Kontribusi Protective Factors Terhadap Resilience Pada Penderita HIV/AIDS di Yayasan "X" Kota Karawang.

(1)

v Universitas Kristen Maranatha

ini adalah penelitian kontribusi dengan menggunakan desain penelitian causal relationship dengan tujuan untuk mengetahui kontribusi protective factors

terhadap resilience pada penderita HIV/AIDS di Yayasan „X‟ Karawang. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan ukuran sampel 20 orang penderita HIV/AIDS berusia 20-35 tahun dengan klasifikasi

dewasa awal menurut Santrock (2002), dan menjadi anggota di Yayasan „X‟ kota Karawang.

Alat ukur dalam penelitian ini adalah kuesioner protective factors dan resilience yang dibuat oleh peneliti berdasarkan teori Resilience dari Bonnie Benard, dengan menggunakan pengujian validitas, content validity. Jumlah item yang valid adalah 48 item untuk kuesioner protective factors dan 50 item untuk resilience. Untuk mendapatkan kontribusi protective factors terhadap resilience, data diolah menggunakan uji statistik Multiple Regression.

Berdasarkan pengolahan data diperoleh hasil bahwa protective factors memberikan kontribusi yang signifikan terhadap resilience, yaitu sebesar 85,3% (teman /community protective factors) dan 79,5% (family protective factors). Aspek protective factors yang secara signifikan berkontribusi adalah family high expectation (90,1%) dan community high expectation (77,2%). Kesimpulan penelitian ini adalah ada kontribusi yang signifikan antara protective factors yang diberikan oleh keluarga maupun teman-teman terhadap resilience pada

penderita HIV/AIDS di yayasan “X” kota Karawang. Hal ini menunjukkan bahwa

protective factors mempengaruhi perkembangan resilience pada diri penderita HIV/AIDS. Data penunjang memperoleh hasil bahwa penderita HIV/AIDS yang menghayati dirinya memperoleh protective factors dari keluarga maupun teman-teman, mereka merasa kebutuhan dasarnya terpuaskan sehingga meningkatkan derajat resilience.

Peneliti mengajukan saran bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian secara studi kasus agar dapat memperdalam mengenai aspek-aspek protective factors yang berkonrtibusi terhadap resilience dan untuk menjaring lebih mendalam mengenai basic need. Bagi penderita HIV/AIDS di yayasan X, diharapkan agar meningkatkan kemampuannya dalam mengatasi masalah yang dihadapi seperti mencari jalan keluarnya, meminta bantuan orang yang tepat, juga diharapkan untuk fokus pada masa depannya. Bagi keluarga, diharapkan tetap mempercayai dan memberikan harapan kepada penderita dalam melakukan

kegiatan dan pengambilan keputusan. Bagi yayasan “X” Karawang agar

memberikan kepercayaan kepada penderita dalam melakukan kegiatan yang diselenggarakan. Bagi teman-teman, diharapkan tetap memberikan dukungan kepada penderita dalam menjalani hidupnya.


(2)

vi Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...vi

DAFTAR TABEL...x

DAFTAR BAGAN...xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah... 1

1.2Identifikasi Masalah...12

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1Maksud Penelitian...12

1.3.2Tujuan Penelitian...12

1.4Kegunaan penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis...13

1.4.2 Kegunaan Praktis...13

1.5Kerangka Pemikiran...14

1.6Asumsi...30

1.7Hipotesis dan Sub Hipotesis 1.7.1. Hipotesis...31


(3)

vii Universitas Kristen Maranatha

2.1.2. Personal Strengths...32

2.1.3. Environmental Protective Factors.. ……….40

2.1.3.1. Family Protective Factors ………43 2.1.3.2. School Protective Factors………..…..44 2.1.3.3. Community Protective Factors………46 2.1.4. Basic Need………..…….47 2.2HIV/AIDS 2.2.1. Sejarah HIV/AIDS...47

2.2.2. Definisi HIV/AIDS...49

2.2.3. Cara Penularan HIV/AIDS...50

2.2.4. Faktor penyulit penderita AIDS...51

2.2.5. Yayasan HIV/AIDS...53

2.3Masa dewasa awal 2.3.1Transisi dari Masa Remaja Menuju Masa Dewasa...54

2.3.2Perkembangan Fisik...55

2.3.3Seksualitas...55

2.3.4Karier dan Kerja...56

2.3.5Keintiman dan Kemandirian...56

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1Rancangan Penelitian ...58


(4)

viii Universitas Kristen Maranatha

3.3.2. Kuesioner Protective Factors...67

3.3.3. Prosedur Pengisian...68

3.3.4. Sistem Penilaian……….…….68

3.3.5. Data Pribadi dan Data Penunjang...69

3.3.6. Uji Coba Alat Ukur 3.3.6.1. Validitas Alat Ukur...69

3.4Populasi Sasaran dan Teknik Penarikan Sampel 3.4.1. Populasi sasaran...70

3.4.2. Karakteristik Populasi...70

3.4.3. Teknik Penarikan Sampel...70

3.5Teknik Analisis Data ...71

3.6Statistik Uji...71

3.7Hipotesa Statistik dan Sub Hipotesis 3.6.1. Hipotesa Statistik...71

3.6.2. Sub Hipotesis...72

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian...73

4.1.1 Gambaran Responden...73

4.1.2 Hasil Pengolahan Data Utama...74


(5)

ix Universitas Kristen Maranatha

5.2.1 Saran Untuk Penelitian Lebih Lanjut...98

5.2.2 Saran Guna Laksana...98

DAFTAR PUSTAKA ...100

DAFTAR RUJUKAN ...101 LAMPIRAN


(6)

x Universitas Kristen Maranatha Pembagian item-item dalam alat ukur Resilience ………...…..65 Pembagian item-item dalam alat ukur Protective Factors ……….……...67

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia……….…..73

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Menderita HIV/AIDS...74

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin...74

Tabel 4.4 Kontribusi Family Protective Factors terhadap Resilience...75


(7)

xi Universitas Kristen Maranatha Bagan 3.1 Prosedur Penelitiaan...58


(8)

xii Universitas Kristen Maranatha Lampiran B Kuesioner Protective Factors

Lampiran C Kuesioner Resilience

Lampiran D Data Mentah Kuesioner Protective Factors Lampiran E Data Mentah Kuesioner Resilience

Lampiran F Skor Data Penunjang (Basic Need)

Lampiran G Gambaran Kategori Derajat Protective Factors dan Resilience Lampiran H Tabulasi Silang Antara Protective Factors dengan Basic Needs Lampiran I Tabulasi Silang Antara Basic Needs dengan Resilience


(9)

Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Saat ini penyakit HIV/AIDS bukanlah sesuatu yang asing didengar lagi. Hampir semua orang mengetahui mengenai penyakit HIV/AIDS. Sejak awal kemunculannya, penyakit HIV/AIDS memang sangat fenomenal. HIV/AIDS adalah suatu penyakit yang sangat membahayakan kehidupan manusia. Penyakit HIV/AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 1981 di California oleh ilmuwan. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menjadi penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Virus ini merusak sistem kekebalan tubuh sehingga seseorang yang positif HIV akan rentan terserang infeksi (Merawat Odha di rumah, spiritia).

Penyakit HIV/AIDS disebabkan oleh orang-orang yang memiliki perilaku yang suka berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seks. Penyebab lainnya disebabkan pemakaian jarum suntik secara bergantian yang banyak dilakukan oleh pengguna narkoba (www:/peran-perawat-dalam-menangani-masalah.html). Seseorang yang terkena penyakit HIV/AIDS akan menampilkan gejala-gejala yang mirip dengan gejala penyakit umum lainnya, seperti pembengkakan kelenjar, mudah lelah, kehilangan berat badan, demam, atau diare. Gejala-gejala HIV/AIDS pada tiap diri penderita berbeda-beda, hal


(10)

Universitas Kristen Maranatha ini dikarenakan kesehatan tiap penderita tidaklah sama (Merawat Odha di rumah, spiritia).

Seseorang yang menderita HIV/AIDS, akan melakukan konsultasi mengenai perkembangan penyakitnya kepada konselor atau dokter, juga mengambil obat secara rutin. Yayasan ’X’ merupakan suatu yayasan yang menjadi tempat berkumpulnya para penderita HIV/AIDS. Yayasan ’X’ bertujuan untuk mengubah perilaku yang beresiko menjadi perilaku yang tidak beresiko sehingga masyarakat menjadi lebih memahami akan penyakit HIV/AIDS, seperti memberikan penyuluhan agar masyarakat waspada terhadap penyakit HIV/AIDS, tetapi tidak mengucilkan, mendiskriminasi orang yang terkena penyakit HIV/AIDS. Yayasan ’X’ gencar melakukan test kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui apakah dirinya terkena penyakit HIV/AIDS atau tidak sehingga cepat mendapatkan penanganan dari dokter.

Yayasan ’X’ ini berada di kota Karawang, walaupun kota Karawang merupakan kota kecil tetapi jumlah penderita HIV/AIDS dikota ini cukup banyak. Menurut konselor di yayasan ’X’ tersebut, jumlah penderita di kota Karawang yang tercatat pada Juni 2009 kurang lebih sebanyak 172 orang, dengan jumlah penduduknya sekitar 2.094.408 jiwa dengan perbandingan persentase nasional yaitu sebesar 49,57% untuk usia 20-29 tahun. Penderita HIV/AIDS yang paling banyak ialah yang disebabkan oleh jarum suntik sebanyak 130 orang. Usia penderita di yayasan ’X’ cukup beragam, dari yang masih sekolah sampai dengan penderita yang berusia lanjut, tetapi yang paling


(11)

Universitas Kristen Maranatha banyak berkisar antara 21-35 tahun. Usia 21-35 tahun merupakan usia produktif, dimana pada usia tersebut individu mulai mandiri dalam bidang

ekonomi maupun dalam membuat keputusan, seperti karir, nilai-nilai, keluarga dan hubungan, serta tentang gaya hidup (Santrock, 2002).

Orang yang mengetahui dirinya terjangkit HIV/AIDS, akan menunjukkan reaksi seperti terkejut, tidak percaya dan membayangkan bahwa umurnya tidak panjang lagi. Mereka merasa putus asa karena rentan terhadap penyakit, karena satu penyakit dapat disembuhkan muncul penyakit lain yang diderita oleh penderita HIV/AIDS. Keadaan seperti ini menyebabkan penderita semakin lama semakin putus asa dan berpendapat bahwa penyakitnya tidak mungkin lagi sembuh. Keadaan putus asa selanjutnya akan menurunkan daya juang penderita untuk penyembuhan. Penderita HIV/AIDS akan menghukum dirinya sendiri, seperti tidak mau makan, menolak minum obat, dan berusaha dengan berbagai cara supaya mereka lebih cepat meninggal. Saat penderita HIV/AIDS merasa putus asa dengan penyakitnya tersebut, lingkungan sekitar menambah beban penderita yang menyebabkan penderita semakin tertekan. Reaksi spontan masyarakat pada waktu mengetahui bahwa seseorang terkena penyakit HIV/AIDS adalah menjauhkan diri dari penderita, berusaha tidak menyentuh penderita, mengucilkan penderita dan mendiskriminasi penderita HIV/AIDS (www:/peran-perawat-dalam-menangani-masalah.html).

Kenyataan bahwa manifestasi klinis penyakit HIV/AIDS begitu membahayakan kehidupan, belum ditemukan obatnya, dan penyakit


(12)

Universitas Kristen Maranatha HIV/AIDS dapat menular ke orang lain memperparah pandangan yang negatif (stigma) pada masyarakat. Stigma-stigma pada masyarakat ini membuat penderita atau keluarga menjadi malu dan takut untuk memeriksakan anggota keluarga yang menderita HIV/AIDS diri ke rumah sakit atau pusat-pusat pelayanan kesehatan, begitu pula dengan penderitanya sendiri, jadi malu untuk memeriksakan dirinya sendiri. Akibatnya, mereka merasa lebih baik tidak tahu sama sekali daripada tahu dan kemudian dipandang negatif dan dikucilkan oleh masyarakat (www:/peran-perawat-dalam-menangani-masalah.html).

Penyakit HIV/AIDS juga mengganggu diri penderita dalam bekerja. Rekan-rekan penderita biasanya menjadi menjaga jarak dengannya, menjauhi penderita, mengucilkan sehingga penderita yang tak kuat keluar dari pekerjaannya, atau tak jarang penderita dikeluarkan dari pekerjaannya. Keadaan tersebut membuat penderita semakin tertekan dan putus asa dalam menjalani hidup. Penderita HIV/AIDS juga menjadi takut untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis, karena merasa tidak akan ada lagi yang mau berhubungan dengannya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan sepuluh orang penderita HIV/AIDS, 60% mengatakan bahwa ketika penderita mengetahui dirinya terjangkit penyakit HIV/AIDS, penderita merasa shock, tidak percaya terkena penyakit HIV/AIDS, putus asa karena menjadi lebih sering sakit dan lama sembuhnya, takut karena belum ditemukan obatnya dan hidupnya tak lama lagi. Keluarga maupun teman-teman menjauhi dan mengucilkannya. Dua diantaranya keluar dari pekerjaannya dan mengurung diri di dalam rumah


(13)

Universitas Kristen Maranatha karena tidak tahan dengan hinaan dari orang lain. Sebanyak 40% lainnya, merasa bahwa dirinya curiga akan terkena penyakit HIV/AIDS karena akibat dari pemakaian jarum suntik secara bergantian. Hal tersebut menjadi tekanan yang berat bagi penderita, yang dalam teori Bonnie Benard (2004) dikenal dengan adversity.

Berdasarkan hasil wawancara dengan sepuluh penderita HIV/AIDS, 60% mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari keluarganya sejak dirinya belum mengetahui terkena penyakit HIV/AIDS sampai penderita mengidap penyakit HIV/AIDS. Meskipun pada awalnya beberapa keluarga dari penderita tidak dapat mempercayainya, tidak menerimanya, tetapi pada akhirnya keluarga tetap mendukung penderita dengan sepenuh hati. Penderita juga mendapatkan perhatian lebih setelah keluarga mengetahui bahwa penderita mengidap penyakit HIV/AIDS. Seperti membantu dalam biaya pengobatan, mendampingi ketika penderita tidak tahu harus berbuat apa dan merawat ketika penderita jatuh sakit. Penderita juga mendapatkan perhatian dari teman-teman, seperti membantu mencarikan informasi mengenai HIV/AIDS, menyarankan untuk test HIV/AIDS, berdoa bersama, memberikan dukungan dan semangat kepada penderita. Hal ini dalam teori Bonnie Benard dikenal sebagai individu yang menghayati dirinya mendapatkan caring relationship.

Penderita HIV/AIDS dilibatkan dalam mengambil keputusan bersama keluarganya, seperti dilibatkan dalam memilih dokter yang akan dikunjungi, jenis pengobatan yang akan diambil, pekerjaan yang akan dilakukan. Penderita jua mendapatkan pujian atas apa yang telah dilakukannya oleh keluarga,


(14)

Universitas Kristen Maranatha teman-temannya, ataupun para tetangganya. Keluarga maupun teman-teman memercayai kemampuan yang dimiliki oleh penderita dalam memulai suatu kegiatan, pekerjaan ataupun bisnis. Hal ini dalam teori Bonnie Benard dikenal dengan individu yang menghayati dirinya mendapatkan high expectation.

Keluarga tetap memberikan kesempatan kepada penderita melakukan aktivitas di sukai walaupun keluarga mengetahui penyakit yang diderita penderita, tetapi asalkan penderita melakukan kegiatan yang positif dan tidak terlalu lelah. Penderita mendapatkan kesempatan dari teman-teman untuk melakukan kegiatan bersama sehingga melupakan bahwa dirinya mengidap penyakit HIV/AIDS. Hal ini dalam teori Bonnie Benard dikenal dengan individu yang menghayati dirinya mendapatkan Opportunities for

participation and contribution. Ketiga hal tersebut dalam teori Bonnie Benard dikenal dengan sebutan protective factors, yang mempengaruhi kemampuan individu untuk menyesuaikan diri di tengah-tengah situasi yang menekannya. Kemampuan penderita untuk dapat berperilaku positif ditengah-tengah keadaan dan situasi yang menekan ini disebut sebagai resilience (Bonnie Benard, 2004).

Penderita HIV/AIDS yang menghayati dirinya memperoleh protective

factors (60%), 66,6% nya mampu bersikap ramah dengan orang lain, mampu

mengungkapkan ide saat berdiskusi dengan orang lain, mampu membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan. (dalam teori Bonnie Benard disebut dengan social competence). Penderita HIV/AIDS mampu mengatasi masalah yang sedang hadapinya seperti ketika terserang penyakit, penderita langsung


(15)

Universitas Kristen Maranatha dapat pergi ke dokter, ketika menghadapi masalah yang sulit dipecahkan, penderita mampu mencari jalan keluarnya dan bercerita kepada keluarga, konselor maupun teman-temannya (dalam teori Bonnie Benard disebut dengan

problem solving skills).

Penderita HIV/AIDS mampu melakukan kegitan sehari-hari, yakin dapat menjalani hidup dengan baik jika mengikuti pola hidup sehat, dapat tersenyum ketika berbicara mengenai penyakitnya. Hal ini dalam teori Bonnie Benard disebut dengan autonomy. Selain itu, penderita HIV/AIDS merasa yakin akan masa depannya, berharap obat HIV/AIDS segera ditemukan sehingga mereka dapat sembuh dari penyakit HIV/AIDS, menjadi lebih rajin berdoa kepada Tuhan agar penderita dapat menjalani hidup dengan kuat. Hal tersebut dalam teori Bonnie Benard disebut dengan sense of purpose.

Sebanyak 60% penderita yang menghayati dirinya mendapatkan protective

factors, 16,6% nya kurang mampu bersikap ramah dengan keluarga maupun

teman-temannya, kurang peduli dengan lingkungan sekitarnya karena malu untuk ikut kegiatan bersama dengan teman-teman ataupun tetangganya. Hal ini dalam teori Bonnie Benard disebut dengan individu yang tidak memiliki

social competence. Penderita HIV/AIDS Penderita juga belum sepenuhnya

memaafkan dirinya sendiri terkena penyakit HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya, tidak dapat mencari jalan keluar untuk memecahkan masalahnya, kurang terbuka kepada keluarga mengenai penyakit yang dideritanya, karena khawatir membuat keluarga


(16)

Universitas Kristen Maranatha

down sehingga ia memendamnya sendiri. Hal ini dalam teori Bonnie Benard

disebut dengan individu yang tidak memiliki problem solving skills.

Penderita HIV/AIDS juga merasa tidak percaya diri untuk menjalin hubungan dengan lawan jenisnya, tidak yakin dapat menjalani hidup dengan baik dan suka berpikir yang negatif mengenai penyakitnya (dalam teori Bonnie Benard disebut dengan individu yang tidak memiliki autonomy). Selain itu, penderita HIV/AIDS tidak yakin memiliki masa depan yang baik karena berpikir bahwa dirinya dapat meninggal setiap saat, penderita juga menyalahkan Tuhan akan penyakit yang dideritanya (dalam teori Bonnie Benard disebut dengan individu yang tidak memiliki sense of purpose).

Sebanyak 60% penderita yang menghayati dirinya mendapatkan protective

factors, 16,6% lainnya mampu berelasi sosial dengan lingkungan sekitar,

seperti tetap mengikuti kegiatan-kegiatan bersama teman-teman, berkomunikasi dengan keluarga maupun teman-temannya (dalam teori Bonnie Benard disebut dengan individu yang memiliki social competence). Penderita HIV/AIDS mampu mengatasi masalahnya, seperti bercerita dengan keluarga, konselor maupun teman-temannya, mampu menyusun rencana untuk menyelesaikan masalahnya (dalam teori Bonnie Benard disebut dengan individu yang memiliki problem solving skills). Namun, penderita merasa tidak percaya diri untuk menjalin hubungan dengan lawan jenisnya, kurang dapat bertanggung jawab pada tugas yang harus dikerjakannya (dalam teori Bonnie Benard disebut dengan individu yang tidak memiliki autonomy). Penderita juga bersikap pasrah kepada Tuhan dalam menjalani hidup karena


(17)

Universitas Kristen Maranatha tahu bahwa dirinya akan meninggal setiap saat, pesimis akan kehidupannya (dalam teori Bonnie Benard disebut dengan individu yang tidak memiliki

sense of purpose).

Berdasarkan hasil wawancara dengan sepuluh penderita HIV/AIDS, sebanyak 40% tidak memperoleh perhatian dari keluarganya. Penderita menghayati bahwa keluarga tidak memberikan dukungan kepadanya, tidak ada saat penderita membutuhkannya, keluarga jarang berkomunikasi dengan penderita. Penderita HIV/AIDS juga kurang mendapatkan perhatian, dukungan dari teman-temannya, karena teman-temannya menjauhi, mengucilkan diri penderita. Hal ini dalam teori Bonnie Benard dikenal dengan individu yang menghayati bahwa dirinya tidak mendapatkan caring

relationship. Penderita HIV/AIDS merasa dirinya tidak diajak dalam

mengambil keputusan dalam keluarga seperti dalam memilih pekerjaan bahkan ada beberapa tidak mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya. Penderita juga tidak mendapatkan pujian atas apa yang telah dilakukannya karena teman-teman menjauhi dan mendiskriminasi dirinya. Hal ini dalam teori Bonnie Benard dikenal dengan individu yang menghayati bahwa dirinya tidak mendapatkan high expectation. Penderita HIV/AIDS merasa dirinya tidak mendapatkan kesempatan dari keluarga karena melarang penderita untuk melakukan suatu kegiatan yang disukainya, teman-teman penderita juga tidak memberikan kesempatan kepada penderita untuk mengikuti kegiatan-kegiatan bersama.. Hal ini dalam teori Bonnie Benard dikenal dengan individu yang


(18)

Universitas Kristen Maranatha menghayati bahwa dirinya tidak mendapatkan Opportunities for participation

and contribution.

Penderita HIV/AIDS yang menghayati dirinya kurang mendapatkan

protective factors (40%), 75% nya kurang mampu menjalin relasi dengan

keluarga, maupun teman-temannya. Penderita HIV/AIDS juga belum sepenuhnya memaafkan diri mereka sendiri karena terjangkit HIV/AIDS, dan membuat malu serta sedih keluarganya. Sebanyak 40% penderita yang menghayati dirinya tidak mendapatkan protective factors, 25% nya mampu berelasi sosial dengan keluarga maupun teman-temannya, masih berkomunikasi dengan keluarga dan teman-temannya. Hal ini dalam teori Bonnie Benard disebut dengan social competence. Sebanyak 40% penderita yang menghayati dirinya tidak mendapatkan protective factors, belum mampu untuk bersikap terbuka kepada keluarga mengenai penyakitnya karena mereka merasa takut membuat keluarga menjadi down, belum mampu menyusun rencana untuk menyelesaikan masalah ataupun masa depannya. Hal ini dalam teori Bonnie Benard disebut dengan problem solving skills.

Sebanyak 40% penderita yang menghayati dirinya tidak mendapatkan

protective factors, 75% nya merasa kurang percaya diri untuk menjalin

hubungan dengan lawan jenisnya, masih bersedih dengan penyakit yang dideritanya. Sebanyak 40% penderita yang menghayati dirinya tidak mendapatkan protective factors, 25% nya, mulai menjalani pola hidup sehat sesuai dengan anjuran dari teman-temannya maupun keluarganya. Hal ini dalam teori Bonnie Benard disebut dengan autonomy. Sebanyak 40%


(19)

Universitas Kristen Maranatha penderita yang menghayati dirinya tidak mendapatkan protective factors, 75% nya merasa tidak yakin bahwa dirinya dapat memiliki masa depan yang baik karena berpikir jika dirinya dapat meninggal setiap saat, tidak yakin jika teman-temannya dapat menerima kembali seperti dulu bila mengetahui penyakit yang dideritanya. Sebanyak 40% penderita yang menghayati dirinya tidak mendapatkan protective factors, 25% nya lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dengan rajin berdoa, dan rajin ke tempat ibadah sehingga merasa cukup yakin untuk menjalani hidupnya. Hal ini dalam teori Bonnie Benard disebut dengan sense of purpose.

Penderita yang telah divonis menderita penyakit HIV/AIDS memiliki rentang waktu untuk hidup kurang lebih sekitar sepuluh tahun. Hal ini tergantung kepada diri penderitanya sendiri, jika penderita mampu menjaga kondisi kesehatan, maka ia akan mampu bertahan hidup lebih lama dan begitu juga sebaliknya. Hal ini membuat penderita semakin tertekan karena merasa hidupnya hanya tinggal menghitung waktu. Dalam rentang waktu kurang lebih sepuluh tahun itu, penderita perlu bertahan dan berjuang untuk hidup.

Resilience yang tinggi sangat diperlukan oleh penderita HIV/AIDS di yayasan

X. Hal ini dikarenakan, dengan memiliki resilience yang tinggi, penderita akan mampu bertahan hidup dalam menghadapi situasi yang menekannya. Sebaliknya, jika resilience pada diri penderita HIV/AIDS rendah, maka penderita tidak akan mampu bertahan dalam situasi yang menekannya sehingga penyakitnya semakin parah dan penderita semakin terpuruk dengan keadaannya tersebut. Oleh karena itu, cinta, kasih sayang, kepercayaan dan


(20)

Universitas Kristen Maranatha kesempatan yang diberikan oleh keluarga maupun teman-teman penderita diperlukan untuk daya juang penderita HIV/AIDS.

Dengan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik meneliti mengenai seberapa besar pengaruh dari protective factors tehadap resilience penderita HIV/AIDS di yayasan ’X’ kota Karawang.

1.2. Identifikasi Masalah

Melalui penelitian ini ingin diketahui sejauh mana Protective Factors berkontribusi terhadap Resilience pada penderita HIV/AIDS di yayasan ’X’ di kota Karawang.

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud

o Untuk memperoleh gambaran mengenai protective factors dan

resilience pada diri penderita HIV/AIDS di yayasan ’X’ kota

Karawang. 1.3.2. Tujuan

o Untuk memperoleh gambaran mengenai seberapa besar kontribusi

protective factors terhadap resilience pada penderita HIV/AIDS di


(21)

Universitas Kristen Maranatha 1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Teoritis

- Memberikan informasi kepada peneliti lain yang tertarik meneliti lebih lanjut mengenai kontribusi protective factors terhadap resilience penderita HIV/AIDS.

- Memberikan informasi mengenai kontribusi protective factors terhadap resilience terutama pada penderita HIV/AIDS, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu psikologi.

1.4.2. Kegunaan Praktis

- Memberikan masukan kepada keluarga, tetangga, dan teman-teman dari penderita HIV/AIDS mengenai peranan keluarga dan masyarakat sekitar dalam membantu penderita untuk dapat bersikap positif dalam menjalani hidupnya.

- Memberikan masukan kepada penderita HIV/AIDS khususnya si yayasan X mengenai pentingnya memiliki resilience yang tinggi untuk bertahan hidup ditengah –tengah situasi yang menekannya.

- Memberikan informasi bagi Psikolog, maupun konselor, dalam memberikan konsultasi kepada penderita HIV/AIDS dengan memperhatikan resilience dan Protective Factors pada diri penderita HIV/AIDS.


(22)

Universitas Kristen Maranatha 1.5. Kerangka Pemikiran

Penderita HIV/AIDS di yayasan ’X’ kota Karawang berada pada usia 21-35 tahun, yang merupakan tahap perkembangan dewasa awal. Menurut Santrock (2002), pada tahapan tersebut individu akan memasuki fase yang biasanya telah menyelesaikan studinya, bekerja, dan membuat beragam keputusan dalam hidupnya, seperti karir, relasi dan gaya hidup. Akan tetapi, terkadang individu mengambil langkah yang salah sehingga terjerumus dalam pergaulan yang bebas seperti menggunakan narkoba, seks bebas dan dampaknya terjangkit virus HIV/AIDS.

Penderita HIV/AIDS di yayasan ’X’ yang mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit HIV/AIDS, akan mengalami keadaan yang menekan dirinya. Hal ini dikarenakan penderita HIV/AIDS harus menerima kenyataan bahwa penyakit yang dideritanya adalah penyakit yang sulit untuk disembuhkan, belum ditemukan obatnya, dan merupakan aib bagi keluarga. Saat penderita merasa tertekan dengan penyakitnya, lingkungan sekitar menambah tekanan kepada diri penderita dengan menjauhi, mengucilkan atau mendiskriminasi penderita karena lingkungan sekitar takut tertular (www:/peran-perawat-dalam-menangani-masalah.html). Keadaaan mekenan ini dalam teori Bonnie Benard dikenal dengan sebutan adversity. Penderita HIV/AIDS di lembaga ’X’ yang mengalami keadaan menekan membutuhkan daya tahan untuk menyesuaikan diri terhadap tekanan-tekanan yang dihadapinya atau disebut dengan resilience. Resilience adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri secara positif dan mampu berfungsi secara baik di


(23)

Universitas Kristen Maranatha tengah situasi yang menekan dan banyak halangan dan rintangan. Kemampuan

resilience penderita HIV/AIDS dapat dilihat dari empat aspek resilience, yaitu

social competence, problem solving skills, autonomy, sense of purpose (Benard, 2004).

Menurut Benard (2004), resilience yang tinggi pada penderita HIV/AIDS di yayasan ’X’ dipengaruhi oleh faktor yang mempengaruhi (protective factors) yang berasal dari keluarga maupun teman-temannya. Faktor yang mempengaruhi ini diperoleh penderita HIV/AIDS selama penderita tersebut hidup. Protective factors terdiri dari 3 aspek, yaitu caring

relationship, high expectation, opportunities for participation and contribution yang diberikan oleh keluarga, teman maupun komunitasnya.

Caring relationship, merupakan dukungan cinta yang diberikan oleh

keluarga maupun dari lingkungan sekitar kepada penderita HIV/AIDS di yayasan ’X’ agar penderita merasa bahwa dirinya tidak sendiri dalam menghadapi semua cobaan. Jika penderita menghayati bahwa dirinya mendapatkan caring relationship, maka penderita HIV/AIDS di yayasan ’X’ menghayati bahwa keluarga maupun teman-temannya memberikan perhatian, kasih sayang, mendampingi ketika sakit atau berobat. Selain itu, penderita menghayati bahwa dengan kehadiran keluarga dan teman-temannya, penderita mendapati orang-orang yang dapat diajak bertukar pikiran. Namun, apabila penderita menghayati bahwa dirinya kurang mendapatkan caring relationship dari keluarga, maupun teman-temannya, maka penderita merasa bahwa


(24)

Universitas Kristen Maranatha keluarga maupun teman-temannya tidak memberikan perhatian, kasih sayang dan merasa mereka tidak pernah ada saat penderita membutuhkannya.

Penderita HIV/AIDS yang menghayati dirinya memperoleh caring

relationship, kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan akan rasa aman

(need safety), cinta (need love/belonging), dan merasa diri berarti (need

meaning) akan terpenuhi. Dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan

dasarnya tersebut, maka resilience pada diri penderita akan tinggi. Penderita mampu menjalin relasi sosial (social competence), seperti menghasilkan respon yang positif dari orang lain (responsiveness), mampu menyampaikan ide-ide dan juga perasaannya dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan (communication). Penderita mampu mengenali apa yang sedang dirasakan oleh lingkungan sekitarnya dan berusaha untuk menunjukan kepeduliannya terhadap orang lain dengan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain (emphaty and caring). Penderita juga bersedia membantu orang lain yang membutuhkan bantuannya tanpa mementingkan kebutuhan dirinya sendiri, mampu memaafkan orang-orang yang telah berbuat salah kepada dirinya serta mampu memaafkan dirinya sendiri (compassion,altruism,and forgiveness).

Penderita mampu memfokuskan terhadap masa depan yang positif dan kuat secara konsisten (sense of purpose), seperti mampu memotivasi dirinya untuk meraih tujuan hidupnya, dan mengarahkan dirinya dalam meraih tujuan hidupnya (goal direction, achievement motivation, and educational


(25)

Universitas Kristen Maranatha imajinasi yang positif sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang kreatif (special interest, creativity, and imagination). Penderita juga yakin akan kemampuannya dalam melakukan sesuatu dengan baik serta memiliki harapan-harapan akan masa depannya (optimism and hope), percaya kepada Tuhan dan lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan, tidak menyalahkan Tuhan atas terkenanya ia penyakit HIV/AIDS, dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan (faith, spirituality, and sense of meaning).

Penderita HIV/AIDS yang menghayati dirinya tidak memperoleh

caring relationship, kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan akan

rasa aman (need safety), kebutuhan akan cinta(need love/belonging), dan kebutuhan akan diri berarti (need meaning) tidak akan terpenuhi. Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasarnya tersebut, maka resilience pada diri penderita akan rendah. Penderita tidak mampu untuk menjalin relasi sosial

(social competence) dengan lingkungan sekitar, seperti mengalami kesulitan

untuk menampilkan perilaku sehingga mendapat respon yang positif dari lingkungan sekitarnya (responsiveness), kurang mampu untuk dapat menyampaikan ide-idenya dan juga perasaannya ke lingkungan (communication). Penderita akan kesulitan untuk mengenali apa yang sedang dirasakan oleh orang lain dan juga tidak mampu untuk menunjukan kepeduliannya terhadap orang lain (emphaty and caring), sulit membantu orang lain yang membutuhkan bantuannya, mengharapkan imbalan, dan sulit memaafkan kesalahan orang lain maupun dirinya (compassion,altruism,and


(26)

Universitas Kristen Maranatha Penderita HIV/AIDS tidak mampu memotivasi diri dan mengarahkan dirinya untuk meraih tujuan hidupnya (goal direction, achievement

motivation, and educational aspiration), tidak mampu melakukan

kegiatan-kegiatan yang yang ia minati, tidak memiliki imajinasi yang positif sehingga tidak dapat menghasilkan sesuatu yang kreatif (special interest, creativity, and

imagination). Penderita tidak yakin akan kemampuannya dalam melakukan

sesuatu dengan baik, dan tidak memiliki harapan akan masa depannya (optimism and hope), akan menyalahkan Tuhan atas apa yang telah terjadi, dan tidak memercayai Tuhan lagi (faith, spirituality, and sense of meaning).

High Expectation, merupakan harapan dan kepercayaan yang diberikan

oleh keluarga maupun teman-temannya agar penderita HIV/AIDS di yayasan ’X’ lebih termotivasi dalam menjalankan kehidupannya yang penuh dengan tekanan. Jika penderita menghayati bahwa dirinya mendapatkan high

expectation, maka penderita menghayati bahwa keluarga maupun

teman-teman berharap dan memercayai bahwa penderita dapat bekerja, dapat menjalin hubungan dengan lawan jenis, dapat mandiri sehingga tidak tergantung kepada keluarga maupun teman-teman. Namun, jika penderita menghayati bahwa dirinya tidak mendapatkan high expectation, maka penderita menghayati keluarga maupun teman-temannya tidak memberikan harapan kepada penderita untuk berkerja, menjalin hubungan dengan lawan jenis sehingga penderita merasa keluarga maupun teman-teman tidak mempercayai kemampuan yang dimiliki oleh penderita.


(27)

Universitas Kristen Maranatha Penderita HIV/AIDS yang menghayati dirinya memperoleh high

expectation, kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan akan cinta

(need love/belonging), dihargai (need respect), kemandirian dan memiliki kekuasaan (autonomy/power)dan merasa diri berarti (need meaning) akan terpenuhi. Dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasarnya tersebut, maka resilience pada diri penderita akan tinggi. Penderita mampu mengatasi masalah yang sedang dihadapinya (problem solving skills), seperti membuat rencana untuk masa depannya (planning), mampu mencari berbagai solusi pemecahan dari masalah yang sedang dihadapinya (flexibility). Penderita juga mampu mencari bantuan kepada orang lain yang menurutnya dapat membantu penderita mempertahankan dirinya dan juga pada waktu yang tepat (resourcefulness), mampu memahami kejadian-kejadian dan situasi yang sedang ia hadapi (critical thinking and insight).

Selain itu, penderita juga mampu untuk bertindak independen dan merasa dapat mengontrol lingkungan (autonomy), seperti mampu menilai dirinya dengan baik dan menganggap dirinya berguna untuk orang lain (positive identity), mampu menjalani kegiatan-kegiatannya meskipun tidak ada orang lain yang menemaninya ataupun memotivasi dirinya (internal locus of

control and initiative). Penderita percaya dan yakin akan kemampuan yang ia

miliki, dan dapat melakukan sesuatu dengan baik (self-efficacy and mastery). Penderita juga mampu melibatkan dirinya secara emosional dilingkungannya, dan tidak terpengaruh dengan lingkungan yang memandang negatif dirinya (adaptive distancing and resistance), mampu mengenali


(28)

Universitas Kristen Maranatha pikirannya yang keliru dan perasaannya yang salah sehingga penderita dapat memperbaiki kesalahannya tersebut sesuai dengan keadaan lingkungannya (self-awareness and mindfulness), mampu mencari cara agar dirinya tertawa sehingga perasaan marah, kesal, sedih, putus asanya hilang (Humor).

Penderita mampu memfokuskan terhadap masa depan yang positif dan kuat secara konsisten (sense of purpose), seperti mampu memotivasi dirinya untuk meraih tujuan hidupnya, dan mengarahkan dirinya dalam meraih tujuan hidupnya (goal direction, achievement motivation, and educational

aspiration), mampu melakukan kegiatan-kegiatan yang ia minati, memiliki

imajinasi yang positif sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang kreatif (special interest, creativity, and imagination). Penderita juga yakin akan kemampuannya dalam melakukan sesuatu dengan baik serta memiliki harapan-harapan akan masa depannya (optimism and hope), percaya kepada Tuhan dan lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan, tidak menyalahkan Tuhan atas terkenanya ia penyakit HIV/AIDS, dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan (faith, spirituality, and sense of meaning).

Penderita HIV/AIDS yang menghayati dirinya tidak memperoleh high

expectation, kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan akan cinta

(need love/belonging), dihargai (need respect), kemandirian dan memiliki kekuasaan (autonomy/power) dan merasa diri berarti (need meaning) tidak akan terpenuhi. Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasarnya tersebut, maka resilience pada diri penderita akan rendah. Penderita tidak mampu mengatasi masalah yang sedang dihadapinya (problem solving skills),


(29)

Universitas Kristen Maranatha seperti tidak mampu untuk membuat rencana untuk masa depannya (planning), tidak mampu untuk mencari berbagai macam solusi untuk memecahkan masalahnya (flexibility). Penderita tidak mampu mencari bantuan kepada orang yang tepat dan waktu yang tepat (resourcefulness), tidak mampu untuk memahami kejadian-kejadian dan situasi yang sedang ia hadapi sehingga ia akan salah paham mengenai hal tersebut (critical thinking

and insight).

Selain itu, penderita juga tidak mampu untuk bertindak independen dan merasa dapat mengontrol lingkungan (autonomy), seperti tidak mampu untuk menilai dirinya dengan baik, dan menganggap dirinya tidak berguna untuk orang lain (positive identity), tidak mampu mengerjakan kegiatan-kegiatannya sendiri sehingga selalu membutuhkan orang lain disampingnya (internal locus of control and initiative), tidak percaya dan kurang yakin akan kemampuan yang ia miliki sehingga ia tidak mampu melakukan sesuatu dengan baik (self-efficacy and mastery).

Penderita juga tidak mampu untuk melibatkan dirinya secara emosional di lingkungannya, dan terpengaruh dengan lingkungan yang memandang negatif dirinya (adaptive distancing and resistance), tidak mampu mengenali pikirannya yang keliru dan perasaannya yang salah sehingga penderita tidak mampu memperbaiki kesalahannya tersebut

(self-awareness and mindfulness), tidak mampu mencari cara untuk membuat

dirinya tertawa sehingga perasaan marah, kesal, sedih, putus asanya tetap ada (humor).


(30)

Universitas Kristen Maranatha Penderita HIV/AIDS tidak mampu memotivasi diri dan mengarahkan dirinya untuk meraih tujuan hidupnya (goal direction, achievement

motivation, and educational aspiration), tidak mampu melakukan

kegiatan-kegiatan yang yang ia minati, tidak memiliki imajinasi yang positif sehingga tidak dapat menghasilkan sesuatu yang kreatif (special interest, creativity, and

imagination). Penderita tidak yakin akan kemampuannya dalam melakukan

sesuatu dengan baik, dan tidak memiliki harapan akan masa depannya (optimism and hope), akan menyalahkan Tuhan atas apa yang telah terjadi, dan tidak memercayai Tuhan lagi (faith, spirituality, and sense of meaning).

Opportunities for participation and contribution, merupakan

kesempatan yang diberikan oleh keluarga maupun teman-teman kepada penderita HIV/AIDS di yayasan ’X’. Jika penderita menghayati bahwa dirinya mendapatkan opportunities for participation and contribution, maka penderita menghayati keluarga maupun teman-teman memberikan kesempatan kepada penderita untuk dapat bergabung atau melibatkan diri dalam suatu kegiatan, memilih pekerjaan dan pasangan sehingga membuat penderita merasa diterima dan tidak dikucilkan oleh lingkungan. Namun, jika penderita menghayati bahwa dirinya kurang mendapatkan opportunities for participation and

contribution, maka penderita HIV/AIDS di yayasan ’X’ menghayati bahwa

keluarga maupun teman-teman tidak memberikan kesempatan untuk bergabung dengan orang lain ataupun melakukan kegiatan yang disukai, memilih pekerjaan, maupun menjalin hubungan dengan lawan jenis.


(31)

Universitas Kristen Maranatha Penderita HIV/AIDS yang menghayati dirinya memperoleh

opportunities for participation and contribution, kebutuhan-kebutuhan

dasarnya seperti kebutuhan akan cinta (need love/belonging), dihargai (need

respect), dan merasa diri berarti (need meaning), kemandirian dan memiliki

kekuasaan (autonomy/power), dan mendapatkan sesuatu yang menantang (challange/mastery) akan terpenuhi. Dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasarnya tersebut, maka resilience pada diri penderita akan tinggi. Penderita mampu menjalin relasi sosial (social competence), seperti menghasilkan respon yang positif dari orang lain (responsiveness), mampu menyampaikan ide-ide dan juga perasaannya dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan (communication). Penderita mampu mengenali apa yang sedang dirasakan oleh lingkungan sekitarnya dan berusaha untuk menunjukan kepeduliannya terhadap orang lain dengan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain (emphaty and caring). Penderita juga bersedia membantu orang lain yang membutuhkan bantuannya tanpa mementingkan kebutuhan dirinya sendiri, mampu memaafkan orang-orang yang telah berbuat salah kepada dirinya serta mampu memaafkan dirinya sendiri (compassion,altruism,and forgiveness).

Penderita mampu mengatasi masalah yang sedang dihadapinya (problem solving skills), seperti membuat rencana untuk masa depannya (planning), mampu mencari berbagai solusi pemecahan dari masalah yang sedang dihadapinya (flexibility). Penderita juga mampu mencari bantuan kepada orang lain yang menurutnya dapat membantu penderita


(32)

Universitas Kristen Maranatha mempertahankan dirinya dan juga pada waktu yang tepat (resourcefulness), mampu memahami kejadian-kejadian dan situasi yang sedang ia hadapi (critical thinking and insight).

Selain itu, penderita juga mampu untuk bertindak independen dan merasa dapat mengontrol lingkungan (autonomy), seperti mampu menilai dirinya dengan baik dan menganggap dirinya berguna untuk orang lain (positive identity), mampu menjalani kegiatan-kegiatannya meskipun tidak ada orang lain yang menemaninya ataupun memotivasi dirinya (internal locus of

control and initiative). Penderita percaya dan yakin akan kemampuan yang ia

miliki, dan dapat melakukan sesuatu dengan baik (self-efficacy and mastery). Penderita juga mampu melibatkan dirinya secara emosional dilingkungannya, dan tidak terpengaruh dengan lingkungan yang memandang negatif dirinya (adaptive distancing and resistance), mampu mengenali pikirannya yang keliru dan perasaannya yang salah sehingga penderita dapat memperbaiki kesalahannya tersebut sesuai dengan keadaan lingkungannya (self-awareness and mindfulness), mampu mencari cara agar dirinya tertawa sehingga perasaan marah, kesal, sedih, putus asanya hilang (Humor).

Penderita mampu memfokuskan terhadap masa depan yang positif dan kuat secara konsisten (sense of purpose), seperti mampu memotivasi dirinya untuk meraih tujuan hidupnya, dan mengarahkan dirinya dalam meraih tujuan hidupnya (goal direction, achievement motivation, and educational

aspiration), mampu melakukan kegiatan-kegiatan yang ia minati, memiliki


(33)

Universitas Kristen Maranatha (special interest, creativity, and imagination). Penderita juga yakin akan kemampuannya dalam melakukan sesuatu dengan baik serta memiliki harapan-harapan akan masa depannya (optimism and hope), percaya kepada Tuhan dan lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan, tidak menyalahkan Tuhan atas terkenanya ia penyakit HIV/AIDS, dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan (faith, spirituality, and sense of meaning).

Penderita HIV/AIDS yang menghayati dirinya tidak memperoleh

opportunities for participation and contribution, kebutuhan-kebutuhan

dasarnya seperti kebutuhan akan cinta (need love/belonging), dihargai (need

respect), dan merasa diri berarti (need meaning), kemandirian dan memiliki

kekuasaan (autonomy/power), dan mendapatkan sesuatu yang menantang (challange/mastery) tidak akan terpenuhi. Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasarnya tersebut, maka resilience pada diri penderita akan rendah. Penderita tidak mampu untuk menjalin relasi sosial (social

competence) dengan lingkungan sekitar, seperti mengalami kesulitan untuk

menampilkan perilaku sehingga mendapat respon yang positif dari lingkungan sekitarnya (responsiveness), kurang mampu untuk dapat menyampaikan ide-idenya dan juga perasaannya ke lingkungan (communication). Penderita akan kesulitan untuk mengenali apa yang sedang dirasakan oleh orang lain dan juga tidak mampu untuk menunjukan kepeduliannya terhadap orang lain (emphaty

and caring), sulit membantu orang lain yang membutuhkan bantuannya,

mengharapkan imbalan, dan sulit memaafkan kesalahan orang lain maupun dirinya (compassion,altruism,and forgiveness).


(34)

Universitas Kristen Maranatha Penderita tidak mampu mengatasi masalah yang sedang dihadapinya (problem solving skills), seperti tidak mampu untuk membuat rencana untuk masa depannya (planning), tidak mampu untuk mencari berbagai macam solusi untuk memecahkan masalahnya (flexibility). Penderita tidak mampu mencari bantuan kepada orang yang tepat dan waktu yang tepat (resourcefulness), tidak mampu untuk memahami kejadian-kejadian dan situasi yang sedang ia hadapi sehingga ia akan salah paham mengenai hal tersebut (critical thinking and insight).

Selain itu, penderita juga tidak mampu untuk bertindak independen dan merasa dapat mengontrol lingkungan (autonomy), seperti tidak mampu untuk menilai dirinya dengan baik, dan menganggap dirinya tidak berguna untuk orang lain (positive identity), tidak mampu mengerjakan kegiatan-kegiatannya sendiri sehingga selalu membutuhkan orang lain disampingnya (internal locus of control and initiative), tidak percaya dan kurang yakin akan kemampuan yang ia miliki sehingga ia tidak mampu melakukan sesuatu dengan baik (self-efficacy and mastery).

Penderita juga tidak mampu untuk melibatkan dirinya secara emosional di lingkungannya, dan terpengaruh dengan lingkungan yang memandang negatif dirinya (adaptive distancing and resistance), tidak mampu mengenali pikirannya yang keliru dan perasaannya yang salah sehingga penderita tidak mampu memperbaiki kesalahannya tersebut


(35)

Universitas Kristen Maranatha dirinya tertawa sehingga perasaan marah, kesal, sedih, putus asanya tetap ada (humor).

Penderita HIV/AIDS tidak mampu memotivasi diri dan mengarahkan dirinya untuk meraih tujuan hidupnya (goal direction, achievement

motivation, and educational aspiration), tidak mampu melakukan

kegiatan-kegiatan yang yang ia minati, tidak memiliki imajinasi yang positif sehingga tidak dapat menghasilkan sesuatu yang kreatif (special interest, creativity, and

imagination). Penderita tidak yakin akan kemampuannya dalam melakukan

sesuatu dengan baik, dan tidak memiliki harapan akan masa depannya (optimism and hope), akan menyalahkan Tuhan atas apa yang telah terjadi, dan tidak memercayai Tuhan lagi (faith, spirituality, and sense of meaning).

Keempat aspek tersebut dapat menggambarkan derajat resilience penderita HIV/AIDS di yayasan ’X’. Semakin tinggi empat aspek yang dimiliki oleh penderita HIV/AIDS di yayasan ’X’ maka semakin tinggi pula derajat resilience yang dimiliki oleh penderita HIV/AIDS di yayasan ’X’. Namun resilience pada tiap diri individu dapat berbeda-beda, semua ini tidak lepas dari peran faktor yang mendukung diri penderita, melindungi penderita dan tekanan-tekanan serta hambatan yang disebut dengan protective factors yang telah ada sejak penderita berada dalam suatu keluarga, sekolah ataupun ketika menjadi anggota suatu komunitas (Masten & Reed, 2002; Sandler, 2001 dalam Benard, 2004).

Protective factors tersebut mempengaruhi resilience pada penderita


(36)

Universitas Kristen Maranatha sekitar penderita HIV/AIDS, diharapkan derajat resilience penderita menjadi lebih tinggi. Sebaliknya, semakin kecil protective factors yang diberikan oleh lingkungan sekitar penderita HIV/AIDS di yayasan ’X’, berarti derajat


(37)

Universitas Kristen Maranatha Bagan 1.1 Kerangka Pikir

Resilience

Adversity

Kebutuhan dasar: oSafety

oLove/Bellonging oRespect

oAutonomy/Power oChallenge/Mastery oMeaning

Penderita HIV/AIDS di

Yayasan ’X’ kota Karawang

Protective Factors: o Caring Relationship o High Expectation o Opportunities For

Participation and Contribution

Aspek:

o Social Competence o Problem Solving o Autonomy o Sense of Purpose


(38)

Universitas Kristen Maranatha 1.6. Asumsi

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka dapat ditarik asumsi sebagai berikut:

o Penderita HIV/AIDS akan menampilkan gejala-gejala seperti putus asa, sedih, mendapat tekanan dari luar, yang dinamakan dengan adversity.

o Penderita HIV/AIDS yang menghayati dirinya memperoleh protective factors dari keluarga, teman-teman maupun tetangganya, terdiri dari tiga yaitu caring

relationship, high expectation, dan opportunities for participation and contribution.

o Penderita HIV/AIDS yang menghayati dirinya mendapatkan protective

factors, maka kebutuhan-kebutuhan dasar (basic need) penderita seperti safety, love/belonging, respect, autonomy/power, challenge/mastery, dan meaning akan terpenuhi.

o Terpenuhinya kebutuhan- kebutuhan dasar (basic need) pada diri penderita HIV/AIDS akan meningkatkan derajat resilience penderita.

o Penderita HIV/AIDS membutuhkan kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap tekanan-tekanan yang dihadapinya atau disebut dengan resilience, yang terlihat dari empat aspeknya yaitu social competence, problem solving

skills, autonomy, sense of purpose.

o Protective factors memberikan kontribusi terhadap resilience pada penderita HIV/AIDS.


(39)

Universitas Kristen Maranatha 1.7 Hipotesis dan Sub Hipotesis

1.7.1. Hipotesis

Protective factors akan mempengaruhi derajat resilience pada penderita

HIV/AIDS di yayasan ‘X’ kota Karawang.

1.7.2. Sub Hipotesis

o Caring Relationship mempengaruhi resilience pada penderita HIV/AIDS di yayasan ‘X’ kota Karawang.

oHigh Expectation mempengaruhi resilience pada penderita HIV/AIDS di yayasan ‘X’ kota Karawang.

oOpportunities to participate and Contribution mempengaruhi resilience pada penderita HIV/AIDS di yayasan ‘X’ kota Karawang.


(40)

Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian terhadap penderita HIV/AIDS di yayasan ‘X’ kota Karawang, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Family protective factors dan community protective factors memiliki

kontribusi yang signifikan dalam mempengaruhi dejarat resilience pada penderita HIV/AIDS.

2. Family protective factors dan Community protective factors yang secara

signifikan berkontribusi terhadap resilience penderita HIV/AIDS adalah high

expectation. High expectation merupakan harapan-harapan,

dukungan-dukungan, kepercayaan yang diberikan oleh keluarga maupun oleh teman-teman kepada penderita HIV/AIDS untuk membuat penderita menjadi yakin kepada dirinya sendiri dalam mengatasi masalah.

3. Protective factors yang tidak signifikan berkontribusi terhadap resilience penderita HIV/AIDS adalah caring relationship. Caring relationship merupakan cinta, kasih sayang yang diberikan oleh keluarga maupun oleh teman-teman kepada penderita HIV/AIDS. Terakhir, protective factors yang berkontribusi terhadap resilience penderita HIV/AIDS adalah opportunities to

participate and contribute. Opportunities to participate and contribute


(41)

Universitas Kristen Maranatha oleh teman-teman kepada diri penderita dalam melakukan suatu aktivitas ataupun dalam pengambilan keputusan.

4. Basic need penderita HIV/AIDS memberikan pengaruh terhadap perkembangan resilience pada diri penderita HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS menghayati bahwa kebutuhan-kebutuhan dasarnya terpenuhi sehingga mampu meningkatkan derajat resilience pada diri penderita HIV/AIDS.

5.2. SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diajukan beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu:

5.2.1 Saran Untuk Penelitian Lebih Lanjut

 Melakukan penelitian secara studi kasus untuk memperdalam mengenai aspek-aspek protective factors yang berkontribusi terhadap resilience.

Melakukan penelitan mengenai resilience dengan menjaring lebih mendalam mengenai kebutuhan dasar (basic need) yang dimiliki oleh subjek.

5.2.2 Saran Guna Laksana

 Bagi penderita HIV/AIDS di yayasan X, diharapkan agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapi seperti mencari jalan keluarnya, ataupun meminta bantuan orang yang tepat untuk


(42)

Universitas Kristen Maranatha memecahkan masalahnya. Penderita juga diharapkan untuk fokus pada masa depannya.

 Bagi keluarga penderita HIV/AIDS, baik orang tua maupun saudara diharapkan lebih memercayai dan memberikan harapan kepada penderita HIV/AIDS dalam melakukan kegiatan maupun dalam mengambil keputusan agar penderita menjadi percaya diri dan yakin akan kemampuan yang dimilikinya.

 Bagi Yayasan ’X’ diharapkan agar lebih meningkatan dalam memberikan

motivasi kepada diri penderita HIV/AIDS di yayasan X sehingga penderita menjadi percaya diri dan juga memberikan kesempatan kepada penderita untuk mencoba melakukan suatu kegiatan yang disukai oleh penderita.

 Bagi teman-teman penderita HIV/AIDS di yayasan X agar tetap memberikan kepercayaan dan dukungannya kepada penderita HIV/AIDS di yayasan X dalam melakukan kegiatan mereka sehari-hari, melibatkan penderita dalam berbagai kegiatan, memberikan kesempatan kepada diri penderita untuk mengambil keputusan sehingga mereka dapat lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan kondisi penyakit yang di deritanya.


(43)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Anastasi, Anne.1990. Psychological Testing. 6th ed. New York: Macmillan Publishing Company.

Benard, Bonnie.2004. Resiliency what we have learned. California:WestEd. Muninjaya, A.A. Gde. 1998. Aids di Indonesia : Masalah dan Kebijakan

Penanggulangannya. Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Nazir, Mohamad. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Santrock, John W. 2002. Life Span Development, Jilid II. Jakarta: Erlangga. Sudjana. 2001. Metode Statistika. Bandung: Tarsito

--- 1983. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi. Bandung: Tarsito

Wibisono, Bing. 1989. AIDS Petunjuk Untuk Petugas Kesehatan. Edisi 1. Departemen Kesehatan Ditjen PPM dan PLP. Jakarta


(44)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Halim, Budiman. 2009. Kontribusi Protective Factors terhadap Resilience Ibu

yang Memiliki ABK di Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha.

Haryanti, Winda. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Resilience pada Wanita

Dewasa Awal Penderita Systemic Lupus Erythematosus di Yayasan ‘X’ Bandung. Skripsi: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Tarigan, Yuni Wati. 2009. Kontribusi Protective Factors terhadap Resilience

Wanita Dewasa Awal Penderita Systemic Lupus Erythematosus di Yayasan

‘X’ Bandung. Skripsi: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana, Edisi Revisi II. 2007. Bandung: Fakultas

Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

http://www.peran-perawat-dalam-menangani-masalah.html (diakses pada tanggal 15 April 2009)

http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=51233 (diakses pada tanggal 23 juni 2009)

http://www.bnpjabar.or.id/index.php/Artikel-Terapi-Rehab/HIV/AIDS-dan-Dampaknya.html (diakses pada tanggal 15 April 2009)

http:///www:/HIV-AIDS.php.htm (diakses pada tanggal 23 juni 2009) www.aids.com (diakses pada tanggal 23 juni 2009)


(1)

Universitas Kristen Maranatha 1.7 Hipotesis dan Sub Hipotesis

1.7.1. Hipotesis

Protective factors akan mempengaruhi derajat resilience pada penderita

HIV/AIDS di yayasan ‘X’ kota Karawang.

1.7.2. Sub Hipotesis

o Caring Relationship mempengaruhi resilience pada penderita HIV/AIDS di yayasan ‘X’ kota Karawang.

oHigh Expectation mempengaruhi resilience pada penderita HIV/AIDS di yayasan ‘X’ kota Karawang.

oOpportunities to participate and Contribution mempengaruhi resilience pada penderita HIV/AIDS di yayasan ‘X’ kota Karawang.


(2)

Universitas Kristen Maranatha BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian terhadap penderita HIV/AIDS di yayasan ‘X’ kota Karawang, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Family protective factors dan community protective factors memiliki

kontribusi yang signifikan dalam mempengaruhi dejarat resilience pada penderita HIV/AIDS.

2. Family protective factors dan Community protective factors yang secara

signifikan berkontribusi terhadap resilience penderita HIV/AIDS adalah high

expectation. High expectation merupakan harapan-harapan,

dukungan-dukungan, kepercayaan yang diberikan oleh keluarga maupun oleh teman-teman kepada penderita HIV/AIDS untuk membuat penderita menjadi yakin kepada dirinya sendiri dalam mengatasi masalah.

3. Protective factors yang tidak signifikan berkontribusi terhadap resilience penderita HIV/AIDS adalah caring relationship. Caring relationship merupakan cinta, kasih sayang yang diberikan oleh keluarga maupun oleh teman-teman kepada penderita HIV/AIDS. Terakhir, protective factors yang berkontribusi terhadap resilience penderita HIV/AIDS adalah opportunities to

participate and contribute. Opportunities to participate and contribute


(3)

Universitas Kristen Maranatha oleh teman-teman kepada diri penderita dalam melakukan suatu aktivitas ataupun dalam pengambilan keputusan.

4. Basic need penderita HIV/AIDS memberikan pengaruh terhadap perkembangan resilience pada diri penderita HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS menghayati bahwa kebutuhan-kebutuhan dasarnya terpenuhi sehingga mampu meningkatkan derajat resilience pada diri penderita HIV/AIDS.

5.2. SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diajukan beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu:

5.2.1 Saran Untuk Penelitian Lebih Lanjut

 Melakukan penelitian secara studi kasus untuk memperdalam mengenai aspek-aspek protective factors yang berkontribusi terhadap resilience.

Melakukan penelitan mengenai resilience dengan menjaring lebih mendalam mengenai kebutuhan dasar (basic need) yang dimiliki oleh subjek.

5.2.2 Saran Guna Laksana

 Bagi penderita HIV/AIDS di yayasan X, diharapkan agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapi seperti mencari jalan keluarnya, ataupun meminta bantuan orang yang tepat untuk


(4)

Universitas Kristen Maranatha memecahkan masalahnya. Penderita juga diharapkan untuk fokus pada masa depannya.

 Bagi keluarga penderita HIV/AIDS, baik orang tua maupun saudara diharapkan lebih memercayai dan memberikan harapan kepada penderita HIV/AIDS dalam melakukan kegiatan maupun dalam mengambil keputusan agar penderita menjadi percaya diri dan yakin akan kemampuan yang dimilikinya.

 Bagi Yayasan ’X’ diharapkan agar lebih meningkatan dalam memberikan motivasi kepada diri penderita HIV/AIDS di yayasan X sehingga penderita menjadi percaya diri dan juga memberikan kesempatan kepada penderita untuk mencoba melakukan suatu kegiatan yang disukai oleh penderita.

 Bagi teman-teman penderita HIV/AIDS di yayasan X agar tetap memberikan kepercayaan dan dukungannya kepada penderita HIV/AIDS di yayasan X dalam melakukan kegiatan mereka sehari-hari, melibatkan penderita dalam berbagai kegiatan, memberikan kesempatan kepada diri penderita untuk mengambil keputusan sehingga mereka dapat lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan kondisi penyakit yang di deritanya.


(5)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Anastasi, Anne.1990. Psychological Testing. 6th ed. New York: Macmillan Publishing Company.

Benard, Bonnie.2004. Resiliency what we have learned. California:WestEd. Muninjaya, A.A. Gde. 1998. Aids di Indonesia : Masalah dan Kebijakan

Penanggulangannya. Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Nazir, Mohamad. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Santrock, John W. 2002. Life Span Development, Jilid II. Jakarta: Erlangga. Sudjana. 2001. Metode Statistika. Bandung: Tarsito

--- 1983. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi. Bandung: Tarsito

Wibisono, Bing. 1989. AIDS Petunjuk Untuk Petugas Kesehatan. Edisi 1. Departemen Kesehatan Ditjen PPM dan PLP. Jakarta


(6)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Halim, Budiman. 2009. Kontribusi Protective Factors terhadap Resilience Ibu

yang Memiliki ABK di Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha.

Haryanti, Winda. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Resilience pada Wanita

Dewasa Awal Penderita Systemic Lupus Erythematosus di Yayasan ‘X’ Bandung. Skripsi: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Tarigan, Yuni Wati. 2009. Kontribusi Protective Factors terhadap Resilience

Wanita Dewasa Awal Penderita Systemic Lupus Erythematosus di Yayasan

‘X’ Bandung. Skripsi: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana, Edisi Revisi II. 2007. Bandung: Fakultas

Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

http://www.peran-perawat-dalam-menangani-masalah.html (diakses pada tanggal 15 April 2009)

http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=51233 (diakses pada tanggal 23 juni 2009)

http://www.bnpjabar.or.id/index.php/Artikel-Terapi-Rehab/HIV/AIDS-dan-Dampaknya.html (diakses pada tanggal 15 April 2009)

http:///www:/HIV-AIDS.php.htm (diakses pada tanggal 23 juni 2009) www.aids.com (diakses pada tanggal 23 juni 2009)