Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

1

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.

Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus
yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas
tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki
seluruh aspek kehidupan masyarakat. 1
Dunia internasional sebenarnya sudah menjadikan korupsi sebagai agenda
tersendiri. Ini terbukti dari agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyiapkan
dan mengkaji sebuah naskah tentang Convention Againts Corruption. 2 Dalam
konvensi yang bernama UNCAC (United Nation Convention Against Corruption,
Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Menentang Korupsi) dimana negara-negara
yang merupakan anggota PBB diwajibkan meratifikasi hasil Konvensi PBB
tentang pemberantasan korupsi.3 UNCAC juga menutut negara yang meratifikasi
untuk membentuk suatu badan khusus untuk memerangi korupsi


4

dan juga agar

1

Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta,
2010, Hal. 136.
2
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu, Yokyakarta, 2010,
Hal. 66.
3
Pasal 6 ayat 1 UNCAC adalah “setiap negara peserta wajib, sesuai dengan prinsipprinsip dasarsistem hukumnya, memastikan keberadaan suatu badan atau badan-badan, sejauh
diperlukan yang mencegah korupsi dengan cara-cara seperti.
a. Melaksanakan kebijakan-kebijakan yang disebut dalam Pasal 5 dari konvensi ini dan
dimana diperlukan, mengawasi dan mengkoordinasikan pelaksanaan dan kebijakankebijakan tersebut.
b. Meningkatkan dan menyebarluaskan pengetahuan mencegah korupsi.
4
Pasal 36 UNCAC adalah “setiap negara peserta wajib, sesuai dengan prinsip-prinsip

dasar sistem hukumnya, memastikan keberadaan suatu badan atau badan-badan, atau orang-orang
yang memiliki kekhususan untuk memerangi korupsi melalui penegakan hukum. Badan-badan
atau orang-orang tersebut wajib diberi kebebasan yang diperlukan, sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar sistem hukum Negara peserta itu, agar dapat melaksanakan fungsi-fungsi mereka secara

Universitas Sumatera Utara

2

meluncurkan undang-undang yang melarang aktivitas seperti pencucian uang,
mencegah korupsi dan saling bekerja sama satu sama lain.5
Pada hakikatnya tindak pidana korupsi termasuk ke dalam kejahatan
ekonomi yang memiliki karakteristik anatomi ekonomi yakni menyamarkan atau
sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan (disguise of perpuse on intent),
keyakina pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban (reliance upon
the ingenuity or carelesne of the victim) dan penyembunyian pelanggaran
(concealment of the violation). 6
Untuk masalah korupsi di Indonesia sudah menjadi persoalan yang sangat
rumit dimana sudah hampir semua sendi kehidupan terjangkit masalah korupsi,
maka pemerintah indonesia sudah melakukan berbagai cara dalam memberantas

tindak pidana korupsi tersebut sejak awal kemerdekaan, dimana pemberantasan
korupsi sudah dilakukan hingga saat ini. W. F. Wertheim, Profesor of Modern
History and Sosiology pada Universiteit Masterdam dalam bukunya Indonesian
Sociatyin Transition, berpendapat bahwa korupsi di Indonesia, antara lain
bersumber pada peningkatan pandangan feodal, yang sekarang menimbulkan

efektif dan tanpa pengaruh/tekanan yang tidak seharusnya. Orang-orang itu atau staff badan atau
badan-badan tersebut harus memiliki pelatihan dan sumber daya yang memadai untuk
melaksanakan tugas mereka.
5
Ian McWalters, SC. Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia, 2006,
Hal. 163.
6
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Penerbit Alumni,
Bandung, 1992, Hal. 5-6.

Universitas Sumatera Utara

3


coflicting loyalties antara kewajiban-kewajiban terhadap keluarga dan kewajiban
terhadap negara. 7
Persoalan Korupsi di Indonesia merupakan suatu persoalan yang sangat
rumit, reaksi masyarakat yang mengharapkan agar para pelaku kejahatan tindak
pidana korupsi dapat dihukum telah mengalami distorasi yang cukup
mengkhawatirkan, hal ini tentunya akan berdampak pada ketidakpercayaan
masyarakat rerhadap Lembaga hukum yang melakukan upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi secara maksimal. 8
Permasalahan

penegak

hukum

akhir-akhir

ini

menjadi


perhatian

masyarakat luas yang mulai menunjukkan keprihatinan karena penagakan hukum
yang terjadi selama ini belum mengarah kepada penegakan hukum yang lebih baik
sesuai dengan harapan kebanyakan masyaraat Indonesia. Penegakan hukum untuk
pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional melalui
auditor, kepolisian, dan kejaksaan selama ini terbukti mengalami berbagai
hambatan, karena auditor dan penegak hukum tersebut turut melakukan korupsi.
Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui
pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen
serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana

7

Djoko Prakoso, Peranan Pengawasan dalam Penangkalan Tindak Pidana Korupsi,
Aksara Persada Indonesia, Semarang, hal. 69.
8
Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Islam
Bandung, Bandung, 2004, Hal. 50.


Universitas Sumatera Utara

4

korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif,
profesional, serta berkesinambungan. 9
Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam memerangi kejahatan
korupsi secara formal sudah dimulai sejak awal kemerdekaan, di mana
pemberantasan korupsi telah dilakukan secara terus-menerus sampai saat ini.
Pemberantasan korupsi pada kurun waktu tahun 1945-1957, menggunakan
dasar hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait dengan
kejahatan-kejahatan yang dilakukan pleh pejabat/pegawai negeri (ambtenar),
yaitu pada Bab XXVIII Buku Kedua KUHP. Pada tahun 1956, kasus korupsi
mulai muncul ke permukaan. Tercatat nama Rosihan Anwar dan Muchtar Lubis
yang mengangkat kasus korupsi di koran-koran atau media. Namun keduanya
dipenjara pada tahun 1961 oleh pemerintahan Orde Lama. 10
Pada masa selanjutnya yaitu tahun 1957-1960, untuk pemberantasan
korupsi saat itu, dasar hukum yang digunakan adalah peraturan-peraturan militer,
yaitu : Peraturan Penguasa Militer Nomor: PRT/PM/06/1957 tentang Tata Kerja
Menerobos Kemacetan Memberantas Korupsi; Peraturan Penguasa Militer

Nomor: PRT/PM/08/1957 tentang Pemilikan Harta Benda; Peraturan Penguasa
Militer Nomor: PRT/PM/11/1957 tentang Penyitaan Harta Benda Hasil Korupsi,
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi; Peraturan Penguasa
Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat, Nomor: PRT/PEPERPU/031/1958; dan

9

Surachmin dan Suhandi Cahaya, Op.cit. hal. 137.
Budiman Ginting, Syafruddin Kalo, dan Aflah, Hukum Antikorupsi, Jakarta, Hal. 182-

10

183.

Universitas Sumatera Utara

5

Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala staf dan Peraturan Penguasa Perang
pusat Kepala Staf angkatan Laut, Nomor: PRT/z.1/I/7/1958. Pada saat itu pernah

dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang dipimpin oleh A.H.
Nasution dibantu oleh Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Gani. Namun karena
kuatnya reaksi dari pejabat yang terlibat melakukan korupsi, Panitia Retooling
Aparatur Negara (PARAN) tidak dapat menjalankan tugasnya dan menyerahkan
kembali pelakswanaan tugasnya kepada Kabinet Juanda. 11
Pada masa itu, pemerintah juga telah berusaha untuk melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan membentuk bebrapa lembaga
khusus untuk memberantas korupsi, diantaranya adalah: Operasi Budhi (Keutusan
Presiden, Nomor: 275/1963); Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi
(KONTRAR) dengan ketua Presiden RI Ir. Soekarno dibantu oleh Soebandrio dan
Ahmad Yani, selanjutnya membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (Keputusan
Presiden Nomor: 228/1967); Tim Komisi Empat (Keputusan Presiden Nomor: 12
Tahun 1970) dan Komite Anti Korupsi (KAK) tahun 1967. 12
Berikut fase peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah Indonesia dalam
memberantas Tindak Pidana Korupsi : 13
1. Berlakunya Peraturan Penguasa Militer
a. Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 Tanggal 9 April
1957;

11


Ibid hal. 183.
Ibid hal. 183.
13
Ibid hal. 183.
12

Universitas Sumatera Utara

6

b. Peraturan

Penguasa

Perang

Pusat

Angkatan


Darat

No.

Prt/013/Peperpu/013/1958.
2. Berlakunya Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan tindak Pidana Korupsi;
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971 -19, TLNRI
Nomor 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
6. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi;
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang nomor 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;

8. Undang-Undang

Nomor

30

Tahun

2002

tentang

Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
9. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tinda
Pidana Korupsi;
Untuk melakukan perlawanan terhadap korupsi pemerintah telah
mempersiapkan segala perangkat hukum yang cukup memadai baik dari proses
pencegahan maupun sampai tingkat penindakan. Perangkat hukum dari Undang-

Universitas Sumatera Utara

7

Undang anti korupsi, pengadilan yang kghusus menangani korupsi, lembaga anti
korupsi (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Dalam hal lembaga Anti Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi
Republik Indonesia (KPK) sebagai institusi yang diberikan wewenang sebagai
penyidik dan penuntut umum, disamping lembaga lain yang mempunyai
wewenang yang sama yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Lahirnya Komisi
Pemberantasan Korupsi yang bersifat independen telah membawa angin segar
bagi masyarakat dalam menanggulangi tindak pidana Korupsi di Indonesia baik
secara preventif dan represif. Pembentukan Komisi khusus dalam penanggulangan
Tindak Pidana Korupsi ini dibentuk dengan pertimbangan yaitu pertama,
banyaknya kasus besar yang tidak jelas penanganannya. Kedua, pada kasus
tertentu sering adanya kebijakan pengeluaran SP3 (Surat Perintah Penghentian
Penyidikan) oleh aparat terkait sekalipun secara yuridis bukti permulaan sudah
cukup kuat. Ketiga, vonis-vonis yang tidak sesuai dengan rasa keadilan di
masyarakat. Dan juga penanganan tindak pidana korupsi secara Konvensional
selama ini terbukti seringkali mengalami hambatan. 14 Oleh karena pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif dan
berkesinambungan selain itu lembaga pemerintahan yang menangani perkara
Tindak Pidana Korupsi. 15

14

Mahrus Ali, Asas-asas dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yokyakarta,

hal. 224.
15

Konsideran Huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Universitas Sumatera Utara

8

Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk melalui Undang-Undang Nomor
30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK merupakan suatu
komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi dan secara
lebih diatur dalam Undaang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kpk adalah lembaga negara yang
melaksanakan tugas dan wewenang bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun. Tujuan dibentuknya KPK tidak lain adalah meningkatkan
daya guna dan hasil gua terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
KPK berwenang menindak siapapun yang dipersangkakan melakuka tidak pidana
korupsi. Secara tegas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tantang KPK
menyatakan bahwa, KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tuduk kepada hukum acara yang berlaku. KPK dapat dikategorikan
sebagai badan khusus yang berwenang untuk melakukan penanganan kasus-kasus
korupsi tertentu seperti yang diisyaratkan oleh Pasal 11 dan 12 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yaitu : (a) melibatkan aparat penegak
hukum, penyelenggara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara,
(b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, (c) menyangkut kerugian
negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). 16
Kewenangan KPK sebagai lembaga anti korupsi dapat dilihat dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu dalam Pasal 6 yaitu (a)
16

Evi Hertanti, Tindak Pidana Korupsi: Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hal.

70.

Universitas Sumatera Utara

9

koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi; (b) supervisi terhadap instansi yang berwenang dalam melakukan
pemberantasan korupsi; (c) melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi; (d) melakukan tindak pencegahan tindak pidana
korupsi; (e) melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Dari ketentuan Undang-Undang ini maka timbul kesan bahwa KPK dalam
kaitannya dengan kompetensi tugas dan fungsi di lapangan dipandang sebagai
lembaga Super body. Status dan sidat KPK yang terkesan super body tersebut
antara lain dikarenakan tiga ciri dominan. Pertama, KPK sebagai Lembaga Negara
yang secara khusus melakukan tugas dalam tindak pidana korupsi. Kedua,
keberadaan KPK melebihi peran dan fungsi yang ada pada lembaga penegak
hukum lainnya antara lain Kepolisian dan Kejaksaan. KPK memiliki kewenangan
untuk tidak saja melakukan koordinasi dan supervisi dengan institusi penegak
hukum dan lembaga negara lainnya dalam tindak pidana korupsi. Ketiga, KPK
dapat menyatukan tugas dan fungsi yang berada dalam kewenangan kepolisian
untuk penyelidikan dan penyidikan, dan Kejaksaan dalam hal penyidikan dan
peuntutan.17
Dalam perjalanannya beberapa upaya Komisi Pemberantasa Korupsi yang
patut diapresiasi yaitu antara lain :
1. Menuntut pidana yang berat terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi,
17

Sarwedi Oemarmadi dkk, Tool Kit Anti Korupsi, Lima Belas Langkah Pengadaan
barang dan Jasa Pemerintah Indonesia Procurement, Watch-Hivos, 2005, hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

10

2. Upaya memiskinkan pelaku Tindak Pidana Korupsi dengan cara
menggabungkan antara Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana
Pencucian Uang
Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menuntut para pelaku
Korupsi yang diikuti tindak pidana pencucian uang, dalam hal ini Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu mendapat tantangan yang cukup berat
karena dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tidak disebutkan secara jelas
tentang kewenangan menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang oleh Komisi
Peberantasan Korupsi (KPK). Hanya disebutkan secara tegas tentang kewenangan
melakukan penyidikan yang disebutkan dalam pasal 74 yang menyatakan
“penyidik tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana
asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan perundang-undangan,
kecuali ditentukan lain menurut undang-unfang ini”. Begitu juga penjelasan pasal
74 yang menyebutkan “Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal”
adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan
melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta
Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian
uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana

Universitas Sumatera Utara

11

pencucian uang saat melakukan tidak pidana asal saat melakukan penyidikan
sesuai dengan kewenangannya.” 18
Harta kekayaan yang didapat dari kejahatan korupsi biasanya oleh pelaku
baik perseorangan maupun korporasi tidak langsung digunakan karena adanya
rasa takut maupun terindikasi sebagai kegiatan pencucian uang.

19

Biasanya para

pelaku lebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh tersebut
masuk ke dalam sistem keuangan (fynancial system). Dengan cara demikian asalusul kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para penegak hukum
dan upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan
yang diperoleh dari tindak pidana tersebut dikenal sebagai pencucian uang (money
laundering). 20
Pengaturan mengenai anti-money laundering di Indonesia mempunyai
hubungan yang erat kaitannya dengan adanya keputusan FATF (The Financial
Action Task Force) 21 pada tanggal 22 Juni 2001. Dalam keputusan FATF ini

18

Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang.
19
M. Jasin, PERC: Indonesia Negara Terkorup di Asia-Pasific, dapat dilihat dalam:
http://metrotvnews.com/read/news/2011/08/11/60962/PERC-indonesia-negara-terkorup-di-asiapasific, akses pada tanggal 10 Desember 2015.
20
Erman Rajagukguk, Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) Peraturan
Perundang-undangan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga studi Hukum dan
Ekonomi, Jakarta, 2004, Hal 69.
21
FAFT adalah sebuah badan antar pemerintah (inter governmental body) yang didirikan
oleh Negara-negara maju yang tergabung dalam G.7 di Paris pada bulan Juli 1985. Semula tugas
dari FATF adalah memberantas pencucian uang (money laundering). FATF telah mengeluarkan
rekomendasi tentang pencucian uang yang dikenal dengan nama THE 40 FATF
RECOMMENDATIONS yang kemudian setelah peristiwa tanggal 11 september 2001, dikeluarkan
lagi 8 rekomendasi untuk memberantas terorisme dan 1 (satu) rekomendasi untuk khusus tentang
Cash Courier. Rekomendasi tersebut bukan merupakan produk hukum yang mengikat, tetapi
merupakan mandat atau kewajiban bagi setiap Negara apabila ingin dipandang sebagai Negara
yang meenuhi standar interbasional oleh masyarakat dunia. Indonesia belum menjadi anggota
FATF, tetapi anggota dari Asian Pasific Group on Money Laundering (APG). APG menjadi
anggota FATF.

Universitas Sumatera Utara

12

Indonesia dimasukkan sebagai salah satu diantara 15 negara yang dianggap tidak
kooperatif atau non-cooperative countries and teritories (NCCT’s) dalam
pencegahan dan pemberantasan kejahatan money laundering,

22

karena di

Indonesia : 23
a. Tidak adanya ketentuan yang menempatkan money laundering sebagai
tindak pidana ;
b. Tidak adanya ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (know Your
Cusomer – KYC) untuk lembaga keuangan non bank;
c. Rendahnya kapasitas dalam penanganan kejahatan pencucian uang;
d. Kurangnya kerjasama Internasional dalam penanganan kejahatan
pencucian uang.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian
uang yang merupakan undang-undang pertama yang secara spesifik mengatur
tentang tindak pidana pencucian uang ternyata tidak mampu memberantas ini.
Kemudian Undang-Undang ini diubah dengan dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pemerintah
bersama dengan badan Legislatif seiring berjalannya waktu mulai memikirkan
upaya pemberantasan saja tidak cukup untuk menangani permasalahan kejahatan
pencucian uang. Oleh karena itu dibutuhkan upaya prefentif (pencegahan) yang
berguna untuk mencegah tindak pidana ini agar jangan sampai terjadi terus

22

Bismar Nasution, Rejim Anti Money Laundering di Indonesia, Books Terrace &
Library, Pusat Informasi hukum Indonesia, Jakarta, 2008, hal 2.
23
Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tiga Lima, Jakarta,
Cetakan ke-1, 2008, hal 89.

Universitas Sumatera Utara

13

menerus. Dari pemikiran inilah maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang. Undang-Undang ini secara otomatis mencabut Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang tindak pidana pencucian uang. 24
Ada tendensi bahwa penanaman dana hasil kejahatan untuk tujuan
pencucian uang bukan semata-mata untuk mencari keuntungan, tetapi para pelaku
lebih tertarik untuk melindungi hasil kejahatannya. 25
Praktik Pencucian Uang di Indonesia sangat populer dengan korupsi
sebagai tindak pidana asal. Korupsi menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan
dalam kejahatan-kejahatan pencucian uang. Korupsi merupakan extraordinary
crime sehingga pemberantasannya memerlukan upaya ekstra. Diakui bahwa
pemberantasan korupsi selama ini menghadapi kendala baik teknis maupun non
teknis. Salah satun alternatif dalam memecah persoalan ini, instrumen anti
pencucian uang menjadi alternatif sekaligus merupakan paradigma baru dalam
ikut membantu pemberantasan korupsi. 26
Instrumen anti Pencucian Uang dinilai menjadi suatu perangkat yang
sangat efektif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hasil korupsi hampir
pasti dilakukan pencucian uang, yaitu ketika koruptor menyembunyikan atau

24

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tetang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
25
Muhammad yusuf dkk, Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program (NLRP),
Jakarta, 2010, hal 17.
26
M. Jasin, loc. cit.

Universitas Sumatera Utara

14

menikmati hasil korupsinya. Maka setiap menangani korupsi jangan hanya
dikenakan Undang-Undang Anti Korupsi tetapi juga dengan Undang-Undang Anti
Pencucian Uang, agar bisa ditelusuri kemana uang hasil korupsi harus disita dan
yang menguasai juga dipidana karena terlibat pencucian uang. 27
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis merasa tertarik untuk
menuangkan tulisan dalam bentuk skripsi yang berjudul “KEWENANGAN
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) MENUNTUT TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG (TPPU)”
B.

Perumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang masalah sebagaimana telah dikemukakan di

atas, maka ada 2 (dua) Rumusan masalah dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana Ketentuan Hukum Acara tentang Kewenangan KPK dalam
Memberantas Korupsi dan Kaitannya dengan Tindak Pidana Pencucian
Uang
2. Bagaimana Legalitas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Melakukan
Penuntutan terhadap Pelaku Pindak Pidana Pencucian Uang.
C.

Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah

yang bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya tentang
hukum yang mengatur tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Tindak Pidana
27

Yenti Garnasih, Korupsi Pasti Diikuti Pencucian Uang, dapat dilihat dalam:
http://www.suaramerdeka.com/vl/index.php/read/cetak/2012/03/05/179259/Korupsi-pasti-diikutipencucian-uang, diakses pada tanggal 10 Januari 2016.

Universitas Sumatera Utara

15

Pencucian Uang. Sesuai permasalahan diatas adaun tujuan penuliasan karya
ilmiah ini adalah:
a. Untuk mngetahui bagaimana hubungan antara Tindak Pidana Korupsi
dengan Tindak Pidana Pencucian Uang.
b. Untuk mengetahui Legalitas Komisi pemberantasan Korupsi dalam
melakukan penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Pencucian uang
dengan pidana asal Tindak Pidana Korupsi.
2. Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini tidak dapat dipisahkan
dari tujuan penulisan yang telah diuraikan diatas yaitu :
a. Hasil penulisan ini diharapkan mampu memberi pemahaman kepada
masyarakat luas mengenai kewenangan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang
dengan Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana asal.
b. Hasil penulisan ini juga diharapkan dapat membantu dan bermanfaat
dalam masyarakat, lembaga hukum dan institusi penanggulangan
Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang seperti
kepolisian, kejaksaan, dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
itu sendiri dalam hal dari segi gambaran penanganan-penanganan
Tindak pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang.
D.

Keaslian Penulisan
Skripsi

ini

dengan

judul

“KEWENANGAN

KOMISI

PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) MENUNTUT TINDAK PIDANA

Universitas Sumatera Utara

16

PENCUCIAN UANG” belum pernah ditulis oleh siapa pun sebelumnya di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pada prinsipnya karya ilmiah ini
zpenulis memperolehnya berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan,
media massa baik cetak maupun elektronik, ditambah dengan pemikiran penulis
sendiri. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik
penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik.
E.

Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu strafbaar feit. Strafbaar feit diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan berbagai arti diantaranya yaitu tindak pidana, delik, perbuatan
pidana, peristiwa pidana, maupun perbuatan yang dapat dipidana. Kata strafbaar
feit terdiri dari 3 kata yaitu straf, baar, dan feit. Berbagi istilah yang digunakan
sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai
pidana atau hukum, kata baar diterjemahkan dengan dapat atau boleh, sedangkan
untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak pidana, peristiwa pidana, delik,
pelanggaran pidana, perbuatan pidana dan perbuatan yang boleh dihukum. 28
Menurut pompe, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang
Poernomo, pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi:29
a. Defenisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah
suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan
28
29

Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, Grafindo, Jakarta, 2002, hal 69.
Bambang Poernomo, Asas-asas hukum Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal 91.

Universitas Sumatera Utara

17

si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata
hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;
b.

Defenisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar
feit” adalah suatu kejadian (feit)

yang oleh peraturan perundang-

undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
Sejalan dengan defenisi atau pengertian menurut teori dan hukum positif
di atas, J.E Jonkers juga telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua
pengertian, sebagaimana yang dikemukakan Bambang Purnomo yaitu: 30
a.

Defenisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu
kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang

b. Defenisi panjang atau lebih dalam memberikan pengetian “strafbaar
feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubungan
dilakukan

dengan

sengaja

oleh

orang

yang

dapat

diminta

pertanggungjawaban pidana.
Menurut defenisi pendek pada hakekatnya menyatakan bahwa pastilah
untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan undang-undang yang
dibuat oleh pembentuk undang-undang, dan pendapat umum tidak dapat
menentukan lain daripada yang telah ditetapkan dalam undang-undang.defenisi
yang panjang lebih menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan
pertanggungjawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara

30

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

18

tegas didalam setiap delik, atau unsur yang tersembunyi secara diam-diam
dianggap ada. 31
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu
sebagai berikut. 32
a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven)
dimuat dalam buku II dan peanggaran (overtredingen) dimuat dalam
buku III;
b. Manurut cara merumuskannya, dibedakan anrata tindak idana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten);
c. Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja
(doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose
delicten);
d. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak
pidana aktif/positif atau dapat juga disebut tindak pidana komisi
(delicta commicionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga
tindak pidana omisi (delicta omissionis);
e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan
antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam
waktu yang lama atau berlangsung lama/berlangsung terus;
f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum
dan tindak pidana khusus;

31
32

Ibid.
Ahmad Sjahwani, Op.Cit. hal 121.

Universitas Sumatera Utara

19

g. Dilihat dari subjek hukumnya, dapat dibedakan antara tinndak pidana
communia (delicta communia, yang dapat dilakukan siapa saja), dan
tindak pidana propria ( dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki
kualitas pribadi tertentu);
h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka
dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak
pidana aduan (klacht delicten);
i. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat
dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten),
tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak
pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten);
j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana
tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang
dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap
harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana tehadap nama
baik, terhadap kesusilaan, dll;
k. Dari sudut berapa kali perbuatan yang terjadi untuk mejadi suatu
larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige
delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten);
Seperti yang diuraikan diatas, berdasarkan sumberya maka tindak pidana
dibagi menjadi tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana
umum adalah tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum
pidana materiil. (Buku II dan Buku III KUHP). Sementara itu, tindak pidana

Universitas Sumatera Utara

20

khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut.
Misalnya tindak pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), tindak pidana
psikotropika (UU No. 5 Tahun 1997), tindak pidana perbankan (UU No. 10 Tahun
1998), tindak pidana narkotika (UU No. 22 Tahun 1997). 33
2. Politik Hukum Pidana di Indonesia dalam Pemberantasan Korupsi
Secara umum, pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah “policy”
atau “beleid” khususnya dimaksudkan dalam arti “wijsbeleid”, menurut Robert R.
Mayer dan Ernest Greenword, dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang
menggariskan cara yang paling efektif dan efisien dalam mencapai tujuan yang
ditetapkan secara kolektif. 34 David L. Sills menyatakan bahwa pengertian
kebijakan (policy) adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yang
akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan bagaimana cara
melakukan

atau

melaksanakan

sesuatu

yang

telah

direncanakan

atau

diprogramkan. 35
Menurut Marc Ancel, pengertian penal policy (kebijakan hukum pidana)
adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis
untuk meemungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan lebih baik dan untuk
memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga

33

Ahmad Sjahwani, Op.Cit. hal 131.
Sultan Zanti Arbi dan Wayan Ardana, Rencana Penelitian dan Kebijakan Sosial, CV.
Rajawali, Jakarta, 1997, Hal 63.
35
Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1994, hal 63.
34

Universitas Sumatera Utara

21

kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. 36
Berbicara hubungan hukum dan politik atau sebaliknya politik dengan
hukum, tidak bisa dilepaskan dengan disiplin Politik Hukum. Politik hukum
adalah “suatu dasar kebijaksanaan yang menjadi landasan bagi pelaksanaan dan
penerapan hukum yang bersangkutan” (A. Ridwan Halim), sedangkan menurut
Hartono Hadi Soeprapto, “legal policy” adalah kebijaksanaan (policy) dari
penguasa negara yang berlaku di negara Indonesia berkaitan dengan hukum yang
hendak dikembangkan”. Lebih lanjut Padmo Wahyono, menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah,
bentuk dan isi dari hukum yang akan dibentuk, diterapkan dan ditegakkan. H.R
Ernanto Soedarno, mengatakan bahwa politik hukum adalah kristalisasi pemikiran
bangsa untuk mengatasi masalah hukum di masa kini dan implementasinya yang
benara dan konsisten untuk mencapai kondisi huku di masa depan. Politik hukum
bertugas meneliti perubahan mana yang perlu diadakan terhadap perubahan
hukum yang ada, agar supaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam
kehidupan

masyarakat,

mewujudkannya

dalam

produk

hukum

dan

mengimplementasikan secara konsisten untuk mencapai kondisi hukum yang
diciptakan. 37

36

Barda Nawawi arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT citra
Aditya Bakti, 2002, hal 3.
37
Wahyudin Husein dan H. Hufron, Hukum Politik dan Kepentingan, LaksBang
PRESSindo Yokyakarta, Surabaya, 2008, hal 125.

Universitas Sumatera Utara

22

Begitu pula untuk mengetahui bagaimana perubahan atas Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu lebih jauh dikaji
tentang latar belakang filosofis, historis dan sosiologis Undang-Undang tersebut
dibentuk. Hal itulah yang disebut politik hukum atas perubahan Undang-Undang
nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 31 Tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. 38
Politik hukum pidana tentang pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi yang sejalan dengan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 2003
harus diwujudkan melalui 3 pendekatan, (1) pembentukan peraturan perundangundangan, (2) penegakan hukum yang meliputi kordinasi dan kerjasama antar
lembaga penegak hukum dan antar Komisi Pemberantasan Korupsi di negara lain,
(3) penciptaan mekanisme pengawasan dan pengendalian kinerja yang
dilandaskan kepada transparansi dan akuntabilitas. 39
Pembentukan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana
korupsi diperlukan atas pertimbangan: 40
1. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2003 secara substansial
telah bayak mengadopsi sistem hukum coomon law dibandingkan
dengan sistem hukum civil law. Penyelesaian kasus korupsi telah
bersifat lintas batas negara apalagi korupsi yang semula merupakan

38

Ibid, hal 126.
Edi setiadi dan Rena Yulia, Op.Cit. hal 100.
40
Ibid, hal 101.

39

Universitas Sumatera Utara

23

individual crime atau white collar crime kemudian saat ini merupakan
organized dan systematic white collar crime.
2. Rezim hukum pidana konvensional tidak mengakui pola-pola
penyelesaian win-win solution, kecuali tujuan pembalasan, penjeraan
dan tujuan kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 adalah penyempurnaan dari
peraturan perundang-undangan yang telah ada dan berlaku sebelumnya di
Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 diharapkan dapat menciptakan
good governance bersama-sama dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999.
Implementasi

kedua

produk

perundang-undangan

yang

konsisten

dan

berkesinambungan diharapkan dapat mewujudkan tujuan pembangunan negara
Repubik Indonesia. 41
Sedangkan latar belakang dibentuknya Undang-Undang nomor 20 Tahun
2001 diisebutkan bahwa sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 140, Taqmbahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3874) diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang
berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan Undang-Undang
tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal ini disebabkan Pasal 44 UndangUndang tersebut menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak
41

Ibid, hal 103.

Universitas Sumatera Utara

24

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu
anggapan adanya kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi
yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Jika dibandingkan dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Nomor 3 Tahun 1971 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
makan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memiliki 10 (sepuluh)
keunggulan, yaitu :42
1. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tindak pidana korupsi
diirumuskan secara formal (delik formal), bukan delik materiil.
Sehingga

pengembalian

kerugian

keuangan

negara

tidak

menghapuskan penuntutan terhadap terdakwa;
2. Dalam Undang-Undang ini subjek hukum tidak hanya perorangan tapi
juga termasuk korporasi;
3. Pengaturan wilayah berlakunya/yuridiksi kriminal dapat diberlakukan
di luar batas teritorial indonesia;
4. Pengaturan tentang sistem pembuktian terbalik atau berimbang atau
“balanced burden of proof”;
5. Pengaturan pidana minimum khusus, disamping ancaman pidana
maksimal;
6. Ancaman pidana mati sebagai unsur pemberatan;
7. Pengaturan tentang penyidikan gabungan dalam perkara tindak pidana
korupsi yang sulit pembuktiannya di bawah koordinasi jaksa agung;
42

Wahyudin Husein dan H. Hufron, Op.Cit. hal 130.

Universitas Sumatera Utara

25

8. Pengaturan tentang penyidikan dalam kaitan dengan rahasia bank
yang lebih luas dengan diawali dengan pembekuan rekening
tersangka, dilanjutkan penyitaan;
9. Pengaturan tentang peran serta masyarakat sebagai sarana kontrol
sosialdipertegas dan diperluas, sehingga perlindungan hukum terhadap
saksi pelapor lebih optimal dan efektif (mirip dengan whistle blower
act);
10. Mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yang bersifat independent, yang keanggotaannya terdiri unsur
pemerintah dan masyarakat, serta pengangkatannya mendapat
persetujuan DPR.
Sepuluh karakteristik pengaturan hukum formil maupun materiil dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002,
adalah perubahan sangat mendasar dibanding Undang-Undang pemberantasan
Korupsi sebelumnya, disamping hal ersebut menunjukkan politik hukum yang
sungguh-sungguh dari pemerintah reformasi dalam pemberantasan korupsi. dalam
pelaksanaanya Undang-Undang ini, yang diperan-aktori oleh KPK telah berhasil
mengungkap dan membongkar beberapa kasus korupsi yang besar, seperti korupsi
di tubuh KPU, Korupsi Dana Abadi Umat (DAU) di departemen Agama, praktek
penyuapan di MA, korupsi di lingkungan Anggota DPRD dan yang dilakukan
oleh Kepala Daerah, dan sebagainya. 43

43

Wahyudin Husein dan H. Hufron, Op.cit, hal 131.

Universitas Sumatera Utara

26

Dalam tataran kebijakan formulasi sebenarnya Indonesia telah mempunyai
perangkat hukum yang memadai untuk memberantas korupsi, tetapi dalam tataran
aplikasi harapan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi belum mencapai
hasil yang maksimal. Banyak kendala yang menghalangi atau sulitnya
pemberantasan korupsi yaitu disamping teori-teori hukum pidana yang telah
dikembangkan

selama

ini

kurang

mendukung

langkah-langkah

konkrit

penanggulangan korupsi oleh aparat penegak hukum, juga disebabkan oleh
pemikiran hakim terhadap doktrin-doktrin hukum modern belum berubah. 44
Kebijakan peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi, harus pula diarahkan kepada pengembangan program anti korupsi
secara komprehensif termasuk peraturan hukum administrasi, hukum perdata,
hukum acara, dan hukum pidana, dan mengefektifkan bermacam-macam
ketentuan dari Internasional code of conduct for public official dari resolusi
Perserikatan Bangsa-Bangsa. 45
Langkah

selanjutnya

dari

usaha

pemberantasan

korupsi

adalah

dikeluarkannya Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan pemberantasan
Korupsi. Dalam inpres terdapat 7 butir instriksi yang didalamnya memuat aspek
prefentif (butir 1 sampai dengan 5), aspek represif (butir6) dan aspek pengawasan
(butir 7). 46

44

Edi setiadi dan Rena Yulia, Op.cit, hal 106.
Edi setiadi dan Rena Yulia, Op.cit, hal 109.
46
Edi setiadi dan Rena Yulia, Loc.cit. hal 109.
45

Universitas Sumatera Utara

27

Dukungan terakhir untuk pemberantasan korupsi adalah menciptakan good
governance dengan pembenahan sistem administrasi pemerintahan sekaligus
melaksanakan langkah-langkah pemberdayaan masyarakat untuk ikut serta dalam
pencegahan dan pemberantasan korupsi untuk berani melaporkan perbuatan korup
dan korupsi kepada penegak hukum dan komisi pemberantasan korupsi serta
bersedia menjadi saksi. 47
3.

Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang

a.

Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Kata korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu

“corruptio” atau

“corruptus”, bahasa Inggris “corruption”, atau “corrupt”, bahasa Belanda
“corruptie” yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi
”korupsi”. Dan dijelaskan : Pengertian korupsi tidak hanya identik dengan
penggelapan uang negara, tetapi juga termasuk penyuapan (bribery) dan
penerimaan komisi secara tidak sah (kickbacks). 48
Pengertian Korupsi secara harfiah dapat berupa :
a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan
ketidakjujuran.
b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang.
c. Perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat
buruk. Perilaku jahat yang tercela atau kebejatan moral, penyuapan dan

47

Ibid, hal 110.
Muh. Zainal Arif, “Analisis Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Merugikan
Negara” Desertasi, Makassar, 2013, Hal 12.
48

Universitas Sumatera Utara

28

bentuk ketidakjujuran, sesuatu yang dikorup, pengaruh-pengaruh yang
korup.
Dalam defenisi tersebut, terdapat 3 unsur dari pengertian Korupsi yaitu :
a. Menyalahgunakan kekuasaan
b. Kekuasaan yang dipercayakan (yaitu baik sektor publik maupun di
sektor swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi.
c. Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang
yang menyalahgunakan kekuasaan tetapi juga anggota keluarganya,
teman-temannya, maupun korporasi). 49
Tindak pidana Korupsi di Indonesia digolongkan sebagai kejahatan luar
biasa atau extra ordinary crimes menurut Romli Atmasasmita dikarenakan : 50
1. Masalah korupsi di Indonesia sudah berurat dan berakar dalam
kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara dan ternyata salah satu
program kerja kabinet Gotong Royong adalah penegakan hukum
secara konsisten dan pemberantasa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN). Masalah korupsi pada tingkat dunia diakui sebagai kejahatan
yang sangat kompleks, bersifat sistemik dan meluas dan sudah
merupakan binatang gurita yang mencengkram seluruh tatanan sosial
dan pemerintahan.Centre for International Crime Prevention (CICP)
salah satu organ Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berkedudukan di
49

IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi” Perspektif
Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum,Pustaka Pelajar, yokyakarta, 2010, Hal. 5.
50
Ermansjah Djaja, Topologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, CV. Mandar maju,
Balikpapan 2010, Hal. 29-30.

Universitas Sumatera Utara

29

Wina telah secara luas mendefenisikan korupsi sebagai “Misuse of
(public) Power for Private gain “. Berbagai wajah korupsi oleh CICP
sudah diuraikan termasuk tindak pidana suap (bribery); penggelapan
(embezzlement); penipuan (freud); Pemerasan yang berkaitan dengan
jabatan (extortion); penyalahgunaan wewenang (abuse of discretion);
pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk
kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflict
interest, insider trending); nepotisme (nepotism); komiso yang
diterima pejabat publik dalam kaitan bisnis (illegal commisions); dan
kontribusi uang secara ilegal untuk partai politik.
2. Korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan hanya
merupakan masalah

hukum semata-mata melainkan sesungguhnya

merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat
Indonesia.
3. Kebocoran APBN selama 4 pelita sebesar 30% telah menimbulkan
kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar dalam kehidupann
masyarakat karena sebagian tidak bisa menikmati hak yang seharusnya
dia peroleh. Konsekuensi logis dari keadaan demikian maka korupsi
telah melemahkan ketahanan sosial bangsa dan negara Republik
Indonesia.
4. Penegakan hukum terhadap korupsi dalam kenyataannya telah
diberlakukan secara diskriminatif baik berdasarkan status sosial

Universitas Sumatera Utara

30

maupun berdasarkan latar belakang politik seorang tersangka maupun
terdakwa.
5. Korupsi di Indonesia bukan lagi commission of anti corruption
(ICAC), di Hongkong telah membuktikan bahwa korupsi dalam era
perdagangan global dewasa ini adalah merupakan hasil kolaborasi
antara sektor publik dan sektor swasta. Dan justru menurut penelitian
tersebut

pemberantasan

korupsi

pada

sektor

ini

merupakan

pemberantasan korupsi yang paling sulit dibandingkan hanya terjadi di
sektor publik.kita menyaksikan bahwa korupsi di Indonesia sudah
merupakan kolaborasi antara pelaku di sektor publik dan sektor swasta.
Perkembangan kelima cocok dengan di Indonesia, karena kebijakan
pemerintah dalam menentukan BUMN/BUMD atau penyertaan modal
pemerintah pada sektor swasta, sehingga pemberantasan korupsi di
Indonesia jauh lebih sulit dibandingkan Hongkong, Australia, dan
negara-negara lain.
Pengaturan mengenai Tindak Pidana Korupsi di Indonesia di atur secara
khusus dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sifat Tindak
Pidana Korupsi dikategorikan ke dalam 2 sifat yaitu Tindak Pidana Korupsi yang
mensyaratkan adanya potensi timbulnya kerugian negara dalam hal ini diatur
pada:
Pasal 2 ayat (1)

Universitas Sumatera Utara

31

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”
Pasal 3 yaitu :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunaka kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan atau dendan paling sedikit Rp.
50.000.000,00”
Pasal 13 yaitu :
”Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai
negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat
pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau
janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut,
dipidana dengan pidana penjara 3 (tiga) tahun dan atau denda
paling banyak 150.000.000 (seratus lima puluh juta ruiah)”

b.

Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

Secara umum pencucian Uang dapat dirumuskan sebagai suatu proses
dimana seseorang menyembunyikan penghasilannya yang berasal dari sumber
ilegal dan kemudian menyamarkan penghasilan tersebut agar tampak legal.
Dengan perkataan lain perumusan tersebut berarti suatu proses merubah uang

Universitas Sumatera Utara

32

haram (dirty money) atau uang yang diperoleh dari aktivitas ilegal menjadi halal
(legimate money). 51
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dalam Pasal 1 Angka (1)
mencantumkan pengertian dari Pencucian Uang adalah “segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuaii dengan ketentuan dalam UndangUnadng ini”.
Kejahatan Pencucian uang adalah suatu kejahatan yang berdimensi
internasional sehingga penanggulangannya harus dilakukan secara kerjasama
internasional, prinsip dasar pencucian uang adalah menyembunyikan sumber dari
segala pencucian uang dari aktivitas legal dengan melegalkan uang tersebut.
Untuk melaksanakan hal tersebut uang diisyaratkan disalurkan melalui suatu
penyesatan (imaze) guna menghapus jejak peredarannya dan orang-orang yang
mempunyai uang tersebut menyalurkan bisnis yang fiktif yang tampaknya sebagai
sumber penghasilan. 52
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, mendefenisikan pencucian uang atau
money laundering sebagai rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang
dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang
berasal dari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan
asal-usul dari pemerintah atau otoritas ang berwenang melakukan penindakan
terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam

51

Suparapto, Money Laundering, Warta BRI, hal 8.
Siahaan N.H.T, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2002, hal. 1.
52

Universitas Sumatera Utara

33

sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat
dikeluarkan dari sistem keuangan tersebut sebagai uang yang halal. 53
F.

Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum

normatif yakni dengan pengumpulan data secara studi kepustakaan yaitu dengan
meneliti bahan-bahan pustaka dan data-data sekunder. Penelitian hukum normatif
karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan
tertulis atau bahan-bahan hukum lainnya. Penelitian dari jenis ini lebih banyak
dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Data
sekunder tersebut digunakan sebagai sumber atau bahan informasi, yang diperoleh
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
2. Jenis dan Sumber Data
Penulisan skripsi ini menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder
yang diperoleh dari:
a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti,
peraturan perundang-undangan berupa KUHP, dan bahan hukum primer
lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian;
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya

53

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Ti