Kualitas Pelayanan Kesehatan Pada Penderita HIV/AIDS Di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung

(1)

RUMAH SAKIT ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

Oleh

TIARA ANGGINA PUTRI

Pelayanan dapat dikatakan berkualitas atau memuaskan apabila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat sebagai penerima pelayanan. Munculnya isu-isu publik yang berkaitan dengan tindak diskriminasi masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS serta minimnya pemahaman mengenai HIV/AIDS merupakan alasan utama dalam penelitian ini. Ketampakan fisik, reliabilitas, responsivitas, kompetensi, kesopanan, kredibilitas, keamanan, akses, komunikasi dan pengertian adalah sepuluh indikator yang dikembangkan oleh Zeithaml et.al yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan kesehatan. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana kualitas pelayanan kesehatan pada penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampuung.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas pelayanan kesehatan pada penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung. metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan


(2)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung khususnya di Klinik Voluntary Conseling dan Testing (VCT) Kanca Sehati masih belum dapat dikatakan berkualitas. Berdasarkan kesepuluh indikator yang digunakan dalam penelitian ini, masih terdapat empat indikator yang belum terlaksana dengan baik sehingga pelayanan belum bisa memberikan kepuasan kepada pasien.


(3)

HIV/AIDS AT ABDUL MOELOEK HOSPITAL BANDAR LAMPUNG

by

TIARA ANGGINA PUTRI

Service can be assumed to be qualified or satisfaction if these services can fulfill the needs and expectations of society as the receipient of the service. The appearance of public issues which is related to discrimination by society to people who living with HIV/AIDS and the lack of understanding about HIV/AIDS is the main reason in this research. Tangible, reliability, responsiveness, competence, courtesy, credibility, security, access, communication and understanding the customer are ten indicators which developed by Zeithaml et.al that used to measure the quality of health service. The problem riset of this research is how the quality of health services for people living with HIV/AIDS at Abdul Moeloek Hospital Bandar Lampung.

The purpose of this research is to find out the quality of health service for people living with HIV/AIDS at Abdul Moeloek Hospital Bandar Lampung. The methods used in this research is a method of descriptive with qualitative approach. The


(4)

The results of this research showed the health service for people living with HIV/AIDS at Abdul Moeloek Hospital Bandar Lampung especially at The Clinic of Voluntary Conseling and Testing (VCT) Kanca Sehati has not qualified yet. Based on ten an indicators which used in this research, there are four an indicator that have not run as well as they are supposed to do, thus the service could not give satisfaction to the patient.


(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

Penulis bernama Tiara Anggina Putri dilahirkan di Gunung Batin, Lampung Tengah pada tanggal 31 Januari 1992, anak dari pasangan Bapak Bambang Irawan dan Ibu Nia Kurniati. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.

Jenjang akademis penulis dimulai dengan menelesaikan pendidikan informal di Taman Kanak-Kanak (TK) Xaverius Way Halim pada tahun 1998, kemudian menyelesaikan pendidikan formal di Sekolah Dasar (SD) Xaverius Way Halim pada tahun 2004, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 10 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2010. Selanjutnya tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Lampung melalui Jalur Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB).

Selama kuliah penulis juga aktif dalam organisasi intra-kampus yaitu: 1. AIESEC Unila sebagai EP Buddy dan Hostfamily pada tahun 2013.

2. AIESEC Unila sebagai Staf of Incoming Exchange Departement periode 2013/2014.


(10)

Ku persembahkan karya kecil ini kepada:

Cinta pertama bagi setiap anak perempuannya, yakni Ayahanda tersayang Bambang

Irawan dan Ibunda tercinta Nia Kurniati sebagai hadiah kecil dan tanda terima kasihku.

Tidak pernah kubayangkan hidup di dunia ini tanpa kalian. Tak mampu ku mengganti

semua pengorbanan dan kasih sayang yang telah kalian berikan, hanya inilah yang dapat

aku persembahkan untuk sedikit membahagiakan kalian yang telah banyak aku

susahkan.

Tidak lupa pula untuk Keponakan-keponakanku Marsha Adelia dan Farel Febrian yang

selalu menghiburku dan menyangiku dengan tulus.


(11)

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu

menyukai sesuau, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak

mengetahui

(QS. Al-Baqarah/2:216)

No one over obtained wealth expecting success to happen overnight. Plant the seeds now and

wait for them to blossom. Patience is everything

(No name)

Kehidupan anda hari ini adalah hasil dari apa yang anda lakukan kemarin, dan kehidupan anda

esok hari adalah hasil dari apa yang anda lakukan hari ini


(12)

Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi yang berjudul “Kualitas Pelayanan Kesehatan Pada Penderita HIV/AIDS Di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung” dapat diselesaikan. Skripsi ini dibuat sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Penulis menyadari banyak kesulitan yang dihadapi dari awal pengerjaan hingga penyelesaian skripsi ini, karena bantuan, bimbingan, dorongan dan saran dari berbagai pihak terutama dosen pembimbing yang sudah memberi banyak masukan, kritik dan saran. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung. 3. Bapak Drs. Aman Toto Dwijono, M.H selaku Pembimbing Akademik.

4. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si selaku Pembimbing Utama dan sebagai sumber motivasi terbesar yang telah banyak memberikan dukungan ilmu yang sangat bermanfaat sehingga dapat membantu kelancaran dalam


(13)

5. Bapak Drs. Yana Ekana P.S, M.Si selaku selaku penguji dan pembahas yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun kepada Penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

6.

Seluruh dosen Ilmu Pemerintahan Fisip Unila, terimakasih atas ilmu yang telah kalian berikan kepada penulis selama menuntut ilmu di Jurusan Ilmu Pemerintahan.

7. Staf Akademik, Staf Kemahasiswaan yang telah membantu kelancaran administrasi dan skripsi, terutama kepada Ibu F. Trisni Rahartini, S.I.P yang telah banyak sekali membantu dan mempermudah proses administrasi dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan.

8. Teristimewa kepada kedua orang tuaku, yaitu Bapak Bambang Irawan terima kasih telah menjadi ayah terbaik dan tauladan yang baik bagi anaknya setelah Nabi Muhammad SAW, yang selalu mendukung apapun yang terjadi dan bekerja keras dalam mendidik untuk menjadikan Penulis menjadi manusia yang kuat, semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan dan nikmat-Nya untuk Ayah. Selanjutnya Ibunda Nia Kurniati, terimakasih telah menjadi ibu yang baik dan pemberi kasih sayang terbaik setelah Allah SWT yang tak pernah lelah memberikan kasih sayang dan selalu mendoakan anaknya menjadi anak yang hebat.

9. Untuk kakak-kakakku Mayangsari dan Dimas Danur Saputra yang telah banyak membantu dan mendukungku. Tidak lupa pula keponakan-keponakanku Marsha Adelia dan Farel Febrian yang masih duduk di bangku


(14)

mengingatkanku untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Terima kasih kepada para informan dari Klinik VCT Kanca Sehati Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung, para anggota dari Komunitas Saburai Support Group (SSG) serta Akademisi yang telah bersedia meluangkan waktu dan ketersediaannya untuk memberikan data-data, wawasan serta informasi yang penulis butuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.

11. Teman-teman tercinta Jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan 2010 yang dari awal kita sama-sama berjuang bersama, semangat teman-teman semua, semoga Allah SWT memberikan nikmat sehat, rejeki yang berlimpah, rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, semoga kita semua kelak menjadi pemuda yang bermanfaat dan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik kedepannya . Ingat bahwa hanya kita sendiri yang dapat merubah nasib kita sendiri dan tidak ada sedikitpun usaha yang akan menjadi sia-sia.

12. Terima kasih kepada teman sekaligus saudara Deliar Noer, Intan Permata Sari Burman dan Elizabeth Sihaloho yang selalu mendoakan dan tidak pernah bosan menjadi tempat berkeluh kesah selama ini. Terima kasih atas semua waktu dan perhatiannya.

13. Teman-teman semasa SMA yang masih selalu menjadi sahabat Sifa, Citra, Intan dan Lia. Terimakasih atas dukungan, do’a dan pengertiannya selama ini.

14. Terima kasih kepada teman-teman “MBIW” Anggesti Irka Safitri, Riska


(15)

15. Teman-teman seperjuangan Ryan Maulana, Yosita Manara, Komang Jaka, Novia Belladina, Novi Nurhana, Antarizki, Ricky Ardhian, Dita Purnama yang telah banyak mendukung dan memberikan motivasi untuk terus berjuan hingga akhir.

16. Terima kasih kepada AIESEC Unila yang telah memberikan pengalaman berharga dan kesempatan sebagai tempat kedua untuk belajar banyak hal. Tak lupa pula terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman AIESECer Sartika (the most inspiring person in AIESEC Unila), Mpit Turah (cil kecil cabe rawit), Bassma (partner in crime), Riska (thank you for asked me to join in AIESEC at that time), Memet (beruang madu kesayangan), Ferryansyah (Jupe a.k.a Loli), Dirga (Bujangnya buitr), Rana (ibu dokter kebanggaan ICX), Lia Hermanto (Rapunzel a.k.a Baok semok), Elidun (cabe-cabean PKOR), Septian (my forever buddy), Deni (the banana creep), Dede Jihan (Ymke kw super), Paulina (my Rabarbar), Rik Oude (my forever Bobby the Oragutan from Netherland).

Semoga Allah SWT membalas kebaikan kita semua dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, 15 Desember 2014 Penulis


(16)

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Kegunaan Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Pelayanan ... 12

1. Konsep Kualitas... 12

B. Pelayanan Publik... 13

1. Konsep Pelayanan Publik ... 13

2. Pengukuran Kinerja Pelayanan Publik ... 17

3. Paradigma Pelayanan Publik Baru (New Public Service) ... 21

4. Pengukuran Kualitas Pelayanan Kesehatan... 26

5. Standar Pelayanan Minimal RSUD ... 29

C. HIV/AIDS ... 31

D. Program Pelayanan Kesehatan pada Penderita HIV/AIDS ... 35

1. Pelayanan Dukungan dan Pengobatan (PDP)... 35

2. Unsur-unsur Pelayanan PDP ... 36

E. Kerangka Pikir ... 40

III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 45

B. Lokasi Penelitian... 47

C. Fokus Penelitian... 47

D. Jenis Data... 51

E. Penentuan Informan ... 52

F. Teknik Pengumpulan Data ... 52

G. Taknik Pengolahan Data... 55


(17)

B. Prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV Sukarela (VCT)... 68

C. Sarana dan Prasarana ... 63

D. Struktur Organisasi ... 67

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil dan Pembahasan ... 68

1. Ketampakan Fisik ... 68

2. Reliabilitas ... 72

3. Responsivitas ... 73

4. Kompetensi ... 75

5.. Kesopanan... 77

6. Kredibilitas ... 79

7. Keamanan ... 81

8. Akses... 83

9. Komunikasi ... 86

10. Pengertian ... 87

B. Pembahasan... 90

VI.SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 104

B. Saran... 106

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(18)

Halaman Tabel 2.1... 22 Tabel 5.1 ... 69


(19)

Halaman

Gambar 1. Unsur Pokok PDP untuk HIV/AIDS ... 39

Gambar 2. Kerangka Pikir... 44

Gambar 3. Alur Layanan Konseling ... 61

Gambar 4. Susunan Pengurus ... 67

Gambar 5. Grafik Jumlah Pasien HIV/AIDS Klinik VCT... 92


(20)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pelayanan publik merupakan tanggung jawab Negara dan pemerintah yang kemudian dilaksanakan oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidangnya masing-masing. Pelayanan publik dilakukan oleh pemerintah baik di tingkat pusat, daerah maupun di lingkungan Badan Usaha Milik Negara. Pelayanan publik dapat berbentuk pelayanan barang dan jasa. Masyarakat tanpa terkecuali berhak mendapatkan pelayanan dari pemerintah dan mengawasi pelaksanaan pelayanan publik yang dilakukan guna mencapai tujuan yang diharapkan. Hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.

Tidak jarang dijumpai pelayanan publik yang dilakukan oleh pihak swasta. Bahkan pihak Pemerintah baik setingkat Daerah maupun Pemerintah Pusat yang bekerja sama dengan pihak swasta dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ketika masyarakat tidak merasa kebutuhannya terpenuhi dikala menerima pelayanan dari pihak pemerintah, maka mendapatkan jasa pelayanan


(21)

dari sektor swasta menjadi pilihan kedua. Tidak sedikit dari masyarakat yang menjadikannya pilihan utama karena merasa pelayanan yang diberikan oleh pihak pemerintah tidak memuaskan. Meski harus membayar dengan harga yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan tarif jasa pelayanan yang didapatkan dari pihak pemerintah.

Pengertian dasar pelayanan publik atau pelayanan umum (Ratminto, 2012:4) adalah segala bentuk pemberian jasa pelayanan yang berupa barang publik maupun jasa publik yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah di tingkat pusat maupun di tingkat daerah serta di lingkungan Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu bentuk pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah ialah dalam bentuk pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Pemerintah sebagai penyelenggara Negara merupakan elemen utama dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Adapaun konsep pelayanan kesehatan menurut Levley dan Loomba (Azwar, 1996:35) yakni setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meingkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.


(22)

Kegiatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan oleh pemerintah yang dalam hal ini dilakukan melalui Rumah Sakit Umum Daerah mencakup seluruh kebutuhan kesehatan yang diperlukan oleh masyarakat. Rumah Sakit Umum Daerah bertugas melayani seluruh kebutuhan kesehatan yang dialami oleh masyarakat tanpa terkecuali, termasuk juga melayani pasien penderita HIV/AIDS.

Stigma negatif yang melekat pada penderita HIV/AIDS yang disematkan oleh masyarakat disebabkan kurangnya informasi dan pemahaman mengenai penyakit tersebut, sehingga seringkali penderita HIV/AIDS mengalami berbagai tindak diskriminasi dan perlakuan yang kurang menyenangkan. Secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah untuk memuaskan masyarakat. Berbicara mengenai kualitas pelayanan publik yang termasuk di dalamnya yakni pelayanan kesehatan, maka sasaran utama untuk mengukurnya ialah dengan melihat tingkat kepuasan pelayanan yang diberikan kepada penerima pelayanan.

Fokus dari penelitian ini adalah untuk mengukur kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada penderita HIV/AIDS. Penderita HIV/AIDS atau yang kemudian bisa kita sebut dengan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) juga memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya untuk menerima pelayanan kesehatan dari pemerintah. Namun seringkali hak-hak mereka tersebut dikaburkan oleh adanya citra negatif bagi para ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Hal ini disebabkan kurangnya informasi dan pemahaman seputar penyakit HIV/AIDS dan cara penularannya. Banyak pihak menyalahartikan HIV/AIDS sebagai penyakit yang memalukan karena salah satu penyebab dari terjangkitnya penyakit


(23)

ini adalah seringnya berganti-ganti pasangan sehingga mengindikasikan adanya perilaku seks yang bebas. Kenyataan ini sangat bertentangan dengan ajaran agama dan budaya timur yang masih sangat melekat pada masyarakat Indonesia.

HIV (human immunodeficiency virus) (Harahap, 2000:15) atau yang dalam Bahasa Indonesia dinamakan virus imunodifisiensi manusia merupakan suatu virus yang dapat mengakibatkan penyakit AIDS. Virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan adanya infeksi. Dengan kata lain, keberadaan virus ini dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi (kekurangan) sistem imun. Sedangkan AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh infeksi HIV.

Akibat menurunnya kekebalan tubuh pada seseorang maka orang tersebut sangat mudah terkena penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran pencernaan, otak dan kanker. Artinya, AIDS bukan merupakan penyakit keturunan melainkan cacat karena sistem kekebalan tubuh yang disrusak setelah seseorang terinfeksi virus HIV. AIDS bukan merupakan nama sebuah penyakit, melainkan sebutan atau nama yang disepakati untuk menjelaskan kondisi di mana seseorang terinfeksi virus HIV sehingga menimbulkan gejala penurunan kekebalan tubuh. Stadium AIDS membutuhkan pengobatan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh sehingga bisa sehat kembali.


(24)

Seseorang yang sedang dalam tahap HIV tidak bisa kita kenali. Mereka tampak sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit apapun. Status terinfeksi HIV hanya dapat diketahui setelah mengikuti test HIV yang disertai konseling serta mengunjungi fasilitas kesehatan terdekat (Klinik VCT) untuk tes HIV. Layanan test HIV dan konseling ini disebut sebagai VCT (Voluntary Counseling and Testing). Tes HIV biasanya berupa tes darah untuk memastikan adanya antibodi HIV di dalam sampel darah. Tes HIV bersifat sukarela dan rahasia. Sebelum melakukan tes HIV, akan dilakukan konseling untuk mengetahui tingkat risiko infeksi dari perilaku selama ini dan bagaimana nantinya harus bersikap setelah mengetahui hasil tes HIV.

Lebih lanjut dijelaskan dalam Harahap (2000:25) tes yang dilakukan dengan cepat dapat juga digunakan tes usapan selaput lendir mulut (Oraquic). Terinfeksi HIV bukanlah vonis mati. AIDS dapat dicegah dengan pengobatan antiretroviral atau ARV. Pengobatan ARV menekan laju perkembangan virus HIV di dalam tubuh sehingga orang dengan infeksi HIV dapat kembali “sehat” atau “bebas gejala”, namun virus HIV masih ada di dalam tubuhnya dan tetap bisa menularkan pada orang lain.

Berdasarkan catatan Klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) Rumah Sakit Umum Daerah dr. Hi. Abdul Moeloek (RSUDAM) Bandar Lampung, tercatat hingga kini terdapat sekitar 600 ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) di Provinsi Lampung. Sejak Januari–November 2013, penderita HIV di Kota Bandar


(25)

Lampung berjumlah 119 pasien. Jumlah ini menurun dibandingkan kurun 2012 yang mencapai 221 penderita. Sebanyak 214 orang di antaranya kini sedang menjalani terapi antiretroviral (ARV) secara rutin dan teratur di Rumah Sakit Abdul Moeloek. Mereka berasal dari berbagai daerah di Lampung. Berdasarkan data tersebut penderita HIV berasal dari berbagai kalangan, diantaranya seperti pengguna narkoba, kalangan transgender (waria), dan pekerja seks komersil (PSK). (http://radarlampung.co.id/read/bandarlampung/65185-odha-lampung-terus-meningkat, diakses pada 17 Januari 2014)

Lebih lanjut, dari informasi yang penulis dapatkan pada situs resmi HIV/AIDS kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Lampung tahun 2012 mencapai 509 dan 32 di antaranya adalah anak-anak. Jumlah ini menunjukkan peningkatan sampai 20%. Berbeda dengan jumlah penderita HIV/AIDS Kota Bandar Lampung yang cenderung menurun, jumlah penderita HIV/AIDS Provinsi Lampung justru mengalamai peningkatan pada tahun 2013. Guna menurunkan angka tersebut, Dinas Kesehatan Provinsi Lampung memfokuskan program klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) di empat wilayah yang meliputi Panjang, Sukaraja, Kedaton dan daerah Kabupaten Lampung Tengah

(http://www.aidsindonesia.com/2013/01/di-prov-lampung-kasus-hivaids-pada.html diakses pada 17 Januari 2014).

Para ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dapat berkonsultasi ke VCT RSUDAM. Semua yang terdata akan menjalani terapi dengan mengonsumsi obat ARV. Ketersediaan obat dan peralatan terapi untuk penderita HIV di RSUDAM telah


(26)

tersedia semua. Jadi tidak perlu harus keluar daerah lagi. Semua biaya juga digratiskan. Terdapat lima jenis obat ARV yang biasa dikonsumsi ODHA di klinik VCT RSUDAM yakni jenis AZT, 3TC, D4T, Nevirapin, dan Evaviren. (http://lampost.co/berita/odha-dii-lampung-masih-alami-diskriminasi

diakses pada 21 Februari 2014)

Pelayanan publik apapun bentuknya merupakan hak bagi setiap warga Negara. Bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan publik tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2004 (Ratminto, 2012: 19) menyatakan bahwa Hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Masyarakat dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah penderita HIV/AIDS yang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.

Melihat kenyataan bahwa minimnya informasi dan pemahaman mengenai virus HIV/AIDS ini kemudian menimbulkan reaksi yang beragam. Tidak sedikit masyarakat yang memberikan respon negatif terhadap para ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) tersebut. Mirisnya, indikasi adanya sikap diskriminasi itu justru datang dari petugas pelayanan kesehatan Rumah Sakit Abdul Moeloek kepada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) yang berobat ke sana. Berdasarkan pemberitaan pada situs http://harian-pelita.pelitaonline.com yang terbit secara online pada 27 Mei 2013 berita mengenai adanya indikasi tindak diksriminasi terhadap ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) ini diutarakan oleh Mariana, beliau


(27)

adalah penanggung jawab Serikat Serikat ODHA Berdaya (Sober). Beliau mengatakan pihaknya kerap mendapat diskriminasi, terutama saat berada di rumah sakit untuk mendapat pelayanan medis.

Tidak semua ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS) pernah mengalami diskiriminasi, namun beberapa rekan dalam Sober sempat mendapat pelayanan buruk saat di rawat di sebuah rumah sakit pemerintah di Bandar Lampung tersebut. Tindak diskriminasi yang dilakukan ialah penderita ODHA tersebut dilecehkan dengan sebutan yang tidak pantas. Bahkan tindakan tersebut dilakukan oleh petugas medis dan dokter yang sedang berjaga. Perlakuan yang tidak menyenangkan tersebut ialah para petugas medis menggunakan peralatan pengamanan yang berlebihan dalam melayani para penderita. Ironisnya diskriminasi ini dilakukan oleh orang-orang yang mengerti medis. Orang dengan HIV/AIDS atau ODHA diperkenankan untuk mengadukan adanya keluhan dan diskriminasi kepada Dinas Kesehatan Provinsi Lampung dan KPA. (http://harian-

pelita.pelitaonline.com/cetak/2013/05/27/penderita-hivaids-masih-alami-diskriminasi-akibat-stigma-buruk# diakses pada 21 Februari 2014)

Kasus adanya indikasi tindak diskriminasi yang dialami oleh penderita HIV/AIDS lain muncul di Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Berdasarkan surat kabar online, yakni www.suaramerdeka.com, di Klaten terdapat 200 pengidap HIV/AIDS dan jumlah tersebut terus bertambah sehingga diperlukan perhatian khusus. Menurut Sekretaris Komisi Penganggulangan HIV/AIDS (KPA) Kabupaten Klaten, dr. Kuswandjana M.Kes. menyatakan bahwa dari 200 penderita tersebut hanya 30


(28)

diantaranya yang memilih mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit wilayah Klaten. Sedangkan sisanya lebih memilih untuk berobat di Rumah Sakit Solo dan Yogyakarta karena merasa lebih nyaman. Kenyataan ini terjadi karena belum adanya payung hukum untuk mengatur hak ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dalam bidang pelayanan kesehatan. Padahal di banyak kota atau kabupaten di Indonesia sudah ada aturan hukum yang menjamin hak ODHA baik peraturan yang berupa Perda maupun payung hukum lain yang melindungi hak-haknya.(http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/news/2013/07/10/163955 diakses pada 16 Februari 2014)

Pelanggaran terhadap hak ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) tersebut ialah tidak dilindunginya hak mereka sehingga membuat rasa ketidaknyamanan dan percaya diri. Meskipun harga obat di Klaten jauh lebih murah yakni Rp. 19.000 dibandingkan di Yogyakarta yang mencapai Rp. 77.000 namun para penderita lebih memilih untuk berobat ke Yogyakarta dengan alasan kenyamanan. Sebab dengan adanya pembocoran rahasia tersebut, para penderita merasa dikucilkan di tengah-tengah masyarakat. (http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/news/ 2013/ 07/10/163955 diakses pada 16 Februari 2014)

Para penderita HIV/AIDS memiliki cerita masing-masing mengenai sejarah terjangkitnya virus HIV yang mereka alami. Tidak semua pengidap HIV tertular karena perilaku seks bebas yang notabene sangat tabu di Indonesia karena adat ketimuran yang masih sangat kental. Padahal penyebaran virus HIV tidak akan terjadi dengan mudah seperti penyebaran virus influenza yang dapat dengan


(29)

mudah menyebar melalui udara. Bahkan terjadi masa inkubasi selama hitungan tahun untuk kemudian seseorang bisa dikatakan tertular dan mengidap virus HIV.

Kisah perlakuan tidak menyenangkan kepada para penderita HIV/AIDS lainnya datang dari Yurike Ferdinandus yang merupakan Asisten Sekjen Komunitas ODHA Bali (KOBA). Beliau mengungkapkan adanya indikasi tindak diskriminasi yang dialami penderita HIV/AIDS dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Diskriminasi dalam memperoleh akses kesehatan tersebut justru dilakukan oleh para tenaga kesehatan. Beberapa tenaga kesehatan secara terang-terangan menolak memberikan pelayanan kesehatan ketika mengetahui pasien yang hendak mereka tangani adalah pasien dengan HIV positif. (http://www.voaindonesia.com/content/penderita-hivaids-di-indonesia-masih-alami-diskriminasi-akses-kesehatan-129700543/98126.html diakses pada 21 Februari 2014)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah penelitian sebagai berikut “Bagaimana Kualitas Pelayanan Kesehatan pada Penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung?”


(30)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pemaparan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Kualitas Pelayanan Kesehatan pada Penderita

HIV/AIDS di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan salah satu kajian Ilmu Pemerintahan khususnya terkait dengan kualitas pelayanan publik.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran pada pihak pengelola Rumah Sakit Abdul Moeloek dalam melakukan pelayanan publik.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kualitas Pelayanan

1. Konsep Kualitas

Konsepsi mengenai kualitas lebih bersifat relatif, karena penilaian kualitas sangat ditentukan dari perspektif serta sudut pandang yang digunakan. Hasil luaran dari kegiatan kualitas tidak berbentuk barang jadi hasil produksi, melainkan sesuatu yang hanya dapat dirasakan dan dialami. Kualitas erat kaitannya dengan tingkat kepuasan pelanggan, proses dan produk yang dihasilkan. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Trilestari (Hardiansyah, 2011:35) bahwa kualitas pada dasarnya memiliki tiga orientasi yang seharusnya konsisten antara yang satu dengan yang lainnya, yakni persepsi pelanggan, produk dan proses. Keberhasilan atau kualitas pada jasa pelayanan dapat digambarkan melalui produk jasa pelayanan berupa kepuasan pelanggan.

Kualitas identik dengan mutu atau tingkat baik dan buruknya sesuatu. Sedangkan berkualitas adalah suatu keadaan yang melebihi standar dan bisa dikatakan sesuatu yang berkualitas merupakan kondisi di mana kenyataan melebihi ekspektasi dari yang diharapkan serta dapat memberikan kepuasan dan memenuhi


(32)

kebutuhan. Senada dengan yang diungkapkan oleh Grotsh dan Davis (Hardiansyah, 2011:35), kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa proses dan lingkungann yang memenuhi atau melebihi harapan.

Konsep kualitas yang lebih strategis menurut Gasperz (dalam Sinambela, 2011:7) mengacu pada pengertian pokok kualitas, yakni terdiri atas sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan memberikan kepuasan atas penggunaan produk. Kualitas terdiri atas segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.

Sama halnya dengan pelayanan, kualitas tidak berwujud fisik melainkan hanya dapat dialami dan dirasakan. Jika dikaitkan dengan pelayanan, maka pelayanan dapat dikatakan berkualitas atau memuaskan apabila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat sebagai penerima pelayanan. Pihak yang mampu menilai sebuah kualitas adalah pihak yang menerima bentuk pelayanan baik dalam bentuk barang ataupun jasa.

B. Pelayanan Publik

1. Konsep Pelayanan Publik

“Setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup serta kehidupannya”, demikian bunyi Pasal 28 A Undang-undang Dasar 1945. Artinya


(33)

setiap warga Negara di Indonesia tanpa terkecuali memiliki hak yang sama untuk dapat hidup di dunia ini. Kemudian setiap warga Negara juga berkewajiban untuk mempertahankan kehidupannya dengan berbagai usaha sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam konteks penelitian ini, hidup dan mempertahankan hidup sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 berarti seluruh warga Negara di Indonesia memiliki hak yang sama untuk hidup dan memiliki kesempatan yang sama untuk mempertahankan kehidupannya. Salah satu cara untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya ialah dengan menerima pelayanan dari Pemerintah selaku penyelenggara fungsi Negara.

Pelayanan dapat dimaknai sebagai salah satu kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Jika dijabarkan secara terpisah, maka pelayanan publik terdiri dari dua kata yakni pelayanan dan publik. Pelayanan dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sesorang atau sekelompok orang dengan tata cara dan aturan tertentu.

Pelayanan dapat diperoleh melalui organisasi atau instansi Pemerintah maupun dari sektor swasta. Pelayanan yang diperoleh dari instansi Pemerintah berorientasi pada pencapaian tujuan pelayanan masyarakat, yakni untuk memuaskan dan memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi Pemerintah


(34)

sebagai penyelenggara Negara. Sedangkan pelayanan yang diberikan oleh pihak swasta berorientasi pada keuntungan atau laba, jadi pelayanan yang diberikan semata-mata karena mendapatkan imbalan atas pelayanan jasa atau barang yang diberikan.

Definisi pelayanan menurut American Marketing Association, seperti yang dikutip Donald (Hardiansyah, 2011:10) bahwa pelayanan pada dasarnya adalah suatu kegiatan atau manfaat yang ditawarkan dari satu pihak kepada pihak lainnya dan tidak berwujud berupa fisik suatau benda melainkan sesuatu yang bisa dirasakan manfaatnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa layanan merupakan produk yang tidak berwujud yang berlangsung sementara dan hanya dapat dirasakan atau dialami oleh penerima layanan. Secara etimologis, pelayanan berasal dari kata layan yang berati membantu, menyiapkan dan mengurus apa-apa yang diperlukan oleh seseorang. Kemudian pelayanan diartikan sebagai suatu perihal atau cara melayani berupa service atau jasa.

Berdasarkan Keputusan Menteri Pedayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 mendefinisikan pelayanan umum sebagai segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masuarakat maupun dalam rangka


(35)

pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Keputusan MENPAN nomor 63/2003).

Selanjutnya kata publik identik dengan orang banyak, khalayak ramai dan sekumpulan orang. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan publik adalah orang atau sekelompok orang atau masyarakat. Publik berasal dari Bahasa Inggris yaitu public, yang berarti umum, masyarakat, Negara. Definisi ini kemudian didukung pernyataan dari Inu dan kawan-kawan (dalam Sinambela, 2011: 5) yang mendefinisikan publik sebagai manusia yang memiliki kebersamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki.

Maka dalam konteks penelitian ini, pelayanan publik adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai penyelenggara Negara tehadap sejumlah manusia yang memiliki kegiatan yang menguntungkan dalam suatau kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Pelayanan publik dilakukan dengan pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang memiliki kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara pelaksanaannya yang telah ditetapkan.

Pelayanan publik juga dapat diartikan sebagai kegiatan pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh pemerintah sebagai penyelenggara Negara. Negara yang notabene didirikan oleh publik (rakyat) tentu saja dengan tujuan agar dapat


(36)

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2007 membedakan jenis pelayanan menjadi empat kelompok, yakni:

a) Kelompok Pelayanan Adminsitratif yaitu pelayanan yang mengasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Kelahiran, Akte Pernikahan, Akte Kematian dan lain sebagainya.

b) Kelompok Pelayanan Barang yaitu pelayanan yang menghasilkan bebrgai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih dan sebagainya.

c) Kelompok Pelayanan Jasa yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos dan sebagainya.

2. Pengukuran Kualitas Pelayanan

Kualitas pelayanan berhubungan erat dengan pelayanan yang sistematis dan komprehensif yang lebih dikenal dengan konsep pelayanan prima. Konsep pelayanan ini pulalah yang kemudian menjadi pedoman penilaian pelayanan publik yang dilakukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Beberapa variabel pelayanan prima sektor publik (Sinambela, 2001:8) yang dimaksud yakni meliputi pemerintahan yang bertugas melayani, masyarakat yang dilayani pemerintah, kebijaksanaan yang dijadikan landasan pelayanan publik, peralatan atau sarana pelayanan yang canggih, resources yang tersedia untuk diracik dalam bentuk kegiatan pelayanan, kualitas pelayan yang memuaskan masyarakat sesuai dengan standar dan asas pelayanan masyarakat, manajemen dan kepemimpinan serta organisasi pelayanan masyarakat, dan yang terakhir ialah


(37)

perilaku pejabat yang terlibat dalam pelayanan masyarakat, apakah masing-masing telah menjalankan fungsi mereka dengan baik.

Variabel pelayanan prima di sektor publik seperti yang disebutkan di atas dapat diimplementasikan apabila aparat pelayanan berhasil menjadikan kepuasan pelanggang sebagai tujuan utamanya. Agar kepuasan pelanggan menjadi tujuan utama terpenuhi, aparatur pelayanan dituntut untuk mengetahui dengan pasti siapa pelanggannya. Aparatur pelayanan tidak mempunyai alasan sedikit pun untuk tidak berorientasi pada kepuasan pelanggan secara total. Bahkan kepuasan pelangganlah yang dapat dijadikan barometer dalam mengukur keberhasilan dalam pelayanan.

Konsep kualitas pelayanan dapat dipahami melalui perilaku konsumen (consumen behavior), yaitu suatu perilaku yang dimainkan oleh konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan dan mengevaluasi suatu produk maupun pelayanan yang diharapkan dapat memuaskan kebutuhan mereka. Pada dasarnya terdapat ciri-ciri untuk menentukan kualitas pelayanan publik menurut Tjiptono (Hardiansyah, 2001:40), yakni :

a) Ketepatan waktu pelayanan, yang meliputi waktu tunggu dan proses b) Akurasi pelayanan, yang meliputi bebas kesalahan

c) Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan

d) Kemudahan mendapatkan pelayanan, misalnya banyaknya petugas yang melayani dan bayaknya fasilitas pendukung seperti computer

e) Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruang tempat pelayanan, tempat parker berkaitan dengan lokasi, ruang tempat pelayanan, tempat parkir, ketersedian informasi dan lain-lain f) Atribut pendukung pelayanan lainnya seperti ruang tunggu ber-AC,


(38)

Selanjutnya menurut Fitzsimmons dan Fitzsimmons (Sinambela, 2011:7) berpendapat bahwa terdapat lima indikator pelayanan publik, yaitu reliability yang ditandai dengan pemberian pelayanan yang tepat dan benar. Tangibles, yakni pelayanan yang ditandai dengan penyediaan yang memadai sumber daya manusia dan sumber daya lainnya. Responsiveness, merupakan pelayanan yang ditandai dengan adanya keinginan melayani konsumen dengan cepat. Assurance, yakni pelayanan dengan tingkat perhatian terhadap etika dan moral dalam memberikan pelayanan, dan empati, yang ditandai tingkat kemauan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen.

Secara teoritis, tujuan utama dari adanya kegiatan pelayanan publik adalah untuk memuaskan masyarakat. Maka untuk mencapai kepuasan itu dituntut adanya kualitas pelayanan publik (Sinambela, 2011:6) yang dapat tercermin dari:

a) Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti

b) Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

c) Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas

d) Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat

e) Kesamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apa pun khususnya suku ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain

f) Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.

Konsep pelayanan yang berkualitas dalam konteks penelitian ini ialah pengukuran terhadap penyelenggaraan pelayanan publik kepada penerima pelayanan publik.


(39)

Pelayanan yang berkualitas tidak hanya berfokus pada hasil akhir dari penyelenggaraan pelayanan semata, melainkan pada proses pemberian pelayanan. Hasil akhir dari pemberian pelayanan bukan harga mati bagi kualitas pelayanan. Artinya, untuk mengukur apakah pelayanan publik dapat dikatakan berkualitas, bukan hanya semata-mata terletak pada hasil akhirnya saja. Namun, menurut peneliti sebuah kualitas pelayanan sangat dipengaruhi oleh proses penyelenggaraan pelayanan tersebut.

Menurut Parasuraman, Zeithaml dan Berry (Ismail, 2010:5) kualitas jasa harus mengacu pada syarat-syarat utama untuk dapat memberikan kualitas pelayanan yang diharapkan, yakni harus menetapkan standar pelaksanaan yang spesifik, adanya komunikasi yang baik, serta tidak adanya kesenjangan antara jasa yang diharapkan masyarakat dengan layanan yang diberikan oleh pemberi layanan. Kemudian, pihak pemberi layanan dalam memberikan pelayanan setidaknya harus mengetahui kebutuhan konsumen. Dikatakan pelayanan menunjukkan kinerja yang baik apabila tingkat kepuasan individu atau masyarakat sebagai penerima layanan sesuai dengan harapannya. Harapan masyarakat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni pengalaman di masa lalu, komentar masyarakat dan informasi unit pelayanan.

Pelayanan publik disebut berkualitas apabila telah memenuhi indikator-indikator yang digunakan sebagai barometer sejauh mana pelayanan telah dilakukan dengan baik. Suryokusumo (Ismail, 2010:7) berpendapat bahwa untuk menilai kualitas pelayanan publik didasarkan pada Standar Operating Procedure (SOP) yang


(40)

ditetapkan oleh penyedia pelayanan ataupun yang telah disepakati oleh penyedia layanan dan pengguna pelayanan.

3. Paradigma Pelayanan Publik Baru (New Public Service)

Paradigma Pelayanan Publik Baru atau yang dikenal dengan NPS (New Public Service) dianggap sebagai sebuah jawaban atas kurangnya dimensi kultural dalam kegiatan administrasi publik dengan menawarkan versi administrasi publik yang lebih manusiawai dan demokratis.

Paradigma New Public Service berkembang di tengah masyarakat setelah Kanet V. Denhart dan Robert D. Denhart mengeluarkan buku popular yang berjudul “The new Public Service: Serving, not Steering” pada tahun 2003 (Lukman, 2013) yang bila diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, judul buku tersebut bermakna “Pelayanan Publik Baru: Melayani, bukan Mengemudikan”. Dalam buku tersebut, mereka mengkritik konsep paradigma sebelumnya, yakin New Public Management yang dianggap telah melupakan siapa pemilik kapal (who owns the boat). Menurut mereka administrator publik harusnya berfokus pada pelayanan dan pemberdayaan masyarakat dan warga kelas menengah yang seharusnya berada di barisan terdepan. Penekanan administrasi seharusnya tidak diletakkan pada steering atau rowing saja, melainkan pembangunan institusi publik yang ditandai oleh integritas dan responsiveness.


(41)

Adapun perbandingan perspektif antara paradigma Old Public Service Administration (OPA), New Public Management (NPM) dan New Public Service (NPS) (Hardiyansyah, 2011) antara lain:

Tabel 2.1

Aspek Old Public

Administration

Mew Public Management

New Public Service Dasar teoritis dan

fondasi epistimologi

Teori politik Teori ekonomi Teori demokrasi

Konsep kepentingan publik Kepentingan publik secara politis dijelaskan dan diekspresikan dalam aturan hukum Kepentigan publik mewakili agregasi kepentingan individu Kepentingan publik adalah hasil dialog berbagai nilai

Responsivitas birokrasi publik

Clients dan

constituent Customer Citizens Peran pemerintah Rowing Steering Serving

Akuntabilitas Hierarki administratif dengan jenjang yang tegas Bekerja sesuai dengan kehendak pasar (keinginan pelanggan) Multiaspek; akuntabilitas hukum, nilai-nilai, komunitas, norma politik, standar profesional Struktur organisasi Birokratik yang ditandai dengan otoritas top-down Desentralisasi organisasi dengan kontrol utama berada pada para agen Struktur kolaboratif dengan kepemilikan yang berbagi secara internal dan eksternal Asumsi terhadap motivasi pegawai dan administrator

Gaji dan keuntngan proteksi Semangat enterpreneur Pelayanan publik dengan keinginan melayani masyarakat


(42)

Terdapat tujuh prinsip dasar New Public Service menurut Denhart dan Denhart (Lukman, 2013), yakni:

a. Melayani warga Negara

Melayani warga negara, bukan pelanggan. Paradigma Old Public Administration menganggap warga Negara sebagai client, yakni warga negaralah yang membutuhkan pelayanan dari penyedia layanan (organisasi publik). Sementara itu, Paradigma New Public Management menekankan warga negara sebagai customer. Penekanan konsumen pada pendekatan NPM membawa arti bahwa penyedia layanan publik harus mengedepankan kepentingan-kepentingan konsumen. Sebaliknya, pada pendekatan New Public Service memandang publik sebagai citizen yang mempunyai hak dan kewajiban yangsama, yang berarti publik juga harus tunduk pada peraturan yang ditetapkan oleh organisasi publik, begitu juga dengan organisasi publik haruslah memenuhi hak-hak publik yang membangun kepercayaan dan kolaborasi di antara warga Negara.

b. Memenuhi kepentingan publik

Administrator publik haruslah berkontribusi pada pembangunan ide-ide kolektif kepentingan publik dan berusaha memfasilitasi kepentingan-kepentingan publik. Pada implementasinya, pemberi pelayanan atau organisasi publik haruslah bersikap proaktif dalam setiap kegiatan pelayanan kepada publik.


(43)

c. Kewarganegaraan di atas kewirausahaan

Administrator publik harus mengedepankan kepentingan publik agar memberikan kontribusi yang lebih berarti daripada hanya sekedar mewirausahakan administrator publik. Kegiatan adminitrasi publik haruslah berorientasi pada kualitas pemberian pelayanan, bukan pada keuntungan pihak pemberi pelayanan.

d. Berpikir strategis dan bertindak demokratis

Kebijakan dan program yang memenuhi keinginan masyarakat bisa dicapai secara efektif melalui usaha yang kolektif dan proses kolabortif. Artinya, diperlukan adanya inovasi-inovasi dalam memformulasikan program guna memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga dapat tercapainya kepuasan dan hasil yang tepat sasaran. Selain itu, diperlukan juga adanya bentuk-bentuk kerjasama dalam pelaksanaan program administrasi publik untuk memberikan pemberian pelayanan yang maksimal.

e. Menyadari bahwa akuntabilitas bukanlah suatu yang sederhana

Administrator publik seharusnya tidak hanya mementingkan kepentingan pasar melainkan harus juga tundak pada konstitusi hukum, norma politik standar profesional dan kepentingan warga Negara. Organisasi publik haruslah mematuhi semua peraturan dan hukum yang berlaku, selain itu juga dalam pelaksanaannya harus berlandaskan pada hukum atau peraturan pemerintah yang secara resmi diakui oleh Negara.


(44)

f. Melayani daripada mengarahkan

Administrator publik haruslah bisa melayani dengan didasari kepada kepemimpinan yang dilatarbelakangi oleh nilai dalam membantu warga Negara, mengaktualisasikan dan memenuhi kepentingan mereka daripada hanya mencoba mengontrol atau mengarahkan. Hampir sama dengan poin yang disebutkan sebelumnya, bahwa administrator publik haruslah bersikap proaktif, artinya ikut berpartisipasi secara aktif pada pemberian pelayanan kepada warga Negara. Kehadiran administrator publik secara aktif pada kegiatan adminstrasi publik pada akhirnya akan memberikan dampak yang positif kepada warga Negara. Administrator publik nantinya tidak hanya dianggap sebagai penyedia fasilitas, namun juga sebagai faktor penting dalam pemenuhan kebutuhan warga Negara.

g. Menghargai manusia bukan produktivitas

Organisasi publik hanya bisa sukses jika beroperasi secara kolaboratif dan menghargai semua umat manusia. Lahirnya Paradigma New Public Service diharapkan mampu memberikan administrasi publik yang lebih humanis dan demokratis. Artinya, setiap warga Negara diperlakukan sama tanpa melihat latar belakang pendidikan, ekonomi, status sosial dan lain sebagainya.


(45)

4. Pengukuran Kualitas Pelayanan Kesehatan

Mutu dan kualitas pelayanan publik di bidang kesehatan mengacu pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan. Kualitas pelayanan kesehatan berorientasi pada kepuasan pasien dan prosedur pemberian pelayanan yang harus sesuai dengan kode etik standar profesi yang ditetapkan. Pihak pemberi pelayanan kesehatan haruslah memiliki standar dalam memberikan kegiatan pelayanan.

Pengukuran tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam indikator dari berbagai ahli. Salah satu ahli yang mengembangkan instrument guna mengukur kinerja pelayan yakni Zeithaml yang dikenal sebagai SERVQUAL atau kualitas pelayanan (Ratminto, 2012:182-183), terdapat sepuluh indikator kinerja pelayan, yakni:

a) Ketampakan fisik (tangible)

Terlihat dalam fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi. Ketampakan fisik dalam hal ini ketersediaan fasilitas yang berbentuk fisik di tempat pelayanan. Fasilitas yang berbentuk fisik tersebut ditujukan untuk meningkatkan kepuasan bagi pada penerima pelayanan. Selain itu juga untuk mempermudah proses pelayanan sehingga akan tercapai prinsip efektif dan efisien dalam penyelenggaraan pelayanan publik tersebut.


(46)

b) Reliabilitas (reliability)

Terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat. Unit pelayanan tersebut termasuk di dalamnya ialah para petugas pemberi pelayanan. Sejauh mana unit pelayanan mampu memberikan pelayanan/informasi sesuai yang dibutuhkan oleh konsumen.

c) Responsivitas (responsiveness)

Responsivitas yakni kemampuan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap mutu layanan yang diberikan. Responsivitas meliputi pemberian respon oleh pemberi pelayanan ketika menerima kritik atau saran dari konsumen. Kemudian, dapat dilihat ketika pemberi pelayanan mampu memberikan penyelesaian dari kritik tersebut secara tepat.

d) Kompetensi (Competence)

Tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan ketrampilan yang baik oleh aparatur dalam meberikan pelayanan. Kompetensi dalam konteks ini ialah kesesuaian antara kemampuan petugas pemberi pelayanan dengan fungsi atau tugas yang dijalankan. Peningkatan kompetensi petugas pelayanan dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan kepada para petugas untuk meningkatkan kemampuan sesuai dengan perkembangan tugas atau perubahan tugas yang dijalankan.

e) Kesopanan (Courtessy)

Tercermin melalui sikap atau perilaku ramah, bersahabat serta tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan


(47)

pribadi. Pengukuran indikator kesopanan ini dapat diamati melalui sikap petugas pelayanan, serta sejauh mana petugas mampu membangun komunikasi dan hubungan yang baik dengan penerima pelayanan.

f) Kredibilitas (Credibility)

Kredibilitas tercermin melaui sikap yang jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat. Kredibilitas erat kaitannya dengan reputasi dari kantor atau lembaga pemberi pelayanan. Selain itu, kesesuaian biaya yang dibayarkan oleh konsumen dengan output atau jasa yang diperoleh dapat juga dijadikan sebagai tolak ukur indikator kredibiltas.

g) Keamanan (Security)

Jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai bahaya dan resiko. Secara prosedural, lembaga pemberi pelayanan haruslah menjamin keamanan dan keselamatan konsumen selama menerima pelayanan.

h) Akses (Acces)

Akses dalam hal ini merupakan kemudahan untuk membangun komunikasi dan untuk mengadakan kontak serta pendekatan. Kemudahan konsumen dalam mendapatkan informasi pelayanan merupakan standar penilaian dari indikator akses ini.

i) Komunikasi (communication)

Komunikasi diperoleh melalui kemudahan akses, artinya terdapat kemauan pemberi pelayanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau


(48)

aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat.

j) Pengertian (understanding the customer)

Pengertian kepada konsumen dimaksudkan untuk mengetahui kebutuhan palanggan. Indikator pengertian tercermin pada ketanggapan penyedia pelayanan terhadap kebutuhan konsumen.

3. Standar Pelayanan Minimal RSUD

Setiap penyelenggara pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakuan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati olh pemberi atau penerima pelayanan. Berdasarkan Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2004 standar pelayanan (Ratminto, 2012:272) sekurang-kurangnya meliputi:

a) Prosedur Pelayanan

Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan.

b) Waktu penyelesaian

Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan pengelesaian pelayanan termasuk pengaduan.

c) Biaya pelayanan

Biaya atau tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan.

d) Produk pelayanan

Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

e) Sarana dan prasarana

Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggara pelayanan publik.


(49)

f) Kompetensi petugas pemberi pelayanan

Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, ketrampilan, sikap dan perilaku yang dibutuhkan.

Standar Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah atau yang kemudian disingkat SPM RSUD diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 228/MENKES/Sk III/2002. Dalam Keputusan Menteri itu diputuskan bahwa:

a) Standar pelayanan Rumah Sakit Daerah adalah penyelenggaraan pelayanan manajemen rumah sakit, pelayanan medis, pelayanan penunjang dan pelayanan keperawatan baik rawat inap maupun rawat jalan yang minimal harus diselenggarakan oleh rumah sakit.

b) Indikator, indikator merupakan variabel ukuran atau tolak ukur yang dapat menunjukkan indikasi-indikasi terjadinya perubahan tertentu. Untuk mengukur kinerja rumah sakit ada beberapa indikator, yaitu:

i. Input, yang dapat mengukur pada bahan alat sistem prosedur atau orang yang memberikan pelayanan misalnya jumlah dokter, kelengkapan alat, prosedur tetap dan lain-lain.

ii. Proses, yang dapat mengukur perubahan pada saat pelayanan yang misalnya kecepatan pelayanan, pelayanan dengan ramah dan lain-lain.

iii. Output, yang dapat menjadi tolak ukur pada hasil yang dicapai, misalnya jumlah yang dilayani, jumlah pasien yang dioperasi dan kebersihan ruangan.

iv. Outcome, yang menjadi tolak ukur dan merupakan dampak dari hasil pelayanan sebagai misalnya keluhan pasien yang merasa tidak puas terhadap pelayanan dan lain-lain.

v. Benefit, adalah tolak ukur dari keuntungan yang diperoleh oleh pihak rumah sakit maupun penerima pelayanan atau pasien misal biaya pelayanan yang lebih murah, peningkatan pendapatan rumah sakit.

c) Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai patokan dalam melakukan kegiatan. Standar ini dapat ditentukam berdasarkan kesepakatan Provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan evidence base.

d) Bahwa rumah sakit sesuai dengan kewenangan wajib yang harus dilaksanakan oleh Rumah Sakit Provinsi/Kabupaten/Kota, maka harus memberikan pelayanan untuk keluarga miskin dengan biaya ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

e) Secara khusus selain pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat wilayah setempat maka rumah sakit juga harus meningkatkan manajemen dalam rumah sakit yang meliputi:


(50)

a) Manajemen sumber daya manusia b) Manajemen keuangan

c) Manajemen sistem informasi rumah sakit, ke dalam dan ke luar rumah sakit

d) Sarana dan prasarana e) Mutu pelayanan

C. HIV/AIDS

Acquired Immune Deficiency Syndrome atau AIDS (Harahap, 2000:15) merupakan kumpulan gejala-gejala penyakit yang diidap seseorang yang sudah terinfeksi HIV (Human Immunodeficincy Syndrome). Jika diartikan dalam Bahasa Indonesia makan AIDS berarti “sindrom cacat kekebalan tubuh dapatan”. Jadi, AIDS bukan merupakan sebuah penyakit keturunan tetapi cacat karena sistem kekebalan tubuh dirusak setelah seseorang terinfeksi virus HIV.

Virus HIV berbeda dari virus-virus lainnya. HIV mampu memproduksi selnya sendiri dalam aliran darah manusia, yaitu pada sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih yang biasanya melawan bila diserang virus, tidak akan melawan HIV. Sel-sel darah putih justru bersahabat dengan HIV, tetapi kemudian HIV akan memproduksi sel-sel sendiri dan merusak sel-sel darah putih. Hal ini bisa terjadi oleh karena HIV merupakan sejenis retrovirus yaitu virus yang dapat berkembang biak dalam darah manusia. Karena virus HIV merusak sel-sel darah putih, sehingga lama kelamaan sistem kekebalan tubuh manusia pun akan rusak. Pada saat itulah berbagai penyakit yang dibawa virus, kuman dan bakteri sangat mudah menyerang seseorang yang sudah terinfeksi virus HIV.


(51)

Penyebutan AIDS hanyalah istilah yang menunjukkan kondisi tubuh manusia yang sudah terinfeksi virus HIV. Sesungguhnya, HIV/AIDS bukanlah sebuah penyakit (disease) tetapi merupakan suatu kumpulan dari 70 kondisi lebih yang dapat terjadi pada diri seseorang yang sudah terinfeksi HIV. Dengan kata lain, lebih tepat kalai AIDS disebut sebagai sindroma yang merupakan kumpulan gejala-gejala berbagai penyakit dan infeksi (AIDS and Third Worls, 1988:1). HIV (Harahap, 2000:17) yang diidentifikasi sebagai penyebab AIDS disetujui secara internasional sebagai terminologi yang sebelumnya dikenal sebagai HTLV-III (Human T Lymphotropic Virus) di Amerika Serikat dan LAV (Lymphadenopathy Associated Virus) di Perancis.

Orang yang terinfeksi virus HIV (Harahap, 2000:17) disebutkan dalam Bahasa Inggris PLWA (People Living with AIDS) sedangkan yang baru tahap terinfeksi dan orang di sekitarnya disebut PLWHA (People Living with HIV/AIDS). Di Indonesia masing-masing kategori ini diberi nama Odha (Orang dengan HIV/AIDS) dan Ohida (Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS), yaitu Odha sendiri, keluarga serta lingkungannya. Tetapi, belakangan ini kemudian disepakati untuk hanya memakai istilah Odha. Istilah Odha tersebut diperkenalkan oleh Prof. Dr. Anton M. Moeliono. Istilah tersebut dinilai lebih netral dan dinamis daripada menyebut penderita, pengidap, korban dan lain-lain.

Sebutan AIDS merupakan suatu kondisi di mana seseorang sudah terjangkit virus HIV. Bisa dikatakan bahwa AIDS bukan sebuah penyakit, maka AIDS tidak akan


(52)

menular tetapi yang menular ialah virus HIV. Virus yang menyebabkan tubuh mencapai masa AIDS. Tidak ada gejala khusus jika seseorang sudah terinfeksi HIV. Dengan kata lain, orang-orang yang mengidap HIV tidak bisa dikenali melalui diagnosis gejala tertentu. Selain itu, orang yang terinfeksi HIV hanya bisa diketahui melalui tes HIV. Memakan waktu hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun bagi seseorang yang sudah terinfeksi dapat bertahan tanpa menunjukkan gejala-gejala klinis yang khas. Gejala klinis baru akan tampak pada tahap AIDS, tetapi meskipun tandap adanya gejala-gejal klinis, seseorang yang sudah positif tertular HIV dapat menularkan virus ini kepada orang lain melalui cara-cara dan dalam kondisi yang sangat spesifik.

Ada empat cara penularan HIV (Harahap, 2000:21-22), yaitu:

a. Melalui hubungan seksual dengan seorang pengidap HIV tanpa mengundangan pelindung. Dalam kasus ini tidak menggunakan kondom, seorang pengidap HIV bisa menularkan virus ini, karena saat berhubungan seksual sering terjadi lecet-lecet yang ukurannya mikroskopis (hanya dapat dilihat dengan mikroskop) pada dinding vagina, kulit penis, dubur dan mulut yang bisa menjadi jalan bagi HIV untuk masuk ke aliran darah pasangannya. b. HIV juga dapat menular melalui transfusi dengan darah yang sudah tercemar

menular melalui transfuse dengan darah yang sudah tercemar.

c. Seorang ibu yang mengidap HIV bisa juga menularkannya kepada bayi yang dikandungnya. Itu tidak HIV/AIDS merupakan penyakit keturunan, karena penyakit keturunan berada di gen-gen manusia, sedangkan HIV menular saat


(53)

darah atau cairan vagina ibu membuat kontak dengan darah atau cairan anaknya. Ternyata HIV tidakmenular melalui air ketuban atau bahan tumbuh yang diterima bayi dari ibunya melalui pusar selama di kandungan. Saat kritis bagi penularan HIV adalah pada saat proses melahirkan.

d. Melalui transfusi darah/produk darah yang sudah tercemar HIV. Lewat pemakaian alat suntik yang sudah tercemar HIV, yang dipakai bergantian tanpa disterilkan, terutama terjadi pada pemakaian bersama alat suntik di kalangan pengguna narkoba suntik (penasun).

HIV sangat mudah mati apabila berada di luar tubuh manusia, bahkan dalam suhu 60o C virus HIV ini dapat mati bila berada di laur tubuh manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa HIV merupakan virus yang bersifat parasitisme yang harus menempel pada suatu makhluk hidup untuk berkembang dan memproduksi sel-sel baru sendiri. Jadi, proses penularan virus HIV tidaklah semudah penularan virus influenza yang dapat menular melalui udara.

Gejala-gejala AIDS baru bisa dilihat pada seseorang yang tertular HIV sesudah masa inkubasi, yang biasanya berlangsung antara 5-7 tahun setelah terinfeksi. Selama masa inkubasi jumlah HIV dalam darah akan terus bertambah sedangkan jumlah sel-T semakin berkurang. Kekebalan tubuh pun semakin rusak jika jumlah sel-T kian sedikit. Masa inkubasi terdiri dari berbagai tahap. Tenggang waktu pertama setelah HIV masuk ke dalam aliran darah, disebut masa jendela atau window period. Tenggang waktu berkisar antara 1-6 bulan. Pada rentang waktu ini tes HIV akan menunjukkan hasil yang negatif. Hal ini terjadi karena tes yang


(54)

mendeteksi antibodi HIV belum dapat menemukannya pada masa jendela, sehingga hasil negative bisa berarti negatif palsu karena orang bersangkutan sebenarnya sudah terinfeksi. Yang pasti, walaupun seseorang yang terinfeksi HIV baru pada masa jendela, tetap saja dia dapat ,menularkan HIV kepada orang lain (Harahap, 2000:28).

D. Program Pelayanan Kesehatan pada Penderita HIV/AIDS

1. Pelayanan Dukungan dan Pengobatan (PDP)

Pengobatan terhadap para penderita dengan status HIV postif akan berlangsung selama seumur hidup. Pengobatan ini dinamakan Terapi Antiretroviral (ARV). Pada tahun 2004, Pemerintah Indonesia sesuai dengan anjuran WHO untuk dapat menyediakan layanan ARV bagi semua lapisan masyarakat yang membutuhkan dan memberikan subsidi penuh kepada masyarakat sehingga masyarakat yang membutuhkan obat ini dapat memperolehnya dengan gratis.

Kemudian lahirlah program pelayan kesehatan untuk penderita HIV/AIDS yang dinamankan PDP. PDP merupakan singkatan dari Pelayanan, Dukungan dan Pengobatan (Care Support and Treatment) yang merupakan suatu layanan terpadu dan berkesinambungan untuk memberikan dukungan baik dari aspek manajerial, medis, psikologis, maupun sosial untuk mengurangi atau menyelesaikan permasalahan yang dihadapi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) selama masa perawatan dan pengobatan.


(55)

Permasalahan medis yang seringkali dihadapi oleh para ODHA ialah dapat berupa infeksi oportunistik, gejala simtomatik yang berhubungan dengan AIDS, ko-infeksi, sindrom pemulihan kekebalan tubuh serta efek samping dan interaksi obat ARV. Sedangkan masalah psikologis yang mungkin timbul berkaitan dengan infeksi HIV/AIDS adalah depresi, ansietas, gangguan kognitif serta gangguan kepribadian sampai psikosis. Masalah sosial yang dapat timbul pada HIV/AIDS adalah diskriminasi, pengucilan atau stigmatisasi, pemberhentian dari pekerjaan, perceraian serta beban financial yang harus ditanggung ODHA. Masalah psikologis dan sosioekonomi tersebut sering kali tidak saja dihadapi oleh ODHA itu sendiri namun juga oleh keluarga dan kerabat dekatnya. (http://www.spiritia.or.id/Dok/ppj07.pdf , diakses pada 20 Maret 2014)

Pengobatan HIV memiliki keunikan tersendiri, misalnya:

a) Terapi antiretroviral merupakan pengobatan seumur hidup dan memerlukan pendekatan perawatan kronik

b) Tuntutan akan kepatuhan (adherence) pada pengobatan ARV yang sangat tinggi (95%) guna menghindari resistansi dari virus dan kegagalan terapi c) Layanan terapi ARV akan meningkatkan kebutuhan akan layanan

konseling dan tes HIV, namun juga akan meningkatkan kegiatan pencegahan dan meningkatkan peran ODHA

2. Unsur-unsur Pelayanan PDP

a) Pemberdayaan dan koordinasi para pelaksana di lapangan serta pihak terkait, termasuk para ODHA, yang meliputi:


(56)

- Layanan kesehatan masyarakat dan layanan klinik (termasuk perawatan TB, KIA, IMS, KB dan kegiatan pencegahan HIV), ODHA, pejabat setempat, organisasi masyarakat setempat, organisasi keagamaan, dan LSM perlu diberdayakan dan dikoordinasikan

- Pengembangan sistem rujukan berjenjang ataupun antar layanan setingkat yang memungkinkan ODHA untuk menjangkau layanan perawatan dan pengobatan serta tata laksana perawatan kronis secara berkesinambungan - Perlu adanya pengembangan dan peningkatan kelompok dukungan sebaya

bagi pada ODHA

- Keikutsertaan ODHA dalam proses perencanaan, penerapan pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi layanan kesehatan, perawatan dan pengobatan b) Konseling dan Testing

Jika masyarakat ingin mengetahui apakah dirinya terinfeksi viru HIV atau tidak maka dapat memeriksakan dirinya pada layanan konseling dan tes HIV secara sukarela (Voluntary Conseling and Testing). Pelayanan konseling tersebut bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman mengenai HIV/AIDS, mengurangi rasa takut serta mengetahui berbagai dukungan yang mungkin diperlukan. Kegiatan pelayanan ini membutuhkan tenaga konselor yang terlatih serta pemeriksaan laboratorium yang akurat. Beberapa prinsip pelaksanaan konseling dan tes HIV tersebut meliputi: - Konseling dan tes HIV harus dilaksanakan atas dasar sukarela dari klien

sebagai gerbang untuk menjangkau layanan pengobatan dan perawatan kesehatan serta pencegahan

- Tes HIV harus disertai konseling pra dan pasca tes - Kerahasiaan harus dijaga dan dijamin

c) Tatalaksana dan Perawatan Klinik

Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu dilakukan perawatan klinik yang disertai dengan dukungan dan pengobatan PDP. Seseorang yang telah mengetahui dirinya tertular HIV atau sudah menderita infeksi oportunistik


(57)

tidak boleh dibiarkan terlantar dan tidak mendapatkan pertolongan. PDP diharapkan akan mendapat memulihkan keadaan fisik, psikologis dan sosial mereka yang terinfeksi HIV.

Tatalaksana perawatan kronis meliputi:

- Tatalaksana perawatan kronis berpusat pada kepentingan pasien dan keluarganya, dengan kunjungan klinik dan tindak lanjut yang terencana secara teratur.

Perawatan klinik meliputi:

- Pengobatan profilaksis untuk infeksi oportunistik - Tatalaksana terapi ARV

- Dukungan untuk kepatuhan berobat

- Tatalaksana gejala dan nyeri dalam perawatan paliatif

Pintu masuk layanan klinik dimulai sejak seorang pasien datang untuk mendapatkan layanan tes HIV dengan konseling di klinik KTS (Konseling Tes Sukarela) atau tes yang ditawarkan oleh petugas kesehatan di berbagai titik layanan seperti:

- Datang sendiri (Self-Referral)

- Pasien Rawat Jalan (Outpatinet Clinic) - Pasien Rawat Inap (Inpatient Wards) - Lapas (Prisons and Closed Settings) - Layanan transfusi (Transfusion Service) - Layanan kesehatan swasta (Private Provides)

- Layanan kesehatan perusahaan (Company Health Care) - Petugas penjangkau (Outreach)

- Keluarga (Family)

- Organisasi masyarakat atau Ormas atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan Pengobatan Tradisional (Traditional Care)

PDP HIV meliputi perawatan akut dan perawatan kronik, dimulai sejak pasien setuju untuk mengikuti program perawatan. Alur pasien ketika mereka menyatakan setuju untuk mengikuti program perawatan kronis adalah sebagai berikut:


(58)

- Triase

- Pendidikan dan dukungan - Penilaian

- Tinjauan status kehamilan dan KB pada seluruh pasien ODHA wanita pada tiap lingkungan

- Menyediakan layanan teknis

- Memberikan profilaksis jika diperlukan - Terapi ARV

- Manajemen problem kronis - Penjadwalan kunjungan - Pencegahan bagi ODHA

Gambar 1. Unsur Pokok PDP untuk HIV/AIDS Sumber: Pedoman Pengembangan Jejaring Layanan PDP Pemberdayaan dan koordinasi para pelaku utama/ODHA

-pelaku utama;layanan kesehatan masyarakat dan layanan klinik (klinik TB,KIA,IMS,KB dan kegiatan pencegahan HIV), ODHA, pejabat setempat, ormas setempat, organisasi keagamaan dan LSM

-rujukan antar layanan kesehatan yang setingkat atau berjenjang untuk menjamin kesinambungan perawatan

-pengemabngan mekanisme dukungan sebaya bagi ODHA

Konseling dan tes sukarela

- Konseling dan edukasi pra-tes - HIV

- konseling pasca-tes

Perawatan Kronik

-Tatalaksana IO termasuk TB -Terapi ARV dan dukungan kepatuhannya

Perawatan paliatif tatalaksana keluhan nyeri

Dukungan psikososial dan sosioekonomi

-konseling HIV dan dukungan spiritual

-perawatan akhir hayat

-dukungan kesejahteraan sosial dan bantuan hukum

-dukungan gizi dan gaya hidup sehat -pengurangan stigma dan diskriminasi

Pencegahan HIV

-perilaku sex yang lebih aman -pengurangan dampak buruk

-kewaspadaan universal dan profilaksis pasca pajanan

Pencegahan penularan dari ibu ke anak

- Memperpanjang hidup berkualitas melalui kepatuhan terapi ARV yang optimal


(59)

E. Kerangka Pikir

Kerangka pikir (dalam Subyantoro, 2007:31) yaitu hasil dari proses mengalirkan jalan pikiran menurut kerangka yang logis dan menurut “logical construct”. Hal ini bersumber dari identifikasi masalah yang diteliti dalam kerangka teoritis yang relevan dan mampu menangkap, menerangkan serta menujukkan perspektif terhadap masalah dalam penelitian. Pembuatan kerangka pikir ini bertujuan untuk menjawab atau menerangkan pertanyaan penelitian yang telah diidentifikasi. Kerangka pikir dibuat dengan menganalisis masalah dari fenomena yang ada kemudian mengkajinya dengan teori(dalil/hukum/kaidah) yang relevan dengan masalah dalam penelitian.

Pelayanan publik adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai penyelenggara Negara tehadap sejumpah manusia yang memiliki kegiatan yang menguntungkan dalam suatau kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Pelayanan publik dilakukan dengan pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang memiliki kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara pelaksanaannya yang telah ditetapkan.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan instrument sebagai indikator guna mengukur pelayanan publik yang dikembangkan oleh Zeithaml et.al yang dikenal sebagai SERVQUAL atau kualitas pelayanan (Ratminto, 2012:182-183), terdapat sepuluh indikator kinerja pelayan, yakni:


(60)

a) Ketampakan fisik (tangible)

Terlihat dalam fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi. Ketampakan fisik dalam hal ini ketersediaan fasilitas yang berbentuk fisik di tempat pelayanan. Fasilitas yang berbentuk fisik tersebut ditujukan untuk meningkatkan kepuasan bagi pada penerima pelayanan. Selain itu juga untuk mempermudah proses pelayanan sehingga akan tercapai prinsip efektif dan efisien dalam penyelenggaraan pelayanan publik tersebut.

b) Reliabilitas (reliability)

Terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat. Unit pelayanan tersebut termasuk di dalamnya ialah para petugas pemberi pelayanan. Sejauh mana unit pelayanan mampu memberikan pelayanan/informasi sesuai yang dibutuhkan oleh konsumen.

c) Responsivitas (responsiveness)

Responsivitas yakni kemampuan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap mutu layanan yang diberikan. Responsivitas meliputi pemberian respon oleh pemberi pelayanan ketika menerima kritik atau saran dari konsumen. Kemudian, dapat dilihat ketika pemberi pelayanan mampu memberikan penyelesaian dari kritik tersebut secara tepat.

d) Kompetensi (Competence)

Tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan ketrampilan yang baik oleh aparatur dalam meberikan pelayanan. Kompetensi dalam konteks ini ialah


(61)

kesesuaian antara kemampuan petugas pemberi pelayanan dengan fungsi atau tugas yang dijalankan. Peningkatan kompetensi petugas pelayanan dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan kepada para petugas untuk meningkatkan kemampuan sesuai dengan perkembangan tugas atau perubahan tugas yang dijalankan.

e) Kesopanan (Courtessy)

Tercermin melalui sikap atau perilaku ramah, bersahabat serta tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi. Pengukuran indikator kesopanan ini dapat diamati melalui sikap petugas pelayanan, serta sejauh mana petugas mampu membangun komunikasi dan hubungan yang baik dengan penerima pelayanan.

f) Kredibilitas (Credibility)

Kredibilitas tercermin melaui sikap yang jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat. Kredibilitas erat kaitannya dengan reputasi dari kantor atau lembaga pemberi pelayanan. Selain itu, kesesuaian biaya yang dibayarkan oleh konsumen dengan output atau jasa yang diperoleh dapat juga dijadikan sebagai tolak ukur indikator kredibiltas.

g) Keamanan (Security)

Jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai bahaya dan resiko. Secara prosedural, lembaga pemberi pelayanan haruslah menjamin keamanan dan keselamatan konsumen selama menerima pelayanan.


(62)

h) Akses (Access)

Akses dalam hal ini merupakan kemudahan untuk membangun komunikasi dan untuk mengadakan kontak serta pendekatan. Kemudahan konsumen dalam mendapatkan informasi pelayanan merupakan standar penilaian dari indikator akses ini.

i) Komunikasi (communication)

Komunikasi diperoleh melalui kemudahan akses, artinya terdapat kemauan pemberi pelayanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat.

j) Pengertian (understanding the customer)

Pengertian kepada konsumen dimaksudkan untuk mengetahui kebutuhan palanggan. Indikator pengertian tercermin pada ketanggapan penyedia pelayanan terhadap kebutuhan konsumen.

Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan dapat mengetahui kualitas pelayanan kesehatan pada penderita HIV/AIDS (studi di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung). Berdasarkan uraian tersebut, maka gambar kerangka pikir dapat dilihat pada bagan berikut ini:


(63)

Gambar 2. Kerangka Pikir Kualitas Pelayanan

Kesehatan

Penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Abdul Moeloek B.Lampung Dimensi-dimensi pelayanan kesehatan oleh Zeithaml et.al:

a) Ketampakan fisik (tangible) b) Reliabilitas (reliability)

dijanjikan dengan tepat. c) Responsivitas (responsiveness) d) Kompetensi (Competence) e) Kesopanan (Courtessy) f) Kredibilitas (Credibility) g) Keamanan (Security) h) Akses (Acces)

i) Komunikasi (communication)


(64)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk melukiskan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala dan sebagainya yang merupakan obyek penelitian. Dengan kata lain, penelitian ini ditujukan untuk memecahkan masalah. Pelaksanaannya tidak terbatas kepada pengumpulan data saja, melainkan juga meliputi analisis dan interpretasi dari data itu. Kelebihan penelitian kualitatif menurut Alwasilah (Jauhari, 2010:36) adalah mempunyai fleksibilitas yang tinggi bagi peneliti ketika menentukan langkah-langkah penelitian. Dengan demikian, penelitian ini berusaha menuturkan, menganalisis, mengklarifikasi, memperbandingkan dan sebagainya sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat deduktif yang disebut hipotesis.

Metode deskriptif (Jauhari, 2012:48) adalah metode yang menggambarkan sebuah peristiwa, benda dan keadaan dengan sejelas-jelasnya tanpa mempengaruhi objek yang ditelitinya. Alasan peneliti menggunakan tipe penelitian deskriptif ialah karena sifat dari penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan suatu


(65)

keadaan di mana dalam konteks penelitian ini keadaan yang hendak digambarkan ialah mengenai kualitas pelayanan yang diberikan oleh suatu instansi pemerintah kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan. Selain itu pelaksanaan dari penelitian ini tidak hanya sekedar mengumpulkan data semata, tetapi juga menganalisis, mengamati suatu fenomena atau peristiwa secara terperinci sehingga dapat menginterpretasikan data-data yang diperoleh di lapangan. Metode kualitatif digunakan dengan alasan agar lebih mudah disesuaikan apabila dihadapkan dengan kenyataan ganda, selain itu metode kualitatif membangun hubungan langsung antara peneliti dengan informan.

Pada umumnya penelitian deskriptif menggunakan survey sebagai metode pengumpulan data. Adapun ciri-cirinya sebagai berikut:

1) Informasi yang diperoleh dari sekumpulan orang-orang

2) Informasi yang diperoleh dari sekumpulan orang tersebut merupakan sampel, dan

3) Informasi diperoleh melalui bertanya dengan beberapa pertanyaan.

Berdasarkan tema yang diajukan maka dapat didefinisikan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan bagaimana kualitas pelayanan kesehatan pada penderita HIV/AIDS dengan studi yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Bandar Lampung, tepatnya pada Klinik Voluntary Conseling and Testing (VCT). Penelitian dengan menggunakan metode deksriptif ini dilakukan guna memberikan gambaran yang secaa terperinci


(1)

105

yang dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, terdapat ketidaksesuaian keterampilan petugas farmasi dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki.

Berdasarkan konsep kualitas yang kemudian dikaitkan dengan pelayanan, pelayanan yang berkualitas adalah pemberian pelayanan yang melebihi standar serta memenuhi atau bahkan melampaui harapan penerima pelayanan, maka pemberian pelayanan di Klinik VCT Kanca Sehati Rumah Sakit Abdul Moeleok ini belum dapat dikatakan berkualitas. Pelayanan dapat dikatakan berkualitas apabila kesepuluh indikator tersebut telah terpenuhi bahkan melampaui harapan sehingga mampu memberikan kepuasan kepada pasien sebagai penerima pelayanan.

Lebih lanjut, hasil analisis penulis berdasarkan tujuh prinsip Paradigma New Public Service, terdapat dua prinsip yang tidak terpenuhi. Kedua prinsip tersebut ialah kemampuan untuk berpikir strategis dan bertindak demokratis yang masih belum terpenuhi, Hal tersebut tercermin pada tidak tersedianya kotak saran sebagai sarana penyampai pesan yang paling objektif dan tidak adanya pengembangan program-program inovatif guna memperbaiki kualitas pelayanan seperti penyuluhan dan sosialisai. Selain itu, keengganan petugas untuk menyampaikan informasi kepada publik berupa dokumen aset kepemilikan fasilitas klinik, padahal hal tersebut diatur dalam UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.


(2)

106

Selajutnya ialah prinsip memenuhi kepentingan publik. Kenyataan yang penulis dapatkan di lapangan, klinik VCT Kanca Sehati belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan pasien, hal ini tercermin dari ketidaktersediaannya dokter jaga yang sangat dibutuhkan oleh para pasien. Meskipun sudah seringkali keluhan ini disampaikan, namun belum ada solusi terbaik yang dilakukan oleh pihak manajemen rumah sakit maupun pihak klinik itu sendiri.

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis paparkan, maka penulis memberikan beberapa saran terkait dengan kegiatan pemberian pelayanan pada penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Abdul Moeloek khususnya di Klinik VCT Kanca Sehati. Adapun saran-saran tersebut antara lain:

1. Menanggapi keluhan dari pasien mengenai tidak tersedianya dokter jaga di klinik ini, seharusnya pihak klinik mengajukan permohonan kepada pihak manajemen rumah sakit untuk menyediakan dokter jaga yang sangat dibutuhkan oleh pasien di klinik ini. Sehingga, kebutuhan pasien akan pengobatan yang dilakukan akan terpenuhi dan tercapai pulalah kepuasan pasien.

2. Keterbatasan sarana dan prasarana yang tersedia yang juga meliputi ketersediaan sumber daya manusia yang ada, maka secara otomatis akan mempengaruhi kualitas pemberian pelayanan. Hal tersebut, kemudian


(3)

107

berpengaruh pada adanya kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan dengan pelayanan yang didapatkan di lapangan.

3. Tidak ada yang salah dengan keberadaan kotak saran terutama pada tempat pemberian jasa pelayanan. Pada dasarnya kotak saran tersebut akan berisi materi-materi yang berguna untuk memperbaiki mutu pelayanan klinik tersebut. Keberadaan kotak saran akan menciptakan penyampaian keluhan yang lebih objektif dan jujur sehingga pihak klinik maupun rumah sakit dapat dengan bijak menyelesaikan keluhan-keluhan yang disampaikan.

4. Berkaitan dengan ketidaksesuaian keterampilan petugas dengan pekerjaan yang dilakukan, maka sebaiknya pihak rumah sakit mendelegasikan petugas sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Jika permasalahnnya ialah mengenai keterbatasan sumber daya manusia, maka hal tersebut bisa saja dikordinasikan dengan pihak-pihak terkait seperti misalnya Dinas Kesehatan Provinsi maupun Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

5. Kemudian, penulis menyanyangkan adanya sikap yang kurang transparan dari petugas klinik ketika penulis hendak mengkonfirmasi kesesuaian data yang didapat di lapangan dengan dokumen yang tercatat milik Klinik VCT Kanca Sehati. Pada dasarnya penelitian ini bersifat objektif dan independen, guna menilai kualitas pelayanan yang diberikan. Seharusnya petugas lebih kooperatif dalam membantu penulis melakukan penelitian, karena pada akhirnya hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan yang positif sebagai bahan perbaikan kepada pihak manajemen rumah sakit.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Asrul, MPH. 1996.Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa Aksara. Jakarta

Bungin, Burhan. 2011.Metode Penelitian Kualitatif. Rajawali Pers. Jakarta

Harahap. Syaiuful W. 2000.Pers Meliput AIDS. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Hardiansyah. 2011.Kualitas Pelayanan Publik. Gava Media. Yogyakarta

Idrus, Muhammad. 2007.Metode Penelitian Ilmu Sosial. Erlangga. Jakarta

Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Bebrbasi Dynamic Policy Analysis.Gava Media. Yogyakarta

Ismail dkk. 2010. Menuju Pelayanan Prima: Konsep dan Strategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Averroes Press. Malang

Jauhari, Heri. 2010. Panduan Penulisan Skripsi Teori dan Aplikasi. CV. Pustaka Setia. Bandung

Lukman, Mediya, SE., M.Ec., Ph.D. 2013. Badan Layanan Umum: Dari Birokrasi Menuju Korporasi. PT. Bumi Aksara. Jakarta

Ratminto & Atik Septi Winarsih. 2006. Manajemen Pelayanan (Pengembangan model konseptual, penerapan citizens dan standar pelayanan). Pustaka Pelajar. Yogyakarta


(5)

Rosidi, Abidarin. 2013. Reinventing Government: Demokrasi dan Reformasi Pelayanan Publik. STIMIK AMIKOM. Yogyakarta

Sinambela, Lijan Poltak. 2008. Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan dan Implementasi. Bumi Aksara. Jakarta

Subyantoro, Arief & FX. Suwarto. 2007. Metode dan Teknik Penulisan Penelitian Sosial. CV. Andi Offset. Yogyakarta

Dokumen:

Keputusan MENPAN nomor 63/2003

Pedoman Pengembangan Jejaring Layanan PDP Depkes RI, 2007

Buku Pedoman Pelayanan Konseling dan testing HIV Secara Sukarela (VCT) Kemenkes RI, 2010

Jurnal:

Journal of The International AIDS Society, diterbitkan pada 13 November 2013 diunduh di http://www.jiasociety.org/index.php/jias/issue/view/1464 (1 Desember 2014)

E-Book:

Public Service Improvement: Theories and Evidence by Rachel E. Ashworth

Diunduh di http://www.freebookspot.es/Comments.aspx?Element_ID=455521 (31 Januari 2014)

Website:

http://www.aidsindonesia.com/2013/01/di-prov-lampung-kasus-hivaids-pada.html (17 Januari 2014)


(6)

http://harian-pelita.pelitaonline.com/cetak/2013/05/27/penderita-hivaids-masih-alami-diskriminasi-akibat-stigma-buruk#. (21 Februari 2014)

http://www.voaindonesia.com/content/penderita-hivaids-di-indonesia-masih-alami-diskriminasi-akses-kesehatan-129700543/98126.html (21 Februari 2014)