122358 306.7 HAN h Hubungan Antara Kesimpulan

(1)

ini juga diajukan saran-saran yang dapat digunakan untuk menyempurnakan hasil penelitian di masa mendatang, agar kekurangan-kekurangan yang terdapat pada penelitian ini dapat dihindari.

5.1. Kesimpulan 5.1.1 Hasil Data Utama

Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

A. Perilaku Hubungan Seksual

1. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor sikap terhadap perilaku hubungan seksual dengan skor dimensi kepercayaan/ideologis pada dewasa muda muslim.

2. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara skor sikap terhadap perilaku hubungan seksual dengan skor dimensi ritual/peribadatan pada dewasa muda muslim. Dalam artian, semakin positif sikap terhadap perilaku hubungan seksual maka semakin rendah perilaku yang dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap agama (contoh: solat, puasa, berdoa, dll). 3. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara skor sikap

terhadap perilaku hubungan seksual dengan skor dimensi pengalaman/eksperensial pada dewasa muda muslim. Dalam artian, semakin positif sikap terhadap perilaku hubungan seksual maka semakin rendah tingkat penghayatan pengalaman religiusnya (contoh: perasaan dekat dengan Allah, takut dosa, dll).

4. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara skor sikap terhadap perilaku hubungan seksual dengan skor dimensi intelektual/pengetahuan pada dewasa muda muslim. Sehingga semakin positif sikap terhadap perilaku hubungan seksual maka


(2)

semakin rendah tingkat pemahaman ajaran agama, serta rendahnya keinginan untuk menambah pemahaman agamanya (contoh: membaca buku agama, mengikuti pengajian, dll).

5. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara skor sikap terhadap perilaku hubungan seksual dengan skor dimensi konsekuensi pada dewasa muda muslim. Sehingga berarti semakin positif sikap terhadap perilaku hubungan seksual, maka semakin rendah perilaku sosial yang mendapat pengaruh dari ajaran agama (contoh: bersikap jujur, berderma, dll).

B. Perilaku Masturbasi

1. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara skor sikap terhadap perilaku masturbasi dengan skor dimensi kepercayaan/ideologis pada dewasa muda muslim. Dalam artian, semakin positif sikap terhadap perilaku masturbasi, maka semakin rendah pandangan teologis serta doktrin-doktrin agamanya (contoh: percaya akan hari kiamat, dll).

2. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor sikap terhadap perilaku masturbasi dengan skor dimensi ritual/peribadatan pada dewasa muda muslim.

3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor sikap sikap terhadap perilaku masturbasi dengan skor dimensi pengalaman/eksperensial pada dewasa muda muslim.

4. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor sikap terhadap perilaku masturbasi dengan skor dimensi intelektual/pengetahuan pada dewasa muda muslim.

5. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor sikap terhadap perilaku masturbasi dengan skor dimensi konsekuensi pada dewasa muda muslim.

C. Perilaku Pornografi

1. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor sikap terhadap perilaku pornografi dengan skor dimensi kepercayaan/ideologis pada dewasa muda muslim.


(3)

terhadap perilaku pornografi dengan skor dimensi pengalaman/eksperensial pada dewasa muda muslim.

4. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor sikap terhadap perilaku pornografi dengan skor dimensi intelektual/pengetahuan pada dewasa muda muslim.

5. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor sikap terhadap perilaku pornografi dengan skor dimensi konsekuensi pada dewasa muda muslim.

D. Perilaku Homoseksual

1. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor sikap terhadap perilaku homoseksual dengan skor dimensi kepercayaan/ideologis pada dewasa muda muslim.

2. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara skor sikap terhadap perilaku homoseksual dengan skor dimensi ritual/peribadatan pada dewasa muda muslim. Sehingga berarti semakin positif sikap terhadap perilaku pornografi, maka semakin rendah perilaku yang dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap agama (contoh: solat, puasa, berdoa, dll).

3. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara skor sikap terhadap perilaku homoseksual dengan skor dimensi pengalaman/eksperensial pada dewasa muda muslim. Dalam arti, semakin positif sikap terhadap perilaku homoseksual maka semakin rendah tingkat penghayatan pengalaman religiusnya (contoh: perasaan dekat dengan Allah, takut dosa, dll).

4. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara skor sikap terhadap perilaku homoseksual dengan skor dimensi intelektual/pengetahuan pada dewasa muda muslim. Sehingga semakin positif sikap terhadap perilaku homoseksual, maka


(4)

semakin rendah tingkat pemahaman ajaran agama, serta rendahnya keinginan untuk menambah pemahaman agamanya (contoh: membaca buku agama, mengikuti pengajian, dll).

5. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara skor sikap terhadap perilaku homoseksual dengan skor dimensi konsekuensi pada dewasa muda muslim. Dalam arti, semakin positif sikap terhadap perilaku homoseksual, maka semakin rendah perilaku sosial yang mendapat pengaruh dari ajaran agama (contoh: bersikap jujur, berderma, dll).

5.1.2 Hasil Data Tambahan

Selain menganalisis dan menginterpretasi data utama, peneliti juga melakukan analisis dan interpretasi pada data kontrol sebagai analisis tambahan. Berikut ini hasil analisis tambahan:

1. Terdapat perbedaan sikap terhadap perilaku masturbasi yang signifikan ditinjau dari jenis kelamin.

2. Terdapat perbedaan sikap terhadap perilaku pornografi yang signifikan ditinjau dari jenis kelamin.

3. Terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi ritual/peribadatan ditinjau dari status perkawinan.

4. Terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi pengalaman/eksperensial ditinjau dari status perkawinan.

5. Terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi pengetahuan/intelektual ditinjau dari status perkawinan.

6. Terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi konsekuensi ditinjau dari status perkawinan.

5.2. Diskusi

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa sikap terhadap perilaku hubungan seksual, masturbasi dan homoseksual memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan dimensi-dimensi religiusitas. Hanya sikap terhadap perilaku pornografi saja yang tidak memiliki hubungan signifikan dengan dimensi-dimensi


(5)

hubungan negatif yang signifikan dengan dimensi ritual/peribadatan, pengalaman/eksperensial, intelektual/pengetahuan, dan konsekuensi. Hal ini berarti semakin positif/terbuka sikap individu terhadap perilaku hubungan seksual, maka individu memiliki sikap yang kurang religius dalam hal ritual peribadatan, penghayatan pengalaman religius, pemahaman mengenai agama Islam, dan dalam perilaku sehari-harinya yang mencerminkan ajaran agama Islam.

Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian, yakni di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Murray, K. M. et al (2007) yang mengatakan semakin religius seseorang maka ia akan semakin menolak terhadap sikap orang lain yang menyetujui hubungan seks bebas. Penelitian lain yang dilakukan oleh Pluhar et al (dalam Beckwith & Morrow, 2005) terhadap mahasiswa menunjukkan bahwa partisipan yang dinilai religius memiliki sikap yang konservatif terhadap perilaku hubungan seksual pranikah. Pengukuran kereligiusan yang digunakan pada kedua penelitian tersebut dengan menghitung frekuensi individu berkunjung ke tempat ibadah, organisasi keagamaan yang diikuti, dan melihat kereligiusitasan yang datangnya dari dalam diri (intrinsic/subjective religiosity). Hal tersebut hampir serupa dengan dimensi-dimensi religiusitas yang digunakan dalam penelitian ini, dimana frekuensi kunjungan ke tempat ibadah dapat dimasukan kedalam dimensi ritual/peribadatan, dan intrinsic/subjective religiosity dapat dikategorikan sebagai penghayatan pengalaman religius, pemahaman ajaran agama, yang kemudian tergambarkan dalam perilaku sehari-hari.

Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap perilaku hubungan seksual dengan dimensi kepercayaan/ideologi. Dalam dimensi kepercayaan/ideologis, individu diharapkan berpegang teguh terhadap pandangan teologis tertentu, peneliti berasumsi tidak adanya hubungan yang signifikan antara perilaku hubungan seksual dengan dimensi kepercayaan/ideologis disebabkan karena perilaku tersebut tidak terdapat dalam doktrin-doktrin teologis yang utama dalam agama Islam. Perilaku


(6)

hubungan seksual mendapat porsi pembahasan yang lebih, dalam kaitannya dengan ajaran agama Islam yang lain,yakni dalam aturan berperilaku dengan sesama manusia.

Pada perilaku masturbasi dinyatakan memiliki hubungan negatif yang signifikan pada dimensi kepercayaan/ideologis, sedangkan pada keempat dimensi lainnya, masturbasi dikatakan tidak memiliki hubungan yang signifikan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Faulkner dan Dejong (dalam Wulff, 2001) yang menyatakan bahwa dimensi kepercayaan/ideologis memiliki korelasi yang cukup tinggi terhadap keempat dimensi lainnya. Menurut peneliti terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan perbedaan hasil penelitian, diantaranya yakni adanya kemungkinan subjek tidak terbuka dalam menanggapi perilaku masturbasi. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Miracle et al., (2003) yang mengatakan seksualitas merupakan topik yang cukup berat (value-laden) untuk dibahas, sehingga memungkinkan munculnya jawaban yang tidak benar-benar sesuai dengan diri subjek. Kemungkinan yang lain, karena perilaku masturbasi sudah dianggap sebagai suatu hal yang normal, sehingga tidak mempengaruhi kereligiusitasan seseorang.

Dalam hasil analisis, perilaku pornografi dikatakan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan dimensi-dimensi religiusitas. Peneliti berasumsi, terdapat beberapa hal yang mungkin mempengaruhi hasil analisis tersebut. Yang pertama, dikarenakan batasan pornografi yang belum jelas, sehingga menyebabkan subjek memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam hal pornografi. Kedua, kemungkinan terjadi ketidakterbukaan dalam pengisian kuesioner, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa topik bahasan mengenai seksualitas merupakan salah satu topik yang cukup berat untuk dibahas, sehingga ada kemungkinan subjek tidak memberikan jawaban yang benar-benar menggambarkan dirinya.

Hasil analisis sikap terhadap perilaku homoseksual menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara perilaku ini dengan dimensi ritual/peribadatan, pengalaman/eksperensial, intelektual/pengetahuan, dan konsekuensi. Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Lefkowitz et al (2004) kepada 220 orang dewasa muda yang menyatakan bahwa


(7)

muda memiliki sikap terhadap perilaku masturbasi yang lebih positif bila dibandingkan perempuan dewasa muda. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Michael et al., (dalam Kelly, 2001) dimana masturbasi dipandang sebagai suatu hal yang positif oleh kaum laki-laki daripada kaum perempuan. Hal ini dapat disebabkan karena laki-laki cenderung lebih sering melakukan masturbasi dari pada perempuan (Oliver dan Hyde dalam Miracle, 2003).

Perbedaan sikap yang signifikan juga ditemukan antara jenis kelamin dengan sikap terhadap pornografi. Lelaki dewasa muda memiliki sikap yang lebih positif bila dibandingkan dengan perempuan dewasa muda. Hal ini dapat disebabkan karena laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dalam penggunaan media yang mengandung unsur pornografi dibandingkan perempuan (Kim & Bailey dalam Kelly, 2001). Kecenderungan atau intensi terhadap suatu hal dinyatakan memiliki hubungan sejalan dengan sikap terhadap hal tersebut (Ajzen, 2005). Sehingga dapat dikatakan ketika individu memiliki intensi yang positif terhadap perilaku pornografi, maka sikapnya terhadap pornografi juga turut positif/terbuka..

Berkaitan dengan dimensi-dimensi religiusitas, ditemukan adanya perbedaan yang signifikan pada dimensi ritual/peribadatan, pengalaman/eksperensial, pengetahuan/intelektual, dan konsekuensi bila dilihat dari status perkawinan. Individu yang telah menikah disebutkan memiliki tingkat religius yang lebih tinggi dari pada individu yang belum menikah dalam dimensi ritual/peribadatan, pengalaman/eksperensial, pengetahuan/intelektual dan konsekuensi. Dalam Blood (1969) dikatakan agama memiliki pengaruh dalam kehidupan setelah perkawinan. Berbagai macam bentuk ritual peribadatan sendiri dinilai dapat meningkatkan keeratan dan kebanggaan dalam keluarga (Bossard & Boll dalam Blood, 1969). Ketika memasuki kehidupan perkawinan, individu lebih sering melakukan ritual-ritual agama, baik ritual ibadah, maupun perayaan


(8)

hari-hari keagamaan, baik karena mendapat undangan dari teman ataupun adanya keinginan untuk melakukan perayaan (Blood, 1969).

Berkaitan antara status perkawinan dengan dimensi pengalaman/eksperensial, pengetahuan/intelektual, dan konsekuensi dapat dijelaskan melalui penelitian yang dilakukan oleh Booth et al., (dalam Larson & Olson, 2006) yang mengatakan adanya hubungan antara aktivitas religius dengan perkawinan. Menurut peneliti, penghayatan pengalaman religius, pemahaman ajaran agama, dan perilaku kehidupan sehari-hari dapat dikategorikan sebagai bentuk aktifitas religius.

Sedangkan pada dimensi keyakinan/ideologis dinyatakan tidak adanya perbedaan yang signifikan dengan status perkawinan, hal ini dapat disebabkan karena pada dimensi keyakinan/ideologis lebih bersifat intrinsik, keyakinan tersebut datang dari diri sendiri yang hanya kecil kemungkinannya mendapat pengaruh dari luar, baik itu yang datangnya dari kehidupan perkawinan (dalam Robertson, 1988).

Dalam hasil data tambahan juga dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan antara dimensi-dimensi religiusitas dengan jenis kelamin. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Freud (dalam Wulff, 2001), Freud mengungkapkan bahwa perempuan, baik yang berusia muda dan tua, selalu menghasilkan skor yang tinggi pada indikator kereligiusan, baik indikator yang mengukur kepercayaan, sikap, pengalaman, dan partisipasi dalam hal keagamaan. Peneliti berasumsi terjadi ketidakterbukaan subjek dalam pengisian kuesioner sehingga hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian lain.

Dalam penelitian ini terdapat beberapa kelemahan antara lain penggunaan metode pengumpulan data berupa kuesioner. Meskipun kuesioner dianggap sebagai cara yang paling efisien dan ekonomis dalam hal pengumpulan data skala besar, namun lebih sulit untuk mendeteksi ketidakjujuran dalam menjawab, kesalahanpemahaman isi kalimat, sikap yang berlebihan, dan kecerobohan dalam pengisian kuesioner (Kelly, 2001). Hal ini juga ditambah dengan topik bahasan yang cenderung menyentuh wilayah pribadi dari subjek, sebagaimana yang diungkapkan oleh Miracle et al., (2003) yang mengatakan seksualitas merupakan topik yang cukup berat (value-laden) untuk dibahas, demikian halnya dengan


(9)

faktor yang dapat mempengaruhi sikap terhadap perilaku seksual (dalam hal ini perilaku hubungan seksual, masturbasi, pornografi dan homoseksual). Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terhadap perilaku seksual yakni: faham filosofis individu tentang kehidupan, pengalaman terkait dengan masalah seksual dan pembelajaran nilai-nilai moral yang didapat dari orang tua, teman sebaya atau masyarakat (Beckwith & Morrow, 2005). Faktor-faktor tersebut tidak diketahui oleh peneliti sebelumnya, sehingga kemungkinan hasil penelitian dipengaruhi oleh hal tersebut.

5.3. Saran

Untuk penelitian selanjutnya, saran metodologis yang dapat disarankan oleh peneliti adalah:

1. Menambah keakuratan hasil penelitian dengan melakukan wawancara langsung kepada beberapa subjek penelitian. Sehingga dapat diketahui dengan lebih pasti mengenai hubungan antara sikap terhadap perilaku hubungan seksual, masturbasi, pornografi, dan homoseksual dengan religiusitas.

2. Namun jika ingin tetap mengunakan metode kuesioner, peneliti merasa perlu memberikan treatment (perlakuan) dalam penyebarannya. Treatment yang dapat dilakukan ialah dengan memberikan kuesioner sikap terhadap perilaku hubungan seksual, masturbasi, pornografi dan homoseksual terlebih dahulu, selang beberapa hari kemudian subjek yang sama diminta untuk mengisi kuesioner religiusitas. Dengan cara tersebut diharapkan response bias dapat terhindari.

3. Menambahkan item pada alat ukur sikap terhadap perilaku hubungan seksual, masturbasi, pornografi, dan homoseksual, hal ini guna memperluas cakupan masing-masing perilaku, sehingga sikap terhadap perilaku-perilaku yang telah disebutkan dapat benar-benar terukur.


(10)

4. Mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi sikap terhadap perilaku seksual dan religiusitas.

5. Dikarenakan tidak ada perbedaan yang khusus, maka dapat digeneralisasikan untuk semua agama. Namun, dengan terlebih dahulu menyesuaikan item-item pada alat ukur religiusitas.

Saran praktis yang dapat diberikan sehubungan dengan sikap terhadap hubungan seksual, masturbasi, pornografi dan homoseksual dengan religiusitas pada dewasa muda:

1. Hasil data utama penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sikap terhadap isu perilaku seksual yang diangkat memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan religiusitas pada kaum dewasa muda. Hasil ini dapat digunakan terapis, konselor, atau para pemerhati perilaku seksual dalam menghadapi masalah yang berkaitan dengan sikap terhadap perilaku seksual dengan lebih memperhatikan latar belakang kehidupan religius seseorang. 2. Dapat dilakukannya tindakan preventif terhadap efek negatif yang ditimbulkan

oleh sikap terhadap perilaku seksual. Efek-efek negatif tersebut antara lain: wanita yang memiliki sikap terlalu negatif terhadap perilaku seksual cenderung tidak memperhatikan kesehatan reproduksinya sendiri, seperti misalnya pemeriksaan payudara sendiri, pemeriksaan rutin ke genekologis; juga dikatakan bahwa orang tua yang memiliki sikap negatif terhadap perilaku seksual cenderung tidak memberikan informasi mengenai isu seksual yang memadai untuk anak-anaknya. Sedangkan sikap yang terlalu positif terhadap perilaku seksual dapat menyebabkan munculnya perilaku seksual beresiko, seperti: tidak menggunakan kondom sewaktu melakukan hubungan seksual, dan kemungkinan tertularnya penyakit seksual, seperti HIV. Melihat efek-efek negatif yang menyertai sikap terhadap perilaku seksual diatas, maka tindakan preventif yang dapat dilakukan ialah dengan memberikan seminar, penyuluhan, atau forum diskusi yang membahas mengenai kesehatan reproduksi dan perilaku seksual dengan berlatar belakangkan agama.


(1)

religiusitas. Sehingga dapat dikatakan sebagian besar perilaku seksual yang diangkat dalam penelitian ini memiliki hubungan dengan dimensi-dimensi religiusitas.

Pada sikap terhadap perilaku hubungan seksual dinyatakan memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan dimensi ritual/peribadatan, pengalaman/eksperensial, intelektual/pengetahuan, dan konsekuensi. Hal ini berarti semakin positif/terbuka sikap individu terhadap perilaku hubungan seksual, maka individu memiliki sikap yang kurang religius dalam hal ritual peribadatan, penghayatan pengalaman religius, pemahaman mengenai agama Islam, dan dalam perilaku sehari-harinya yang mencerminkan ajaran agama Islam.

Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian, yakni di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Murray, K. M. et al (2007) yang mengatakan semakin religius seseorang maka ia akan semakin menolak terhadap sikap orang lain yang menyetujui hubungan seks bebas. Penelitian lain yang dilakukan oleh Pluhar et al (dalam Beckwith & Morrow, 2005) terhadap mahasiswa menunjukkan bahwa partisipan yang dinilai religius memiliki sikap yang konservatif terhadap perilaku hubungan seksual pranikah. Pengukuran kereligiusan yang digunakan pada kedua penelitian tersebut dengan menghitung frekuensi individu berkunjung ke tempat ibadah, organisasi keagamaan yang diikuti, dan melihat kereligiusitasan yang datangnya dari dalam diri (intrinsic/subjective religiosity). Hal tersebut hampir serupa dengan dimensi-dimensi religiusitas yang digunakan dalam penelitian ini, dimana frekuensi kunjungan ke tempat ibadah dapat dimasukan kedalam dimensi ritual/peribadatan, dan intrinsic/subjective religiosity dapat dikategorikan sebagai penghayatan pengalaman religius, pemahaman ajaran agama, yang kemudian tergambarkan dalam perilaku sehari-hari.

Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap perilaku hubungan seksual dengan dimensi kepercayaan/ideologi. Dalam dimensi kepercayaan/ideologis, individu diharapkan berpegang teguh terhadap pandangan teologis tertentu, peneliti berasumsi tidak adanya hubungan yang signifikan antara perilaku hubungan seksual dengan dimensi kepercayaan/ideologis disebabkan karena perilaku tersebut tidak terdapat dalam doktrin-doktrin teologis yang utama dalam agama Islam. Perilaku


(2)

hubungan seksual mendapat porsi pembahasan yang lebih, dalam kaitannya dengan ajaran agama Islam yang lain,yakni dalam aturan berperilaku dengan sesama manusia.

Pada perilaku masturbasi dinyatakan memiliki hubungan negatif yang signifikan pada dimensi kepercayaan/ideologis, sedangkan pada keempat dimensi lainnya, masturbasi dikatakan tidak memiliki hubungan yang signifikan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Faulkner dan Dejong (dalam Wulff, 2001) yang menyatakan bahwa dimensi kepercayaan/ideologis memiliki korelasi yang cukup tinggi terhadap keempat dimensi lainnya. Menurut peneliti terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan perbedaan hasil penelitian, diantaranya yakni adanya kemungkinan subjek tidak terbuka dalam menanggapi perilaku masturbasi. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Miracle et al., (2003) yang mengatakan seksualitas merupakan topik yang cukup berat (value-laden) untuk dibahas, sehingga memungkinkan munculnya jawaban yang tidak benar-benar sesuai dengan diri subjek. Kemungkinan yang lain, karena perilaku masturbasi sudah dianggap sebagai suatu hal yang normal, sehingga tidak mempengaruhi kereligiusitasan seseorang.

Dalam hasil analisis, perilaku pornografi dikatakan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan dimensi-dimensi religiusitas. Peneliti berasumsi, terdapat beberapa hal yang mungkin mempengaruhi hasil analisis tersebut. Yang pertama, dikarenakan batasan pornografi yang belum jelas, sehingga menyebabkan subjek memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam hal pornografi. Kedua, kemungkinan terjadi ketidakterbukaan dalam pengisian kuesioner, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa topik bahasan mengenai seksualitas merupakan salah satu topik yang cukup berat untuk dibahas, sehingga ada kemungkinan subjek tidak memberikan jawaban yang benar-benar menggambarkan dirinya.

Hasil analisis sikap terhadap perilaku homoseksual menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara perilaku ini dengan dimensi ritual/peribadatan, pengalaman/eksperensial, intelektual/pengetahuan, dan konsekuensi. Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh


(3)

individu yang lebih religius memiliki sikap yang lebih konservatif dalam hal perilaku seksual bila dibandingkan dengan individu yang kurang religius.

Pada analisis data tambahan ditemukan adanya perbedaan sikap terhadap perilaku masturbasi yang signifikan jika dilihat dari jenis kelamin. Lelaki dewasa muda memiliki sikap terhadap perilaku masturbasi yang lebih positif bila dibandingkan perempuan dewasa muda. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Michael et al., (dalam Kelly, 2001) dimana masturbasi dipandang sebagai suatu hal yang positif oleh kaum laki-laki daripada kaum perempuan. Hal ini dapat disebabkan karena laki-laki cenderung lebih sering melakukan masturbasi dari pada perempuan (Oliver dan Hyde dalam Miracle, 2003).

Perbedaan sikap yang signifikan juga ditemukan antara jenis kelamin dengan sikap terhadap pornografi. Lelaki dewasa muda memiliki sikap yang lebih positif bila dibandingkan dengan perempuan dewasa muda. Hal ini dapat disebabkan karena laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dalam penggunaan media yang mengandung unsur pornografi dibandingkan perempuan (Kim & Bailey dalam Kelly, 2001). Kecenderungan atau intensi terhadap suatu hal dinyatakan memiliki hubungan sejalan dengan sikap terhadap hal tersebut (Ajzen, 2005). Sehingga dapat dikatakan ketika individu memiliki intensi yang positif terhadap perilaku pornografi, maka sikapnya terhadap pornografi juga turut positif/terbuka..

Berkaitan dengan dimensi-dimensi religiusitas, ditemukan adanya perbedaan yang signifikan pada dimensi ritual/peribadatan, pengalaman/eksperensial, pengetahuan/intelektual, dan konsekuensi bila dilihat dari status perkawinan. Individu yang telah menikah disebutkan memiliki tingkat religius yang lebih tinggi dari pada individu yang belum menikah dalam dimensi ritual/peribadatan, pengalaman/eksperensial, pengetahuan/intelektual dan konsekuensi. Dalam Blood (1969) dikatakan agama memiliki pengaruh dalam kehidupan setelah perkawinan. Berbagai macam bentuk ritual peribadatan sendiri dinilai dapat meningkatkan keeratan dan kebanggaan dalam keluarga (Bossard & Boll dalam Blood, 1969). Ketika memasuki kehidupan perkawinan, individu lebih sering melakukan ritual-ritual agama, baik ritual ibadah, maupun perayaan


(4)

hari-hari keagamaan, baik karena mendapat undangan dari teman ataupun adanya keinginan untuk melakukan perayaan (Blood, 1969).

Berkaitan antara status perkawinan dengan dimensi pengalaman/eksperensial, pengetahuan/intelektual, dan konsekuensi dapat dijelaskan melalui penelitian yang dilakukan oleh Booth et al., (dalam Larson & Olson, 2006) yang mengatakan adanya hubungan antara aktivitas religius dengan perkawinan. Menurut peneliti, penghayatan pengalaman religius, pemahaman ajaran agama, dan perilaku kehidupan sehari-hari dapat dikategorikan sebagai bentuk aktifitas religius.

Sedangkan pada dimensi keyakinan/ideologis dinyatakan tidak adanya perbedaan yang signifikan dengan status perkawinan, hal ini dapat disebabkan karena pada dimensi keyakinan/ideologis lebih bersifat intrinsik, keyakinan tersebut datang dari diri sendiri yang hanya kecil kemungkinannya mendapat pengaruh dari luar, baik itu yang datangnya dari kehidupan perkawinan (dalam Robertson, 1988).

Dalam hasil data tambahan juga dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan antara dimensi-dimensi religiusitas dengan jenis kelamin. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Freud (dalam Wulff, 2001), Freud mengungkapkan bahwa perempuan, baik yang berusia muda dan tua, selalu menghasilkan skor yang tinggi pada indikator kereligiusan, baik indikator yang mengukur kepercayaan, sikap, pengalaman, dan partisipasi dalam hal keagamaan. Peneliti berasumsi terjadi ketidakterbukaan subjek dalam pengisian kuesioner sehingga hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian lain.

Dalam penelitian ini terdapat beberapa kelemahan antara lain penggunaan metode pengumpulan data berupa kuesioner. Meskipun kuesioner dianggap sebagai cara yang paling efisien dan ekonomis dalam hal pengumpulan data skala besar, namun lebih sulit untuk mendeteksi ketidakjujuran dalam menjawab, kesalahanpemahaman isi kalimat, sikap yang berlebihan, dan kecerobohan dalam pengisian kuesioner (Kelly, 2001). Hal ini juga ditambah dengan topik bahasan yang cenderung menyentuh wilayah pribadi dari subjek, sebagaimana yang diungkapkan oleh Miracle et al., (2003) yang mengatakan seksualitas merupakan


(5)

topik religiusitas yang kerap dekat dengan kemungkinan adanya social desirebility (Spilka et al., 2003) sehingga memungkinkan munculnya jawaban yang tidak benar-benar sesuai dengan diri subjek.

Pada saat penelitian selesai dilakukan, peneliti menemukan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi sikap terhadap perilaku seksual (dalam hal ini perilaku hubungan seksual, masturbasi, pornografi dan homoseksual). Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terhadap perilaku seksual yakni: faham filosofis individu tentang kehidupan, pengalaman terkait dengan masalah seksual dan pembelajaran nilai-nilai moral yang didapat dari orang tua, teman sebaya atau masyarakat (Beckwith & Morrow, 2005). Faktor-faktor tersebut tidak diketahui oleh peneliti sebelumnya, sehingga kemungkinan hasil penelitian dipengaruhi oleh hal tersebut.

5.3. Saran

Untuk penelitian selanjutnya, saran metodologis yang dapat disarankan oleh peneliti adalah:

1. Menambah keakuratan hasil penelitian dengan melakukan wawancara langsung kepada beberapa subjek penelitian. Sehingga dapat diketahui dengan lebih pasti mengenai hubungan antara sikap terhadap perilaku hubungan seksual, masturbasi, pornografi, dan homoseksual dengan religiusitas.

2. Namun jika ingin tetap mengunakan metode kuesioner, peneliti merasa perlu memberikan treatment (perlakuan) dalam penyebarannya. Treatment yang dapat dilakukan ialah dengan memberikan kuesioner sikap terhadap perilaku hubungan seksual, masturbasi, pornografi dan homoseksual terlebih dahulu, selang beberapa hari kemudian subjek yang sama diminta untuk mengisi kuesioner religiusitas. Dengan cara tersebut diharapkan response bias dapat terhindari.

3. Menambahkan item pada alat ukur sikap terhadap perilaku hubungan seksual, masturbasi, pornografi, dan homoseksual, hal ini guna memperluas cakupan masing-masing perilaku, sehingga sikap terhadap perilaku-perilaku yang telah disebutkan dapat benar-benar terukur.


(6)

4. Mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi sikap terhadap perilaku seksual dan religiusitas.

5. Dikarenakan tidak ada perbedaan yang khusus, maka dapat digeneralisasikan untuk semua agama. Namun, dengan terlebih dahulu menyesuaikan item-item pada alat ukur religiusitas.

Saran praktis yang dapat diberikan sehubungan dengan sikap terhadap hubungan seksual, masturbasi, pornografi dan homoseksual dengan religiusitas pada dewasa muda:

1. Hasil data utama penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sikap terhadap isu perilaku seksual yang diangkat memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan religiusitas pada kaum dewasa muda. Hasil ini dapat digunakan terapis, konselor, atau para pemerhati perilaku seksual dalam menghadapi masalah yang berkaitan dengan sikap terhadap perilaku seksual dengan lebih memperhatikan latar belakang kehidupan religius seseorang. 2. Dapat dilakukannya tindakan preventif terhadap efek negatif yang ditimbulkan

oleh sikap terhadap perilaku seksual. Efek-efek negatif tersebut antara lain: wanita yang memiliki sikap terlalu negatif terhadap perilaku seksual cenderung tidak memperhatikan kesehatan reproduksinya sendiri, seperti misalnya pemeriksaan payudara sendiri, pemeriksaan rutin ke genekologis; juga dikatakan bahwa orang tua yang memiliki sikap negatif terhadap perilaku seksual cenderung tidak memberikan informasi mengenai isu seksual yang memadai untuk anak-anaknya. Sedangkan sikap yang terlalu positif terhadap perilaku seksual dapat menyebabkan munculnya perilaku seksual beresiko, seperti: tidak menggunakan kondom sewaktu melakukan hubungan seksual, dan kemungkinan tertularnya penyakit seksual, seperti HIV. Melihat efek-efek negatif yang menyertai sikap terhadap perilaku seksual diatas, maka tindakan preventif yang dapat dilakukan ialah dengan memberikan seminar, penyuluhan, atau forum diskusi yang membahas mengenai kesehatan reproduksi dan perilaku seksual dengan berlatar belakangkan agama.