Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ( Studi Putusan No. 64/ Pid.Sus. K/ 2013/ PN.Mdn)
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU
Ali, Mahrus. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Arsyad, H. Jawade Hafidz. 2013. Korupsi Dalam Perspektif HAN. Jakarta: Sinar Grafika.
Butarbutar, Russel. 2015. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana
Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Di Bidang Konstruksi.
Bekasi: Gramata Publishing.
Chazawi, Adami. 2005. Hukum Pidana Formil Dan Materiil Korupsi Di
Indonesia. Malang: Bayu Media.
Danil, H. Elwi. 2014. Korupsi: Konsep, Tindak Pidana Dan Pemberantasannya
(Cetakan Ketiga). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Djaja, Ermansjah. 2010. Tipologi Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Effendy, Marwan. 2010. Pemberantasan Korupsi Dan Good Governance. Jakarta: Timpani Publishing.
Farid, H.A. Zainal Abidin. 2011. Hukum Pidana I (Cetakan Kedua). Jakarta: Sinar Grafika.
Eka Putra, Muhammad. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Medan: USU Press. Hamzah, Andi. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka
Cipta.
Harahap, M. Yahya. 2011. Pembahasan Dan Permasalahan KUHAP-Penyidikan
Dan Penuntutan (Edisi Kedua, Cetakan Kesebelas). Jakarta: Sinar Grafika.
Huda, Chairul. 2006. “ Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju ‘Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’ ”. Jakarta: Prenada
Media.
Jahja, H. Juni Sjafrien. 2012. Say No To Korupsi (Mengenal, Mencegah, Dan
Memberantas Korupsi Di Indonesia). Jakarta: Visi Media.
Kamaroesid, Herry dan Muhammad Sutarsa. 2010. Pembuat Komitmen,
Wewenang Dan Tanggungjawabnya Dalam Pelaksanaan APBN/APBD.
Jakarta: Mitra Wacana Media.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. 2007. Pokok-Pokok Hukum Pidana
(2)
Klitgaard, Robert,dkk. 2005. Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam
Pemerintah Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lamintang, P.A.F. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Cetakan
Keempat). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Moeljatno. 2013. Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi, Cetakan Keempat). Jakarta: Rineka Cipta.
Muladi dan Dwidja Priyatno. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Prenada Media Group.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
RM, Suharto. 2002. Hukum Pidana Materil: Unsur-Unsur Obyektip Sebagai
Dasar Dakwaan (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika.
Rohim. 2008. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi. Depok: Pena Multi Media.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2014. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali Press.
Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
Surachmin dan Suhandi Cahaya. 2011. Strategi Dan Teknik Korupsi (Edisi
Kedua). Jakarta: Sinar Grafika.
Suswinarno. 2013. Mengantisipasi Resiko Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa. Jakarta: Visi Media.
Sutedi, Adrian. 2008. Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa Dan Berbagai
Permasalahannya. Jakarta: Sinar Grafika.
---. 2012. Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa Dan Berbagai
Permasalahannya (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika.
Transparency International Indonesia. 2003. Strategi Memberantas Korupsi
(Elemen Sistem Integritas Nasional), Jakarta: Yayasan Obor Rakyat.
Waluyo, Bambang. 2004. Pidana Dan Pemidanaan (Cetakan Kedua). Jakarta: Sinar Grafika.
World Bank Office Jakarta. 2003. Memerangi Korupsi Di Indonesia, Memperkuat
Akuntabilitas Untuk Kemajuan. Jakarta: World Bank Office Jakarta.
Yunara, Edy. 2005. Korupsi Dan Pertanggungjawaban Korporasi Berikut Studi
Kasus. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
(3)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Juncto Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Juncto Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
C. INTERNET
Laporan Kajian Korupsi
Pengadaan Dan Rekomendasi Sanksi, Diakses Tanggal 2 April 2016.
Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, diakses Tanggal 29 Februari 2016.
Jasa, diakses pada Tanggal 27 Februari 2016.
Mencegah Korupsi Dalam
Pengadaan Barang Dan Jasa Publik, diakses Tanggal 29 Februari 2016.
(4)
dan-Jasa.pdf, Kajian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Dari Perspektif
Hukum Pidana dan Kriminologi, diakses Tanggal 5 Maret 2016.
Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, diakses Tanggal 16
Maret 2016.
(5)
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PROYEK PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Jo. UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
A. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Indonesia. Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pengertian pertanggung
jawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan
diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang
melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam
melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan.166
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang
objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi
syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan
pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah
asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana
jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.
167
Dengan kata lain, orang dapat melakukan tindak pidana tanpa mempunyai
kesalahan, tetapi sebaliknya orang tidak mungkin mempunyai kesalahan jika tidak
melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum.168
166 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 155. 167
Ibid, hlm. 156.
168 Suharto RM, Hukum Pidana Materil: Unsur-Unsur Obyektip Sebagai Dasar Dakwaan (Edisi Kedua), Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 107.
(6)
suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu,
pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada.169
Berkaitan dengan hal itu, Sudarto sebagaimana dalam buku Muladi dan
Dwidja Priyatno170
Mengenai pentingnya unsur kesalahan dalam penjatuhan pidana juga
terlihat jelas di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 6 ayat (2)
menyatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup
apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum
atau bersifat melawan hukum. Jadi, meskipun pembuatnya memenuhi rumusan
delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal
provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan
pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang
melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).
Dengan perkataan lain, orang tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya baru dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Disini berlaku apa yang disebut
asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld atau geen straf
zonder schuld atau nulla poena sine culpa).
171
169
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 157.
170
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 68-69.
171 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 6 ayat (2) :
“ Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. ”
yang pada pokoknya menyatakan bahwa unsur
kesalahan itu sangat menentukan terhadap akibat dari perbuatan seseorang, yaitu
(7)
Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat
dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan
perbuatan tersebut. Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada
waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela
karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat
padahal mampu untuk mengetahui makna perbuatan tersebut, dan karenanya dapat
bahkan harus menghindari perbuatan demikian.172
1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat
Berdasarkan uraian mengenai pengertian kesalahan, dapat dikatakan
bahwa pengertian kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban pidana.
Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si
pembuat dengan perbuatannya. Adanya kesalahan pada seseorang, maka orang
tersebut bisa dicela. Mengenai keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan
perbuatan merupakan apa yang lazim disebut sebagai kemampuan bertanggung
jawab, sedangkan hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya itu
merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf. Dengan demikian, untuk
menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur, antara
lain :
2. Hubungan batin antara sipembuat dengan perbuatannya yang berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Ini disebut bentuk kesalahan.
3. Tidak adanya alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.173
172 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 157.
(8)
Mengenai keadaan batin orang yang melakukan perbuatan adalah apa yang
dalam teori merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab (toerekenings
vatbaarheid). Ini adalah dasar yang penting untuk adanya kesalahan, sebab
bagaimana pun juga, keadaan jiwa terdakwa harus demikian rupa hingga dapat
dikatakan sehat/normal. Hanya terhadap orang-orang yang keadaan jiwanya
normal sajalah, dapat kita harapkan akan mengatur tingkah lakunya sesuai dengan
pola yang telah dianggap baik dalam masyarakat.174
a. Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memiliki antara berbuat atau
tidak berbuat apa yang oleh Undang-Undang dilarang atau diperintahkan,
dengan kata lain dalam hal perbuatan yang dipaksa.
Berkaitan dengan kemampuan bertanggungjawab, KUHP tidak
memberikan perumusan, dan hanya jika kita temui dalam Memorie van
Toelichting (Memori Penjelasan) secara negatif menyebutkan mengenai
pengertian kemampuan bertanggungjawab itu, ada tidak adanya kemampuan
bertanggungjawab pada si pembuat yaitu:
b. Dalam hal pembuat ada dalam suatu keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat
menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak
mengerti akibat perbuatannya itu nafsu patologis (pathologische drift), gila,
pikiran tersebut, dan sebagainya.175
Dalam KUHP, ketentuan yang menunjuk kearah kemampuan bertanggung
jawab ialah dalam buku I Bab III Pasal 44, yang berbunyi :
174 Moeljatno, op.cit, hlm. 172-173.
(9)
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.176 Mengenai ketentuan Pasal 44 KUHP tersebut, M. Abdul Kholiq
sebagaimana dalam buku Mahrus Ali berpendapat bahwa pelaku perbuatan pidana
baru bisa dianggap tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya, apabila
dalam dirinya terjadi salah satu diantara dua hal, yaitu sebagai berikut
177
1. Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, hingga akalnya
menjadi kurang sempurna untuk membedakan antara yang baik dan yang
buruk. Contohnya adalah orang idiot yang melakukan perbuatan pidana. :
2. Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh suatu
penyakit, hingga akalnya menjadi kurang berfungsi secara sempurna atau
kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk.
Contohnya adalah orang gila atau orang yang berpenyakit epilepsy yang
melakukan perbuatan pidana.
Yang pertama merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat
membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang
kedua adalah faktor perasaan atau kehendak (volitional factor), yaitu dapat
menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan
dan mana yang tidak.178
176
Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
177 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 172-173. 178 Moeljatno, op.cit, hlm. 179.
(10)
Unsur kedua dari kesalahan atau pertanggungjawaban pidana adalah
hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan
(dolus) atau kealpaan (culpa)179. Sehubungan dengan hubungan batin antara si
pembuat dan perbuatannya yang berisi menghendaki dan mengetahui, maka dalam
ilmu hukum pidana terdapat dua teori, yaitu teori kehendak yang dikemukakan
oleh Von Hippel dalam “ Die Grenze von Vorsatz und Fahrlassigkeilm ” (1903)
dan teori membayangkan yang dikemukakan oleh Frank dalam “ Festcshrift
Gieszen ” (1907). Teori kehendak menyatakan bahwa kehendak membuat suatu
tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat karena tindakan itu. Dengan
demikian, “sengaja” adalah apabila akibat suatu tindakan dikehendaki , apabila
akibat itu menjadi maksud benar-benar dari tindakan yang dilakukan tersebut.
Sedangkan teori membayangkan adalah manusia hanya dapat menghendaki suatu
tindakan, manusia tidak mungkin menghendaki suatu akibat, manusia hanya dapat
menginginkan, mengharapkan atau membayangkan kemungkinan adanya suatu
akibat.180
Kesengajaan yang merupakan corak sikap batin yang menunjukkan
tingkatan atau bentuk kesengajaan dibagi menjadi tiga, yaitu kesengajaan sebagai
maksud (opzet als oogmerk), kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij
mogelijkheidswustzijn), dan kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij noodzakelijkheids). Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsur willes en wetens, yaitu bahwa pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dan
perbuatannya, arti maksud disini adalah maksud untuk menimbulkan akibat
179 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 76. 180 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 173-174.
(11)
tertentu. Kesengajaan sebagai kepastian adalah dapat diukur dari perbuatan yang
sudah mengerti dan menduga bagaimana akibat perbuatannya atau hal-hal mana
nanti akan turut serta mempengaruhi akibat perbuatannya. Pembuat sudah
mengetahui akibat yang akan terjadi jika ia melakukan suatu perbuatan pidana.
Sedangkan kesengajaan sebagai kemungkinan terjadi apabila pelaku memandang
akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagai hal yang niscaya terjadi,
melainkan sekedar sebagai suatu kemungkinan yang pasti.181
KUHP tidak memberikan penjelasan tentang pengertian kealpaan (culpa),
sehingga secara formal tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan
kealpaan. Oleh karena itu, pengertian kealpaan harus dicari di dalam pendapat
para ahli hukum pidana dan dijadikan sebagai dasar untuk membatasi apa itu
kealpaan.
Meskipun pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan diperlukan adanya
kesengajaan, tetapi terhadap sebagian dari padanya ditentukan bahwa di samping
kesengajaan itu orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya berbentuk
kealpaan.
182
Dikatakan culpa jika keadaan batin pelaku perbuatan pidana bersifat
ceroboh, teledor, atau kurang hati-hati sehingga perbuatan dan akibat yang
dilarang oleh hukum terjadi. Jadi dalam kealpaan ini, pada diri pelaku sama sekali
memang tidak ada niat kesengajaan sedikit pun untuk melakukan suatu perbuatan
pidana yang dilarang hukum. Meskipun demikian, ia tetap patut dipersalahkan
atas terjadinya perbuatan dan akibat yang dilarang hukum itu karena sikapnya
181 Ibid, hlm. 175. 182 Ibid, hlm. 177.
(12)
yang ceroboh tersebut. Hal ini dikarenakan nilai-nilai kepatutan yang ada dalam
kehidupan masyarakat mengharuskan agar setiap orang memiliki sikap hati-hati
dalam bertindak.183
Van Hammel sebagaimana dikutip dari buku Moeljatno mengatakan
bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu
184
1) Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. :
2) Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Dilihat dari bentuknya, Modderman sebagaimana dalam buku Mahrus
Ali185
183
Ibid, hlm. 178.
184 Moeljatno, op.cit, hlm. 218. 185 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 178.
mengatakan bahwa terdapat dua bentuk kealpaan (culpa), yaitu kealpaan
yang disadari (bewuste culpa) dan kealpaan yang tidak disadari (onbewuste
culpa). Beliau mengatakan bahwa corak kealpaan yang paling ringan adalah orang
melakukan pelanggaran hukum dengan tidak diinsyafi sama sekali. Dia tidak tahu,
tidak berpikir dengan panjang atau tidak bijaksana. Tetapi corak kealpaan yang
lebih berat adalah yang dinamakan dengan bewuste schuld, yaitu kalau pada
waktu berbuat kemungkinan menimbulkan akibat yang dilarang itu telah diinsyafi,
tetapi karena kepandaiannya atau diadakannya tindakan-tindakan yang
mencegahnya, kemungkinan itu diharapkan tidak akan timbul.
Selain syarat adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat dan
hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan
(dolus) atau kealpaan (culpa) sebagaimana yang sudah dibahas diatas, syarat
(13)
Apa maksud alasan pemaaf yaitu adalah alasan yang menghapuskan
kesalahan dari terdakwa. Jadi, tidak adanya alasan pemaaf tentu berarti tidak
adanya alasan untuk menghapuskan kesalahan dari terdakwa.186
Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus
sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pembenar
dengan alasan penghapus kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf.
Dibedakannya alasan pembenar dari alasan pemaaf karena keduanya mempunyai
fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada ‘pembenaran’ atas
tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan
pemaaf berdampak pada ‘pemaafan’ pembuatannya sekalipun telah melakukan
tindak pidana yang melawan hukum.187
Dalam hukum pidana yang termasuk ke dalam alasan penghapus kesalahan
atau alasan pemaaf antara lain daya paksa (over macht), pembelaan terpaksa yang
melampaui batas (noodweer ekses), dan pelaksanaan perintah jabatan tanpa
wewenang yang didasari oleh itikad baik.188
Pertama, daya paksa (over macht). Dalam KUHP daya paksa diatur di
dalam Pasal 48 KUHP. Secara teoritis, terdapat dua bentuk daya paksa, yaitu vis
absoluuta dan vis compulsiva. Vis absoluuta adalah paksaan yang pada umumnya
dilakukan dengan kekuasaan tenaga manusia (fisik) oleh orang lain, sedangkan vis
compulsiva adalah paksaan yang kemungkinan dapat dielakkan walaupun secara
perhitungan yang layak, sulit diharapkan bahwa yang mengalami keadaan
186
Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 81.
187 Chairul Huda, op.cit, hlm. 121. 188 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 181.
(14)
memaksa tersebut akan mengadakan perlawanan.189 Umumnya dikatakan bahwa
vis absoluuta tidak masuk dalam Pasal 48, tetapi hanya vis compulsiva saja.
Adapun sebabnya ialah bahwa dalam vis absoluuta, orang yang berbuat bukan
yang terkena paksaan, tetapi orang yang memberi paksaan fisik.190
Kedua, pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses).
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas adalah perbuatan pidana yang
dilakukan sebagai pembelaan pada saat seseorang mengalami suatu serangan atau
ancaman serangan dapat membebaskan pelakunya dari ancaman hukum jika sifat
pembelaan tersebut sebanding dengan bobot serangan atau ancaman serangan itu
sendiri.191
Menurut Mahrus Ali, Pasal ini menjelaskan bahwa dalam noodweer ekses,
perbuatan seseorang hakikatnya merupakan perbuatan melawan hukum, karena
memang serangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang
disebabkan oleh kegonjangan jiwa yang hebat adalah melawan hukum. Serangan
itu juga disebabkan secara langsung oleh kegonjangan jiwa yang hebat, sehingga
fungsi batin orang tersebut tidak berjalan secara normal. Hal demikian inilah yang
menyebabkan dalam diri orang itu terdapat alasan pemaaf. Menurut doktrin
hukum pidana terdapat tiga unsur yang harus dipenuhi agar perbuatan seseorang
dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer Pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau noodweer ekses diatur
dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa:
“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”
189
Ibid.
190 Moeljatno, op.cit, hlm. 152. 191 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 183.
(15)
ekses), yaitu melampaui batas pembelaan yang diperlukan, kegoncangan jiwa
yang hebat, adanya hubungan kausal antara serangan dengan timbulnya
kegoncangan jiwa yang hebat.192
Ketiga, pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang didasari oleh
itikad baik. Pasal 51 ayat (2) KUHP berbunyi 193
Mengenai isi Pasal 51 ayat (2) KUHP, Moeljatno berpendapat bahwa yang
pertama-tama harus ditonjolkan ialah bahwa di situ, meskipun tidak secara
terang-terangan tersimpul gagasan penting yaitu bahwa tidak setiap pelaksanaan perintah
jabatan melepas orang yang diperintah dan tanggungjawab atas perbuatan yang
dilakukan.
:
“Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.”
194
Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi agar perbuatan orang itu
dikategorikan sebagai alasan pemaaf. Pertama, keadaan batin orang yang
diperintah harus mengira bahwa perintah tersebut merupakan perintah yang sah
baik dilihat dari pejabat yang mengeluarkan perintah itu maupun dilihat dari
macamnya perintah itu. Kedua, perintah yang dilaksanakan itu berdasarkan itikad
baiknya harus merupakan bagian dari lingkungan pekerjaannya.195
Ketiga unsur dalam kesalahan merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah
urutannya dan yang disebut kemudian bergantung kepada yang disebut terlebih
dahulu. Konkretnya, tidak mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan
192 Ibid. 193
Pasal 51 ayat (2) KUHP.
194 Moeljatno, op.cit, hlm. 162. 195 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 184.
(16)
ataupun kealpaan jika orang itu tidak mampu bertanggungjawab. Begitu pula tidak
dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila ia tidak mampu bertanggung
jawab, dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan.196
Secara singkatnya, asas geen straf zonder schuld tidak menghendaki
dipidananya seseorang yang nyata-nyata memang benar telah melakukan
pelanggaran peraturan pidana, akan tetapi tanpa kesalahan. Asas termaksud
walaupun tidak dimuat dalam KUHP, namun secara umum orang berpendapat
asas tadi adalah wajar dan selayaknya harus ada dalam hukum pidana.197
Berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana, Indonesia dewasa
ini sudah mengalami perubahan yang signifikan dengan ditetapkannya korporasi
sebagai subjek yang bisa diminta pertanggungjawaban pidananya dalam aturan
hukum-hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Melihat
kenyataan dewasa ini dimana korporasi semakin memegang peranan penting
dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam bidang ekonomi, sehingga doktrin
universitas/societas delinquere non potest (badan hukum tidak dapat melakukan
tindak pidana) sudah mengalami perubahan dengan diterimanya konsep pelaku
fungsional dimana pembuat delik memasukkan korporasi kedalam “functioneel
daderschap”.198
Jika suatu korporasi melakukan pelanggaran, maka korporasi tersebut bisa
dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana, bahkan tidak hanya badan
hukum atau korporasinya saja, tetapi juga orang-orang yang ada didalamnya yang
196
Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 81.
197 Ibid, hlm. 99.
(17)
bekerja sebagai pengurus korporasi tersebut yang tidak hanya atas nama pribadi
saja tetapi juga dari sudut peranannya dalam korporasi tersebut.199
Korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak dikenal dalam KUHP, hal
ini dikarenakan KUHP adalah warisan dari pemerintah kolonial Belanda.
Korporasi sebagai subjek tindak pidana masih merupakan hal yang baru.
Korporasi sebagai subjek tindak pidana, terutama berkembang karena adanya
pengaruh perkembangan dunia usaha nasional yang semakin berkembang pesat.200
B. Subjek Hukum (Pelaku) Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Akan tetapi, dalam beberapa Perundang-Undangan Indonesia seperti antara lain
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, korporasi
saat ini sudah diterima sebagai subjek hukum layaknya seperti subjek hukum yang
lain yakni manusia (natuurlijk persoon).
Pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana adalah manusia
(natuurlijk persoon). Hal ini dapat disimpulkan dari rumusan tindak pidana dalam
Undang-Undang yang selalu dimulai dengan kata “barang siapa” yang tidak dapat
diartikan lain selain orang (manusia). Disamping itu yang dapat di pertanggung
jawabkan dalam hukum pidana adalah manusia. Hal itu disebabkan karena
kesalahan, baik dalam bentuk kesengajaan maupun kealpaan merupakan sikap
199
Marwan Effendy, op.cit, hlm. 107.
200
(18)
dalam batin manusia. Atas dasar pemikiran seperti itu pula lah, maka dalam
penjelasan KUHP (Memorie van Toelichting), yaitu penjelasan atas Pasal 59
KUHP ditegaskan bahwa, suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh
manusia. Akan tetapi, didalam perkembangan pemikiran hukum pidana, ajaran
seperti itu sudah mulai ditinggalkan.201
Dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi, tidak ditemukan adanya ketentuan yang secara khusus
mengatur kualifikasi pelaku (pembuat) sebagai subjek tindak pidana korupsi.
Artinya, rumusan hukum pidana tentang korupsi sejak semula tidak pernah
menentukan subjek dengan kualifikasi tertentu. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam merumuskan tindak
pidana korupsi selalu diawali dengan kata “barang siapa”. Demikian pula
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
mengawali rumusan tindak pidana korupsi dengan kata “setiap orang”, yang
berarti siapa saja.202
Meskipun demikian, berdasarkan pengamatan terhadap praktik penegakan
hukum, sepanjang menyangkut masalah subjek tindak pidana korupsi, dalam
kasus-kasus tertentu masih ditemukan adanya perbedaan interpretasi dan
kesenjangan pemahaman di kalangan penegak hukum. Masih ada diantaranya
yang berpendirian, bahwa tindak pidana korupsi hanya dimungkinkan untuk
dipertanggungjawabkan kepada pegawai negeri. Sementara mereka yang bukan 201
H. Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya (cetakan
ketiga), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 104. 202 Ibid.
(19)
pegawai negeri mesti dijauhkan dari wilayah itu. Sekalipun pendirian seperti itu
tidak begitu dominan, namun fakta itu patut disikapi sebagai suatu problem
yuridis yang perlu dipecahkan, sehingga dengan demikian kesenjangan
pemahaman selanjutnya dapat dihindari.203
Subjek hukum tindak pidana dalam hukum pidana korupsi Indonesia pada
dasarnya adalah orang pribadi sama seperti yang tercantum dalam hukum pidana
umum. Hal ini tidak mungkin ditiadakan, namun ditetapkan pula suatu badan yang
dapat menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi sebagaimana dimuat dalam
Pasal 20 jo. Pasal 1 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.204
Pelaku dalam tindak pidana korupsi, adalah setiap orang, bisa perorangan
dan bisa korporasi terdiri atas
205
1. Mereka yang melakukan. :
2. Yang menyuruh melakukan.
3. Yang turut serta melakukan.
4. Penganjur.
5. Mereka yang memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
6. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan.
Berdasarkan Pasal 55 KUHP pelaku korupsi yang dihukum sebagai orang
yang melakukan peristiwa pidana adalah206
203 Ibid, hlm. 106.
204 Adami Chazawi, op.cit, hlm. 341. 205
Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi (Edisi Kedua), (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 31.
206 Ibid, hlm. 31-32.
(20)
1) Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu.
2) Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.
Yang dihukum sebagai “orang yang melakukan” dapat dibagi atas 4
(empat) macam, yaitu sebagai berikut207
1) Orang yang melakukan (pleger). :
Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala
anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana yang dilakukan
dalam jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi elemen “status sebagai
pegawai negeri”.
2) Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger).
Disini sedikitnya ada 2 (dua) orang, yang menyuruh (doen pleger) dan
yang disuruh (pleger). Jadi, bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa
pidana, tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian ia dipandang dan
dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri atau melakukan peristiwa pidana.
Disuruh (pleger) itu harus hanya merupakan suatu alat (instrument) saja,
maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya.
3) Orang yang turut melakukan (medepleger).
“Turut melakukan” dalam arti kata, “bersama-sama melakukan”.
Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang
yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Disini diminta, bahwa
(21)
kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan
anasir atau elemen dari peristiwa pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya
melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya
menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk
“medepleger”, tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige)
tersebut dalam Pasal 56.
4) Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai
kekerasan, dan sebagainya.
Dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan itu (uitlokker), orang itu
harus sengaja membujuk orang lain, sedangkan membujuknya harus memakai
salah satu dari jalan-jalan seperti dengan pemberian, salah memakai kekuasaan,
dan sebagainya. Yang disebutkan dalam pasal itu artinya tidak boleh memakai
jalan lain. Disini seperti halnya dengan “suruh melakukan” sedikit-dikitnya harus
ada dua orang ialah orang yang membujuk dan yang dibujuk, hanya bedanya pada
“membujuk melakukan”, orang yang dibujuk itu dapat dihukum juga sebagai
pleger, sedangkan pada “suruh melakukan”, orang yang disuruh itu tidak dapat
dihukum.
Menurut Setyo Utomo sebagaimana dalam buku Russel Butarbutar208
208 Russel Butarbutar, op.cit, hlm. 16.
, ada
10 (sepuluh) perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah, perbuatan
(22)
1. Penyuapan.
Pemberian dalam bentuk uang, barang, fasilitas, dan janji yang akan
berakibat membawa untuk terhadap diri sendiri atau pihak lain yang berhubungan
dengan jabatan yang dipegangnya saat itu.
2. Penggelapan.
Perbuatan yang mengambil tanpa hak oleh seorang yang telah diberi
kewenangan, untuk mengawasi dan bertanggungjawab penuh terhadap barang
milik Negara, oleh pejabat publik maupun swasta.
3. Penerimaan komisi.
Pejabat publik yang menerima sesuatu yang bernilai dalam bantuan uang,
saham, fasilitas, barang, dan lain-lain, sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan
atau hubungan bisnis dengan pemerintah.
4. Pemerasan.
Memaksa seseorang untuk membayar atau memberikan sejumlah uang
atau barang, atau bentuk lain, sebagai ganti dari seorang pejabat publik untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perbuatan tersebut dapat diikuti dengan
ancaman fisik maupun kekerasan.
5. Pilih Kasih.
Memberikan pelayanan yang berbeda berdasarkan alasan hubungan
keluarga, agama, dan golongan, yang bukan kepada alasan yang objektif seperti
(23)
6. Penyalahgunaan Wewenang .
Mempergunakan kewenangan yang dimiliki untuk melakukan tindakan
yang memihak atau pilih kasih kepada kelompok atau perseorangan, sementara
bersifat diskriminatif terhadap kelompok atau perseorangan lainnya.
7. Bisnis “Orang Dalam”.
Melakukan transaksi publik dengan menggunakan perusahaan milik
pribadi atau keluarga, dengan cara mempergunakan kesempatan dan jabatan yang
dimilikinya untuk memenangkan kontrak pemerintah.
8. Nepotisme.
Tindakan untuk mendahulukan sanak keluarga, kawan dekat, anggota
partai politik yang sepaham, dalam penunjukan atau pengangkatan staf, panitia
pelelangan atau pemilihan pemenang lelang.
9. Sumbangan Tidak Resmi.
Hal ini terjadi apabila partai politik atau pemerintah yang sedang berkuasa
pada waktu itu menerima sejumlah dana sebagai suatu kontribusi dari hasil yang
dibebankan kepada kontrak-kontrak pemerintah.
10.Pemalsuan.
Suatu tindakan atau perilaku untuk mengelabui orang lain atau organisasi,
dengan maksud untuk keuntungan dan kepentingan dirinya sendiri atau orang lain.
Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, tindak pidana korupsi potensial
dilakukan oleh rekanan ataupun pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa
(24)
tindak pidana pada pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan secara
bersama-sama.209
1. Kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi berbentuk badan hukum. Pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah yang terdiri dari
Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK), Unit Layanan Pengadaan (ULP), dan Panitia Penerima
Barang/Jasa (PPHP) merupakan subjek hukum orang-perorangan yang dapat
dijerat sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Sedangkan rekanan atau penyedia
barang/jasa bisa sebagai orang-perseorangan maupun suatu badan usaha
(korporasi).
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa korporasi adalah
kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum. Penekanan pada kalimat “dan/atau” dalam
ketentuan yang terdapat pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 memberikan arti menjadi beberapa jenis, yaitu:
2. Kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi yang bukan berbentuk
badan hukum.
3. Kumpulan orang yang terorganisasi yang berbentuk badan hukum.
4. Kumpulan kekayaan yang terorganisasi yang bukan berbentuk badan hukum.
5. Kumpulan kekayaan yang terorganisasi yang berbentuk badan hukum.
(25)
6. Kumpulan kekayaan yang terorganisasi yang bukan berbentuk badan
hukum.210
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa subjek tindak pidana korupsi
adalah setiap orang ataupun korporasi. Hal ini berarti bahwa tidak hanya manusia
(recht person) saja yang dapat dijatuhi pidana akan tetapi juga suatu korporasi
(legal persoon). Diakuinya korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi lebih
lanjut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1)211 dan Pasal 20 ayat (2)212
210 Russel Butarbutar, op.cit, hlm. 35-36. 211
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 berbunyi: “ Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.”
212 Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 berbunyi: “ Tindak pidana
korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.”
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang sering dilakukan oleh pihak
rekanan/penyedia barang/jasa adalah dalam bentuk suap. Menyuap biasanya
dilakukan oleh rekanan pengadaan barang/jasa kepada Bupati, Walikota,
Gubernur, Dirjen, Menteri, Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), atau Panitia Penerima Barang/Jasa
(Pengawas) baik sendiri maupun bersama-sama. Tujuan rekanan melakukan
(26)
1. Supaya pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa menerima penawaran
barang/jasa yang diajukan oleh rekanan.
2. Supaya pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa memenangkan perusahaan
penyuap dalam tender/lelang.
3. Supaya pengelola kegiatan pengadaan barang/jasa menerima barang/jasa yang
diserahkan oleh rekanan yang kualitas dan/atau kuantitasnya sebenarnya lebih
rendah dibandingkan dengan kualitas dan kuantitas barang/jasa yang
diperjanjikan dalam kontrak.213
Bentuk tindak pidana korupsi lain adalah Pengguna Anggaran (PA),
Panitia Lelang, dan wakil dari Pemerintah di bidang pengadaan barang/jasa
melakukan korupsi dengan menyalahgunakan APBN/APBD dan berbagai bentuk
penyelewengan keuangan negara dengan alasan kepentingan tugas padahal relatif
meragukan dan menguntungkan diri sendiri atau ditempuh dengan cara sistematis
dengan memanfaatkan peluang transaksi dalam bisnis mulai perencanaan atau
korupsi berencana.214
Selain itu kasus yang sering muncul yaitu proses penentuan rekanan. Ada
proses lelang atas penawaran yang masuk dari calon rekanan, mulai proses lelang
inilah banyak terjadi hal-hal yang berujung dengan korupsi. Penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan berujung dengan praktik korupsi. Banyak celah yang
dapat digunakan untuk memenangkan tender yaitu dengan cara penyalahgunaan
wewenang, pemalsuan, sampai dengan cara kekerasan fisik (mengintimidasi).
Dalam proses tender praktik korupsi yang sering terjadi adalah Pejabat Pembuat
213 Suswinarno, op.cit, hlm. 25-26. 214 Russel Butarbutar, op.cit, hlm. 97-98.
(27)
Komitmen (PPK) dan panitia lelang berupaya mengakomodasi kepentingan
pihak-pihak tertentu dan menghasilkan keputusan yang merugikan para pihak-pihak yang
terlibat dalam proses tender. Akomodasi kepentingan dapat bermanifestasi dalam
bentuk praktik korupsi atau penyuapan (bribery), nepotisme, atau kroonisme yang
memberikan keistimewaan (privilege) pada pihak tertentu untuk memenangkan
tender.215
C. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pengkajian mengenai pertanggungjawaban dalam hal pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa, akan terkait dengan kapan seorang pejabat terbukti
melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa menjadi
pertanggungjawaban jabatan dan kapan ia menjadi pertanggungjawaban pribadi
atau pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban jabatan merupakan tanggungjawab menurut hukum
yang dibebankan kepada negara/pemerintah atas kesalahan atau akibat dari
tindakan jabatan. Sedangkan pertanggungjawaban pribadi merupakan pertanggung
jawaban pidana yakni tanggungjawab menurut hukum yang dibebankan kepada
seseorang atas kesalahan atau akibat dari perbuatannya secara pribadi.216
215 Ibid, hlm. 178. 216
Disarikan Dari Seminar Publik Dengan Tema Kriminalisasi Pengadaan Barang Dan Jasa Dalam Lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Universitas Sumatera Utara Medan, Tanggal 02 Juni 2014.
(28)
Secara hukum administrasi, parameter pertanggungjawaban jabatan yaitu
asas legalitas (keabsahan) tindakan pejabat, dan persoalan legalitas tindakan
pejabat berkaitan dengan pendekatan kekuasaan. Legalitas tindakan pejabat
bertumpu pada wewenang, prosedur dan substansi. Setiap tindakan pejabat
termasuk dalam hal pengadaan barang dan jasa harus bertumpu pada wewenang
yang sah. Kewenangan tersebut diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi
(kewenangan yang di tetapkan oleh peraturan Perundang-Undangan bagi Badan
atau Pejabat Pemerintahan), delegasi (bersumber dari pelimpahan), dan mandat
(bersumber dari penugasan).
Pertanggungjawaban pribadi merupakan pertanggungjawaban pidana yang
berkaitan dengan pendekatan fungsionaris atau pendekatan pelaku. Pertanggung
jawaban pribadi atau tanggungjawab pidana ini berkaitan dengan mal administrasi
dalam penggunaan wewenang maupun pelayanan publik. Parameter pertanggung
jawaban pidana berdasarkan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder
schuld). Sehingga berkaitan dengan tindak pidana korupsi dalam pengadaan
barang dan jasa, yang menjadi parameter adanya pertanggungjawaban pribadi
dalam pengadaan barang dan jasa yaitu melakukan perbuatan melawan hukum
(wederrechtelijk) dan melakukan penyalahgunaan wewenang (detournament de
pouvoir). Penyalahgunaan wewenang hanya dapat dilakukan pejabat dan badan
pemerintah.217
Konsep petanggungjawaban jabatan dan pertanggungjawaban pribadi
dalam pengadaan barang dan jasa adalah sangat penting karena kedua konsep
(29)
tersebut berimplikasi terhadap pertanggungjawaban pidana, tanggung gugat
perdata dan tanggung gugat Tata Usaha Negara (TUN). Oleh sebab itu, parameter
untuk menilai pertanggungjawaban jabatan (Pengguna Anggaran (PA), Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), atau Panitia
Pengadaan adalah penggunaan wewenang. Keabsahan (legalitas) penggunaan
wewenang pengadaan barang dan jasa bertumpu kepada wewenang, prosedur,
substansi tindakan pejabat (PA, KPA, PPK, atau Panitia Pengadaan) merupakan
tangung jawab jabatan. Pertanggungjawaban jabatan melahirkan tanggung jawab
gugat pemerintah/negara. Sedangkan parameter untuk menilai pertanggung
jawaban pribadi pejabat (PA, KPA, PPK atau Panitia Pengadaan) adalah tindakan
mal administrasi dalam penggunaan wewenang. Tindakan mal administrasi
pejabat merupakan pertanggungjawaban pribadi. Pertanggung jawaban pribadi
melahirkan pertanggungjawaban pidana.218
a. Bertentangan dengan peraturan Perundang-Undangan
Parameter penyalahgunaan wewenang terdapat dalam ketentuan Pasal 53
ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Juncto Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 Juncto Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, yang meliputi:
b. Bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik
sebagaimana dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 Juncto Undang Nomor 9 Tahun 2004 Juncto
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 adalah meliputi asas :
(30)
a. Kepastian hukum.
b. Tertib penyelenggaraan negara. c. Keterbukaan.
d. Proporsionalitas. e. Profesionalitas. f. Akuntabilitas.
Oleh karena itu, untuk menentukan pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang jasa, maka harus terlebih
dahulu dikaji apakah perbuatan pelaku masuk keranah pertanggungjawaban
jabatan atau pertanggungjawaban pribadi, oleh karena dari pertangggungjawaban
pribadilah dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Sedangkan pertanggung
jawaban jabatan akan melahirkan tanggung gugat perdata dan tanggung gugat
Tata Usaha Negara (TUN).
Ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah banyak memiliki
banyak Peraturan Perundang-Undangan untuk memberantas korupsi. Diantaranya
ada KUHP, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan sudah ada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Tetapi walaupun sudah begitu banyak aturan
hukum dalam pemberantasan korupsi tetapi belum dapat menyelesaikan
permasalahan korupsi di negara ini. Kemudian yang lebih mengkhawatirkan lagi
aktor-aktor atau subjek hukum yang sebenarnya harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya sangat susah untuk dibawa ke muka hukum.219
Pertanggungjawaban pidana dalam korupsi pengadaan barang dan jasa
adalah tanggungjawab pribadi, yakni tanggungjawab menurut hukum yang
(31)
dibebankan kepada seseorang atas kesalahan atau akibat dari perbuatannya secara
pribadi. Apabila dalam diri sipelaku terdapat unsur kesalahan, barulah si pelaku
tersebut dapat dipidana tetapi apabila dalam diri si pelaku tidak terbukti ada unsur
kesalahan pada waktu melakukan tindak pidana, maka hakim harus
membebaskannya.
Dalam ilmu hukum pidana, kesalahan adalah dasar untuk pertanggung
jawaban pidana. Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan
hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya. Adanya kesalahan pada
seseorang, maka orang tersebut bisa dicela. Mengenai keadaan jiwa dari seseorang
yang melakukan perbuatan merupakan apa yang lazim disebut sebagai
kemampuan bertanggungjawab, sedangkan hubungan batin antara si pembuat
dengan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf.
Dengan demikian, untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus
memenuhi beberapa unsur, antara lain:
1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat.
2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) ini disebut bentuk kesalahan.
3. Tidak adanya alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.220
Untuk adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa pelaku
harus mampu bertanggungjawab. Sebab, tidak mungkin seseorang dapat di
pertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggungjawab.
(32)
Dalam KUHP, ketentuan yang menunjuk kearah kemampuan bertanggung
jawab ialah dalam buku I Bab III Pasal 44, yang berbunyi:
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.221
Demikian pula dalam meminta pertanggungjawaban pelaku korupsi
pengadaan barang/jasa pemerintah, maka pelaku haruslah orang yang normal
jiwanya dalam hal ini tidak memiliki dasar penghapus pidana seperti yang diatur
dalam KUHP sehingga pelaku dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.222
Unsur kedua dari kesalahan atau pertanggungjawaban pidana adalah
hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan
(dolus) atau kealpaan (culpa). Kesengajaan yang merupakan corak sikap batin
yang menunjukkan tingkatan atau bentuk kesengajaan dibagi menjadi tiga, yaitu
kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), kesengajaan sebagai
kemungkinan (opzet bij mogelijkheidswustzijn), dan kesengajaan sebagai
kepastian (opzet bij noodzakelijkheids). Kesengajaan sebagai maksud
mengandung unsur willes en wetens, yaitu bahwa pelaku mengetahui dan
menghendaki akibat dan perbuatannya, arti maksud disini adalah maksud untuk
menimbulkan akibat tertentu. Kesengajaan sebagai kepastian adalah dapat diukur
dari perbuatan yang sudah mengerti dan menduga bagaimana akibat perbuatannya
221 Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(33)
atau hal-hal mana nanti akan turut serta mempengaruhi akibat perbuatannya.
Pembuat sudah mengetahui akibat yang akan terjadi jika ia melakukan suatu
perbuatan pidana. Sedangkan kesengajaan sebagai kemungkinan terjadi apabila
pelaku memandang akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagai hal yang
niscaya terjadi, melainkan sekedar sebagai suatu kemungkinan yang pasti.223
KUHP sendiri tidak memberikan penjelasan tentang pengertian kealpaan
(culpa), sehingga secara formal tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud
dengan kealpaan. Oleh karena itu, pengertian kealpaan harus dicari di dalam
pendapat para ahli hukum pidana dan dijadikan sebagai dasar untuk membatasi
apa itu kealpaan.
Meskipun pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan diperlukan adanya
kesengajaan, tetapi terhadap sebagian dari padanya ditentukan bahwa di samping
kesengajaan itu orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya berbentuk
kealpaan.
224
1) Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Van Hammel sebagaimana dikutip dari buku Moeljatno mengatakan
bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu :
2) Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Ini memang dua syarat yang menunjukkan dalam batin terdakwa kurang
diperhatikan benda-benda yang dilindungi oleh hukum atau ditinjau dari sudut
223 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 175. 224 Ibid, hlm. 177.
(34)
masyarakat, bahwa dia kurang memperhatikan akan larangan-larangan yang
berlaku dalam masyarakat.225
Dilihat dari bentuknya, Modderman sebagaimana dalam buku Mahrus
Ali226
Dalam kasus-kasus korupsi dalam pengadaan barang dan/jasa maka unsur
kesalahan menjadi penting karena selain unsur melawan hukum maka unsur
kesalahan ini menentukan apakah pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana atau tidak. Berkenaan dengan korupsi pengadaan barang/jasa pemerintah
maka bentuk kesalahan yang kerap terjadi adalah bentuk kesengajaan seperti yang
dirumuskan dalam Undang-Undang nya.
, mengatakan bahwa terdapat dua bentuk kealpaan (culpa), yaitu kealpaan
yang disadari (bewuste culpa) dan kealpaan yang tidak disadari (onbewuste
culpa). Beliau mengatakan bahwa corak kealpaan yang paling ringan adalah orang
melakukan pelanggaran hukum dengan tidak diinsyafi sama sekali. Dia tidak tahu,
tidak berpikir dengan panjang atau tidak bijaksana. Tetapi corak kealpaan yang
lebih berat adalah yang dinamakan dengan bewuste schuld, yaitu kalau pada
waktu berbuat kemungkinan menimbulkan akibat yang dilarang itu telah diinsyafi,
tetapi karena kepandaiannya atau diadakannya tindakan-tindakan yang
mencegahnya, kemungkinan itu diharapkan tidak akan timbul.
227
Selain syarat adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat dan
hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan
225 Moeljatno, op.cit, hlm. 218. 226 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 178.
(35)
(dolus) atau kealpaan (culpa) sebagaimana yang sudah dibahas diatas, syarat
lainnya untuk adanya kesalahan adalah tidak ada alasan pemaaf.
Apa maksud alasan pemaaf yaitu adalah alasan yang menghapuskan
kesalahan dari terdakwa. Jadi, tidak adanya alasan pemaaf tentu berarti tidak
adanya alasan untuk menghapuskan kesalahan dari terdakwa.228 Dalam hukum
pidana yang termasuk ke dalam alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf
antara lain daya paksa (over macht), pembelaan terpaksa yang melampaui batas
(noodweer ekses), dan pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang
didasari oleh itikad baik.229
Ketiga unsur dalam kesalahan merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti demikian lah
urutannya dan yang disebut kemudian bergantung kepada yang disebut terlebih
dahulu. Konkretnya, tidak mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan
ataupun kealpaan jika orang itu tidak mampu bertanggungjawab. Begitu pula tidak
dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila ia tidak mampu
bertanggungjawab, dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan.230
Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa
dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggung jawaban pidana, sehingga bisa
dipidana. Dalam pada itu harus di ingat bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti
seluas-luasnya (pertanggungjawaban pidana), orang yang bersangkutan harus pula
dibuktikan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. Kalau
ini tidak ada, artinya kalau perbuatannya tidak melawan hukum, maka tidak ada 228
Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 81.
229 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 181.
(36)
perlunya untuk menerapkan kesalahan sipelaku. Sebaliknya, seseorang yang
melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan sendirinya mempunyai
kesalahan, artinya tidak dengan sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu. Itulah
sebabnya, maka kita harus senantiasa menyadari akan dua pasangan dalam syarat-
syarat pemidanaan, yaitu:
1) Dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van het feit).
2) Dapat dipidananya orangnya atau pelakunya (strafbaarheid van de
persoon).231
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 menegaskan, bahwa subjek tindak pidana korupsi adalah setiap orang atau
korporasi. Pengertian “setiap orang” adalah “orang-perseorangan atau termasuk
korporasi”. Dari pengertian ini subjek hukum yang dapat dijerat sebagai pelaku
tindak pidana korupsi tidak hanya orang-perseorangan secara individu, apakah
kapasitasnya sebagai orang swasta atau pegawai negeri, tetapi juga suatu
korporasi.232
Doktrin hukum pidana yang mengajarkan syarat umum adanya kesalahan
dalam hal pertanggungjawaban pidana dapat dikecualikan untuk tindak
pidana-tindak pidana tertentu, seperti korupsi. Dalam kaitan itu dikenal adanya konsep
“strict liability” dan “vicarious liability”. “Strict liability” dapat diartikan sebagai
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan (liability without fault). Dalam
pengertian seperti itu dipahami, bahwa sipembuat sudah dapat dipertanggung
hlm. 100, diakses tanggal 29 Februari 2016 Pukul 23.00 Wib.
(37)
jawabkan jika ia telah melakukan suatu perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam
Undang-Undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Jadi seseorang sudah
dapat dipertanggungjawabkan walaupun pada dirinya tidak ada “mens rea”. 233
Sedangkan “vicarious liability” biasanya diartikan sebagai pertanggung
jawaban pengganti, dimana seseorang dalam hal-hal tertentu bertanggungjawab
atas perbuatan orang lain. Pertanggungjawaban seperti itu biasanya terjadi dalam
hal perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu berada dalam ruang
lingkup jabatan atau pekerjaannya.234
Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia dewasa ini
sudah mengalami perubahan yang signifikan dengan ditetapkannya korporasi
sebagai subjek yang bisa diminta pertanggungjawaban pidananya dalam aturan
hukum-hukum dan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Melihat
kenyataan dewasa ini dimana korporasi semakin memegang peranan penting
dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam bidang ekonomi, sehingga doktrin
universitas delinquere non potest (badan hukum tidak dapat melakukan tindak
pidana) sudah mengalami perubahan dengan diterimanya konsep pelaku
fungsional (functioneel daderschap).235
Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang
diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya
hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai
233
H. Elwi Danil, op.cit, hlm. 112.
234 Ibid, hlm. 113.
(38)
kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum, maka
kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.236
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung
jawab.
Dibidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum atau badan usaha
yang menyandang istilah “korporasi” diterima dan diakui sebagai subjek hukum
yang dapat melakukan tindak pidana serta dapat pula dipertanggungjawabkan.
Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, ada 3 (tiga) sistem pertanggung
jawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana yakni :
2. Korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab.
3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.237
Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban tertentu.
Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi.
Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga
dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan dasar
pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan
terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan delik
itu dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.238
Dalam hal korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab,
maka ditegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk
sebagai yang bertanggungjawab, yang dipandang dilakukan oleh korporasi adalah 236
Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 23.
237 Marwan Effendy, op.cit, hlm. 108-109.
(39)
apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang
berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
adalah tindak pidana yang dilakukan orang tertentu sebagai pengurus dari badan
hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah
onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab pidana,
terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu.239
Dengan diterimanya korporasi sebagai pelaku tindak pidana sudah tentu
timbul konsekuensi khususnya tentang pertanggungjawaban pidananya. Apakah
kesalahan terdapat pada korporasi sebagai konsekuensi diterimanya asas
kesalahan dalam korporasi dan dengan diterimanya asas kesalahan pada korporasi
maka timbul suatu pertanyaan, yaitu apakah korporasi dapat mempunyai
kesengajaan atau kelalaian.240
Karena sangat sukar untuk menentukan ada atau tidak adanya kesalahan
pada korporasi, ternyata dalam perkembangannya khususnya yang menyangkut
pertanggungjawaban pidana korporasi dikenal adanya “pandangan baru” ataupun
“pandangan yang berlainan”, bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban dari
korporasi, asas kesalahan tidak berlaku mutlak, sehingga pertanggungjawaban
pidana yang mengacu pada doktrin”strict liability” dan “vicarious liability” yang Pertanggungjawaban pidana berdasarkan unsur kesalahan terhadap
korporasi bukan hal yang mudah, karena korporasi sebagai subjek hukum pidana
tidak mempunyai sifat kejiwaan seperti halnya manusia alamiah (natuurlijk
persoon).
239 Ibid, hlm. 86. 240 Ibid, hlm. 124.
(40)
pada prinsipnya merupakan penyimpangan dari asas kesalahan, hendaknya dapat
menjadi bahan pertimbangan dalam penerapan tanggungjawab korporasi dalam
hukum pidana.
Setidaknya ada 3 (tiga) elemen untuk bisa meminta pertanggungjawaban
pidana korporasi, yaitu241
1. Pengurus atau wakil korporasi itu harus mempunyai kewenangan dalam
bertindak untuk kepentingan korporasinya dalam lingkup kewenangannya. :
2. Tindakan pengurus atau wakil itu adalah untuk kepentingan korporasinya.
3. Tindak pidana yang dilakukan tersebut ditoleransi korporasinya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya korporasi juga bisa
dibebankan tanggungjawab pidana.
Adapun bunyi Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah :
1. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(41)
4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus ditempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.
7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu per tiga).242
Dari ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diatas,
korporasi dapat diminta pertanggungjawabannya. Akan tetapi, masih terlihat
keragu-raguan dari pihak pembuat Undang-Undang tersebut dalam menetapkan
korporasi sebagai pihak yang dapat dipidana ketika terjadi kasus korupsi, hal ini
bisa dilihat pada pidana pokoknya yang hanya berupa pidana denda tanpa merinci
hukuman lainnya yang bisa dijatuhkan kepada korporasi ketika melakukan
korupsi, khususnya korupsi dibidang pengadaan barang/jasa pemerintah, apakah
itu sanksi berupa pembubaran korporasi tersebut, pencabutan izin atau hukuman
lainnya yang setimpal untuk mencegah korporasi lainnya melakukan korupsi,
khususnya korupsi dibidang pengadaan barang dan jasa.243
Pertumbuhan perilaku koruptif telah menggambarkan potensi korporasi
tidak saja sebagai alat untuk melakukan tindak pidana korupsi, tetapi sekaligus
juga sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Oleh karena potensi perilaku koruptif
dari korporasi sedemikian rupa, maka kebijakan perundang-undangan dalam
penanggulangan masalah korupsi telah memposisikan korporasi (recht persoon)
242
Lihat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(42)
sebagai subjek tindak pidana korupsi disamping manusia (natuurlijk persoon),
sehingga korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Kebijakan
tersebut tertuang dalam rumusan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana telah mengesampingkan
prinsip umum hukum pidana dalam kodifikasi yang hanya mengenal manusia
sebagai subjek, sehingga hanya manusia pulalah yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana.244
(43)
BAB IV
Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Dalam Putusan Nomor 64/ Pid. Sus.
K/ 2013/ PN. Mdn A. Kronologis Kasus.
Sekitar bulan Nopember 2011, saksi dr. Wesli Napitupulu meminta
sejumlah uang kepada beberapa orang/pihak yang mau mendapat
pekerjaan/proyek dari Dinas Kesehatan Toba Samosir Tahun Anggaran (T.A.)
2012 seperti saksi Maruhum Sinambela, saksi Marojahan Pangaribuan, saksi
Lisbet Br. Siahaan untuk diserahkan kepada Terdakwa dr. Haposan Siahaan,
M.Kes. (yang pada saat itu sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kab. Toba Samosir)
untuk keperluan pengurusan proyek/pekerjaan di Dinas Kesehatan Kabupaten
Toba Samosir T.A. 2012, dan untuk mendapatkan pekerjaan/ proyek tersebut
dikenakan fee sebesar 10% dari rencana proyek/ pekerjaan yang akan dikerjakan
dimana saksi-saksi yang memberikan uang nantinya akan mendapat pekerjaan dari
Dinas Kesehatan T.A. 2012, selanjutnya pada tanggal 10 Nopember 2012 saksi
Maruhum Sinambela menyerahkan uang sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah) kepada saksi dr. Wesli Napitupulu untuk disampaikan kepada Terdakwa
dr. Haposan Siahaan, M.Kes., dimana pada saat saksi Maruhum Sinambela
menyerahkan uang Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tersebut kepada saksi
dr. Wesli Napitupulu dirumah saksi dr. Wesli Napitupulu di Jl. Sisingamangaraja
Balige Kab. Tobasa, saksi dr. Wesli Napitupulu mengatakan kepada saksi
Maruhum Sinambela bahwa sebenarnya uang yang dibutuhkan Rp.
1.000.000.000,- (satu miliar rupiah), namun baru terkumpul Rp. 950.000.000,-
(44)
ratus juta rupiah) berbentuk cek dari saksi Marojahan Pangaribuan (pemilik
Lindur Plan Laguboti Kab. Tobasa) dan Rp. 450.000.000,- (empat ratus limah
puluh juta rupiah) uang tunai kemudian setelah saksi Maruhum Sinambela
memberikan uang pengurusan proyek darinya yaitu sebesar Rp. 200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah), sehingga ditangan saksi dr. Wesli Napitupulu sudah
terkumpul uang sebesar Rp. 950.000.000,- (sembilan ratus limah puluh juta
rupiah), selanjutnnya pada hari itu juga yaitu tanggal 10 Nopember 2012 sekitar
pukul 19.00 WIB saksi dr.Wesli Napitupulu mengajak saksi Maruhum Sinambela,
saksi Rommi Simanungkalit, saksi Panal Simajuntak, dan saksi Tahan Manullang
yang memang sudah berkumpul dirumah saksi dr. Wesli Napitupulu tersebut
berangkat ke kota Pematang Siantar menggunakan satu unit mobil milik saksi
Tahan Manullang yang juga sopir mobil tersebut, dan ketika diperjalanan hendak
ke Pematang Siantar tepatnya di daerah Silimbat Kec. Sigumpar saksi Gustaf
Manaor Saragi yang sudah menunggu ikut bersama rombongan, dan setelah itu,
saksi-saksi berangkat ke Siantar Hotel untuk menyerahkan uang tersebut yaitu Rp.
950.000.000,- (sembilan ratus limah puluh juta rupiah) yang terdiri dari Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) berbentuk cek dari saksi Marojahan
Pangaribuan (pemilik Lindur Plan Laguboti Kab. Tobasa) dan Rp. 450.000.000,-
(empat ratus limah puluh juta rupiah) uang tunai yang berasal dari saksi dr. Wesli
Napitupulu sendiri sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), saksi
Maruhum sinambela sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), dan dari
saksi Lisbet Boru Siahaan Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah),
(45)
saksi Maruhum sinambela, saksi Rommi Simanungkalit, saksi Panal Simajuntak,
saksi Tahan Manullang, dan Saksi Gustaf Manaor Saragi bertemu dengan
Terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes yang sudah terlebih dahulu sampai di
hotel tersebut karena sebelum berangkat dari Balige, Terdakwa dengan saksi dr.
Wesli Napitupulu telah berhubungan atau kontak melalui telepon bahwa mereka
akan bertemu di Siantar Hotel selanjutnya Terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.
Kes, saksi dr. Wesli Napitupulu dan saksi Maruhum Sinambela langsung menuju
lobby Siantar Hotel, dan ketika Terdakwa dr. Haposan Siahaan, M. Kes, saksi dr.
Wesli Napitupulu dan saksi Maruhum Sinambela sampai di sudut lobby Siantar
Hotel, saksi dr. Wesli Napitupulu langsung menyerahkan tas berisi uang yang
dibawanya tersebut kepada terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes yang
disaksikan oleh saksi Maruhum Sinambela kemudian setelah menyerahkan tas
berisi uang tersebut terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes dengan saksi dr. Wesli
Napitupulu, saksi Maruhum Sinambela berpisah dan mengambil jalannya
masing-masing. Selanjutnya berselang beberapa bulan kemudian dalam Tahun 2012
pemberi uang fee proyek tersebut yaitu saksi Maruhum Sinambela mendengar
bahwa proyek di Dinas Kesehatan Tobasa telah ditenderkan/dibagikan namun
saksi Maruhum Sinambela dan saksi-saksi lainnya tidak mendapatkan jatah
pekerjaan/proyek yang telah dijanjikan padahal saksi-saksi telah memberikan
uang fee proyek, atas dasar situasi tersebut saksi Maruhum Sinambela mencari
saksi dr. Wesli Napitupulu untuk menanyakan janji proyek, namun tidak pernah
ketemu dengan saksi dr. Wesli Napitupulu dan ketika saksi dr. Wesli Napitupulu
(46)
selanjutnya ketika dicari kerumahnya saksi dr. Wesli Napitupulu juga tidak ada
ditempat dan karyawan saksi dr. Wesli Napitupulu menyatakan bahwa saksi dr.
Wesli Napitupulu sedang keluar negeri (Eropa), oleh karena saksi-saksi pemberi
uang fee proyek tersebut tidak dapat menghubungi saksi dr. Wesli Napitupulu,
maka saksi Maruhum Sinambela sebagai salah satu pemberi uang fee proyek
tersebut langsung menemui terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes selaku Kepala
Dinas Kesehatan pada waktu itu, dan setelah bertemu diruang kerja terdakwa dr.
Haposan Siahaan, M.Kes, saksi Maruhum Sinambela yang pada waktu itu
ditemani oleh saksi Pamahar Pardosi pada intinya menanyakan tentang rencana
proyek yang dari dr. Wesli Napitupulu sudah bagaimana, dan dijawab oleh
terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes bahwa terdakwa tidak tahu uang siapa itu
dan daftar proyek sudah diserahkan kepada dr.Wesli Napitupulu dan berhubungan
saja dengan dr.Wesli Napitupulu, padahal terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes
sebagai Penyelenggara Negara (Kadis Kesehatan) seharusnya tidak menerima
sesuatu dengan memberikan janji melalui saksi dr. Wesli Napitupulu tentang
pekerjaan/proyek pada Dinas Kesehatan dimana telah terdapat aturan-aturan yang
harus dipatuhi dalam proses atau mekanisme pengadaan barang atau jasa
pemerintah dan dalam pembicaraan pada saat pertemuan diruang kerja terdakwa
dr. Haposan Siahaan, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Toba
(47)
B. Dakwaan
Bahwa Terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes selaku Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Toba Samosir (Periode Tahun 2011 sampai dengan Tahun
2013), pada hari Kamis tanggal 10 Nopember 2011 atau setidak-tidaknya pada
waktu lain dalam Tahun 2011, bertempat di Jalan Sisingamangaraja Balige
Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir atau Lobby Hotel Siantar Hotel di
Jalan Wage Rudolf Supratman Nomor 1 Kota Pematang Siantar atau
setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan telah menerima pemberian
atau janji yaitu berupa uang sebesar Rp. 950.000.000,- (sembilan ratus lima puluh
juta rupiah) yang terdiri dari uang tunai sebesar Rp. 450.000.000,- (empat ratus
lima puluh juta rupiah) dan berbentuk cek senilai Rp. 500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah) dari saksi dr. Wesli Napitupulu (tersangka dalam berkas perkara
terpisah), dengan maksud supaya terdakwa berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya “atau” karena
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 5 ayat (2) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertama:
(48)
Bahwa Terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes selaku Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Toba Samosir (Periode Tahun 2011 sampai dengan Tahun
2013), pada hari Kamis tanggal 10 Nopember 2011 atau setidak-tidaknya pada
waktu lain dalam Tahun 2011, bertempat di Jalan Sisingamangaraja Balige
Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir atau Lobby Hotel Siantar Hotel di
Jalan Wage Rudolf Supratman Nomor 1 Kota Pematang Siantar atau
setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan telah menerima hadiah
atau janji yaitu berupa uang sebesar Rp. 950.000.000,- (sembilan ratus lima puluh
juta rupiah) yang terdiri dari uamg tunai sebesar Rp. 450.000.000,- (empat ratus
lima puluh juta rupiah) dan berbentuk cek senilai Rp. 500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah) dari saksi dr. Wesli Napitupulu (tersangka dalam berkas perkara
terpisah), padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan jabatannya, sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 11 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua:
(49)
Bahwa Terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes selaku Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Toba Samosir (Periode Tahun 2011 sampai dengan Tahun
2013), pada hari Kamis tanggal 10 Nopember 2011 atau setidak-tidaknya pada
waktu lain dalam Tahun 2011, bertempat di Jalan Sisingamangaraja Balige
Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir atau Lobby Siantar Hotel di Jalan
Wage Rudolf Supratman Nomor 1 Kota Pematang Siantar atau setidak-tidaknya
pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan telah menerima hadiah atau janji
yaitu berupa uang sebesar Rp. 950.000.000,- (sembilan ratus lima puluh juta
rupiah) yang terdiri dari uang tunai sebesar Rp. 450.000.000,- (empat ratus lima
puluh juta rupiah) dan berbentuk cek senilai Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah) dari saksi dr. Wesli Napitupulu (tersangka dalam berkas perkara terpisah),
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Ketiga:
(50)
C. Tuntutan
1. Menyatakan Terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes bersalah “melakukan
tindak pidana korupsi” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5
ayat (2) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah oleh
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dalam surat dakwaan alternatif pertama Jaksa Penuntut Umum.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dr. Haposan Siahaan, M.Kes berupa
pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti
dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.
3. Menyatakan barang bukti berupa:
a) 1 (satu) buah Hand Phone (HP) merk Nokia, yang berisikan rekaman suara
pembicaraan yang diduga suara dr. Haposan Siahaan, M.Kes , Maruhum
Sinambela, Pamah Pardosi terkait Fee Proyek Dinas Kesehatan Kabupaten
Toba Samosir T.A. 2012.
b) 1 (satu) buah Memory Card, yang berisi rekaman suara pembicaraan yang
diduga suara dr. Haposan Siahaan, M.Kes, Maruhum Sinambela, Pamah
Pardosi terkait Fee Proyek Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir T.A.
(1)
terkhusus buat sahabat Penulis Esther V. Sormin yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis serta turut membantu penulis selama masa perkuliahan, dan juga telah banyak memberi motivasi dan semangat. Besar harapan Penulis apa yang menjadi cita-cita kita dapat tercapai dimasa yang akan datang.
16. Buat semua teman penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan satu-persatu serta seluruh teman penulis mulai dari bangku Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, tidak terkecuali buat semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan keterbatasan Penulis dalam pengerjaan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati akan menerima kritik dan saran dari pihak-pihak yang telah membaca skripsi ini. Akhir kata, semoga materi dalam skripsi ini dapat bermanfaat dan bernilai guna bagi kita semua khususnya bagi yang menggeluti bidang ilmu hukum, dan ilmu yang penulis peroleh dapat berguna bagi bangsa dan negara tercinta ini dimasa yang akan datang. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan berkat dan rahmat-Nya bagi kita semua.
Medan, Juni 2016
(2)
ABSTRAK Iwan Jani Simbolon *
Prof. Dr. H. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum ** Nurmalawaty, SH., M.Hum ***
Tindak pidana korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai extraordinary crime. Selain itu, dampak tindak pidana korupsi selama ini juga telah menghambat kelangsungan pembangunan nasional. Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan salah satu lahan yang korupsi yang paling subur dan sistemik yang merupakan sumber utama kebocoran anggaran yang memberi sumbangan besar terhadap kemerosotan pelayanan barang dan jasa bagi rakyat Indonesia.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pengaturan hukum tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah dan hubungannya dengan tindak pidana korupsi dan bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan bagaimana pertanggung jawaban pidana pelaku korupsi dalam kasus korupsi pengadaan di Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir (Putusan PN Medan No. 64/ Pid. Sus. K/ 2013/ PN. Mdn).
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif, yaitu dengan melakukan analisis terhadap asas-asas hukum dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai hubungan dengan judul skripsi ini.
Pengadaan barang dan jasa pemerintah saat ini diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Jo. Perpres Nomor 35 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Jo. Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Jo. Perpres Nomor 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Jo. Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Dalam tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa yang dapat diminta pertanggungjawaban pidananya adalah orang-perorangan dan atau korporasi. Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa maka akan terkait dengan pertanggungjawaban jabatan dan pertanggungjawaban pribadi oleh karena pertanggungjawaban pribadi akan melahirkan pertanggungjawaban pidana.
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I
(3)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. ... Latar Belakang ... 1
B. ... Perumus an Masalah ... 8
C. ... Tujuan Penulisan ... 9
D. ... Manfaat Penulisan ... 9
E. ... Keaslian Penulisan ... 10
F. ... Tinjaua n Kepustakaan ... 11
1. ... Pengerti an Pidana, Tindak Pidana, dan Pemidanaan ... 11
2. ... Pengerti an Pertanggungjawaban Pidana ... 19
3. ... Pengerti an Tindak Pidana Korupsi ... 22
(4)
4. ... Pengerti an Barang dan Jasa Pemerintah ... 26 G. ... Metode
Penelitian ... 27 H. ... Sistemat
ika Penulisan ... 31
BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PENGADAAN BARANG
DAN JASA (PBJ) PEMERINTAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. ... Pengatu ran Hukum Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Pemerintah ... 33 1. ... Prinsip
– Prinsip Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Pemerintah ... 33
2. ... Para Pihak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Pemerintah ... 35 3. ... Tahap
– Tahap Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Pemerintah ... 41 4. ... Perbua
tan – Perbuatan Yang Dilarang Dalam Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Pemerintah Beserta Dengan Sanksinya ... ... 50
(5)
B. ... Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi Dalam Proyek Pengadaan Barang Dan Jasa (PBJ) Pemerintah ... 55 C. ... Bentuk
– Bentuk Penyimpangan Dalam Proyek Pengadaan Barang Dan Jasa (PBJ) Pemerintah Dan Kaitannya Dengan Tindak Pidana Korupsi ... 79
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK
PIDANA KORUPSI DALAM PROYEK PENGADAAN BARANG DAN JASA (PBJ) PEMERINTAH MENURUT UU NO. 31 TAHUN 1999 Jo UU. NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. ... Konsep Pertanggungjawaban Pidana Dalam Ilmu Hukum Pidana Indonesia ... 88 B. ... Subjek
Hukum (Pelaku) Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah ... 100 C. ... Pertang
gungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Proyek Pengadaan Barang Dan Jasa (PBJ) Pemerintah Menurut
UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 110
(6)
D. ... Analisis Kasus ... 125
BAB V PENUTUP
A. ... Kesimp ulan ... 162 B. ... Saran
... 175