korporasi tanpa harus mendapat persetujuan dari atasannya.

Sementara itu mengenai pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang haruslah juga didasarkan pada syarat-syarat yang telah ditentukan. Adapun syarat-syarat ataupun unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam hal dibebankannya pertanggungjawaban pidana korporasi atas seseorang yaitu :

Pertanggungjawaban korporasi hanya dapat diberlakukan dalam tindak pidana:

a. Dilakukan oleh pengurus, yaitu mereka yang menurut anggaran

dasar secara formal menjalankan kepengurusan korporasi, dan atau

b. Dilakukan oleh mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar

korporasi bukan pengurus, tetapi secara resmi memiliki

44 Ibid


(42)

kewenangan untuk melakukan perbuatan yang mengikat korporasi secara hukum berdasarkan:

1) Pengangkatan oleh pengurus untuk memangku suatu jabatan

dengan pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri dalam batas ruang lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatannya bitu untik melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat korporasi, atau

2) Pemberian kuasa oleh pengurus atau oleh mereka sebagaimana

disebut diatas untuk dapat melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat korporasi.

c. Diperintahkan oleh mereka yang tersebut dalam huruf a dan b

diatas, agar dilakukan oleh orang lain.

2. Tindak pidana yang dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi.

Kerugian tersebut berupa kerugian intravires yaitu kegiatan yang sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditentukan dala anggaran dasarnya.

3. Tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku atau atas pemberi perintah

dalam rangka tugasnya dalam korporasi. Artinya apabila apabila tindak pidana itu dilakukan tidak berkaitan dengan tugas pelaku atau tugas pemberi perintah didalam korporasi tersebut, sehingga karena out personil tidak berwenang melakukan perbuatan yang mengikat korporasi, maka korporasi tidak dapat diharuskan untuk memikul pertanggungjawaban pidana.

4. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi


(43)

atau dapat menghindarkan atau mengurangi kerugian fiskal maupun non finansial bagi korporasi.

5. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alsan pembenar atau alasan

pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.

6. Bagi tindak pidana yang mengharuskan adanya unsur perbuatan (actus reus)

dan unsur kesalahan (mens rea), kedua unsur tersebut tidak harus terdapat

pada satu orang saja. Artinya orang yang melakukan actus reus tidak perlu

harus memiliki sendiri mens rea yang mejadi dasar tujuan dilakukan actus

reus tersebut, asalakan dalam hal orang itu melakukan actus reus yang

dimaksud adalah menjalankan perintah atau suruhan orang lain yang

memiliki sikap kalbu yang mengkehendaki dilakukannya mens rea tersebut

oleh orang yang disuruh. Dengan gabungan antara actus reus yang

dilakukan oleh pelaku yang tidak memiliki mens rea (tidak memiliki sikap

kalbu yang salah) dan mens rea yang dimiliki oleh orang yang

memerintahkan atau menyuruh actus reus itu dilakukan, maka secara

gabungan (agregasi) terpenuhi unsur-unsur (actus reus dan mens rea) yang

diperlukan bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.

Hal ini memungkinkan pelaku actus reus melakukan perbuatannya hanya

berdasarkan sikap kalbu untuk menjalankan perintah atasannya, tetapi tidak menyadari latar belakang yang sesungguhnya dari tindak pidana yang dilakukannya, dalam hal demikian, maka yang bersangkutan tidak harus

memikul beban tanggungjawab pidana atas actus reus yang dilakukannya


(44)

tetap harus bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan karena

terpenuhi syarat adanya actus reus dan adanya mens rea sebagi hasil

agregasi (gabungan) dari beberapa orang (pelaku).45

Korporasi tidak dapat melakukan perbuatan sendiri, tetapi harus melalui manusia yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan itu atas nama korporasi.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian: 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap asas-asas hukum dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang tentunya mempunyai hubungan dengan judul karya ilmiah yaitu Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384K/PID/2005).

2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

45

Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Penerbit PT.Sofmedia, 2009, hal. 37


(45)

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang, yakni berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintahan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan

informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi seperti seminar hukum,majalah, karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.

c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi

konsep-konsep yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, biografi dan lain-lain.

3.Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, maka metode yang digunakan adalah

metode kepustakaan (library research). Yakni metode yang menggunakan

data sekunder yang tertulis sebagai pedoman. Dan selain buku ilmiah, maka penulis juga mengumpulkan data-data dari bahan-bahan referensi yang berasal dari mass media, seperti surat kabar dan juga bahan-bahan dari internet.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang


(46)

berdasarkan asa-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan Karya ilmiah ini secara garis besar terdiri dari VI (empat) Bab, dimana masing-masing berisikan tentang :

BAB I : Membicarakan tentang latar belakang, rumusan

masalah,keaslian penulisan, manfaat,dan tujuan penelitian,tinjauan pustaka (yang terdiri dari pengertian tindak pidana, pengertian pertanggungjawaban, pengertian korupsi, pengertian korporasi, pengertian pertanggungjawaban korporasi,), metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Membahas mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi

dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mana dalam Bab ini akan dibahas lebih rinci mengenai bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dan bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi.

BAB III : Pembahasan dan analisis pertanggungjawaban pidana korporasi

terhadap putusan MA (Mahkamah Agung) mengenai pertanggungjawaban korporasi


(47)

BAB IV : Berisi mengenai kesimpulan dari permasalahan yang dibahas serta saran-saran yang dapat dijadikan acuan dalam penyelesain terhadap permasalahan yang timbul.


(48)

BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Sejarah Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana

Perkembangan mengenai konsep korporasi sebagai subjek hukum pidana, merupakan dampak dari besarnya peranan korporasi dalam segala bidang kehidupan seperti dalam pembangunan terutama dalam bidang ekonomi, perdagangan dan teknologi yang belangsung di negeri ini. Perubahan demikian tidak hanya perubahan mengenai modal usaha yang dijalankan secara perorangan menjadi usaha bersama, tetapi juga perubahan orientasi nilai-nilai, sikap-sikap dan

pola-pola perlaku masyarakat dalam menjalankan kegiatan usaha.46

Konsep”badan hukum” bermula dari konsep dalam hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatannya yang diharapkan lebih berhasil. Badan hukum sebenarnya hanyalah sekedar ciptaan hukum , yaitu dengan menunjuk adanya suatu badan yang diberi status sebagia subjek hukum, disamping subjek

hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon). Diciptakan suatu

pengakuan adanya suatu badan, yang sekalipun badan ini sekedar suatu badan,

Perkembangan dan perubahan di bidang kegiatan sosial ekonomi ditandai dengan adanya penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat merugikan dan membahayakan masyarakat, seperti pencemaran, pengurasan sumber daya alam, manipulasi pajak, pencucian uang, eksploitasi terhadap buruh, penipuan terhadap konsumen.

46


(49)

namun badan ini dianggap dapat menjalankan tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu. Dan harta itu harus dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya. Jika dari perbuatan itu timbul kerugian, maka kerugian ini pun hanya dapat dipertanggungjawabakan semata-mata dengan harta kekayaan

yang ada dalam badan yang bersangkuatan.47

Tahun 1984 terjadi suatu tragedi yang menggemparkan dunia dimana terjadi

bencana kimiawi akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicon Carbide India

Limited, di Bhopal India. Tragedi tersebut dikarenakan akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan penghematan biaya yang berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, efek dari perusahaan dirasaka hingga 20 tahun. Tragedi ini merupakan peristiwa kecil yang dilakukan oleh korporasi di dunia. Di Indonesia mungkin peristiwa yang masih hangat yaitu peristiwa munculnya sumber lumpur di Sidoarjo yang diidentifikasi disebabkan oleh kegiatan pengeboran yang tidak memenuhi standar dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas. Akibat kejadian tersebut ribuan orang kehilangan tempat tinggal akibat terendam lumpur, dan juga industri-industri disekitar semburan lumpur yang harus ditutup akibat tidak berproduksi yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan

pekerjaannya.48

Pemikiran tentang kejahatan korporasi, banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan ahli hukum, khususnya hukum pidana. Di hukum pidana ada doktrin

47

H. Setiyono, Op. Cit, hal.3 48

Pertanggungjawaban Korporasi,


(50)

yang berkembang yaitu doktrin universitas delinguere non potest yaitu korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana , ini dipengaruhi pemikiran bahwa keberadaan korporasi dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum, sehingga tidak mempunyai nilai moral yang diisyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik (tindak pidana)

mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus

reus).49

Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengaan timbulnya kerugian,

yang kemudian mengakibatkan timbulnya pertanggungjawaban atau criminal

liability. Yang pada akhirnya mengundang perdebatan adalah bagaimana

korporasi mempertanggungjawabkan atau corporate liability mengingat bahwa

dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subjek hukum pidana adalah orang perorangan dalam konotasi biologis

yang alami (naturlijkee persoon). Di samping itu, KUHP juga masih menganut

asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat

melakukan tindak pidana.50

49

Pertanggungjawaban Korporasi,

Dalam konsep pertanggungjawaban pidana korporasi ini dikenal adanya beberapa asas utama yang menjadi dasar teori atau falsafah pembenaran dalam

dibebankannya pertanggungjawaban pidana pada korporasi yaitu Doktrin Strict

Liability dan Doktrin Vicarious Liability.

tanggal 3 Februari 2010, hal. 1 50

Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya hhtp://www.google.com, diakses terakhir tanggal 5 Februari 2010.


(51)

Menurut J.E. Sahetapy dalam penelitiannya pada 1988 tentang permasalahan pidana denda dalam hukum adat kita menyatakan bahwa di beberapa daerah di kepulauan Indonesia sering kali bahwa kampung si penjahat atau kampung terjadinya suatu pembunuhan atau pencurian terhadap orang asing, kewajiban membayar denda kepada golongan familinya orang yang dibunuh atau kecurian. Jadi, pidana terhadap kolektifitas atau untuk masa kini korporasi

bukanlah sesuatu yang baru bagi kita di Indonesia.51

Hal ini juga didukung oleh Andi Zainal Abidin yang menyataka bahwa disebagian daerah di Indonesia, dahulu kala dikenal hukum adat (pidana) yang mengancam pidana bagi keluarga atau kampung seseorang yan dipersalahkan

melalui kejahatan. Hukum adat pidana mengenal pertanggungjawaban kolektif.52

1. Tahap Pertama

Di Belanda ditetapkan bahwa badan hukum dalam hukum pidana dapat melakukan tindak pidana, oleh karena itu dapat dituntut dan dijatuhi hukuman, tetapi melalui tiga tahap tentang diakuinya badan hukum sebagai subjek hukum pidana: .

Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang

dilakukan badan hukum dibatasi pada perorangan (naturlijk persoon),

sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam suatu lingkungan badan hukum maka suatu tindak pidana dianggap dilakukan oleh pengurus bada

hukum tersebut. Dalam tahap ini berlaku asas “ Universitas delinguere non

potest”yaitu badan hukum tidak dapat melakukan suatu tindak pidana.

51

Muladi, Op. Cit, hal 42

52 Ibid


(52)

Pertanggungjawaban disini hanya berkaitan dengan kewajiban memelihara yang dilakukan oleh pengurus.

2. Tahap Kedua

Tahap ini bahwa suatu tidak pidana dapat dilakukan oleh badan hukum, tetapi tanggungjawab telah dibebankan kepada pengurus badan hukum tersebut. Perumusan khusus untuk badan hukum tersebut adalah : apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh atau karena suatu badan hukum, tuntutan pidana dan hukuman pidana harus dijatuhkan pada pengurus. Jadi dalam hal ini orang bersikap bahwa seolah-olah badan hukum dapat melakuakan tindak pidana tetap secara riel yang melakukan perbuatan adalah menusia sebagai wakil-wakilnya.

3. Tahap Ketiga

Tahap ini merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung badan hukum, secara kumulatif badan hukum dapar dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana disamping mereka sebagai pemberi perintah mereka yang sebagai pemberi perintah atau pemberi pimpinan yang nyata telah berperan pada tindak pidana itu. Hal ini terjadi pertama kali untuk “Ondering Strafrecht” yaitu keputusan pengendalian harga dari tahu 1941,

kemudian dalam “Wet op de Economische Delicten”(Undang-Undang

Tindak Pidana Eknomi Tahun 1950). Namun pembentukan Undang-Undang yang tersebar ini telah bertindak sejak ditetapkannya Hukum Pidan Umum Belanda pada tahun 1976


(53)

Di negara Indonesia, badan hukum dijadikan subjek hukum (tertulis) pidana mulai dikenal pada tahun 1951, yaitu terdapat pada Undang-Undang Penimbunan Barang-Barang, Undang-Undang No. 17/1951, yang sekarang tidak berlaku lagi berdasarka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 8 Tahun 1962, setelah itu dikenal lebih luas pada tahun 1955, yaitu dengan keluarnya Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang-Undang-Undang-Undang-Undang No. 7/Drt/1955, dan Undang-Undang Tindak Pidana Subversi, Undang-Undang No. 11/PNPS/1963. Dengan demikian mulai tahun 1955 maka dalam bidang-bidang tertentu di luar KUHPidana (tindak pidana khusus) badan hukum yang melakukan tindak pidana serta dijadikan subjek hukum pidana sudah dikenal dan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan oleh karena dapat dituntut dan

dijatuhkan sanksi pidana.53

1. Atas dasar falsafah intergralistik, yakni segala sesuatu yang diukur atas

dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial.

Menurut Muladi pembenaran pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat didasarkan hal-hal berikut:

2. Atas dasar kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

3. Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan).

4. Untuk perlindungan konsumen.

5. Untuk kemajuan tehnologi.54

53

Hamzah, Op. Cit, hal. 28 54


(54)

Dengan melihat perkembangan sejarah maka dapat disimpulkan bahwa aspek yang mempengaruhi perkembangan pranata hukum yang menyebabkan badan hukum itu dijadikan subjek hukum pidana, pertama sekali disebabkan oleh perkembangan di bidang perekonomian,yang kedua adalah merupakan tuntutan dari pembangunan di bidang hukum itu sendiri yang memiliki aspek ganda yaitu:

1. Modernisasi hukum, yaitu memperbaharui hukum positif sesuai dengan

kebutuhan untuk melayani masyarakat seirama dengan perkembangan masyarakat.

2. Fungsionalisasi hukum, yaitu memberikan peranan pada hukum untuk ikut

dalam mengadakan perubahan pada masa pembangunan.

Dalam kenyataan kemasyarakatan dewasa ini, bukan hanya manusia saja yang oleh hukum diakui sebagai subjek hukum. Untuk memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri, kini dalam hukum juga diberikan pengakuan sebagai subjek hukum pada yang bukan manusia. Subjek hukum yang bukan manusia dinamakan

badan hukum (legal person) .Badan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban

berdasarkan hukum yang bukan manusia, yang dapat menuntut dan dapat dituntut subjek hukum lain dimuka pengadilan. Ciri-ciri dari sebuah badan hukum adalah :

a. memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang

menjalankan kegiatan badan-badan hukum tersebut

b. memiliki hak-hak dan kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan

kewajiban-kewajiban orang-orang yang menjalanan kegiatan badan hukum tersebut;


(55)

d. berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak terikat pada orang-orang tertentu, karena hak-hak dan kewajibannya tetap

ada meskipun orang-orang yang menjalankannya berganti.55

Badan hukum dapat pula dibedakan atas dua jenis, yakni: a. Badan Hukum Publik

b. Badan Hukum Privat

Di Indonesia kriteria yang dipakai untuk menentukan sesuatu badan hukum termasuk badan hukum publik atau termasuk badan hukum privat ada dua macam:

a. berdasarkan terjadinya, yakni badan hukum privat didirikan oleh perseorangan, sedangkan badan hukum publik didirkan oleh pemerintah/negara.

b. berdasarkan lapangan kerjanya, yakni apakah lapangan pekerjaannya itu untuk kepentingan umum, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum publik. Tetapi kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan,

maka badan hukum itu termasuk badan hukum privat.56

Pengertian korporasi dalam hukum perdata dibatasi, sebagai badan hukum. Sedangkan apabila ditelaah lebih lanjut, pengertian korporasi menurut hukum pidana lebih luas. Di Indonesia perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana terjadi di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dalam perundang undangan khusus. Sedangkan KUHP sendiri masih tetap menganut

55

Mochtar Kusumaatmadja dan B.Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Berlakunya Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Alumni,Bandung,2000 hal. 80,81

56

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum ,Citra Aditya Bakti, Bandung,1999, hal 150


(56)

subjek tindak pidana berupa “orang” (Pasal 59 KUHP). Sedangkan subjek tindak pidana korporasi, dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka 13, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 19, yang saat ini sudah diganti dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, Pasal 1 angka 2 tentang Tindak Pidana Penucuciaan Uang, , Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 1 angka 1 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada intinya mengatakan :

“ Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi dengan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”

Rumusan mengenai korporasi juga ditemukan dalam Pasal 51 Wv.S (KUHP Belanda) yang telah diperbaharui pada tahun 1976. Adapun bunyinya adalah:

a. Tindak Pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;

b. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan

pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap :

a.Badan hukum atau;

b.Terhadap mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan tindakan yang dilarang itu;


(57)

c. Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum perseorangan tanpa hak badan hukum perseroan tanpa hak badan hukum,

perserikatan dan yayasan.57

2. Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mengkin dikenakan kepada korporasi misal pidana penjara atau pidana mati.

Berdasarkan perubahan KUHP Belanda tersebut khususnya yang menyangkut Pasal 51 Wc. S (Pasal 59 KUHP), Andy Hamzah menyatakan :

“Sudah jelas, jika korporasi menjasi subjek, pidana yang dapat dijatuhkan tentulah bukan pidana penjara melainkan pidana denda atau ganti kerugian beserta pidana tambahan yang lain.”

Konsekwensi logis tentang keduduan korporasi sebagai badan hukum, membawa pengaruh terhadap tindak pidana yang dapat dilakukan terhadap beberapa pengecualian. Sehubungan dengan pengecualian tersebut Barda Nawawi Arief menyatakan, walaupun pada asasnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa pengecualian, yaitu:

1. Dilakukan perkara-perkara yang menurut kodaratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misalnya bigami, perkosaan, sumpah palsu.

58

Konsekuensi logis lainnya yaitu apabila koporasi diartikan luas yaitu mempunyai kedudukan sebagai badan hukum, seperti yang dianut di Belanda dan di Indonesia (dalam perundang-undangan di luar KUHP). Maka secara teoritis

57

Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. Cit, hal. 20 58


(58)

dapat melakukan semua tindakan hukumnnya dilandaskan kepada praktek, seperti yang terjadi di Belanda.

Untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, perlu diperhatikan kriteria umum sebagai berikut :

a. Apakah perbuatan itu diakui oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat

merugikan, mendatangkan korban;

b. Apakah biaya mengkriminalisasikan seimbang dengan hasil yang akan

dicapai. Artinya biaya pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, beban yang dipikul korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai;

c. Apakah akan makin bertambah beban aparat penegak hukum sehingga

terjadi ketidak seimbangan kemampuan dan beban tugas, atau nyara-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki petugas penegak hukum;

d. Apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa

Indonesia, yakni terwujudnya masyarakt yang adil dan makmur sehingga

merupakan bahaya bagi keselamatan masyarakat.59

Kerugian-kerugian yang di timbulkan kejahatan korporasi dapat bersifat fisik, ekonomi dan biaya sosial. Kecelakaan tenaga kerja merupakan salah satu konsekuensi yang bersifat fisik. Sedangkan kasus biskuit beracun yang

59


(1)

pertimbangan dalam Putusan di tingkat Pertama 92 .Majelis Hakim Kasasi membenarkan tidak dilaksanakannya segala kewajiban KDI harus dilaksanakan. Sehingga, pelanggaran terhadap kewajiban hukum tersebut dapat masuk kategori unsur melawan hukum. Hal ini berakibat terjadinya kerugian keuangan negara.

Sebagimana pada awal dikeluarkannya Putusan PN. Jakarta Selatan terhadap kasus Nurdin Halid ini sebelum adanya putusan dari MA ada banyak kritikan dan kekecewaan dari publik terhadap vonis bebas murni yang dijatuhkan hakim PN.Jakarta Selatan .Ditingkat PN dibebaskan, putusan dianggap kolektif, putusan Badan;MA mendasarkan unsur PMH pada Doktrin dan MA memvonis Nurdin 2 tahun penjara dan denda Rp 30 juta. Tetapi tidak ada vonis tentang uang pengganti.

Apabila menyimak amar putusan kasasi MA, tampaknya masih ada hal yang harus dikritisi, yakni ihwal tidak dicantumkannya dana pengganti yang harus dikembalikan kepada negara sebagai konsekuensi dari tindak korupsi yang telah terjadi. Padahal dalam persidangan di PN Jaksel, Arnold dalam tuntutannya jelas-jelas meminta agar terdakwa diwajibkan membayar uang pengganti Rp 169,71 miliar selain hukuman 20 tahun penjara dan denda.

92


(2)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari pembahasan skripsi ini adalah:

1. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi dapat dibebankan secara langsung kepada korporasi maupun terhadap para pengurus korporasi. .Dibenarkannya pertanggungjawaban pidana terhadap suatu korporasi ini didasarkan pada doktrin-doktrin strick liability dan

vicarious liability, yang pada intinya memberikan ruang yang sangat

memungkinkan untuk dapat dipidananya suatu korporasi, sehingga penjatuhan pidana dapat dijatuhkan sepanjang perbuatan yang dilakukan oleh korporasi tersebut telah menimbulkan dampak dan kerugian bagi masyarakat banyak. Jadi tidak lagi mutlak harus terpenuhi unsur ada tidaknya suatu “kesalahan”.

2. Putusan majelis Hakim Kasasi baik Dakwaan Primer Jaksa Penuntut Umum yang menggunakan Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang No.3 Tahun 1971 jo Pasal 43 A Undang- Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP; Mahkamah Agung memvonis Drs. H.A.M. Nurdin Halid selaku Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) melakukan tindak pidana korupsi yang didasarkan pada pelanggaran yang dilakukan KDI terhadap perjanjian kerjasama antara Badan Urusan Logistik dengan KDI. Sehingga merugikan keuangan dan


(3)

perekonomian negara. Dalam kasus ini diputus dengan 2 tahun penjara dan denda Rp 30.000.000,-. Tetapi tidak ada vonis tentang uang pengganti.

B.SARAN

Adapun saran yang ingin penulis sampaikan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Perlunya pemahaman yang dalam yang harus dimiliki oleh seorang hakim dalam menganalisis setiap kasus dengan mengaitkannya dengan asas-asas dan peraturan hukum yang berlaku, sehingga dalam menerapkan hukum dapat diperoleh keadilan dan kepatian hukum bagi masyarakat.

2. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat terkait masalah hukum dan peraturan perundangan yang berlaku, sehingga masyarakat dapat aktif berperan serta dalam pengawasan penegakan hukum di Indonesia. 3. Perlunya sistem hukum acara pidana mengatur subjek tindak pidana

korporasi dan profesionalisme sebagian aparat jaksa yang masih rendah dalam mengkaji dan mengimplementasikan suatu kasus.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku – Buku :

Ali, Chaidir. (1987). Badan Hukum .Alumni: Bandung

Arief, Barda Nawawi. (1990). Perbandingan Hukum Pidana. Rajawali Pers: Jakarta

Arief, Barda Nawawi. (1996). Batas – batas kemampuan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti : Bandung.

Atmasasmita,Romli. (2003). Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis. Prenada Media, Jakarta Timur

A.Z Abidin. (1983).Bunga Rampai Hukum Pidana. Pradnya Paramita: Jakarta

B. Mardjono Reksodiputro.(1989). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi . FH Undip: Semarang

Chairudin dkk.(2008). Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. Refika Aditama: Bandung

Chazawi,Adami.(2005).Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Bayumedia Publishing : Jakarta

D.Schaffmeister et.al.(2004). Hukum Pidana. Liberti: Bandung

Hamzah,Andi.(1995). Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,. Raja Grafindo Persada: Jakarta Hamzah,Hatrik. (1996). Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam

Hukum Pidana Indonesia (strict liability dan vicarius liability). PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta

Hartanti, Evi. (2005). Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika: Jakarta. H.Setiyono. (2005). Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan

Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia. Bayumedia Publishing: Malang

Loebby Loqman.(1991). Beberapa Ikwal di Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Datacom : Jakarta


(5)

Moeljatno.(1983). Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana.Bina Aksara: Jakarta

Muladi.(1985). Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni: Bandung

Muladi, Dwidja Priyatno.(1991). Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana. Sekolah Tinggi Bandung: Bandung

Muladi, Dwidja Priyatno.(2010). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Sekolah Tinggi Bandung: Kencana Prenada Media Group : Jakarta

Mulyadi,Lilik. (2007).Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif,Teoretis,Praktik dan Masalahnya.Alumni: Bandung O.C. Kaligis. (2007). Kumpulan Kasus Menarik Jilid 2 . O.C. Kaligis

& Associates :Jakarta

P.A.F.Lamintang.(1997).Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Abadi: Bandung

Priyatno Dwiyatno. (2004). Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia. Penerbit CV Utomo: Bandung

Prodjohamidjojo Martiman. (2001). Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi(UU No. 31 Tahun 1999). Penerbit Mandar Maju: Bandung

R. Soesilo.(1993).KUHPidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor

R.Wiyono. (2005). Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika: Jakarta

Saleh,Roeslan. (1987). Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana. Aksara Baru: Jakarta

S.R. Sianturi (1983). Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya .Alumni: Jakarta

Suyatno. (2005). Korupsi Kolusi Nepotisme. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta

Yunara,Edy. (2005). Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus.

2. Undang -Undang :


(6)

Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang -Undang No. 31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

3. Kitab – Kitab

:

KUHP( Kitab Undang – Undag Hukum Pidana ) karangan R.Soesilo. KUHP Khusus ( Kompilasi Ketentuan Pidana dalam Undang – Undang Pidana Khusus ) karangan Ermansjah Djaja. PT.Sinar Grafika : Jakarta. 2009

Kamus Umum Bahasa Indonesia. PT.Balai Pustaka : Jakarta karangan , W.J.S. Poerwardarminta.

4. Putusan – Putusan :

Putusan No. 211/Pid.B/ 2004/PN.Jkt.Sel

Putusan Mahkamah Agung No. 1384 K/Pid B/2005 5. Internet :

www.google.com


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pengguna Ijazah Palsu Dalam Pemilihan Kepala Desa Kabupaten Langkat (Studi Putusan Pn No.197/Pid.B/2011/Pn.Stb, Pt No.431/Pid/2011/Pt.Mdn, Ma-Ri No.579k/Pid/2012)

4 159 165

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan Yang Melakukan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor 275 K/ Pid.Sus/ 2012 Tentang Yayasan Uisu)

9 114 121

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum Di Dalam Kuhp (Studi Putusan Ma No. 1914/K/Pid/2012)

2 116 124

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Korupsi pada Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Infrastruktur Pedesaan (Studi Putusan MA No. 2093 K / Pid. Sus / 2011)

3 55 157

Pertanggungjawaban Pidana Notaris Terhadap Akta yang Dibuatnya (Studi Putusan Mahkamah Agung Register No. 1099K/PID/2010)

8 79 154

Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 61 4

Pertanggungjawaban Pidana Dokter (Studi Putusan Makamah Agaung Nomor 365 K/Pid/2012)

4 78 145

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100