122358 306.7 HAN h Hubungan Antara Literatur

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

Pada Bab Tinjauan Pustaka akan dibahas mengenai berbagai teori yang

berkaitan dengan sikap terhadap hubungan seksual, masturbasi, pornografi dan

homoseksual, serta kereligiusan. Termasuk didalamnya teori mengenai sikap,

perilaku seksual, dan agama.

2.1.

Sikap

2.1.1 Pengertian Sikap

Ketika individu semakin berkembang, cara berfikir, merasakan, dan

bereaksi terhadap hal-hal di sekitarnya terorganisasikan kedalam sebuah sistem,

sistem inilah yang kemudian disebut dengan sikap (attitude) (Krech et al., 1962).

Oleh para pakar, sikap didefinisikan berbeda-beda. Berikut ini merupakan

definisi-definisi sikap yang dikemukakan oleh pakar psikologi. Menurut Allport

(dalam Taylor, 1997:139), sikap adalah ” A mental or neural state of readiness,

organized through experience, exerting a directive or dynamic influence upon the

individual’s response to all objects and situations with which it is related”.

Fazio

dan

Roskos-Ewoldsen

(dalam

Baron

&

Byrne,

2003)

mendefinisikan sikap sebagai “Associations between attitude objects (virtually

any aspects of the social world) and evaluations of those objects”. Sedangkan

dalam Baron dan Byrne (2003), sikap dikatakan sebagai evaluasi terhadap

berbagai aspek dalam kehidupan sosial, yang ditunjukan dengan reaksi kesetujuan

atau ketidak setujuan mengenai suatu masalah, ide, orang lain, kelompok sosial,

dan objek.

Dari definisi-definisi yang telah disebutkan sebelumnya, dapat ditarik

kesimpulkan mengenai pengertian sikap, yakni kesiagaan mental individu

berdasarkan pengalaman untuk mengevaluasi berbagai macam objek, berupa

respon derajat kesetujuan hingga ketidaksetujuan.

2.1.2 Objek Sikap

Seperti yang telah disebutkan diatas, sikap selalu berkaitan erat dengan

objek. Menurut Krech et al., (1962) objek sikap merupakan segala sesuatu yang


(2)

memiliki arti bagi individu. Sehingga dapat dikatakan cakupan dari objek sikap

sangat luas dan dapat berupa berbagai macam hal.

Walaupun demikian, jumlah sikap yang dimiliki seseorang terbatas pada

segala sesuatu yang dikenal dalam dunia psikologisnya, objek sikap yang tidak

berada pada dunia psikologis seseorang tidak akan dikenalinya (Krech et al.,

1962). Hal ini berarti sebuah objek sikap merupakan kondisi penting bagi

seseorang untuk mempunyai sikap.

Objek sikap dalam penelitian ini ialah perilaku hubungan seksual,

masturbasi, pornografi dan homoseksual. Sesuai dengan penjabaran diatas,

perilaku-perilaku seksual yang telah disebutkan tadi dapat dikategorikan sebagai

suatu objek sikap. Perilaku hubungan seksual, masturbasi, pornografi, dan

homoseksual dapat disikapi berbeda oleh tiap individu, disesuaikan dengan dunia

psikologisnya.

2.1.3 Komponen Sikap

Sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu kognitif, afektif, dan konatif.

Berikut penjelasan mengenai ketiga komponen tersebut:

1.

Komponen Kognitif

Terdiri dari pikiran seseorang yang berupa fakta, keyakinan (belief),

pengetahuan mengenai objek sikap (Taylor et al., 1997). Komponen ini

mengandung evaluative belief terhadap kualitas objek sikap sebagai

favoravble atau unfavorable, diinginkan atau tidak diinginkan, baik atau

buruk, dsb. (Ajzen, 2005).

2.

Komponen Afektif

Mengacu pada hubungan antara emosi dan objek sikap (Taylor et al.,

1997). Menurut Ajzen (2005) emosi yang muncul disebabkan oleh

kehadiran nyata atau oleh representasi simbolis dari objek, situasi atau

peristiwa. Objek sikap dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan,

disukai atau tidak disukai.

3.

Komponen Konatif

Mengacu pada kecenderungan perilaku, intensi, komitmen, dan aksi

terhadap objek sikap (Ajzen, 2005). Jika seseorang bersikap favorable


(3)

terhadap suatu objek sikap, maka ia akan cenderung membantu atau

memberikan reward atau dukungan terhadap objek sikap tersebut. Namun,

jika seseorang bersikap unfavorable, ia akan menyakiti, menghukum atau

menghancurkan objek sikap (Baron & Byrne, 2003).

Ketiga komponen yang telah dijabarkan diatas saling terkait erat, hal ini

dapat dilihat ketika dihadapkan pada suatu objek sikap yang sama, maka ketiga

komponen tersebut harus mengarah pada suatu sikap yang sama. Seperti contoh

berikut, individu yang memiliki keyakinan bahwa perilaku hubungan seks

pranikah adalah perbuatan yang haram (aspek kognitif), akan menganggap

perilaku hubungan seks pranikah adalan perbuatan yang salah (aspek afektif),

sehingga ia akan menjauhi atau tidak melakukan perilaku hubungan seks pranikah

(konatif).

2.1.4 Perilaku Seksual (Hubungan Seksual, Masturbasi, Pornografi, dan

Homoseksual)

Menurut Sarwono (2001), perilaku seksual merupakan segala bentuk

tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun

dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat bermacam-macam,

mulai dari berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Sedangkan Duvall dan Miller

(1985) membagi perilaku seksual ke dalam empat tahap yakni touching, kissing,

petting, dan hubungan seksual.

Gagnon dan Simon (dalam Ilhaminingsih, 2004) menjabarkan perilaku

seksual yang berkaitan dengan masalah sosial ke dalam:

1.

Tolerated Sex Variance.

Tolerated sex variance merupakan perilaku seksual yang

jika dilakukan umumnya tidak disetujui namun hanya sedikit

mendapatkan sanksi. Termasuk didalamnya yakni kontak oral-anal

genital pada pasangan heteroseksual,masturbasi dan

premarital-extramarital intercourse.


(4)

2.

Asocial Sex Variance.

Perilaku yang terdapat dalam asocial sex variance tidak

mendapatkan dukungan sosial. Perilaku tersebut meliputi incest,

child molestation, perkosaan, exhibitionism dan voyerism.

3.

Structured Sex Variance.

Dalam structured sex variance, perilaku dipersepsikan

sebagai perilaku yang dapat mengancam tatanan sosial, karena

menyimpang dari norma-norma yang ada di masyarakat.

Perilaku-perilaku tersebut meliputi homoseksualitas, prostitusi dan

pornografi.

Dari sejumlah perilaku seksual yang telah dikemukakan oleh para ahli

diatas, peneliti hanya akan memfokuskan pada beberapa macam perilaku seksual

saja, yakni hubungan seksual, masturbasi, homoseksual, dan pornografi.

Berikutnya akan dijabarkan mengenai perilaku-perilaku seksual yang terdapat

dalam penelitian ini.

Hubungan seksual merupakan suatu kegiatan seksual yang dilakukan

secara berpasangan, tidak hanya berupa penentrasi penis kedalam vagina (vaginal

sexual intercourse) namun juga dapat berupa hubungan oral ataupun hubungan

anal (Kelly, 2001). Dalam penelitian ini akan memfokuskan pada vaginal sexual

intecourse.

Di sebagian besar kebudayaan, perilaku vaginal sexual intercourse

dipengaruhi oleh nilai moral dan sosial. Lingkungan sosial dan agama membuat

peraturan yang ketat mengenai perilaku ini, dengan tujuan untuk membatasi angka

kelahiran dan mencegah orang untuk melakukan tindakan asusila yang dapat

mengarah pada perbuatan dosa (Kelly, 2001). Disejumlah negara, hubungan

seksual erat kaitannya dengan pernikahan, oleh karena itu hubungan seksual yang

dilakukan diluar pernikahan dianggap suatu perbuatan yang terlarang. Institusi

sosial, khususnya institusi agama, sekolah, keluarga dan jaringan sosial lainnya

mendukung adanya pelarangan tersebut (Kelly, 2001).

Di Indonesia sendiri sikap terhadap hubungan seks pranikah masih

mendapat pengaruh yang cukup kuat dari norma-norma yang melarang perilaku


(5)

tersebut (Kolopaking dalam Sarwono 2002), namun pada prakteknya hubungan

seks pranikah tetap saja dilakukan (Sarwono, 2002).

Masturbasi ialah istilah yang diberikan ketika individu melakukan

stimulasi manual pada alat kelaminnya. Sampai beberapa tahun terakhir ini

masturbasi dipandang sebagai perilaku yang secara fisik dan mental dapat

membahayakan dan secara moral merupakan perilaku yang tidak benar dan

berdosa apabila dilakukan (Kelly, 2001). Masturbasi dipercaya mengakibatkan

timbulnya efek negatif pada keadaan fisik dan mental yaitu sterilitas, impoten,

epilepsi dan gangguan kemampuan mengingat. Masturbasi dapat menyebabkan

gangguan fisik dan mental karena berlebihnya stimulasi pada sistem syaraf.

Asumsi yang berkembang tersebut memunculkan keyakinan bahwa masturbasi

merupakan perilaku yang immoral dan tidak sehat (Kay dalam Kelly, 2001).

Namun opini yang berkembang diantara para ahli dibidang kesehatan dan para

psikolog mengatakan bahwa masturbasi merupakan salah satu bentuk ekspresi

seksual yang tidak membahayakan fisik dan psikis (Sanford, 1994 dalam Kelly,

2001).

Berikut ini merupakan fakta-fakta mengenai masturbasi (Kelly, 2001),

diantaranya yakni:

1.

Masturbasi tidak hanya dilakukan oleh remaja atau individu tanpa pasangan.

Banyak inidvidu yang telah menikah—baik laki-laki maupun perempuan—

yang masih melakukan masturbasi. Frekuensi melakukan masturbasi

mengalami puncaknya pada usia 24-50 tahun. Pola perilaku ini ditemukan

pada individu normal yang sehat secara fisik dan psikis.

2.

Masturbasi tidak selalu merupakan pengganti hubungan seksual dengan

pasangan. Masturbasi memang kadang dilakukan sebagai pengganti hubungan

seksual dengan pasangan namun juga dapat merupakan representasi dari

bentuk ekspresi seksual itu sendiri. Individu yang memang telah memiliki

akses untuk melakukan hubungan seksual berpasangan, mengaku tetap sering

melakukan masturbasi.

3.

Masturbasi dapat di dibagi dengan orang lain. Sebagian besar pasangan

cenderung bersikap tertutup mengenai perilaku masturbasinya. Masturbasi

masih dianggap sebagai suatu hal yang harus dijaga kerahasiaannya. Padahal


(6)

dengan membicarakan perilaku masturbasi dengan pasangan, dapat melatih

komunikasi seksual yang nantinya akan mempengaruhi kepuasan seksual itu

sendiri.

4.

Tidak ada batasan dalam frekuensi melakukan masturbasi. Hal ini disebabkan

kepuasan seksual masing-masing individu berbeda-beda. Kuantitas masturbasi

juga tidak menyebabkan gangguan secara fisik.

5.

Masturbasi sama memuaskannya dengan hubungan seksual yang dilakukan

secara berpasangan.

6.

Masturbasi merupakan cara terbaik untuk belajar mengenali perasaan dan

responsivitas seksual.

7.

Masturbasi tidak menyebabkan kelemahan, gangguan mental atau kelemahan

fisik.

8.

Frekuensi masturbasi yang tinggi tidak menyebabkan berkurangnya jumlah

sperma pada laki-laki. Karena secara alami tubuh akan terus memproduksi

sperma mulai dari masa remaja hingga usia lanjut.

9.

Masturbasi tidak mengarahkan individu pada orientasi dan perilaku

homoseksual.

10.

Masturbasi bukanlah suatu perilaku fisik yang utama. Ada mitos yang

mengatakan apabila sperma terlalu lama ditahan maka akan berbahaya untuk

tubuh. Yang sebenarnya terjadi ialah tubuh akan menyesuaikan sperma yang

diproduksi dengan aktivitas seksual yang dilakukan.

Data statistik National Health and Social Life Survey (NHSLS) di

Amerika Serikat, menghasilkan bahwa 60% pria dan 40% wanita yang berada

pada usia 18-59 tahun mengaku pernah melakukan masturbasi dalam kurun waktu

12 bulan, bahkan 25% pria dan 10% wanita mengaku melakukan masturbasi

minimal sekali dalam seminggu (Kelly, 2001). Di Indonesia sendiri, banyak

penelitian yang mengatakan hampir semua pria melakukan masturbasi, sedangkan

sedikitnya 70%-80% wanita juga melakukan masturbasi (Pangkahila, 2005 ).

Homoseksual merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan

ketertarikan secara seksual antar individu yang memiliki jenis kelamin yang sama

(Kelly, 2001). Sebelum tahun 1972, orientasi homoseksual dalam Kedokteran

Jiwa masih digolongkan sebagai ganggua atau kelainan jiwa, akan tetapi sejak


(7)

Asosiasi Psikiater Amerika Serikat dan Organisasi Kesehatan Dunia mencoretnya

dari daftar gangguan dan kelainan jiwa, homoseksual tidak lagi digolongkan

sebagai gangguan atau kelainan jiwa (Sarwono, 2002). Dalam isu homoseksual,

dikenal dua istilah, yakni lesbian dan gay. Lesbian diperuntukkan bagi

homoseksual berjenis kelamin perempuan, sedangkan gay sebutan untuk

homoseksual berjenis kelamin laki-laki.

Sampai saat ini belum ditemukan jawaban yang pasti mengenai

faktor-faktor penyebab individu menjadi seorang homoseksual, ada yang mengatakan

homoseksual merupakan faktor bawaan, seperti penelitian yang dilakukan oleh

Ellis & Ames (dalam Sarwono, 2002) yang menemukan adanya perbedaan

struktur otak antara orang homoseksual dan heteroseksual. Pengaruh lingkungan

atau teman (Masters, Johnson & Kolodny, 1988 dalam Sarwono, 2002 ), orang tua

(Holtzen, Kenny, & Mahalik, 1995 dalam Sarwono, 2002), ekonomi atau budaya

(misalnya, pada para pemain ludruk di Jawa Timur) (Winarno, 1981 dalam

Sarwono, 2002) atau interaksi antara keduanya (Money, 1988 dalam Sarwono,

2002).

Pornografi adalah gambar-gambar, film atau bacaan-bacaan yang dengan

sengaja bertujuan untuk membangkitkan hasrat seksual melalui penggambaran

secara eksplisit aktivitas seksual (Kelly, 2001). Pornografi sering disamakan

dengan kecabulan (obscenity) dan erotika, padahal keduanya memiliki makna

yang berbeda. Kecabulan (obscenity) cenderung bersifat offensive terhadap selera

masyarakat luas dan terhadap nilai-nilai moral. Sedangkan apabila pornografi

dibandingkan dengan erotika, pornografi cenderung memiliki aspek kekerasan,

agresi, ataupun penurunan martabat manusia, sedangkan erotika mencerminkan

keseimbangan antara sikap saling menghargai, afeksi, dan kesenangan (Kelly,

2001). erotika juga mengacu pada ‘sexual materials’ yang dibuat secara artistik

(Rathus, Nevid & Rathus, 1993). Pornografi juga biasanya disebut dengan istilah

‘sexually explicit material’.

Pornografi dapat dijumpai dalam berbagai macam bentuk media, seperti

media cetak dan media elektronik. Pornografi dalam media cetak dapat dijumpai

pada majalah-majalah, tabloid, dan komik, sedangkan dalam media elektronik

dapat dijumpai pada video-video, film, dan situs-situs di dunia maya. Sejumlah


(8)

penelitian mengatakan bahwa film dan video porno (sexually explicit) lebih dapat

menstimulasi gairah seksual apabila dibandingkan dengan gambar yang tidak

bergerak (Davis & Bauserman dalam Kelly, 2001).

Di era globalisasi seperti sekarang ini, pornografi di dunia maya dapat

dengan sangat mudah ditemui. Dalam waktu satu tahun, hampir 10 juta orang

mengunjungi 10 situs cybersex terfavorit (Cooper dalam Kelly, 2001) dan

sebagian besar dari pengunjung situs tersebut berjenis kelamin laki-laki (Kim &

Bailey dalam Kelly, 2001). Laki-laki dan perempuan secara fisiologi akan sama

terangsangnya ketika menyaksikan gambar, film ataupun mendengar kutipan yang

mengandung unsur pornografi (Rathus, Nevid & Rathus, 1993).

Seperti yang telah disebutkan diatas, pornografi bertujuan untuk

menimbulkan atau meningkatkan rangsangan seksual, maka pornografi biasanya

digunakan sebagai media untuk bermasturbasi, dan tak jarang juga digunakan oleh

pasangan untuk meningkatkan rangsangan seksual ketika sedang berhubungan

intim (Rathus, Nevid & Rathus, 1993).

2.1.5 Sikap terhadap Perilaku Seksual (Hubungan Seksual, Masturbasi,

Pornografi dan Homoseksual)

Perilaku hubungan seksual, masturbasi, pornografi, dan homoseksual

merupakan contoh-contoh perilaku seksual. Sehingga dapat dikatakan bahwa

sikap terhadap perilaku seksual merupakan suatu sistem yang terdiri dari

komponen kognitif, afektif dan konatif yang dapat memberikan penilaian terhadap

segala bentuk tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual. Atau dengan kata

lain, sikap terhadap perilaku seksual merupakan kombinasi antara pemahaman,

perasaan dan tingkah laku overt yang menghasilkan reaksi evaluasi

(favorable-unfavorable) terhadap representasi perilaku manusia yang didorong oleh hasrat

seksual.

Sikap positif yang ditunjukkan terhadap perilaku hubungan seksual,

masturbasi, pornografi, dan homoseksual mengartikan adanya sikap terbuka dan

lebih permisif terhadap perilaku-perilaku yang telah disebutkan. Sebaliknya, sikap

negatif yang ditunjukkan terhadap perilaku hubungan seksual, masturbasi,

pornografi mengartikan adanya sikap yang lebih tertutup dan konservatif terhadap


(9)

perilaku-perilaku tersebut. Sedangkan sikap sedang, menunjukkan adanya sikap

yang masih ragu-ragu atau belum menentukan pilihan terhadap perilaku hubungan

seksual, masturbasi, pornografi, dan homoseksual

2.1.6. Pengukuran Sikap terhadap Hubungan Seksual, Masturbasi,

Pornografi dan Homoseksual

Instrumen yang digunakan berisikan pernyataan-pernyataan mengenai

perilaku seksual, terkait dengan isu hubungan seksual, masturbasi, homoseksual

dan pornografi. Pernyataan tersebut disusun berdasarkan pencarian dari berbagai

sumber literatur, informasi, dan kreativitas peneliti. Item-item disusun

berdasarkan ranah kognitif, afektif dan konatif.

Tabel 2.1 Keterangan Alat Ukur Sikap terhadap Perilaku Seksual

Komponen

Indikator Perilaku

Kognitif

Pikiran seseorang yang berupa fakta, keyakinan,

pengetahuan mengenai:

Hubungan seksual

Masturbasi

Homoseksual

Pornografi

Afektif

Hubungan antara emosi dengan:

Hubungan seksual

Masturbasi

Homoseksual

Pornografi

Konatif

Kesiapan tingkah laku yang diasosiasikan dengan sikap

terhadap:

Hubungan seksual

Masturbasi

Homoseksual


(10)

2.2

Agama dan Religiusitas

2.2.1. Pengertian Agama

Agama (religion) didefinisikan berbeda-beda oleh sejumlah pakar. Kata

”religi” berasal dari bahasa latin religio yang merupakan akar kata dari religare—

yang berarti mengikat (dalam Daud Muhammad, 2005). Religion dalam istilah

Eropa diartikan sebagai hubungan yang mengikat antara diri manusia dengan

hal-hal di luar manusia, yaitu Yang Maha Tinggi, Yang Maha Mandiri, Yang Maha

Mutlak ialah Tuhan (Nihayah, 2001). Selain itu, masih banyak definisi yang

diajukan oleh para ahli, antara lain yang dikemukakan oleh James (dalam Spilka

et al., 2003 p.247), ”The feelings, act, and experiences of individual men in their

solitude so far as they apprehend themselves to stand in relation to whatever they

may consider the divine”. Dan menurut Thoules (1992) yang mendefinisikan

agama sebagai sikap atau cara penyesuaian diri terhadap dunia yang mencakup

acuan yang menunjukan lingkungan lebih luas daripada lingkungan dunia fisik

yang terikat ruang dan waktu –the spatio temporal physical word- (yakni dunia

spritual).

Beragamnya definisi agama ini disebabkan karena setiap individu

cenderung memahami agama menurut ajaran agamanya sendiri. Hal tersebut juga

ditambah oleh kenyataan agama yang ada didunia amat beragam. Namun Daud,

Muhammad (2005) mengatakan bahwa ada segi-segi agama yang sama, sehingga

dapat dibuat rumusan umum mengenai definisi agama, yakni agama ialah

kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan

dengan Dia melalui upacara, penyembahan dan permohonan, dan membentuk

sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran agama itu. Definisi inilah

yang dinilai peneliti sesuai dengan penelitian yang akan dilaksanakan.

2.2.2 Pengertian Religiusitas

Mangunwijaya (dalam Nihayah, 2001) membedakan antara istilah agama

(religi) dengan istilah religiusitas. Agama menunjuk pada aspek formal yang

berkaitan dengan aturan dan kewajiban-kewajiban; sedangkan religiusitas

menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu dalam hati. Dalam

Miracle et al., (2003) religiusitas diartikan sebagai kualitas religius, kesalehan


(11)

yang lebih dari biasanya, ditambahkan pula religiusitas ialah kepercayaan yang

kuat serta kehadiran individu di acara-acara keagamaan. Piedmont (dalam

Lefkowitz, 2004) mendefinisikan religiusitas sebagai “Being concerned with how

one’s experience of transcendent being shaped by, and expressed through, a

community or social organization”.

Dari berbagai pengertian yang telah dikemukakan, maka dapat

disimpulkan bahwa religiusitas merupakan penghayatan individu terhadap agama

yang dianutnya. Penghayatan individu tersebut akan berpengaruh terhadap sikap,

perilaku, tindakan dan pandangan hidupnya.

2.2.3 Dimensi-dimensi Religiusitas

Beberapa pakar psikologi dan sosiologi telah mencoba untuk mencari tahu

cara mengukur kereligiusan. Mereka merumuskan dimensi-dimensi yang dapat

dijadikan indikator perilaku religius. Beberapa diantaranya yakni yang

dikemukakan oleh Von Hugel (dalam Wulff, 1997) yang mengidentifikasi tiga

elemen agama, yakni : (1) Tradisional atau historikal, berhubungan dengan

perasaan-perasaan (senses), imaginasi, dan ingatan. Biasanya terbentuk pada masa

kanak-kanak; (2) Rasional atau sistematik, kehadirannya disertai dengan

kemampuan untuk merefleksikan, berargumen, dan mengabstraksi; dan (3) Intuisi

atau volitional, menandakan telah matangnya pengalaman diri (inner experience)

dan perilaku yang ditampakkan (outer action).

Pendekatan yang sama juga digunakan oleh James Pratt (dalam Wulff,

1997), namun Pratt memisahkan dua aspek yang berbeda dari tiga elemen yang

sebelumnya telah dikemukakan oleh Von Hugel. Pratt menyebutnya dengan

empat aspek yang menjadi ciri khas dari agama, yakni tradisional, rasional,

mistikal, dan praktikal atau moral. Von Hugel dan Pratt berpendapat bahwa setiap

elemen atau aspek pada dasarnya saling berhubungan dengan elemen atau aspek

yang lain, walaupun hal ini berlaku hanya pada kasus tertentu.

Elemen yang dikemukakan oleh Von Hugel dan Pratt kemudian

diintegrasikan oleh C.Y Glock dan R. Stark (dalam Wulff, 1997) dengan

menyebutnya sebagai lima dimensi beragama, yakni ideologis, intelektual,

ritualistik, eksperensial, dan konsekuensi. Tiga dimensi pertama merupakan


(12)

penjabaran dari elemen tradisional yang dikemukakan oleh Von Hugel dan Pratt,

sedangkan dua dimensi selanjutnya (eksperensial dan konsekuensi) serupa dengan

elemen praktikal dan mistikal yang diajukan Pratt.

Dimensi-dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh C.Y. Glock dan R.

Stark merupakan variabel multidimensional. Yang berarti bahwa religius di satu

dimensi belum tentu religius di dimensi yang lain. Namun secara empirik telah

dibuktikan bahwa kelima dimensi tersebut memiliki korelasi yang cukup tinggi

satu sama lain (Spilka et al., 2003), seperti misalnya dimensi eksperensial

memiliki korelasi yang cukup tinggi dengan dimensi konsekuensi (Faulker dan

Dejong, 1996; Weigert dan Thomas, 1969 dalam Spilka et al., 2003).

Berikut ini merupakan penjelasan dimensi-dimensi dari C.Y. Glock dan R.

Stark (dalam Robertson, 1988) yakni:

a.

Dimensi Kepercayaan atau Dimensi Ideologis. Dimensi ini

berisikan pengharapan-pengharapan dimana individu yang religius

berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui

kebenaran doktrin-doktrin yang meliputi isi dan cakupan keimanan,

tipe keimanan, tata nilai, serta dalil yang membuat individu setia

terhadap agama. dimensi ini merupakan dimensi yang paling

mendasar dalam isu religiusitas. Contoh: percaya akan adanya sorga,

neraka, malaikat, hari akhir, dll.

b.

Dimensi Praktek Ritual atau Peribadatan. Dimensi ini mencakup

perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan individu

untuk menunjukan komitmen terhadap agama yang dianutnya.

Seperti misalnya shalat, bermeditasi, puasa, berdoa, misa, haji, dll.

c.

Dimensi

Pengalaman

atau

Eksperensial.

Dimensi

ini

menggambarkan tingkat penghayatan dan pengalaman religius

individu,

berkaitan

dengan

perasaan-perasaan,

pengalaman-pengalaman keagamaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang

pernah dirasakan dan dialami. Dalam dimensi ini meliputi bentuk

keadaan mental terdalam dan kondisi emosi individu yang bersifat

subjektif. Seperti misalnya: perasaan dekat dengan tuhan, takut akan


(13)

dosa, terkabulkannya doa-doa, atau merasa mendapat pertolongan

dari Tuhan.

d.

Dimensi Intelektual atau Dimensi Pengetahuan. Pada dimensi ini

menunjukkan tingkat pemahaman individu akan agama yang

dianutnya. Minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan,

ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi. Serta adanya keinginan

untuk menambah pemahamannya dalam hal keagamaan yang

berkaitan dengan agamanya. Contohnya seperti membaca buku

agama, membaca kitab suci, mengikuti pengajian, dll.

e.

Dimensi Konsekuensi. Dimensi ini mengukur perilaku sehari-hari

individu yang mendapat pengaruh dari ajaran-ajaran agamanya.

Melihat sejauh mana individu berperilaku sesuai dengan ajaran

agamanya. Lebih bersifat sosial, yakni berkaitan dengan hubungan

antara individu dengan orang lain. seperti misalnya menjenguk orang

sakit, berderma, bersikap jujur, tidak mencuri dll.

Melihat penjelasan diatas, maka peneliti menganggap dimensi-dimensi

yang dikemukakan oleh C. Y. Glock dan R. Stark lebih lengkap bila dibandingkan

dengan Von Hugel dan Pratt. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan digunakan

klasifikasi dimensi-dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh C. Y. Glock dan

R. Stark untuk menyusun alat ukur.

2.2.4. Pengukuran Religiusitas

Instrumen yang digunakan untuk mengukur religiusitas adalah kuesioner

yang berisikan skala religiusitas. Item-item pada kuesioner ini berdasarkan

teori-teori tentang dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam

Robertson, 1988), yang menyebutkan bahwa dimensi religiusitas terdiri dari

kepercayaan, praktek ritual, pengalaman, intelektual, dan konsekuensi.


(14)

Tabel 2.2 Keterangan Dimensi – dimensi Religiusitas

Dimensi

Indikator Perilaku

Kepercayaan / ideologis

Individu berpegang teguh pada pandangan

teologis tertentu

Individu mengakui kebenaran

doktrin-doktrin agama yang meliputi isi dan

cakupan keimanan

Praktek ritual/ peribadatan

Individu patuh menjalankan kewajiban

beribadah sesuai dengan ajaran agamanya

Pengalaman/ eksperensial

Individu

menghayati

dan

mengalami

pengalaman religius

Intelektual/pengetahuan

Individu memahami ajaran agama yang

dianutnya

Adanya

keinginan

individu

untuk

menambah

pemahaman

dalam

hal

keagamaan

Konsekuensi

Perilaku individu dalam lingkungan sosial

mendapat pengaruh dari ajaran agama yang

dianutnya

2.2.5 Agama Islam

Kata Islam merupakan kata turunan (jadian) yang berarti ketundukan,

ketaatan, kepatuhan (kepada kehendak Allah), yang berasal dari kata salama

artinya patuh atau menerima; berakar dari huruf sin lam mim (s-l-m). Kata

dasarnya adalah salima yang berarti sejahtera, tidak tercela,tidak bercacat (Daud

Muhammad, 2005). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa arti yang

terkandung dalam perkataan

Islam adalah: kedamaian, kesejahteraan,

keselamatan, penyerahan (diri), ketaatan, dan kepatuhan.

2.2.5.1 Sumber Ajaran Agama Islam

Sumber utama ajaran Agama Islam terdiri dari al-Quran dan Al-Hadist,

kemudian akal pikiran manusia (rakyu) sebagai sumber pengembangannya atau


(15)

sumber tambahan. Berikut ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sumber utama

dan sumber tambahan dalam ajaran Agama Islam.

1. Al-Quran

Al-Quran merupakan kitab suci yang memuat firman-firman (wahyu)

Allah yang digunakan sebagai pedoman atau petunjuk umat manusia dalam hidup

dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat

kelak.

Menurut Nasr (dalam Daud Muhammad, 2005) dalam al-Quran memuat

ajaran yang dapat dijadikan petunjuk untuk manusia, diantaranya yakni ajaran

mengenai akhlak atau moral serta hukum yang mengatur kehidupan manusia

sehari-hari.

2. Al-Hadists

Al-Hadist merupakan sumber kedua ajaran Agama Islam. Al-Hadist

merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang al-Quran. Al-Hadist

memiliki peran sebagai penegasan lebih lanjut mengenai ketentuan yang terdapat

dalam al-Quran, penjelasan isi al-Quran, dan menambahkan atau mengembangkan

sesuatu yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di dalam al-Quran (Daud

Muhammad, 2005).

3. Rakyu

Rakyu merupakan hasil proses berpikir manusia yang berkompeten untuk

menghasilkan norma-norma dan seperangkat penilaian mengenai perbuatan

manusia dalam hidup dan kehidupan, baik dalam hidup pribadi maupun di dalam

kehidupan bermasyarakat.

2.2.5.2 Dimensi-dimensi Religiusitas dalam Agama Islam

Berikut ini akan dibahas dimensi-dimensi religiusitas yang disesuaikan

dengan ajaran agama Islam.

1.

Dimensi Kepecayaan atau Ideologis. Dalam ajaran agama Islam dikenal

istilah rukun iman, yang merupakan kerangka dasar agama Islam. Rukun iman

merupakan lima hal yang harus diyakini oleh umat Islam, yakni percaya pada

Allah, percaya pada malaikat utusan Allah, percaya pada kitab suci al-Quran,


(16)

percaya pada hari kiamat, dan percaya kada dan kadar (takdir yang telah

ditentukan oleh Allah) (Daud Muhammad, 2005).

2.

Dimensi Ritual atau Peribadatan. Ritual peribadatan dalam ajaran agama

Islam yang pertama dan paling utama ialah shalat wajib yang dikerjakan

sebanyak lima kali dalam sehari. Selanjutnya ialah ibadah puasa yang

dilaksanakan setiap bulan Ramadhan selama 30 hari. Umat muslim

menjalankan ibadah dengan tidak makan dan minum mulai dari waktu imsak

(subuh) hingga azan magrib (sore). Umat muslim juga diwajibkan membayar

zakat sebesar 2,5% dari penghasilannya untuk diberikan pada fakir miskin.

3.

Dimensi Pengalaman atau Eksperensial. Pada dimensi ini, umat beragama

mernghayati pengalaman religius. Seperti misalnya perasaan dekat dengan

Allah, merasa doa-doanya dikabulkan, dan pengalaman-pengalaman religius

lainnya. Pengalaman religius ini ditanggapi secara subyektif, sehingga hanya

individu tersebut yang mampu merasakan dan memaknainya

4.

Dimensi Intelektual atau Pengetahuan. Perilaku-perilaku yang dapat

dijadikan contoh dimensi intelektual/pengetahuan berkaitan dengan agama

Islam adalah membaca al-Quran, melakukan pengajian, membaca buku-buku

yang membahas permasalahan agama, dll.

5.

Dimensi Konsekuensi. Agama Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki

perilaku yang pemaaf, jujur, berani, dan selalu berbuat baik sekalipun

terhadap orang yang pernah berbuat jahat terhadapnya (Daud Muhammad,

2005).

2.3.

Dewasa Muda

Dalam Papalia et al., (2000) usia dewasa muda dimulai ketika individu

menginjak usia 20-40 tahun. Hal ini juga disetujui oleh Hurlock dalam Mappiare

(1983) yang mengatakan masa dewasa muda terbentang sejak tercapainya

kematangan secara hukum sampai kira-kira usia empat puluh tahun—dialami

seseorang sekitar dua puluh tahun.

R.J Havighurst dalam Lemme (1995) menyebutkan beberapa tugas

perkembangan pada tahapan usia dewasa muda, yakni:


(17)

2.

Belajar hidup bersama dengan suami atau isteri.

3.

Mulai hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga.

4.

Belajar mengasuh anak-anak.

5.

Mengelola rumah tangga.

6.

Mulai bekerja dalam suatu jabatan.

7.

Mulai bertanggungjawab sebagai warga negara secara layak.

8.

Memperoleh kelompok sosial yang seirama dengan nilai-nilai pahamnya.

Hal ini sejalan dengan tahapan perkembangan psikososial menurut

Erikson (dalam Papalia, 2000) dimana dewasa muda berada pada tahap intimacy

versus isolation. Individu dikatakan telah mulai menjalin keintiman dengan orang

lain, baik itu sesama jenis maupun berlainan jenis. Individu juga mulai

membangun sebuah hubungan yang berlandaskan komitmen dan ketika hubungan

tersebut dapat terbentuk, maka individu dapat terhindar dari perasaan terisolasi

dan self-absorption.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tahapan usia dewasa

muda erat kaitannya dengan kehidupan berkeluarga. Saxton dalam Mappiare

(1983) mengatakan bahwa salah satu kebutuhan utama yang dapat mendorong

individu untuk hidup berkeluarga ialah adanya kebutuhan seksual, sehingga dapat

dikatakan individu dewasa muda telah lebih aktif secara seksual. Individu dewasa

muda juga dihadapkan pada pilihan-pilihan terkait perilaku seksual dan secara

mandiri telah mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan pilihannya,

seperti misalnya: pernikahan, cohabitation, hubungan homoseksual,dll (Papalia,

2000).

Selain menjalin komitmen terkait dengan kehidupan berkeluarga, individu

dewasa muda juga menjalin komitmen terkait dengan isu agama (Lemme, 1995).

Hal ini sesuai dengan tahapan perkembangan keyakinan yang diutarakan oleh

Fowler (dalam Papalia, 2000), dimana individu dewasa muda telah sampai pada

tahap individuating-reflective faith, yakni mereka sudah mulai bertanggung jawab

terhadap kepercayaan, sikap, komitmen, dan gaya hidupnya sendiri. Minat

terhadap agama pada dewasa muda juga dapat dikatakan cukup kuat, walaupun

intensitas minat keagamaan individunya berubah meningkat secara gradual seiring

dengan bertambahnya usia (Mappiare, 1983).


(18)

2.4.

Hubungan antara Sikap Terhadap Hubungan Seksual, Masturbasi,

Pornografi, dan Homoseksual dengan Tingkat Religiusitas

Sikap telah menjadi fokus perhatian para pakar psikologi sosial dalam

menjelaskan perilaku manusia (Ajzen, 2005). Salah satu dari beberapa sikap

manusia yang menjadi pusat perhatian adalah sikap terhadap perilaku seksual.

Sikap terhadap perilaku seksual setiap individu dapat berbeda-beda, mulai dari

sangat positif dan permisif hingga sikap sangat negatif dan membatasi (Baron &

Byrne, 1997). Perbedaan ini dapat dipengaruhi salah satunya oleh agama (Rollins,

1996). Berkaitan dengan agama, religiusitas dapat dijadikan sebagai cara untuk

melihat keterikatan individu terhadap agama yang dianutnya (Paloutzian, 2005).

Berikut ini dapat disimak penelitian yang dilakukan oleh Earle dan

Perricone (dalam Miracle et al., 2005) kepada mahasiswa disuatu Universitas

beragama, menghasilkan bahwa mahasiswa yang religius memiliki sikap yang

tidak permisif terhadap perilaku seksual.

Berdasarkan penelitian diatas, maka peneliti mencoba untuk melihat

hubungan yang terdapat antara perilaku seksual yang lebih spesifik, yakni

hubungan seksual pranikah, masturbasi, pornografi, dan homoseksual dengan

religiusitas pada dewasa muda. Dimana dikatakan bahwa pada usia dewasa muda,

perilaku seksual dan komitmen beragama sedang mengalami perkembangan

secara khusus (Arnett dalam Lefkowitz, 2004).


(1)

dosa, terkabulkannya doa-doa, atau merasa mendapat pertolongan

dari Tuhan.

d.

Dimensi Intelektual atau Dimensi Pengetahuan. Pada dimensi ini

menunjukkan tingkat pemahaman individu akan agama yang

dianutnya. Minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan,

ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi. Serta adanya keinginan

untuk menambah pemahamannya dalam hal keagamaan yang

berkaitan dengan agamanya. Contohnya seperti membaca buku

agama, membaca kitab suci, mengikuti pengajian, dll.

e.

Dimensi Konsekuensi. Dimensi ini mengukur perilaku sehari-hari

individu yang mendapat pengaruh dari ajaran-ajaran agamanya.

Melihat sejauh mana individu berperilaku sesuai dengan ajaran

agamanya. Lebih bersifat sosial, yakni berkaitan dengan hubungan

antara individu dengan orang lain. seperti misalnya menjenguk orang

sakit, berderma, bersikap jujur, tidak mencuri dll.

Melihat penjelasan diatas, maka peneliti menganggap dimensi-dimensi

yang dikemukakan oleh C. Y. Glock dan R. Stark lebih lengkap bila dibandingkan

dengan Von Hugel dan Pratt. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan digunakan

klasifikasi dimensi-dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh C. Y. Glock dan

R. Stark untuk menyusun alat ukur.

2.2.4. Pengukuran Religiusitas

Instrumen yang digunakan untuk mengukur religiusitas adalah kuesioner

yang berisikan skala religiusitas. Item-item pada kuesioner ini berdasarkan

teori-teori tentang dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam

Robertson, 1988), yang menyebutkan bahwa dimensi religiusitas terdiri dari

kepercayaan, praktek ritual, pengalaman, intelektual, dan konsekuensi.


(2)

Tabel 2.2 Keterangan Dimensi – dimensi Religiusitas

Dimensi

Indikator Perilaku

Kepercayaan / ideologis

Individu berpegang teguh pada pandangan

teologis tertentu

Individu mengakui kebenaran

doktrin-doktrin agama yang meliputi isi dan

cakupan keimanan

Praktek ritual/ peribadatan

Individu patuh menjalankan kewajiban

beribadah sesuai dengan ajaran agamanya

Pengalaman/ eksperensial

Individu

menghayati

dan

mengalami

pengalaman religius

Intelektual/pengetahuan

Individu memahami ajaran agama yang

dianutnya

Adanya

keinginan

individu

untuk

menambah

pemahaman

dalam

hal

keagamaan

Konsekuensi

Perilaku individu dalam lingkungan sosial

mendapat pengaruh dari ajaran agama yang

dianutnya

2.2.5 Agama Islam

Kata Islam merupakan kata turunan (jadian) yang berarti ketundukan,

ketaatan, kepatuhan (kepada kehendak Allah), yang berasal dari kata salama

artinya patuh atau menerima; berakar dari huruf sin lam mim (s-l-m). Kata

dasarnya adalah salima yang berarti sejahtera, tidak tercela,tidak bercacat (Daud

Muhammad, 2005). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa arti yang

terkandung dalam perkataan

Islam adalah: kedamaian, kesejahteraan,

keselamatan, penyerahan (diri), ketaatan, dan kepatuhan.

2.2.5.1 Sumber Ajaran Agama Islam

Sumber utama ajaran Agama Islam terdiri dari al-Quran dan Al-Hadist,

kemudian akal pikiran manusia (rakyu) sebagai sumber pengembangannya atau


(3)

sumber tambahan. Berikut ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sumber utama

dan sumber tambahan dalam ajaran Agama Islam.

1. Al-Quran

Al-Quran merupakan kitab suci yang memuat firman-firman (wahyu)

Allah yang digunakan sebagai pedoman atau petunjuk umat manusia dalam hidup

dan kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat

kelak.

Menurut Nasr (dalam Daud Muhammad, 2005) dalam al-Quran memuat

ajaran yang dapat dijadikan petunjuk untuk manusia, diantaranya yakni ajaran

mengenai akhlak atau moral serta hukum yang mengatur kehidupan manusia

sehari-hari.

2. Al-Hadists

Al-Hadist merupakan sumber kedua ajaran Agama Islam. Al-Hadist

merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang al-Quran. Al-Hadist

memiliki peran sebagai penegasan lebih lanjut mengenai ketentuan yang terdapat

dalam al-Quran, penjelasan isi al-Quran, dan menambahkan atau mengembangkan

sesuatu yang tidak ada atau samar-samar ketentuannya di dalam al-Quran (Daud

Muhammad, 2005).

3. Rakyu

Rakyu merupakan hasil proses berpikir manusia yang berkompeten untuk

menghasilkan norma-norma dan seperangkat penilaian mengenai perbuatan

manusia dalam hidup dan kehidupan, baik dalam hidup pribadi maupun di dalam

kehidupan bermasyarakat.

2.2.5.2 Dimensi-dimensi Religiusitas dalam Agama Islam

Berikut ini akan dibahas dimensi-dimensi religiusitas yang disesuaikan

dengan ajaran agama Islam.

1.

Dimensi Kepecayaan atau Ideologis. Dalam ajaran agama Islam dikenal

istilah rukun iman, yang merupakan kerangka dasar agama Islam. Rukun iman

merupakan lima hal yang harus diyakini oleh umat Islam, yakni percaya pada

Allah, percaya pada malaikat utusan Allah, percaya pada kitab suci al-Quran,


(4)

percaya pada hari kiamat, dan percaya kada dan kadar (takdir yang telah

ditentukan oleh Allah) (Daud Muhammad, 2005).

2.

Dimensi Ritual atau Peribadatan. Ritual peribadatan dalam ajaran agama

Islam yang pertama dan paling utama ialah shalat wajib yang dikerjakan

sebanyak lima kali dalam sehari. Selanjutnya ialah ibadah puasa yang

dilaksanakan setiap bulan Ramadhan selama 30 hari. Umat muslim

menjalankan ibadah dengan tidak makan dan minum mulai dari waktu imsak

(subuh) hingga azan magrib (sore). Umat muslim juga diwajibkan membayar

zakat sebesar 2,5% dari penghasilannya untuk diberikan pada fakir miskin.

3.

Dimensi Pengalaman atau Eksperensial. Pada dimensi ini, umat beragama

mernghayati pengalaman religius. Seperti misalnya perasaan dekat dengan

Allah, merasa doa-doanya dikabulkan, dan pengalaman-pengalaman religius

lainnya. Pengalaman religius ini ditanggapi secara subyektif, sehingga hanya

individu tersebut yang mampu merasakan dan memaknainya

4.

Dimensi Intelektual atau Pengetahuan. Perilaku-perilaku yang dapat

dijadikan contoh dimensi intelektual/pengetahuan berkaitan dengan agama

Islam adalah membaca al-Quran, melakukan pengajian, membaca buku-buku

yang membahas permasalahan agama, dll.

5.

Dimensi Konsekuensi. Agama Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki

perilaku yang pemaaf, jujur, berani, dan selalu berbuat baik sekalipun

terhadap orang yang pernah berbuat jahat terhadapnya (Daud Muhammad,

2005).

2.3.

Dewasa Muda

Dalam Papalia et al., (2000) usia dewasa muda dimulai ketika individu

menginjak usia 20-40 tahun. Hal ini juga disetujui oleh Hurlock dalam Mappiare

(1983) yang mengatakan masa dewasa muda terbentang sejak tercapainya

kematangan secara hukum sampai kira-kira usia empat puluh tahun—dialami

seseorang sekitar dua puluh tahun.

R.J Havighurst dalam Lemme (1995) menyebutkan beberapa tugas

perkembangan pada tahapan usia dewasa muda, yakni:


(5)

2.

Belajar hidup bersama dengan suami atau isteri.

3.

Mulai hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga.

4.

Belajar mengasuh anak-anak.

5.

Mengelola rumah tangga.

6.

Mulai bekerja dalam suatu jabatan.

7.

Mulai bertanggungjawab sebagai warga negara secara layak.

8.

Memperoleh kelompok sosial yang seirama dengan nilai-nilai pahamnya.

Hal ini sejalan dengan tahapan perkembangan psikososial menurut

Erikson (dalam Papalia, 2000) dimana dewasa muda berada pada tahap intimacy

versus isolation. Individu dikatakan telah mulai menjalin keintiman dengan orang

lain, baik itu sesama jenis maupun berlainan jenis. Individu juga mulai

membangun sebuah hubungan yang berlandaskan komitmen dan ketika hubungan

tersebut dapat terbentuk, maka individu dapat terhindar dari perasaan terisolasi

dan self-absorption.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tahapan usia dewasa

muda erat kaitannya dengan kehidupan berkeluarga. Saxton dalam Mappiare

(1983) mengatakan bahwa salah satu kebutuhan utama yang dapat mendorong

individu untuk hidup berkeluarga ialah adanya kebutuhan seksual, sehingga dapat

dikatakan individu dewasa muda telah lebih aktif secara seksual. Individu dewasa

muda juga dihadapkan pada pilihan-pilihan terkait perilaku seksual dan secara

mandiri telah mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan pilihannya,

seperti misalnya: pernikahan, cohabitation, hubungan homoseksual,dll (Papalia,

2000).

Selain menjalin komitmen terkait dengan kehidupan berkeluarga, individu

dewasa muda juga menjalin komitmen terkait dengan isu agama (Lemme, 1995).

Hal ini sesuai dengan tahapan perkembangan keyakinan yang diutarakan oleh

Fowler (dalam Papalia, 2000), dimana individu dewasa muda telah sampai pada

tahap individuating-reflective faith, yakni mereka sudah mulai bertanggung jawab

terhadap kepercayaan, sikap, komitmen, dan gaya hidupnya sendiri. Minat

terhadap agama pada dewasa muda juga dapat dikatakan cukup kuat, walaupun

intensitas minat keagamaan individunya berubah meningkat secara gradual seiring

dengan bertambahnya usia (Mappiare, 1983).


(6)

2.4.

Hubungan antara Sikap Terhadap Hubungan Seksual, Masturbasi,

Pornografi, dan Homoseksual dengan Tingkat Religiusitas

Sikap telah menjadi fokus perhatian para pakar psikologi sosial dalam

menjelaskan perilaku manusia (Ajzen, 2005). Salah satu dari beberapa sikap

manusia yang menjadi pusat perhatian adalah sikap terhadap perilaku seksual.

Sikap terhadap perilaku seksual setiap individu dapat berbeda-beda, mulai dari

sangat positif dan permisif hingga sikap sangat negatif dan membatasi (Baron &

Byrne, 1997). Perbedaan ini dapat dipengaruhi salah satunya oleh agama (Rollins,

1996). Berkaitan dengan agama, religiusitas dapat dijadikan sebagai cara untuk

melihat keterikatan individu terhadap agama yang dianutnya (Paloutzian, 2005).

Berikut ini dapat disimak penelitian yang dilakukan oleh Earle dan

Perricone (dalam Miracle et al., 2005) kepada mahasiswa disuatu Universitas

beragama, menghasilkan bahwa mahasiswa yang religius memiliki sikap yang

tidak permisif terhadap perilaku seksual.

Berdasarkan penelitian diatas, maka peneliti mencoba untuk melihat

hubungan yang terdapat antara perilaku seksual yang lebih spesifik, yakni

hubungan seksual pranikah, masturbasi, pornografi, dan homoseksual dengan

religiusitas pada dewasa muda. Dimana dikatakan bahwa pada usia dewasa muda,

perilaku seksual dan komitmen beragama sedang mengalami perkembangan

secara khusus (Arnett dalam Lefkowitz, 2004).