Invasi Sultan Agung Mataram terhadap Kadipaten Tuban tahun 1619 M.

(1)

INVASI SULTAN AGUNG MATARAM TERHADAP KADIPATEN TUBAN TAHUN 1619 M

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1)

pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI)

Oleh :

Frinda Rachmadya Nurhayati NIM: A92213151

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Invasi Sultan Agung Mataram terhadap Kadipaten Tuban tahun 1619”. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini meliputi, (1) bagaimana kondisi politik Tuban sebelum abad 17 Masehi ? (2) bagaimana politik invasi Sultan Agung Mataram (1614-1645) ? (3) apa saja dampak yang ditimbulkan akibat peristiwa invasi Sultan Agung ke Tuban tahun 1619 ?

Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian sejarah, yang terdiri dari heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan politikologis dan pendekatan ekonomi. Teori yang digunakan adalah teori Challenge and Response oleh Arnold Joseph Toynbe (1889-1975) dan teori Hegemoni oleh Antonio Gramsci (1891-1937). Teori Challenge and Response menggambarkan tentang hubungan sebab akibat yang dimunculkan oleh suatu kejadian. Sedangkan teori Hegemoni menjelaskan bagaimana ide-ide atau ideologi menjadi sebuah instrumen dominasi yang memberikan pada kelompok penguasa, legitimasi untuk berkuasa.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa (1) kondisi Tuban sebelum abad ke-17 dikenal sebagai kadipaten yang selalu berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan besar Nusantara, diantaranya kerajaan Kahuripan, kerajaan Singasari, Kediri, Majapahit, Demak, dan Pajang. Di sisi lain, Tuban yang memang dikenal sebagai kota pelabuhan memberikan banyak kontribusi bagi kemakmuran kerajaan-kerajaan yang membawahinya, bahkan sejak abad ke-11. (2) Sultan Agung yang dikenal sebagai seorang penguasa yang ekspansionis, memiliki misi agung untuk menyatukan wilayah Nusantara di bawah pengaruh kerajaan Mataram Islam. Hal ini diwujudkan dengan melakukan invasi terhadap wilayah-wilayah Bang Wetan, salah satunya Tuban. (3) dampak-dampak yang terjadi akibat invasi Sultan Agung ke Tuban ini, diantaranya adalah dampak di bidang sosial-politik, bidang sosial-ekonomi, dan sosial-budaya.


(7)

Abstract

This thesis entitled “Invation of Sultan Agung Mataram toward Tuban

City on 1619”. The problem of this thesis consist of, (1) how the politic condition

at Tuban before 17th century ? (2) how the politic invation of Sultan Agung Mataram (1614-1645) ? (3) what are the effects of invation Sultan Agung toward Tuban on 1619 ?

The method of this thesis is observation of history method that consist of, heuristic, verification, interpretation, and historiography. The approach of this thesis is politicologic and economic approach. The theories are challenge and response theory by Arnold Joseph Toynbe (1889-1975), and hegemony theory by Antonio Gramsci (1891-1937). Challenge and response theory describes about reason-consequence relation that caused by an incident. Meanwhile, hegemony theory explain how the ideas and ideology become a domination instrument which give to government, legitimation to power.

The result of this observation shows that (1) Tuban condition before 17th century well-known as the city that always in under domination of the great kingdoms of Indonesian Archipelago, such as Kahuripan kingdom, Singasari kingdom, Kediri, Majapahit, Demak, and Pajang. In other side, Tuban, which be known as anchorage city, gives many contribution for the kingdom wealth that empowered it, since 11th century (2) Sultan Agung who known as a master of expansionist, has great mission to unite Indonesian Archipelago under Islamic Mataram Kingdom’s influence. This thing is proven by the invation of Bang Wetan areas, one of them is Tuban (3) the effects of Sultan Agung invation to Tuban, they are effect in social-policy, social-economic, and social-culture.


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... ix

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Kegunaan Penelitian ... 9

E. Penelitian Terdahulu ... 10

F. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 11

G. Metode Penelitian ... 15

H. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II KONDISI POLITIK TUBAN SEBELUM ABAD KE-17 M A. Letak Geografis Tuban ... 21

B. Tuban Dibawah Kekuasaan Kerajaan-kerajaan Besar Nusantara ... 24


(9)

1. Majapahit ... 25

2. Demak ... 28

3. Pajang menuju Mataram Islam ... 31

C. Tuban sebagai Jalur Perdagangan antar Negara ... 35

BAB III POLITIK INVASI SULTAN AGUNG MATARAM (1614-1645) A. Kondisi Kerajaan Mataram Islam Ketika Sultan Agung Berkuasa ... 42

B. Kebijakan Politik Invasi Sultan Agung ... 46

C. Invasi Mataram Islam ke Tuban 1619 ... 49

1. Latar Belakang Terjadinya Konflik Mataram-Tuban ... 49

2. Proses Invasi hingga Takluknya Tuban terhadap Mataram Islam ... 55

3. Respon Kadipaten Tuban terhadap Invasi Mataram ... 61

BAB IV DAMPAK INVASI MATARAM ISLAM TERHADAP TUBAN A. Dampak Sosial-Politik ... 64

B. Dampak Sosial-Ekonomi ... 66

C. Dampak Sosial-Budaya ... 67

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Invasi adalah sebuah istilah politik yang berarti usaha penyerangan suatu bangsa dengan pergerakan militer atau angkatan bersenjata yang dimilikinya, dengan tujuan penguasaan daerah atau mengubah pemerintahan yang berkuasa sebelumnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), invasi merupakan hal atau perbuatan memasuki wilayah negara lain dengan mengerahkan angkatan bersenjata, dengan maksud menyerang atau menguasai negara tersebut.1 Salah satu peristiwa invasi yang pernah terjadi dalam dunia perpolitikan adalah peristiwa invasi yang dilakukan oleh Mataram Islam terhadap daerah-daerah pesisir pada pertengahan abad 17 Masehi.

Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan Islam yang pernah ada di Indonesia. Beberapa abad sebelum kerajaan ini didirikan, lokasinya merupakan sebuah hutan yang penuh dengan tumbuhan tropis di atas puing-puing istana tua Mataram Hindu.2 Dalam Sejarah Nasional Indonesia

dikatakan bahwa Mataram merupakan daerah yang subur yang terletak

1

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1989),337.

2


(11)

2

antara Kali Opak dan Kali Praga yang mengalir ke Samudera Hindia.3 Kerajaan yang berdiri pada abad ke-16 ini, mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raden Mas Jatmiko4 atau Raden Mas Rangsang atau lebih dikenal dengan nama besar Sultan Agung Hanyakrakusuma.5

Pada masa pemerintahannya, Sultan Agung memiliki misi untuk memperluas wilayah kekuasaannya melalui invasi atau penyerangan ke daerah-daerah sekitar Mataram, khususnya ke wilayah-wilayah yang dikenal memiliki armada laut yang kuat. Salah satu wilayah yang menjadi sasaran penaklukan Mataram Islam adalah Tuban.

Kadipaten Tuban merupakan salah satu kota tua yang berada pada jalur pantai utara. Luas wilayah kadipaten Tuban ± 183.994.561 Ha, dengan dilengkapi wilayah laut seluas ± 22.068 km2. Posisi Tuban berada pada koordinat 111º 30' - 112º 35' BT dan 6º 40' - 7º 18' LS. Panjang wilayah pantainya 65 km. Secara administratif, kadipaten Tuban termasuk dalam wilayah propinsi Jawa Timur. Secara geografis, posisi kadipaten Tuban dapat dijelaskan melalui keterangan berikut ini:

Sebelah utara berbatasan dengan : Laut Jawa Sebelah timur berbatasan dengan : Lamongan Sebelah selatan berbatasan dengan : Bojonegoro

3

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), 55.

4

Ibid., 57.

5


(12)

3

Sebelah barat berbatasan dengan : Rembang (Propinsi Jawa Tengah)6

Sejak abad ke-11 (masa pemerintahan Raja Airlangga, dari kerajaan Kahuripan) hingga 15 (masa pemerintahan Raden Patah, dari kerajaan Demak), Tuban dikenal sebagai salah satu kota pelabuhan utama utara Jawa dengan nama Kambang Putih.7 Selain itu Tuban juga dijadikan sebagai pusat pertahanan militer untuk menghadapi serangan-serangan dari luar. Ia menjadi pendaratan pertama tentara Tartar (Pasukan Cina-Mongolia) pada tahun 1292 yang ketika itu hendak menyerang Jawa bagian timur (kejadian yang menyebabkan berdirinya kerajaan Majapahit).8 Tom Pires (1468-1540) menyebutkan bahwa pada abad 16, ada tiga pelabuhan yang dikuasai oleh Raja Jawa, diantaranya:

1. Pelabuhan orang-orang Moor, maksudnya adalah Tuban yang ketika itu menjadi wilayah kekuasaan Daria Tima de Raja9,seorang Moor yang menjadi bawahan dari Raja Jawa

2. Pelabuhan orang-orang pagan, maksudnya adalah Blambangan yang dikuasai oleh Pate Pimtor10 yang kala itu menjadi kesatria yang ditakuti dan sangat dihormati di Jawa, terutama oleh para tuan negeri pagan

6

Tim Penyusun, Tuban Bumi Wali: The Spirit of Harmony (Tuban: Pemerintah Kabupaten Tuban, 2015), 5.

7

Edi Sedyawati et al., Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), 7-8.

8

Ibid., 39.

9

Gelar ini merujuk pada nama Arya Tedja, penguasa Tuban kala itu yang merupakan kalangan bangsa Moor, ia merupakan seorang ulama keturunan Arab yang berhasil meyakinkan raja Tuban sebelumnya (mertuanya), Arya Dikara, untuk masuk Islam. Dengan demikian, Arya Dikara merupakan penguasa Tuban pertama yang beragama Islam. Nama Arya Tedja semakna dengan bahasa Arab “Abdurrahman”. Tom Pires, Suma Oriental (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), 235 dan Tim Penyusun, Tuban Bumi Wali, 41.

10


(13)

4

3. Pelabuhan milik putra Guste Pate11, maksudnya adalah Gamda (wilayah sekitar Pasuruan) yang dikuasai oleh putra Guste Pate.

Tuban adalah salah satu bandar kuna yang telah memainkan peranannya sejak berabad-abad lampau, dengan memposisikan dirinya sebagai jalur perdagangan laut dunia bagi kapal-kapal dagang yang melintasi laut Tengah, Samudera Hindia, dan Laut Cina Selatan.12 Prasasti Kambangputih merupakan prasasti yang memuat sejarah Tuban sebagai kota pelabuhan, diduga berasal dari tahun 1050 Masehi13, kini terletak di belakang Museum Kambang Putih.

Tuban merupakan salah satu kota dagang tertua di Jawa, yang catatan perdagangan luar negerinya dimulai sejak abad ke-11. Tuban juga merupakan kota dimana ekspedisi Cina berlabuh pada akhir abad ke-13 dalam upaya mereka yang sia-sia untuk menaklukan Jawa. Kebijakan Majapahit mengenai ekspansi luar negeri menjadikan Tuban sebagai pelabuhan keberangkatan bagi semua pelayaran ke Kepulauan Maluku – bahkan nama-nama tempat di Maluku banyak mengadopsi nama Tuban. Sejumlah upeti yang diperoleh dari negeri-negeri bawahan pasti mencapai ibu kota Majapahit melalui pelabuhan tersebut, hal ini berdampak pada kekayaan dan kemakmuran yang besar bagi Tuban dan penguasanya. Oleh sebab itu, bahkan setelah para penguasa Bumiputera Tuban memeluk Islam, yang terjadi antara sebelum atau pertengahan abad ke-15, hubungan yang

11

Sebutan bagi wakil raja Jawa dan kapten tertingginya. Ibid., 229

12

Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 2.

13


(14)

5

terjalin akrab dengan kerajaan-kerajaan Hindu tetap terpelihara. Agama Islam yang dianut oleh penguasa Tuban bersifat tidak ortodoks, bahkan diketahui sebagian bawahan penguasa Tuban tetaplah kafir. Tidak heran Tom Pires menyebut orang Tuban dengan “tidak ada penganut agama

Muhammad yang taat”.14

Sejak awal pemerintahannya, Tuban memang memposisikan dirinya sebagai wilayah bawahan kerajaan-kerajaan besar di Nusantara.15 Salah satu kerajaan besar yang pernah menguasai wilayah Tuban adalah kerajaan Mataram Islam.

Ketika Pangeran Dalem (adipati Tuban ke XVII) berkuasa, ia memindahkan rumah kadipaten ke kampung Dagan (kota Tuban). Di samping itu, Pangeran Dalem juga membangun masjid dan benteng di luar kota sebagai daerah pertahanan. Benteng yang dibangun pada masa pemerintahan Pangeran Dalem tersebut terletak di Gua Akbar dengan posisi membujur dari timur ke barat. Pengeran Dalem menunjuk Kiai Muhammad Asngari untuk bertugas membangun benteng pertahanan tersebut. Benteng tersebut oleh Pangeran Dalem diberi nama benteng Kumbakarna.16 Pada saat itu, Tuban berada di bawah kekuasaan kerajaan Mataram Islam yang

14

M. A. P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di Nusantara antara 1500 dan sekitar 1630 (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), 156.

15

De Graaf, Kerajaan Islam Pertama: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Terj. Grafiti Pers dan KITLV (Jakarta: Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 2001), 148.

16


(15)

6

mulai diakui kekuasaannya oleh adipati-adipati dari beberapa daerah di Jawa, seperti Cirebon, Sumedang, Madura, dan Tuban, sejak tahun 1601.17

Kondisi awal Tuban sebagai pelabuhan penting pada masa itu disebabkan oleh kondisi geografisnya yang memadai. Teluk Tuban dinilai aman dan baik untuk transportasi laut karena kedalamannya yang ideal bagi perahu-perahu besar yang datang. Di sisi lain, kondisi Tuban sebagai daerah rawan karena merupakan pintu gerbang masuknya kekuatan-kekuatan luar yang hendak menembus ke wilayah pusat kekuasaan di pedalaman, juga dikenal sebagai benteng terdepan untuk menghambat serangan lawan menjadikan Tuban sebagai salah satu incaran kerajaan-kerajaan di Nusantara untuk memperkuat dan melebarkan wilayah kekuasaannya.18

Mengenai kelompok-kelompok sosial yang tinggal di Tuban tidak disebutkan secara rinci, namun sumber dari kitab Ying-Yai Sheng-Lan

menyebutkan ada tiga kelompok sosial yang tinggal di wilayah ini, diantaranya adalah golongan muslim, pedagang Cina, dan penduduk pribumi.19 Memasuki abad ke-16, kelompok-kelompok sosial di Tuban nampaknya masih belum mengalami perubahan yang berarti. Jadi masih serupa dengan pengelompokkam sosial yang terjadi sejak akhir abad ke-13 sebagaimana dicatat dalam berita Cina tersebut. Seperti telah diketahui bahwa kelompok sosial yang paling tinggi statusnya adalah golongan

17

R. Soeparmo, Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban (Tuban: Pemerintah Kabupaten Tuban, 1983), 31.

18

Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 8-9.

19


(16)

7

muslim. Kemudian diikuti oleh orang-orang Cina dan terakhir orang-orang pribumi.20

Pada awal abad 17 setelah benteng Kumbakarna dibangun, Sultan Mataram saat itu, Sultan Agung Hanyakrakusuma mendengar berita bahwa bupati Tuban, Pangeran Dalem berniat akan memerdekakan diri dari pengaruh Mataram. Bukti dari niat Pangeran Dalem ini dipicu alasan bahwa banyak bupati dari Jawa Timut, diantaranya Bupati dari Surabaya, Lasem, dan Tuban tidak bersedia mengakui kedaulatan Sultan Agung dari Mataram karena dianggap jahat sehingga ketiga wilayah ini bersepakat untuk bertempur bersama-sama untuk melawan tentara kerajaan.21 Pembangunan benteng Kumbakarna ini diharapkan mampu menjadi pendukung tercapainya niat tersebut.

Namun niat ini segera di ketahui oleh Sultan Agung. Beliau mengirim seorang mata-mata bernama Kyai Randu Watang. Setibanya di Tuban, Randu Watang menanam dua batang pohon randu alas sebagai tanda bahwa ia telah sampai di Tuban. Setelah diselidiki lebih lanjut, Kiai Randu Watang mengetahui kebenaran berita tersebut kemudian melaporkannya langsung ke Mataram.22 Segera setelah laporan Kyai Randu Watang ke Mataram, Sultan Agung mengerahkan pasukannya untuk menginvasi Tuban. Dua pasukan dikerahkan oleh Sultan Agung dengan memerintahkan Martalaya dan Jaya

20

Ibid., 36.

21

Soeparmo, Catatan Sejarah, 32.

22


(17)

8

Suponta sebagai pemimpin invasi tersebut.23 Peristiwa ini berakhir dengan takluknya Tuban, yang menjadi salah satu unsur terpenting dari persekutuan Surabaya untuk menghancurkan Mataram, pada tahun 1619.24

Dengan dilatar belakangi oleh fakta sejarah di atas, maka peneliti termotivasi untuk mendeskripsikan lebih lanjut dan mendalam mengenai peristiwa penaklukan Tuban oleh kerajaan Mataram Islam pada 1619 dan apa saja dampak yang diperoleh Tuban akibat peristiwa tersebut. Untuk itu, dalam penelitian yang dilaksanakan secara individu ini, peneliti mengambil judul: “Invasi Sultan Agung Mataram terhadap Kadipaten Tuban tahun 1619: Berdasarkan Berita Tradisi”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi politik Tuban sebelum abad 17 Masehi ? 2. Bagaimana politik invasi Sultan Agung Mataram (1614-1645) ?

3. Apa saja dampak yang ditimbulkan akibat peristiwa invasi Sultan Agung ke Tuban tahun 1619 ?

23

H. J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, Terj. Grafiti Pers dan KITLV (Yogyakarta. Jakarta: Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 2002), 58.

24

M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Drs. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 2011), 66.


(18)

9

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kondisi dan sejarah politik Tuban sebelum penaklukan Sultan Agung Mataram

2. Untuk mengetahui karakter politik invasi Sultan Agung Mataram ke Tuban

3. Untuk mengetahui dampak-dampak yang terjadi di Tuban akibat peristiwa invasi Sultan Agung Mataram tahun 1619.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat positif bagi masyarakat baik dari sisi keilmuan akademis maupun sisi praktis. Berikut diantaranya manfaat yang bisa didapatkan dari penelitian ini:

1. Sisi Keilmuan Akademik

a. Hasil penelitian ini bisa dijadikan sumber informasi bagi penelitian pada bidang yang sama

b. Memberikan kontribusi wacana bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang sejarah

2. Sisi Praktis

a. Bagi Penulis, penelitian ini bermanfaat dalam rangka memenuhi tugas akhir jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya.


(19)

10

b. Untuk memperkaya kajian sejarah Indonesia khususnya sejarah politik mengenai peristiwa invasi Mataram Islam terhadap kadipaten Tuban tahun 1619.

E. Penelitian Terdahulu

Merujuk pada judul penelitian yang penulis kemukakan di atas, peneliti hanya menemukan satu judul penelitian terdahulu yang serupa dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Berikut akan dikemukakan penelitian tersebut beserta penjelasannya sebagai bahan perbandingan, sehingga mampu menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan ini bukan merupakan pengulangan atau duplikasi dari penelitian yang telah ada sebelumnya :

1. Ahmad Saiful Ali, “Ekspansi Mataram terhadap Surabaya Abad ke-17

(Tinjauan Historis tentang Kasus Penaklukan Surabaya oleh Mataram Abad ke-17 M)”, Surabaya: Skripsi Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 1994. Membahas tentang usaha ekspansi Mataram Islam ke wilayah Surabaya beserta dampak yang ditimbulkan akibat ekspansi tersebut.

2. Ummu Salamah, “Konflik Kesultanan Mataram Islam dengan

Kesultanan Banten pada Pertengahan Abad 17 M”, Yogyakarta:


(20)

11

Membahas tentang kronologi konflik yang terjadi antara kesultanan Mataram Islam dan kesultanan Banten.

3. Wakidi Febri dan Syaiful M, “Tinjauan Historis Perjuangan Sultan

Agung dalam Perluasan Kekuasaan Mataram tahun 1613-1645”, Bandar Lampung: Jurnal Pendidikan FKIP UNILA, 2016. Membahas tentang analisa sejarah mengenai perjuangan Sultan Agung dalam usaha perluasan wilayah Mataram.

4. Laila Mufidah, “Ambisi Mataram Islam untuk Menguasai

Blambangan: Masa Sultan Agung dan Amangkurat I Abad ke-17”, Surabaya: Skripsi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel, 2016. Membahas tentang motivasi Sultan Agung dan Amangkurat I dalam menguasai Blambangan.

Penelitian ini memiliki target pembahasan berbeda dari penelitian sebelumnya, karena fokus penelitian ini tertuju pada proses invasi Sultan Agung Mataram ke Tuban yang terjadi pada tahun 1619. Oleh karena itu, pembahasan penelitian ini akan difokuskan pada “Invasi Sultan Agung Mataram terhadap Kadipaten Tuban tahun 1619”

F. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Sesuai dengan judul penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang tidak


(21)

12

menggunakan perhitungan angka.25 Sedangkan penelitian kualitatif menurut Sukmadinata adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, dan pemikiran orang baik secara individu maupun kelompok.26

Jenis penelitian ini adalah sejarah non-naratif. Penelitian sejarah jenis ini tidak menyusun cerita, tetapi lebih menekankan pada masalah ( problem-oriented).27 Dalam penelitian ini, penulis berupaya mengungkap sejarah mengenai Tuban, baik itu kondisi geografis, kondisi Tuban ketika berada dalam dinamika politik tiga kerajaan besar Nusantara ketika itu (Majapahit, Demak, dan Mataram Islam), juga profil Tuban (dahulu lebih dikenal dengan wilayah Kambang Putih) sebagai pusat perdagangan internasional khususnya pada masa Raja Airlangga sekitar abad 11 Masehi.28 Pada bab selanjutnya, penulis berupaya memaparkan karakter dan politik ekspansi Sultan Agung Mataram terhadap wilayah-wilayah yang ia invasi, salah satunya adalah Tuban. Bab terakhir penulisan sejarah ini menekankan pada dampak-dampak yang ditimbulkan oleh Sultan Agung Mataram setelah berhasil menginvasi Tuban pada tahun 1619.

Penelitian ini disusun dengan menggunakan pendekatan politikologis dan pendekatan ekonomi. Pendekatan politikologis menyoroti struktur kekuasaan, jenis kepemimpinan, hierarki sosial, pertentangan kekuasaan,

25

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 2.

26

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), 60.

27

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), 9.

28


(22)

13

dan lain sebagainya.29 Pendekatan politikologis digunakan untuk mendeskripsikan kondisi tata pemerintahan kadipaten Tuban pada pra, masa, dan pasca invasi Sultan Agung Mataram beserta kondisi kerajaan Mataram Islam pada masa kepemimpinan Sultan Agung. Sedangkan pendekatan ekonomi digunakan untuk memaparkan kondisi ekonomi kadipaten Tuban sebelum hingga sesudah invasi Sultan Agung Mataram terjadi.

Adapun kerangka teori yang digunakan oleh peneliti adalah teori

Challenge and Response oleh Arnold Joseph Toynbe (1889-1975) dan teori Hegemoni oleh Antonio Gramsci (1891-1937). Teori Challenge and Response menggambarkan tentang hubungan sebab akibat yang dimunculkan oleh suatu kejadian. Penerapan teori ini mengacu pada posisi Tuban yang setelah lepas dari pengaruh Demak menjadi wilayah kedudukan Mataram, berusaha ingin melepaskan diri dari pengaruh Mataram. Keinginan ini disebabkan penguasa Mataram saat itu, Sultan Agung Hanyakrakusuma, dianggap suka bertindak sewenang-wenang terhadap wilayah bawahannya. Salah satu contoh kesewenangannya adalah menempatkan kaki tangannya yang berasal dari Mataram untuk menjadi pemimpin di wilayah bawahannya, seperti yang dilakukan di wilayah Tuban dan Surabaya, sehingga wilayah tersebut tidak memiliki kewenangan apapun terhadap pemerintahannya seperti sebelumnya (maksudnya ketika Tuban masih diduduki oleh kerajaan Majapahit dan Demak). Oleh karena

29


(23)

14

itu, pada abad 17, wilayah seperti Tuban, Surabaya, Lasem, dan Pasuruan membentuk sebuah persekongkolan untuk melawan Mataram. Namun kenyataannya Mataram mengetahui niat tersebut, dan sebelum mereka (Tuban dan wilayah lain yang disebutkan sebelumnya) bertindak lebih jauh, Sultan Agung melakukan penyerangan terlebih dahulu. Di Tuban, meskipun persiapan benteng yang dilakukan Tuban sudah matang, di tambah dengan adanya meriam yang mereka dapat dari Portugis, nyatanya tidak sanggup menahan serangan Mataram yang sangat kuat sehingga berakhir dengan takluknya Tuban atas Mataram. Hal ini kemungkinan disebabkan juga dengan kenyataan bahwa kekuatan pasukan darat Mataram lebih kuat dari Tuban (kekuatan Tuban hanya terpaku pada sistim maritimnya).

Sedangkan teori Hegemoni menjelaskan bagaimana ide-ide atau ideologi menjadi sebuah instrumen dominasi yang memberikan pada kelompok penguasa, legitimasi untuk berkuasa.30 Penggunaan teori ini didasarkan pada ambisi Sultan Agung yang memang sejak pengangkatannya menjadi penguasa di Mataram memiliki tujuan ekspansi atas wilayah-wilayah lain di sekitar Mataram. Ambisi ini memang sejak awal dimiliki Sultan Agung diilhami oleh Panembahan Senopati (Ayah Sultan Agung/Raden Mas Rangsang) yang dahulunya juga memiliki misi yang sama. Kedudukan Sultan Agung sebagai penguasa kerajaan besar ketika itu memungkinkannya untuk memiliki keinginan yang kuat untuk melakukan misi ekspansi ke wilayah-wilayah lain. Ambisi untuk menguasai

30 Saptono, “Teori Hegemoni Sebuah Teori Kebudayaan Kontemporer”, dalam

repo.isi-dps.ac.id/.../Teori_Hegemoni_Sebuah_Teori_Kebudayaan_Kontemporer.pdf (31 Mei 2017)


(24)

15

daerah tersebut menjadi semakin kuat ketika Sultan Agung mengetahui bahwa wilayah-wilayah yang sudah dikuasainya berkeinginan untuk mengadakan koalisi untuk memberontak terhadapnya. Oleh karena itu, Sultan Agung kemudian melakukan invasi kepada wilayah-wilayah Bang Wetan untuk melancarkan misi invasi tersebut dengan tujuan menundukkan wilayah-wilayah tersebut di bawah kekuasaan Sultan Agung Mataram.

G. Metode Penelitian

Untuk memudahkan penulisan sejarah (historiografi) sebagai hasil dari penelitian ini, maka penulis menggunakan metode penelitian sejarah yang terbagi dalam empat tahap31, yaitu:

1. Heuristik (Mencari dan Menemukan Sumber Data)

Heuristik (mencari dan menemukan sumber data) merupakan suatu proses yang dilakukan peneliti untuk mendapatkan sumber-sumber, data-data, atau jejak sejarah yang diperlukan.32 Sumber sejarah merupakan segala sesuatu yang berlangsung atau tidak langsung menceritakan tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lampau.33 Metode heuristik merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh peneliti dalam rangka memperoleh sumber data. Heuristik merupakan pengetahuan yang bertugas menyelidiki

31

Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), 38.

32

A. M. Sadirman, Memahami Sejarah (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2004), 102.

33


(25)

16

sumber sejarah.34 Penelitian ini menggunakan sumber yang terbagi menjadi dua kategori, yaitu:

a. Sumber Primer

Penulisan skripsi ini merupakan studi pustaka dengan menggunakan beberapa sumber primer, diantaranya:

1) Serat Babad Thuban (sebagai acuan pembahasan mengenai kondisi Tuban pada masa invasi Mataram) karangan Than Khoen Swie

2) Babad Sultan Agung (sebagai acuan pembahasan mengenai pribadi Sultan Agung) yang diterbitkan oleh Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, dan

3) Suma Oriental (sebagai acuan pembahasan mengenai kondisi Tuban sebelum abad 17) karangan Tom Pires.

b. Sumber Sekunder

Selain menggunakan sumber primer, penulis juga menggunakan sumber-sumber sekunder diantaranya sebagai berikut:

1) Puncak Kekuasaan Mataram karangan H. J. De Graaf 2) Kerajaan Islam Pertama di Jawa karangan H. J. De Graaf 3) Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia karangan Dr. Ahwan

Mukarrom

34


(26)

17

4) Sejarah Islam Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia

karangan Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto

5) Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di Nusantara antara 1500 dan sekitar 1630 karangan M. A. P. Meilink Roelofsz

6) Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban karangan R. Soeparmo 7) Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera yang merupakan

hasil penelitian Edi Sedyawati dkk.

8) Tuban Bumi Wali: The Spirit of Harmony yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten Tuban

9) Analisis Hasil Penelitian Arkeologi II: Kehidupan Ekonomi Masa Lampau Berdasarkan Data Arkeologi yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

2. Verifikasi (Kritik Sumber)

Verifikasi (kritik sumber) merupakan suatu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang diperoleh agar memperoleh kejelasan apakah sumber tersebut kredibel atau tidak, dan apakah sumber tersebut autentik atau tidak. Kritik sumber itu ada dua, yakni kritik intern dan kritik ekstern.35 Kritik intern adalah suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk melihat apakah isi sumber tersebut

35


(27)

18

kredibel atau tidak. Sedangkan kritik ekstern adalah kegiatan sejarawan untuk melihat apakah sumber yang didapatkan autentik ataukah tidak.

3. Interpretasi (Penafsiran)

Interpretasi (penafsiran) merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk menafsirkan data-data yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah yang telah ditemukan. Pada tahap ini, penulis berusaha membandingkan antara data-data yang diperoleh sehingga akhirnya ditemukan sebuah titik temu yang bisa menafsirkan makna dari fakta yang diperoleh untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang ada. Langkah awal pada tahap ini diawali dengan menyusun dan mendaftar semua sumber yang didapat. Selanjutnya penulis menganalisa sumber-sumber tersebut untuk mencari fakta-fakta yang dibutuhkan sesuai judul penelitian.

4. Historiografi (Penulisan Sejarah)

Historiografi (penulisan sejarah) merupakan cara untuk merekonstruksi suatu gambaran masa lampau berdasarkan data yang diperoleh.36 Setelah didapatkan fakta-fakta yang diperlukan, proses terakhir adalah menuliskan hasil dari penafsiran data-data sejarah tersebut ke dalam bentuk tulisan deskriptif dengan menggunakan susunan bahasa dan format penulisan yang baik dan benar.

36


(28)

19

H. Sistematika Pembahasan

Secara garis besar, sistematika pembahasan ini disusun dalam rangka mempermudah pemahaman terhadap penulisan ini. Pemaparan bab demi bab bukan merupakan ringkasan dari keseluruhan bab yang ada dalam tulisan hasil penelitian ini, melainkan suatu deskripsi mengenai hubungan pasal demi pasal atau bab demi bab dalam pembahasan ini.

Adapun sistematika penulisan hasil penelitian ini secara umum terdiri dari pendahuluan, isi, dan penutup. Di bawah ini akan dipaparkan secara lebih jelas uraian pembahasannya:

Bab I merupakan pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Melalui bab ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang seluruh rangkaian penulisan penelitian sebagai dasar atau pijakan untuk pembahasan pada bab selanjutnya.

Bab II menjelaskan tentangkondisi politik Tuban sebelum abad ke-17 Masehi, yaitu ketika Tuban berada dalam penguasaan kerajaan-kerajaan besar Nusantara, hingga peran Tuban sebagai jalur perdagangan antar negara

Bab III menjelaskan tentang politik invasi Sultan Agung Mataram (1614-1645) beserta peristiwa invasi Sultan Agung ke Tuban tahun 1619


(29)

20

Bab IV menjelaskan tentang dampak peristiwa invasi Sultan Agung Mataram, diantaranya berupa dampak sosial-politik, sosial-budaya, dan sosial-ekonomi

Bab V akan diuraikan kesimpulan dari keseluruhan isi skripsi ini dari bab satu sampai bab empat, di samping kesimpulan, dalam bab ini juga akan diisi dengan saran-saran.


(30)

BAB II

KONDISI POLITIK TUBAN SEBELUM ABAD KE-17 M

A. Letak Geografis Tuban

Kadipaten Tuban merupakan salah satu kota tua di Jawa yang berada pada jalur pantai utara. Luas wilayah kadipaten Tuban ± 183.994.561 Ha, dilengkapi dengan wilayah laut seluas ± 22.068 km2. Posisi Tuban berada pada titik koordinat 111º 30' - 112º 35' BT dan 6º 40' - 7º 18' LS. Panjang wilayah pantainya 65 km. Secara administratif, kadipaten Tuban termasuk dalam wilayah propinsi Jawa Timur. Secara geografis, posisi kadipaten Tuban dapat dijelaskan melalui keterangan berikut ini:

Sebelah utara berbatasan dengan : Laut Jawa Sebelah timur berbatasan dengan : Lamongan Sebelah selatan berbatasan dengan : Bojonegoro

Sebelah barat berbatasan dengan : Rembang (Propinsi Jawa Tengah)1

Sejak awal, Tuban memang dikenal sebagai daerah pelabuhan untuk perniagaan, yang merupakan jalur perhubungan antar negara bahkan sejak masa Raja Airlangga (1019-1041), raja pertama kerajaan Kahuripan.

1

Tim Penyusun, Tuban Bumi Wali: The Spirit of Harmony (Tuban: Pemerintah Kabupaten Tuban, 2015), 5.


(31)

22

Pada masa itu, Tuban lebih dikenal dengan sebutan Kambangputih.2 Dalam sebuah prasasti yang dikeluarkan pada masa Airlangga (kemungkinan yang dimaksud adalah prasasti Kambang Putih) menyebutkan bahwa kerajaan Kahuripan memiliki pelabuhan niaga, yaitu Hujung Galuh dan Kambangputih. Pelabuhan Hujung Galuh diperkirakan terletak di dekat Mojokerto, yang merupakan tempat bagi barang-barang niaga dari pulau-pulau lain di Nusantara diperdagangkan. Sebelum kapal-kapal kembali ke pulau masing-masing, ke dalam kapal-kapal mereka dimuatkan hasil-hasil bumi setempat. Di sisi lain, pelabuhan Kambangputih digunakan untuk perdagangan antar negara.3

Posisi Tuban yang termasuk dalam jalur perdagangan yang menghubungkan ujung barat Eropa dengan ujung timur Asia, menjadikan Tuban dikategorikan sebagai Jalur Sutera. Dalam buku Tuban: Pelabuhan di Jalan Sutera dijelaskan bahwa jalan sutera atau jalur sutera yang dimaksud merujuk pada konseptualisasi dari gejala adanya perdagangan antar wilayah di dunia ini dengan melampaui jarak-jarak geografis yang amat jauh, seperti antara Eropa dan Cina, demi antara lain perdagangan sutera dari Cina ke Eropa.4 Sebenarnya perdagangan antara kawasan dunia

“barat” dan “timur” sudah terjadi sejak lama. Sutera dan rempah-rempah

merupakan daya tarik utama bagi orang Eropa yang dimiliki dunia Timur.

2

R. Soeparmo, Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban (Tuban: Pemerintah Kabupaten Tuban, 1983), 19.

3

Edi Sedyawati et al., Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), 7.

4


(32)

23

Berbagai cara mereka tempuh untuk menghubungkan kedua bagian dunia tersebut, diantaranya menggunakan jalur darat dan jalur laut. Jalan darat melintasi Asia biasanya ditempuh dengan kuda atau unta, sedangkan jika melewati jalur laut melalui Laut Tengah, Samudera Hindia, dan Laut Cina Selatan ditempuh dengan menggunakan kapal. Mengenai konsep jalur sutera, istilah tersebut bukan berarti hanya merujuk pada kedua ujung perjalanan perdagangan yang bersangkutan, melainkan negeri-negeri yang dilewati sepanjang perjalanan dagang tersebut terlibat secara aktif dalam proses perdagangan. Dalam jalur perdagangan melalui laut ini, Tuban memainkan peranannya.5 Berita dari Tionghwa yang diuraikan Ma Huan, pengikut Laksmana Cheng Ho dalam ekspedisi ketiganya di Jawa pada tahun 1413-1415, dalam buku Ying Yai Sheng Lan menyebutkan bahwa jika orang pergi ke Jawa (untuk berdagang atau sekedar berkunjung), kapal-kapal lebih dahulu sampai di Tuban.6

Jika dianalisis lebih lanjut, peran Tuban sebagai jalur perniagaan sejak abad 11 M memungkinkan ia menjadi pusat pertahanan militer untuk menghadapi serangan-serangan dari luar.7 Keadaan ini menjadi sangat mungkin karena menurut catatan Pires pada abad 16, wilayah Tuban dikelilingi oleh tembok bata yang kokoh dengan ketebalan ± 2 jengkal sedangkan tingginya 15 kaki. Di bagian luar tembok tersebut terdapat danau berisi air, sedangkan didaratannya terdapat tanaman lokal besar

5

Ibid., 2.

6

Kutipan buku Ying Yai Sheng Lan. Soeparmo, Catatan Sejarah, 21.

7


(33)

24

berduri, yang Pires biasa menyebutnya dengan carapeteiros karena tumbuhan tersebut memiliki kemiripan dengan sebuah pohon kecil berduri di Portugal, merayap di tembok besarnya. Tembok tersebut juga dilengkapi dengan lubang-lubang besar maupun kecil, sedangkan bagian dalamnya terdapat mimbar kayu tinggi di sepanjang tembok.8 Peranan ini semakin nampak pada masa kerajaan Majapahit hingga masa-masa sesudahnya.

B. Tuban Dibawah Kekuasaan Kerajaan-kerajaan Besar Nusantara

Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa sejak awal pemerintahannya, kadipaten Tuban merupakan sebuah wilayah yang selalu memposisikan dirinya sebagai wilayah bawahan kerajaan-kerajaan besar Nusantara. Kerajaan-kerajaan yang membawahinya dimulai dari kerajaan Kahuripan, kemudian kerajaan Kediri (Daha), Kerajaan Singasari, kerajaan Majapahit, kerajaan Demak, kerajaan Pajang, hingga kerajaan Mataram Islam. Keadaan ini dikarenakan memang sejak awal pemerintahannya, kadipaten Tuban merupakan cakupan wilayah Majapahit. Ketika Majapahit berhasil didirikan menjadi kerajaan oleh Raden Wijaya, wilayah Tuban ini dihadiahkan kepada Ranggalawe untuk dikuasai dengan tetap menjadi salah satu punggawa kerajaan Majapahit.9 Penjelasan lebih detail adalah sebagai berikut.

8

Tom Pires, Suma Oriental (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), 247.

9

Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit (Yogyakarta: LkiS, 2012), 201.


(34)

25

1. Majapahit

Kadipaten Tuban sejak masa Airlangga memang dikenal sebagai pelabuhan penting antar negara selain pelabuhan Hujung Galuh yang dijadikan sebagai pelabuhan utama perniagaan antar pulau.10 Keadaan ini berlanjut bahkan hingga kerajaan Majapahit berdiri.

Peranan Tuban sebagai wilayah yang pelabuhan, memang sangat berpengaruh pada masa itu. Pelabuhan Tuban merupakan tempat yang pertama kali disinggahi oleh pasukan Tartar utusan Kaisar Kubilai dari Cina pada tahun 1292, ketika ia menyanggupi permintaan dari Wiraraja untuk membantunya dalam usahanya memerangi Daha dengan imbalan dua orang puteri bangsawan dari Tumapel.11 Namun pada dasarnya, tentara Cina utusan Kaisar Kubilai tersebut memang akan menyerbu Jawa. Mereka akan menghukum raja Kertanegara dari Singasari, yang pernah menghina utusan Kaisar Cina bernama Meng Ki ketika ia memaksa raja Kertanegara beserta Singasari tunduk kepadanya. Peristiwa inilah yang akhirnya membantu Majapahit berdiri sebagai kerajaan yang berkuasa setelah penaklukan raja Jayakatwang yang memerintah sebelumnya.12

10

Soeparmo, Catatan Sejarah, 19

11

Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, Pararaton (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980), 20.

12


(35)

26

Peran Tuban yang lain sebagai kawasan pelabuhan penting di Jawa diuraikan Ma Huan, muslim Tionghoa yang mengiringi Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya yang ketiga tahun 1413 hingga 1415 ke daerah-daerah lautan selatan. Ma Huan menguraikan di dalam bukunya, Ying Yai Sheng Lan, tentang keadaan kota Majapahit beserta rakyatnya. Ia menyebutkan bahwa ketika ada orang pergi berkunjung ke Jawa, kapal-kapal mereka akan terlebih dahulu berlabuh di Tuban.13

Dalam buku Tuban: Kota pelabuhan di Jalan Sutera

disebutkan bahwa pada masa Majapahit, pelabuhan Tuban sebagai pusat perdagangan berkembang peranannya menjadi entreport, yakni sebagai pusat kegiatan ekspor-impor barang-barang dari berbagai negeri, setelah sebelumnya sudah berperan aktif menjadi pusat pertemuan pedagang dari berbagai negeri. Selain itu, Tuban juga menjadi salah satu dari empat kota penting Majapahit selain Gresik, Surabaya, dan Majapahit sebagai ibukota kerajaan. Pada abad ke-16 posisi Tuban masih lebih unggul dari Gresik. Bahkan hingga masa akhir kerajaan Majapahit, Tuban masih merupakan pelabuhan utama. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila oleh elit Majapahit di pedalaman, Tuban dianggap sebagai penyokong kesejahteraan, baik secara ekonomi maupun sosial. Salah satu bukti menyebutkan, bahwa di sekitar daerah Tuban dan di dasar pantai pelabuhan Tuban banyak

13


(36)

27

ditemukan keramik dari masa Majapahit yang berasal dari Cina. Penemuan yang sezaman juga ditemukan di situs yang diduga merupakan bekas ibukota Majapahit.14 Peran penting lain yang dimiliki Tuban sebagai kota penting Majapahit adalah bahwa ketika perang, Tuban dapat mengirim enam sampai tujuh ribu tentara untuk memenuhi kebutuhan Majapahit.15

Raffles dalam bukunya The History of Java menyebutkan bahwa antara tahun 1520 atau 1521 pada masa kerajaan Majapahit, Antonio de Britto dengan enam kapal berlayar ke Maluku dengan terlebih dahulu berlabuh di Tuban.16 Keterangan ini didukung juga dengan sebuah berita bahwa Tuban mengadakan hubungan dagang secara intensif dengan daerah-daerah di Maluku. Sehingga penguasa Tuban pada abad ke-16 yang kebetulan lancar berbahasa Portugis, pernah menawarkan kepada bangsa Portugis ketika berlabuh di Tuban saat itu. Ketika orang Portugis tersebut sedang mencari pemandu setempat untuk mengantarkan mereka ke Maluku, penguasa Tuban ketika itu memberi penawaran supaya tidak perlu ke Maluku untuk berburu rempah-rempah dan diminta untuk menunggu di Tuban saja. Sebab menurut kabar, tiga bulan setelahnya, akan datang lebih dari 40

jung dari Maluku dengan membawa cengkih, pala, dan bunga pala.17

14

Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 38-39.

15

Ibid., 42.

16

Thomas Stamford Raffles, The History of Java, Terj. Eko Prasetyaningrum et.al (Yogyakarta: Narasi, 2014), xvii.

17


(37)

28

2. Demak

Kerajaan Majapahit berkurang eksistensinya ditandai dengan terbunuhnya Prabu Brawijaya Kertabhumi oleh penguasa setelahnya, Wangsa Girindrawardhana, pada tahun 1478 M atau 1400 tahun Saka.18 Kemudian kedudukannya digantikan oleh Demak yang resmi mendedikasikan dirinya sebagai sebuah kerajaan merdeka setelah menginvasi Majapahit pada 1527 M.19 Namun diketahui Tuban telah menjadi bagian dari wilayah Demak sejak tahun 1478, bahkan ketika Demak belum mendeklarasikan dirinya sebagai kerajaan merdeka.20

Pada tahun 1527 M, tahun yang sama ketika Demak berhasil menyerang Majapahit, ia sekaligus menaklukkan Tuban yang masih setia kepada Majapahit, meskipun penguasa Tuban ketika itu sudah memeluk agama Islam.21 Ketika itu memang diketahui bahwa wilayah Tuban, Grsik, Surabaya, Madura, dan beberapa kota di pantai utara Jawa termasuk wilayah kerajaan Kediri22. Dengan begitu, jelas sekali bahwa setelah Kediri berhasil ditaklukkan oleh Demak, Tuban beserta jajaran wilayah kota di pantai utara Jawa menjadi bagian dari kerajaan

18

Ahwan Mukarrom, Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia (Surabaya: Penerbit Jauhar, 2010), 31.

19

Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LkiS, 2009), 192.

20

Soeparmo, Catatan Sejarah, 28.

21

M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Drs. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 2011), 56.

22

Ketika Prabu Brawijaya, ayah dari Raden Patah, telah gugur pada 1478 setelah penyerbuan tentara Demak. Diketahui bahwa Majapahit diserbu oleh kerajaan Keling yang termasuk dalam kekuasaan Ranawijaya. Antara tahun 1486 dan 1513, ibukota kerajaan dipindahkan oleh Ranawijaya dari Keling ke Daha (Kediri). Itulah sebab Pires menyatakan bahwa pada 1513, ibukota kerajaan Jawa telah dipindahkan ke Daha. Slamet Muljana, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit (Jakarta: Inti Sedayu Press, 1983), 316.


(38)

29

Demak.23 Di samping itu, salah satu alasan Demak ingin menguasai Tuban adalah karena ketidaksukaan Demak terhadap penguasa Tuban yang saat itu menjalin hubungan baik dengan Portugis, musuh Demak. Hubungan ini begitu penting bagi Portugis, sebab hal ini mempermudah akses Portugis memasuki Kediri, karena memang melalui pelabuhan Tuban akses ke Kediri menjadi semakin cepat. Keadaan ini membuat Demak merasa tidak nyaman karena ia khawatir, aliansi Portugis dengan Tuban mematikan aksesnya memasuki Kediri.

Dalam buku Suma Oriental disebutkan bahwa Tuban merupakan akses terdekat ke Kediri lewat pelabuhannya. Guste Pate yang disebut oleh Pires bertempat di Kediri saat itu, beraliansi dengan Tuban yang membuat kesepakatan bahwa Guste Pate tersebut akan memberikan bantuan sebanyak 10 atau 20 prajurit pada saat musuh datang menyerang Tuban.24

Peranan Tuban ketika kerajaan Demak berkuasa sebenarnya hampir tidak berubah sejak pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu menjadi daerah pertahanan dan daerah industri. Buku Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera menyebutkan bahwa Tuban merupakan salah satu pusat industri kapal untuk kebutuhan militer yang terkenal di Asia Tenggara pada abad ke-16. Keahlian dalam membuat kapal ini

23

Ibid., 316.

24


(39)

30

sebenarnya telah lama dikuasai oleh orang-orang Jawa. Orang-orang Belanda yang pertama-tama datang ke Indonesia mengabarkan bahwa Lasem, Tuban, Jepara, dan yang dekat dengan hutan jati Rembang merupakan pusat industri galangan kapal terkenal tersebut. Keadaan tersebut secara tidak langsung menjadi faktor penting bagi kemajuan Demak. Hal ini dikarenakan, pada saat itu, ketiga wilayah tersebut menjadi wilayah kekuasaan Demak.25

Industri kapal yang salah satunya berada di Tuban tersebut sangat membantu dalam mengelola dan memajukan perekonomian kerajaan Demak. Kerajaan Demak akhirnya memiliki kapal-kapal pengangkut yang mengangkut hasil pertanian daerah pedalamannya (terutama beras) untuk dijual di wilayah lain di Nusantara. Selain itu, industri kapal ini juga sangat memungkinkan Demak mengerahkan sejumlah kapal untuk ekspedisi laut dengan tujuan menjalin hubungan persahabatan dengan negara lain, maupun untuk tujuan perang. Kapal-kapal tersebut juga menjadi bahan ekspor yang penting bagi kemajuan perekonomian Demak. Sumber berita dari Belanda menyebutkan bahwa dalam waktu singkat, penguasa Tuban mampu mengerahkan sekurang-kurangnya 32.000 sampai 33.000 prajurit infanteri dan 500 prajurit berkuda. Keadaan Tuban seperti itu mengindikasikan bahwa

25


(40)

31

Tuban merupakan pusat kekuatan militer yang potensial bagi kerajaan yang menaunginya.26

3. Pajang menuju Mataram Islam

Kekuasaan Demak runtuh pada tahun 1568, karena perebutan kekuasaan antar kerabat kerajaan. Setelah itu, kekuasaan Demak beralih pada kerajaan Pajang yang muncul eksistensinya setelah peristiwa penaklukan Arya Penangsang oleh Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya), dengan bantuan Ki Ageng Pemanahan.27 Jaka Tingkir merupakan menantu Sultan Demak, Sultan Trenggana. Pada masa Sultan Hadiwijaya, Tuban yang awalnya menjadi bawahan kerajaan Demak, menyatukan diri dengan Pajang. Hal ini dikarenakan Pangeran Aria Pamalad, penguasa Tuban, menjadi menantu Sultan Pajang.28

Peranan Tuban sebagai daerah bawahan Pajang, tidak terlalu disebutkan secara rinci. Namun perlu diketahui bahwa Tuban ikut berperan dalam pertempuran melawan Mataram muda yang dipimpin oleh Panembahan Senopati yang berkhianat pada kerajaan Pajang pada 1587 – diketahui bahwa Sultan Hadiwijaya adalah ayah angkat

26

Ibid., 44.

27

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), 55.

28


(41)

32

dari Senopati.29 Usaha adipati Tuban dalam memberikan dukungan moral kepada Sultan Pajang berakhir sia-sia. Peristiwa ini berakhir dengan kekalahan Sultan Pajang di tangan anak angkatnya sendiri pada tahun yang sama.

Setelah Sultan Pajang meninggal, bersama adipati Demak, Arya Pangiri, yang sama-sama menjadi menantu Sultan Pajang, adipati Tuban ikut berperan dalam mempertahankan hak atas tahta bagi putera Sultan yang masih muda, Pangeran Benowo, dari pengaruh Panembahan Senopati yang ketika itu menjadi penguasa Mataram.30 Sunan Kudus – melalui permintaan dari adipati Tuban – berusaha menengahi perselisihan tersebut. Akhirnya Sunan Kudus memberikan keputusan bahwa kerajaan Pajang untuk sementara di ambil alih oleh adipati Demak, sedangkan Pangeran Benowo yang masih muda akan berkedudukan di kerajaan Jipang yang sudah tua.31 Keputusan itu menimbulkan rasa kecewa dalam diri Pangeran Benowo, meskipun pada dasarnya, adipati Tuban yang awalnya meminta saran pada Sunan Kudus tersebut hanya berniat untuk melindungi Pangeran Benowo. Ikatan kuat yang terjalin antara Tuban dengan keluarga raja Demak, Jipang, dan Pajang, berusaha untuk

29

De Graaf, Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senopati (Jakarta: PT Pustaka Grafiti Press, 1987), 83

30

Tim Penyusun, Tuban Bumi Wali, 43.

31


(42)

33

menentang perluasan pengaruh raja Mataram yang tidak mempunyai hubungan dengan mereka.32

Setelah Pangeran Aria Pamalad wafat, kekuasaan Tuban diambil alih oleh puteranya, Pangeran Dalem. Serat Babad Thuban

menyebutkan, ketika kepemimpinan Tuban berada di tangan Pangeran Dalem, pusat kekuasaan Tuban dipindahkan ke kampung Dagan yang terletak di sebelah selatan Watu Tiban (kota Tuban sekarang). Pada tahun selanjutnya, Pangeran Dalem membangun masjid besar dan bangunan pertahanan yang terletak di Gua Ghabar (Gua Akbar sekarang) membujur dari timur ke barat. Pembangunan benteng pertahanan ini oleh adipati Pangeran Dalem diserahkan oleh Kiai Muhammad Asngari dari Majagung. Diceritakan dalam Babad Thuban bahwa benteng tersebut dibangun dengan sedemikian megah oleh Kiai Asngari, dan diberi nama oleh adipati Tuban, benteng Kumbakarna.33

Bangunan pertahanan tersebut ternyata memiliki pengaruh besar di kadipaten Tuban. De Graaf menuturkan dalam bukunya bahwa pertahanan Tuban melalui benteng ini bahkan mampu mematahkan serangan satuan-satuan tentara Mataram yang dikirim oleh Panembahan Senopati pada tahun 1598 dan 1599.34 Namun Serat

32

De Graaf, Kerajaan Islam Pertama: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, Terj. Grafiti Pers dan KITLV (Jakarta: Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 2001), 152.

33

Swie, Serat Babad, 9.

34


(43)

34

Babad Thuban menyebutkan hal lain, bahwa benteng Kumbakarna ini dibangun ketika Mataram sudah berada dalam kekuasaan Sultan Agung.35

Antara dua kali serangan Mataram ke Tuban, pada bulan Januari 1599, Tuban disinggahi oleh kapal-kapal Belanda di bawah komando Laksamana Muda Van Warwijk.36 Anthony Reid menyebut dalam bukunya berdasarkan sebuah keterangan dalam sketsa yang dibuat pada Januari 1599, bahwa setibanya di Tuban, Van Warwijk bersama pengikutnya menyaksikan pertandingan tombak di atas kuda yang diadakan di Tuban. Acara pertarungan tersebut biasanya diadakan pada hari Sabtu atau Senin sehingga disebut dengan Senenan, dan diadakan di sebelah utara istana kerajaan.37

Setelah Senopati meninggal pada 1601, usaha Mataram dalam menaklukan Tuban, akhirnya diteruskan oleh penerusnya, Panembahan Hanyakrawati, atau yang lebih dikenal dengan Panembahan Seda ing Krapyak.38 Pada dasarnya, penyerangan Hanyakrawati atas Tuban ditujukan untuk melemahkan posisi Surabaya. Sebuah dokumen VOC pada waktu itu telah menggambarkan Surabaya sebagai negara yang kuat dan kaya, yang

35

Swie, Serat Babad, 9

36

Graaf, Kerajaan Islam, 152.

37

Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), 216.

38

Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Bagian 3, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), 36.


(44)

35

telah berhasil meluaskan ekonomi perniagaannya, meliputi wilayah Pulau Bawean, Sukadana (Kalimantan Barat), Banjarmasin, Gresik, Lamongan, Tuban, dan Demak. Perluasan ekonomi yang dilakukan oleh Surabaya sangat merugikan kerajaan Mataram, sebab secara tidak langsung kejadian tersebut telah menutup jalur perdagangan Mataram di daerah pesisir. Tidak mengherankan jika ketika itu, Panembahan Hanyakrawati mengalami kesulitan dalam menaklukan Surabaya. Oleh karena itu, ia menyusun strategi untuk terlebih dahulu menundukan wilayah jalur perdagangan Surabaya, yang salah satunya merupakan kadipaten Tuban tersebut.39 Kadipaten Tuban akhirnya berhasil ditaklukan oleh Mataram pada 1613 setelah Panembahan Hanyakrawati melancarkan serangannya ke Gresik, yang sejak permulaan abad ke-17 pelabuhannya berkembang menjadi lebih kuat daripada pelabuhan Tuban. Hal ini menjadikan kadipaten Surabaya mengalami penurunan ekonomi secara drastis.40

C. Tuban sebagai Jalur Perdagangan antar Negara

Sejak masa pemerintahan Airlangga, raja Medang Kamulan pada abad ke-11, Tuban dikenal sebagai salah satu kota pelabuhan utama pesisir utara Jawa yang dikenal dengan nama Kambang Putih.41 Pada masa ini, pelabuhan Tuban dijadikan sebagai pelabuhan antar negara. Dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga menyebutkan

39

Soedjipto Abimanyu, Kitab Terlengkap Sejarah Mataram (Yogyakarta: Saufa, 2015), 51.

40

Ibid., 52.

41


(45)

36

bahwa pedagang-pedagang asing yang berasal dari India Utara, India Selatan, Sailan, Burina, Kamboja, dan Campa berlabuh di pelabuhan Tuban untuk melakukan perniagaan.

Peran aktif pelabuhan Tuban sebagai jalur perdagangan antar negara bahkan masih dirasakan ketika kerajaan Majapahit menampakkan eksistensinya di Jawa sejak akhir abad ke-13. Ia merupakan pelabuhan yang disebut Tom Pires sebagai pelabuhan yang dikuasai oleh Raja Jawa, selain pelabuhan di wilayah Blambangan dan Pasuruan.42 Pelabuhan Tuban dikenal sebagai salah satu bandar kuna yang telah memainkan peranannya sejak lama dengan memposisikan dirinya sebagai jalur perdagangan laut dunia bagi kapal-kapal dagang yang melintasi laut Tengah, Samudera Hindia, dan Laut Cina Selatan.43 Meilink Roelofsz menyebutkan dalam bukunya, bahwa Tuban merupakan salah satu kota dagang tertua di Jawa yang catatan perdagangan luar negerinya dimulai sejak abad ke-11. Kemakmuran dagang yang dialami oleh kota ini merupakan dampak dari kebijakan Majapahit mengenai ekspansi luar negeri yang menjadikan Tuban sebagai pelabuhan keberangkatan bagi semua pelayaran ke Kepulauan Maluku. Tidak mengherankan jika banyak tempat di kepulauan Maluku yang mengadopsi nama Tuban.44 Catatan Pires dalam Suma Oriental-nya menerangkan bahwa Tuban merupakan negeri yang rindang dan menghasilkan beras dalam jumlah yang besar dari

42

Pires, Suma Oriental, 235.

43

Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 2.

44

M. A. P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di Nusantara antara 1500 dan sekitar 1630 (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), 156.


(46)

37

pedalaman. Ia menghasilkan berbagai jenis kayu, anggur, ikan, dan air berkualitas. Negeri Tuban menurut catatan Pires juga menghasilkan banyak asam dan cabe jawa. Ia juga memiliki daging sapi, daging babi, daging kambing muda dan tua, daging rusa, ayam dan buah-buahan yang tak terhitung lagi.45 Namun dalam hal ini, Pires tidak memberi keterangan bahwa sumber daya alam yang sedemikian melimpah ini, dimanfaatkan oleh Tuban sebagai hasil ekspor yang mampu menghasilkan pemasukan bagi Tuban.

Tuban merupakan jalur perhubungan bagi upeti-upeti dari negeri bawahan untuk mencapai kerajaan Majapahit. Penyebabnya karena pada waktu itu pelabuhan Tuban dijadikan pelabuhan transit utama Majapahit, baik untuk menyalurkan upeti kerajaan atau bagi negara-negara lain yang akan berkunjung ke negara Majapahit atau ke Maluku dengan tujuan berdagang. Keadaan ini tentunya mempengaruhi perkembangan ekonomi dan menambah kemakmuran Tuban dan penguasanya. Oleh sebab itu, hubungan yang terjalin antara Tuban dengan kerajaan-kerajaan Hindu tetap terpelihara dengan baik, bahkan setelah para penguasa bumiputera Tuban memeluk Islam (kemungkinan terjadi antara sebelum atau pertengahan abad ke-15, dan kemungkinan akibat dari pengaruh Arab). Fenomena tersebut sangat mungkin terjadi, sebab Islam yang dianut oleh penguasa Tuban sifatnya tidak ortodoks.46 Pires bahkan menuturkan bahwa Pate Vira yang ketika itu ditemuinya di Tuban merupakan seorang

45

Pires, Suma Oriental, 248.

46


(47)

38

penguasa Tuban yang telah memeluk Islam, kakeknya (maksud dari Pires kemungkinan besar adalah adipati Arya Dikara) adalah seorang pagan yang kemudian memeluk agama Muhammad. Namun Pires menambahkan bahwa Pate Vira meskipun telah memeluk agama Muhammad, tidak tampak baginya seperti penganut yang benar-benar yakin terhadap agama Muhammad.47

Meilink Roelofsz memaparkan dalam bukunya bahwa meskipun Tuban dikenal sebagai kota pelabuhan penting, Tuban tidak digambarkan sebagai kota dagang (dalam arti yang sebenarnya) baik dalam catatan Pires yang ditulis pada awal abad ke-16 atau dalam catatan-catatan para navigator Belanda yang ditulis hampir seabad kemudian. Tuban bahkan dikatakan tidak memiliki pelabuhan yang layak untuk digunakan sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal bermuatan besar, yang ada hanya sebuah pangkalan laut terbuka yang jaraknya cukup jauh dari kota. Roelofsz menambahkan bahwa Pires memang sangat kagum atas semangat ketentaraan orang-orang Tuban.48 Kekaguman Pires pada pria-pria Tuban memang ditunjukan secara jelas dalam Suma Oriental-nya, ia mengatakan

“pria-pria Tuban adalah para kesatria – lebih berani dibandingkan orang

Jawa lainnya”.49

Namun yang menjadi catatan disini adalah kenyataan bahwa Pires tidak mengatakan apapun mengenai kegiatan perdagangan

47

Pires, Suma Oriental, 249.

48

Roelofsz, Perdagangan Asia, 157.

49


(48)

39

dan aset-aset pelayaran Tuban.50 Fenomena ini kemudian dijelaskan oleh De Graaf bahwa memang pada abad ke-15 dan 16 kapal-kapal dagang yang sedikit besar (yang biasanya selalu berlabuh di Tuban) sudah terpaksa membuang sauh (jangkar) di laut yang cukup jauh dari kota.51 Keterangan De Graaf tersebut menjadi jawaban yang masuk akal mengingat Tom Pires dan rombongan Portugis memasuki Tuban pada abad ke-16. Sehingga Pires hanya mengetahui bahwa keadaan Tuban sudah tidak produktif lagi sebagai pelabuhan.

Di sisi lain, dalam buku Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera

menjelaskan bahwa Tuban. yang dikenal pada masa Airlangga dengan sebutan Kambang Putih itu, sejak awal memang sudah berperan sebagai pusat dagang yang penting sekaligus merupakan pelabuhan internasional. Pusat perdagangan yang dimaksud disini bukan tentang Tuban yang memiliki hasil komoditas ekspor, melainkan ia hanya sebagai collecting center, yang menampung berbagai jenis komoditi dari sejumlah pemasok barang dari wilayah pedalaman. Kemudian ketika Majapahit berkuasa, dan Tuban dijadikan salah satu wilayah pentingnya, pelabuhan Tuban berkembang menjadi entreport yang tidak hanya menjadi pusat pertemuan pedagang dari berbagai negeri, tetapi juga mengimpor dan mengekspor barang-barang yang berasal dari berbagai negeri.

50

Roelofsz, Perdagangan Asia, 157.

51


(49)

40

Pada masyarakat pra industri, transportasi jarak jauh memerlukan biaya yang tinggi. Oleh karena itu komoditi perdagangan yang menjangkau wilayah jauh akan memperdagangkan barang-barang bernilai tinggi dan tentunya tahan lama, misalnya berbagai jenis batu mulia, kain sutera, dan barang-barang lain yang hanya dapat diproduksi di wilayah-wilayah tertentu. Barang-barang tersebut pada umumnya memang digunakan oleh para elit kerajaan, hal tersebut menjadikan peranan Tuban, yang ketika itu menjadi bagian dari kerajaan Kediri, adalah sebagai penyokong golongan elit. Melalui kegiatan perniagaan barang-barang mewah tersebut, Tuban melayani kaum elit untuk menciptakan dan menaikkan status sosial bangsawan di pedalaman. Peranan tersebut bahkan berlanjut hingga masa Majapahit.52

Catatan dari Raffles menyebutkan bahwa antara tahun 1520 atau 1521 pada masa kerajaan Majapahit, Antonio de Britto dengan enam kapal berlayar ke Maluku dengan terlebih dahulu berlabuh di Tuban.53 Tuban melakukan hubungan dagang dengan daerah-daerah Maluku dibuktikan dengan berita bahwa ada seorang pedagang Portugis yang menemui penguasa Tuban pada akhir abad ke-16 dalam usahanya mencari pemandu untuk mengantarnya ke Maluku. Adipati Tuban yang ketika itu sudah lancar berbahasa Portugis menyarankan pedagang Portugis tersebut tidak perlu ke Maluku dan cukup menunggu di Tuban. Karena menurut

52

Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 38.

53


(50)

41

informasi, sekitar tiga bulan kemudian akan datang lebih dari 40 jung dari Maluku dengan membawa serta cengkeh, pala, dan bunga pala.54

Pada abad ke-16, Tuban termasuk salah satu pusat industri kapal untuk keperluan militer yang terkenal di Asia Tenggara. Kemahiran membuat kapal pada dasarnya telah lama dikuasai oleh orang-orang Jawa. Kapal-kapal yang dibuat pada dasarnya terbatas pada kapal-kapal kecil yang bisa berlayar cepat dan digunakan dalam peperangan. Selain itu, industri ini juga memproduksi kapal muatan dengan tonnase kecil. Orang Belanda yang pertama kali datang ke Indonesia memberitakan bahwa Lasem, Tuban, Jepara, dan daerah yang dekat dengan hutan jati Rembang merupakan pusat dari industri galangan kapal tersebut. Keadaan ini berlangsung pada masa kerajaan Demak, sehingga memberikan keuntungan yang besar bagi Demak mengingat daerah-daerah yang termasuk pusat industri galangan kapal tersebut merupakan daerah bawahannya. Sejak saat itu, Demak memiliki kapal-kapal yang mampu mengangkut hasil pertanian (tertutama beras) daerah pedalamannya untuk kemudian menjualnya di wilayah lain di Nusantara.55

54

Sedyawati, Tuban: Kota Pelabuhan, 23.

55


(51)

BAB III

POLITIK INVASI SULTAN AGUNG MATARAM (1614-1645)

A. Kondisi Kerajaan Mataram Islam Ketika Sultan Agung Berkuasa

Mataram Islam merupakan kerajaan Islam yang ada di Nusantara yang berdiri pada abad ke-16 M. Wilayah kerajaan ini awalnya merupakan sebuah hutan yang penuh dengan tumbuhan tropis di atas puing-puing istana tua Mataram Hindu, beberapa abad sebelum kerajaan ini berdiri.1 Wilayah ini sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Pajang. Namun setelah Ki Ageng Pemanahan yang ketika itu menjadi Panglima perang kerajaan Pajang bersama puteranya, Sutawijaya (Danang Sutawijaya)2, ikut membantu Sultan Hadiwijaya dalam usahanya menumpas adipati Arya Penangsang dari Jipang Panolan, Sultan Pajang tersebut menganugerahkan wilayah hutan yang awalnya dikenal sebagai hutan (alas) Mentaok tersebut.3 Berawal dari inilah kerajaan Mataram (yang awalnya bercorak Hindu) bangkit kembali, namun dengan ruh yang berbeda (menjadi bercorak Islam).

1

Ahwan Mukarrom, Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia (Surabaya: Penerbit Jauhar, 2010), 39.

2

Dalam Babad Tanah Jawi namanya dikenal sebagai Raden Bagus. Namun pada waktu lain ia juga disebut sebagai Raden Ngabehi Loring Pasar. Ia merupakan putera kedua Ki Ageng Pemanahan yang diangkat anak oleh Sultan Pajang yang ketika itu belum memiliki putera. Sultan Pajang berharap Raden Bagus tersebut bisa dijadikan tuntunan agar ia segera berputera. W. L. Olthof, Babad Tanah Jawi (Yogyakarta: Narasi, 2011), 93.

3

Ardian Kresna, Sejarah Panjang Mataram: Menengok Berdirinya Kesultanan Yogyakarta (Jogjakarta: Diva Press, 2011), 27.


(52)

43

Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Raden Mas Rangsang atau lebih dikenal sebagai Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1646).4 Setelah dinobatkan sebagai penguasa Mataram, putera dari Raden Mas Jolang atau Panembahan Hanyakrawati5 atau Panembahan Seda ing Krapyak ini, bergelar Sultan Agung Senapati Ing Alaga Ngabdurrahman.6 Ketika pemerintahan Sultan Agung, ibukota kerajaan Mataram dipindahkan dari Kotagede ke wilayah Kerto yang jaraknya sekitar 5 km di sebelah selatan Kotagede. Pada masa ini bidang kenegaraan, pemerintahan, serta kemiliteran Mataram berkembang pesat. Mataram melatih pasukan angkatan lautnya serta membuat kolam telaga yang lebar dan luas yang disebut Segarayasa.7

Mengenai kepribadian Sultan Agung, dilukiskan oleh De Graaf dalam bukunya bahwa kesan orang Eropa ketika pertama kali melihat Sultan Agung adalah ia “tidak dapat dianggap remeh”. Menurut pengakuan salah satu dari mereka, Sultan Agung memiliki wajah yang kejam, bahkan beserta dewan penasihatnya juga memerintah dengan keras sebagaimana sebuah negara besar. Lebih jauh, Dokter H. De Haen menuturkan bahwa Pangeran Ingalaga ini merupakan seorang yang kasar dalam bahasa, namun lamban ketika berbicara, ia berwajah tenang dan bulat, dan tampak cerdas. Dokter Haen juga mengatakan bahwa Sultan Agung biasa

4

Mukarrom, Kerajaan-kerajaan Islam, 43.

5

Olthof, Babad Tanah Jawi, 238.

6

Ibid., 248.

7

Air dari telaga ini diambil dari pertemuan Kali Gajah Wong dengan Kali Opak di desa Wonokromo. Kresna, Sejarah Panjang, 41.


(53)

44

memandang sekelilingnya seperti singa.8 Watak pemarah dan kejam namun bijaksana Sultan Agung juga disinggung oleh De Graaf. Dalam bukunya, ia mengatakan bahwa Sultan Agung pernah memerintahkan untuk memenggal kuda-kuda empat orang pembesarnya, yang ketika itu dianggap telah bermain curang ketika mereka memainkan permainan

mirobolani9, dan mengancam bahwa Sultan tidak segan-segan melakukan hal yang sama kepada para pembesarnya ketika suatu saat ia temui mereka melakukan kecurangan lagi dalam hal apapun.10 Yahya Harun mengomentari karakter Sultan Agung tersebut merupakan warisan dari almarhum kakeknya, Panembahan Senopati. Bahkan Sultan Agung juga yang telah meneruskan usaha ekspansi Mataram ke berbagai wilayah yang dimulai pada masa Panembahan Senopati.11

Sultan Agung merupakan seorang yang religius. Hal tersebut dinyatakan dalam Babad Sultan Agung yang menyatakan bahwa:

“...Sebagai seorang raja, yang merupakan kalifah Tuhan, Sultan Agung terpilih dan dikasihi Tuhan. Ia gemar bertafakur, sehingga

8

H. J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, Terj. Grafiti Pers dan KITLV (Yogyakarta. Jakarta: Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, 2002), 122.

9

Permainan adu kemiri yang sekarang sudah menjadi mainan anak-anak laki. Permainan ini dimainkan dengan meletakkan dua biji kemiri berimpit atas bawah, kemudian diatasnya lagi diletakkan potongan bambu yang panjang dan datar. Bambu tersebut dipukul dengan palu dari kayu. Pemilik biji yang pecah, itulah yang kalah. Pada masa ini, permainan ini dilakukan dengan taruhan uang. Ibid., 123.

10

Ibid., 123.

11

Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), 25.


(54)

45

tidak terikat lagi oleh kewiryaan maupun keprihatinan. Kalbunya benar-benar beriman dan sangat berbakti kepada Tuhan...”12

Mengenai sifat religius Sultan Agung ini, De Graaf mengomentari dalam bukunya bahwa kereligiusan Sultan Agung tersebut terlihat setelah tahun 1633. Sebelum tahun itu, De Graaf mengatakan jika hanya lahiriah Sultan Agung saja yang memeluk agama Islam. Pendapat ini didukung dengan bukti bahwa pada 1633 M mulai diberlakukan tarikh Islam di Mataram.13

Namun ada beberapa berita yang menyatakan bahwa Sultan Agung memang sudah dikenal sebagai raja yang religius, bahkan sebelum 1633. Hal tersebut dibuktikan dengan rutinitasnya pergi ke masjid pada Garebek Puasa 9 Agustus 1622, dan diketahui pula bahwa memang setiap tahun, Sultan Agung memang selalu menghadiri perayaan tersebut. Bukti lain menyebutkan, bahwa sebelum tahun 1633, Sultan Agung sudah mewajibkan tawanan perang untuk dikhitan dengan ancaman hukuman mati. Para prajurit Sultan Agung dapat dikenali karena mereka berambut pendek dan memakai kuluk putih. Bahkan sebelum beliau wafat, Sultan Agung meminta untuk dipangkas rambutnya. Hal tersebut cukup membuktikan bahwa beliau adalah orang yang taat beragama.14

12

Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta, Babad Sultan Agung (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980), 7.

13

Graaf, Puncak Kekuasaan, 126.

14


(55)

46

Pada masa pemerintahan Sultan Agung, ia bertekad ingin mengantarkan Mataram menuju puncak kejayaan. Keinginan tersebut kemudian direpresentasikan oleh Sultan Agung dengan menerapkan politik ekspansi. Strategi politik ini bertujuan tidak hanya untuk menaklukkan pulau Jawa, namun keinginan tersebut merambah hingga ia mampu menaklukkan seluruh Nusantara. Hingga akhirnya ketika Sultan Agung wafat, wilayah kekuasaan Mataram meliputi seluruh pulau Jawa, kecuali wilayah Batavia (karena dikuasai oleh VOC), Panarukan, dan Blambangan (ditaklukkan pada masa Amangkurat I).15

B. Kebijakan Politik Invasi Sultan Agung

Strategi politik militer Sultan Agung dalam merekrut pasukan militernya adalah dengan menetapkan wakil di berbagai daerah untuk mengorganisir rakyatnya untuk ikut serta dalam peperangan. Wakil-wakil pemimpin yang sudah dipilih tersebut membawahi wilayah yang telah menjadi wewenangnya sesuai dengan seberapa luas daerah atau seberapa banyak anggota kepala keluarga yang dinaunginya. Dalam kondisi tersebut muncul istilah Panewu (wakil yang mengurusi seribu orang), Penatus

(wakil yang mengurusi seratus orang), Paneket (wakil yang mengurusi lima puluh orang), Panalawe (wakil yang mengurusi dua puluh lima orang), Paningangjung (wakil yang mengurusi sepuluh orang), dan

Panakikil (wakil yang mengurusi empat orang). Fokus gerakan militer

15Laila Mufidah, “Ambisi Mataram Islam untuk Menguasai Blambangan: Masa Sultan Agung dan

Amangkurat I Abad ke-17”, (Skripsi, UIN Sunan Ampel Fakultas Adab dan Humaniora, Surabaya, 2016), 16.


(56)

47

Mataram dalam melakukan ekspansi adalah terhadap pasukan infantri16 dan kavaleri17, sedangkan pasukan artileri18 tidak banyak karena kurangnya keterampilan dalam menggunakan meriam. Pasukan yang berasal dari rakyat, atau yang disebut sebagai pasukan milisi, telah dikenakan wajib militer ketika kerajaan berada dalam masa ekspansi dan jumlahnya sangat besar. Selain kekuatan militer, faktor lain yang sangat mendukung kemenangan Sultan Agung dalam menjalankan ekspansinya adalah kebijakan persiapan perang yang dilaksanakan pada musim kemarau pasca panen, sehingga padi telah masuk ke lumbung-lumbung sebagai bekal bagi prajurit sebelum menuju ke medan perang.19

Pada masa Sultan Agung, terjadi ekspansi dan invasi besar-besaran di wilayah Jawa. Diantaranya penaklukan ke wilayah Lumajang dan Malang (1614), Wirasaba (1615), Lasem (1616), Pasuruan dan Pajang (1617), Tuban (1619), Madura (1624), Surabaya (1625), Pati (1627), Giri (1636), dan Blambangan (1640).20 Selain penaklukan-penaklukan ke wilayah Bang Wetan (Jawa Timur), sebenarnya Sultan Agung pernah melakukan usaha untuk menginvasi wilayah Barat, yaitu Batavia, yang ketika itu diduduki oleh Belanda. Usaha invasi itu bahkan dilakukan

16

Angkatan bersenjata yang termasuk dalam kesatuan pasukan berjalan kaki. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1989), 330.

17

Pasukan berkuda. Ibid., 398.

18

Pasukan tentara bersenjata berat. Ibid., 49

19

Ibid., 18.

20

Nurhadi, “Perang dan Krisis Pangan pada Masa Mataram Islam”, dalam Analisis Hasil Penelitian Arkeologi II Trowulan, 8-11 November 1988: Kehidupan Ekonomi Masa Lampau Berdasarkan Data Arkeologi jilid II oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991), 33.


(57)

48

hingga dua kali pada tahun 1628 dan 1629, namun keduanya mengalami kegagalan bahkan banyak menelan korban dari pihak Mataram. Dalam bukunya, Yahya Harun mengemukakan beberapa hal yang mungkin menjadi sebab kegagalan ini, antara lain:

1. Sistem persenjataan Mataram yang ketika itu kalah canggih dengan VOC yang menguasai Batavia,

2. Adanya seorang prajurit Mataram yang membelot dan memihak kepada Belanda serta menunjukkan gudang perbekalan Mataram yang berada di Tegal. Gudang logistik tersebut akhirnya dibakar oleh Belanda yang menyebabkan banyak prajurit Mataram yang mati kelaparan, dan

3. Serangan itu terjadi ketika banyak prajurit Mataram yang sedang terjangkit wabah malaria.21

Ambisi Sultan Agung dalam mengantarkan Mataram menuju puncak kejayaannya sejak ia bertahta membuahkan hasil yang gemilang. Prestasi ini menjadikan Sultan Agung dianggap telah menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang disegani di tanah Jawa bahkan Nusantara. Kekuasaan Mataram Sultan Agung membentang dari Blambangan hingga ke Sungai Citarum di Karawang. Sultan Agung meninggal pada

21


(58)

49

pertengahan Februari 1646 M, kemudian tahtanya digantikan oleh puteranya Susuhunan Amangkurat I (1646-1677 M).22

C. Invasi Mataram Islam ke Tuban 1619

Telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa Sultan Agung sebagai penguasa yang ekspansionis berupaya menaklukkan seluruh wilayah pulau Jawa bahkan hingga Nusantara. Salah satu wilayah yang menjadi taklukan Mataram adalah Tuban, yang berhasil ditundukkan pada 1619. Berikut akan dijelaskan secara detail mengenai peristiwa tersebut.

1. Latar Belakang Terjadinya Konflik Mataram-Tuban

Sejak masih menjadi wilayah kekuasaan Pajang, Tuban memang telah menjadi wilayah incaran Mataram. Menurut Serat Babad Tuban, adipati Tuban yang bernama Pangeran Arya Phamalad merupakan menantu dari Sultan Pajang, Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya.23 Ketika Sultan Pajang wafat akibat pemberontakan Panembahan Senopati, adipati Tuban bersama adipati Demak, Arya Pangiri, berusaha mempertahankan tahta putera Sultan yang masih muda, Pangeran Benowo. Namun Sunan Kudus menengahi perselisihan tersebut dengan memutuskan bahwa Arya Pangiri yang akan menggantikan posisi Sultan Hadiwijaya menjadi penguasa Pajang, sedangkan putera kandung Sultan yang masih muda, Pangeran

22

Ibid., 19.

23


(1)

69

2. Sultan Agung dikenal sebagai seorang penguasa yang ekspansionis. Misi ekspansinya yang bertujuan untuk menyatukan wilayah Nusantara di bawah kekuasaan Mataram ini, dilancarkan melalui invasi-invasi yang dilakukan kepada wilayah-wilayah Bang Wetan, salah satunya Tuban, juga wilayah-wilayah lain yang ia pikir mampu mengukuhkan kekuasaannya yang absolut di tanah Jawa. Politik invasi Sultan Agung dilakukan dengan cara mempersiapkan sejak dini pasukan-pasukan yang berasal dari rakyatnya sendiri, dengan cara memilihkan diantara mereka wakil-wakil dari tiap daerah yang memiliki wewenang sesuai dengan seberapa besar daerah atau seberapa banyak anggota kepala keluarga yang dinaunginya. Selain itu, kesatuan politik Sultan Agung mungkin diakibatkan oleh hanya Mataram yang berhak mengelola daerah-daerah bawahannya, sehingga tidak ada wilayah bawahannya yang berkhianat sebab kekuasaan Mataram tersebar di setiap daerah-daerah yang berada dalam kekuasaannya.

3. Ada tiga dampak yang terjadi akibat peristiwa invasi Sultan Agung ke Tuban, yaitu dampak di bidang sosial-politik, bidang sosial-ekonomi, dan sosial-budaya. Dampak di bidang sosial-politik yang dialami oleh

Tuban, diantaranya Tuban tidak lagi berhak mengelola

pemerintahannya sendiri, karena sejak itu penguasa-penguasa Tuban dipilih secara langsung oleh Mataram. Di sisi lain, Mataram memiliki tambahan kekuatan yang berasal dari Tuban yang berkuasa di wilayah


(2)

70

pesisir. Sedangkan dampak di bidang sosial-ekonomi bagi Tuban, diantaranya perekonomian Tuban mati yang berakibat juga pada semakin melemahnya perekonomian Surabaya sebagai penguasa koalisi pesisir di Bang Wetan. Di sisi lain, perekonomian Mataram semakin berkembang karena ekonomi Mataram sejak saat itu tidak hanya tergantung pada ekonomi agraris, tetapi juga berasal dari pelayaran dan perdagangan. Dampak sosial-budaya yang terjadi di Tuban adalah akulturasi budaya Islam Kejawen yang populer pada masa Sultan Agung juga berpengaruh di Tuban.

B. Saran

Sejarah dapat memberikan gambaran mengenai perjuangan para pemimpin terdahulu untuk mencapai kejayaan dan kemakmuran pada masanya. Beberapa sifat kepemimpinan para penguasa terdahulu bisa dijadikan contoh untuk generasi masa mendatang, sehingga mampu menjadi generasi penerus yang memiliki karakter pemimpin. Di sisi lain, mengingat kekurangan-kekurangan yang ada di dalam skripsi ini, penulis akan memberikan beberapa saran, antara lain:

1. Penulis berharap adanya pihak yang meneruskan penelitian yang membahas tentang invasi Mataram ke Tuban, sehingga mampu menemukan dampak-dampak lain yang terjadi di Tuban akibat dari peristiwa tersebut.


(3)

71

2. Saran bagi pembaca. Kebijakan dan ketegasan Sultan Agung sebagai pemimpin patut dijadikan contoh dalam kehidupan. Perjuangannya dalam usaha menyatukan kekuasaan politik di Pulau Jawa, patut dijadikan teladan untuk selalu bersatu dalam ke-bhinekaan pada masa sekarang.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. M. Sadirman. Memahami Sejarah. Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2004. Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,

2007.

Abimanyu, Soedjipto. Kitab Terlengkap Sejarah Mataram. Yogyakarta: Saufa, 2015.

Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta. Babad Sultan Agung. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980.

. Pararaton. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980.

Edi Sedyawati et.al. Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992.

Graaf, De. Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senopati. Jakarta: PT Pustaka Garfiti Press, 1987.

. Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV

dan XVI. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2001.

. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta:

PT Pustaka Utama Grafiti, 2002.

Harun, Yahya. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII. Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995.

J. Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002.

Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Kresna, Ardian. Sejarah Panjang Mataram: Menengok Berdirinya Kesultanan

Yogyakarta. Yogyakarta: Diva Press, 2011.

Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya Bagian III. Penj. Winarsih Partaningrat Arifin et.al. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.


(5)

M. C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Terj. Satrio Wahono et.al. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007.

Mukarrom, Ahwan. Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia. Surabaya: Jauhar, 2010. Muljana, Slamet. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit.

Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2012.

, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti Sedayu Press, 1983.

, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya

Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2009.

Notosusanto, Nugroho. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: Yayasan Idayu, 1978.

P. K. Hugiono. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Pires, Tom. Suma Oriental. Terj. Anggita Pramesti dan Adrian Perkasa. Yogyakarta: Ombak, 2016.

Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman

Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Cetakan

ke-4. Jakarta: Balai Pustaka, 2010.

Raffles, Thomas Stamford. The History of Java. Terj. Eko Prasetyaningrum et.al. Yogyakarta: Narasi, 2014.

Reid, Anthony. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.

Roelofsz, Meilink. Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di Nusantara. Terj. Aditya Pratama. Yogyakarta: Ombak, 2016.

Soeparmo, R. Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban. Tuban: Pemerintah Kabupaten Tuban, 1983.

Swie, Tan Khoen. Serat Babad Thuban. Kediri:Tan Khoen Swie, 1936.

Syaodih Sukmadinata, Nana. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar


(6)

Tim Penyusun. Tuban Bumi Wali: The Spirit of Harmony. Tuban: Pemerintah Kabupaten Tuban, 2015.

Vlekke, Bernard H. M. Nusantara Sejarah Indonesia. Terj. Samsudin Berlian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.

W. L. Olthof. Babad Tanah Jawi. Terj. H. R. Sumarsono. Yogyakarta: Narasi, 2011.

Laporan Penelitian

Nurhadi. Perang dan Krisis Pangan pada Masa Mataram Islam. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1991.

Skripsi dan Jurnal

Mufidah, Laila. Ambisi Mataram Islam untuk Menguasai Blambangan: Masa

Sultan Agung dan Amangkurat I Abad ke-17. Skripsi, UIN Sunan Ampel

Fakultas Adab, Surabaya, 2016.

Samuel Hartono et. al. Alun-alun dan Revitalisasi Identitas Kota Tuban. Jurnal, Universitas Kristen Petra, Surabaya, 2005.

Website

Saptono, “Teori Hegemoni Sebuah Teori Kebudayaan Kontemporer”, dalam

repo.isi-dps.ac.id/.../Teori_Hegemoni_Sebuah_Teori_Kebudayaan_Kontemporer.p df (31 Mei 2017)