Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku D 902008102 BAB XII
Bab Dua Belas
Reintegrasi Sosial
Pengantar
Ketika berakhirnya perang dingin, dunia menyaksikan berbagai
konflik internal pecah di mana-mana, Yugoslavia, Mecadonia, Kosovo,
Rwanda, Anggola, Bosnia, Kroasia, Turki, Tajikistan, Myanmar dan
lainnya, termasuk di Indonesia. Konflik-konflik internal tersebut
memunculkan kembali isu self determination, konflik antar etnis
dalam masyarakat yang plural dan multi etnis, ataupun konflik antara
negara-masyarakat [Hadi, at.el, 2007].
Pada konflik-konflik internal yang pecah di Indonesia, Orde
Baru telah memberikan andil terciptanya solidaritas in group dan out
group tanpa pertimbangan keragaman etnis dalam masyarakat telah
membuat konflik etnis menjadi sebuah “bom waktu.” Pemicu sekecil
apapun bisa membuat konflik etnis atau agama meledak, tanpa dapat
dicegah oleh pemerintah sekali pun. Oleh sebab itu, pasca pemerintahan Orde Baru tahun 1998, fanomena yang muncul sangat memprihatinkan karena menguatnya eskalasi konflik lokal pada sejumlah wilayah di Indonesia. Ketika Orde Reformasi yang dimaknai sebagai fase
transisi [menuju demokratisasi], di satu sisi memang telah memberikan
kebebasan yang lebih luas kepada rakyat untuk mengekspresikan diri,
namun di sisi lain, justeru terjebak pada rapuhnya proses nation
buiding [Hadi, at.el, 2007]. Konflik di Sambas, Timor Leste, Aceh,
Papua, Posso dan Maluku, misalnya, merupakan konflik-konflik lokal
yang menimbulkan dampak luas yang memprihatinkan.
233
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Dalam sejarah pekembangan masyarakat di Maluku, konflik
sosial yang terjadi tahun 1999 merupakan salah satu konflik dengan
tingkat eskalasinya sangat masif dan berlangsung dalam kurun waktu
cukup lama [kurang lebih tiga tahun] serta menimbulkan efek destruktif yang sangat besar. Dinamika konflik yang kompleks dan penanganan yang parsial dari pemerintah mengakibatkan konflik terus berlarutlarut. Korban jiwa, harta benda serta hancurnya sarana-prasarana peribadatan dan fasilitas pemerintahan sangat memprihatinkan. Masyarakat merasakan dampak berantai, sehingga masalah yang datang silih
berganti seakan tidak habisnya.
Pertanyaan yang berhubungan dengan isu tentang keseluruhan
orang Ambon dengan bagian-bagian yang membentuknya adalah
“mengapa konflik yang terjadi dengan tingkat eskalasi yang sangat
masif dan efek destruktif yang besar, begitu cepat terciptanya pemulihan sosial dalam masyarakat”? Hemat penulis, proses pemulihan sosial
tersebut dapat terjadi begitu cepat karena lembaga-lembaga lokal yang
merupakan “local genius” yang berperan dalam percepatan proses tersebut. Dalam bagian ini, penulis ingin melihat proses integrasi, konflik
dan reintegrasi sosial pasca konflik Maluku.
Katong Samua
Pada bagian ini, penulis akan menganalisis temuan lapangan
sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya [bab VIII-X] dalam
satu konsep yang penulis sebut “katong samua”. Konsep ini menunjuk
pada identifikasi diri orang Ambon sebagai “satu keseluruhan” tanpa
membeda-bedakan antara satu dengan yang lain dari segi agama yang
dianut. “Katong samua” menunjuk pada pengertian lokal. Artinya,
orang Ambon dalam realitas kehidupan sehari-hari menerapkan
konsep ini secara selektif dan karena itu tidak dapat dicampuradukan
dengan ciri umum budaya masyarakat lainnya. Dengan langsung
menerima “katong samua” sebagai suatu kenyataan, maka etnisitas
ditafsirkan sebagai “perasaan menjadi bagian dari” yang dibawa sejak
lahir, dan yang mendasari sebuah identitas budaya Ambon. Karena itu,
dalam bagian ini akan dibahas sintesa yang dimulai dengan merasio234
Reintegrasi Sosial
nalisasikan konsep reintegrasi sosial dan mengaitkannya dengan
“katong samua” sebagai kekuatan perekat. Katong Samua, merupakan
satu proses dialektis, antara individu [the self] dan dunia sosiokultural.
Ketika reintegrasi sosial antar komunitas [orang Ambon] diwujudkan
melalui katong samua, maka eksistensi reintegrasi sosial dapat dipertahankan secara berkelanjutan.
Pertanyaan yang menuntun kita pada identifikasi ‘katong samua’
adalah ‘sapa-sapa [Indonesia: siapa] saja yang dapat dikatakan sebagai
katong samua?’ Penunjuk ‘sapa’ melalui pertanyaan ini terdengar
sangat mendua-arti bagi orang luar. Namun bagi orang Ambon pertanyaan tersebut merupakan konsep yang jelas [lihat Bab IV, V].
Dalam konteks ini, identitas dilambangkan dengan satu atau
beberapa unsur yang dapat menandai bukan hubungan antara dua
kelompok, melainkan jarak di antara dua kelompok itu yang kurang
lebih sama dibandingkan dengan bagian masyarakat lain. Pemikiran
teoritis mengenai penggunaan identitas sebagai alat [pemersatu] mengingatkan pada penelitian meyakinkan yang dilakukan oleh P. Bourdieu
mengenai strategi kelompok-kelompok kekerabatan. Dalam kajiannya,
Bourdieu [1980] mempersoalkan gagasan bahwa kelompok geneologis
bersifat konstan dan bermakna tetap dengan menunjukkan bahwa
kelompok-kelompok ini sebenarnya didefinisikan oleh pelaku-pelaku
sosial sesuai dengan kepentingannya dan bukan sebaliknya. Dalam
hubungan dengan itu, J. Nagata [Perret, 2010] juga menggarisbawahi
perbandingan itu dengan mengatakan bahwa kelompok etnis, di luar
segala kondisi objektif yang ikut mempengaruhi kelahirannya, sempat
menciptakan mitos asal-usul, kekerabatan, wilayah, bahkan juga agama
atau bahasa yang sama, dengan cara yang sama dengan proses penciptaan silsilah untuk mengesahkan hubungan dan tata kekerabatan
tertentu.
Terhadap kedua pikiran teoritis seperti tersebut di atas, memperkuat hasil temuan lapangan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya
[lihat bab IV,V]. Hal penting yang mungkin dapat dikemukakan
adalah, Bourdieu cenderung lebih menunjukkan pada strategi yang
diarahkan untuk memenuhi kepentingan materi dan simbolis. Dengan
235
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
mencontohkan hubungan perkawinan, di sini sebenarnya ia [Bourdieu]
lebih menitik beratkan kajiannya pada sitem pertukaran yang terjadi
dalam masyarakat. Hemat penulis, Bourdieu belum melihat bahwa di
samping kelompok geneologis, juga ada kelompok teritorial yang
mengikat warga masyarakat satu dengan yang lainnya. Temuan lapangan menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa yang pernah dialami bersama pada masa lampau, kemudian menjadi landasan untuk membangun persekutuan antar negeri yang dikenal dengan “pela” dan
“gandong” [Cooley, 1962; Bartels, 1977]. Yang menarik di sini adalah,
ada keteraturan [order] 1 dan keterulangan [regularities]. Menurut
penulis, realitas ini lah [pela dan gandong] merupakan strategi kelompok-kelompok yang mengikat mereka [orang Ambon] secara lebih
konstan dan bermakna. Bagi Geertz [1963], yang namanya hubungan
darah atau hubungan emosional merupakan sesuatu yang given atau
yang sudah pasti ada dalam setiap kebudayaan dan masyarakat, dan hal
ini tidak dapat dielakkan. Artinya, kita tidak pernah menyangkal
bahwa kita semua dilahirkan dalam suatu komunitas tertentu yang
“dari sana sudah ada”.
Kesatuan yang dibangun atas dasar kepentingan bersama ini akan
melahirkan ritus-ritus sosial. Acara panas pela, gandong, dan pelantikan raja [lihat Bab V, IX, X] yang diadakan secara kolektif dan reguler
dimaksudkan agar masyarakat disegarkan dan dikembalikan akan
pengetahuan dan makana-makna kolektif. Dalam ritus, dihadirkan
kembali makna realitas dalam masyarakat [makna sosial]. Dengan
demikian, dalam ritus tersebut masyarakat memperbaharui kerangka
epistemologis yang secara multi-dimensional menentukan dinamikanya.
Kai Erikson, memaknai realitas seperti yang digambarkan di atas
sebagai “bondary maintenance” atau penjaga batas. Erikson [Supriyono,
2005] menyatakan bahwa, masyarakat secara bersama-sama menjaga
1 Untuk merawat relasi timbal-balik, anggota/warga dua kelompok yang terikat dalam
satu ikatan pela atau gandong, mereka dilarang untuk saling menikah, harus saling
menjaga dan melindungi, tolong-menolong secara timbal-balik. Dan atas dasar kesepakatan bersama, pada waktu tertentu dilaksanakan aktivitas panas pela dan panas
gandong.
236
Reintegrasi Sosial
batas yang dapat diterima menurut nilai-nilai yang secara kolektif
mereka hayati. Aktivitas pembangunan rumah-rumah peribadatan
[Mesjid dan Gereja] yang dilakukan secara bersama-sama misalnya
[lihat Bab V, IX, X], cara ini digunakan [masyarakat] untuk menegakkan kembali nilai-nilai kesatuan dan moralitas kolektif; yang oleh
Durkheim disebut “the sacred”. Menurut Durkheim [Ritzer dan
Goodman, 2008], nilai-nilai yang disepakati, atau the sacred itu, berperan untuk menjaga keutuhan dan ikatan sosial sebuah masyarakat
serta secara normatif mengendalikan gerak dinamika sebuah masyarakat. Itulah hukum utama dan terutama dalam sebuah masyarakat
yang juga sumber identitas kolektif. Dengan demikian, Celestine
Bougle [Supriyono, 2005] mengatakan bahwa dalam situasi seperti ini,
dimensi religius membingkai logika budaya komunitas setempat.
Dengan mengadopsi logika Berger dan Luckman [1990], pola ini
akhirnya memperoleh generalitas yang paling tinggi, di mana dibangun
suatu dunia arti simbolis yang universal, yang kemudian disebut sebagai pandangan hidup atau ideologi. Pandangan hidup yang diterima
umum itu dibentuk untuk menata dan memberi legitimasi pada
konstruksi sosial yang sudah ada serta memberikan makna pada pelbagai bidang pengalaman mereka sehari-hari. Legitimasi di sini adalah
proses penjelasan [unsur kognitif] dan pembenaran [unsur normatif]
dari suatu interaksi antar individu.
237
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
KATONG SAMUA
[Struktur Sosial-Budaya]
Agama
Samawi
[Islam –
Kristen]
Segregasi
Salam
Segregasi
Sarane
Konsensu
Katorang/
Dorang
Katorang/
Dorang
Dominasi Subordinasi
Mayoritas Minoritas
Negara
Islam
TNI
Segregat
extrapolar
Salam yang
extrim
Konflik
Segregat
extrapolar
Sarane yang
extrim
Gambar 1
Model 2 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Katorang versus Dorang
Pada bagian ini, penulis akan melakukan analisis terhadap temuan lapangan [sebagaimana telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya] dalam satu konsep yang penulis sebut “Katorang versus Dorang”.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, orang Ambon baik secara individu maupun kelompok, mengetahui benar dengan siapa atau dengan
kelompok mana ia memiliki pertalian darah dan dengan demikian
memiliki hubungan kerabat baik kerabat dekat maupun kerabat jauh.
Biasanya kelompok-kelompok itu apabila berhadapan dengan kelompok lain, maka kelompok itu disebut dorang [Bahasa Indonesia:
mereka] dan kelompoknya sendiri sebagai katorang [Bahasa Indonesia:
kami]. Konsep ini menunjuk pada adanya diferensiasi sosial yang
2
Model ini dibangun dari ide imajinatif penulis.
238
Reintegrasi Sosial
terjadi ketika masuknya agama samawi kemudian membela masyarakat
[orang Ambon] menjadi “salam dan sarane” [Islam dan Kristen]. Artinya, penulis memiliki alasan yang jelas untuk mengakui, menghargai,
dan mempertahankan kebebasan tersebut. Tentu saja pilihan selalu
dibuat dalam batas-batas tertentu yang kita pandang layak.
Dengan mengadopsi logika Vel [2010], maka pertanyaan yang
menuntun kita kepada identifikasi jejaring adalah “rumah siapakah
yang dapat dikatakan sebagai “kita punya rumah sendiri?” Penunjuk
rumah melalui pertanyaan ini terdengar sangat mendua-arti bagi orang
luar. Namun bagi orang Ambon, pertanyaan tersebut merupakan
konsep yang sudah jelas. “Kita punya rumah sendiri” berlaku terhadap
kelompok [jejaring] jika seseorang dapat selalu bebas masuk, dan
tinggal, dengan atau tanpa suatu alasan khusus. Ini bukan berarti seseorang dapat mengandalkan dukungan dan keramahtamahan dari para
penghuninya, atau seseorang akan bebas mengharapkan dan mendapatkan kemurahan hati atau bantuan materi, tetapi realitas tersebut menjelaskan bahwa sekalipun terjadinya diferensiasi sosial dalam kehidupan masyarakat namun kebudayaan lokal [pela, gandong dan kerabat]
masih mengikat mereka satu dengan yang lainnya. “Rumah kami
adalah rumahmu” menunjuk pada pengertian lokal. Negeri Siri Sori
[Salam-Sarane], Tamilou [Salam] dan Hutumuri [Sarane] misalnya,
adalah kelompok masyarakat atau negeri yang tergabung dalam persekutuan ‘bongso’ yang memiliki latar belakang sejarah yang sama sekali
pun berbeda dari segi agama yang dianut, yang pada dasarnya dilahirkan oleh seorang “Ibu” atau dari “rahim” yang sama, gandong dan
dengan posisinya masing-masing sebagai adik atau kakak. Demikian
pula, negeri Tulehu (Islam), Sila (Kristen), Laimu (Islam), Paperu
(Kristen), Asilulu (Islam), Tial (Islam) dan Hulaliu (Kristen) adalah
kelompok masyarakat yang tergabung dalam persekutuan “silatupatih
siratu yama wallu” adalah kelompok-kelompok masyarakat atau negeri
yang memiliki latar belakang agama yang berbeda satu dengan lainnya.
Hubungan kekerabatan yang dibangun oleh kelompok-kelompok
masyarakat tersebut melalui sebuah persekutuan memperlihatkan adanya gagasan pluralisme dalam masyarakat tersebut. Peristiwa sejarah
masa lampau yang memberikan gambaran bahwa mereka pada
239
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
dasarnya dilahirkan oleh seorang “Ibu” atau dari “rahim” yang sama,
gandong dan dengan posisinya masing-masing sebagai adik atau kakak
menuntut untuk saling menolong dalam berbagai konteks hubungan
sosial, saling menghargai dan memperhatikan dalam keberagaman.
Islam
Kebudayaan
lokal
Kristen
Gambar 2
Hubungan antara Agama Samawi
dengan Kebudayaan Lokal
Walaupun terhadap realitas seperti ini, para pemikir komunitarian cenderung berpendapat bahwa identitas komunal yang tepatpasti hanyalah merupakan persoalan realisasi diri, dan bukan persoalan
pilihan [Sen, 2007]. Akan tetapi, sulit bagi kita untuk percaya bahwa
orang sama sekali tidak punya pilihan dalam menentukan derajat kepentingan relatif yang dikenakannya pada berbagai kelompok tempatnya bernaung. Atau bahwa dia hanya perlu “menemukan” identitas
kodratinya, seolah langkah “menemukan” identitas itu sepenuhnya
merupakan fenomena alami. Pada kenyataannya, penulis berpendapat
bahwa sepanjang waktu kita semua terus menentukan pilihan-pilihan,
walaupun meski cuma secara tersirat, mengenai prioritas yang mesti
diambil berkenaan dengan afiliasi dan asosiasi kita yang berbeda-beda.
Kebebasan untuk menentukan kesetiaan dan prioritas di antara pelbagai macam kelompok [pertalian kita], menurut hemat penulis, merupakan sebuah kebebasan yang teramat penting. Adanya pilihan ini
tentu saja tidak menandakan bahwa pilihan tersebut tidak dibatasi oleh
hambatan-hambatan. Hemat penulis bahwa, sepanjang perkembangan
diferensiasi sosial tetap fungsional dan sifatnya saling mengisi, ketidakpuasan dan perselisihan di dalam masyarakat kecil kemungkinan bakal
tersulut.
240
Reintegrasi Sosial
Pasca kemerdekaan hingga masa pemerintahan Orde Lama,
kebebasan warga negara [masyarakat] dalam menentukan pilihan saat
itu memperoleh bingkai nasionalisme yang cukup kuat, sehingga
proses-proses dialektika yang sesungguhnya mengandung ancaman
disintegrasi dapat diletakkan dalam kerangka persatuan untuk secara
bersama-sama mencari bentuk ideal dari sebuah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Namun, ketika Orde Baru
mengambil alih tampuk kepemimpinan, kebebasan tersebut mulai dicederai. Pada saat itu, tatanan pluralisme primordial [diferensiasi
dimaksud] tidak dilihatnya sebagai potensi positif yang bisa dijadikan
starting point untuk memfasilitasi perkembangan masyarakat dan
bangsa, namun realitas tersebut diwaspadai sebagai ancaman yang
berpotensi menciptakan disintegrasi bangsa [baik secara sosial maupun
politik]. Implikasinya, tertib sosial yang berhasil dicapai hanya mencerminkan kualitas integrasi sosial politik yang semu, karena nilai-nilai
apresiatif terhadap realitas kemajemukan tidak ter-institusionalisasi
apalagi ter-internalisasi dalam perilaku berbagai kelompok baik
komunitas etnis, agama maupun golongan. Karena itu, wajar bila sketsa
masyarakat seperti ini dapat dilihat sebagai imperatively coordinated
associations (persekutuan yang terkoordinasi secara paksa). Dengan
demikian, tidak terlalu mengherankan jika keteraturan yang terdapat
dalam masyarakat dinilai hanya disebabkan oleh adanya tekanan atau
pemaksaan kekuasaan dari golongan penguasa.
Pergulatan rumit dari realitas tersebut di atas mengakibatkan
munculnya benturan antara ideologi lama [struktur sosial] yang mulai
mengalami proses pelemahan dengan ideologi baru [individualisme]
yang belum sepenuhnya terbentuk. Kebijakan penyeragaman yang
diwujudkan melalui intervensi dan penerapan UU nomor 5 tahun 1979
[tentang sistem pemerintahan Desa] misalnya, hemat penulis, ternyata
menimbulkan instabilitas struktur sosial yang sangat melemahkan
jaringan hubungan antar institusi lokal, sehingga lembaga pemerintahan adat, pela, gandong dan berbagai institusi adat lainnya berada dalam
keadaan sekarat. Penulis berpendapat bahwa, hal ini disebabkan karena
sistem dan jaringan kelembagaan dalam konteks UU tersebut adalah
berbeda dengan yang terakomodasi dalam adat istiadat satu masyara241
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
kat. Pela dan gandong misalnya, terkait bukan dengan desa, tetapi
dengan negeri sebagai suatu totalitas.
Pada masa lalu, beberapa institusi adat [seperti pela dan gandong]
tersebut merupakan bukti betapa masyarakat [orang Ambon, khususnya] sebelumnya memiliki sejumlah kearifan pengetahuan lokal untuk
memelihara tertib sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Institusi yang dibentuk berdasarkan hubungan-hubungan kekerabatan baik geneologis maupun teritorial tersebut, mengandung
makna aliansi yang memadukan perbedaan-perbedaan dalam suatu
wadah persatuan. Maksudnya, persatuan yang terwujud secara tradisional, tidak menghilangkan identitas diri masing-masing kelompok subsuku (yang umumnya berbeda agama); sebaliknya, simbol-simbol
perbedaan yang ada selalu digunakan mewarnai dan mendukung pola
interaksi antar kelompok. Seiring dengan perubahan sosial yang terjadi,
maka di satu pihak, melemahnya ikatan kekerabatan antar kelompok
lokal (Salam-Sarani); sementara dilain pihak, terjadi penguatan solidaritas atas dasar kesamaan agama yang dianut. Dalam situasi tersebut van Klinken [2007] mengatakan bahwa, subteks relegiusitas yang
tersembunyi akan mewarnai kapital simbolis yang menggambarkan
persaingan diam-diam antara dua agama besar yakni Islam dan Krsiten
Protestan.
Komunitas
Salam
Pendatang
Islam
Diikat oleh budaya
Universal [Menguat]
Komunitas
Sarane
Diikat oleh
Budaya lokal
[Melemah]
Pendatang
Kristen
Diikat oleh budaya
Universal [Menguat]
Sumber : Pariela, 2008.
Gambar 3
Perubahan Pola Hubungan Sosial Komunitas di Maluku
242
Reintegrasi Sosial
Penguatan solidaritas atas dasar kesamaan agama yang dianut
semakin dipertegas ketika Indonesia memasuki apa yang disebut era
reformasi. Penanda pada era baru ini adalah kebebasan. Jika pada masa
Orde Baru berbagai partikularitas identitas-dirangkun dalam istilah
SARA [suku, agama, ras, dan antar golongan]-dibungkam sedemikian
rupa, reformasi justeru memberi kesempatan seluasnya bagi partikularitas tersebut untuk hadir mengisi ruang publik. Amin Mudzakkir
[2011] menyatakan bahwa, pada titik ekstrimnya, kehadiran identitas
yang dulunya terbungkam itu berubah perseteruan berdarah. Integrasi
nasional sempat terancam, namun pemerintah dapat mengatasi
tantangan tersebut. Setahun setelah reformasi digulirkan, pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang [UU] Nomor 39/1999 tentang Hak
Asasi Manusia [HAM]. Ini adalah terobosan yang luar biasa dan kontras
dengan kebijakan pemerintah sebelumnya. UU tersebut memuat
jaminan negara terhadap hak sipil dan politik warga negara. Termasuk
di dalamnya adalah kebebasan beragama.
Dilihat dari sisi legalitas, hak sipil dan politik di Indonesia telah
mempunyai sandaran yang kuat. Namun dalam realitasnya, dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu untuk memposisikan diri dalam format politik Indonesia baru. Sejak saat itu lah, isyu
agama sebagai salah satu sarana pembinaan solidaritas dan sentimen ingroup menjadi pilihan strategis untuk menggalang kekuatan massa,
sehingga terkesan bahwa agama sementara diposisikan sebagai kendaraan politik bukanlah kesan yang absurd semata. Artinya, makna
agama sebagai suatu keyakinan atau akidah direduksi sedemikian rupa
menjadi semata-mata suatu fenomena sosial yang bisa ditunggangi
demi kepentingan sesaat dari orang-perorangan atau kelompok tertentu.
Realitas ini dapat terjadi karena, perkembangan Islamisme di
Timur Tengah telah menyulut api radikalisme keagamaan di Indonesia
dan negara-negara Muslim lainnya [Fealy dan Bubalo, 2007]. Gerakan
yang bersumber pada doktrin Salafi Wahabi itu pada dasarnya
menyerukan purifikasi. Jargonnya adalah Islam ‘kaffah’ [‘sepenuhnya’].
Mudzakkir [2011] mengatakan, sikap mereka bersifat sekuler. Tidak
ada pembedaan antara partikularitas dan universalitas, ruang privat dan
243
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
ruang publik; negara harus berdasar agama, tentu agama berdasarkan
penafsiran tertentu yang diyakini oleh mereka, sehingga jika ada
individu atau kelompok yang meyimpang atau melakukan penodaan
terhadap agama, negara wajib turun tangan. Mudzakkir menambahkan
bahwa, akibat dari Islamisme yang melahirkan kelompok Islam radikal
ini adalah peneguhan Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, sebagai
pusat Islam. Apa yang dihasilkan oleh ulama di sana dijadikan acuan
oleh ulama di sini [Indonesia]. Fatwa sesat terhadap Ahmadyah lahir
dalam konteks ‘globalized Islam’ seperti ini [Roy, 2006]. Sejak saat itu,
berbagai fatwa serupa bermunculan di negara-negara Muslim lainnya,
seperti di Malaysia, Brunai Darussalam, dan Pakistan [Mudzakkir,
2011]. Akibat lebih lanjut yang muncul di Indonesia adalah, sosialisasi
berbagai isyu yang merangsang menguatnya sentimen dan solidaritas
kelompok pada grassroot level, terutama yang bernuansa agama
“dimainkan” oleh orang atau kelompok tertentu, sehingga suasana
bathin kelompok masyarakat lapisan bawah terkondisi dalam format
yang sangat eksklusif. Salah satu akibat yang dirasakan dalam kehidupan masyarakat di Ambon adalah munculnya segregasi secara ekonomi
dan politik.
Akibat perkembangan lebih lanjut dari situasi sebagaimana digambarkan di atas, pada akhir tahun 1980-an persaingan antar kelompok di sektor publik semakin meningkat di Ambon. Salah satu hasil
penelitian yang pernah dilakukan di Ambon menunjukkan bahwa,
dalam jabatan-jabatan politik-birokrasi di pemerintahan daerah, dikotomi berdasar agama ini berlaku [Hadi, et.al, 2007]. Pada awalnya, pola
semacam ini tidak menimbulkan masalah yang cukup berarti karena
tiap-tiap kelompok mampu menjaga hubungan yang relatif harmonis.
Namun, pola tersebut menjadi semakin mencolok yang mengarah pada
penguatan identitas dan kelompok berdasarkan agama. Karena itu,
Pariela [2008] mengatakan bahwa, pergeseran medan dari conflict of
interest menjadi konflik ideologis secara terbuka pada tataran lapisan
bawah, bisa diidentifikasi melalui kerusuhan sosial dan pertikaian antar
kelompok yang terjadi di berbagai wilayah tanah air.
244
Reintegrasi Sosial
Mayoritas versus Minoritas
Pada awal tahun 1980-an, perkembangan diferensiasi sosial
dalam kehidupan orang Ambon tetap masih fungsional dan sifatnya
saling mengisi. tidak ada persoalan dengan mayoritas dan minoritas.
Namun ketika perbedaan dan benturan kepentingan mulai muncul
serta makin menguatnya solidaritas atas dasar kesamaan agama yang
dianut, konflik antar kelompok di dalam diferensiasi sosial mulai
muncul. Hasil studi yang dilakukan di Ambon menunjukkan bahwa
persaingan dalam jabatan-jabatan publik yang kemudian dibungkus
dalam kompetisi agama-menimbulkan kecurigaan-kecurigaan pada
kedua belah pihak [Hadi, et.al, 2007].
Sesungguhnya, cara-cara alternatif untuk merespons ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat suatu
bangsa pada taraf tertentu saling berebut perhatian warga dunia saat
ini. Di Indonesia, kebebasan warga dalam menentukan pilihan mulai
diciderai ketika Orde Baru mengambil alih tampuk kepemimpinan
nasional. Hal ini ditandai dengan tumbuh suburnya Islamisme di
Indonesia dalam dua dekade terakhir seiring dengan perubahan relasi
kekuasaan pada masa orde baru. Dengan mengadopsi pikiran
Mudzakkir [2011], di akhir masa kekuasaannya, Soeharto terlihat
semakin dekat kepada kelompok Islam. Ini kontras dengan kebijakan
Soeharto pada awal masa kekuasaannya yang justeru sangat keras
terhadap mereka [Islam]. Perubahan orientasi politik ini tidak lepas
dari perpecahan di dalam kelompok elit lama. Menurutnya, dengan
menggandeng kelompok Islam, Soeharto berharap bisa melanjutkan
pemerintahan yang dipimpinnya lebih lama lagi. Namun menurut sebagian kalangan intelektual Muslim [yang kemudian tergabung dalam
ICMI], kedekatan Soeharto dan kaum Muslim adalah perkembangan
baik yang menguntungkan kedua belah pihak [Hefner, 2001].
Pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia [ICMI]
pada tahun 1990 misalnya, dapat dilihat sebagai salah satu bentuk kebijakan pemerintah Orde Baru yang menyediakan fasilitas bagi warga
Muslim memanfaatkan berbagai peluang dan mempromosi jabatan
terutama dalam lingkup pemerintahan [Pariela, 2008]. Dengan kata
245
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
lain, komunitas Islam di Ambon, baik penduduk lokal maupun para
pendatang [orang dagang], memperoleh keuntungan dari dinamika
pembangunan yang berlangsung di era Orde Baru [Ratnawati, 2006].
Itulah sebabnya, Tomagola mengatakan bahwa, “kartu keanggotaan
ICMI menjadi semacam ‘SIM’ dalam rekrutmen jabatan-jabatan
penting di birokrasi pemerintahan di Maluku, Ambon khususnya”
[Ratnawati [2006]. Pasca pembentukan ICMI, selain persaingan merebut jabatan yang dikesankan terjadi antara Islam-Kristen, sebetulnya
dalam lingkup Muslim pun terjadi kompetisi berdasarkan asal desa.
Sejak tahun 1992, kebijakan penempatan dan atau promosi pegawai
dalam lingkup Kantor Gubernur, selain didominasi kalangan Muslim
seperti dikatakan Bertrand [2004], dan Ratnawati [2006], juga diprioritaskan kepada mereka yang berasal dari desa tertentu [seperti dari
Desa Ori, Pelauw dan Kailolo di pulau Haruku].
Latarbelakang tersebut ternyata membuka jalan bagi kelompok
Islam radikal untuk tampil dalam panggung politik Indonesia di era
reformasi. Mudzakkir [2011] menyatakan, berbeda dengan kelompok
Islam politik yang memilih mendirikan partai dan berjuang di jalur
formal, kelompok Islam radikal tak segan beraksi di jalanan dan terlibat
kekerasan. Di bawah pemerintahan Habibie, sebagian dari kelompok
itu ikut serta dalam konflik berdarah bernuansa keagamaan di beberapa
daerah [Hasan, 2008]. Ketika Abdurrahman Wahid berkuasa, terlihat
usaha untuk membatasi ruang gerak mereka [kelompok Islam], karena
rezim ditopang oleh aparat negara yang cerai berai, usaha tersebut
justeru membuat kelompok tersebut semakin radikal. Situasi ini justeru
dimanfaatkan kalangan politisi mendongkel Wahid [Barton, 2007].
Perkembangan yang hampir sama terjadi pada masa pemerintahan
Megawati. Selama kurang lebih enam tahun masa kekuasaan tiga
presiden tersebut, kelompok Islam radikal justeru semakin meluaskan
pengaruhnya dalam proses pengambilan kebijakan publik, tidak hanya
di pusat, tetapi juga di daerah.
Menurut Mudzakkir [2011], pada titik ini lah, terdapat kolaborasi tertentu antara kelompok Islam radikal dan para politisi Muslim.
Lebih jauh dikatakan bahwa, didasari oleh campuran keyakinan keagamaan dan kepentingan politik, lahirlah peraturan bernuansa
246
Reintegrasi Sosial
syari’ah. Dalam situasi seperti ini, kata Mudzakkir, sentimen dan
peraturan atau keputusan anti-Ahmadyah semakin memperoleh legitimasi.
Terhadap realitas tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa di
sini lah, perbedaan dan benturan kepentingan mulai muncul. Dan sejak
saat itu lah, identitas mayoritas versus minoritas dikembangkan dengan
dimulainya gejala yang tidak disadari untuk membuat kategorisasi
dalam masyarakat.
Dominasi versus Subordinasi
Sesungguhnya, cara-cara alternatif untuk merespons ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat suatu
bangsa [termasuk di Indonesia] pada taraf tertentu menjadi perhatian
warga dunia saat ini. Penanganan terhadap dampak ketimpangan
dalam masyarakat akan banyak ditentukan oleh cara kita mendekati isu
identitas.
Penulis berpendapat bahwa, jika dalam suatu masyarakat terdapat ketidakseimbangan antar etnik, maka di sini akan mudah bagi kita
untuk menemukan berbagai kasus dominasi dan didominasi. Sekalipun
para sosiolog menganggap split-class theories bagian dari aliran Marxis
yang menggunakan logika dikotomi kelas dalam menjelaskan realitas
kehidupan suatu masyarakat, namun penulis beranggapan bahwa teori
ini telah memberikan sumbangan yang besar bagi kita untuk memahami ketimpangan penguasaan aset di dalam masyarakat. Adapun fokus
dari split-class theories sebagai berikut: “Dalam setiap kelas, ada
segmen atau sektor tertentu yang dijadikan sebagai subjek praktik
diskriminasi, dan pembagian tersebut sering kali berbasis kelas dan
etnik” [Liliweri, 2009].
Jika kita menggunakan logika split-class theories tersebut sebagai
pisau analisis untuk menjelaskan fakta yang ditemukan di lapangan
[lihat Bab XI], akan tampak sebagai berikut: bangunan pasar induk dan
pasar ikan yang disediakan pemerintah Kota Ambon untuk menampung para pedagang, namun dalam kenyataannya hanya ditempati oleh
247
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
para migran etnis Buton, dan Bugis Makassar [BBM]. 3 Tidak ada ruang
kosong bagi warga lokal, 4 akibatnya, trotoar di badan-badan jalan
dimanfaatkan [ditempati] warga lokal untuk menjajakan barang-barang
dagangan mereka [lihat Bab XI]. Mengadopsi logika Blauner, pola ini
tampak mencerminkan kelompok mayoritas memiliki posisi dominan
dan minoritas diletakkan sebagai subordinan.
Blauner [dalam Liliweri, 2009] mengatakan bahwa akibatnya,
hubung-an antar kelompok mayoritas dan minoritas dapat
digambarkan sebagai hubungan “kolonial dan eksploitatif” sehingga
semua peran minoritas secara sadar akan diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan mayoritas. Dalam situasi seperti ini, hemat penulis, negara
[pemerintah] harus berperan aktif menciptakan sistem pengawasan
terhadap perilaku “dominasi,” dengan cara menciptakan perangkat
hukum sebagai legitimasi yang kuat untuk mencegah pola-pola
perilaku dominasi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak,
stratifikasi kelompok [etnik] akan merupakan pola-pola perilaku yang
relatif tetap, yang berpotensi menciptakan terjadinya benturan fisik
dalam masyarakat.
Realitas tersebut dapat terjadi karena, peningkatan arus migrasi
ke Maluku terutama terjadi pada tahun 1960-an dan 1970-an
[Bertrand, 2002]. Para migran umumnya berasal dari Sulawesi [Bugis,
Buton, Makassar] dan Jawa, dengan motif ekonomi [Hadi, et.al, 2007]
Mereka kemudian bekerja sebagai pedagang sehingga berhasil mendominasi sektor ekonomi kecil dan informal. Ini dapat terjadi karena
penduduk lokal sebagian besar tidak begitu tertarik dalam bidang
perdagangan dan cenderung lebih berorientasi untuk bekerja sebagai
pegawai negeri. Menurut mereka, dominasi dalam sektor ekonomi
tersebut dalam taraf tertentu menimbulkan benih-benih ketidaksukaan
di kalangan rakyat lokal Ambon, khususnya yang beragama Kristen.
Selain itu, kerap pula terjadi friksi antara para migran dengan
penduduk lokal misalnya dalam kasus pemilikan tanah. Rakyat lokal
menilai para migran telah merebut tanah-tanah mereka secara sepihak,
3
Para pedagang etnis Buton, dan Bugis Makassar [BBM] ini seluruhnya beragama Islam.
Khususnya yang beraga Kristen.
4
248
Reintegrasi Sosial
sementara para migran juga mengklaim bahwa tanah tersebut telah
menjadi milik mereka karena telah lama didiami. Terhadap temuan
penelitian tersebut, Sen [2007] mengatakan bahwa, inilah dunia
dengan identitas yang terbelah-belah kaku, di mana perbedaan tajam di
bidang ekonomi-politik dicocok-cocokkan sebagai sebuah “subtema”
agar seolah pas dengan perbedaan etnisitas religius.
Hemat penulis, tidak dapat dipungkiri, adanya diagnosa tersebut
di atas relevan dengan kenyataan. Namun, dalam kasus pemilikan
tanah, penulis tidak sependapat. Penulis akui bahwa pola pemilikan
dan penguasaan tanah pada setiap daerah di Indonesia berbeda antara
satu dengan yang lain. Tanah-tanah di Ambon dan Lease adalah tanah
adat yang dikuasai oleh hak petuanan [beschikkingstrecht] dari setiap
negeri, dan dibagikan kepada penduduk asli negeri sebagai hak milik.
Hak atas tanahnya dapat diwariskan oleh keturunan dari pemegang
hak tersebut 5. Fakta yang penulis temui di lapangan menunjukkan
bahwa, orang luar [bukan orang Ambon] yang datang untuk tinggal
dan atau berusaha di satu negeri, sekalipun sudah lama mendiami
sebidang tanah tertentu namun ia tidak dengan leluasa dapat mengklaim sebagai miliknya [lihat Bab V].
Konflik
Diferensiasi sosial di satu sisi memang mudah dimanipulasi
sehingga melahirkan disorganisasi sosial. Tetapi di sisi lain, adanya
diferensiasi sosial sebenarnya juga tidak berarti akan selalu berubah
menjadi konflik jika masyarakat arif untuk merawatnya.
Konflik Maluku yang terjadi awal tahun 1999 itu mengakibatkan
terjadinya pemilahan sosial yang tegas menurut garis keagamaan yang
dianut dalam kehidupan orang Ambon. Kejadian tersebut mendadak
secara dramatis, dan masyarakat desa yang semula hidup rukun saling
tolong-menolong [lihat Bab V] berubah menjadi saling curiga, saling
bertikai, dan bahkan saling membunuh [lihat Bab VI,VII,VIII]. Sebelum konflik tahun 1999, walaupun berbeda agama [idiologi], hubungan
5
Untuk hal ini, lihat hasil penelitian ziwar Effendi, 1987, Hukum Adat Ambon-Lease.
249
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
antar kelompok di Ambon khususnya [dan Maluku umumnya] relatif
aman dan jarang terjadi konflik antar kelompok. Konflik dadakan itu
sepertinya terjadi tanpa sebab yang terang, namun jelas hal itu tidak
sebabkan oleh faktor tunggal yang dapat dipersalahkan sebagai
penyulut konflik [Hadi, et.al, 2007]. Menurut mereka, konflik Maluku
mungkin dianggap sebagai konflik horisontal semata, namun jika dilacak lebih jauh dan lebih mendalam maka akan tampak bahwa terdapat
relasi yang tidak harmonis antara negara dan masyarakat secara vertikal. Diakui oleh mereka bahwa, faktor-faktor lokal memang dominan
dalam sketsa konflik, tetapi tidak dapat diabaikan pula bagaimana
setting dan landscape politik nasional turut berpengaruh.
Hasil studi tentang konflik Maluku yang dilakukan Trijono
[2001], mengungkapkan bahwa agama, baik sebagai ideologi maupun
institusi telah mengalami politisasi sedemikian rupa sehingga menyebabkan terjadinya penguatan solidaritas in-group dari masing-masing
kelompok penganut agama yang sama. Menurut Ted Robert Gurr
[1971] bahwa, perbedaan ideologi yang dipertajam, pada gilirannya
mewujud dalam bentuk kekerasan fisik, karena terjadi justifikasi rasional dan justifikasi kolektif. Dalam pandangannya, justifikasi rasional
meliputi alasan-alasan pembenaran yang memperkuat kondisi kekecewaan yang dialami masyarakat, sementara justifikasi kolektif terkait
dengan variabel-variabel yang menjadi identitas dari sebuah kelompok
seperti agama, etnis, ras dan sebagainya. Kombinasi justifikasi inilah
yang membentuk motif konflik sebagaimana tercermin dalam perilaku
destruktif seseorang atau sekelompok orang, sehingga membawa
dampak negatif yang meluas dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Dalam menjelaskan realitas konflik Maluku, beberapa kalangan
tidak sekedar menelusuri pemicunya, tetapi juga mencoba mendalami
kondisi sosio-historis masyarakat Maluku sejak masa kolonial hingga
kemerdekaan [Orde Baru], antara lain; Hadi et. al, 2007; Ratnawati,
2006; Pieris, 2004; Bertrand, 2004; Trijono, 2001; MUI, 2000. Ketegangan-ketegangan hubungan sosial di antara komunitas Islam dan
Kristen selama masa kolonial dan kemudian masa kemerdekaan [Orde
Baru], dilihat oleh mereka sebagai iklim yang kondusif bagi bersemainya konflik Maluku. Dengan sedikit pemicu saja, maka meledaklah
250
Reintegrasi Sosial
konflik yang semula bersifat laten menjadi konflik yang terbuka
[manifest]. Hemat penulis, tidak dapat dipungkiri, adanya diagnosa tersebut di atas relevan dengan kenyataan. Namun, menurut Sen [2007],
menjalani hidup dengan penuh dendam terhadap inferioritas paksaan
dari sejarah masa lalu, sampai-sampai dendam tersebut mendominasi
prioritas hidup seseorang di masa kini, jelas merupakan sikap yang tak
adil pada diri sendiri. Hal ini juga bisa mengalihkan perhatian dari
berbagai tujuan lain dari masa kolonial yang patut untuk dihargai dan
diteladani pada masa kini.
Hasil studi yang dilakukan Nasikun memperkuat hasil temuan
lapangan yang penulis lakukan. Nasikum menemukan ada dua faktor
yang menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat yang plural,
yakni: cross-cutting affiliation dan cross-cutting loyalities. Menurut
Nasikun [1984], suatu masyarakat senantiasa terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial [cross-cutting affiliation]. Karena, dengan demikian setiap
konflik yang terjadi antar kelompok segera dapat dinetralisir oleh
adanya loyalitas ganda [cross-cutting loyalities] dari para anggota
masyarakat terhadap berbagai kelompok sosial.
Ada suatu pelajaran menarik dari sebuah kisah lama yang terjadi
pada saat eskalasi konflik relatif masih tinggi di Maluku, ketika kedatangan Laskar Jihad [LJ] ke negeri Siri Sori Salam [Islam]. Ceriteranya,
ada dua orang warga [pemuda] yang berdebat dengan LJ perihal
penolakan mereka terhadap keputusan LJ untuk menyerang komunitas
Kristen di negeri Siri Sori Sarane. “Bagaimana mungkin kita menyerang
saudara sendiri?”, tanya kedua orang tersebut. Dengan penuh emosional, kedua orang tersebut langsung dieksekusi oleh LJ di depan warga
[lihat Bab VI]. Sehubungan dengan itu, kisah yang dialami Ibu Anto
ketika negeri Waai diserang. Saat itu, ia bersama suami dan mertuanya
bertemu dengan LJ bersama tiga orang pemuda Islam dari negeri
Tulehu, suami dan mertuanya langsung dibunuh. Kata ibu Anto, “kalau
mau bunuh beta [saya], bunuh sekarang agar beta mati diantara suami
dan mertuanya”. Salah satu dari tiga orang pemuda tersebut menghampirinya kemudian bertanya “Ibu fam [marga] apa”, sahut Ibu Anto,
251
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
“Matakupan”. Pemuda tersebut mengatakan ia akan membantu, asalkan Ibu tidak boleh bicara apa-apa. Serentak dengan itu, Ibu Anto
dipakaikan [dikenakan] jilbab agar tidak dicurigai oleh LJ, kemudian
pemuda tersebut mengantarkan Ibu Anto ke Hitu seterusnya ke
Ambon [lihat Bab VII].
Kisah di atas mungkin sebuah contoh tentang menguatnya
bridging social capital ditengah suasana konflik yang sementara
berlangsung. Dengan demikian, konflik sosial yang terjadi tidak sertamerta dapat menimbulkan distrust antara pihak-pihak yang berkonflik.
Selama periode konflik Maluku di kota Ambon, tidak pernah dijumpai
adanya aktivitas serang-menyerang di antara dua atau lebih desa
(bahasa lokal: negeri) yang terikat dalam satu hubungan pela atau
gandong. Sebaliknya yang terjadi adalah, banyak warga masyarakat
yang memiliki ikatan-ikatan tradisional tersebut saling membantu
untuk menyelamatkan satu dengan lainnya dari massa penyerang. Indikasi yang kuat selama periode konflik berlangsung adalah, masyarakat
lokal tampak sangat menginginkan adanya revitalisasi institusi adat,
termasuk pela dan gandong. Itulah sebabnya, ditengah suasana konflik
yang belum mereda, dilakukan upacara panas pela 6 di antara negeri
Batu Merah (Muslim) dan negeri Passo [Kristen] di Kota Ambon.
Realitas ini menjelaskan tentang bridging social capital 7 yang justru
terlaksana melalui momentum konflik. Artinya, konflik telah melahirkan kesadaran baru di dalam kelompok-kelompok masyarakat pada
aras lokal tentang pentingnya mengaktualisasikan preserved social
capital dan membangun social bridges yang selama ini mengalami
pelemahan [Pariela, 2008].
Upaya rekonsiliasi yang diprakarsai dan digelar oleh berbagai
pihak [di tingkat lokal, nasional, hingga internasional yang menghadirkan kedua belah pihak], semestinya dijadikan pula sebagai salah satu
Panas pela adalah ritual yang dilakukan menurut adat untuk memperkuat kembali
sekaligus memelihara relasi-relasi sosial antar dua negeri (desa) atau lebih, yang karena
satu dan lain hal secara historis, mempunyai ikatan kekerabatan.
7 Bridging social capital, merujuk pada relasi-relasi antar kelompok yang heterogen,
dan ia memperkuat ikatan-ikatan lintas kelompok yang bersangkuta [Kearns, 2004:7;
Productivity Commission, 2003:16].
6
252
Reintegrasi Sosial
fakta [Pariela, 2008] yang memberi indikasi tentang potensi reintegrasi
sosial. Jika konflik Maluku yang telah berhasil membelah masyarakat
tidak memiliki potensi rujuk, maka kesediaan kedua belah pihak untuk
hadir bersama-sama dan berdialog, adalah sebuah keniscayaan. Hal ini
penting diberi aksentuasi, karena upaya ini berlangsung bukan hanya
setelah konflik Maluku menelan ribuan korban nyawa manusia; sebaliknya, sudah diusahakan sejak awal konflik terjadi. Artinya, potensi
rujuk telah terlihat, bahkan sejak awal konflik Maluku bermula.
Dengan menggunakan logika Habermars [Ritzer dan Goodman, 2008],
gambaran ini memberi indikasi tentang komunikasi yang tetap terbuka
di antara kedua pihak, dan keinginan atau kesediaan untuk bekerja
sama dalam rangka membangun kehidupan berdampingan secara
serasi.
Katong Pung Orang
Pada saat masyarakat terbelah, muncullah kesadaran kita dan
bukan kita yang oleh Derrida disebut the other [Aloysius, 2005]. Dalam
situasi seperti ini, maka perlu ada media untuk masyarakat berdialog.
Disinilah kemudian pela dan gandong itu sebagai local genius yang
mengintegrasikan masyarakat yang sudah terbelah itu.
Pertanyaan yang menuntun kita kepada identifikasi jejaring
adalah “orang siapakah yang dapat dikatakan sebagai “katong pung
orang?” Bagi masyarakat lain, penunjuk orang melalui pertanyaan ini
terdengar sangat mendua-arti. Namun bagi orang Ambon, pertanyaan
tersebut merupakan konsep yang jelas. “Katong pung orang” berlaku
terhadap orang salam dan sarane [Islam dan Kristen] Ambon jika seseorang dapat selalu bebas berinteraksi dengan atau tanpa satu alasan
tertentu. “Orang kami adalah orangmu” menunjuk pada pengertian
lokal. Orang Ambon menerapkan konsep ini secara selektif, dan karena
itu tidak dapat dicampuradukan dengan ciri umum budaya masyarakat
lainnya. Sebagaimana dikatakan oleh Derrida [Aloysius, 2005], bahwa
setiap komunitas mempunyai cara pandang sendiri yang tentu saja
dipengaruhi oleh situasi dan sejarah. Cara pandang yang tidak terlepas
dari jaring situasi serta sejarah lokalitas dan kelompok ini tentu saja
253
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
akan menghasilkan makna-makna yang berbeda terhadap suatu teks
yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa ada jejaring kekerabatan yang
sudah diakui mereka. Oleh sebab itu, satu tahun setelah stabilitas sosial
dan keamanan telah terkendali [pasca konflik], struktur dan sistem
sosial begitu cepat terbentuk kembali dalam kehidupan dua komunitas
di pulau Saparua yang terikat dalam hubungan gandong yang sama,
serta dua komunitas di pulau Ambon sekalipun berbeda hubungan
gandong. Kenyataan ini menjelaskan bahwa, pela, gandong dan karabat
merupakan struktur yang kokoh dalam masyarakat. Artinya, struktur
baru yang dihasilkan tetap memperlihatkan dominasi pela, gandong
dan kerabat yang disebut dengan istilah salam dan sarane [hanya
berlaku untuk orang Ambon]. Karena itu, dalam realitas kehidupan
sehari-hari tidak dijumpai adanya interaksi yang terpolarisasi dalam
berbagai konteks hubungan sosial.
Kategori masyarakat yang termasuk di dalam lingkup ‘katong
pung orang’ memperlihatkan tiga jenis ikatan yang menghubungkan
masyarakat pada masing-masing wilayah riset dengan masyarakat di
luar wilayah riset. Jenis ikatan pertama didasarkan pada hubungan
gandong yang sama. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, konsep
gandong (uterus) memberikan gambaran yang cukup jelas bagi
masyarakat dari negeri-negeri yang terikat di dalamnya [lihat uraian
katorang versus dorang]. Karena itu, sekalipun struktur beda [agama],
namun ‘gandong’ dapat menjadi faktor adhesi sosial untuk mengintegrasikan kedua komunitas.
Gandong
Salam
sebagai
adhesi sosial
Sarane
Gambar 4
Gandong sebagai Perekat [adhesi sosial]
254
Reintegrasi Sosial
Reintegrasi sosial dapat terjadi dengan cepat pada dua komunitas
ini kerena penyebab konflik sebenarnya bukan berasal dari dalam
[mereka]. Dalam perjalanan kehidupan mereka [kedua komunitas] jauh
sebelumnya, proses reintegrasi pernah terjadi. Aktivitas panas ‘pela’
dan panas ‘gandong’ merupakan mekanisme tradisional untuk ‘memelihara’ sekaligus ‘merawat’ proses tersebut [integrasi]. Ketika pasca
konflik, keterlibatan bersama dalam berbagai aktivitas [lihat Bab IX],
ternyata berfungsi sebagai faktor yang mendorong mempercepat
terjadinya proses reintegrasi sosial.
Jenis ikatan kedua pada dua komunitas yang berbeda hubungan
gandong di pulau Ambon, didasarkan pada hubungan kerabat yang
terjadi atas dasar hubungan perkawinan [afinitas]. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, konsep ini juga dipahani secara jelas oleh mereka.
Oleh sebab itu, sekalipun mereka berbeda hubungan gandong, namun
fungsionalisasi kerabat sebagai bridging social capital untuk mengatasi
berbagai masalah di antar mereka. Karena itu, sekalipun struktur beda
[agama], namun ‘kerabat’ dapat menjadi faktor adhesi sosial untuk
mengintegrasikan kedua komunitas.
Salam
Kerabat
sebagai
adhesi sosial
Sarane
Gambar 5
Kerabat sebagai Perekat [adhesi sosial]
Seperti telah disebutkan sebelumnya, proses reintegrasi sosial
dapat terjadi dengan cepat pada dua komunitas ini kerena penyebab
konflik sebenarnya bukan berasal dari dalam [mereka]. Dalam perjalanan kehidupan mereka [kedua komunitas] jauh sebelumnya, proses
reintegrasi pernah terjadi. Kehidupan bersama dalam satu teritorial
[lihat Bab V], ritus-ritus kekerabatan, serta aktivitas panas ‘pela’ dan
panas ‘gandong’ yang dilakukan dengan komunitas negeri-negeri yang
255
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
terikat dalam ikatan tersebut [pela, gandong] merupakan mekanisme
tradisional untuk ‘memelihara’ sekaligus ‘merawat’ proses tersebut
[integrasi]. Ketika pasca konflik, munculnya kesadaran komunitas
Islam di negeri Tulehu untuk menjemput komunitas Kristen dari lokasi
pengungsian untuk kembali ke negeri mereka [Wai], diikuti dengan
keterlibatan dalam berbagai aktivitas yang dilakukan bersama, serta
ritual ‘anak cucu Marlou’ yang dilakukan secara berkala [lihat Bab X],
ternyata berfungsi sebagai faktor yang mendorong mempercepat
terjadinya proses reintegrasi sosial.
Jenis ikatan ketiga dengan jejaring antara dua komunitas di
wilayah riset [negeri Siri Sori Salam, Siri Sori Sarane di pulau Saparua,
serta negeri Tulehu dan Wai di pulau Ambon] yang terikat dalam satu
ikatan pela dengan masyarakat dari negeri-negeri lain di luar wilayah
riset [lihat Bab V]. Dalam konteks ini, fungsionalisasi pela sebagai
bridging social capital untuk mengatasi berbagai masalah di antar
mereka. Oleh sebab itu, sekalipun struktur beda [agama], namun ‘pela’
menjadi faktor adhesi sosial untuk mengintegrasikan kedua komunitas.
Hal ini tampak dari respons positif masyarakat dalam rangka revitalisasi institusi adat terlihat dengan jelas ketika Pemerintah Provinsi
[Maluku] memfasilitasi kegiatan panas ‘pela’ untuk beberapa negeri
menjelang peringatan 60 tahun Provinsi Maluku yang dilaksanakan
pertama kali pada bulan Agustus tahun 2005. Hemat penulis, realitas
ini merupakan bentuk penghayatan makna kolektif.
Salam
Pela
sebagai
adhesi sosial
Sarane
Gambar 6
Pela sebagai perekat [adhesi sosial]
Gambaran di atas menjelaskan bahwa, rasa akan identitas bisa
memberi sumbangan berarti bagi kekuatan dan kehangatan hubungan
256
Reintegrasi Sosial
di antara mereka, sehingga membuat [mendorong] mereka bersedia
melakukan berbagai hal. Kepustakaan mutakhir tentang “modal sosial”,
yang dikupas secara cermat oleh Robert Putnam dan beberapa pemikir
lain, menunjukkan dengan cukup jelas bagaimana kesamaan identitas
dalam satu komunitas sosial dapat membuat kehidupan di komunitas
tersebut berjalan lebih baik. Rasa keterikatan terhadap komunitas itu
kemudian dipandang sebagai suatu sumber daya-laiknya modal
[Putnam, 2000].
Tentu harus diakui bahwa kesadaran melakukan perbuatan
untuk mementingkan kepentingan bersama tentu selalu mengidentifikasikan bahwa tindakan tersebut senantiasa dipengaruhi oleh rasa
identitas bersama. Hemat penulis, realitas di atas [perbuatan] itu dipengaruhi oleh jenis-jenis pertimbangan lainnya, seperti ketaatan pada
norma tertentu atau rasa tanggung jawabnya kepada orang lain [atau
keharusan untuk menjaga kepercayaan pihak lain] karena hubungan
kekerabatan di antara mereka begitu sangat jelas [lihat Bab V]. Karena
itu, rasa identitas bersama bisa memberi pengaruh yang sangat penting
terhadap perilaku kelompok sehingga mereka dengan mudah bersedia
mewujudkan perbuatan yang mengutamakan kepentingan bersama.
Dalam terminologi Berger [1969], makna kolektif inilah yang lebih
memainkan peranan dalam menjaga keutuhan masyarakat karena
dihayati oleh masyarakat.
Berbeda dengan dua komunitas di perdesaan, bagi dua komunitas
di kota Ambon yang tidak memiliki hubungan gandong. Pertanyaan
yang menuntun kita pada bagian ini adalah “apakah memang ada
semacam kesadaran kolektif di antara bagian-bagian itu sehingga
mereka menerima bahwa mereka adalah orang Ambon dalam arti
subjektif dan objektif”?.
Pertanyaan ini tentu sangat sulit untuk dijawab dengan tepat
tanpa suatu kecermatan untuk memahami fakta sosial yang terjadi
dalam masyarakat. Tetapi realitas sosial yang muncul dan berkembang
antara warga kedua komunitas di kota Ambon dalam realitas kehidupan seharai-hari menunjukkan bahwa apa yang disebut dengan reintegrasi itu lebih merupakan suatu kenyataan politik daripada suatu
257
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
kenyataan reintegrasi
Reintegrasi Sosial
Pengantar
Ketika berakhirnya perang dingin, dunia menyaksikan berbagai
konflik internal pecah di mana-mana, Yugoslavia, Mecadonia, Kosovo,
Rwanda, Anggola, Bosnia, Kroasia, Turki, Tajikistan, Myanmar dan
lainnya, termasuk di Indonesia. Konflik-konflik internal tersebut
memunculkan kembali isu self determination, konflik antar etnis
dalam masyarakat yang plural dan multi etnis, ataupun konflik antara
negara-masyarakat [Hadi, at.el, 2007].
Pada konflik-konflik internal yang pecah di Indonesia, Orde
Baru telah memberikan andil terciptanya solidaritas in group dan out
group tanpa pertimbangan keragaman etnis dalam masyarakat telah
membuat konflik etnis menjadi sebuah “bom waktu.” Pemicu sekecil
apapun bisa membuat konflik etnis atau agama meledak, tanpa dapat
dicegah oleh pemerintah sekali pun. Oleh sebab itu, pasca pemerintahan Orde Baru tahun 1998, fanomena yang muncul sangat memprihatinkan karena menguatnya eskalasi konflik lokal pada sejumlah wilayah di Indonesia. Ketika Orde Reformasi yang dimaknai sebagai fase
transisi [menuju demokratisasi], di satu sisi memang telah memberikan
kebebasan yang lebih luas kepada rakyat untuk mengekspresikan diri,
namun di sisi lain, justeru terjebak pada rapuhnya proses nation
buiding [Hadi, at.el, 2007]. Konflik di Sambas, Timor Leste, Aceh,
Papua, Posso dan Maluku, misalnya, merupakan konflik-konflik lokal
yang menimbulkan dampak luas yang memprihatinkan.
233
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Dalam sejarah pekembangan masyarakat di Maluku, konflik
sosial yang terjadi tahun 1999 merupakan salah satu konflik dengan
tingkat eskalasinya sangat masif dan berlangsung dalam kurun waktu
cukup lama [kurang lebih tiga tahun] serta menimbulkan efek destruktif yang sangat besar. Dinamika konflik yang kompleks dan penanganan yang parsial dari pemerintah mengakibatkan konflik terus berlarutlarut. Korban jiwa, harta benda serta hancurnya sarana-prasarana peribadatan dan fasilitas pemerintahan sangat memprihatinkan. Masyarakat merasakan dampak berantai, sehingga masalah yang datang silih
berganti seakan tidak habisnya.
Pertanyaan yang berhubungan dengan isu tentang keseluruhan
orang Ambon dengan bagian-bagian yang membentuknya adalah
“mengapa konflik yang terjadi dengan tingkat eskalasi yang sangat
masif dan efek destruktif yang besar, begitu cepat terciptanya pemulihan sosial dalam masyarakat”? Hemat penulis, proses pemulihan sosial
tersebut dapat terjadi begitu cepat karena lembaga-lembaga lokal yang
merupakan “local genius” yang berperan dalam percepatan proses tersebut. Dalam bagian ini, penulis ingin melihat proses integrasi, konflik
dan reintegrasi sosial pasca konflik Maluku.
Katong Samua
Pada bagian ini, penulis akan menganalisis temuan lapangan
sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya [bab VIII-X] dalam
satu konsep yang penulis sebut “katong samua”. Konsep ini menunjuk
pada identifikasi diri orang Ambon sebagai “satu keseluruhan” tanpa
membeda-bedakan antara satu dengan yang lain dari segi agama yang
dianut. “Katong samua” menunjuk pada pengertian lokal. Artinya,
orang Ambon dalam realitas kehidupan sehari-hari menerapkan
konsep ini secara selektif dan karena itu tidak dapat dicampuradukan
dengan ciri umum budaya masyarakat lainnya. Dengan langsung
menerima “katong samua” sebagai suatu kenyataan, maka etnisitas
ditafsirkan sebagai “perasaan menjadi bagian dari” yang dibawa sejak
lahir, dan yang mendasari sebuah identitas budaya Ambon. Karena itu,
dalam bagian ini akan dibahas sintesa yang dimulai dengan merasio234
Reintegrasi Sosial
nalisasikan konsep reintegrasi sosial dan mengaitkannya dengan
“katong samua” sebagai kekuatan perekat. Katong Samua, merupakan
satu proses dialektis, antara individu [the self] dan dunia sosiokultural.
Ketika reintegrasi sosial antar komunitas [orang Ambon] diwujudkan
melalui katong samua, maka eksistensi reintegrasi sosial dapat dipertahankan secara berkelanjutan.
Pertanyaan yang menuntun kita pada identifikasi ‘katong samua’
adalah ‘sapa-sapa [Indonesia: siapa] saja yang dapat dikatakan sebagai
katong samua?’ Penunjuk ‘sapa’ melalui pertanyaan ini terdengar
sangat mendua-arti bagi orang luar. Namun bagi orang Ambon pertanyaan tersebut merupakan konsep yang jelas [lihat Bab IV, V].
Dalam konteks ini, identitas dilambangkan dengan satu atau
beberapa unsur yang dapat menandai bukan hubungan antara dua
kelompok, melainkan jarak di antara dua kelompok itu yang kurang
lebih sama dibandingkan dengan bagian masyarakat lain. Pemikiran
teoritis mengenai penggunaan identitas sebagai alat [pemersatu] mengingatkan pada penelitian meyakinkan yang dilakukan oleh P. Bourdieu
mengenai strategi kelompok-kelompok kekerabatan. Dalam kajiannya,
Bourdieu [1980] mempersoalkan gagasan bahwa kelompok geneologis
bersifat konstan dan bermakna tetap dengan menunjukkan bahwa
kelompok-kelompok ini sebenarnya didefinisikan oleh pelaku-pelaku
sosial sesuai dengan kepentingannya dan bukan sebaliknya. Dalam
hubungan dengan itu, J. Nagata [Perret, 2010] juga menggarisbawahi
perbandingan itu dengan mengatakan bahwa kelompok etnis, di luar
segala kondisi objektif yang ikut mempengaruhi kelahirannya, sempat
menciptakan mitos asal-usul, kekerabatan, wilayah, bahkan juga agama
atau bahasa yang sama, dengan cara yang sama dengan proses penciptaan silsilah untuk mengesahkan hubungan dan tata kekerabatan
tertentu.
Terhadap kedua pikiran teoritis seperti tersebut di atas, memperkuat hasil temuan lapangan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya
[lihat bab IV,V]. Hal penting yang mungkin dapat dikemukakan
adalah, Bourdieu cenderung lebih menunjukkan pada strategi yang
diarahkan untuk memenuhi kepentingan materi dan simbolis. Dengan
235
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
mencontohkan hubungan perkawinan, di sini sebenarnya ia [Bourdieu]
lebih menitik beratkan kajiannya pada sitem pertukaran yang terjadi
dalam masyarakat. Hemat penulis, Bourdieu belum melihat bahwa di
samping kelompok geneologis, juga ada kelompok teritorial yang
mengikat warga masyarakat satu dengan yang lainnya. Temuan lapangan menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa yang pernah dialami bersama pada masa lampau, kemudian menjadi landasan untuk membangun persekutuan antar negeri yang dikenal dengan “pela” dan
“gandong” [Cooley, 1962; Bartels, 1977]. Yang menarik di sini adalah,
ada keteraturan [order] 1 dan keterulangan [regularities]. Menurut
penulis, realitas ini lah [pela dan gandong] merupakan strategi kelompok-kelompok yang mengikat mereka [orang Ambon] secara lebih
konstan dan bermakna. Bagi Geertz [1963], yang namanya hubungan
darah atau hubungan emosional merupakan sesuatu yang given atau
yang sudah pasti ada dalam setiap kebudayaan dan masyarakat, dan hal
ini tidak dapat dielakkan. Artinya, kita tidak pernah menyangkal
bahwa kita semua dilahirkan dalam suatu komunitas tertentu yang
“dari sana sudah ada”.
Kesatuan yang dibangun atas dasar kepentingan bersama ini akan
melahirkan ritus-ritus sosial. Acara panas pela, gandong, dan pelantikan raja [lihat Bab V, IX, X] yang diadakan secara kolektif dan reguler
dimaksudkan agar masyarakat disegarkan dan dikembalikan akan
pengetahuan dan makana-makna kolektif. Dalam ritus, dihadirkan
kembali makna realitas dalam masyarakat [makna sosial]. Dengan
demikian, dalam ritus tersebut masyarakat memperbaharui kerangka
epistemologis yang secara multi-dimensional menentukan dinamikanya.
Kai Erikson, memaknai realitas seperti yang digambarkan di atas
sebagai “bondary maintenance” atau penjaga batas. Erikson [Supriyono,
2005] menyatakan bahwa, masyarakat secara bersama-sama menjaga
1 Untuk merawat relasi timbal-balik, anggota/warga dua kelompok yang terikat dalam
satu ikatan pela atau gandong, mereka dilarang untuk saling menikah, harus saling
menjaga dan melindungi, tolong-menolong secara timbal-balik. Dan atas dasar kesepakatan bersama, pada waktu tertentu dilaksanakan aktivitas panas pela dan panas
gandong.
236
Reintegrasi Sosial
batas yang dapat diterima menurut nilai-nilai yang secara kolektif
mereka hayati. Aktivitas pembangunan rumah-rumah peribadatan
[Mesjid dan Gereja] yang dilakukan secara bersama-sama misalnya
[lihat Bab V, IX, X], cara ini digunakan [masyarakat] untuk menegakkan kembali nilai-nilai kesatuan dan moralitas kolektif; yang oleh
Durkheim disebut “the sacred”. Menurut Durkheim [Ritzer dan
Goodman, 2008], nilai-nilai yang disepakati, atau the sacred itu, berperan untuk menjaga keutuhan dan ikatan sosial sebuah masyarakat
serta secara normatif mengendalikan gerak dinamika sebuah masyarakat. Itulah hukum utama dan terutama dalam sebuah masyarakat
yang juga sumber identitas kolektif. Dengan demikian, Celestine
Bougle [Supriyono, 2005] mengatakan bahwa dalam situasi seperti ini,
dimensi religius membingkai logika budaya komunitas setempat.
Dengan mengadopsi logika Berger dan Luckman [1990], pola ini
akhirnya memperoleh generalitas yang paling tinggi, di mana dibangun
suatu dunia arti simbolis yang universal, yang kemudian disebut sebagai pandangan hidup atau ideologi. Pandangan hidup yang diterima
umum itu dibentuk untuk menata dan memberi legitimasi pada
konstruksi sosial yang sudah ada serta memberikan makna pada pelbagai bidang pengalaman mereka sehari-hari. Legitimasi di sini adalah
proses penjelasan [unsur kognitif] dan pembenaran [unsur normatif]
dari suatu interaksi antar individu.
237
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
KATONG SAMUA
[Struktur Sosial-Budaya]
Agama
Samawi
[Islam –
Kristen]
Segregasi
Salam
Segregasi
Sarane
Konsensu
Katorang/
Dorang
Katorang/
Dorang
Dominasi Subordinasi
Mayoritas Minoritas
Negara
Islam
TNI
Segregat
extrapolar
Salam yang
extrim
Konflik
Segregat
extrapolar
Sarane yang
extrim
Gambar 1
Model 2 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Katorang versus Dorang
Pada bagian ini, penulis akan melakukan analisis terhadap temuan lapangan [sebagaimana telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya] dalam satu konsep yang penulis sebut “Katorang versus Dorang”.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, orang Ambon baik secara individu maupun kelompok, mengetahui benar dengan siapa atau dengan
kelompok mana ia memiliki pertalian darah dan dengan demikian
memiliki hubungan kerabat baik kerabat dekat maupun kerabat jauh.
Biasanya kelompok-kelompok itu apabila berhadapan dengan kelompok lain, maka kelompok itu disebut dorang [Bahasa Indonesia:
mereka] dan kelompoknya sendiri sebagai katorang [Bahasa Indonesia:
kami]. Konsep ini menunjuk pada adanya diferensiasi sosial yang
2
Model ini dibangun dari ide imajinatif penulis.
238
Reintegrasi Sosial
terjadi ketika masuknya agama samawi kemudian membela masyarakat
[orang Ambon] menjadi “salam dan sarane” [Islam dan Kristen]. Artinya, penulis memiliki alasan yang jelas untuk mengakui, menghargai,
dan mempertahankan kebebasan tersebut. Tentu saja pilihan selalu
dibuat dalam batas-batas tertentu yang kita pandang layak.
Dengan mengadopsi logika Vel [2010], maka pertanyaan yang
menuntun kita kepada identifikasi jejaring adalah “rumah siapakah
yang dapat dikatakan sebagai “kita punya rumah sendiri?” Penunjuk
rumah melalui pertanyaan ini terdengar sangat mendua-arti bagi orang
luar. Namun bagi orang Ambon, pertanyaan tersebut merupakan
konsep yang sudah jelas. “Kita punya rumah sendiri” berlaku terhadap
kelompok [jejaring] jika seseorang dapat selalu bebas masuk, dan
tinggal, dengan atau tanpa suatu alasan khusus. Ini bukan berarti seseorang dapat mengandalkan dukungan dan keramahtamahan dari para
penghuninya, atau seseorang akan bebas mengharapkan dan mendapatkan kemurahan hati atau bantuan materi, tetapi realitas tersebut menjelaskan bahwa sekalipun terjadinya diferensiasi sosial dalam kehidupan masyarakat namun kebudayaan lokal [pela, gandong dan kerabat]
masih mengikat mereka satu dengan yang lainnya. “Rumah kami
adalah rumahmu” menunjuk pada pengertian lokal. Negeri Siri Sori
[Salam-Sarane], Tamilou [Salam] dan Hutumuri [Sarane] misalnya,
adalah kelompok masyarakat atau negeri yang tergabung dalam persekutuan ‘bongso’ yang memiliki latar belakang sejarah yang sama sekali
pun berbeda dari segi agama yang dianut, yang pada dasarnya dilahirkan oleh seorang “Ibu” atau dari “rahim” yang sama, gandong dan
dengan posisinya masing-masing sebagai adik atau kakak. Demikian
pula, negeri Tulehu (Islam), Sila (Kristen), Laimu (Islam), Paperu
(Kristen), Asilulu (Islam), Tial (Islam) dan Hulaliu (Kristen) adalah
kelompok masyarakat yang tergabung dalam persekutuan “silatupatih
siratu yama wallu” adalah kelompok-kelompok masyarakat atau negeri
yang memiliki latar belakang agama yang berbeda satu dengan lainnya.
Hubungan kekerabatan yang dibangun oleh kelompok-kelompok
masyarakat tersebut melalui sebuah persekutuan memperlihatkan adanya gagasan pluralisme dalam masyarakat tersebut. Peristiwa sejarah
masa lampau yang memberikan gambaran bahwa mereka pada
239
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
dasarnya dilahirkan oleh seorang “Ibu” atau dari “rahim” yang sama,
gandong dan dengan posisinya masing-masing sebagai adik atau kakak
menuntut untuk saling menolong dalam berbagai konteks hubungan
sosial, saling menghargai dan memperhatikan dalam keberagaman.
Islam
Kebudayaan
lokal
Kristen
Gambar 2
Hubungan antara Agama Samawi
dengan Kebudayaan Lokal
Walaupun terhadap realitas seperti ini, para pemikir komunitarian cenderung berpendapat bahwa identitas komunal yang tepatpasti hanyalah merupakan persoalan realisasi diri, dan bukan persoalan
pilihan [Sen, 2007]. Akan tetapi, sulit bagi kita untuk percaya bahwa
orang sama sekali tidak punya pilihan dalam menentukan derajat kepentingan relatif yang dikenakannya pada berbagai kelompok tempatnya bernaung. Atau bahwa dia hanya perlu “menemukan” identitas
kodratinya, seolah langkah “menemukan” identitas itu sepenuhnya
merupakan fenomena alami. Pada kenyataannya, penulis berpendapat
bahwa sepanjang waktu kita semua terus menentukan pilihan-pilihan,
walaupun meski cuma secara tersirat, mengenai prioritas yang mesti
diambil berkenaan dengan afiliasi dan asosiasi kita yang berbeda-beda.
Kebebasan untuk menentukan kesetiaan dan prioritas di antara pelbagai macam kelompok [pertalian kita], menurut hemat penulis, merupakan sebuah kebebasan yang teramat penting. Adanya pilihan ini
tentu saja tidak menandakan bahwa pilihan tersebut tidak dibatasi oleh
hambatan-hambatan. Hemat penulis bahwa, sepanjang perkembangan
diferensiasi sosial tetap fungsional dan sifatnya saling mengisi, ketidakpuasan dan perselisihan di dalam masyarakat kecil kemungkinan bakal
tersulut.
240
Reintegrasi Sosial
Pasca kemerdekaan hingga masa pemerintahan Orde Lama,
kebebasan warga negara [masyarakat] dalam menentukan pilihan saat
itu memperoleh bingkai nasionalisme yang cukup kuat, sehingga
proses-proses dialektika yang sesungguhnya mengandung ancaman
disintegrasi dapat diletakkan dalam kerangka persatuan untuk secara
bersama-sama mencari bentuk ideal dari sebuah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Namun, ketika Orde Baru
mengambil alih tampuk kepemimpinan, kebebasan tersebut mulai dicederai. Pada saat itu, tatanan pluralisme primordial [diferensiasi
dimaksud] tidak dilihatnya sebagai potensi positif yang bisa dijadikan
starting point untuk memfasilitasi perkembangan masyarakat dan
bangsa, namun realitas tersebut diwaspadai sebagai ancaman yang
berpotensi menciptakan disintegrasi bangsa [baik secara sosial maupun
politik]. Implikasinya, tertib sosial yang berhasil dicapai hanya mencerminkan kualitas integrasi sosial politik yang semu, karena nilai-nilai
apresiatif terhadap realitas kemajemukan tidak ter-institusionalisasi
apalagi ter-internalisasi dalam perilaku berbagai kelompok baik
komunitas etnis, agama maupun golongan. Karena itu, wajar bila sketsa
masyarakat seperti ini dapat dilihat sebagai imperatively coordinated
associations (persekutuan yang terkoordinasi secara paksa). Dengan
demikian, tidak terlalu mengherankan jika keteraturan yang terdapat
dalam masyarakat dinilai hanya disebabkan oleh adanya tekanan atau
pemaksaan kekuasaan dari golongan penguasa.
Pergulatan rumit dari realitas tersebut di atas mengakibatkan
munculnya benturan antara ideologi lama [struktur sosial] yang mulai
mengalami proses pelemahan dengan ideologi baru [individualisme]
yang belum sepenuhnya terbentuk. Kebijakan penyeragaman yang
diwujudkan melalui intervensi dan penerapan UU nomor 5 tahun 1979
[tentang sistem pemerintahan Desa] misalnya, hemat penulis, ternyata
menimbulkan instabilitas struktur sosial yang sangat melemahkan
jaringan hubungan antar institusi lokal, sehingga lembaga pemerintahan adat, pela, gandong dan berbagai institusi adat lainnya berada dalam
keadaan sekarat. Penulis berpendapat bahwa, hal ini disebabkan karena
sistem dan jaringan kelembagaan dalam konteks UU tersebut adalah
berbeda dengan yang terakomodasi dalam adat istiadat satu masyara241
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
kat. Pela dan gandong misalnya, terkait bukan dengan desa, tetapi
dengan negeri sebagai suatu totalitas.
Pada masa lalu, beberapa institusi adat [seperti pela dan gandong]
tersebut merupakan bukti betapa masyarakat [orang Ambon, khususnya] sebelumnya memiliki sejumlah kearifan pengetahuan lokal untuk
memelihara tertib sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Institusi yang dibentuk berdasarkan hubungan-hubungan kekerabatan baik geneologis maupun teritorial tersebut, mengandung
makna aliansi yang memadukan perbedaan-perbedaan dalam suatu
wadah persatuan. Maksudnya, persatuan yang terwujud secara tradisional, tidak menghilangkan identitas diri masing-masing kelompok subsuku (yang umumnya berbeda agama); sebaliknya, simbol-simbol
perbedaan yang ada selalu digunakan mewarnai dan mendukung pola
interaksi antar kelompok. Seiring dengan perubahan sosial yang terjadi,
maka di satu pihak, melemahnya ikatan kekerabatan antar kelompok
lokal (Salam-Sarani); sementara dilain pihak, terjadi penguatan solidaritas atas dasar kesamaan agama yang dianut. Dalam situasi tersebut van Klinken [2007] mengatakan bahwa, subteks relegiusitas yang
tersembunyi akan mewarnai kapital simbolis yang menggambarkan
persaingan diam-diam antara dua agama besar yakni Islam dan Krsiten
Protestan.
Komunitas
Salam
Pendatang
Islam
Diikat oleh budaya
Universal [Menguat]
Komunitas
Sarane
Diikat oleh
Budaya lokal
[Melemah]
Pendatang
Kristen
Diikat oleh budaya
Universal [Menguat]
Sumber : Pariela, 2008.
Gambar 3
Perubahan Pola Hubungan Sosial Komunitas di Maluku
242
Reintegrasi Sosial
Penguatan solidaritas atas dasar kesamaan agama yang dianut
semakin dipertegas ketika Indonesia memasuki apa yang disebut era
reformasi. Penanda pada era baru ini adalah kebebasan. Jika pada masa
Orde Baru berbagai partikularitas identitas-dirangkun dalam istilah
SARA [suku, agama, ras, dan antar golongan]-dibungkam sedemikian
rupa, reformasi justeru memberi kesempatan seluasnya bagi partikularitas tersebut untuk hadir mengisi ruang publik. Amin Mudzakkir
[2011] menyatakan bahwa, pada titik ekstrimnya, kehadiran identitas
yang dulunya terbungkam itu berubah perseteruan berdarah. Integrasi
nasional sempat terancam, namun pemerintah dapat mengatasi
tantangan tersebut. Setahun setelah reformasi digulirkan, pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang [UU] Nomor 39/1999 tentang Hak
Asasi Manusia [HAM]. Ini adalah terobosan yang luar biasa dan kontras
dengan kebijakan pemerintah sebelumnya. UU tersebut memuat
jaminan negara terhadap hak sipil dan politik warga negara. Termasuk
di dalamnya adalah kebebasan beragama.
Dilihat dari sisi legalitas, hak sipil dan politik di Indonesia telah
mempunyai sandaran yang kuat. Namun dalam realitasnya, dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu untuk memposisikan diri dalam format politik Indonesia baru. Sejak saat itu lah, isyu
agama sebagai salah satu sarana pembinaan solidaritas dan sentimen ingroup menjadi pilihan strategis untuk menggalang kekuatan massa,
sehingga terkesan bahwa agama sementara diposisikan sebagai kendaraan politik bukanlah kesan yang absurd semata. Artinya, makna
agama sebagai suatu keyakinan atau akidah direduksi sedemikian rupa
menjadi semata-mata suatu fenomena sosial yang bisa ditunggangi
demi kepentingan sesaat dari orang-perorangan atau kelompok tertentu.
Realitas ini dapat terjadi karena, perkembangan Islamisme di
Timur Tengah telah menyulut api radikalisme keagamaan di Indonesia
dan negara-negara Muslim lainnya [Fealy dan Bubalo, 2007]. Gerakan
yang bersumber pada doktrin Salafi Wahabi itu pada dasarnya
menyerukan purifikasi. Jargonnya adalah Islam ‘kaffah’ [‘sepenuhnya’].
Mudzakkir [2011] mengatakan, sikap mereka bersifat sekuler. Tidak
ada pembedaan antara partikularitas dan universalitas, ruang privat dan
243
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
ruang publik; negara harus berdasar agama, tentu agama berdasarkan
penafsiran tertentu yang diyakini oleh mereka, sehingga jika ada
individu atau kelompok yang meyimpang atau melakukan penodaan
terhadap agama, negara wajib turun tangan. Mudzakkir menambahkan
bahwa, akibat dari Islamisme yang melahirkan kelompok Islam radikal
ini adalah peneguhan Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, sebagai
pusat Islam. Apa yang dihasilkan oleh ulama di sana dijadikan acuan
oleh ulama di sini [Indonesia]. Fatwa sesat terhadap Ahmadyah lahir
dalam konteks ‘globalized Islam’ seperti ini [Roy, 2006]. Sejak saat itu,
berbagai fatwa serupa bermunculan di negara-negara Muslim lainnya,
seperti di Malaysia, Brunai Darussalam, dan Pakistan [Mudzakkir,
2011]. Akibat lebih lanjut yang muncul di Indonesia adalah, sosialisasi
berbagai isyu yang merangsang menguatnya sentimen dan solidaritas
kelompok pada grassroot level, terutama yang bernuansa agama
“dimainkan” oleh orang atau kelompok tertentu, sehingga suasana
bathin kelompok masyarakat lapisan bawah terkondisi dalam format
yang sangat eksklusif. Salah satu akibat yang dirasakan dalam kehidupan masyarakat di Ambon adalah munculnya segregasi secara ekonomi
dan politik.
Akibat perkembangan lebih lanjut dari situasi sebagaimana digambarkan di atas, pada akhir tahun 1980-an persaingan antar kelompok di sektor publik semakin meningkat di Ambon. Salah satu hasil
penelitian yang pernah dilakukan di Ambon menunjukkan bahwa,
dalam jabatan-jabatan politik-birokrasi di pemerintahan daerah, dikotomi berdasar agama ini berlaku [Hadi, et.al, 2007]. Pada awalnya, pola
semacam ini tidak menimbulkan masalah yang cukup berarti karena
tiap-tiap kelompok mampu menjaga hubungan yang relatif harmonis.
Namun, pola tersebut menjadi semakin mencolok yang mengarah pada
penguatan identitas dan kelompok berdasarkan agama. Karena itu,
Pariela [2008] mengatakan bahwa, pergeseran medan dari conflict of
interest menjadi konflik ideologis secara terbuka pada tataran lapisan
bawah, bisa diidentifikasi melalui kerusuhan sosial dan pertikaian antar
kelompok yang terjadi di berbagai wilayah tanah air.
244
Reintegrasi Sosial
Mayoritas versus Minoritas
Pada awal tahun 1980-an, perkembangan diferensiasi sosial
dalam kehidupan orang Ambon tetap masih fungsional dan sifatnya
saling mengisi. tidak ada persoalan dengan mayoritas dan minoritas.
Namun ketika perbedaan dan benturan kepentingan mulai muncul
serta makin menguatnya solidaritas atas dasar kesamaan agama yang
dianut, konflik antar kelompok di dalam diferensiasi sosial mulai
muncul. Hasil studi yang dilakukan di Ambon menunjukkan bahwa
persaingan dalam jabatan-jabatan publik yang kemudian dibungkus
dalam kompetisi agama-menimbulkan kecurigaan-kecurigaan pada
kedua belah pihak [Hadi, et.al, 2007].
Sesungguhnya, cara-cara alternatif untuk merespons ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat suatu
bangsa pada taraf tertentu saling berebut perhatian warga dunia saat
ini. Di Indonesia, kebebasan warga dalam menentukan pilihan mulai
diciderai ketika Orde Baru mengambil alih tampuk kepemimpinan
nasional. Hal ini ditandai dengan tumbuh suburnya Islamisme di
Indonesia dalam dua dekade terakhir seiring dengan perubahan relasi
kekuasaan pada masa orde baru. Dengan mengadopsi pikiran
Mudzakkir [2011], di akhir masa kekuasaannya, Soeharto terlihat
semakin dekat kepada kelompok Islam. Ini kontras dengan kebijakan
Soeharto pada awal masa kekuasaannya yang justeru sangat keras
terhadap mereka [Islam]. Perubahan orientasi politik ini tidak lepas
dari perpecahan di dalam kelompok elit lama. Menurutnya, dengan
menggandeng kelompok Islam, Soeharto berharap bisa melanjutkan
pemerintahan yang dipimpinnya lebih lama lagi. Namun menurut sebagian kalangan intelektual Muslim [yang kemudian tergabung dalam
ICMI], kedekatan Soeharto dan kaum Muslim adalah perkembangan
baik yang menguntungkan kedua belah pihak [Hefner, 2001].
Pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia [ICMI]
pada tahun 1990 misalnya, dapat dilihat sebagai salah satu bentuk kebijakan pemerintah Orde Baru yang menyediakan fasilitas bagi warga
Muslim memanfaatkan berbagai peluang dan mempromosi jabatan
terutama dalam lingkup pemerintahan [Pariela, 2008]. Dengan kata
245
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
lain, komunitas Islam di Ambon, baik penduduk lokal maupun para
pendatang [orang dagang], memperoleh keuntungan dari dinamika
pembangunan yang berlangsung di era Orde Baru [Ratnawati, 2006].
Itulah sebabnya, Tomagola mengatakan bahwa, “kartu keanggotaan
ICMI menjadi semacam ‘SIM’ dalam rekrutmen jabatan-jabatan
penting di birokrasi pemerintahan di Maluku, Ambon khususnya”
[Ratnawati [2006]. Pasca pembentukan ICMI, selain persaingan merebut jabatan yang dikesankan terjadi antara Islam-Kristen, sebetulnya
dalam lingkup Muslim pun terjadi kompetisi berdasarkan asal desa.
Sejak tahun 1992, kebijakan penempatan dan atau promosi pegawai
dalam lingkup Kantor Gubernur, selain didominasi kalangan Muslim
seperti dikatakan Bertrand [2004], dan Ratnawati [2006], juga diprioritaskan kepada mereka yang berasal dari desa tertentu [seperti dari
Desa Ori, Pelauw dan Kailolo di pulau Haruku].
Latarbelakang tersebut ternyata membuka jalan bagi kelompok
Islam radikal untuk tampil dalam panggung politik Indonesia di era
reformasi. Mudzakkir [2011] menyatakan, berbeda dengan kelompok
Islam politik yang memilih mendirikan partai dan berjuang di jalur
formal, kelompok Islam radikal tak segan beraksi di jalanan dan terlibat
kekerasan. Di bawah pemerintahan Habibie, sebagian dari kelompok
itu ikut serta dalam konflik berdarah bernuansa keagamaan di beberapa
daerah [Hasan, 2008]. Ketika Abdurrahman Wahid berkuasa, terlihat
usaha untuk membatasi ruang gerak mereka [kelompok Islam], karena
rezim ditopang oleh aparat negara yang cerai berai, usaha tersebut
justeru membuat kelompok tersebut semakin radikal. Situasi ini justeru
dimanfaatkan kalangan politisi mendongkel Wahid [Barton, 2007].
Perkembangan yang hampir sama terjadi pada masa pemerintahan
Megawati. Selama kurang lebih enam tahun masa kekuasaan tiga
presiden tersebut, kelompok Islam radikal justeru semakin meluaskan
pengaruhnya dalam proses pengambilan kebijakan publik, tidak hanya
di pusat, tetapi juga di daerah.
Menurut Mudzakkir [2011], pada titik ini lah, terdapat kolaborasi tertentu antara kelompok Islam radikal dan para politisi Muslim.
Lebih jauh dikatakan bahwa, didasari oleh campuran keyakinan keagamaan dan kepentingan politik, lahirlah peraturan bernuansa
246
Reintegrasi Sosial
syari’ah. Dalam situasi seperti ini, kata Mudzakkir, sentimen dan
peraturan atau keputusan anti-Ahmadyah semakin memperoleh legitimasi.
Terhadap realitas tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa di
sini lah, perbedaan dan benturan kepentingan mulai muncul. Dan sejak
saat itu lah, identitas mayoritas versus minoritas dikembangkan dengan
dimulainya gejala yang tidak disadari untuk membuat kategorisasi
dalam masyarakat.
Dominasi versus Subordinasi
Sesungguhnya, cara-cara alternatif untuk merespons ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat suatu
bangsa [termasuk di Indonesia] pada taraf tertentu menjadi perhatian
warga dunia saat ini. Penanganan terhadap dampak ketimpangan
dalam masyarakat akan banyak ditentukan oleh cara kita mendekati isu
identitas.
Penulis berpendapat bahwa, jika dalam suatu masyarakat terdapat ketidakseimbangan antar etnik, maka di sini akan mudah bagi kita
untuk menemukan berbagai kasus dominasi dan didominasi. Sekalipun
para sosiolog menganggap split-class theories bagian dari aliran Marxis
yang menggunakan logika dikotomi kelas dalam menjelaskan realitas
kehidupan suatu masyarakat, namun penulis beranggapan bahwa teori
ini telah memberikan sumbangan yang besar bagi kita untuk memahami ketimpangan penguasaan aset di dalam masyarakat. Adapun fokus
dari split-class theories sebagai berikut: “Dalam setiap kelas, ada
segmen atau sektor tertentu yang dijadikan sebagai subjek praktik
diskriminasi, dan pembagian tersebut sering kali berbasis kelas dan
etnik” [Liliweri, 2009].
Jika kita menggunakan logika split-class theories tersebut sebagai
pisau analisis untuk menjelaskan fakta yang ditemukan di lapangan
[lihat Bab XI], akan tampak sebagai berikut: bangunan pasar induk dan
pasar ikan yang disediakan pemerintah Kota Ambon untuk menampung para pedagang, namun dalam kenyataannya hanya ditempati oleh
247
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
para migran etnis Buton, dan Bugis Makassar [BBM]. 3 Tidak ada ruang
kosong bagi warga lokal, 4 akibatnya, trotoar di badan-badan jalan
dimanfaatkan [ditempati] warga lokal untuk menjajakan barang-barang
dagangan mereka [lihat Bab XI]. Mengadopsi logika Blauner, pola ini
tampak mencerminkan kelompok mayoritas memiliki posisi dominan
dan minoritas diletakkan sebagai subordinan.
Blauner [dalam Liliweri, 2009] mengatakan bahwa akibatnya,
hubung-an antar kelompok mayoritas dan minoritas dapat
digambarkan sebagai hubungan “kolonial dan eksploitatif” sehingga
semua peran minoritas secara sadar akan diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan mayoritas. Dalam situasi seperti ini, hemat penulis, negara
[pemerintah] harus berperan aktif menciptakan sistem pengawasan
terhadap perilaku “dominasi,” dengan cara menciptakan perangkat
hukum sebagai legitimasi yang kuat untuk mencegah pola-pola
perilaku dominasi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak,
stratifikasi kelompok [etnik] akan merupakan pola-pola perilaku yang
relatif tetap, yang berpotensi menciptakan terjadinya benturan fisik
dalam masyarakat.
Realitas tersebut dapat terjadi karena, peningkatan arus migrasi
ke Maluku terutama terjadi pada tahun 1960-an dan 1970-an
[Bertrand, 2002]. Para migran umumnya berasal dari Sulawesi [Bugis,
Buton, Makassar] dan Jawa, dengan motif ekonomi [Hadi, et.al, 2007]
Mereka kemudian bekerja sebagai pedagang sehingga berhasil mendominasi sektor ekonomi kecil dan informal. Ini dapat terjadi karena
penduduk lokal sebagian besar tidak begitu tertarik dalam bidang
perdagangan dan cenderung lebih berorientasi untuk bekerja sebagai
pegawai negeri. Menurut mereka, dominasi dalam sektor ekonomi
tersebut dalam taraf tertentu menimbulkan benih-benih ketidaksukaan
di kalangan rakyat lokal Ambon, khususnya yang beragama Kristen.
Selain itu, kerap pula terjadi friksi antara para migran dengan
penduduk lokal misalnya dalam kasus pemilikan tanah. Rakyat lokal
menilai para migran telah merebut tanah-tanah mereka secara sepihak,
3
Para pedagang etnis Buton, dan Bugis Makassar [BBM] ini seluruhnya beragama Islam.
Khususnya yang beraga Kristen.
4
248
Reintegrasi Sosial
sementara para migran juga mengklaim bahwa tanah tersebut telah
menjadi milik mereka karena telah lama didiami. Terhadap temuan
penelitian tersebut, Sen [2007] mengatakan bahwa, inilah dunia
dengan identitas yang terbelah-belah kaku, di mana perbedaan tajam di
bidang ekonomi-politik dicocok-cocokkan sebagai sebuah “subtema”
agar seolah pas dengan perbedaan etnisitas religius.
Hemat penulis, tidak dapat dipungkiri, adanya diagnosa tersebut
di atas relevan dengan kenyataan. Namun, dalam kasus pemilikan
tanah, penulis tidak sependapat. Penulis akui bahwa pola pemilikan
dan penguasaan tanah pada setiap daerah di Indonesia berbeda antara
satu dengan yang lain. Tanah-tanah di Ambon dan Lease adalah tanah
adat yang dikuasai oleh hak petuanan [beschikkingstrecht] dari setiap
negeri, dan dibagikan kepada penduduk asli negeri sebagai hak milik.
Hak atas tanahnya dapat diwariskan oleh keturunan dari pemegang
hak tersebut 5. Fakta yang penulis temui di lapangan menunjukkan
bahwa, orang luar [bukan orang Ambon] yang datang untuk tinggal
dan atau berusaha di satu negeri, sekalipun sudah lama mendiami
sebidang tanah tertentu namun ia tidak dengan leluasa dapat mengklaim sebagai miliknya [lihat Bab V].
Konflik
Diferensiasi sosial di satu sisi memang mudah dimanipulasi
sehingga melahirkan disorganisasi sosial. Tetapi di sisi lain, adanya
diferensiasi sosial sebenarnya juga tidak berarti akan selalu berubah
menjadi konflik jika masyarakat arif untuk merawatnya.
Konflik Maluku yang terjadi awal tahun 1999 itu mengakibatkan
terjadinya pemilahan sosial yang tegas menurut garis keagamaan yang
dianut dalam kehidupan orang Ambon. Kejadian tersebut mendadak
secara dramatis, dan masyarakat desa yang semula hidup rukun saling
tolong-menolong [lihat Bab V] berubah menjadi saling curiga, saling
bertikai, dan bahkan saling membunuh [lihat Bab VI,VII,VIII]. Sebelum konflik tahun 1999, walaupun berbeda agama [idiologi], hubungan
5
Untuk hal ini, lihat hasil penelitian ziwar Effendi, 1987, Hukum Adat Ambon-Lease.
249
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
antar kelompok di Ambon khususnya [dan Maluku umumnya] relatif
aman dan jarang terjadi konflik antar kelompok. Konflik dadakan itu
sepertinya terjadi tanpa sebab yang terang, namun jelas hal itu tidak
sebabkan oleh faktor tunggal yang dapat dipersalahkan sebagai
penyulut konflik [Hadi, et.al, 2007]. Menurut mereka, konflik Maluku
mungkin dianggap sebagai konflik horisontal semata, namun jika dilacak lebih jauh dan lebih mendalam maka akan tampak bahwa terdapat
relasi yang tidak harmonis antara negara dan masyarakat secara vertikal. Diakui oleh mereka bahwa, faktor-faktor lokal memang dominan
dalam sketsa konflik, tetapi tidak dapat diabaikan pula bagaimana
setting dan landscape politik nasional turut berpengaruh.
Hasil studi tentang konflik Maluku yang dilakukan Trijono
[2001], mengungkapkan bahwa agama, baik sebagai ideologi maupun
institusi telah mengalami politisasi sedemikian rupa sehingga menyebabkan terjadinya penguatan solidaritas in-group dari masing-masing
kelompok penganut agama yang sama. Menurut Ted Robert Gurr
[1971] bahwa, perbedaan ideologi yang dipertajam, pada gilirannya
mewujud dalam bentuk kekerasan fisik, karena terjadi justifikasi rasional dan justifikasi kolektif. Dalam pandangannya, justifikasi rasional
meliputi alasan-alasan pembenaran yang memperkuat kondisi kekecewaan yang dialami masyarakat, sementara justifikasi kolektif terkait
dengan variabel-variabel yang menjadi identitas dari sebuah kelompok
seperti agama, etnis, ras dan sebagainya. Kombinasi justifikasi inilah
yang membentuk motif konflik sebagaimana tercermin dalam perilaku
destruktif seseorang atau sekelompok orang, sehingga membawa
dampak negatif yang meluas dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Dalam menjelaskan realitas konflik Maluku, beberapa kalangan
tidak sekedar menelusuri pemicunya, tetapi juga mencoba mendalami
kondisi sosio-historis masyarakat Maluku sejak masa kolonial hingga
kemerdekaan [Orde Baru], antara lain; Hadi et. al, 2007; Ratnawati,
2006; Pieris, 2004; Bertrand, 2004; Trijono, 2001; MUI, 2000. Ketegangan-ketegangan hubungan sosial di antara komunitas Islam dan
Kristen selama masa kolonial dan kemudian masa kemerdekaan [Orde
Baru], dilihat oleh mereka sebagai iklim yang kondusif bagi bersemainya konflik Maluku. Dengan sedikit pemicu saja, maka meledaklah
250
Reintegrasi Sosial
konflik yang semula bersifat laten menjadi konflik yang terbuka
[manifest]. Hemat penulis, tidak dapat dipungkiri, adanya diagnosa tersebut di atas relevan dengan kenyataan. Namun, menurut Sen [2007],
menjalani hidup dengan penuh dendam terhadap inferioritas paksaan
dari sejarah masa lalu, sampai-sampai dendam tersebut mendominasi
prioritas hidup seseorang di masa kini, jelas merupakan sikap yang tak
adil pada diri sendiri. Hal ini juga bisa mengalihkan perhatian dari
berbagai tujuan lain dari masa kolonial yang patut untuk dihargai dan
diteladani pada masa kini.
Hasil studi yang dilakukan Nasikun memperkuat hasil temuan
lapangan yang penulis lakukan. Nasikum menemukan ada dua faktor
yang menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat yang plural,
yakni: cross-cutting affiliation dan cross-cutting loyalities. Menurut
Nasikun [1984], suatu masyarakat senantiasa terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial [cross-cutting affiliation]. Karena, dengan demikian setiap
konflik yang terjadi antar kelompok segera dapat dinetralisir oleh
adanya loyalitas ganda [cross-cutting loyalities] dari para anggota
masyarakat terhadap berbagai kelompok sosial.
Ada suatu pelajaran menarik dari sebuah kisah lama yang terjadi
pada saat eskalasi konflik relatif masih tinggi di Maluku, ketika kedatangan Laskar Jihad [LJ] ke negeri Siri Sori Salam [Islam]. Ceriteranya,
ada dua orang warga [pemuda] yang berdebat dengan LJ perihal
penolakan mereka terhadap keputusan LJ untuk menyerang komunitas
Kristen di negeri Siri Sori Sarane. “Bagaimana mungkin kita menyerang
saudara sendiri?”, tanya kedua orang tersebut. Dengan penuh emosional, kedua orang tersebut langsung dieksekusi oleh LJ di depan warga
[lihat Bab VI]. Sehubungan dengan itu, kisah yang dialami Ibu Anto
ketika negeri Waai diserang. Saat itu, ia bersama suami dan mertuanya
bertemu dengan LJ bersama tiga orang pemuda Islam dari negeri
Tulehu, suami dan mertuanya langsung dibunuh. Kata ibu Anto, “kalau
mau bunuh beta [saya], bunuh sekarang agar beta mati diantara suami
dan mertuanya”. Salah satu dari tiga orang pemuda tersebut menghampirinya kemudian bertanya “Ibu fam [marga] apa”, sahut Ibu Anto,
251
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
“Matakupan”. Pemuda tersebut mengatakan ia akan membantu, asalkan Ibu tidak boleh bicara apa-apa. Serentak dengan itu, Ibu Anto
dipakaikan [dikenakan] jilbab agar tidak dicurigai oleh LJ, kemudian
pemuda tersebut mengantarkan Ibu Anto ke Hitu seterusnya ke
Ambon [lihat Bab VII].
Kisah di atas mungkin sebuah contoh tentang menguatnya
bridging social capital ditengah suasana konflik yang sementara
berlangsung. Dengan demikian, konflik sosial yang terjadi tidak sertamerta dapat menimbulkan distrust antara pihak-pihak yang berkonflik.
Selama periode konflik Maluku di kota Ambon, tidak pernah dijumpai
adanya aktivitas serang-menyerang di antara dua atau lebih desa
(bahasa lokal: negeri) yang terikat dalam satu hubungan pela atau
gandong. Sebaliknya yang terjadi adalah, banyak warga masyarakat
yang memiliki ikatan-ikatan tradisional tersebut saling membantu
untuk menyelamatkan satu dengan lainnya dari massa penyerang. Indikasi yang kuat selama periode konflik berlangsung adalah, masyarakat
lokal tampak sangat menginginkan adanya revitalisasi institusi adat,
termasuk pela dan gandong. Itulah sebabnya, ditengah suasana konflik
yang belum mereda, dilakukan upacara panas pela 6 di antara negeri
Batu Merah (Muslim) dan negeri Passo [Kristen] di Kota Ambon.
Realitas ini menjelaskan tentang bridging social capital 7 yang justru
terlaksana melalui momentum konflik. Artinya, konflik telah melahirkan kesadaran baru di dalam kelompok-kelompok masyarakat pada
aras lokal tentang pentingnya mengaktualisasikan preserved social
capital dan membangun social bridges yang selama ini mengalami
pelemahan [Pariela, 2008].
Upaya rekonsiliasi yang diprakarsai dan digelar oleh berbagai
pihak [di tingkat lokal, nasional, hingga internasional yang menghadirkan kedua belah pihak], semestinya dijadikan pula sebagai salah satu
Panas pela adalah ritual yang dilakukan menurut adat untuk memperkuat kembali
sekaligus memelihara relasi-relasi sosial antar dua negeri (desa) atau lebih, yang karena
satu dan lain hal secara historis, mempunyai ikatan kekerabatan.
7 Bridging social capital, merujuk pada relasi-relasi antar kelompok yang heterogen,
dan ia memperkuat ikatan-ikatan lintas kelompok yang bersangkuta [Kearns, 2004:7;
Productivity Commission, 2003:16].
6
252
Reintegrasi Sosial
fakta [Pariela, 2008] yang memberi indikasi tentang potensi reintegrasi
sosial. Jika konflik Maluku yang telah berhasil membelah masyarakat
tidak memiliki potensi rujuk, maka kesediaan kedua belah pihak untuk
hadir bersama-sama dan berdialog, adalah sebuah keniscayaan. Hal ini
penting diberi aksentuasi, karena upaya ini berlangsung bukan hanya
setelah konflik Maluku menelan ribuan korban nyawa manusia; sebaliknya, sudah diusahakan sejak awal konflik terjadi. Artinya, potensi
rujuk telah terlihat, bahkan sejak awal konflik Maluku bermula.
Dengan menggunakan logika Habermars [Ritzer dan Goodman, 2008],
gambaran ini memberi indikasi tentang komunikasi yang tetap terbuka
di antara kedua pihak, dan keinginan atau kesediaan untuk bekerja
sama dalam rangka membangun kehidupan berdampingan secara
serasi.
Katong Pung Orang
Pada saat masyarakat terbelah, muncullah kesadaran kita dan
bukan kita yang oleh Derrida disebut the other [Aloysius, 2005]. Dalam
situasi seperti ini, maka perlu ada media untuk masyarakat berdialog.
Disinilah kemudian pela dan gandong itu sebagai local genius yang
mengintegrasikan masyarakat yang sudah terbelah itu.
Pertanyaan yang menuntun kita kepada identifikasi jejaring
adalah “orang siapakah yang dapat dikatakan sebagai “katong pung
orang?” Bagi masyarakat lain, penunjuk orang melalui pertanyaan ini
terdengar sangat mendua-arti. Namun bagi orang Ambon, pertanyaan
tersebut merupakan konsep yang jelas. “Katong pung orang” berlaku
terhadap orang salam dan sarane [Islam dan Kristen] Ambon jika seseorang dapat selalu bebas berinteraksi dengan atau tanpa satu alasan
tertentu. “Orang kami adalah orangmu” menunjuk pada pengertian
lokal. Orang Ambon menerapkan konsep ini secara selektif, dan karena
itu tidak dapat dicampuradukan dengan ciri umum budaya masyarakat
lainnya. Sebagaimana dikatakan oleh Derrida [Aloysius, 2005], bahwa
setiap komunitas mempunyai cara pandang sendiri yang tentu saja
dipengaruhi oleh situasi dan sejarah. Cara pandang yang tidak terlepas
dari jaring situasi serta sejarah lokalitas dan kelompok ini tentu saja
253
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
akan menghasilkan makna-makna yang berbeda terhadap suatu teks
yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa ada jejaring kekerabatan yang
sudah diakui mereka. Oleh sebab itu, satu tahun setelah stabilitas sosial
dan keamanan telah terkendali [pasca konflik], struktur dan sistem
sosial begitu cepat terbentuk kembali dalam kehidupan dua komunitas
di pulau Saparua yang terikat dalam hubungan gandong yang sama,
serta dua komunitas di pulau Ambon sekalipun berbeda hubungan
gandong. Kenyataan ini menjelaskan bahwa, pela, gandong dan karabat
merupakan struktur yang kokoh dalam masyarakat. Artinya, struktur
baru yang dihasilkan tetap memperlihatkan dominasi pela, gandong
dan kerabat yang disebut dengan istilah salam dan sarane [hanya
berlaku untuk orang Ambon]. Karena itu, dalam realitas kehidupan
sehari-hari tidak dijumpai adanya interaksi yang terpolarisasi dalam
berbagai konteks hubungan sosial.
Kategori masyarakat yang termasuk di dalam lingkup ‘katong
pung orang’ memperlihatkan tiga jenis ikatan yang menghubungkan
masyarakat pada masing-masing wilayah riset dengan masyarakat di
luar wilayah riset. Jenis ikatan pertama didasarkan pada hubungan
gandong yang sama. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, konsep
gandong (uterus) memberikan gambaran yang cukup jelas bagi
masyarakat dari negeri-negeri yang terikat di dalamnya [lihat uraian
katorang versus dorang]. Karena itu, sekalipun struktur beda [agama],
namun ‘gandong’ dapat menjadi faktor adhesi sosial untuk mengintegrasikan kedua komunitas.
Gandong
Salam
sebagai
adhesi sosial
Sarane
Gambar 4
Gandong sebagai Perekat [adhesi sosial]
254
Reintegrasi Sosial
Reintegrasi sosial dapat terjadi dengan cepat pada dua komunitas
ini kerena penyebab konflik sebenarnya bukan berasal dari dalam
[mereka]. Dalam perjalanan kehidupan mereka [kedua komunitas] jauh
sebelumnya, proses reintegrasi pernah terjadi. Aktivitas panas ‘pela’
dan panas ‘gandong’ merupakan mekanisme tradisional untuk ‘memelihara’ sekaligus ‘merawat’ proses tersebut [integrasi]. Ketika pasca
konflik, keterlibatan bersama dalam berbagai aktivitas [lihat Bab IX],
ternyata berfungsi sebagai faktor yang mendorong mempercepat
terjadinya proses reintegrasi sosial.
Jenis ikatan kedua pada dua komunitas yang berbeda hubungan
gandong di pulau Ambon, didasarkan pada hubungan kerabat yang
terjadi atas dasar hubungan perkawinan [afinitas]. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, konsep ini juga dipahani secara jelas oleh mereka.
Oleh sebab itu, sekalipun mereka berbeda hubungan gandong, namun
fungsionalisasi kerabat sebagai bridging social capital untuk mengatasi
berbagai masalah di antar mereka. Karena itu, sekalipun struktur beda
[agama], namun ‘kerabat’ dapat menjadi faktor adhesi sosial untuk
mengintegrasikan kedua komunitas.
Salam
Kerabat
sebagai
adhesi sosial
Sarane
Gambar 5
Kerabat sebagai Perekat [adhesi sosial]
Seperti telah disebutkan sebelumnya, proses reintegrasi sosial
dapat terjadi dengan cepat pada dua komunitas ini kerena penyebab
konflik sebenarnya bukan berasal dari dalam [mereka]. Dalam perjalanan kehidupan mereka [kedua komunitas] jauh sebelumnya, proses
reintegrasi pernah terjadi. Kehidupan bersama dalam satu teritorial
[lihat Bab V], ritus-ritus kekerabatan, serta aktivitas panas ‘pela’ dan
panas ‘gandong’ yang dilakukan dengan komunitas negeri-negeri yang
255
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
terikat dalam ikatan tersebut [pela, gandong] merupakan mekanisme
tradisional untuk ‘memelihara’ sekaligus ‘merawat’ proses tersebut
[integrasi]. Ketika pasca konflik, munculnya kesadaran komunitas
Islam di negeri Tulehu untuk menjemput komunitas Kristen dari lokasi
pengungsian untuk kembali ke negeri mereka [Wai], diikuti dengan
keterlibatan dalam berbagai aktivitas yang dilakukan bersama, serta
ritual ‘anak cucu Marlou’ yang dilakukan secara berkala [lihat Bab X],
ternyata berfungsi sebagai faktor yang mendorong mempercepat
terjadinya proses reintegrasi sosial.
Jenis ikatan ketiga dengan jejaring antara dua komunitas di
wilayah riset [negeri Siri Sori Salam, Siri Sori Sarane di pulau Saparua,
serta negeri Tulehu dan Wai di pulau Ambon] yang terikat dalam satu
ikatan pela dengan masyarakat dari negeri-negeri lain di luar wilayah
riset [lihat Bab V]. Dalam konteks ini, fungsionalisasi pela sebagai
bridging social capital untuk mengatasi berbagai masalah di antar
mereka. Oleh sebab itu, sekalipun struktur beda [agama], namun ‘pela’
menjadi faktor adhesi sosial untuk mengintegrasikan kedua komunitas.
Hal ini tampak dari respons positif masyarakat dalam rangka revitalisasi institusi adat terlihat dengan jelas ketika Pemerintah Provinsi
[Maluku] memfasilitasi kegiatan panas ‘pela’ untuk beberapa negeri
menjelang peringatan 60 tahun Provinsi Maluku yang dilaksanakan
pertama kali pada bulan Agustus tahun 2005. Hemat penulis, realitas
ini merupakan bentuk penghayatan makna kolektif.
Salam
Pela
sebagai
adhesi sosial
Sarane
Gambar 6
Pela sebagai perekat [adhesi sosial]
Gambaran di atas menjelaskan bahwa, rasa akan identitas bisa
memberi sumbangan berarti bagi kekuatan dan kehangatan hubungan
256
Reintegrasi Sosial
di antara mereka, sehingga membuat [mendorong] mereka bersedia
melakukan berbagai hal. Kepustakaan mutakhir tentang “modal sosial”,
yang dikupas secara cermat oleh Robert Putnam dan beberapa pemikir
lain, menunjukkan dengan cukup jelas bagaimana kesamaan identitas
dalam satu komunitas sosial dapat membuat kehidupan di komunitas
tersebut berjalan lebih baik. Rasa keterikatan terhadap komunitas itu
kemudian dipandang sebagai suatu sumber daya-laiknya modal
[Putnam, 2000].
Tentu harus diakui bahwa kesadaran melakukan perbuatan
untuk mementingkan kepentingan bersama tentu selalu mengidentifikasikan bahwa tindakan tersebut senantiasa dipengaruhi oleh rasa
identitas bersama. Hemat penulis, realitas di atas [perbuatan] itu dipengaruhi oleh jenis-jenis pertimbangan lainnya, seperti ketaatan pada
norma tertentu atau rasa tanggung jawabnya kepada orang lain [atau
keharusan untuk menjaga kepercayaan pihak lain] karena hubungan
kekerabatan di antara mereka begitu sangat jelas [lihat Bab V]. Karena
itu, rasa identitas bersama bisa memberi pengaruh yang sangat penting
terhadap perilaku kelompok sehingga mereka dengan mudah bersedia
mewujudkan perbuatan yang mengutamakan kepentingan bersama.
Dalam terminologi Berger [1969], makna kolektif inilah yang lebih
memainkan peranan dalam menjaga keutuhan masyarakat karena
dihayati oleh masyarakat.
Berbeda dengan dua komunitas di perdesaan, bagi dua komunitas
di kota Ambon yang tidak memiliki hubungan gandong. Pertanyaan
yang menuntun kita pada bagian ini adalah “apakah memang ada
semacam kesadaran kolektif di antara bagian-bagian itu sehingga
mereka menerima bahwa mereka adalah orang Ambon dalam arti
subjektif dan objektif”?.
Pertanyaan ini tentu sangat sulit untuk dijawab dengan tepat
tanpa suatu kecermatan untuk memahami fakta sosial yang terjadi
dalam masyarakat. Tetapi realitas sosial yang muncul dan berkembang
antara warga kedua komunitas di kota Ambon dalam realitas kehidupan seharai-hari menunjukkan bahwa apa yang disebut dengan reintegrasi itu lebih merupakan suatu kenyataan politik daripada suatu
257
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
kenyataan reintegrasi