team games tournament suyato siap upload

suyato@uny.ac.id
Team Games Tournament: M emadukan unsur Competitive dan Cooperative
Dalam rangka Peningkat an Kualitas Pembelajaran PKn
Suyato
Jurusan PKn H
FISE UNY
Abstract
M any research have been done in searching t he advantages and disadvantages bot h cooperative and
competitive models of teaching. Each of t hem has some advantages as w ell as disadvant ages.
Accordingly, the rest task of t eachers is to take t he advant ages and eliminate its disadvant ages.
This article tries to propose Team Game Tournam ent (TGT) as a means in integrating
cooperative and com pet itive aspects of inst ructional activities. With its distinctive feature, TGT can
combine both cooperat ive and competitive spirits of student. As a result, hopefully, students’
achievement w ill increase.
Teachers of PKn should change t heir circumstances, chiefly their traditional instructional
practices. Implement ation of TGT in some right occasions is one of means in increasing instructional
effectiveness.
Key w ords:Team Game Tournam net, competitive, cooperative, PKn.

A. Pendahuluan
Di era globalisasi ini orang dit untut untuk mem eliki keunggulan kompet itif hampir dalam semua

aspek kehidupan. Orang sering mengident ikkan era ini dengan era persaingan bebas. Namun, kalau
kita cermati lebih seksama, era globalisasi ini juga menuntut individu untuk mampu bekerjasama
dengan orang lain dalam suasana saling ket ergant ungan yang positif (positive int erdependence).
Ironisnya, praktik pendidikan di Indonesia selama ini cenderung m enekankan aspek kompetisi
sehingga m elahirkan individu-individu yang individualistis, bahkan egois. Dampakdari praktik
pendidikan semacam ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat besar. Bila orang yang
memiliki sifat semacam ini menjadi pemimpin, maka ia cenderung akan m enjadi pemim pin yang
kurang peduli terhadap rakyat yang ia pimpin. Bila ia menjadi pengusaha, ia cenderung akan
menjadi pengusaha yang melupakan anak buahnya, menganggap pengusaha lain sebagai saingan,
bukan mitra.
B.

Teori dan Beberapa Proposisi tentang Belajar
Salah satu perubahan yang cukup signifikan t entang teori belajar sejak akhir tahun 1960-an

adalah perubahan dari teori-teori yang bersifat global tentang belajar kearah aspek yang lebih
khusus tentang belajar (Klein, 2002- 262). Lebih lanjut ia katakan bahw a ada tiga alasan utama
penekanan pada prinsip belajar yang bersifat khusus. Pertama, diakui adanya dua proses belajar
yang berbeda sehingga membuat sulit untuk mengembangkan t eori belajar yang bersifat tunggal
untuk m enjelaskan semua perilaku. Kedua, t eori-t eori belajar tradisional juga berasumsi bahw a

beberapa hokum yang bersifat umum t ent ang belajar dapat diterapkan untuk semua makhluk

hidup. Dengan kata lain, t ernyata factor bio-psikologis juga berpengaruh pada proses belajar.
Ketiga, penerimaan yang berlebihan pada pandangan kognitif tentang belajar m engakibatkan

perhat ian lebih terfokus pada prinsip-prinsip belajar yang bersifat khusus. Kenyataan bahw a
prinsip-prinsip asosiatif dan kognitif m embuat sulit untuk m embangun sebuah t eori t entang belajar
yang bersifat global atau universal.
Fries& Craw ford (1989) m enyatakan beberapa proposisi tentang belajar sebagai berikut:
a) Learning is active and not passive;
b) Children are ‘inquirers’, they act ively seek to underst and their w orlds;
c) Since involvement is crucial to learning, children learn more by t aking responsibility for t heir
ow n learning;
d) Children learn w hen the learning meets needs w hich are relevant to t heir t otal being;
e) The explanat ory stage in learning is very important;
f) Children at all ages, but especially young children learn int uitively through concret e
experiences;
g) Effective learning and the learners’ self -esteem are closely relat ed;
h) The role of t eacher is crucial in learning;
i) Children learn much through their ow n experiences and from each other w ithout instruction

from adult; and
j) The role of peers and the family in learning is important.

Lebih lanjut dikat akan bahw a proses yang t erjadi di dalam belajar meliput i:
a) There are tw o key facets of learning –t he process and the product and neither can be
considered as part from the other;
b) Learning is a global rather than a linear process;
c)

Concepts can be understood at different levels of difficulty by children at different levels;

d) The value of play in learning can’t be overestimated;
e)

Learning involves risk-taking;

f)

There is much unintended learning in the school; and


g) There is w ide variation in learning style.

Hergenhahn& Olson (1997:6-7) m enyatakan bahw a belajar adalah sebuah perubahan tingkah
laku atau pot ensi tingakh laku yang relative permanen yang merupakan hasil dari pengalaman
dan tidak dapat dilekatkan pada kondisi yang bersifat sem entara seprti diindikasikan oleh sakit,
kelelahan atau pengaruh obat -obatan. Lebih lanjut dikatakan bahw a hanya perilaku yang dapat
diperkuat yang dapat dipelajari. Sedangkan menurut Sadali (2001: 58), kualitas suatu pengajaran
diukur dan dit entukan oleh seberapa besar kegiatan pembelajaran dapat m enjadi alat pengubah
t ingkah laku individu kea rah yang sesuai dengan t ujuan yang telah dit etapkan. Sehubungan
dengan ini maka guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran di kelas hendaknya mampu
mengem bangkan pola interaksi sehingga sisw a t ermotivasi, punya kepercayaan diri, kreatif,
responsive, interaktif, dan evaluative. Hal ini sesuai dengan pengertian pembelajaran yang
dikemukakan Gagne& Briggs (1979:3) “ instruction is a human understanding w hose purpose is t o
help people learn” . Lebih lanjut mereka mengatakan bahw a dalam kegiatan pembelajaran

t erkandung makna sebagai cara yang dipakai oleh pengajar, ahli kurikulum, perancang m edia,
dan sebagainya yang dit ujukan untuk m engembangkan rencana t erorganisir guna keperluan
belajar.
Pembelajaran pada dasarnya m erupakan suatu kombinasi yang t ersusun m eliputi unsurunsur manusiaw i, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling m empengaruhi


untuk mencapai tujuan pembelajaran. M anusia yang terlibat dalam pembelajaran t erdiri dari
sisw a, guru, dan tenaga lainnya, seperti laboran, narasumber, dan pustakaw an. M aterial meliputi
buku-buku, papan tulis, media, dan sumber belajar lainnya. Fasilitas dan perlengkapan t erdiri dari
ruang kelas, comput er, perlengkapan audio-visual, dan sebagainya (Hamalik, 2001:57). Pendapat
senada dikemukakan Sudjana (2001:8) yang mengartikan pembelajaran sebagai suatu upaya yang
sistematik dan disengaja oleh pendidik untuk m enciptakan kondisi-kondisi agar peserta didik
melakukan kegiatan belajar. Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajarant erjadi int eraksi
edukatif antara dua belah pihak, yaitu peserta didik (sisw a) yang m elakukan kegiatan belajar
dengan pendidik (guru) yang melakukan kegaiatan membelajarkan.
M ulyasa (2003:100) menyatakan bahw a dalam setiap pembelajaran t erjadi interaksi antara
peserta didik dengan lingkungannya sehingga t erjadi perubahan tingkah laku kea rah yang lebih
baik. Oleh karena itu, tugas guru yang utama dalam pembelajaran adalah mengkondisikan
lingkungan agar menunjang t erjadinya perubahan tingkah laku kea rah yang lebih baik. Dengan
kaata lain, untuk mencapai tujuan yang optimal, proses pembelajaran harus m emiliki kualitas
yang tinggi.
Ironisnya, implementasi di lapangan menunjukkan bahw a model pembelajaran yang
digunakan guru msih jauh dari ideal. Banyak guru yang masih menggunakan strat egi
pembelajaran konvensional yang bersifat ekspositori (pemaparan dengan ceramah). Penelitian
Suyato (2004) t erhadap para guru SD di kecamat an Kalasan , Kabupat en Sleman, Yogyakarta
menemukan bahw a 85% responden menggunakan m etode ceramah dalam mengajarkan dasardasar demokrasi kepada sisw anya. Kondisi ini sungguh memprihatinkan, mengingat tujuan

pembelajarn demokrasi tidak terbatas pada pengetahuan t entang dasar-dasar demokrasi, tetapi
harus sampai tingkat pemahaman, penghayatan, dan penerapannya dalam kehidupan seharihari. Atau kalau meminjam istilah Bloom, tidak hanya pada aspek kognitif, tetapi sampai tingkat
paling tinggi, yaitu evaluative. Oleh karena itu, agar pembelajaran PKn lebih efektif, maka strat egi
semacam itu harus diubah.
Untuk mengubah secara keseluruhan atau bersifat drast ic praktik guru yang sudah
berlangsung selama bertahun-tahun m emang bukan pekerjaan yang mudah. Guru sebagai ujung
t ombak pendidikan perlu diubah mind-set-nya secara perlahan-lahan dengan cara diperkenalkan
strategi pembelajaran yang bukan m erupakan yang baru sama sekali. Salah satunya adalah
dengan penerapan TGT sebagai model pembelajaran PKn yang m enggabungkan unsur kooperatif
dan kompetit if.
C.

Pentingnya Competitive and Cooperative Spirit s dalam Belajar PKn
Pentingnya semangat kom petitif dan kooperatif dalam belajar, termasuk belajar PKn sudah
t idak diragukan lagi. Dalam situasi yang kompetit if sisw a akan dipacu untuk melakukan yang
t erbaik at au m encurahkan segala potensi yang mereka miliki untuk memenangkan persaingan.
Semangat kompetit if ini tercermin dalam motivasi berprestasi dan gairah untuk belajar.
Biasanya, sisw a dengan m ot ivasi tinggi cenderung akan memiliki prestasi akademik yang
relative lebih baik disbanding mereka yang motivasi berprestasinya rendah. Oleh karena itu,
t ugas seorang guru adalah m enumbuhkan dan menjaga motivasi berprestasi yang tinggi, antara

lain dengan penerapan TGT yang m engandung unsur rew ard and punishment.
Semangat bersaing bias pada level individu maupun kelompok. Hal ini sesuai dengan
pendapat Albert (1987) yang menyatakan bahw a disamping sisw a m embut uhkan pengakuan
akan kemampuannya, m ereka juga perlu diakui keberadaannya dan kontribusinya dalam
kelompok, atau dalam istilahnya disebut three C’s (capable, connect, and contribute).

Kemampuan untuk bekerja secara kooperatif dengan orang lain memberikan kontribusi
secara langsung t erhadap pencapaian tujuan pendidikan, khususnya pendidikan nilai, yang
meliputi realisasi nilai, pendidikan karakt er, pendidikan kew arganegaraan, dan pendidikan
moral. Uraian lebih lengkap tentang kontribusi kerjasama secara kolaboratif ini dapat disimak
dalam uraian berikut ini.
Realisasi nilai. Para sisw a harus belajar untuk bekerja sama dengan orang lain dalam rangka

untuk m erealisasikan nilai-nilai yang mereka anut dan apa yang m ereka inginkan. Ketrampilan
yang mereka pelajari dalam kerjasama kelompok akan sangat bermakna dalam kehidupan
mereka – dalam lapangan pekerjaan, lingkungan akademik, keluarga, kelompok social, dan di
mana pun m ereka berada untuk dapat berpartisipasi. Sikap dan ketrampilan kooperatif akan
meningkat kan hubungan m ereka, produktivitas, kepuasan dalam semua situasi di atas.
Pendidikan karakter. Beberapa karakter yang diajarkan oleh para pendidik saat ini, yang


sering disebut ‘target-values’ atau nilai-nilai target , m eliput i hormat, t anggung-jaw ab, toleransi
atau menerima perbedaan, hemat, dan bangga dalam bekerja. Di dalam kelompok belajar yang
bersifat kooperatif, para sisw a belajar untuk saling menghargai dan memahami bahw a setiap
orang m emilikikontribusi yang berguna. M ereka berlatih untuk bertanggung jaw ab atas t ugas
kelompok mereka; bahw a kelopok tidak akan berhasil kecuali mereka m em enuhi tanggung
jaw ab yang dibebankan kepada mereka. M ereka belajar untuk bekerja sama dengan dan
menghargai orang lain yang berbeda dalam hal ras, agama, kelas social, kemampuan akademik,
dan sebagainya. Dan apabila kerja sama it u efektif, para sisw a akan bangga karena keberhasilan
kelompok m ereka dalam m engerjakan t ugas. Loyalitas dan rasa m embantu (helpfulness),juga
merupakan karakter lain yang bias diperoleh dan dikembangkan dari belajar kelompok.
Pendidikan Kew arganegaraan. Kemampuan w arga Negara untuk bekerjasama secara efektif

merupakan hal yang pokok dalam emokrasi.Dalam pembelajaran secara kooperatif, para sisw a
belajar untuk berbagi, bergilir, saling mendengarkan, bersikap empati, dan belajar untuk
menerima dan m enilai kontribusi-kontribusi yang berbeda yang bias dibuat atau disumbangkan
oleh anggota kelompok yang berbeda-beda. Singkatnya, banyak hal yang dipelajari sisw a t erkait
dengan pendidikan kew arganegaraan melalui belajar kooperat if. Para sisw a belajar untuk
peduli, tidak saja pada prestasi diri mereka sendiri, tetapi juga prestasi kelompok. Lebih lanjut,
mereka diharapkan selanjutnya nuntuk tidak nhanya peduli terhadap kelompoknya, tetapi juga
peduli terhadap bangsa dan negaranya. Dan akhirnya, mereka juga diharapkan tidak hanya

peduli terhadap bangsa dan negaranya, tetapi juga peduli terhadap sesam e manusia di muka
bumi ini, bahkan terhadap seluruh unsure yang ada di planet dan jagat raya ini. Sebuah nilai
yang esensial dalam berdemikrasi.
Pendidikan moral. M elatih sisw a untuk bias dan mau bekerja secara kelompok m erupakan

salah satu bentuk pendidikan moral. Belajar kooperatif mengajarkan sisw a untuk mengurangi
atau menghilangkan sfat dan sikap egois, menghargai hak-hak orang lain. Kemampuan uuntuk
mendengarkan, bersijap empati, dan untuk menerima peran orang lain, mem berikan kontribusi
t erhadap perilaku dan berpikir secara moral. M emahami dan memprakt ikkan keadilan di dalam
membagi tugas, berbagi peralatan, dan tanggung jaw ab dalam menyelesaikan tugas

juga

merupakan pendidikan moral.
M emang, kerja sama dapat

diajarkan secara t erpisah sebagai

unit


pembentukan

ketrampilan, tetapi dapat juga diajarkan secara t erintegrasi di dalam struktur dan suasana
kehidupan sehari-hari di dalam kelas atau dalam pendekatan yang disebut cooperative
learning. Penelitian yang ekst ensif t entang cooperative learning m engindikasikan bahw a

cooperat ive learning tidak hanya m engajarkan kerjasama t etapi juga meningkatkan self-esteem

sisw a, sikap hormat terhadap orang lain, dan prestasi akademik sisw a.
D. Team Game Tournament (TGT)
TGT t erdiri atas serangkaian kegiatan pembelajaran yang m eliputi: t eaching (pengajaran
atau presentasi oleh guru), Team st udy atau belajar secara tim atau kelompok, dan tournament
atau perlombaan dan Team Recognition (pemberian penghargaan kepada tim). Uraian secara
rinci dari keemopat kegiatan ini dapat disajikan sebagai berikut.
1. Teaching. Kegiatan ini, seperti kegiatan m engajar konvensional, berupa kegiat an di mana
guru m enyampaikan atau m empresent asikan mat eri pelajaran. M ateri pelajaran bias
berupa fakta, konsep, prinsip, atau prosedur. Kegiatan ini lebih merupakan pengantar atau
apersepsi dari serangkaian kegiatan pembelajaran TGT. Oleh karena itu, tugas guru pada
tahap ini adalah menjelaskan hal-hal yang sifatnya mendasar t entang materi yang akan
dipelajari sisw a, termasuk prosedur pelaksanaan TGT, sehingga para sisw a mendapatkan

pemahaman yang benar dan memadai terkait baik dengan mat eri maupun hal-hal yang
harus dilakukan baik secara individu maupun kelompok.
2. Team st udy. Kegiatan ini merupakan lanjutan dari kegiatan presentasi guru dengan
menekankan pada aktivitas sisw a untuk mendalami m ateri yang baru saja disampaikan guru
dalam tahap aw al, presentasi. St rat egi belajar yang bersifat kooperat if ini memungkinkan
sisw a untuk saling bertukar pikiran untuk memperoleh pemahaman yang sama di antara
para anggota tim. Tugas yang harus dilakukan atau diselesaikan oleh tim atau kelompok
bias berupa lembar kerja atau menguasai mat eri yang telah disampaikan. Secara kelompok,
mereka bert anggung jaw ab t erhadap penguasaan mat eri oleh para anggotanya. Oleh
karena, keberhasilan kelompok dalam turnam en atau perlombaan nanti akan sangat
tergantung pada penguasaan mat eri oleh setiap anggot a kelompok yang bersangkutan.
Oleh karena itu, biasanya anggota yang lain dari kelompok yang bersangkutan akan
memotivasi dan m embantu sisw a lain yang ada dalam kelom poknya, sehingga mereka
secara kelompok merasa optimis untuk memenangkan perlombaan karena para anggot anya
sudah siap dengan penguasaan mat eri secara tuntas.
3. Tournament. Yang dimaksud tournam ent atau perlombaan di sini adalah suatu kegiatan di
mana para sisw a memainkan perlombaan di atas meja beranggotakan perw akilan
kelompok, terdiri dari tiga atau empat dengan tingkat kemampuan yang relatif set ara.
Game ini terdiri dari pertanyaan atau tugas-t ugas yang yang relevan dengan materi yang

telah disampaikan untuk m enguji tingkat penguasaan mat eri yang diperoleh sisw a, baik
ketika pada tahap pesentasi dari guru, maupun pada tahap belajar kelompok dengan
teman-t eman sesam e anggot a kelompoknya. Alat game ini berupa kartu yang berisi
pertanyaan-pertanyaan yang diberi nomor urut disert ai kunci jaw aban yang bditulis di at as
kartu yang t erpisah dari kartu soal. Turnam en ini bias dilakukan pada setiap akhir pecan, di
mana para sisw a t elah mendfapat materi dari guru dan telah m endalaminya lew at belajar
kelompok.
4. Team Recognition. Yang dimaksud dengan team recognition adalah pengakuan atau
penghargaan at as prestasi kelompok berupa pmberian peringkat kepada tim sesuai dengan
skor yang m ereka peroleh. Skor tim adalah jumlah atau gabungan dari skor individu para
anggota tim yang bersangkutan. Ada tiga peringakt penghargaan mulai dari yang t erendah
sampai yang tertinggi, Good Team. Great team, dan Super Team.
E.

Competitive spirit dalam TGT

Di dalam TGT, semangat bersaing baik antar sisw a maupun kelompok sangat nyata, Karen
strategi ini m emang dirancang untuk kompetisi. Para sisw a yang t ergabung dalam suat u
kelompok akan berhadapan atau bersaing dengan kelompok lainnya. Sebagaimana t elah
dikemukakan, keberhasilan kelompok akan sangat t ergantung dari keberhasilan individu
anggotanya, maka dalam kelompok itu akan muncul semacam norma yang berfungsi sebagai
penjaga kekompakan kelompok, sperti solidrits, saling m engingatkan, saling m endukung, saling
member, dan yang tidak kalah pentingnya gengsi kelompok, demi kesuksesan kelompok.
Untuk menjaga kekompakan atau kohesifitas kelompok, guru sebaiknya m enganjurkan para
sisw anya untuk m ember nama kelom poknya sesuai dengan kesepakatan para anggiotanya.
Kalau perlu, m ereka membuat slogan atau yel-yel untuk m emberikan semangat dan identitas
kelompoknya. Dengan identitas yang nyata maka rasa solidarits dan eksistensi kelompok akan
membant u para anggotanya untuk m enjaga nama baik dan selalu bangga t erhadap
kelompoknya. Konsekuensinya memang berat maka mereka harus sukses dalam perlombaan
yang mereka hadapi.
F.

Cooperative Spirit dalam TGT

Dalam strat egi pembelajaran ini, aspek kooperatif sangat menonjol. Sebagaimana kita
ketahui, belajar kooperatif (cooperative learning) adalah sebuah metode di mana sebuah
kelompok diberi tugas t ert entu yang harus dikerjakan, diselesaikan atau dikauasai secara
kelompok. Para sisw a berint eraksi secara langsung satu sama lain untuk m enyelesaikan tugas
kelompok mereka. Dalam TGT ini tidak dimungkinkan adanya ‘free rider’, sisw a yang sekadar
ikut mencant umkan nama dalam kelompok t etapi tidak turut m emberikan kontribusi t erhadap
kelompoknya. M engapa para ahli merekomendasikan belajar kooperatif, antara lain karena
strategi pembelajaran ini mem ungkinkan sisw a untuk berint eraksi secara int ensif antar sisw a.
Kalau dalam sebuah kelas ada 40 sisw a, peluang seorang sisw a untuk mendapat giliran atau
berbicara adalah seperempatpuluh, maka peluang unt uk medapat giliran atau berbicara dalam
sebuah kelompok yang hanya t erdiri dari empat siswa adalah seperempat. Dengan demikian,
semakin kecil jumlah anggota kelompok, semakin besar peluang sisw a untuk berlkontribusi
dalam kelompoknya. Dengan demikian, peluang unt uk berbagi ide, m elatih ketrampilan social,
khususnya berkomunikasi secara lisan menjadi semakin intens.
Cooperative learning sebagai strat egi pembelajaraan memiliki dasar teoritis yang jelas dan

kuat, tervalidasi dengan penelitian, dan dengan prosedur yang jelas sehingga dengan mudah
para guru dapat m enerapkannya. Penelitian tentang strategi belajar kooperatif biasanya
dilakukan degan berpijak pada dua t eori atau perspektif yang berbeda. Perspehtif pertama,
berdasarkan

teori-teori developmental Piagetian dan Vygotskian, berpendapat bahw a

interaksi antarsisw a yang perpusat pada tugs akan m eningkatkan belajar dengan cara
menciptakan koflik pengetahuan dan dengan m emaksa para sisw a pada kemampuan berpikir
t ingkat tinggi, yaitu pada zona proksimal (proximal zone) perkembangan m ereka.
Perspektif yang kedua, motivational perspective, berpendapat bahw a penghargaan t erhadap
kelompok atas dasar belajar individu dari semua anggota kelompok akan m enciptakan norma
dan sanksi kelompok yang mendukung usaha yang mengarah pada prestasi dan membantu
secara aktif t eman-t eman satu kelom poknya. Sebaliknya, dalam pandangan development alist,
insent if untuk usaha belajar kelompok ini tidak perlu atau m erugikan. Sedangkan m enurut
pandangan motivationalist hal itu penting untuk m eningkatkan hasil belajar. Untuk m engatasi
masalah ini, guru perlu menciptakan model pembelajaran yang mampu menjembatani atau
memadukan dua perspektif yang berbeda, yang nampaknya kontradiktif ini. Salah satunya

melalui penerapan TGT. Dengan TGT, penghargaan terhadap prestasi kelompok tidak
mengabaikan penghargaan t erhadap individu, karena prestasi kelompok ditentukan oleh
prestasi individu.
G. Penutup
Dari uraian singkat di muka dapat disimpulkan bahw a TGT mampu nm engint egrasikan
semangat kom petisi dan kerjasama dalam belajar, dua hal ang sangat esensial dalaam belajar.
Dengan TGT, guru dapat m enjaga dan m endorong t erus motivasi dan semangat belajar sisw a.
Lebih dari it u, pendidikan melalui proses pembelajaran semacssm ini diharapkan mampu
menciptakan pesrta didik yang tidak memiliki sift egois karena t ercip[ta oleh semangat
kompetisi yang int ens, t etapi m emiliki jiw a vkebersamaa, sebagai hasil dari tempaan suasana
yang penuh kooperatif.
Secara singkat, lew at TGT sisw a dilatih untuk bersaing secara sehat dan seklaigus
bekerjasama untuk m encapai prestasi terbaik mereka. Sisw a juga belajar bahw a setiap orang
memiliki potensi untuk memberikan kontribusi terhadap keberhasilan kelompok, sekecil
apapun dengan potensi yang m erke milik secara individual. Dengan demikian, dengan TGT,
pembelajaran PKn akan lebih menyenangkan, menant ang, dan bermakna bagi sisw a.
Daftar Pust aka
Albert. L. (1987). A t eacher’s guide to cooperative discipline. M innesota: AGS.
Gagne, R.M .& Briggs, L.J. 1979. Principles of instructional design. New York: Holt, Renihart, and
Winst on.
Hergenhahn, B.R.,& Olsaon, M .H. 1997. An introduction t o theories of learning. New Jerw sey:
Prentice-Hall.
Hamalik, o. 2001. Belajar dan pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Kirschenbaum, H., 1995. 100 w ays to enhance values and m orality in school and youth
setting. Boston: Allyn and Bacon.

Klein, S. B., 2002, Learning principles and applications, international edition, fourth edition. Boston:
M cGraw Hill.
M ool, L.C., 1993, Vogotsky and education, instructional implications and applications of socihistorical
psychology. New York: Cambridge Universit y Press.

M ulyasa, 2003, Kurikulum berbasis kompetensi : konsep, karakteristik, dan implement asi, Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Sadali, 2001, Pengaruh penerapan m odel pem belajaran role playing terhadap aktivit as guru dan
murid dan hasil belajar pada m ata pelajaran IPS di sekolah dasar. Jurnal Lemlit UT Vol. 2, No. 1, 52-

68.
Sudjana, 2001, M etode dan teknik pembelajaran part isipatif. Bandung: Falah Production.

Suyato, 2004, St udy eksplorasi tent ang penggunaan metode pembelajaran dasar-dasar dem okrasi
oleh para guru SD di Kecam at an Kalasan, Sleman, Yogyakart a, Laporan Penelitian tidak diterbitkan,

FIS UNY.
Vries, L.,& Craw ford, J., 1989, Learning t hrough an integrated curriculum, approaches and guidelines,
Victoria: M inistry of Education.