Tugas Individu Topik 3 Extremitas Fundamentalisme dan Radikalisme

Nama : Edy Lukman Siswanto
NRP : 3122146
NUP :
Isu Ekstremisme, Fundamentalisme dan Radikalisme
(Sebagai pemenuhan tugas kewarganegaraan)
Sumber : http://catatankuliah-tese.blogspot.com/2012/09/isu-ekstremisme-fundamentalismedan.html
1. Pendahuluan
A. Tragedi Norwegia (22 Juni 2011)
Penembakan membabi-buta terhadap ratusan orang di Utoeya, Norwegia, yang menewaskan
sedikitnya 92 orang jelas adalah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan dari sudut pandang
manapun. Peristiwa itu adalah teror untuk semua orang, bukan hanya di Norwegia saja.
Bahkan, tragedi penembakan tersebut bisa kita sebut sebagai bencana kemanusiaan. Betapa
tidak, setelah mengebom kompleks kantor perdana menteri di Oslo, si pelaku dengan dingin
memberondongkan tembakan ke arah ratusan orang yang sedang berkumpul pada acara
perkemahan musim panas yang digelar Partai Buruh. Pelaku tindakan gila tersebut
diidentifikasi bernama Anders Behring Breivik, seorang yang terindikasi berpandangan
ekstrem kanan dan mengaku Kristen fundamentalis.
Tragedi Norwegia mengingatkan pada tragedi pengeboman Oklahoma pada 1995. Bukan saja
karena modusnya sama, yakni membeli beberapa ton pupuk yang kemudian diracik menjadi
bom. Namun, juga karena si pelaku juga dikungkung oleh pemahaman sempit yang
antitoleransi dan fobia terhadap ancaman-ancaman ideologis semu. Belajar dari tragedi

tersebut, menyemai pemahaman dan sikap toleran, inklusif, dan cinta damai adalah
pekerjaan rumah semua pihak untuk menangkal terorisme.

B. Tragedi Bom Mariot (5 Agustus 2003)
Pada 5 Agustus 2003, terjadi tragedi kemanusiaan dengan pengeboman di hotel JW Marriot,
Kuningan, Jakarta. Saat itu, pengeboman terjadi pada pukul 12.45 WIB, yang berasal dari
bom bunuh diri dengan menggunakan mobil Toyota Kijang bernomor polisi B 7426 ZN
yang dikemudikan oleh Asmar Latin Sani dan mengakibatkan 12 orang tewas dan
mencederai 150 orang. Akibat peristiwa itu, Hotel JW Marriott ditutup selama lima minggu
dan beroperasi kembali tanggal 8 September 2003.
Selang, enam tahun kemudian tragedi serupa terjadi di JW Marriot, pada 17 Juli 2009. Hanya saja
kali ini, bom dilakukan dengan cara bom bunuh diri yang artinya menunjukkan bahwa
teroris masih terus bergentayangan.
2. Pembahasan
Fenomena kekerasan di atas mengindikasikan bahwa gerakan “radikalisme agama” menjadi sebuah
kekuatan yang laten, muncul tiba-tiba dan berbahaya. Kekerasan atas nama agama menyebabkan
pada situasi di mana agama kini sedang mengalami pengujian sejarah secara kritis. Bandul
pendulum agama tergantung pada persepsi dan perilaku penganutnya yang akan mengarahkan pada
dua sisi, yaitu “humanisasi” atau justru malah sebaliknya, “dehumanisasi”.
Fenomena kekerasan sudah sangat lama terjadi. Kekerasan sering dijadikan alat ampuh untuk

memenuhi keinginan beberapa individu atau kelompok terhadap masalah yang begitu kompleks.
Dan ternyata kekerasan juga menghinggapi pada agama-agama.
Radikalisme agama menjadi pembicaraan yang tidak pernah berhenti selama satu dekade ini.
Bentuk-bentuk radikalisme yang berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme
memberi stigma kepada agama-agama yang dipeluk oleh terorisme. Dalam hal ini Frans Magnis
Suseno (Jawa Pos, 2002:1) menyatakan, “Siapa pun perlu menyadari bahwa sebutan teroris
memang tidak terkait dengan ajaran suatu agama, tetapi menyangkut prilaku keras oleh person atau
kelompok. Karena itu, cap teroris hanya bisa terhapus dengan prilaku nyata yang penuh toleran”.
Terminologi “radikalisme” memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan
yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok agama tertentu di satu pihak
dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya pertentangan yang tajam itu menyebabkan
konsep radikalisme selalu dikaitkan dengan sikap dan tindakan yang radikal, yang kemudian
dikonotasikan dengan kekerasan secara fisik.

A. Fundamentalisme
Fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya
untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi). Karenanya,
kelompok-kelompok yang mengikuti paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok
lain bahkan yang ada di lingkungan agamanya sendiri. Mereka menganggap diri sendiri lebih murni
dan dengan demikian juga lebih benar daripada lawan-lawan mereka yang iman atau ajaran

agamanya telah "tercemar".
Kelompok fundamentalis mengajak seluruh masyarakat luas agar taat terhadap teks-teks Kitab Suci
yang otentik dan tanpa kesalahan. Mereka juga mencoba meraih kekuasaan politik demi
mendesakkan kejayaan kembali ke tradisi mereka. Biasanya hal ini didasarkan pada tafsir atau
interpretasi secara harafiah semua ajaran yang terkandung dalam Kitab Suci atau buku pedoman
lainnya.
Istilah fundamentalisme mulanya digunakan untuk penganut agama Kristen di Amerika Serikat
untuk menamai aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan
secara rigit (kaku) dan literalis (harfiyah). Fundamentalisme pada umumnya dianggap sebagai
respon dan reaksi terhadap modernisme dan post-modernisme.
Reaksi ini bermula dari anggapan bahwa modernisme cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan
secara elastis dan fleksibel agar sesuai dengan kemajuan zaman modern, yang akhirnya justeru
membawa agama ke posisi yang semakin terisolir dan teralienasi. Kaum fundamentalis menuduh
kaum modernis sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap terjadinya proses sekularisasi secara
besar-besaran, di mana peran agama akhirnya semakin cenderung terkesampingkan dan digantikan
oleh peran sains dan teknologi modern.
Terkait dengan hal ini Hrair Dekmejian menyatakan fundamentalisme adalah suatu bentuk “ideologi
protes”, fundamentalisme adalah “ideologi kaum oposisi”. Ia muncul sebagai senjata ideologis
untuk melawan kelas penguasa yang dianggap zalim dan menyimpang dari ajaran “yang benar”.
Fenomena fundamentalisme sebagai “ideologi protes” dan “ideologi oposisi” itu, menurut

Dekmejian, telah bermula dengan munculnya kelompok Khawarij yang menentang kebijakan
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Tetapi pengikut-pengikut Ali sendiri, kemudian mengorganisir diri
mereka menjadi kelompok Syi’ah sebagai kelompok oposisi yang menentang Khalifah Muawiyah
dan keturunannya.
Sedang fakta sekarang fundamentalisme Barat adalah seperti apa yang digambarkan oleh

Nurcholish Madjid yang menjelaskan, bahwa fundamentalisme Barat muncul dan menjadi agama
pengganti (ersatz religions) yang lebih rendah jika dibandingkan dengan agama-agama mapan yang
telah berkembang. Fundamentalisme Kristen (seperti Jerry Falwell, Jimmy Baker dan Sung Myung
Moon) disamping mengajarkan paham keagamaan yang telah baku, juga mengajarkan hal-hal yang
bersifat meringankan beban namun tidak menghilangkannya. Dengan kata lain, mereka menyajikan
hal-hal palsu bersifat menipu. Fundamentalisme Barat telah menjadi sumber kekacauan dan
penyakit mental. Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh fundamentalisme, menurut Nurcholish,
begitu besar dan buruk sehingga menjadi sumber kecemasan baru setelah obat bius dan
alkoholisme.
B. Radikalisme
Radikalisme dapat merujuk kepada:
• Ekstremisme, dalam politik berarti tergolong kepada kelompok-kelompok Kiri radikal, Ekstrem
kiri atau Ekstrem kanan.
• Radikalisasi transformasi dari sikap pasif atau aktivisme kepada sikap yang lebih radikal,

revolusioner, ekstremis, atau militan. Sementara istilah "Radikal" biasanya dihubungkan dengan
gerakan-gerakan ekstrem kiri, "Radikalisasi" tidak membuat perbedaan seperti itu.
Radikalisme ialah suatu paham yang menghendaki adanya perubahan , pergantian, penjebolan
terhadap suatu sistem di masyarakat sampai ke akarnya bila perlu menggunakan cara-cara
kekerasan. menginginkan adanya perubahan total terhadap suatu kondisi atau semua aspek
kehidupan masyarakat. kaum radikal menganggap bahwa rencana-rencananya adalah rencana yang
paling ideal. di Inggris radikalisme merupakan hasil usaha untuk melakukan perubahan terhadap
parlemen.
Istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan fundamental
yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita yang
diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan
fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau
dasar dari suatu ajaran.
Ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1)
pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial,
(3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk
membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain.

C. Genealogi Radikalisme
Terkadang kita sering menyamakan istilah “fundamentalisme” dan “radikalisme”. Padahal,

keduanya berbeda walaupun berasal dari akar yang sama. Fundamentalisme (al-ushuliyah) lebih
merupakan sebuah keyakinan untuk kembali pada fundamen-fundamen agama. Maknanya bisa
positif atau negatif. Pandangan negatif yang diakibatkan dari pandangan yang fundamentalis ini
adalah sikap kekerasan (radikalisme ekstrem).
Penyandingan kekerasan dengan radikalisme disebabkan karena gejala dalam realitas sosial yang
sering nampak. Kelompok radikal sering menggunakan cara-cara kekerasan dalam memenuhi
keinginan atau kepentingan mereka. Tapi, kelompok radikal tidak identik dengan kekerasan.
Radikalisme agama terjadi pada semua agama yang ada. Di dalam Hindu munculnya radikalisme
tampak sebagai respon ketika Mogul Emperor menaklukkan India, di samping juga ketika
penjajahan Inggris menguasai India yang diikuti oleh konversi dari Hindu ke Kristen yang
dilakukan oleh para misionaris saat itu. Respon itu antara lain dalam gerakan radikal adalah
munculnya Bajrangdal, Rashtriya Svayam Sevak (RSS) dan sebagainya. Salah satu tokoh radikal
adalah Svami Dayananda Sarasvati yang mendirikan yayasan Arya Samaj (himpunan masyarakat
mulia) tahun 1875 dengan pengikutnya yang tersebar di seluruh pelosok India. Svami Dayananda
Sarasvati di kalangan umat Hindu dipahami juga sebagai seorang yang radikal, karena
mentasbihkan mereka yang termarginalisasi (kaum Paria yang menurut Mahatma Gandhi disebut
Harijan/pengikut atau putra-putra Tuhan) dan sudah pernah beralih agama kembali menjadi Hindu
dan bagi mereka yang mau mempelajari kitab suci Veda dan melaksanakan ritual Veda (seperti
Agnihotra) diinisiasi menjadi Brahmana (dengan memberi kalungan benang Upavita).
Tokoh radikal lainnya adalah Mahatma Gandhi, yakni seorang yang sangat radikal dalam tata pikir,

namun santun dalam tindakan yang pemahamannya terhadap agama Hindu sangat mendalam dan
mampu merealisasikannya. Bahkan R.C. Zaehner (1993:206) mempersamakan Gandhi dengan
Yudhisthira. Dilema Gandhi sama dengan dilema Yudhisthira.

Mahatma Gandhi sangat

menekankan Ahimsa (nir kekerasan). Tokoh-tokoh lainnya sebagai pembaharu Hindu adalah
Aurobindo, Vivekananda dan lain-lain.
Genealogi radikalisme agama muncul karena beberapa sebab. Dalam kasus Islam, misalnya, Hassan
Hanafi (2001) menyebut --paling tidak-- ada dua sebab kemunculan aksi kekerasan dalam Islam
kontemporer. Pertama, karena tekanan rezim politik yang berkuasa. Kelompok Islam terentu tidak
mendapat hak kebebasan berpendapat. Kedua, kegagalan-kegagalan ideologi sekuler rezim yang

berkuasa, sehingga kehadiran fundamentalisme atau radikalisme agama dianggap sebagai alternatif
ideologis satu-satunya pilihan yang nyata bagi umat Islam.
Kekerasan dalam agama muncul karena ketiadaan kemampuan dalam menghadapi modernitas dan
perubahan. Perlu digarisbawahi, fundamentalisme merupakan spirit gerakan dalam radikalisme
agama. Pembacaan atas fundamentalisme pernah digarap oleh Martin E. Marty dan R. Scott
Appleby dalam Fundamentalisms Observed (Chicago dan London,1991). Mereka menyatakan
bahwa fundamentalisme merupakan mekanisme pertahanan yang muncul sebagai reaksi atas krisis

yang mengancam. Yaitu krisis keadaan yang akan menentukan eksistensi mereka. Karen Armstrong
(2000) juga menyatakan bahwa gerakan fundamentalisme yang berkembang pada masa kini
mempunyai hubungan erat dengan modernitas.
Karena gerakan radikalisme itu muncul sebagai respon atas modernitas maka kita sebaiknya melihat
hubungan antara tradisi dan modernitas secara obyektif. Dalam tubuh modernitas juga mengandung
banyak hal negatif. Kita tidak dapat memungkiri bahwa pengaruh modernitas juga memberikan
implikasi kerusakan bagi eksistensi kemanusiaan. Modernitas perlu diantisipasi pula. Tapi,
antisipasi yang dilakukan tidak menyebabkan “totalitas” penolakan atas dasar agama. Modernitas
adalah sebuah fase sejarah yang mengelilingi kehidupan manusia, di mana terdapat sisi positif dan
juga negatif.
D. Solusi atas Kekerasan
Kekerasan bukanlah merupakan sebuah tawaran yang bijak untuk menyikapi polarisasi dunia akibat
tamparan hebat modernitas. Setiap agama memiliki banyak kerangka pemikiran untuk mewujudkan
perdamaian di muka bumi. Hanya saja, eksplorasi atas makna-makna perdamaian dalam Islam telah
dicemari oleh beberapa perilaku kekerasan oleh gerakan radikal. Tugas kaum agamawan adalah
bagaimana menawarkan solusi atas kekerasan ini agar ada pernyataan bahwa kekerasan bukanlah
ajaran agama.
Karena kekerasan itu akibat dari modernitas, maka Peter L. Berger (2003) menawarkan dua strategi
untuk merespon modernitas dan sekularisasi ini, yaitu “revolusi agama” (religious revolution) dan
“subkultur agama” (religion subcultures). Yang pertama adalah bagaimana kaum agamawan mampu

merubah masyarakat secara keseluruhan dan menghadirkan model agama yang modern. Dan yang
kedua adalah bagaimana upaya kita untuk mencegah pengaruh-pengaruh luar agar tidak mudah
masuk ke dalam agama.

Solusi yang bisa ditawarkan dalam menyikapi fenomena radikalisme agama antara lain: pertama,
menampilkan agama sebagai ajaran universal yang memberikan arahan bagi terciptanya perdamaian
di muka bumi. Kedua, perlu ada upaya penggalangan aksi untuk menolak sikap kekerasan dan
terorisme. Aksi ini melibatkan seluruh kelompok-kelompok dalam agama-agama yang tidak
menghendaki hal demikian. Terorisme dan kekerasan adalah bentuk pelecehan atas nama agama dan
kemanusiaan.
Ketiga, sudah saatnya kita menumbuhkan karakter keberagamaan yang moderat. Memahami
dinamika kehidupan ini secara terbuka dengan menerima pluralitas pemikiran “yang lain” (the
other), yang ada di luar kelompoknya. Keberagaman yang moderat akan melunturkan polarisasi
antara fundamentalisme dan sekularisme dalam menyikapi modernitas dan perubahan.
3. Daftar Pustaka
http:// www.adilnews.com/?q=id/ektremis-di-tengah-kita
Fundamentalisme - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Qardhawi, Yusuf, Islam Ekstrem (analisa dan pemecahannya), Mizan, Bandung, 1993
Karel A, Steen Brink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, Bulan Bintang,
Jakarta, 1984

http://www.parisada.org/
http://www.KOMHUKUM.com