Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku D 902008102 BAB XI

Bab Sebelas

Dinamika Sosial Dua Komunitas
yang Tidak Memiliki Hubungan
Gandong Pasca Konflik Maluku
di Kota Ambon

Pengantar
Realitas sosial yang digambarkan pada bagian ini terutama dibuat
dalam rangka memberikan latarbelakang tentang proses reintegrasi
sosial di kota Ambon. Karena itu, proses-proses sosial yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari pada sejumlah ruang sosial [field]
merupakan pintu masuk untuk menggambarkan realitas tersebut. Di
samping itu, prakarsa dan intervensi berbagai kebijakan publik oleh
pemerintah sehingga mendorong terjadinya proses-proses sosial antar
warga kedua komunitas, juga diwarnai oleh kebutuhan ini.
Dengan cara seperti ini, kita dapat memperoleh pengetahuan
secara utuh dan menyeluruh tentang dinamika sosial dua komunitas
pasca konflik Maluku di kota Ambon.

209


Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Sebuah Catatan Perjalanan
Jangan Sampai Indonesia Terbelah
Keributan di Ambon-Maluku meruyak lagi.
Tidak Seorang Warga Bangsa ini, yang loyal kepada Sang
Saka Merah Putih dan Pancasila, menghendaki “perpecahan
masyarakat” di Ambon-Maluku.
Kita tidak ingin disintegrasi sosial,
Kita ingin integrasi sosial pulih.
Disintegrasi sosial hanya membawa kehancuran
Tradisi Salam-Serani, Pela-Gandong yang berakar
ratusan tahun, tak mungkin sirna.
Persaudaraan dan hati nurani, tetap akan
membangkitkannya balik dalam kehidupan nyata.
Demi hari depan Maluku !

Jeritan Salah Seorang Tokoh Masyarakat Maluku
Om, Dullah Souissa

[Suara Maluku, Senin 7 September 1999]

Upaya mewujudkan rekonsialiasi antar warga kedua komunitas
telah menjadi issue sejak kurang lebih empat bulan setelah konflik
Maluku terjadi di kota Ambon [tahun 1999]. Wacana ini mengemuka
sebagai jawaban terhadap kemungkinan warga kedua komunitas dapat
berhenti untuk melakukan berbagai tindakan kekerasan. Pada bulan
Mei tahun 1999, Pemerintah Daerah [Maluku] mengambil prakarsa
untuk memfasilitasi proses rekonsiliasi melalui perjalanan obor perdamaian yang dilarikan melintasi pulau Seram hingga ke kota Ambon.
Kemudian ‘deklarasi menahan diri’ yang diumumkan oleh Pemerintah
Daerah tanggal 7 Desember tahun 1999, yang dilanjutkan dengan
Pertemuan antar para pemuka masyarakat dan agama kedua komunitas
[dihadiri oleh Wakil Presiden Megawati] di atas Kapal Perang KRI
Multatuli dan KRI Arun pada tanggal 25 April tahun 2000 ketika
digelar Operasi Surya Bhaskara Jaya [SBY] 1, serta prakarsa dari raja
1 Lihat, Tonny D Pariela, ‘Damai Di Tengah Konflik Maluku’ Disertasi untuk memperoleh gelar Doktor, pada Program Studi Studi Pembangunan-Universitas Kristen Satya
Wacana, Tahun 2008.

210


Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

negeri Galala dan raja negeri Hative Kecil sehingga terbentuklan
sebuah lembaga yang diberi nama Forum Masyarakat Adat Ambon dan
Lease [Harian Suara Maluku, 31 Mei tahun 2000]. Di samping itu,
upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai lembaga [baik pemerintah
maupun LSM] serta prakarsa dari masing-masing tokoh masyarakat dan
agama, maupun masyarakat secara perseorangan dan kelompok [dari
kedua komunitas] dalam rangka mewujudkan rekonsiliasi, dan berujung pada kesepakatan yang dicapai dalam Pertemuan Maluku di
Malino tanggal 12 Pebruari tahun 2002.
Seiring dengan perjalanan waktu, akhirnya rekonsiliasi tersebut
dicapai, sehingga dari wacana berubah menjadi kenyataan sosial yang
terus diwujudkan. Tidak dipungkiri, dalam perjalanan tersebut banyak
anggota masyarakat kedua komunitas yang skeptis mengenai realitas
sosial yang tercipta dalam kehidupan masyarakat di kota Ambon, dan
ini sah-sah saja sebagai bagian dari upaya ‘mewujudkan keharmonisan
di tengah perbedaan’. Hanya masalahnya, seringkali persoalan ini
terlalu disederhanakan oleh “orang-orang yang senantiasa berusaha
untuk meraup keuntungan” sehingga mereka berusaha untuk kembali
memelihara situasi ‘chaos’ dalam masyarakat. Namun, usaha tersebut

tidak mendapat respons positif dari warga kedua komunitas di kota
Ambon. Ketika hasil kesepakatan Pertemuan Maluku di Malino tahun
2002 akan diimplementasikan, oleh sejumlah kalangan di kota Ambon,
hal ini dipandang sangat agresif dan menantang, karena dinilai berhasil, sehingga dapat dianggap sebagai proses rekonsiliasi tercepat
dalam sejarah konflik antar kelompok di Indonesia.
Pemerintah [Pusat dan Daerah] serta elemen-elemen masyarakat
dari kedua komunitas tetap mengawal proses-proses sosial yang terjadi
dalam masyarakat. Pemerintah senantiasa berusaha secepat mungkin
untuk menormalkan kembali stabilitas sosial di kota Ambon; yang
artinya bahwa ketika stabilitas sosial di kota Ambon sudah dicapai,
maka semua komponen masyarakat tentu dapat memainkan peran
penting untuk mengawalnya.

211

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Reintegrasi Sosial di Kota Ambon
• Hubungan antar Komunitas di Daerah Perkotaan


Pasar
Ketika stabilitas keamanan sudah benar-benar pulih di kota
Ambon, pada akhir tahun 2003 pemerintah kota mulai memfungsikan
kembali pasar Mardika dan menertibkan ‘pasar kaget 2’ yang banyak
terdapat di dalam kota. Penertiban itu sesungguhnya dilakukan karena
aktivitas jual beli yang terjadi di pasar kaget selain sangat mengganggu
arus lalu lintas kenderaan bermotor, juga menghambat upaya pemerintah kota untuk menata kembali kota Ambon pasca konflik. Kebijakan
tersebut ternyata belum sepenuhnya mendapat respons positif dari para
pedagang [khususnya dari komunitas Kristen]. Mereka masih sangat
ragu-ragu dan merasa khawatir terhadap keselamatan jiwa, jika dipaksa
untuk beraktivitas di pasar Mardika. Keragu-raguan ini tentu sangat
beralasan, karena pada saat itu insiden-insiden kecil [sekalipun tidak
bertahan lama] masih terjadi di dalam kota, sehingga mereka memilih
untuk tetap bertahan beraktivitas di pasar kaget.
Sekalipun dalam jumlah yang masih terbatas, namun pada awal
tahun 2004 prakarsa pelaku ekonomi dari kalangan grass root dari
komunitas Kristen sudah mulai berdatangan untuk bertransaksi di
pasar Mardika. Ketika berada di lokasi pasar saat itu, umumnya mereka
masih mengelompok pada masing-masing komunitas. Karena itu,
dinamika interaksi timbal-balik masih nampak terpolarisasi berdasarkan agama yang dianut. Di sisi lain, prakarsa tersebut paling tidak telah

memberikan sumbangan yang positif bagi mencairnya kebekuan
interaksi yang terjadi selama konflik berlangsung. Satu minggu kemudian aktivitas di pasar sempat terhenti beberapa hari, ketika terjadi
perkelahian antara salah seorang penjual ikan asal Buton [Islam]
dengan salah seorang pemuda Ambon [Islam] dari negeri Kailolo.
Walaupun kejadian itu secara cepat dapat diatasi oleh aparat keamanan
[Kepolisian], namun situasi tersebut mengakibatkan para pedagang dan
2 Pasar Keget: pasar yang muncul pada saat konflik terjadi. ‘Tepi Jalan Rraya’ merupakan lokasi yang digunakan untuk Pasar Kaget.

212

Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

warga masyarakat Kristen yang berada di pasar saat itu terpaksa harus
melarikan diri [dan meninggalkan barang dagangan serta belanjaan
mereka] untuk mencari tempat berlindung yang lebih aman. Tindakan
penyelamatan diri tersebut dilakukan karena mereka masih troma
dengan pengalaman yang pernah dialami 3. Setelah situasi di pasar
kembali mulai normal, namun para pedagang dan warga masyarakat
Kristen sudah meninggalkan lokasi pasar.
Sejak saat itu, aparat keamanan mengintensifkan kegiatan patroli

untuk memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat yang sedang
melakukan berbagai beraktivitas di pasar. Dua hari kemudian ketika
kondisi keamanan di pasar sudah benar-benar terkendali, para pedagang dan warga komunitas Kristen mulai kembali untuk melakukan
berbagai aktivitas. Sejak saat itu, secara bertahap warga kedua komunitas mulai menjalin interaksi timbal-balik, lama-kelamaan situasi
tersebut mulai mencair. Sampai dengan saat penelitian ini berlangsung,
aktivitas di pasar sudah berlangsung normal kembali. Warga kedua
komunitas terlibat dalam proses-proses sosial yang cukup intensif.
Ketika diwawancarai salah seorang Ibu [WT, 39 tahun, Islam] yang
sehari-hari biasanya menjual sayur di badan jalan samping bangunan
pasar ikan, ia menuturkan bahwa:
Sebelum konflik terjadi di kota Ambon, basudara Kristen yang
menjadi pelanggan sayur dari beta [saya]. Dulu [sebelum
konflik] katorang [kami] tinggal sama-sama di wilayah pemukiman Kristen sebagai tetangga, dan katorang sangat saling
mengenal antara satu dengan yang lain. Hanya konflik saja yang
memisahkan katorang. Karena itu, meskipun saat ini kami sudah
tinggal terpisah, namun senantiasa beta berusaha mencari
apabila datang ke pasar.

Hingga kini, aktivitas jual-beli di pasar kota Ambon sudah
berlangsung normal kembali. Dinamika interaksi antar warga kedua

komunitas cenderung sangat intensif, namun tampak terpolarisasi.

3 Hasil wawancara mendalam tanggal 21 Nopember 2009, dengan EL, 34 tahun, Kristen
[Penjual Ikan di pasar Mardika].

213

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Aktivitas jual-beli yang berlangsung pada ‘badan jalan’
[atas trotoar] di samping bangunan pasar ikan.

Para pedagang cenderung untuk memilih tempat duduk secara
mengelompok pada saat menjajakan [menjual] barang dagangan
mereka. Salah seorang penjual ikan [LM, 42 tahun, Islam] di pasar
membenarkan hal tersebut. Menurutnya, tidak ada penjuan ikan dari
komunitas Kristen yang dapat menempati pasar ikan. Senada dengan
itu salah sorang penjual hasil kebun [MT, 49 tahun, Kristen] menuturkan bahwa semua tempat di dalam bangunan pasar induk maupun
di pasar ikan sudah dipenuhi oleh para pedagang Islam asal Buton dan
Bugis-Makassar. Tidak ada tempat lagi yang dapat ditempati oleh para

pedagang dari komunitas Kristen. Karena itu, mereka cenderung
memilih menempati trotoar di badan jalan untuk menjual ikan dan
hasil kebun. Apabila pemerintah kota tidak secara bijaksana dapat
214

Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

menangani hal ini, untuk jangka panjang kedepan realitas tersebut
dapat saja menjadi pemicu terjadinya benturan sosial di antara mereka
[para pedagang].
Berbeda dengan proses-proses sosial yang terjadi antar warga
kedua komunitas di pusat-pusat perbelanjaan, restoran maupun di
berbagai hotel yang terdapat dipusat kota Ambon. Sekalipun letaknya
di wilayah pemukiman salah satu komunitas, saat ini warga kedua
komunitas sangat bebas untuk pergi berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan atau melakukan acara makan bersama di restoran, tanpa ada
rasa keragu-raguan sedikit pun dari mereka. Dua orang warga dari
kedua komunitas [JU, 32 tahun, Islam; dan AL, 41 tahun, Kristen] yang
dijumpai secara terpisah 4 menuturkan bahwa:
Bukan baru saat ini saja kami mengunjungi pusat perbelanjaan
dan restoran yang berada di dalam wilayah salah satu komunitas, tetapi sejak akhir tahun 2004 kami sudah masuk-keluar

[pulang-balik] tanpa sedikitpun ada rasa takut. Lebih lanjut dikatakan bahwa, kapan saja [siang atau malam hari] jika ada keperluan maka kami akan datang untuk berbelanja atau melakukan acara makan bersama keluarga. Kami sudah tidak mau
hidup terkotak-kotak lagi, kami mau hidup bersama di kota ini
[Ambon] secara berdampingan antara satu dengan yang lain seperti sebelumnya. Konflik yang terjadi tahun 1999 hingga 2001
hanya menyengsarakan, karena itu kami tidak mau peristiwa itu
terulang lagi.

Kenyataan ini menjelaskan bahwa munculnya sikap saling
menerima seperti ini merupakan potensi positif untuk membangun
kehidupan bersama secara serasi. Perbedaan yang ada, tidak lagi
dijadikan sebagai hambatan untuk mendekatkan jarak sosial di antara
mereka satu dengan yang lainnya. Demikian pula dengan pernyataan
salah seorang informan [AP,49 tahun, Islam] yang biasanya memanfaatkan fasilitas salah satu hotel yang letaknya di wilayah pemukiman
Kristen. Menurutnya:

4 Wawancara tanggal 12 Desember 2010 dengan JU di depan salah satu Restoran yang
letaknya di wilayah pemukiman Kristen, dan dengan AL di salah satu Swalayan yang
letaknya di wilayah pemukiman Islam.

215


Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Tidak ada keraguan sedikitpun untuk masuk ke wilayah pemukiman Kristen. Pada saat masih sekolah, beta [saya] sekolah di
skolahan Kristen. Beta punya mama [Ibu] dulunya seorang
Kristen dan salah seorang kakak perempuan [saudara] juga
kawin dengan orang Kristen. Beta punya banyak teman bergaul
yang beragama Kristen. Selama konflik berlangsung di kota
Ambon, komunikasi dengan basudara Kristen [Saudara keluarga
Ibu dan keluarga Kakak] tidak pernah berhenti. Setelah situasi
keamanan di kota Ambon sudah kondusif, sejak tahun 2004 jika
Kakak dan keluarganya dari Jakarta datang berlibur ke Ambon,
beta [saya] biasanya menggunakan hotel “X” untuk mereka
tinggal [menginap] selama satu minggu, ada kalanya lebih dari
satu minggu. Mereka tidak bisa tinggal di rumah, katong [kami]
punya rumah tua [rumah warisan orang tua] tapi terbakar habis
pada saat konflik terjadi tahun 1999. Rumah yang beta [saya]
tinggal [tempati] saat ini sangat sempit.

Pola hubungan saling percaya yang kuat antar warga yang
dirasakan seperti ini, telah mendorong mereka untuk memikirkan cara
guna meningkatkan kualitas hubungan seperti yang pernah terjalin
sebelumnya. Tidaklah mengherankan jika membangun kepercayaan
[trust building] melalui kapitalisasi kebiasaan sosial orang Ambon dilakukan oleh warga salah satu komunitas dengan secara rutin melakukan hubungan dengan warga komunitas lain yang terus berlangsung
hingga kini. Berangkat dari kenyataan bahwa ‘kepedulian untuk
menjaga kualitas hubungan sekerabat’ merupakan bahasa bersama yang
senantiasa dipraktekkan dan mengakar dalam kebiasaan orang Ambon.
Kepedulian untuk menjaga hubungan tersebut merupakan medium
sosial penting dalam mengintegrasikan kembali warga kedua komunitas di kota Ambon ke dalam rasa yang sama.

Jasa Angkutan Umum
Dambaan yang muncul dari kegelisahan warga untuk memanfaatkan jasa angkutan kota [Angkot] secara bebas mengalami proses
panjang, meliwati berbagai tahapan pengkondisian dan uji coba yang
dilakukan oleh pemerintah kota Ambon [Dinas Perhubungan],
sebelum akhirnya diterapkan secara menyeluruh pada akhir tahun
2004 untuk semua rute angkutan di wilayah kota Ambon. Serangkaian

216

Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

tahapan penting ke arah tersebut adalah sebagai berikut 5: pertama,
membangun kembali saling percaya di antara para pengemudi yang
setiap saat melayani para pengguna jasa angkot di dalam wilayah kota
Ambon. Langkah penting yang diambil oleh Dinas Perhubungan kota
adalah mereduksi secara bertahap sekat-sekat segregasi antar para
pengemudi. Sebagai contoh, memberikan arahan dua kali seminggu di
terminal angkutan kota dengan melibatkan para pengemudi dari dua
komunitas; kedua, penataan parsial ijin trayek angkutan kota. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan rute
angkot seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Langkah ini dilakukan
berdasarkan pengalaman bahwa fenomena “mengejar setoran,” para
pengemudi dengan sengaja menyerobot ke rute-rute lain yang tidak
sesuai dengan ijin trayek yang dikeluarkan. Sebagai contoh, melakukan
penertiban melalui pemeriksaan kembali terhadap ijin-ijin trayek yang
dimiliki setiap kenderaan [angkot].
Langkah-langkah yang diambil sebagaimana digambarkan di
atas sebagai ekspresi dari sebuah kesadaran baru tentang pentingnya
ketertiban dalam melayani para pengguna jasa angkutan umum pasca
konflik di kota Ambon. Oleh karena itu, setelah meliwati tahapan
penertiban tersebut ternyata mendapatkan respons positif dari warga
kota.
Setelah situasi keamanan semakin kondusif, jasa angkutan
umum yang melayani warga di dalam kota ternyata berperan cukup
baik untuk mendekatkan jarak sosial antar warga kedua komunitas di
kota Ambon. Sejak awal tahun 2005 warga kedua komunitas sudah
secara bebas dapat memanfaatkannya, baik di terminal angkutan
umum maupun pada saat berhenti untuk menurunkan penumpang di
samping-samping jalan. Hasil wawancara dengan salah seorang pengguna jasa angkot [penumpang] 6 dari salah satu komunitas diketahui
bahwa:

Wawancara mendalam dengan Kepala Dinas Perhubungan Kota, 21 Nopember 2009.
Wawancara tanggal 12 Oktober 2010, dengan Ibu Hj AL, 59 tahun, Islam, yang saat
itu pergi untuk menjenguk saudaranya yang sedang dirawat di Rumah Sakit Umum
Daerah, dr Haulussy, di Kudamati [Pemukiman Kristen].

5

6

217

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Sekalipun pengemudinya [Angkot] basudara Sarani [Kristen],
beta seng [tidak] takut dan ragu. Beta naik oto [angkot]
Kudamati untuk mengunjungi basudara [saudara] yang sedang
di rawat di Rumah Sakit Umum Daerah [RSUD] dr. Haulussy
[wilayah pemukiman Kristen].

Terminal Angkutan Umum, di Mardika- Kota Ambon

Kesan yang sama dikemukakan oleh salah seorang pengemudi
angkot jalur Terminal-Kudamati [YS, 32 tahun, Kristen] bahwa, sejak
situasi keamanan di kota Ambon benar-benar telah pulih dan bahkan
hingga saat ini, ia sama-sekali tidak merasa keberatan tetapi dengan
senang hati bersedia untuk mengantar para penumpang dari komunitas
Islam pada saat menaiki angkot yang dibawanya. Hal yang sama terjadi
pula pada jalur angkot dari terminal yang hendak ke luar pusat kota
Ambon. Sekalipun para pengemudinya berbeda agama, namun tidak
pernah dipersoalkan oleh para penumpang dari kedua komunitas. Bagi
mereka, 7 yang penting mereka tiba di tempat tujuan dengan aman. Hal
ini menunjukkan bahwa tidak ada lagi rasa saling curiga antara satu
dengan yang lainnya, sehingga dengan bebas mereka dapat saling
menerima dalam berbagai konteks hubungan sosial. Walaupun perjumpaan-perjumpaan tersebut sifatnya hanya sementara, namun paling
Pengakuan MS, 17 tahun [Islam]. Salah seorang Mahasiswi Politeknik Negeri Ambon
yang setiap hari menggunakan jasa angkot jalur Ambon-Laha [yang dikemudikan oleh
seorang pengemudi Kristen] dari terminal menuju ke Kampus di Negeri Rumahtiga.

7

218

Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

tidak perjumpaan tersebut telah memberikan sumbangan yang positif
untuk mencairkan kebekuan interaksi sekaligus mendekatkan jarak
sosial di antara mereka.

Lembaga Pendidikan
Dari realitas sosial yang nampak dewasa ini maka dapat dikatakan bahwa secara umum performance pelayanan pendidikan di kota
Ambon sudah jauh meningkat dibanding kondisi awal setelah stabilitas
sosial keamanan mulai kondusif sejak tahun 2003 hingga tahun 2005.
Konflik yang terjadi pada tahun 1999 menyebabkan segregasi secara
total terhadap pemilihan dan pemanfaatan sekolah-sekolah, penyebaran Guru dan pegawai-pegawai. Situasi seperti ini berlangsung hingga
tahun 2005. Memasuki tahun ajaran 2006-2007 berbagai sekolah telah
didorong oleh Walikota Ambon8 beserta stafnya [Dinas Pendidikan
dan Olahraga Kota Ambon] untuk menghilangkan sekat-sekat segregasi
termasuk kembali ke lokasi asal bagi sekolah-sekolah yang sebelumnya
beroperasi di tempat-tempat lain. SMPN 7 sejak tahun 1999 [selama
konflik] hingga tahun 2005 beraktivitas di negeri Passo [wilayah
pemukiman Kristen] misalnya, sejak tanggal 20 Maret tahun 2006 telah
dikembalikan ke lokasi asalnya di Poka-Rumah Tiga. Di samping itu,
SMPN dan SMU/SMK Negeri yang selama ini hanya dimasuki oleh
Siswa dari salah satu komunitas, sejak tahun 2006 telah menerima
pendaftaran Siswa baru dari komunitas lain. Demikian pula halnya
dengan Universitas Pattimura [UNPATTI] dan Politeknik Negeri
Ambon, sekalipun dengan kondisi bangunan serta berbagai peralatan
penunjang proses belajar-mengajar yang masih sangat terbatas saat itu
namun sejak tahun 2004 kedua lembaga pendidikan tersebut sudah
kembali dan mulai beraktivitas di lokasi asalnya di Poka-Rumah Tiga.
Sebelumnya, kedua lembaga pendidikan tersebut beraktivitas pada
kampus-kampus alternatif di dalam kota, dengan pelayanan yang tersegregasi akibat situasi konflik.

M. J. Papilaya, sebagai Walikota Ambon [saat itu]. Lihat juga, Tamrin Amal
Tomagola, dkk [2007], Format Ulang Birokrasi Kota Ambon.

8

219

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Sejak tahun 2007 hingga saat penelitian ini dilaksanakan,
pengamatan langsung di beberapa sekolah menunjukkan bahwa sudah
banyak Guru Kristen yang mengajar di sekolah yang letaknya di
pemukiman komunitas Islam, dan sebaliknya. Demikian pula sudah
terdapat banyak siswa Islam yang telah mengikuti pendidikan pada
sekolah-sekolah yang letaknya di wilayah pemukiman komunitas
Kristen, dan sebaliknya. Di samping itu, interaksi antar Siswa, Siswa
dengan Guru, serta antar para Guru ternyata sudah berlangsung sangat
intensif. Perbedaan agama yang dianut tidak lagi dijadikan sebagai
hambatan bagi mereka untuk menjalin kehidupan bersama sebagai satu
komunitas di sekolah tempat mereka beraktivitas sehari-hari.

Proses Belajar-mengajar di SMU Negeri 1 Ambon
[Kondisi Pebruari 2010]

Informasi yang diperoleh dari dua orang Guru [Mr.L, 39 tahun,
Islam yang bertugas di Sekolah SMU Negeri II, sekolah tersebut berada
di wilayah pemukiman Kristen; dan EM, 42 tahun, Kristen yang
bertugas pada SMP Negeri 14 di Tantui, sekolah tersebut berada di
wilayah pemukiman Islam] diketahui bahwa, mereka diterima secara
baik oleh Siswa dan para Guru lain di lingkungan sekolah tempat
mereka bekerja, bahkan masyarakat yang tinggal berdekatan dengan
220

Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

bangunan sekolah tersebut senantiasa menyapa mereka dengan santun.
Tidak ada sikap apriori yang ditunjukkan oleh siswa, para Guru
maupun warga masyarakat terhadap kehadiran mereka. Salah seorang
murid 9 yang diwawancarai menuturkan bahwa:
Ketika mereka diberikan tugas oleh para Guru yang harus diselesaikan di rumah, biasanya ia pergi ke rumah teman [Kristen]
untuk sama-sama mengerjakannya. Dalam perjalanan, ia tidak
pernah merasa takut. Oleh karena itu, kapan saja mau pergi ke
rumah teman yang beragama Kristen [siang atau malam hari], ia
akan pergi.

Informasi yang sama juga diberikan salah seorang Mahasiswa 10,
bahwa ia tidak ragu-ragu pergi ke rumah teman [Islam] untuk
mengerjakannya tugas yang diberikan para Dosen. Lebih lanjut dikatakan bahwa:
Dalam proses belajar-mengajar hingga saat ini, para Dosen tidak
pernah memberikan perlakuan yang berbeda antara satu dengan
yang lain. Yang terjadi justeru sebaliknya, kami sering dibimbing dan diarahkan untuk senantiasa meningkatkan prestasi
belajar sehingga dapat menyelesaikan studi secara baik dan tepat
waktu.

Aktivitas Mahasiswa di Kampus PGSD-UNPATTI
[Kodisi Pebruari 2010]
9 Wawancara tanggal 12 Juli, tahun 2009 dengan AL, 17 tahun [Islam] salah seorang
Siswa SMU Negeri 1 Ambon.
10 Wawancara tanggal 30 Juli, tahun 2010 dengan OR, 21 tahun [Kristen] salah seorang
Mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan-Universitas Pattimura, Ambon.

221

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

Pegawai
Upaya untuk menormalkan kembali hubungan para pegawai di
lingkungan pemerintahan, merupakan suatu tantangan yang telah
ditangani secara bijaksana oleh pemerintah daerah. Situasi konflik yang
keras dan berkepanjangan dan telah merenggut banyak korban jiwa,
harta benda serta hancurnya sarana-prasarana pelayanan publik,
diikuti oleh derajat ketidakpercayaan yang tinggi atas lembaga-lembaga
publik adalah beban berat tersendiri yang telah dapat diselesaikan oleh
pemerintah Provinsi dan Kota Ambon. Di samping itu, pola hubungan
saling tidak percaya yang kuat antar pegawai, antar pegawai dengan
atasan yang dirasakannya pada saat situasi keamanan mulai kondusif di
Kota Ambon, telah mendorong pemerintah daerah memikirkan cara
yang tepat untuk mencairkan kebekuan interaksi tersebut. Sementara
itu, terpuruknya pelayanan publik akibat konflik, menjadi persoalan
lain yang sama peliknya.
Membangun kembali saling percaya di antara para pegawai dan
pejabat di lingkungan kantor pemerintah Kota pasca konflik merupakan sebuah harapan yang senantiasa didambakan warga masyarakat.
Langkah penting yang telah ditempuh oleh Walikota dan Wakil
Walikota 11 saat itu adalah mereduksi secara bertahap sekat-sekat segregasi antar pegawai. 12 Hal ini dilakukan dengan mengadakan rapat staf
dua hari sekali yang melibatkan pegawai dan pejabat dari kedua komunitas yang pernah terlibat konflik. Di samping itu, juga diciptakan
moment sosial seperti olahraga bersama dan jenis perlombaan lainnya.
Aktivitas-aktivitas trust building dilakukan secara reguler dan diperluas sehingga menjangkau aktivitas di luar jam kerja. Lebih lanjut, upayaupaya untuk memperkuat rasa saling percaya antar pegawai dilakukan
melalui pemanfaatan momentum keagamaan penting, yang dimulai
dengan aktivitas saling kunjung antar pegawai Muslim dan Kristen
pada perayaan hari raya Natal dan Lebaran sejak tahun 2002. Usahausaha yang dilakukan secara bertahap tersebut ternyata membuahkan
11 M.J. Papilaya, sebagai Walikota dan Syarif Hadler sebagai wakil Walikota [periode
2001-2006].
12 Thamrin Amal Tomagola, dkk [2007], Format Ulang Birokrasi Kota Ambon.

222

Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

hasil. Pada bulan pebruari tahun 2002 Walikota menghimbau setiap
pegawai dan guru yang belum masuk kantor untuk segera masuk.
Himbauan tersebut ternyata mendapat respons positif, menandai era
awal normalisasi kehidupan pemerintahan di kota Ambon. Pada tahun
2003, interaksi timbal-balik antar pegawai maupun pejabat yang berbeda agama mulai terbangun, sekalipun belum sepenuhnya sebagaimana yang diharapkan.
Hingga tahun 2009 saat penelitian ini dilaksanakan, realitas yang
dijumpai menunjukkan tidak ada jarak sosial antar pegawai baik yang
ada di bawa koordinasi pemerintah Kota maupun pemerintah Provinsi.
Mereka terlibat secara bersama-sama dalam berbagai aktivitas di
tempat kerja tanpa mempersoalkan perbedaan yang ada. Hasil wawancara dengan empat orang pegawai 13 dari instansi yang berbeda menunjukkan bahwa rasa saling percaya antar sesama pegawai dari kedua
komunitas bukan baru terjalin pasca konflik, tetapi sudah terjalin jauh
sebelum konflik terjadi. Diakui bahwa ketika konflik terjadi, aktivitas
perkantoran berlangsung sangat tersegregasi mengakibatkan mereka
terpisah antara satu dengan yang lain. Sekalipun demikian, mereka
tetap berkomunikasi secara timbal-balik antara satu dengan yang lain
[melalui telpon seluler]. Ketika situasi keamanan sudah berangsurangsur pulih, mereka bersepakat untuk berjumpa di kantor Gubernur
Maluku. 14 Perjumpaan tersebut berlangsung dua hingga tiga kali dalam
seminggu. Pada saat aktivitas perkantoran suda mulai berlangsung,
intensitas pertemuan di antara mereka semakin tinggi.
Pola hubungan saling tidak percaya kini kembali ke situasi
normal. Kepercayan antar sesama pegawai pun mengalami peningkatan
cukup signifikan. Kendatipun demikian, terjalinnya hubungan tersebut
hingga saat ini tidak bisa secara langsung dikatakan sebagai prakarsa
maupun inisiatif yang dilakukan sendiri oleh para pegawai. Banyak
13 Wawancara mendalam dengan dua orang pegawai [AP, 49 tahun, Kristen dan NS, 43
tahun, Islam] dari Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Ambon [tanggal 12 Pebruari
2010], serta dengan dua orang pegawai [UL, 41 tahun, Islam dan HK, 39 tahun,
Kristen] dari Dinas Sosial Provinsi Maluku [tanggal 13 Pebruari 2010].
14 Saat itu, kantor Gubernur Maluku dijadikan sebagai tempat bertemunya para pegawai dari kedua komunitas.

223

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

variasi program dan aktor yang turut berinvestasi bagi terciptanya
situasi tersebut.
• Peran Pemerintah
Ketika situasi keamanan di kota Ambon sudah berangsur-angsur
mulai pulih pada awal tahun 2002, namun belum menjamin kehadiran
pegawai untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan
masyarakat secara maksimal. Tugas-tugas tersebut sebagian masih dilaksanakan pada kantor-kantor alternatif.
Saat itu, penanganan pengungsi di kota Ambon dilakukan oleh
pemerintah Pusat, Provinsi dan Kota, instansi terkait, donatur dan
lembaga swadaya masyarakat lokal dan internasional. Untuk mengatasi
hambatan dalam bidang pendidikan, kebijakan yang diambil pemerintah kota saat itu adalah para siswa diperbolehkan untuk mengikuti
proses belajar-mengajar pada sekolah terdekat yang relatif aman
termasuk anak-anak di lokasi pengungsian, sesuai jenjang. Sedangkan
Dinas Kesehatan Kota membangun kerja sama dengan MSF dalam
rangka memberi pelayanan kesehatan di tempat-tempat pengungsian,
di puskesmas-puskesmas dan pos kesehatan lain secara cuma-cuma.
Pada akhir tahun 2002, pemerintah kota mulai melakukan rehabilitasi fisik kota. Kegiatan ini dapat terwujud karena adanya bantuan
dana pemerintah serta berbagai upaya yang dilakukan pemerintah kota
untuk mendapatkan bantuan dari negara-negara sahabat. Operasionalnya ditindak lanjuti melalui kerjasama pemerintah kota dengan dinas
Pekerjaan Umum [PU] provinsi untuk membersihkan puing-puing
kerusuran. Di samping itu, juga melakukan rekonstruksi rumah-rumah
penduduk yang rusak dan terbakar pada 15 lokasi, 5 unit pasar,
bangunan sekolah dasar [SD] dan menengah pertama [SLTP] serta 4
unit kantor.
Untuk mendekatkan jarak sosial antar warga kedua komunitas di
kota Ambon, pemerintah kota memprakarsai mewujudkan rekonsiliasi
dengan melibatkan pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh
adat, aparat keamanan, LSM dan unsur lain yang mendukung. Upaya-

224

Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

upaya konkrit yang telah dilaksanakan meliputi: pertama, pertemuan
satu atap antara pemerintah daerah, pihak keamanan dan berbagai
komponen masyarakat terkait untuk membahas upaya pemulihan
kondisi sekaligus berusaha meredam isu-isu yang berkembang; kedua,
menumbuhkan kembali sistem adat dengan melakukan aksi nyata
hubungan pela dan gandong antar negeri; ketiga, melibatkan tokohtokoh masyarakat, agama duduk dalam badan independen yang dikenal
dengan Pusat Rujuk Sosial Provinsi Maluku agar mengagendakan
langkah kebijakan mencari solusi pemecahan; serta mengadakan penyuluhan dan dialog antar umat beragama dengan melibatkan unsurunsur cendekiawan, tokoh masyarakat, tokoh agama, ketua-ketua
pemuda yang mewakili Desa/Negeri/Kelurahan pada tiga kecamatan di
kota Ambon.
Langkah yang diprakarsai Menko Polkam dan Menko Kesra,
menghasilkan Perjanjian Maluku di Malino dengan 11 butir kesepakatan. Sebagai tindaklanjut hasil kesepakatn Malino tersebut, ditetapkan
program penanganan yang meliputi sosialisasi, penanganan pengungsi,
rehabilitasi, santunan sosial, pemantauan dan evaluasi. Sejak perjanjian
Malino disepakati dan mulai ditindaklanjuti, stabilitas sosial dan keamanan di kota Ambon berangsur-angsur pulih. Aktivitas pemerintahan dan masyarakat berjalan mulai normal kembali.
Di samping itu, sejalan dengan kebijakan politik yang diambil
oleh Pemerintah dan DPRD kota Ambon pada bulan Maret tahun 2002
untuk menormalisasikan kembali kehidupan ekonomi, kehidupan
sosial kemasyarakatan serta mendorong dilakukan penegakan hukum
secara konsisten untuk mewujudkan rasa aman bagi seluruh warga
kota, ternyata mendorong mulai munculnya kesadaran secara bertahap
dari warga kedua komunitas. Karena itu, sebagian kecil para pelaku
ekonomi kedua komunitas dari kalangan grass roots [khususnya] sudah
menjalin interaksi di pasar kota Ambon, lama-kelamaan kemudian berkembang hingga saat ini.
Munculnya persepsi negatif masyarakat atas ketidakadilan yang
ada pada pemerintah kota. Bagi komunitas Muslim misalnya, pemerintah kota Ambon dinilai sebagai pusat dan simbol ketidakadilan
225

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

terutama dalam kaitannya dalam rekruitmen dan promosi jabatanjabatan publik. Komunitas ini merasa sebagai korban elite birokrasi
pemerintah kota Ambon, terutama dalam penerimaan dan penempatan
pegawai-terutama dalam jabatan-jabatan strategis-baik birokrasi
maupun Guru. Lebih dari itu, kondisi ini dibaca sebagai upaya elite
birokrasi Kristen mempertahankan dominasi [Tomagola, dkk, 2007].
Terlepas dari penilaian subjektif seperti itubenar atau salah, namun
untuk mengeliminir image tersebut maka pada tahun 2002 pemerintah
kota di bawa kepemimpinan M.J. Papilaya [Walikota] dan Syarif
Hadler [wakil Walikota] melakukan format ulang birokrasi kota
Ambon. Salah satu wujud nyata pengembangan kebijakan di bidang
kepegawaian adalah pengembangan program yang diberi label Standar
Kompetensi Jabatan [SKJ]. Program ini diimplementasikan pertama
kali dalam proses pemilihan Sekretaris Kota pada awal tahun 2003,
untuk kemudian secara berturut-turut diberlakukan terhadap semua
eselon dalam tubuh birokrasi. 15
Memasuki tahun 2003 hingga kini, Walikota 16 Ambon mulai
menggelorakan kembali dilaksanakan peringatan hari Pattimura setiap
tanggal 15 Mei17 dengan melibatkan warga kedua komunitas. Warga
yang terlibat mengetahui secara pasti, peran mereka masing-masing.
Selama ini, obor Pattimura didatangkan dari pulau Saparua menuju ke
kota Ambon dan setibanya di negeri Tulehu kemudian disambut oleh
pemuda kedua komunitas yang beberapa jam sebelumnya sudah tiba
dari kota Ambon untuk menjemputnya. Dengan menggunakan kendaraan roda dua [termasuk mobil], mereka secara bersama-sama mengawal perjalanan Obor tersebut dari negeri Tulehu menuju kota Ambon.
Ketika tiba di negeri Batumerah, obor tersebut diambil-alih oleh para
pemuda dari negeri Batumerah kemudian mereka melarikannya hingga
tiba di lapangan meredeka. Pada saat tiba, obor tersebut diserahkan
kepada Walikota, dan dilanjutkan dengan prosesi upacara peringatan.

Wawancara mendalam dengan Walikota ambon, 28 Mei 2011.
M.J. Papilaya, sebagai Walikota Ambon [saat itu].
17 Perayaan Hari Pattimura tersebut selama kurang lebih tiga tahun tidak dapat dilaksanakan, karena kota Ambon dilanda konflik sosial.
15

16

226

Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

Pada tanggal 16 Agustus tahun 2005, Pemerintah Provinsi melaksanakan perayaan Hari Ulang Tahun [HUT] Provinsi Maluku yang
pertama kali dirayakan pada usia ke 60. Perayaan tersebut dimeriahkan
dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan perlombaan yang melibatkan warga kedua komunitas. Salah satu jenis perlombaan yang
dinilai berpotensi untuk mendekatkan jarak sosial sekaligus menghidupkan kembali ikatan pela antar negeri-negeri [kedua komunitas]
yakni lomba perahu manggurebe. Para pendayung pada masing-masing
perahu hanya ditempati oleh warga kedua komunitas yang terikat
dalam satu hubungan pela. Warga kedua komunitas menyambut
dengan sangat positif kebijakan tersebut sehingga mereka berpartisipasi
secara aktif untuk mendukung seluruh agenda HUT.
Kemudian pada tahun 2006 ketika diselenggarakan Pemilihan
Umum dalam rangka memilih wakil rakyat untuk duduk di DPR,
DPRD I dan DPRD II [Kota Ambon] kemudian dilanjutkan dengan
Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, kesadaran warga kedua komunitas sangat tinggi untuk mensukseskannya.
Sekalipun berbeda agama yang dianut tetapi karena memiliki kesamaan
dalam idiologi salah satu partai tertentu, ternyata mendorong mereka
untuk terlibat secara bersama tanpa mempertimbangkan perbedaan
yang ada.
Salah satu realitas menarik yang rasanya perlu dikemukakan
yakni, ketika dilakukan pemilihan Walikota dan Wakil Walikota
untuk periode 2006-2011 yang dilaksanakan pada tahun 2006. Dari
enam pasangan kandidat Walikota dan wakil Walikota yang ditetapkan
oleh KPU Kota saat itu untuk ikut dalam pemilihan, ternyata tidak
ditemukan satu pasanganpun yang berasal dari warga salah satu komunitas saja tetapi setiap pasangan adalah kombinasi dari kedua komunitas. Kenyataan seperti ini ternyata berdampak pada pembentukan
Tim Suksek dari masing-masing kandidat. Tim-tim sukses tersebut
mengakomodir warga kedua komunitas. Mereka terlibat secara bersama-sama tanpa mempersoalkan perbedaan yang ada, kemudian
mengikuti semua tahapan proses mulai dari kampanye hingga selesai
pemilihan Walikota dan Wakil Walikota. Realitas yang sama juga

227

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

terjadi pada tanggal 16 Mei tahun 2011 yang lalu ketika dilakukan
pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Ambon [untuk periode 20112016] yang diikuti oleh 8 pasangan calon Walikota dan wakil Walikota
Ambon.
Upaya untuk mendekatkan jarak sosial antar warga kedua komunitas di kota Ambon tidak berhenti sampai di situ saja, tetapi terus
dilakukan oleh pemerintah Kota Ambon dan pemerintah Provinsi.
Dalam rangka memperingati Hari Perdamaian Dunia tahun 2009
ditandai dengan pemasangan Gong Perdamaian Dunia [World Peace
Gong] di kota Ambon. Kota Ambon merupakan kota ke 34 di Dunia
yang ditetapkan oleh PBB sebagai situs Perdamaian Dunia. Pada
tanggal 15 Nopember 2009, Gong Perdamaian Dunia [GPD] tiba di kota
Ambon dan disimpan di ruang VVIP bandara internasional Pattimura
di negeri Laha. Pada tanggal 23 Nopember 2009 GPD dikirab menuju
lokasi monumen di kota Ambon yang diawali dengan penyerahan GPD
oleh Wali Kota Ambon 18 kepada Gubernur Maluku 19 selanjutnya
diangkut dengan mobil truk terbuka dan diarak sepanjang tiga puluh
enam km menuju lokasi monumen dengan dukungan ratusan unit
sepeda motor dan kendaraan roda empat yang dihiasi. Kemudian pada
tanggal 25 Nopember, GPD tersebut ditabuh secara resmi oleh Presiden
Repumbil Indonesia. 20 Antusiasme warga kedua komunitas menyambut
kehadiran GPD di kota Ambon relatif cukup tinggi. Hal tersebut
nampak ketika diarak mengelilingi Kota sampai dengan diresmikannya,
warga Kota berbondong-bondong mengikuti. Hingga kini, monumen
tersebut ramai dikunjungi dan dijadikan oleh warga Kota sebagai
tempat rekreasi di malam hari.
Dua orang anggota DPRD Provinsi Maluku [FK, 59 tahun,
Kristen dan LS, 53 tahun, Islam] yang diwawancarai saat itu menyatakan bahwa, semoga dengan penempatan GPD di kota Ambon ini
dapat mengakhiri peristiwa yang pernah terjadi di Maluku. Peristiwa
tersebut harus menjadi yang pertama dan yang terakhir. Oleh sebab
M. J. Papilaya, sebagai Wali Kota Ambon [saat itu].
K.A. Ralahalu, sebagai Gubernur Maluku [saat itu].
20 Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Presiden RI [saat itu].
18

19

228

Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

itu, dengan ditabuhnya GPD diharapkan menjadi pertanda konflik
sudah berakhir dan perdamaian membuka sejarah baru bagi rakyat
Maluku.

Monumen Gong Perdamaian Dunia, di Kota Ambon

Untuk mensukseskan Visit Indonesia Year semester ke dua [Juli
hingga Desember 2010], dilaksanakan kegiatan Sail Banda yang berlangsung dari tanggal 24 Juli hingga 17 Agustus di Maluku. Ada
sejumlah kegiatan yang dilaksanakan di kota Ambon antara lain;
seminar internasional tentang tanaman sagu, simposium internasional
ilmu pengetahuan teknologi kelautan dan perikanan serta seminar
teknologi eksplorasi bawah laut, yang diikuti oleh para cendekiawan
dari kedua komunitas. Sedangkan kegiatan yang bertema Pulau-pulau
Kecil Untuk Masa Depan [Small Island For Our Future] diisi dengan
kegiatan sosial yaitu operasi Bhakti Surya Baskara Jaya berupa pemberian bantuan kesehatan bagi masyarakat yang berada di wilayah pesisir
pantai bagian selatan dan utara Maluku.
Terlepas dari manfaat positif yang dapat diperoleh baik untuk
jangka pendek maupun jangka panjang, akan tetapi substansi dari kegiatan bertaraf nasional dan internasional yang dilaksanakan pemerintah di kota Ambon sebenarnya ingin memperlihatkan kepada dunia
229

Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku

internasional bahwa provinsi Maluku, khususnya Kota Ambon merupakan wilayah yang damai, nyaman pasca tragedi kemanusiaan yang
pernah berlangsung lebih dari tiga tahun. Di sisi lain, kegiatan-kegiatan
yang diprakarsai pemerintah tersebut dinilai sangat potensial untuk
mengukuhkan kembali hubungan sosial antar warga kedua komunitas.
Tampaknya, upaya-upaya untuk membangun kembali kehidupan
berdampingan secara serasi, dimaknai secara positif oleh mereka.
Karena itu, setelah situasi berangsur-angsur kondusif, dijumpai
banyaknya warga masyarakat kedua kelompok yang pernah berkonflik
mulai terlibat dalam interaksi timbal-balik secara intensif dalam berbagai konteks hubungan sosial, tanpa mempertimbangkan pengalaman
traumatik yang pernah dialami bersama. Karena itu, sekalipun menempati pemukiman yang tersegregasi menurut garis keagamaan yang
dianut dewasa ini, namun hubungan kerja sama timbal-balik di antara
mereka tidak dijumpai tampak terpolarisasi. Realitas ini mengindikasikan munculnya keinginan yang kuat dari orang Ambon khususnya,
dan orang Maluku pada umumnya akan hal-hal sepeleh yang dapat
menyebabkan konflik itu meluas dan menjadi malapetaka baru bagi
kehidupan mereka selanjutnya. Karena itu, beberapa kasus konflik baru
yang bersifat sporadis yang terjadi belakangan ini tidak menimbulkan
konflik yang meluas dan berkepanjangan; misalnya, kasus konflik yang
terjadi di kota Ambon (Mei 2007) pada saat Harganas; konflik antar
kelompok (Islam-Kristen) di kota Masohi (Desember 2008); konflik
yang terjadi di kota Ambon antar warga desa Kailolo dengan desa Pelau
(awal 2009); konflik yang terjadi di pasar (kota Ambon) antara salah
satu warga Buton dengan salah satu warga desa Kailolo, (Juli 2009),
Konflik antar kelompok yang terjadi di Kota Ambon [tanggal 9
September 2011], dan kasus-kasus konflik antar individu lainnya.

Kesimpulan
Sejak awal ketika konflik terjadi di kota Ambon tahun 1999,
masyarakat di kota diperhadapkan dengan realitas yang memaksa
mereka untuk merenung dan menemukan gagasan. Kurang lebih
empat bulan kemudian, setelah melalui serangkaian tukar pendapat
230

Dinamika Sosial Dua Komunitas yang Tidak Memiliki Hubungan Gandong….

yang intens [antara pemerintah dengan para tokoh masyarakat, tokoh
adat, tokoh agama serta aparat keamanan], barulah sebuah gambaran
lebih utuh mengenai apa yang harus dilakukannya muncul. Saat itu,
gagasannya semakin mengental yang memunculkan tekad dari kedua
komunitas untuk menghentikan konflik yang sedang terjadi. Gagasan
tersebut kendatipun secara formal merupakan bagian dari dorongan
pemerintah, namun sesungguhnya berangkat dari keresahan warga
kedua komunitas.
Setelah melewati rentang waktu yang cukup panjang ketika
stabilitas sosial dan keamanan mulai kondusif di kota Ambon tahun
2002, dinamika interaksi yang terjadi di ruang-ruang sosial secara
bertahap mulai berkembang secara positif. Hingga saat ini, prosesproses sosial antar dua komunitas sudah berlangsung sangat intensif.
Tidaklah mengherankan jika pembangunan kepercayaan [trust
building] melalui kapitalisasi kebiasaan orang Ambon diwujudkan oleh
warga kedua komunitas secara rutin dalam perjumpaan sehari-hari di
sejumlah ruang-ruang sosial. Rutinitas perjumpaan tersebut pada
akhirnya menjadi gagasan untuk membentuk sebuah nilai bersama,
yakni cita-cita untuk mengubah persepsi subyektif antar komunitas
dalam rngka mewujudkan kehidupan berdampingan secara serasi.

231