Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin (Studi Kasus: Kelurahan Terjun, Kecamatan Medan Marelan)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, karena itu
pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi setiap individu. Di Indonesia,
pemenuhan kecukupan pangan bagi seluruh rakyat merupakan kewajiban, baik
secara moral, sosial maupun hukum termasuk hak asasi setiap rakyat Indonesia.
Selain itu juga merupakan investasi pembentukan sumberdaya manusia yang lebih
baik di masa datang untuk melaksanakan pembangunan nasional, dan prasyarat
bagi pemenuhan hak-hak dasar lainnya seperti pendidikan, pekerjaan, dan
sebagainya (Dewan Ketahanan Pangan, 2010). Sedangkan definisi pangan
menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002
tentang Ketahanan Pangan (Setneg, 2002) adalah segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam
proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman
Pangan telah dikelompokkan menurut berbagai cara yang berbeda. Badan Pusat

Statistik

(2011) membagi bahan pangan ke dalam sembilan kelompok yang

meliputi: (1) padi-padian (beras, jagung, terigu), (2) umbi-umbian (singkong, ubi
jalar, kentang, sagu, umbi lainnya),(3) pangan hewani (daging ruminansia, daging
unggas, telur, susu, ikan), (4) minyak dan lemak (minyak kelapa, minyak sawit,
minyak lainnya), (5) buah/biji berminyak (kelapa, kemiri), (6) kacang-kacangan

9
Universitas Sumatera Utara

10

(kedelai, kacang tanah, kacang hijau, kacang lain), (7) gula (gula pasir, gula
merah, (8) sayuran dan buah (sayur, buah), (9) lain-lain (minuman, bumbubumbuan).
Cara lain dalam pengelompokan bahan pangan menurut Suhardjo, dkk (2006)
adalah: 1) padi-padian, 2) akar-akaran, umbi-umbian dan pangan berpati, 3)
kacang-kacangan dan biji-bijian berminyak, 4) sayur-sayuran, 5) buah-buahan, 6)
pangan hewani, 7) lemak berminyak, 8) gula dan sirop.

a. Padi-padian
Padi-padian seperti beras, jagung atau gandum merupakan bagian terbesar (6080%) dari susunan pangan penduduk yang tinggal di negara-negara Asia
Tenggara. Bahan makanan tersebut adalah sumber karbohidrat yang baik dan
karena itu juga sumber tenaga. Bahan makanan tersebut juga merupakan sumber
protein yang berguna, sebab 6-12% dari semua padi-padian biasanya terdiri dari
protein. Padi-padian juga mengandung beberapa mineral dan vitamin.
Di seluruh dunia, padi-padian yang paling umum ditanam dan digunakan adalah
padi, jagung, gandum, jelai, jerawut, haver, gandung hitam dan sorgum. Banyak
juga hasil olahannya dan beberapa di antaranya adalah tepung, tepung kasar dan
hasil yang siap untuk digunakan seperti flakes, roti, cracker, biskuit, kue,
makaroni, mi dan spageti.
b. Akar-akaran, umbi-umbian dan pangan berpati
Akar-akaran dan umbi-umbian merupakan salah satu pangan pokok atau utama
yang dimakan di berbagai bagian Asia Tenggara. Di samping sayuran akar-akaran
semacam it, seperti singkong, talas, kentang, ubi jalar, dan uwi, buah-buahan yang

Universitas Sumatera Utara

11


berpati seperti pisang untuk dimasak, sukun dan nangka dimasukkan dalam
golongan pangan di atas.
c. Kacang-kacangan dan biji-bijian berminyak
Kacang-kacangan, buah keras, biji berminyak kadang-kadang merupakan
sebanyak 5% dari pangan yang dimakan penduduk Asia Tenggara. Pangan
tersebut merupakan sumber energi yang baik berkat kandungan karbohidrat dan
lemak. Pangan ini juga merupakan sumber protein yang baik, begitu pula
beberapa mierak dan vitamin B-kompleks.
d. Sayur-sayuran
Yang termasuk ke dalam golongan sayuran adalah sayur-sayuran berwarna,
seringkali berdaun, dengan kandungan pati kurang dari yang ditemukan pada yang
biasa dimakan sebagai pangan pokok.
e. Buah-buahan (selain yang berpati)
Buah-buahan biasanya hanya merupakan sebagian kecil saja dari pangan yang
dimakan. Akan tetapi di Asia Tenggara, di mana buah-buahan berlimpah hampir
sepanjang tahun, seharusnya sering dikonsumsi untuk menambah gizi sebanyakbanyaknya pada susunan pangan.
f. Pangan hewani
Pangan hewani dapat merupakan 5-15% dari pangan yang dimakan di Asia
Tenggara. Pangan hewani seperti daging unggas, ikan, susu, keju, dan telur kaya
akan jenis protein yang diperlukan tugas manusia. Karena itu pangan tersebut

merupakan pangan pembentuk tubuh yang baik. Biasanya pangan ini adalah
sumber mineral yang baik, beberapa vitamin yang larut dalam lemak dan berbagai

Universitas Sumatera Utara

12

vitamin yang larut dalam air dari vitamin-B kompleks. Daging yang merah dan
telur merupakan sumber besi yang baik sekali.
Di Asia Tenggara, susu kerbau kadang-kadang dipakai untuk melengkapi susunan
makanan anak setelah disapih dari ibunya, terutama kalau mereka tinggal di
daerah pedesaan. Susu kerbau juga merupakan sumber protein, kapur dan vitamin
B-kompleks yang baik. Lemak

susu ini mengandung vitamin A dan

juga

vitamin D.
Telur memberikan banyak gizi yang diperlukan dalam makanan. Di samping

sebagai sumber protein yang baik, telur kaya akan besi dan kapur. Kuning telur
menyediakan vitamin yang larut dalam lemak. Telur, jika dipakai untuk
menambah susunan makanan terutama yang terdiri dari padi-padian dan akarakaran serta umbi-umbian yang berpati, sangat memperbaiki intake zat gizi. Telur
terutama penting dalam susunan makanan anak.
g. Lemak dan minyak
Konsumsi pangan dari lemak dan minyak di Asia Tenggara adalah rendah,
umumnya kurang dari 5%. Lemak merupakan sumber tenaga yang sangat baik.
Umumnya, lemak hewan, kecuali lemak babi, mengandung vitamin A. Beberapa
lemak hewan juga memberikan vitamin D bagi kebutuhan tubuh.
h. Gula dan sirop
Gula dan sirop hanya merupakan persentase kecil dari konsumsi pangan di Asia
Tenggara. Gula dan sirop adalah sumber karbohidrat yang pekat.

Universitas Sumatera Utara

13

2.1.2 Pola Konsumsi Pangan
Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah
bahan makanan rata-rata per orang per hari yang umum dikonsumsi/dimakan

penduduk dalam jangka waktu tertentu. Pola konsumsi pangan di Indonesia masih
belum sesuai dengan pola pangan ideal yang tertuang dalam pola pangan harapan.
Konsumsi dari kelompok padi-padian (beras, jagung, terigu) masih dominan baik
di kota maupun di desa namun perlu diwaspadai bahwa jenis konsumsi pangan
yang bersumber lemak, minyak dan gula sudah berlebihan. Kelebihan dari kedua
pangan ini akan membawa dampak negatif bagi kesehatan terutama penyakit
degeneratif seperti tekanan darah tinggi, jantung dan diabetes (Ariani, M, 2004).
Jumlah macam makanan, jenis, serta banyaknya bahan makanan dalam pola
pangan di suatu negara atau daerah tertentu biasanya berkembang dari pangan
setempat atau pangan dari pangan yang telah ditanam di wilayah tersebut dalam
jangka waktu yang panjang. Di samping itu, kelangkaan pangan dan kebiasaan
bekerja keluarga akan berpengaruh pula terhadap pola pangan. Pangan pokok
yang digunakan dalam suatu negara biasanya juga menjadi pangan pokok di
sebagian besar wilayah negara tersebut (Suhardjo, 2003).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan rumah tangga adalah
sebagai berikut:
1. Umur
Memahami umur konsumen adalah penting, karena konsumen yang berbeda
umur akan mengkonsumsi produk dan jasa yang berbeda. Perbedaan umur
juga akan mengakibatkan perbedaan selera dan kesukaan terhadap merek

(Sumarwan, 2004).

Universitas Sumatera Utara

14

2. Tingkat Pendidikan Ibu Rumah Tangga
Daya beli yang rendah merupakan kendala utama penyebab kekurangan gizi,
kendala lain yang tak kalah penting adalah kurangnya pengetahuan. Sebagian
kekurangan gizi akan bisa diatasi bila orang tahu bagaimana seharusnya
memanfaatkan segala sumber yang dimiliki. Tingkat pendidikan akan
mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang
yang berpendidikan tinggi cenderung akan memilih makanan yang lebih baik
dalam jumlahnya maupun kualitasnya dibandingkan dengan orang yang
berpendidikan lebih rendah.
Sayogyo (1986) menyatakan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi
konsumsi melalui pemilihan bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih
tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan
mutunya dibanding mereka yang mempunyai pendidikan lebih rendah.
Dalam hal ini, pengetahuan ibu mengenai gizi akan mempengaruhi pola

konsumsi pangan keluarga. Den Hartog et al. (1995) menyatakan bahwa ibu
sebagai pengambil keputusan dalam menentukan menu makanan keluarga
memegang peranan penting dalam penyedian bahan makanan serta penyiapan
dan pendistribusian makanan diantara anggota keluarga dimana apa yang ibu
lakukan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan gizi yang dimilikinya.
3. Jumlah Anggota Rumah Tangga
Harper (1988), menggambarkan hubungan antara besar rumah tangga dengan
konsumsi pangan, dimana diketahui bahwa rumah tangga miskin dengan
jumlah anak lebih banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan

Universitas Sumatera Utara

15

pangannya jika dibandingkan dengan keluarga dengan jumlah anggota lebih
sedikit. Semakin besar ukuran keluarga, maka semakin sedikit pangan tersedia
yang dapat didistribusikan pada anggota-anggota keluarga sehingga semakin
sedikit pangan yang dikonsumsi.
Jumlah anggota rumah tangga mempunyai hubungan negatif dengan konsumsi
pangan. Jumlah anggota rumah tangga berkaitan dengan banyaknya individu

yang harus dipenuhi kebutuhan gizinya. Semakin banyak anggota rumah
tangga, maka jumlah dan kualitas pangan dan gizi yang harus disediakan
rumah tangga semakin meningkat dan bervariasi sesuai komposisi anggota
rumah tangga (Sayogyo, 1986).
4. Pendapatan Rumah Tangga
Den Hartog et al. (1995) secara spesifik menjelaskan bahwa pendapatan
merupakan faktor penting dalam pola konsumsi pangan. Dengan suatu pola
peningkatan pendapatan yang signifikan, lebih banyak pangan yang mahal
yang dapat dibeli dan dikonsumsi. Keluarga mulai mengubah pola
pengeluaran untuk pangan pokok ke lebih banyak sayur-sayuran, buah-buahan
dan bahkan daging serta susu. Hal ini berarti tingkat pendapatan merupakan
faktor penentu terhadap kuantitas dan kualitas makanan. Kondisi pendapatan
keluarga yang rendah menyebabkan daya beli yang juga rendah, sehingga
keluarga tidak mampu membeli makanan.
Pada rumah tangga miskin hampir seluruh pendapatannya dibelanjakan untuk
konsumsi pangan. Sayogyo (1994) menyatakan bahwa pendapatan keluarga
mepunyai peranan penting dalam memberikan efek terhadap taraf hidup

Universitas Sumatera Utara


16

mereka. Efek disini lebih berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan,
dimana perbaikan pendapatan akan meningkatkan tingkat gizi masyarakat.
Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain.
2.1.3 Ketahanan Pangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
menyatakan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Hal lain dinyatakan Hasan (1995)
bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga antara lain tercermin
oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan terjangkau
oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan
yang beraneka ragam, yang memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya
setempat.
Ketahanan pangan berhubungan dengan empat aspek yaitu: 1) ketersediaan
(makanan yang cukup dan siap sedia digunakan); 2) akses (semua anggota dalam
rumah tangga tersebut memiliki sumber yang cukup dalam rangka memperoleh
makanan yang sesuai); 3) utilisasi (kemampuan tubuh manusia untuk mencerna
dan melakukan metabolisme terhadap makanan yang dikonsumsi dan fungsi sosial

makanan dalam menjaga keluarga dan masyarakat); dan 4) keberlanjutan
(ketersediaan makanan untuk jangka waktu yang lama). Keempat aspek tersebut
saling berhubungan satu dengan yang lainnya (Mangkoeto, 2009).
Konsumsi pangan merupakan gambararan dari aspek ketersediaan pangan dan
kemampuan rumah tangga tersebut untuk membeli dan memperoleh pangan,

Universitas Sumatera Utara

17

sehingga konsumsi pangan merupakan variabel yang mudah digunakan sebagai
indikator ketahanan pangan rumah tangga.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Teori Konsumsi
Konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan yang dapat dibelanjakan. Ada
beberapa hipotesis tentang perilaku konsumsi yang dikemukakan, salah satunya
ialah Hipotesis Pendapatan Absolut (The Absolute Income Hypothesis). Hipotesis
ini dikemukakan oleh Keynes. Keynes menduga bahwa fungsi konsumsi memiliki
karakteristik:
1) Kecenderungan mengkonsumsi merupakan fungsi yang stabil dan
besarnya konsumsi agregat ditentukan oleh besarnya pendapatan agregat.
2) Konsumsi akan meningkat jika pendapatan meningkat, tetapi peningkatan
konsumsi yang terjadi tidak akan sebesar peningkatan pendapatan.
3) Semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin besar jarak (gap) antara
pendapatan dan konsumsi. Hal ini juga menunjukkan bahwa semakin
tinggi pendapatan, semakin besar proporsi dan pendapatan yang ditabung.
4) Peningkatan pendapatan akan diikuti dengan peningkatan tabungan, dan
turunnya pendapatan akan diikuti dengan penurunan tabungan dalam
jumlah yang lebih besar.
Hipotesis ini dinamakan hipotesis pendapatan absolut (Absolute Income
Hypothesis) karena teori ini secara eksplisit mengasumsikan bahwa konsumsi
rumah tangga maupun konsumsi agregat merupakan fungsi dari pendapatan
rumah tangga absolut atau Pendapatan Nasional absolut (Supriana, 2013).

Universitas Sumatera Utara

18

2.3 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang berhubungan dengan analisis pola konsumsi pangan
rumah tangga adalah penelitian yang dilakukan oleh:
Dina Nur Ironi (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Ketersediaan
Pangan Pokok dan Pola Konsumsi Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu
Kabupaten Sukoharjo menyimpulkan bahwa Rata-rata ketersediaan pangan pokok
(beras) rumah tangga petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo adalah
1.257,13 kkal/kap/hari dan termasuk dalam kategori rendah. Pangan pokok
tunggal rumah tangga adalah beras, pangan sumber protein nabati lebih banyak
dikonsumsi daripada pangan sumber protein hewani, sayuran lebih banyak
dikonsumsi daripada buah-buahan, dan rumah tangga mengkonsumsi makanan
jadi sesuai selera dan kondisi ekonominya. Rata-rata Tingkat Konsumsi Energi
(TKE) rumah tangga petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo yaitu 70,08
% dan tergolong tergolong kurang. Sedangkan rata-rata Tingkat Konsumsi Protein
(TKP) rumah tangga yaitu 95,51 % dan tergolong sedang. Berdasarkan sebaran
kategori TKE, sejumlah 46,67 % rumah tangga termasuk kategori kurang.
Sedangkan berdasarkan sebaran kategori TKP, 43,33 % rumah tangga termasuk
kategori sedang. Sejumlah 60 % rumah tangga termasuk tidak tahan pangan energi
dan 53,33 % termasuk rumah tangga tahan pangan protein. Hal ini menunjukkan
bahwa lebih banyak rumah tangga yang tahan pangan protein daripada rumah
tangga tahan pangan energi.
Yuni Hamid, Budi Setiawan, dan Suhartini (2013) dalam penelitiannya yang
berjudul Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga (Studi Kasus di
Kecamatan

Tarakan

Barat

Kota

Tarakan

Provinsi

Kalimantan

Timur)

Universitas Sumatera Utara

19

menyimpulkan bahwa pola konsumsi pangan di pedesaan dan perkotaan
berdasarkan aspek kuantitas masih belum tercapai karena AKE aktual masih
kurang dari AKE normatif, dengan nilai AKE dan TKE rata-rata di pedesaan
sebesar 1,569.49 kkal/kapita/hari (78.73%) masih berada jauh dibawah AKE dan
TKE normatif (2,000 kkal/kapita/hari) dan di perkotaan 1,964.73 kkal/kapita/hari
(98.24%)

masih

kurang

untuk

mencapai

AKE

normatif

yaitu

2,000

kkal/kapita/hari. sedangkan nilai AKP aktual rata-rata di pedesaan sebesar 47.70
gram/kapita/hari (91.59%) berada di bawah AKP yaitu 52 gram/kapita/hari
sedangkan AKP aktual di perkotaan sebesar 62.44 (120.08%) yang berarti sudah
melebihi dari AKP normatif. Pola konsumsi pangan berdasarkan aspek kualitas
masih belum tercapai sesuai dengan hasil rata-rata skor PPH aktual di desa yaitu
60.27 dan di kota 81.26, meskipun skor PPH dikota lebih tinggi dari desa namun
masih berada jauh dibawah skor PPH ideal yaitu 100. Skor PPH Selain
dipengaruhi oleh faktor pendapatan, juga dipengaruhi oleh perbedaan daerah
tempat tinggal. Faktor-faktor yang memiliki pengaruh signifikan terhadap skor
PPH adalah variabel pendapatan perkapita, pendidikan ibu rumah tangga dan
dummy tempat tinggal. Variabel lainnya, yaitu jumlah anggota rumah tangga,
dummy raskin, dan dummy penyuluhan tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap skor PPH aktual di lokasi penelitian.
2.4 Kerangka Pemikiran
Penelitian dilakukan di Kelurahan Terjun, Kecamatan Medan Marelan dengan
responden rumah tangga miskin, khususnya ibu rumah tangga di daerah
penelitian. Indikator rumah tangga miskin dalam penelitian ini merupakan rumah
tangga yang menerima beras miskin (raskin).

Universitas Sumatera Utara

20

Pola konsumsi pangan setiap rumah tangga berbeda-beda, terlebih lagi rumah
tangga miskin. Konsumsi pangan menjadi gambaran dari kemampuan suatu
rumah tangga untuk membeli dan memperoleh pangan. Hal ini menunjukkan
bahwa konsumsi pangan rumah tangga dapat digunakan sebagai alat ukur dalam
menilai ketahanan pangan suatu rumah tangga. Konsumsi pangan dapat dilihat
dari dua sisi, yaitu kualitas dan kuantitas. Secara kualitas, konsumsi pangan dilihat
dari ukuran penilaian mutu konsumsi pangan. Sedangkan secara kuantitas,
konsumsi pangan lebih ditujukan kepada banyaknya zat gizi yang dikonsumsi dari
pangan tersebut.
Penelitian ini akan menganalisis pola konsumsi pangan rumah tangga miskin
berdasarkan aspek kuantitas. Untuk menganalisis kandungan zat gizi dalam bahan
makanan ini digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan rumah tangga
tersebut sudah memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat atau sesuai
dengan nilai Angka Kecukupan Gizi (AKG). Untuk mengukur jumlah konsumsi
pangan secara kuantitatif, digunakan

parameter TKG yang dibagi menjadi

Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dan Tingkat Konsumsi Protein (TKP). Setelah
melihat aspek konsumsi pangan, maka dapat diukur ketahanan pangan rumah
tangga tersebut.
Pola konsumsi pangan yang berbeda setiap rumah tangga, menunjukkan adanya
beberapa faktor yang mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga. Untuk itu
dianalisis jumlah anggota rumah tangga, pendapatan rumah tangga, serta tingkat
pendidikan ibu rumah tangga yang diyakini memberikan pengaruh terhadap pola
konsumsi pangan rumah tangga. Berdasarkan teori di atas, maka kerangka
pemikiran dapat dilihat dalam skema yang terdapat pada gambar 1:

Universitas Sumatera Utara

21

Rumah Tangga Miskin

Pola Konsumsi
Pangan

- Tingkat Konsumsi Energi (TKE)
- Tingkat Konsumsi Protein (TKP)

Baik

Sedang

Kurang

Defisit

Ketahanan Pangan

Tidak Tahan
Pangan

Tahan Pangan

Sangat Tahan
Pangan

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan:
: Menyatakan hubungan
: Menyatakan hasil

Universitas Sumatera Utara

22

2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah, maka hipotesis penelitian ini adalah:
1. Tingkat Konsumsi Energi dan Tingkat Konsumsi Protein rumah tangga miskin
di daerah penelitian tergolong kurang.
2. Tingkat ketahanan pangan rumah tangga miskin di daerah penelitian termasuk
tidak tahan pangan.

Universitas Sumatera Utara