Index of /ProdukHukum/kehutanan

(1)

Oleh : Hendi Suhaendi2)

ABSTRAK

Di Indonesia, Pinus yang tumbuh secara alami hanyalah Pinus merkusii dan terdapat di tiga tempat Sumatera yaitu Kerinci, Tapanuli, dan Aceh, dan oleh Lamb dan Cooling (1967) dinamakan strain, sedangkan Cooling (1968) menyebutnya sebagai provenansi, dan Armizon et al. (1995) menamakannya sebagai galur. P.

merkusii strain Kerinci secara alami dapat dijumpai di wilayah kerja Taman

Nasional Kerinci Seblat (TNKS), khususnya pada dataran tinggi di Bukit Tapan, Pungut Mudik, Pungut Ilir, Pungut Tengah, Gunung Tebakar, dan tempat tumbuh alami lainnya yang belum diketahui secara pasti, dan jumlah individu pohon dalam populasinya sangat sedikit. Dalam bentuk hutan tanaman, strain Kerinci hampir belum pernah dibuat, baik oleh masyarakat/rakyat maupun instansi kehutanan, dan kondisi hutannya nampak sudah terancam keberadaannya karena permudaannya praktis sangat sedikit ditemukan. Tindakan konservasi, baik in-situ maupun ex-situ sangat diperlukan dan sifatnya mendesak.

Kata kunci : Pinus merkusii strain Kerinci, permudaan alam, permudaan buatan, konservasi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Di Indonesia, Pinus yang tumbuh secara alami hanyalah Pinus merkusii Jungh et De Vriese di tiga tempat Sumatera, yaitu di Aceh, Tapanuli, dan Kerinci, dan oleh Lamb dan Cooling (1967) dinamakan "strain"; sedangkan Cooling (1968) menyebutnya sebagai "provenansi". Untuk strain Kerinci, Armizon et al. (1995) menyebutnya sebagai "galur" Kerinci.

P. merkusii strain Kerinci secara alami dapat dijumpai di wilayah kerja Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan luas 1.375.934 hektar, yang memanjang hampir 350 km dengan lebar sekitar 50 km dari barat laut ke tenggara meliputi empat provinsi, yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan (Kompas, 9 September 2005). Sebaran alam yang "sangat sedikit" didapatkan untuk strain Kerinci, sedangkan sebaran alam yang "sedikit" diperoleh untuk strain Tapanuli dan sebaran alam yang "paling luas dan banyak" ditemukan untuk strain Aceh.

Dalam bentuk hutan tanaman, strain Kerinci hampir belum pernah dibuat, baik oleh masyarakat/rakyat maupun instansi Kehutanan. Untuk strain Tapanuli, hutan tanaman dalam skala kecil pernah dibuat oleh masyarakat di Kecamatan Pangaribuan dan Kecamatan Sipahutar (keduanya masuk dalam Kabupaten Tapanuli Utara) dengan menggunakan bibit/anakan alam yang diambil secara cabutan, dan sekarang hampir habis karena pengusahaan oleh rakyat dialihkan

1 Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006.

2


(2)

100

menjadi tanaman kopi (Suhaendi, 2005). Dalam bentuk hutan tanaman, strain Aceh terdapat paling luas dan banyak, serta sudah ditanam berbagai pihak, baik swasta maupun pemerintah hampir di seluruh Indonesia.

Melihat kondisi hutan tanaman P. merkusii strain Kerinci, nampak sudah

terancam keberadaannya karena permudaannya praktis sangat sedikit ditemukan. Oleh karena itu, konservasi P. merkusii strain Kerinci sangat diperlukan dan sifatnya mendesak, dengan mengkaji permudaannya sebagai langkah awal melakukan konservasi di luar tempat tumbuh alaminya atau konservasi ex-situ.

B. Tujuan dan Sasaran

Kajian ini bertujuan untuk menyediakan paket teknologi konservasi jenis P. merkusii strain Kerinci. Sasaran kajian ini adalah menilai status permudaan sebagai langkah awal konservasi jenis P. merkusii strain Kerinci berikut aspek-aspeknya yang terkait.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Daerah Persebaran

P. merkusii merupakan satu-satunya jenis konifer di daerah tropika yang daerah persebarannya luas di Asia Tenggara, dari 95º30'-121º30' Bujur Timur dan 22º Lintang Utara hingga 2º Lintang Selatan, meliputi Myanmar, Thailand, Kam-boja, Laos, Vietnam, Kepulauan Hainan, Pulau Mindoro dan Luzon di Filipina, serta Sumatera di Indonesia (Cooling, 1968).

Di Sumatera, populasi P. merkusii tumbuh secara alami pada tiga tempat yaitu Aceh, Tapanuli, dan Kerinci. Populasi ini oleh Lamb dan Cooling (1967) dinamakan "strain"', sedangkan Cooling (1968) menyebutnya "provenansi" dan Armizon et al. (1995) menamakannya "galur". Daerah persebaran alami strain Kerinci adalah "sangat sedikit", sedangkan daerah persebaran alami strain Tapanuli adalah "sedikit" dan daerah persebaran alami strain Aceh adalah "paling luas dan banyak".

Dalam bentuk tanaman, P. merkusii strain Kerinci hampir belum pernah dibuat, baik oleh instansi kehutanan maupun rakyat. Taman Nasional Kerinci Seblat

(TNKS) pernah membuat tanaman strain Kerinci dalam rangka program Gerakan

Reboisasi Lahan (Gerhan) dengan menggunakan 2.000 anakan alam yang diambil secara cabutan di Bukit Tapan, Kecamatan Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, tapi hampir semua tanaman tersebut mati (Dawliwanto, komunikasi pribadi). Untuk

strain Tapanuli, pernah dibuat oleh rakyat dengan menggunakan anakan alam

yang diambil secara cabutan di Kecamatan Pangaribuan dan Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara, tapi sekarang masyarakat/ rakyat mengubah

pemanfaatan strain Tapanuli menjadi pertanaman kopi (Suhaendi, 2005). Untuk

strain Aceh, hutan tanaman telah dibuat di hampir seluruh provinsi di Indonesia karena persebarannya paling luas dan benihnya sangat banyak dan mudah diperoleh.

P. merkusii strain Kerinci diketemukan oleh Cordes (1867) dengan nama daerah "sigi" pada ketinggian 11.000 feet di atas permukaan laut (dpl.), dan paling

rendah 3.000-4.000 feet dpl. Pada nama-nama daerah saat pengkajian diadakan

pada bulan Agustus 2005 adalah "kayu kasigi" di Kecamatan Air Hangat Timur yang terdiri dari Desa Pungut Mudik, Desa Pungut Ilir, dan Desa Pungut Tengah;


(3)

101

dan "kayu sigi" di Bukit Tapan, Koto Limau Sering, Kecamatan Sungai Penuh; yang semuanya termasuk dalam Kabupaten Kerinci.

Lamb dan Cooling (1967) serta Cooling (1968) menyatakan bahwa strain Kerinci diketemukan pada ketinggian 1.500-2.000 m dpl. Letak tempat tumbuh alami kurang diketahui secara jelas, tapi Radja (1971) dapat menemukannya di

Gunung Tebakar Pungut (2.197 m dpl.), Gunung Patah Bukit Sangko (2.206 m

dpl.), Bukit Kulit Manis, dan Bukit Sigi. Selanjutnya, Armizon et al. (1995) menyatakan bahwa strain Kerinci juga ditemukan pada ketinggian 1.010 m sampai 1.492 m dpl. di hutan hujan pengunungan Cagar Alam Bukit Tapan, kawasan TNKS.

B. Sifat-sifat Fenotipa

Perbedaan sifat-sifat fenotipa antara strain Tapanuli dan strain Aceh berupa bentuk batang, daun, sistem percabangan, ruas batang, kulit batang, kandungan

getah, produksi getah, pembijian, dan kepekaan terhadap serangan Millionia

basalis telah dikaji oleh Van de Veer dan Goves (1953) serta Soerianegara dan Djamhuri (1979).

Menurut Cordes (1867), sifat-sifat morfologi P. merkusii strain Kerinci adalah: berbatang lurus, percabangan sangat tinggi, daun jarum sebanyak dua buah (hampir sama dengan jenis Pinus sylvestris), daun licin dan bagian dalamnya agak cekung dan kasar.

Armizon et al. (1995) mendapatkan perbedaan sifat-sifat morfologi antara

strain Kerinci dengan strain Aceh. Dibandingkan dengan strain Aceh, sifat-sifat strain Kerinci adalah : bentuk batang umumnya lebih lurus dan lebih silindris, kulit batang umumnya lebih tipis (1 cm) dengan warna lebih terang (putih keabu-abuan) dan alur yang lebih dangkal, sedangkan daunnya relatif lebih jarang, dan diduga kerentanan terhadap kebakaran lebih rentan karena kulitnya yang lebih tipis.

Selanjutnya, Mukhtar dan Santoso (1987) menyebutkan bahwa strain Kerinci

secara morfologis memiliki banyak kesamaan dengan strain Tapanuli. C. Sifat-sifat Genetika

Dengan memperhatikan hubungan linier aditif antara nilai-nilai fenotipa (p), genotipa (g), dan lingkungan (l) di mana p = g + l, karena P. merkusii itu

menyer-buk silang (cross pollinated) maka nilai genotipa yang memberikan kontribusi

kepada nilai fenotipa suatu sifat tertentu adalah heterozigot (heterozygote). Dengan demikian, nilai genotipa dari suatu sifat tertentu juga terdiri dari macam-macam genotipa karena jenis ini menyerbuk bebas (open pollinated).

Keragaman geografis diduga lebih kecil kemungkinan terjadinya di daerah dengan sebaran alami yang sempit dibandingkan dengan sebaran alami yang lebih

luas pada Pinus sylvestris (Wright, 1981), sedangkan pada Pinus clausa

keragaman geografis tersebut ditemukan cukup besar dalam daerah dengan sebaran alami yang sempit (Harahap, 1984).

Dengan menggunakan pendekatan genetika molekuler melalui penanda (marker) isoenzim, Munawar (2002) menunjukkan bahwa keragaman genetik hutan

alam strain Kerinci adalah yang paling kecil dibandingkan keragaman genetik


(4)

102

D. Biologi Pembungaan

Berdasarkan perbedaan dalam strukturnya, pakar botani mengklasifikasikan struktur reproduksi Pinus sebagai strobili dan bukan sebagai bunga. Tapi karena fungsinya sama yaitu untuk menghasilkan tanaman baru maka banyak pula pakar lainnya menggunakan istilah bunga sebagai strobili (Dorman, 1976).

Genus Pinus adalah jenis pohon berumah satu (monocious) yaitu produksi

strobili jantan dan strobili betina terjadi pada satu pohon tetapi letaknya pada

bagian pohon yang terpisah (Dorman, 1976). Pada satu dahan dan ranting P.

merkusii, strobili jantan terbentuk pada bagian yang lebih rendah daripada strobili betina, dan pada umumnya terdapat di bagian tengah dan bawah tajuk; sedang-kan strobili betina terbentuk di bagian tajuk yang lebih atas. Pemisahan letak strobili seperti ini cukup efektif untuk mencegah terjadinya silang dalam ( in-breeding) karena tidak mungkin serbuksari dapat muncul di bagian atas tajuk penyerbukan untuk mengadakan penyerbukan sendiri (selfing). Selfing tidak lain adalah bentuk ekstrim dari inbreeding. Sifat-sifat biologi pembungaan P. merkusii telah dikaji oleh Suhaendi (1988 b). Menurut Daranto (1983), pada P. merkusii strobili betina terbentuk lebih dahulu daripada strobili jantan.

Penyerbukan P. merkusii dilakukan oleh angin atau anemogamy. Keadaan ini

akan membantu terjadinya penyerbukan silang (outcrossing) di antara

pohon-pohon yang terpisah beberapa ratus meter jauhnya (Kingmuangkow, 1974).

Pada P. merkusii terdapat adanya dikogami (dichogamy), yaitu produksi

strobili jantan dan strobili betina pada waktu yang berbeda dari pohon yang sama, di mana strobili betina diproduksi lebih dahulu daripada strobili jantan. Ini juga ber-arti adanya gejala ketidaksesuaian diri secara genetik (genetic selfincompatibility), yang merupakan mekanisme efektif untuk mencegah terjadinya selfing/inbreeding karena terjadinya protogini (protogyny) yaitu strobili betina telah reseptif (matang) sebelum strobili jantan siap menumpahkan serbuksarinya.

P. merkusii adalah jenis pohon yang menyerbuk silang (outcrossing), sehingga kemungkinan terjadinya penyerbukan sendiri (selfing) adalah minimum. Ini berati pohon-pohon P. merkusii bukan merupakan inbreed karena genotipanya hetero-zigot, dan tentunya berasal dari induk-induk yang tidak berkerabat dalam populasinya.

E. Konservasi dan Keragaman Genetik

Konservasi genetik dapat dilakukan secara in-situ dan ex-situ. Sasrosumarto

dan Suhaendi (1985) memberi batasan bahwa konservasi in-situ adalah

pelestarian kelompok plasma nutfah yang terdapat dalam suatu tempat tumbuh alami; sedangkan Sukotjo (1993) memberi batasan sebagai konservasi dari ekosistem. Konservasi ex-situ diberi batasan sebagai pelestarian plasma nutfah di luar daerah sebaran alamnya (Sasrosumarto dan Suhaendi, 1985); sedangkan Sukotjo (1993) memberi batasan sebagai konservasi dari komponen-komponen keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya.

Antara konservasi genetik in-situ dan ex-situ harus saling melengkapi, tapi karena terbatasnya dana dan persepsi yang dimiliki oleh otorita yang menangani masing-masing jenis konservasi tersebut menyebabkan porsi perhatian dari kedua jenis konservasi tersebut dirasa kurang memadai (Sukotjo, 1993).


(5)

103

Konservasi genetik in-situ yang paling umum adalah cagar alam dan taman

nasional. Berdasarkan pengamatan di hutan pengunungan Cagar Alam Bukit

Tapan, kawasan TNKS, Armizon et al. (1995) menyatakan bahwa eksistensi P.

merkusii strain Kerinci di masa yang akan datang terancam karena sedikit sekali permudaan yang terdapat di kawasan hutan tersebut.

Menurut Munawar (2002), populasi alam strain Kerinci sudah sangat kecil dan terbagi-bagi dalam areal yang sempit. Sebagai akibatnya, angka koefisien inbreeding menjadi tinggi yang menghasilkan keragaman genetik yang sangat rendah, dan menyebabkan terjadinya erosi genetik yang tinggi pada populasi alam ini.

Selanjutnya Munawar (2002) menyatakan bahwa populasi alam strain Kerinci

sudah dalam keadaan yang berbahaya dan mengalami ancaman kepunahan yang serius, sebab populasinya telah terpecah-pecah dalam areal yang sempit (kurang dari satu hektar) dengan jumlah pohon yang hanya sedikit. Tindakan konservasi in-situ dan ex-situ merupakan kegiatan yang sudah mendesak untuk dilaksana-kan, dan merupakan langkah yang efektif untuk mendukung program pemuliaan pohon di masa mendatang.

Suatu tinjauan tentang status konservasi ex-situ telah dikaji oleh Suhaendi et

al. (1993). Selanjutnya, Suhaendi (1997) menjelaskan jenis-jenis konservasi

genetik ex-situ, yaitu:

1. Konservasi genetik dengan benih/bibit.

2. Konservasi genetik melalui metode penyimpanan pada suhu sangat rendah (-80º sampai -196ºC), atau disebut cryopreservasi.

3. Konservasi genetik dengan tepung (serbuk) sari.

4. Konservasi genetik dengan kultur jaringan, termasuk konservasi DNA.

Yang paling banyak dilakukan untuk kepentingan praktis adalah konservasi genetik ex-situ melalui bibit cabutan yang berasal dari hutan alam, baik di Cagar Alam Bukit Tapan maupun kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat.

III. METODOLOGI

A. Deskripsi Obyek Kajian

Ada dua kawasan dalam Taman Nasional Kerinci Seblat yang dijadikan obyek kajian, yaitu Bukit Tapan (Kecamatan Sungai Penuh) dan Pungut Mudik (Kecamatan Air Hangat Timur), Kabupaten Kerinci.

1. Bukit Tapan

Kelompok hutan P. merkusii strain Kerinci di Bukit Tapan terdapat di sepan-jang jalan darat antara Sungai Penuh dan Tapan, terletak antara 101º 1' Bujur Timur dan 2º9' Lintang Selatan. Nama Bukit Tapan dikenal pula dengan nama Koto Limau Sering.

Topografi lapangan berbukit berat dengan kelerengan antara 80% sampai 85%, pada ketinggian 900 m dpl. P. merkusii strain Kerinci secara alami tumbuh pada tanah Podsolik Merah Kuning dan di tanah Podsol, Latosol dan Litosol. Iklim termasuk tipe A dan B dengan curah hujan rata-rata tahunan 1.945-2.027 mm (Cooling, 1968).


(6)

104

Anakan alam strain Kerinci terdapat pada bekas longsoran yang terbuka dan pada tebing-tebing yang bercadas, dengan nama daerah kayu sigi, sedangkan kajian konservasinya diadakan pada Agustus 2005.

2. Pungut Mudik

Kelompok hutan P. merkusii strain Kerinci di Desa Pungut Mudik menurut

masyarakat setempat paling banyak jumlah anakan alamnya, sedangkan di Desa Pungut Ilir dan Desa Pungut Tengah jarang sekali ditemukan.

Desa Pungut Mudik terletak pada 101º26'-101º28' BT dan 1º59'-2º01' LS dengan ketinggian 700 m dpl. Topografi lapangan berbukit agak berat dengan kelerengan 70 % - 75 %, dengan jenis tanah Podsolik Merah Kuning. Curah hujan tahunan rata-rata 1.985 mm dan termasuk tipe iklim B menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson.

Anakan alam tidak terdapat pada tebing-tebing bercadas tapi dapat ditemukan pada tanah terbuka bekas longsoran, dengan nama daerah kayu kasigi. Pada saat kajian ini diadakan pada Agustus 2005, tidak ditemukan adanya anakan alam strain Kerinci tersebut.

B. Metoda Pengumpulan Data

Data primer dikumpulkan langsung di lapangan dan melalui wawancara dengan berbagai instansi kehutanan di Provinsi Jambi dan masyarakat setempat. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi pengumpulan data/informasi, baik yang dipublikasikan maupun tidak dipublikasikan.

Instansi kehutanan dan pemerintah daerah sebagai sumber data primer, adalah:

1. Dinas Kehutanan Provinsi Dati I Jambi, di Jambi.

2. Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci. 3. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) di Jambi (dahulu bernama

Balai Reboisasi Lahan dan Konservasi Tanah atau BRLKT).

4. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Kerinci di Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci.

5. Kecamatan Sungai Penuh dan Kecamatan Air Hangat Timur, Kabupaten Kerinci.

Informasi yang diperlukan:

1. Keberadaan P. merkusii strain Kerinci.

2. Kondisi pohon dan permudaan alam P. merkusii strain Kerinci. 3. Kondisi pohon dan permudaan buatan P. merkusii strain Kerinci. 4. Biologi pembungaan P. merkusii strain Kerinci.

5. Asosiasi pohon P. merkusii strain Kerinci dengan jenis pohon lain. Data sekunder dilakukan melalui studi pustaka, mencakup:

1. Buku teks.

2. Skripsi tingkat Sarjana I, Sarjana II (Magister), dan Disertasi Doktor.

3. Laporan Tahunan.

4. Laporan Intern.

Untuk tingkat anakan, dikumpulkan sebanyak mungkin anakan alam (wildling) yang mempunyai tinggi di bawah satu meter.


(7)

105 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Eksplorasi dan Identifikasi

Salah satu kesempatan yang dalam Kongres Kehutanan Sedunia Kesepuluh yang diadakan di Paris pada tanggal 17-29 September 1991 adalah adanya tiga unsur yang saling terkait satu sama lainnya dalam program perbenihan pohon

hutan yang terintegrasi, yaitu konservasi sumberdaya genetik (gene resource

conservation), pengadaan benih (seed procurement), dan pemuliaan pohon (tree improvement). Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam (P3H&KA) terlibat se-cara penuh dan aktif dalam kegiatan konservasi sumberdaya genetik, yang terdiri dari kegiatan eksplorasi dan identifikasi sumberdaya genetik yang terancam

punah, konservasi in-situ, konservasi ex-situ, dan pemanfaatan sumberdaya

genetik.

Dari hasil wawancara dengan berbagai instansi kehutanan khususnya TNKS dan masyarakat sekitar, strain Kerinci memang terdapat secara alami di kawasan TNKS khususnya di Bukit Tapan dan Pungut Mudik.

Di Cagar Alam (CA) Bukit Tapan dan Pungut Mudik dalam kawasan TNKS, strain Kerinci tumbuh dalam kelompok-kelompok kecil di antara jenis-jenis pohon lainnya, yang berarti pula bahwa strain ini tidak terdapat dalam tegakan murni melainkan tercampur dalam bentuk asosiasi dengan jenis-jenis pohon lainnya.

Keberadaan suatu tegakan pohon ditentukan oleh kondisi permudaannya. Dalam kajian bulan Agustus 2005, di CA Bukit Tapan ditemukan 60 batang anakan alam strain Kerinci sedangkan di Pungut Mudik satu anakan pun tidak ditemukan. Anakan alam ditemukan letaknya jauh dari posisi pohon induknya, dan ini

disebabkan karena penyerbukan genus Pinus dilakukan dengan bantuan angin

(anemogamy). Dalam hal tidak ditemukannya anakan alam strain Kerinci di Pungut Mudik juga disebabkan biji yang jatuh ke lantai hutan sangat jarang karena terbawa angin dan seandainya tumbuh pun tidak lama kemudian mati karena adanya naungan berat sehingga cahaya langsung tidak diperoleh. Dan oleh karena itu, Suhaendi (2005) menyatakan bahwa cagar alam harus dibuka secara terkendali untuk memungkinkan tumbuhnya permudaan alam.

Di samping kegiatan eksplorasi pohon strain Kerinci, juga diperlukan kegiatan identifikasi untuk menentukan keragaman genetiknya. Keragaman genetik strain Tapanuli telah diidentifikasi melalui pendekatan genetika kuantitatif (Suhaendi, 1988a; 2000), sedangkan keragaman genetik strain Kerinci telah diidentifikasi melalui pendekatan genetika molekuler dengan penanda isoenzim (Munawar, 2002).

Menurut Wright (1981), keragaman geografis (provenansi) pada daerah sebar-an alami ysebar-ang sempit adalah kecil. Pendapat ini sejalsebar-an dengsebar-an Munawar (2002) untuk P. merkusii strain Kerinci. Keragaman geografis monoterpen pada genus Pinus dapat dijadikan penanda gen (gene marker) karena komposisinya berbeda sangat besar, baik antar jenis, antar asal benih maupun antar pohon dalam satu asal benih.

Harahap (1989) menyatakan terdapatnya kecenderungan kadar delta -3- carene menaik dari Aceh (strain Aceh 42,8 %) ke Kerinci (strain Kerinci 73,4 %) dan paling kecil di Tapanuli (strain Tapanuli 6,4 %).


(8)

106

Dengan pendekatan genetika molekuler melalui penanda isoenzim, Munawar

(2002) dapat menentukan besarnya keragaman genetik strain Kerinci, strain

Tapanuli, dan strain Aceh dengan hasil sebagai berikut :

1. Keragaman genetik hutan strain Kerinci paling kecil dibandingkan strain

Tapanuli maupun strain Aceh.

2. Populasi strain Kerinci sudah sangat kecil dan terbagi-bagi dalam areal yang sempit sehingga dapat menyebabkan terjadinya erosi genetik yang tinggi. Ini

dapat dipandang sebagai tanda bahwa strain Kerinci sudah berada dalam

bahaya dan mengalami ancaman kepunahan yang serius.

B. Konservasi in-situ

Suatu tinjauan mengenai konservasi genetik in-situ dari sumberdaya hutan di Indonesia telah disusun oleh Suhaendi et al. (1993). Tujuan utama dari pemba-ngunan konservasi genetik in-situ adalah:

1. Mempertahankan habitat asli dari flora dan fauna beserta ekosistemnya. 2. Melindungi tempat tumbuh dan jenis-jenisnya dari setiap kerusakan.

3. Sebagai laboratorium lapangan dan ekosistem alam untuk berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar termasuk keragaman genetiknya.

4. Membantu manajemen hutan tropika berdasarkan prinsip kelestarian.

5. Memanfaatkan sumberdaya alam secara bijaksana dan hati-hati untuk perkembangan kehutanan secara nasional.

Konservasi in-situ umumnya berbentuk cagar alam. Dalam kawasan hutan CA Bukit Tapan vegetasinya memiliki keragaman yang cukup tinggi dan susunan vegetasinya merupakan daerah ekoton, yaitu dari tipe vegetasi hutan tropika pegunungan dengan vegetasi hutan Dipterocarpaceae dataran tinggi. Menurut Mukhtar dan Santoso (1987), beberapa famili yang umum terdapat di kawasan ini adalah Myrtaceae, Lauraceae, Fagaceae, Araucariaceae, dan Hammamelida-ceae. Tiga jenis pohon yang tumbuh secara alam dan dominan adalah P. merkusii strain Kerinci, Agathis alba, dan Altingia excelsa.

Menurut Laumonier (1994), hutan CA Bukit Tapan merupakan vegetasi hutan pegunungan dengan jenis pohon yang umum dijumpai antara lain dari famili Lauraceae, Fagaceae, Myrtaceae, Meliaceae, Pinaceae, Araucariaceae, dan Dipterocarpaceae pada ketinggian 800-1.400 m dpl.

Analisa vegetasi di kompleks hutan Bukit Terbakar (1.292 m dpl), Desa Pungut

Mudik, menunjukkan adanya susunan hutan yang terdiri dari P. merkusii strain

Kerinci dan 35 jenis pohon lainnya yang di antaranya adalah Altingia excelsa, Comonosperma auriculata, Eugenia spp., Dipterocarpus gracilis, dan Shorea platyclados (Radja, 1971).

C. Konservasi ex-situ

Dari empat macam teknologi konservasi genetik ex-situ yang diuraikan

Suhaendi (1997), untuk obyek kajian akan membahas konservasi genetik dengan benih/bibit.

Konservasi genetik ex-situ dengan benih P. merkusi strain Kerinci terkendala

oleh sulitnya mendapatkan benih. Martini dan Semedi dalam Harahap (2000)

melaporkan bahwa produksi benih P. merkusii di dataran tinggi Jawa dapat


(9)

107

bahwa pohon strain Kerinci di Pungut Mudik hanya menghasilkan 2-9 benih per kerucut. Demikian pula produksi buah per pohon untuk strain Kerinci dan strain Tapanuli jauh lebih sedikit dibandingkan dengan strain Aceh asal Jawa.

Kenyataannya di lapangan, populasi alam P. merkusii strain Kerinci di Kerinci-Seblat jumlah individunya sudah sangat sedikit dengan kondisi pembuahan yang tidak bagus. Akibatnya, sudah beberapa tahun diadakan kegiatan eksplorasi benih P. merkusii strain Kerinci oleh Fakultas Kehutanan UGM tetapi hasilnya tidak

pernah memuaskan, sehingga upaya untuk mengadakan konservasi ex-situ selalu

mengalami kesulitan.

Siregar (2000) melaporkan bahwa keragaman genetik populasi alam strain Kerinci dan strain Tapanuli jauh lebih kecil daripada strain Aceh. Juga telah dideteksi bahwa keragaman genetik populasi alam strain Kerinci sudah hilang.

Menurut petugas lapangan di Resort Bukit Tapan TNKS, cara untuk mendapatkan anakan alam strain Kerinci dalam rangka konservasi ex-situ adalah dengan cara membersihkan semua tanaman pengganggu sehingga yang tertinggal hanyalah pohon-pohon besar dan kecil di sekitar pohon induk strain Kerinci pada bulan Juni sampai Juli di mana strobili akan mekar bulan Juli dan strobili akan pecah pada bulan Juli sampai Agustus.

D. Pemanfaatan Sumberdaya Genetik

Dalam Kongres Kehutanan Sedunia Kesepuluh tahun 1991 di Paris telah dinyatakan dengan tegas dan jelas tentang adanya tiga unsur yang saling terkait antara konservasi sumberdaya genetik, pengadaan benih, dan pemuliaan pohon. Konservasi sumberdaya genetik adalah semua kegiatan yang dirancang untuk melindungi dan mempertahankan keragaman genetik untuk dimanfaatkan secara lestari.

Posisi konservasi sumberdaya genetik dengan kegiatan pemuliaan pohon dapat dinyatakan pada Gambar 1.

Gambar1. Posisi konservasi sumberdaya genetik dengan kegiatan pemuliaan pohon

Keragaman genetik P. merkusii strain Kerinci merupakan populasi konserva-si (populasi dasar) yang menjadi bahan baku untuk kegiatan pemuliaan pohon. Dengan demikian, pemuliaan pohon harus selalu meningkatkan keragaman

Populasi Perbanyakan Tinggi

Nilai Genetik

Rendah

Populasi Pemuliaan

Populasi Dasar (Populasi Konservasi)


(10)

108

genetik. Populasi konservasi merupakan sumber bahan baku untuk kegiatan pemuliaan pohon, karena itu jumlah individunya harus banyak dan beragam.

Di pihak lain, nilai genetik populasi konservasi selalu lebih kecil dibandingkan populasi pemuliaan dan akan lebih kecil lagi dalam populasi perbanyakan. Dalam hal populasi pemuliaan (contohnya kebun benih), gen-gen unggul sesuai tujuan pengusahaannya dikonsentrasikan pada sifat atau sifat-sifat tertentu saja. Dengan demikian wajar kalau nilai genetik dalam populasi konservasi jauh lebih rendah daripada populasi pemuliaan. Namun perlu diingat bahwa populasi konservasi itu merupakan bahan baku gen untuk berbagai tujuan pemanfaatan/ pengusahaan, dan juga merupakan bahan baku gen untuk diadakan perbaikan sifat (sifat-sifat) pohon.

Di muka telah dibahas bahwa keragaman genetik P. merkusii strain Kerinci sudah sangat kecil, sehingga perlu diusahakan peningkatan keragaman genetiknya melalui kegiatan infusi genetik. Peningkatan keragaman genetik juga dapat dilakukan melalui hibridisasi terkendali untuk mendapatkan hibrid vigor, dan melalui kegiatan mutasi buatan dengan mutagen tertentu.

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Belum pernah ada kajian yang mampu menentukan jumlah pohon P. merkusii

strain Kerinci di TNKS dalam bentuk cagar alam untuk kepentingan eksplorasi.

2. Permudaan alam strain Kerinci dengan tinggi di bawah satu meter hanya

ditemukan 60 anakan alam, bahkan tidak ditemukan sama sekali di Pungut Mudik.

3. Dalam kawasan TNKS, strain Kerinci jarang sekali ditemukan dalam bentuk

berkelompok karena berasosiasi dengan jenis-jenis kayu daun lebar maupun kayu daun jarum lainnya.

4. Konservasi ex-situ dengan benih strain Kerinci terkendala sulitnya mendapat-kan benih karena produksinya sangat sedikit.

5. Konservasi ex-situ dengan menggunakan bibit cabutan dari alam praktis

hampir belum pernah dilakukan, baik oleh masyarakat/rakyat maupun berbagai instansi kehutanan di Indonesia.

6. Sistem peremajaan strain Kerinci yang paling praktis adalah dengan mengum-pulkan bibit yang berasal dari semai liar (wildling) yang dikumpulkan dari hutan alam.

7. Keragaman genetik strain Kerinci dalam populasi alam adalah sangat kecil

sampai hampir tidak ada.

8. Tiga unsur yang saling terkait dalam suatu program perbenihan pohon yang terintegrasi adalah antara konservasi sumberdaya genetik, pengadaan benih, dan pemuliaan pohon.

9. Populasi hutan alam strain Kerinci merupakan populasi konservasi (populasi dasar) yang merupakan bahan baku untuk kegiatan pemuliaan pohon di masa-masa mendatang.


(11)

109 B. Saran

1. Perlu adanya keputusan dari pengambil kebijakan tentang pentingnya eksplorasi pohon strain Kerinci dan strain Tapanuli dengan metode sensus di seluruh kawasan konservasi di Sumatera.

2. Perlu dilakukan pertemuan formal antar pengambil kebijakan lingkup Departemen Kehutanan tentang wacana perlunya pembukaan tajuk untuk menstimulir pembungaan dan pembijian dalam cagar alam.

3. Untuk meningkatkan keragaman genetik strain Kerinci dan strain Tapanuli per-lu adanya kegiatan infusi genetik dari seluruh populasi alam yang ada, dan di-perluas dengan populasi land race yang sekarang tersebar di berbagai daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1991. Proceedings of the 10th World Forestry Congress, Paris, 17-26 September 1991, Vol. I-VI.

Armizon, C. Sukmana dan S. Manan. 1995. Okurasi Pinus merkusii Junghn et de

Vries Galur Kerinci Berdasarkan Ketinggian Tempat di Hutan Pegunungan Cagar Alam Bukit Tapan, Kawasan Taman Nasional Kerinci-Seblat. Rimba Indonesia 30 (4): 2-9.

Cooling, E.N.G. 1968. Fast Growing Timber Trees of the Lowland Tropics No.4. Pinus merkusii. Department of Forestry, University of Oxford, Common-wealth Forestry Institute, England.

Cordes, J.A.H. 1867. Het Gescaht Pinus in Het Zuidelijk Hatt Rond. Natuurk Tijdschr, Med. Indie 29: 130-135.

Danarto, S. 1983. Studi Fenologi Pembungaan, Pembuahan dan Penyerbukan Terkendali Pinus merkusii Jungh Et De Vriese di Sempolan, Jember. Tesis Sarjana, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.

Dorman, K.W. 1976. The Genetics and Breeding of Southern Pines. Agriculture Handbook No. 471. Forest Service USDA, Washington, D.C.

Harahap, R.M.S. 1984. Geographic Variation in Monoterpene Composition of Pinus clausa. Magister Thesis, University of Florida.

_____. 1989. Variasi Komposisi Monoterpene Pinus merkusii di Suma-tera.

Buletin Penelitian Kehutanan 4(4): 79-86.

_____. 2000. Uji Asal Benih Pinus Merkusii di Sumatera Utara. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Wanagama I, 1-2 Desember 1999, p. 228-232.

Kingmuangkow, S. 1974. Flowering and Seed Formation of Pinus merkusii in

Northern Thailand. Dalam: Ann. Rept. Thai-Danish Pine Project 1969-1974: 49-56, Chiangmai, Thailand.

Lamb, A.F.A. dan E.N.G. Cooling. 1967. Exploration, Utilization and Conservation of Low Altitude Tropical Pine Gene Resources. Department of Forestry, University of Oxford, Commonwealth Forestry Institute, England.

Laumonier, Y. 1994. The Vegetation and Tree Flora of Kerinci Seblat National Park, Sumatera. SEAMEO, BIOTROP. Tropical Biodiversity 2(1). Bogor.

Mukhtar, A.S. dan E. Santoso. 1987. Beberapa Aspek Ekologi Pinus merkusii

Galur Kerinci di Cagar Alam Bukit Tapan, Kerinci, Jambi. Buletin Penelitian Hutan 489. Bogor.


(12)

110

Munawar, A.A. 2002. Studi Keragaman Genetik Tusam (Pinus merkusii Jungh et

De Vriese) di Hutan Alam Tapanuli dan Kerinci dengan Analisis Isozim serta Implementasinya dalam Konservasi. Tesis Program Pasca Sarjana, Univer-sitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Radja, M.M. 1971. Aspek-aspek Silvikultur Hutan Alam Pinus merkusii strain

Kerinci. Tesis Sarjana, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Sasrosumarto, S. dan H. Suhaendi. 1985. Suatu Tinjauan Mengenai Program Pe-muliaan Jati (Tectona grandis L.f.) di Indonesia. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. 26 pp.

Soerianegara, I. dan E. Djamhuri. 1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Siregar, I.Z. 2000. Genetic Aspect of The Reproductive System of Pinus merkusii Jungh et de Vriese in Indonesia. Ph.D Dissertation of Gottingen, Cullier Verlag, Gottingen.

Suhaendi, H. 1988a. Pendugaan Parameter-parameter Genetika-Ekologi dari

Be-berapa Sifat Kuantitatif dalam Hutan Tanaman Pinus merkusii strain

Tapanuli dan strain Aceh. Disertasi Doktor, Fakultas Pasca Sarjana IPB, Bogor. 187 pp.

_____. 1988b. Sifat-sifat Morfologi, Biologi Pembungaan dan Genetika dari Pinus merkusii Jungh et De Vriese. Jurnal Litbang Kehutanan 4(2): 21-25.

_____., T. E. Komar, and Nurhasybi. 1993. In-Situ Conservation of Forest Genetic Resources in Indonesia Co-Reviewer "State-of-the-Art Review", ASEAN-Canada Forest Tree Seed Centre, Thailand. 66 pp.

_____. 1997. Metode-metode Konservasi Genetik : Kelebihan dan Keku-rangannya. Dalam : Prosiding Diskusi Hasil-Hasil Penelitian, 20-21 Maret 1997 : 49-59. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.

_____. 2000. Pola Pewarisan Genetik Sifat-sifat Kayu Pinus merkusii strain

Tapanuli dan strain Aceh. Dalam: Prosiding Diskusi Peningkatan Kualitas Kayu, 24 Februari 2000: 241-260. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.

_____. 2005. Kajian konservasi Pinus merkusii strain Tapanuli di Sumatera. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 2(1): 45-57.

Sukotjo. 1993. Konservasi ex-situ dan in-situ : Manfaat dan Harapan Masa De-pan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ekologi dan Silvikultur pada Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta, 10 Agustus 1993. 26 pp. Thahar, H. Nasrul. 2005. Wisata : Tidak Hanya Satu Jalan Menuju Kabupaten

Kerinci. Kompas, 9 Sptember 2005.

Van de Veer, E.J.A. dan A. Govers. 1953. Reaction of Pinus merkusii on

Defoliation. Comm. No. 38, Forest Research Institute, Bogor.

Wright, J.W. 1981. The Role of Provenance Testing in Tree Improvement. In:

Advances in Forest Genetics. Ed. By P.K.Khosla. Ambika Pub, New Delhi: 103-114.


(1)

105 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Eksplorasi dan Identifikasi

Salah satu kesempatan yang dalam Kongres Kehutanan Sedunia Kesepuluh yang diadakan di Paris pada tanggal 17-29 September 1991 adalah adanya tiga unsur yang saling terkait satu sama lainnya dalam program perbenihan pohon

hutan yang terintegrasi, yaitu konservasi sumberdaya genetik (gene resource

conservation), pengadaan benih (seed procurement), dan pemuliaan pohon (tree improvement). Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam (P3H&KA) terlibat se-cara penuh dan aktif dalam kegiatan konservasi sumberdaya genetik, yang terdiri dari kegiatan eksplorasi dan identifikasi sumberdaya genetik yang terancam

punah, konservasi in-situ, konservasi ex-situ, dan pemanfaatan sumberdaya

genetik.

Dari hasil wawancara dengan berbagai instansi kehutanan khususnya TNKS dan masyarakat sekitar, strain Kerinci memang terdapat secara alami di kawasan TNKS khususnya di Bukit Tapan dan Pungut Mudik.

Di Cagar Alam (CA) Bukit Tapan dan Pungut Mudik dalam kawasan TNKS, strain Kerinci tumbuh dalam kelompok-kelompok kecil di antara jenis-jenis pohon lainnya, yang berarti pula bahwa strain ini tidak terdapat dalam tegakan murni melainkan tercampur dalam bentuk asosiasi dengan jenis-jenis pohon lainnya.

Keberadaan suatu tegakan pohon ditentukan oleh kondisi permudaannya. Dalam kajian bulan Agustus 2005, di CA Bukit Tapan ditemukan 60 batang anakan alam strain Kerinci sedangkan di Pungut Mudik satu anakan pun tidak ditemukan. Anakan alam ditemukan letaknya jauh dari posisi pohon induknya, dan ini

disebabkan karena penyerbukan genus Pinus dilakukan dengan bantuan angin

(anemogamy). Dalam hal tidak ditemukannya anakan alam strain Kerinci di Pungut Mudik juga disebabkan biji yang jatuh ke lantai hutan sangat jarang karena terbawa angin dan seandainya tumbuh pun tidak lama kemudian mati karena adanya naungan berat sehingga cahaya langsung tidak diperoleh. Dan oleh karena itu, Suhaendi (2005) menyatakan bahwa cagar alam harus dibuka secara terkendali untuk memungkinkan tumbuhnya permudaan alam.

Di samping kegiatan eksplorasi pohon strain Kerinci, juga diperlukan kegiatan identifikasi untuk menentukan keragaman genetiknya. Keragaman genetik strain Tapanuli telah diidentifikasi melalui pendekatan genetika kuantitatif (Suhaendi, 1988a; 2000), sedangkan keragaman genetik strain Kerinci telah diidentifikasi melalui pendekatan genetika molekuler dengan penanda isoenzim (Munawar, 2002).

Menurut Wright (1981), keragaman geografis (provenansi) pada daerah sebar-an alami ysebar-ang sempit adalah kecil. Pendapat ini sejalsebar-an dengsebar-an Munawar (2002) untuk P. merkusii strain Kerinci. Keragaman geografis monoterpen pada genus Pinus dapat dijadikan penanda gen (gene marker) karena komposisinya berbeda sangat besar, baik antar jenis, antar asal benih maupun antar pohon dalam satu asal benih.

Harahap (1989) menyatakan terdapatnya kecenderungan kadar delta -3- carene menaik dari Aceh (strain Aceh 42,8 %) ke Kerinci (strain Kerinci 73,4 %) dan paling kecil di Tapanuli (strain Tapanuli 6,4 %).


(2)

106

Dengan pendekatan genetika molekuler melalui penanda isoenzim, Munawar

(2002) dapat menentukan besarnya keragaman genetik strain Kerinci, strain

Tapanuli, dan strain Aceh dengan hasil sebagai berikut :

1. Keragaman genetik hutan strain Kerinci paling kecil dibandingkan strain

Tapanuli maupun strain Aceh.

2. Populasi strain Kerinci sudah sangat kecil dan terbagi-bagi dalam areal yang sempit sehingga dapat menyebabkan terjadinya erosi genetik yang tinggi. Ini

dapat dipandang sebagai tanda bahwa strain Kerinci sudah berada dalam

bahaya dan mengalami ancaman kepunahan yang serius.

B. Konservasi in-situ

Suatu tinjauan mengenai konservasi genetik in-situ dari sumberdaya hutan di Indonesia telah disusun oleh Suhaendi et al. (1993). Tujuan utama dari pemba-ngunan konservasi genetik in-situ adalah:

1. Mempertahankan habitat asli dari flora dan fauna beserta ekosistemnya. 2. Melindungi tempat tumbuh dan jenis-jenisnya dari setiap kerusakan.

3. Sebagai laboratorium lapangan dan ekosistem alam untuk berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar termasuk keragaman genetiknya.

4. Membantu manajemen hutan tropika berdasarkan prinsip kelestarian.

5. Memanfaatkan sumberdaya alam secara bijaksana dan hati-hati untuk perkembangan kehutanan secara nasional.

Konservasi in-situ umumnya berbentuk cagar alam. Dalam kawasan hutan CA Bukit Tapan vegetasinya memiliki keragaman yang cukup tinggi dan susunan vegetasinya merupakan daerah ekoton, yaitu dari tipe vegetasi hutan tropika pegunungan dengan vegetasi hutan Dipterocarpaceae dataran tinggi. Menurut Mukhtar dan Santoso (1987), beberapa famili yang umum terdapat di kawasan ini adalah Myrtaceae, Lauraceae, Fagaceae, Araucariaceae, dan Hammamelida-ceae. Tiga jenis pohon yang tumbuh secara alam dan dominan adalah P. merkusii strain Kerinci, Agathis alba, dan Altingia excelsa.

Menurut Laumonier (1994), hutan CA Bukit Tapan merupakan vegetasi hutan pegunungan dengan jenis pohon yang umum dijumpai antara lain dari famili Lauraceae, Fagaceae, Myrtaceae, Meliaceae, Pinaceae, Araucariaceae, dan Dipterocarpaceae pada ketinggian 800-1.400 m dpl.

Analisa vegetasi di kompleks hutan Bukit Terbakar (1.292 m dpl), Desa Pungut

Mudik, menunjukkan adanya susunan hutan yang terdiri dari P. merkusii strain

Kerinci dan 35 jenis pohon lainnya yang di antaranya adalah Altingia excelsa, Comonosperma auriculata, Eugenia spp., Dipterocarpus gracilis, dan Shorea platyclados (Radja, 1971).

C. Konservasi ex-situ

Dari empat macam teknologi konservasi genetik ex-situ yang diuraikan

Suhaendi (1997), untuk obyek kajian akan membahas konservasi genetik dengan benih/bibit.

Konservasi genetik ex-situ dengan benih P. merkusi strain Kerinci terkendala

oleh sulitnya mendapatkan benih. Martini dan Semedi dalam Harahap (2000)

melaporkan bahwa produksi benih P. merkusii di dataran tinggi Jawa dapat


(3)

107

bahwa pohon strain Kerinci di Pungut Mudik hanya menghasilkan 2-9 benih per kerucut. Demikian pula produksi buah per pohon untuk strain Kerinci dan strain Tapanuli jauh lebih sedikit dibandingkan dengan strain Aceh asal Jawa.

Kenyataannya di lapangan, populasi alam P. merkusii strain Kerinci di Kerinci-Seblat jumlah individunya sudah sangat sedikit dengan kondisi pembuahan yang tidak bagus. Akibatnya, sudah beberapa tahun diadakan kegiatan eksplorasi benih P. merkusii strain Kerinci oleh Fakultas Kehutanan UGM tetapi hasilnya tidak

pernah memuaskan, sehingga upaya untuk mengadakan konservasi ex-situ selalu

mengalami kesulitan.

Siregar (2000) melaporkan bahwa keragaman genetik populasi alam strain Kerinci dan strain Tapanuli jauh lebih kecil daripada strain Aceh. Juga telah dideteksi bahwa keragaman genetik populasi alam strain Kerinci sudah hilang.

Menurut petugas lapangan di Resort Bukit Tapan TNKS, cara untuk mendapatkan anakan alam strain Kerinci dalam rangka konservasi ex-situ adalah dengan cara membersihkan semua tanaman pengganggu sehingga yang tertinggal hanyalah pohon-pohon besar dan kecil di sekitar pohon induk strain Kerinci pada bulan Juni sampai Juli di mana strobili akan mekar bulan Juli dan strobili akan pecah pada bulan Juli sampai Agustus.

D. Pemanfaatan Sumberdaya Genetik

Dalam Kongres Kehutanan Sedunia Kesepuluh tahun 1991 di Paris telah dinyatakan dengan tegas dan jelas tentang adanya tiga unsur yang saling terkait antara konservasi sumberdaya genetik, pengadaan benih, dan pemuliaan pohon. Konservasi sumberdaya genetik adalah semua kegiatan yang dirancang untuk melindungi dan mempertahankan keragaman genetik untuk dimanfaatkan secara lestari.

Posisi konservasi sumberdaya genetik dengan kegiatan pemuliaan pohon dapat dinyatakan pada Gambar 1.

Gambar1. Posisi konservasi sumberdaya genetik dengan kegiatan pemuliaan pohon

Keragaman genetik P. merkusii strain Kerinci merupakan populasi konserva-si (populasi dasar) yang menjadi bahan baku untuk kegiatan pemuliaan pohon. Dengan demikian, pemuliaan pohon harus selalu meningkatkan keragaman

Populasi Perbanyakan Tinggi

Nilai Genetik

Rendah

Populasi Pemuliaan

Populasi Dasar (Populasi Konservasi)


(4)

108

genetik. Populasi konservasi merupakan sumber bahan baku untuk kegiatan pemuliaan pohon, karena itu jumlah individunya harus banyak dan beragam.

Di pihak lain, nilai genetik populasi konservasi selalu lebih kecil dibandingkan populasi pemuliaan dan akan lebih kecil lagi dalam populasi perbanyakan. Dalam hal populasi pemuliaan (contohnya kebun benih), gen-gen unggul sesuai tujuan pengusahaannya dikonsentrasikan pada sifat atau sifat-sifat tertentu saja. Dengan demikian wajar kalau nilai genetik dalam populasi konservasi jauh lebih rendah daripada populasi pemuliaan. Namun perlu diingat bahwa populasi konservasi itu merupakan bahan baku gen untuk berbagai tujuan pemanfaatan/ pengusahaan, dan juga merupakan bahan baku gen untuk diadakan perbaikan sifat (sifat-sifat) pohon.

Di muka telah dibahas bahwa keragaman genetik P. merkusii strain Kerinci sudah sangat kecil, sehingga perlu diusahakan peningkatan keragaman genetiknya melalui kegiatan infusi genetik. Peningkatan keragaman genetik juga dapat dilakukan melalui hibridisasi terkendali untuk mendapatkan hibrid vigor, dan melalui kegiatan mutasi buatan dengan mutagen tertentu.

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Belum pernah ada kajian yang mampu menentukan jumlah pohon P. merkusii

strain Kerinci di TNKS dalam bentuk cagar alam untuk kepentingan eksplorasi.

2. Permudaan alam strain Kerinci dengan tinggi di bawah satu meter hanya

ditemukan 60 anakan alam, bahkan tidak ditemukan sama sekali di Pungut Mudik.

3. Dalam kawasan TNKS, strain Kerinci jarang sekali ditemukan dalam bentuk

berkelompok karena berasosiasi dengan jenis-jenis kayu daun lebar maupun kayu daun jarum lainnya.

4. Konservasi ex-situ dengan benih strain Kerinci terkendala sulitnya mendapat-kan benih karena produksinya sangat sedikit.

5. Konservasi ex-situ dengan menggunakan bibit cabutan dari alam praktis

hampir belum pernah dilakukan, baik oleh masyarakat/rakyat maupun berbagai instansi kehutanan di Indonesia.

6. Sistem peremajaan strain Kerinci yang paling praktis adalah dengan mengum-pulkan bibit yang berasal dari semai liar (wildling) yang dikumpulkan dari hutan alam.

7. Keragaman genetik strain Kerinci dalam populasi alam adalah sangat kecil

sampai hampir tidak ada.

8. Tiga unsur yang saling terkait dalam suatu program perbenihan pohon yang terintegrasi adalah antara konservasi sumberdaya genetik, pengadaan benih, dan pemuliaan pohon.

9. Populasi hutan alam strain Kerinci merupakan populasi konservasi (populasi dasar) yang merupakan bahan baku untuk kegiatan pemuliaan pohon di masa-masa mendatang.


(5)

109 B. Saran

1. Perlu adanya keputusan dari pengambil kebijakan tentang pentingnya eksplorasi pohon strain Kerinci dan strain Tapanuli dengan metode sensus di seluruh kawasan konservasi di Sumatera.

2. Perlu dilakukan pertemuan formal antar pengambil kebijakan lingkup Departemen Kehutanan tentang wacana perlunya pembukaan tajuk untuk menstimulir pembungaan dan pembijian dalam cagar alam.

3. Untuk meningkatkan keragaman genetik strain Kerinci dan strain Tapanuli per-lu adanya kegiatan infusi genetik dari seluruh populasi alam yang ada, dan di-perluas dengan populasi land race yang sekarang tersebar di berbagai daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1991. Proceedings of the 10th World Forestry Congress, Paris, 17-26 September 1991, Vol. I-VI.

Armizon, C. Sukmana dan S. Manan. 1995. Okurasi Pinus merkusii Junghn et de

Vries Galur Kerinci Berdasarkan Ketinggian Tempat di Hutan Pegunungan Cagar Alam Bukit Tapan, Kawasan Taman Nasional Kerinci-Seblat. Rimba Indonesia 30 (4): 2-9.

Cooling, E.N.G. 1968. Fast Growing Timber Trees of the Lowland Tropics No.4. Pinus merkusii. Department of Forestry, University of Oxford, Common-wealth Forestry Institute, England.

Cordes, J.A.H. 1867. Het Gescaht Pinus in Het Zuidelijk Hatt Rond. Natuurk Tijdschr, Med. Indie 29: 130-135.

Danarto, S. 1983. Studi Fenologi Pembungaan, Pembuahan dan Penyerbukan Terkendali Pinus merkusii Jungh Et De Vriese di Sempolan, Jember. Tesis Sarjana, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.

Dorman, K.W. 1976. The Genetics and Breeding of Southern Pines. Agriculture Handbook No. 471. Forest Service USDA, Washington, D.C.

Harahap, R.M.S. 1984. Geographic Variation in Monoterpene Composition of Pinus clausa. Magister Thesis, University of Florida.

_____. 1989. Variasi Komposisi Monoterpene Pinus merkusii di Suma-tera.

Buletin Penelitian Kehutanan 4(4): 79-86.

_____. 2000. Uji Asal Benih Pinus Merkusii di Sumatera Utara. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999. Wanagama I, 1-2 Desember 1999, p. 228-232.

Kingmuangkow, S. 1974. Flowering and Seed Formation of Pinus merkusii in

Northern Thailand. Dalam: Ann. Rept. Thai-Danish Pine Project 1969-1974: 49-56, Chiangmai, Thailand.

Lamb, A.F.A. dan E.N.G. Cooling. 1967. Exploration, Utilization and Conservation of Low Altitude Tropical Pine Gene Resources. Department of Forestry, University of Oxford, Commonwealth Forestry Institute, England.

Laumonier, Y. 1994. The Vegetation and Tree Flora of Kerinci Seblat National Park, Sumatera. SEAMEO, BIOTROP. Tropical Biodiversity 2(1). Bogor.

Mukhtar, A.S. dan E. Santoso. 1987. Beberapa Aspek Ekologi Pinus merkusii

Galur Kerinci di Cagar Alam Bukit Tapan, Kerinci, Jambi. Buletin Penelitian Hutan 489. Bogor.


(6)

110

Munawar, A.A. 2002. Studi Keragaman Genetik Tusam (Pinus merkusii Jungh et

De Vriese) di Hutan Alam Tapanuli dan Kerinci dengan Analisis Isozim serta Implementasinya dalam Konservasi. Tesis Program Pasca Sarjana, Univer-sitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Radja, M.M. 1971. Aspek-aspek Silvikultur Hutan Alam Pinus merkusii strain

Kerinci. Tesis Sarjana, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Sasrosumarto, S. dan H. Suhaendi. 1985. Suatu Tinjauan Mengenai Program Pe-muliaan Jati (Tectona grandis L.f.) di Indonesia. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. 26 pp.

Soerianegara, I. dan E. Djamhuri. 1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Siregar, I.Z. 2000. Genetic Aspect of The Reproductive System of Pinus merkusii Jungh et de Vriese in Indonesia. Ph.D Dissertation of Gottingen, Cullier Verlag, Gottingen.

Suhaendi, H. 1988a. Pendugaan Parameter-parameter Genetika-Ekologi dari

Be-berapa Sifat Kuantitatif dalam Hutan Tanaman Pinus merkusii strain

Tapanuli dan strain Aceh. Disertasi Doktor, Fakultas Pasca Sarjana IPB, Bogor. 187 pp.

_____. 1988b. Sifat-sifat Morfologi, Biologi Pembungaan dan Genetika dari Pinus merkusii Jungh et De Vriese. Jurnal Litbang Kehutanan 4(2): 21-25.

_____., T. E. Komar, and Nurhasybi. 1993. In-Situ Conservation of Forest Genetic Resources in Indonesia Co-Reviewer "State-of-the-Art Review", ASEAN-Canada Forest Tree Seed Centre, Thailand. 66 pp.

_____. 1997. Metode-metode Konservasi Genetik : Kelebihan dan Keku-rangannya. Dalam : Prosiding Diskusi Hasil-Hasil Penelitian, 20-21 Maret 1997 : 49-59. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.

_____. 2000. Pola Pewarisan Genetik Sifat-sifat Kayu Pinus merkusii strain

Tapanuli dan strain Aceh. Dalam: Prosiding Diskusi Peningkatan Kualitas Kayu, 24 Februari 2000: 241-260. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.

_____. 2005. Kajian konservasi Pinus merkusii strain Tapanuli di Sumatera. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 2(1): 45-57.

Sukotjo. 1993. Konservasi ex-situ dan in-situ : Manfaat dan Harapan Masa De-pan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ekologi dan Silvikultur pada Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta, 10 Agustus 1993. 26 pp. Thahar, H. Nasrul. 2005. Wisata : Tidak Hanya Satu Jalan Menuju Kabupaten

Kerinci. Kompas, 9 Sptember 2005.

Van de Veer, E.J.A. dan A. Govers. 1953. Reaction of Pinus merkusii on

Defoliation. Comm. No. 38, Forest Research Institute, Bogor.

Wright, J.W. 1981. The Role of Provenance Testing in Tree Improvement. In:

Advances in Forest Genetics. Ed. By P.K.Khosla. Ambika Pub, New Delhi: 103-114.