LIMFOSIT T CD4+ ≤200 SEL/µL SEBAGAI FAKTOR RISIKO GANGGUAN KOGNITIF PADA PENDERITA HIV PRA-ARV.

(1)

TESIS

LIMFOSIT T CD4

+

200 SEL/µL SEBAGAI FAKTOR

RISIKO GANGGUAN KOGNITIF PADA

PENDERITA HIV PRA-ARV

NI PUTU SUKARINI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

TESIS

LIMFOSIT T CD4

+

200 SEL/µL SEBAGAI FAKTOR

RISIKO GANGGUAN KOGNITIF PADA

PENDERITA HIV PRA-ARV

NI PUTU SUKARINI NIM 1114068102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

TESIS

LIMFOSIT T CD4

+

≤200 SEL/µL SEBAGAI FAKTOR

RISIKO GANGGUAN KOGNITIF PADA

PENDERITA HIV PRA-ARV

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI PUTU SUKARINI NIM 1114068102

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL: 1 MARET 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS (K) Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, SpS(K)

NIP. 195902151985102001 NIP 196304031988032003

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana


(5)

Dr.dr.GdeNgurah Indraguna Pinatih,MSc.Sp.GK Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, SpS(K)

NIP. 195805211985031002 NIP. 195902151985102001

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 1 Maret 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No :...Tertanggal :...

Ketua : Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, SpS(K)

Sekretaris : Dr. dr. A.A.A Putri Laksmidewi, SpS(K)

Anggota : 1. dr. A.A.B.N Nuartha, SpS(K)

2. dr I Made Oka Adnyana, SpS(K)


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya akhir sebagai persyaratan mendapatkan tanda keahlian di bidang neurologi.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berperan sehingga penulis dapat menempuh Pendidikan Dokter Spesialis I sampai tersusunnya karya akhir ini.

Kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku pembimbing dan direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala perhatian, bimbingan, didikan, bantuan, dorongan, petunjuk serta kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan dan penyusunan karya akhir ini.

Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K) selaku pembimbing dan plt. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi FK UNUD, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala perhatian, bimbingan, didikan, bantuan, dorongan, petunjuk, serta kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan serta penyusunan karya akhir ini.

Terima kasih kepada dr. A.A.B.N. Nuartha, SpS(K) selaku Kepala Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan keahlian.

Kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD (KEMD), dan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Astawa, SpOT(K), M.Kes, atas ijin, kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I FK UNUD/RSUP Sanglah.

Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes, Direktur RSUP Sanglah Denpasar atas ijin yang diberikan penulis untuk mengikuti pendidikan dokter spesialis neurologi di RSUP Sanglah Denpasar.

Kepada seluruh supervisor di Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah, Dr. dr. DPG. Purwa Samatra, Sp.S(K), Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), FAAN, dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), dr. I G.N. Purna Putra, Sp.S(K), dr. I G.N. Budiarsa, Sp.S, Dr. dr. Anna Marita Gelgel, Sp.S(K), dr. A.A.A. Meidiary, Sp.S, dr. I.B. Kusuma Putra, Sp.S, dr. Komang Arimbawa, Sp.S, dr Desak Ketut Indrasari Utami, Sp.S, dr. I Putu Eka Widyadharma, M.Sc, Sp.S(K), dr. Kumara Tini, Sp.S, FINS, dr. Ketut Widyastuti, Sp.S, dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S, dr. I.A. Sri Indrayani, Sp.S, dr. Ni Putu Witari, Sp.S, dr. I.G.A.M. Riantarini, Sp.S, dr. A.A.A. Suryapraba, M.Sc, Sp.S, dr. Desie Yuliani, Sp.S, dr. Sri Yenni Trisnawati GS, M. Biomed, Sp.S, dr. I Wayan Widyantara, M. Biomed, Sp.S, dr. I.A. Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp.S, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bimbingan dan saran selama saya mengikuti pendidikan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. I G.N Martin Widanta, M.Biomed, Sp.S, dr. Agus Antara, M.Biomed, Sp.S, dr. I Nyoman Darsana, M.Biomed, Sp.S, dr. Bhaskoro Adi Widie Nugroho, M.Biomed, Sp.S, dr. Hadi


(7)

Widjaja, M.Biomed, Sp.S, dr. Luh Kadek Trisna Lestari, dr. Ni Made Ayu Susilawati, dr. Made Rudy, dr. Priska Widiastuti, dr. Gracia Meliana Tanoyo, dr. Octavianus Darmawan, dr. Ni Nyoman Trisna Dewi, dr. Evlyne Erlyana Suryawijaya, dr. Ni Komang Dewi Mahayani khususnya serta teman sejawat lainnya, peserta PPDS I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah, atas kerjasama dan dorongan selama penulis mengikuti pendidikan dan membantu pelaksanaan penelitian ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada dr. Jeanne Rini Poespoprodjo, Sp.A, MSc, PhD, dr Made Yogi Prasetia, dr I Gusti Ngurah Adnyana, atas bantuan, bimbingan dan kerjasamanya selama pengumpulan sampel untuk penelitian ini.

Seluruh tenaga paramedis di poliklinik VCT RSUP Sanglah Denpasar, Puskesmas Ubud II dan Klinik Bali Medika atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis mengumpulkan sampel untuk penelitian ini.

Kepada keluarga besar penulis, ayahanda dan ibunda, ayah dan ibu mertua, kakak dan adik, terima kasih yang sebesar-besarnya atas pengertian, semangat dan dorongannya baik material maupun moral selama penulis mengikuti pendidikan ini, dan terakhir terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pasien dan keluarganya atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis mengikuti pendidikan dan melaksanakan penelitian ini.

Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga kepada suami tercinta I Gede Mirayasa, SH dan anak-anak tercinta Ni Kadek Verlita Gayatri dan Putu Marchia Gayatri atas segala pengorbanan, pengertian, kasih sayang, bantuan, dan doanya selama menjalani pendidikan.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan karunia-Nya bagi kita semua.

Denpasar, Februari 2016 Penulis


(8)

ABSTRAK

LIMFOSIT T CD4+ ≤200 SEL/µL SEBAGAI FAKTOR RISIKO GANGGUAN KOGNITIF PADA PENDERITA HIV PRA-ARV

Penderita human immunodiciency virus (HIV) telah diasosiasikan dengan kejadian gangguan kognitif. Limfosit T CD4+ yang rendah dikaitkan pula dengan perkembangan dan progresivitas komplikasi HIV. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah limfosit T CD4+ ≤ 200 sel/µl merupakan faktor risiko gangguan kognitif pada penderita HIV pra-ARV.

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol untuk mengetahui limfosit T CD4+ sebagai faktor risiko gangguan kognitif pada penderita HIV pra-ARV. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung.

Jumlah penderita HIV pra-ARV yang memenuhi kriteria inklusi untuk dilakukan pemeriksaan sebanyak 86 orang. Dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa limfosit T CD4+ berhubungan dengan kejadian gangguan kognitif pada penderita HIV pra-ARV. (OR=9,06; IK 95% 3,33-24,59; p˂0,001).

Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa limfosit T CD4+ adalah faktor risiko terjadinya gangguan kognitif pada penderita HIV pra-ARV.


(9)

ABSTRACT

LYMPHOCYTE T CD4+≤200 CELL/µL AS A RISK FACTOR FOR COGNITIVE IMPAIRMENT IN PRE-ARV HIV PATIENTS

HIV patients have been associated with the incidence of cognitive impairment. Low lymphocyte T CD4+ has also associated with the development and progression of HIV complications. The purpose of this study was to determine whether lymphocyte T CD4+ ≤200 cell/µl is a risk factor for cognitive impairment in pre-ARV HIV patients.

This study is a case-control study design to determine whether lymphocyte T CD4+ ≤ 200 cell/µl is a risk factor cognitive impairment in pre-ARV HIV patients. Bivariate analysis was used to test the independent and dependent variables.

The number of pre-ARV HIV patients who met the inclusion criteria was 86 people. The result of statistic analysis showed that there was a relationship between lymphocyte T CD4+ and cognitive impairment event in pre-ARV HIV patients (OR=9,06; 95% CI 3,33 to 24,59; p˂0,001).

Based on the result of this study, we concluded that lymphocyte T CD4+≤ 200 cell/µl are a risk factor of the occurrence of cognitive impairment event in pre-ARV HIV patients.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DEPAN... ... i

SAMPUL DALAM... ... ii

LEMBAR PENGESAHAN... iii

UCAPAN TERIMA KASIH... vii

ABSTRAK... ix

DAFTAR ISI... ... xi

DAFTAR GAMBAR... ... xiii

DAFTAR TABEL... ... xiv

DAFTAR SINGKATAN... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I PENDAHULUAN... ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 5

1.3 Tujuan Penelitian... 6

1.4 Manfaat Penelitian... 6

1.4.1 Manfaat ilmiah... 6

1.4.2 Manfaat praktis... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 HIV/AIDS... 7

2.1.1 Pengertian HIV/AIDS... 7

2.1.2 Struktur genomik HIV... 8

2.1.3 Perjalanan infeksi HIV... 10

2.2 Fungsi Kognitif pada HIV... 13

2.2.1 Pengertian fungsi kognitif... 13

2.2.2 Anatomi fungsi kognitif... 15

2.2.3 Faktor risiko terjadinya gangguan kognitif... 17

2.2.4 Manifestasi gangguan kognitif pada penderita HIV ... 21

2.2.5 Klasifikasi gangguan neurokognitif pada infeksi HIV 23

2.2.6 Patogenesis gangguan kognitif pada penderita HIV... 26

2.2.7 Pemeriksaan penunjang gangguan kognitif pada Penderita HIV... 28

2.2.8 Penilaian gangguan kognitif pada penderita HIV... 29

2.3 Limfosit T CD4+... 31

2.3.1 Hubungan limfosit T CD4+ dengan HIV... 31

2.3.2 Hubungan limfosit T CD4+ dengan gangguan kognitif pada penderita HIV... 32


(11)

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS

PENELITIAN... 34

3.1 Kerangka Berpikir... 34

3.2 Konsep Penelitian... 36

3.3 Hipotesis Penelitian... 37

BAB IV METODE PENELITIAN... 38

4.1 Rancangan Penelitian... 38

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian... 39

4.3 Ruang Lingkup Penelitian... 39

4.4 Populasi dan Sampel Penelitian... 39

4.4.1 Populasi target... 39

4.4.2 Populasi terjangkau... 39

4.4.3 Kriteria Sampel... 39

4.4.3.1 Kriteria inklusi... 40

4.4.3.2 Kriteria eksklusi... 40

4.4.4 Besar sampel... 41

4.4.5 Teknik pengambilan sampel... 41

4.5 Variabel Penelitian... 42

4.6 Definisi Operasional Variabel... 42

4.7 Alat Pengumpul Data... 44

4.8 Prosedur Penelitian... 45

4.9 Pengolahan dan Analisa Data... 47

BAB V HASIL PENELITIAN... 48

5.1 Karakteristik Subyek Penelitian... 48

5.2 Hubungan Limfosit T CD4+ dengan Gangguan Kognitif pada Penderita HIV pra-ARV... 51

5.3 Hubungan Faktor-faktor Lain yang Berpengaruh terhadap Kejadian Gangguan Kognitif pada Penderita HIV pra-ARV... 52

BAB VI PEMBAHASAN... 54

6.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian... 54

6.2 Hubungan antara Limfosit T CD4+ dengan Gangguan Kognitif pada Penderita HIV pra-ARV... 58

6.3 Hubungan Faktor-faktor Lain yang Berpengaruh terhadap Kejadian Gangguan Kognitif pada Penderita HIV pra-ARV... 61

6.4 Faktor Risiko Independen terhadap Gangguan Kognitif pada Penderita HIV pra-ARV... 62

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN... 64

7.1 Simpulan... 64

7.2 Saran... 64

DAFTAR PUSTAKA... 65


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Informasi Pasien... 73

Lampiran 2. Formulir Persetujuan Tertulis... 74

Lampiran 3. Kuesioner penelitian... 75

Lampiran 4. Pemeriksaan skrining MoCA-Ina... 77

Lampiran 5. Skala depresi Hamilton... 78

Lampiran 6. Data Subyek Penelitian... 81

Lampiran 7. Analisis Statistik... 84

Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian... 92


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Struktur Human Immunodeficiency Virus... 9

2.2 CD4, Viral load dan perjalanan HIV... 12

2.3 Cara virus HIV memasuki sel... 32

3.1 Kerangka berpikir... 35

3.2 Konsep penelitian... 36

4.1 Bagan rancangan penelitian... 38


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

5.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian... 49 5.2 Domain Fungsi Kognitif yang Terganggu pada Penderita

HIV pra-ARV ... 51 5.3 Analisis Bivariat Limfosit T CD4+ dengan Gangguan Kognitif

pada Penderita HIV pra-ARV... 52 5.4 Hubungan Faktor Lain yang Berpengaruh terhadap


(15)

DAFTAR SINGKATAN

AD : Alzheimer Disease

AIDS : Aquired Imunodeficiency Syndrome

ANI : Asymptomatic neurocognitive impairment

ARV : Antiretroviral

BMVECs : Brain Microvascular Endotelial Cells

CCR5 : C-C Chemokine Receptor 5

CD4 : Cluster of Differentiation 4

CI : Confidence Interval

CT : Computed Tomography

CXCR4 : C-X-C Chemokine Receptor Type 4

Ditjen PP dan PL : Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan PenyehatanLingkungan

DNA : Deoxyribonucleic acid

dsDNA : double-stranded Deoxyribonucleic acid

EAAs : Excitotoxic Amino Acids

Env : Envelope

Gag : Group Antigens

gp120 : Glycoprotein 120

gp41 : Glycoprotein 41

HAART : Highly Active Antiretroviral Therapy

HAD : HIV-Assosiated Dementia

HAND : HIV-Associated Neurocognitive Disorder

HIV : Human Immunodeficiency Virus

IDU : Injection Drug Use

LCS : Liquor Cerebrospinalis

LTR : Long Terminal Repeats

MCI : Mild Cognitive Impairment

MMSE : Mini Mental State Examination

MND : Mild Neurocognitive Disorder

MoCA : Montreal Cognitive Assessment

MoCA-Ina : Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia

MRI : Magnetic Resonance Imaging

NF-kB : Nuclear Factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells

NK : Natural Killer

NMDA : N-Methyl-D-Aspartate

NO : Nitric Oxide

OR : Odd Ratio

PAF : Platelet Activating Factor

Pol : Polimerase

PPDGJ-III : Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa-III

RI : Republik Indonesia


(16)

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

SD : Sekolah Dasar

SMA : Sekolah Menengah Atas

SMP : Sekolah Menengah Pertama

SSP : Sistem Saraf Pusat

TNF-α : Tumor Necrosis Factor α

VCT : Voluntary Counseling Test

Vpr : Viral Protein R

WHO : World Health Organization


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epidemi human imunnodeficiency virus (HIV) telah menjadi masalah global di seluruh dunia termasuk Indonesia. Epidemi tersebut telah menjadi masalah kesehatan dan perkembangan sosial yang utama. Gangguan kognitif tanpa disadari dapat terjadi pada orang dengan infeksi HIV.

Kasus HIV di Indonesia terus bertambah jumlahnya, menurut data ditjen PP dan PL Kemenkes RI jumlah penderita HIV di Indonesia yang dilaporkan dari 1 Januari sampai dengan 31 Maret 2014 adalah sebanyak 6.934 kasus, sedangkan secara kumulatif dari 1 April 1987 sampai dengan 31 Maret 2014 adalah 134.042 kasus dengan sebanyak 9.615 penderita meninggal. Berdasarkan jumlah kumulatif penderita HIV di Indonesia, provinsi Papua menduduki peringkat pertama yaitu sebesar 25.059 kasus, dan provinsi Bali di peringkat kelima dengan 12.618 kasus (Statistik HIV di Indonesia, 2014).

Komplikasi neurologi pada penderita HIV dapat mengenai susunan saraf pusat dan susunan saraf tepi. Komplikasi yang dapat mengenai susunan saraf pusat bermanifestasi sebagai demensia terkait HIV (7% dari penderita HIV) dengan gejala didapatkan gangguan kognitif, motorik, dan gangguan perilaku. Gangguan neurokognitif tersebut dikenal dengan HIV-associated neurocognitive disorder (HAND) berupa HIV-assosiated dementia (HAD) atau AIDS dementia complex, mild neurocognitive disorder (MND), dan asymptomatic neurocognitive


(18)

impairment (ANI). Perkembangan pengobatan HIV dengan menggunakan terapi

kombinasi antiretroviral (ARV) telah mengurangi insiden gangguan

neurokognitif tersebut dibandingkan sebelum era-ARV. Komplikasi gangguan neurokognitif juga terjadi pada penderita HIV asimptomatik. Gangguan kognitif pada penderita HIV dipengaruhi juga oleh obat antiretroviral, infeksi oportunistik, usia, merokok, pendidikan (Bartlett dan Gallant, 2007; Moore dkk, 2011).

Sistem imunitas pada penderita HIV berperan penting. Sistem imunitas tersebut berhubungan dengan sel limfosit. Jumlah limfosit total yang terdiri dari tiga tipe yang dapat diidentifikasi berdasarkan molekul permukaannya, yaitu sel limfosit B (23%), sel limfosit T (65%) dan NK sel (7%), jumlah limfosit total umumnya 20-40% dari jumlah leukosit atau sekitar 1500-2700/mm3. Limfosit T adalah sel yang berperan dalam sistem imun spesifik. Salah satu jenis sel-T adalah limfosit T CD4+, yang merupakan target dari HIV, yang jumlahnya sekitar

45-75% dari limfosit total (Rich dkk, 2008).

Limfosit T CD4+ telah diketahui berhubungan dengan gangguan kognitif.

Limfosit T CD4+ yang rendah meningkatkan HAD (HIV-associated dementia)

dengan OR:1,395; p=0,0005; CI 90%. (Valcour dkk, 2006). Skrining fungsi kognitif yang sering digunakan adalah Mini Mental State Examination (MMSE). Tes yang dapat juga dipakai adalah Montreal Cognitive Assesment (MoCA). Penelitian Nasreddin dkk, tes MoCA mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas


(19)

disebut MoCA-Ina telah diuji validitas dan reliabilitasnya untuk gangguan kognitif di RSCM Jakarta (Husein dkk, 2010).

Penelitian tentang gangguan kognitif pada penderita HIV pra-ARV dan dengan ARV didapatkan perbaikan fungsi kognitif pada penderita dengan ARV (Sacktor dkk, 2002). Penelitian lain melaporkan bahwa ARV menurunkan insiden gangguan kognitif pada penderita HIV sebesar 40-50% (McArthur, 2004). Plasma HIV DNA yang diisolasi dari monosit berkorelasi dengan kognitif tanpa melihat plasma HIV RNA dan kadar limfosit T CD4+ pada penderita HIV pra-ARV (p˂0,001) dan 48 minggu pasca ARV (Valcour VG, 2009). Penelitian lain tentang fungsi eksekutif, verbal fluency, memori, psikomotor didapatkan signifikan lebih baik pada penderita HIV dengan ARV dibandingkan dengan pra-ARV dengan nilai p<0,001 (Cohen dkk, 2001). Pada penderita HIV pra-ARV risiko mengalami gangguan atensi, memori, fungsi eksekutif, visuospasial dan psikomotor didapatkan meningkat dibandingkan penderita HIV dengan ARV dengan nilai p=0,03 (Richardson dkk, 2002). Suatu studi menyatakan bahwa usia tua, adanya gejala medis terkait HIV, kadar hemoglobin rendah, viral load tinggi, angka CD4 rendah dan cara penularan Injecting Drug User (IDU) meningkatkan risiko gangguan kognitif (Childs dkk, 1999). Depresi juga merupakan faktor risiko gangguan kognitif, sama halnya dengan jenis kelamin, hematokrit, hemoglobin dan kadar mikroglobulin-β2 (Stern dkk, 2001).

Suatu penelitian melaporkan bahwa penderita HIV (+) pra-ARV yang asimptomatik didapatkan gangguan kognitif ringan, tetapi gangguan domain


(20)

menunjukkan gangguan sedang, penderita dengan AIDS menunjukkan gangguan kognitif sedang dengan defisit dominan pada atensi, atensi komplek/kecepatan motorik, learning, koordinasi motorik dengan tambahan defisit pada memori verbal dan reasoning (Cysique dkk, 2006).

Hubungan jumlah limfosit total dengan gangguan kognitif pada penderita HIV dengan ARV menggunakan MOCA-Ina juga telah dilakukan di RSUP Dr Kariadi Semarang dan didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara jumlah limfosit total (p=0,027) dan limfosit T CD4+ (p=0,033) dengan gangguan kognitif menggunakan MOCA-Ina (Hartawan, 2011). Suatu penelitian tentang gangguan kognitif ringan dan sedang pada veteran dengan HIV positif yang telah mendapatkan ARV didapatkan abnormalitas MOCA yang signifikan dengan nilai p=0,007; CI=95% (Chartier dkk, 2014). Gangguan kognitif pada penderita HIV yang mendapat ARV menggunakan tes MOCA juga telah dilakukan di Houston dan didapatkan nilai p=0,003 (Hasbun dkk, 2012).

Hubungan antara gangguan kognitif dengan jumlah limfosit T CD4+ pada

penderita HIV dengan ARV telah dilakukan sebelumnya di RS Sanglah Denpasar dan didapatkan hasil angka CD4+ nadir rendah pada penderita HIV mengalami

gangguan kognitif dengan odds ratio 6,44; p=0,000; CI 95% (Widyastuti, 2011). Penelitian lainnya pada penderita HIV di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta mendapatkan proporsi gangguan kognitif pada penderita HIV sebesar 33,3% dan didapatkan perbedaan angka CD4 penderita HIV dengan gangguan neurokognitif dan tanpa gangguan neurokognitif (Widyadharma dkk, 2008).


(21)

Pengaruh ARV terhadap fungsi kognitif masih menjadi perdebatan. Suatu penelitian melaporkan bahwa pasien dengan terapi ARV (Zidovudine) menunjukkan perbaikan fungsi kognitif dibandingkan dengan placebo (Schmit dkk, 1988). Penelitian lain melaporkan bahwa terapi ARV tidak banyak pengaruhnya terhadap fungsi kognitif (Cysique dkk, 2004). Penelitian limfosit T CD4+ rendah yang dihubungkan dengan gangguan kognitif pada penderita HIV

pra-ARV belum pernah dilakukan di RS Sanglah Denpasar.

Berdasarkan uraian di atas dilakukan penelitian hubungan limfosit T CD4+

dengan gangguan kognitif pada penderita HIV pra-ARV karena beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian ARV akan memperbaiki fungsi kognitif, sedangkan penelitian lain melaporkan tidak ada perbedaan fungsi kognitif sebelum dan setelah pemberian ARV. Kontroversi ini yang menjadi alasan pemilihan sampel penderita HIV pra-ARV. Berdasarkan data tersebut di atas jumlah penderita HIV terbanyak adalah pada usia produktif yang bila terjadi gangguan kognitif akan menyebabkan gangguan dalam pekerjaan atau kehidupan sosialnya, dengan mengetahui adanya gangguan kognitif tersebut maka penanganan dan pencegahan gangguan kognitif yang lebih berat untuk pasien tersebut diharapkan akan lebih baik.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah Limfosit T CD4+≤ 200 sel/µlsebagai faktor risiko gangguan kognitif pada penderita HIV pra-ARV?


(22)

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui limfosit T CD4+ ≤ 200 sel/µl sebagai faktor risiko gangguan kognitif pada penderita HIV pra-ARV.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat ilmiah

Penelitian ini untuk membuktikan bahwa limfosit T CD4+ ≤ 200 sel/µl sebagai faktor risiko gangguan kognitif sehingga dapat digunakan untuk pengembangan penelitian di masa yang akan datang.

1.4.2 Manfaat praktis

Dengan mengetahui risiko limfosit T CD4+ ≤ 200 sel/µl terhadap gangguan

kognitif pada penderita HIV pra-ARV diharapkan dapat dilakukan

penatalaksanaan optimal untuk mencegah keadaan imunosupresi berat sehingga mencegah terjadinya gangguan kognitif dan komplikasi lebih lanjut pada penderita HIV.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS

2.1.1 Pengertian HIV/AIDS

Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yang untuk pertama kali diungkapkan pada awal tahun 1981, dengan ciri-ciri imunosupresi yang sangat menonjol dengan manifestasi klinik yang beragam termasuk infeksi oportunistik, keganasan dan degenerasi susunan saraf pusat. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) yang terutama menginfeksi sel limfosit T CD4+. Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan

HIV-2. Kedua tipe HIV ini bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia, dan HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat. HIV adalah anggota genus Lentivirus, keluarga Retrovirus yang ditandai oleh suatu periode latensi panjang dan sebuah sampul lipid dari sel induk yang mengelilingi sebuah pusat protein RNA, yang mereplikasi dengan menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia (Bartlett dan Gallant, 2007).

Virus ini akan menyerang limfosit T helper (CD4+), yang menyebabkan hilangnya imunitas yang diperantarai sel. Selain limfosit T helper, sel-sel lain

yang mempunyai protein CD4+ pada permukaannya seperti makrofag dan monosit

juga dapat diinfeksi oleh virus ini. Maka berkurangnya nilai CD4+ dalam tubuh

manusia yang mengindikasikan berkurangnya sel-sel darah putih yang berperan


(24)

dalam sistem pertahanan tubuh manusia, sehingga ini meningkatkan probabilitas seseorang untuk mendapat infeksi oportunistik (Levinson, 2012).

2.1.2 Struktur genomik HIV

Human Immunodeficiency Virus termasuk virus RNA positif yang berkapsul, dari famili Retroviridae. Diameternya sekitar 100 nm dan mengandung dua salinan genom RNA yang dilapisi oleh protein nukleokapsid. Pada permukaan kapsul virus terdapat glikoprotein transmembran gp41 dan glikoprotein permukaan gp120 (Weiss, 2003).

Diantara nukleokapsid dan kapsul virus terdapat matriks protein. Selain itu juga terdapat tiga protein spesifik untuk virus HIV, yaitu enzim reverse transkriptase (RT), protease (PR), dan integrase (IN). Enzim RT merupakan DNA polimerase yang khas untuk retrovirus, yang mampu mengubah genom RNA menjadi salinan rantai ganda DNA yang selanjutnya diintegrasikan pada DNA sel penjamu. Retrovirus juga memiliki sejumlah gen spesifik sesuai dengan spesies virusnya, antara lain gag (fungsi struktural virus), pol (fungsi struktural dan sintesis DNA), serta env (untuk fusi kapsul virus dengan membran plasma sel penjamu) (Weiss, 2003).

Replikasi retrovirus berbeda dengan virus RNA lainnya. Segera setelah inti virus memasuki sitoplasma sel yang terinfeksi, RNA disalin ke DNA rantai ganda dengan RT. Penyalinan dimungkinkan dengan aktivitas RNAse H dari RT, sehingga rantai RNA dapat dipecah menjadi campuran DNA (-) dan RNA (+). Baru kemudian campuran ini berubah menjadi molekul DNA rantai ganda. DNA hasil salinan akan memasuki inti sel yang terinfeksi dan menyatu dengan


(25)

kromosom sel penjamu. Provirus (gen virus spesifik) juga ikut mengalami penyatuan dengan kromosom sel yang terinfeksi. Integrasi ini dimungkinkan dengan adanya sisipan rantai pengulangan yang disebut long terminal repeats (LTR) pada ujung-ujung salinan genom RNA. Rantai LTR ini memuat informasi sinyal yang diperlukan untuk transkripsi provirus oleh RNA polimerase dari penjamu. Selain itu juga protein integrase berperan dalam proses ini. Setelah DNA penjamu terintegrasi dengan materi genetik virus, akan terjadi proses transkripsi yang menghasilkan satu rantai genom RNA yang utuh dan satu atau beberapa mRNA. mRNA yang dihasilkan ini mengkode protein regulator virus.


(26)

2.1.3 Perjalanan infeksi HIV

Menurut Kelly (2004) fase perjalanan infeksi HIV dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu : fase infeksi akut, kronik dan laten.

1. Fase Infeksi Akut

Fase ini terdapat 40-90% kasus yang merupakan keadaan klinis yang bersifat sementara yang berhubungan dengan replikasi virus pada stadium tinggi dan ekspansi virus pada respon imun yang spesifik. Proses replikasi tersebut menghasilkan virus-virus baru yang jumlahnya jutaan dan menyebabkan terjadinya viremia yang memicu timbulnya sindroma infeksi akut. Diperkirakan 50-70% orang yang terinfeksi HIV mengalami sindroma infeksi akut selama 3 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum seperti demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia, letargi, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare, anoreksia, penurunan berat badan. HIV juga dapat menyebabkan kelainan sistem saraf meskipun paparan HIV terjadi pada stadium infeksi masih awal. Fase ini terjadi penurunan limfosit T yang cukup dramatis yang kemudian diikuti kenaikan limfosit T, meskipun demikian tidak ada antibodi spesifik HIV yang dapat terdeteksi pada stadium awal infeksi ini. Selama masa infeksi akut, HIV mereplikasikan dirinya secara terus-menerus, sehingga mencapai level 100 juta kopi HIV RNA/ml. HIV tersebut mempunyai topisme pada berbagai sel target, terutama pada sel-sel yang mampu mengekspresi CD4+, yaitu:


(27)

2. Sirkulasi sistemik : limfosit T, limfosit B, monosit dan makrofag 3. Kulit : sel langerhans, fibroblas dan dendritik

Terjadi interaksi antara gp120 virus dengan reseptor CD4+ yang

terdapat pada sel limfosit T pada awal infeksi, interaksi tersebut menyebabkan terjadinya ikatan dengan reseptor kemokin yang bertindak sebagai koreseptor spesifik CXCR4 dan CCR5 yang juga terdapat pada membran sel target. Proses internalisasi HIVpada membran sel target juga memerlukan peran glikoprotein 41 (gp41) yang terdapat pada selubung virus. Gp41 tersebut berperan dalam proses fusi membran virus dengan membran sel target. Peran gp41 tersebut menyebabkan seluruh komponen inti HIV dapat masuk dan mengalami proses internalisasi yang ditandai dengan masuknya inti nukleokapsid ke dalam sitoplasma (Mamidi dkk, 2002; Karn, 2007; Husein dkk, 2010).

2. Fase infeksi laten

Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritik folikuler di pusat germinativum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala akan hilang dan mulai memasuki fase laten. Fase ini jarang ditemukan virion di plasma, sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar limfe sehingga di dalam darah jumlahnya menurun. Jumlah limfosit T CD4+ menurun hingga sekitar 200-500 sel/mm3. Fase ini berlangsung

rata-rata sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Tahun ke-8 setelah terinfeksi akan muncul gejala klinis seperti demam, banyak keringat pada


(28)

malam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10%, diare, lesi pada mukosa dan kulit yang berulang. Gejala-gejala tersebut merupakan awal tanda munculnya infeksi oportunistik (Mamidi dkk, 2002; Karn, 2007; Husein dkk, 2010).

3. Fase infeksi kronik

Selama fase ini terdapat peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik dan tidak mampu dibendung oleh respon imun. Terjadi penurunan jumlah limfosit T CD4+ hingga dibawah 300 sel/mm3.

Penurunan ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit sekunder. Perjalanan penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS (Mamidi dkk, 2002; Karn, 2007; Husein dkk, 2010).


(29)

2.2 Fungsi Kognitif pada HIV 2.2.1 Pengertian fungsi kognitif

Pengertian kognitif menurut behavioral neurology, adalah suatu proses dimana semua masukan sensoris (taktil, visual dan auditorik) akan diubah, diolah, disimpan dan selanjutnya digunakan untuk hubungan interneuron secara sempurna sehingga individu mampu melakukan penalaran terhadap masukan sensoris tersebut (Filley, 2005)

Konsep yang paling banyak dianut, bahwa fungsi kognitif mencakup lima domain, yaitu:

1. Perhatian (atensi)

Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus tertentu, dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan. Atensi merupakan hasil hubungan antara batang otak, aktivitas limbik dan aktivitas korteks sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik dan mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama. Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa, dan fungsi eksekutif (Levy, 2007).

2. Bahasa

Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Didapatkan gangguan bahasa, maka pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak dapat dilakukan (Levy, 2007).


(30)

3. Memori

Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian informasi, proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam ketiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori (Levy, 2007; Griffin dan Gerhardstein, 2010)

4. Visuospasial

Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan lobus parietal terutama hemisfer kanan berperan paling dominan (Griffin dan Gerhardstein, 2010).

5. Fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Fungsi ini dimediasi oleh korteks prefrontal dorsolateral dan struktur subkortikal yang berhubungan dengan daerah tersebut. Fungsi eksekutif dapat terganggu bila sirkuit frontal-subkortikal terputus. Lezak’s membagi fungsi eksekutif menjadi 4 komponen yaitu volition (kemauan), planning (perencanaan), purposive action (bertujuan), effective performance (pelaksanaan yang efektif). Seandainya ada gangguan fungsi eksekutif, maka gejala yang muncul sesuai keempat komponen di atas (Barkley, 2011).


(31)

2.2.2 Anatomi fungsional fungsi kognitif

Masing-masing domain kognitif tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dalam menjalankan fungsinya, tetapi sebagai satu kesatuan, yang disebut sistem limbik. Struktur limbik terdiri dari amigdala, hipokampus, nukleus talamik anterior, girus subkalosus, girus cinguli, girus parahipokampus, formasio hipokampus, dan korpus mamillare. Alveus, fimbria, fornik, traktus mammilotalamikus, dan striae terminalis membentuk jaras-jaras penghubung sistem ini. (Waxman, 2007).

Peran sentral sistem limbik meliputi memori, pembelajaran, motivasi, emosi, fungsi neuroendokrin, dan aktifitas otonom. Berikut ini merupakan bagian dari sistem limbik :

1. Amigdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada hemisfer kanan predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar, dan pada hemisfer kiri predominan untuk belajar emosi pada saat sadar.

2. Hipokampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang,

pemeliharaan fungsi kognitif yaitu proses pembelajaran.

3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial.

4. Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung, tekanan darah, dan kognitif yaitu atensi. Korteks cinguli anterior merupakan struktur limbik terluas, berfungsi pada afektif, kognitif, otonom, perilaku dan motorik

5. Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mammillary bodies dan septal nuclei. Forniks berperan dalam memori dan pembelajaran.


(32)

6. Hipotalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui produksi dan pelepasan hormon, tekanan darah, denyut jantung, lapar, haus, libido, dan siklus tidur/bangun, perubahan memori baru menjadi memori jangka panjang.

7. Talamus, merupakan kumpulan badan sel saraf di dalam diensefalon membentuk dinding lateral ventrikel tiga. Fungsi talamus sebagai pusat hantaran rangsang indra dari perifer ke korteks serebri. Talamus merupakan pusat pengaturan fungsi kognitif di otak atau sebagai stasiun relay ke korteks serebri.

8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan pembelajaran.

9. Girus dentatus, berperan dalam memori baru dan mengatur kebahagiaan. 10.Korteks enthorinal, penting dalam memori dan merupakan komponen

asosiasi (Markam, 2003; Devinsky dkk, 2004). Lobus otak yang berperan dalam kognitif adalah

1. Lobus frontal

Fungsi lobus frontalis mengatur motorik, perilaku, kepribadian, bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisis dan sintesis. Sebagian korteks medial lobus frontalis dikaitkan sebagai bagian sistem limbik karena banyaknya koneksi anatomik dengan struktur limbik dan adanya perubahan emosi bila terjadi kerusakan.


(33)

Berfungsi dalam membaca, persepsi, memori, dan visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensori (input visual, auditori, taktil) dari area asosiasi sekunder. Lobus ini menerima input dari berbagai modalitas sensori sering disebut korteks heteromodal dan mampu membentuk asosiasi sensori (cross modal association), sehingga manusia dapat menghubungkan input visual dan menggambarkan apa yang mereka lihat atau pegang.

3. Lobus temporalis

Berfungsi mengatur pendengaran, penglihatan, emosi, memori,

kategorisasi benda-benda, dan seleksi rangsangan auditorik dan visual. 4. Lobus oksipitalis

Berfungsi mengatur penglihatan primer, visuospasial, memori, dan bahasa. (Markam, 2003)

2.2.3 Faktor risiko terjadinya gangguan kognitif

Beberapa kondisi atau penyakit dapat mengakibatkan gangguan fungsi kognitif, antara lain :

1. Usia

Meningkatnya usia dapat terjadi perubahan fungsi kognitif yang sesuai dengan perubahan neurokimiawi dan morfologi (proses degeneratif) (Valcour dkk, 2011).

2. Pendidikan

Banyak studi menunjukkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi, berisiko rendah menderita penyakit Alzheimer (Valcour dkk, 2011).


(34)

3. Genetik

Termasuk faktor genetik adalah faktor bawaan, jenis kelamin dan ras. Penyakit genetik yang berhubungan dengan gangguan kognitif diantaranya Huntington, Alzheimer, Pick, Fragile X, Duchenne Muscular Distrofi, dan sindroma Down (Valcour dkk, 2011).

4. Berbagai penyebab yang dapat mempengaruhi perkembangan otak

pada masa prenatal dan pasca natal.

5. Cedera kepala

Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan kognitif, biasanya jenis cedera kepala tertutup. Gangguan kognitif yang dapat timbul pada cedera kepala antara lain amnesia anterograd dan retrograd, fungsi memori, gangguan kemampuan konstruksi, fungsi bahasa, persepsi, kemampuan motorik dan kemampuan psikiatri.

6. Obat-obat toksik atau napza (narkotika, psikotropika dan zat aditif) Beberapa zat toksik yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi kognitif antara lain karbonmonoksida, logam berat, alkohol, obat-obatan (seperti kokain, mariyuana, halusinogen, amfetamin) (Cicconetti dkk, 2004).

7. Infeksi susunan saraf pusat

Beberapa penyakit infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis maupun abses otak dapat mengakibatkan gejala sisa berupa gangguan kognitif (Cicconetti dkk, 2004).


(35)

Frekuensi dan variasi gangguan kognitif yang terlihat pada penderita epilepsi cukup tinggi, dan dampak psikologis maupun sosial juga tinggi. Obat-obat epilepsi sendiri dapat menimbulkan efek samping berupa gangguan kognitif (Valcour dkk, 2011).

9. Penyakit serebrovaskular

Gangguan kognitif yang timbul pada penyakit serebrovaskular dapat menjadi awal terjadinya demensia vaskular (Cicconetti dkk, 2004).

10. Tumor otak

Tumor otak mengakibatkan perluasan lesi fokal yang dapat menimbulkan satu atau kombinasi beberapa gejala kognitif. Gejala-gejala yang dapat timbul antara lain afasia, disorientasi, kesulitan membaca, menulis, atau berhitung, kebingungan, dan gejala psikiatri. Gejala lain dapat terjadi sesuai dengan lokasi tumor (Cicconetti dkk, 2004).

11. Nutrisi

Zat gizi yang diperlukan untuk perkembangan otak bukan hanya zat gizi makro tetapi juga zat gizi mikro (Clifford dan Ances, 2013).

12. Hormon tiroid

Defisit atau kelebihan hormon tiroid selama perkembangan dapat berefek buruk pada fungsi neurologi. Karena laju produksi sel-sel pada berbagai regio otak berbeda-beda waktunya, maka periode kritis aksi hormon tiroid pada proliferasi sel berbagai regio otak tertentu berbeda-beda pula (Clifford dan Ances, 2013).


(36)

13. Stimulasi

Semakin banyak stimulasi yang diterima seseorang di lingkungan rumah maupun yang formal akan mempengaruhi fungsi kognitif (Richardson dkk, 2002).

14. Stres

Selain aksi emosional, orang seringkali menunjukkan gangguan kognitif yang cukup berat jika berhadapan dengan stresor yang serius, akan sulit berkonsentrasi dan mengorganisasikan pikiran secara logis (Clifford dan Ances, 2013).

15. ARV (Anti Retroviral)

Penggunaan ARV (Anti Retroviral) memperlihatkan angka harapan hidup pada penderita HIV/AIDS meningkat. Obat tersebut menyebabkan peningkatan supresi virus dalam peredaran darah sistemik. Gangguan fungsi kognitif pada penderita HIV-AIDS menunjukkan penurunan sejak penggunaan ARV. Perubahan

patofisiologi di otak pada penderita dengan HIV associated

neurocognitive disorders (HAND) dapat berkurang setelah penggunaan ARV (Borjabad dkk, 2011).

16. Merokok

Merokok dapat menyebabkan gangguan kognitif, terutama fungsi memori. Nikotin dalam rokok merupakan zat neurotoksik (Ronchi dkk, 2002).


(37)

Kerusakan pembuluh darah otak karena komplikasi penyakit DM sering menyebabkan infark lakunar, yang dapat menimbulkan gangguan kognitif (Cicconetti dkk, 2004).

18. Penyakit parkinson

Penyakit parkinson dapat menyebabkan demensia Lewy Body. 19. Gangguan psikiatri

Penderita dengan gangguan psikiatri dapat terjadi pseudo demensia dan sulit dinilai fungsi kognitifnya (Richardson dkk, 2002).

2.2.4 Manifestasi gangguan kognitif pada penderita HIV

Manifestasi gangguan fungsi kognitif dapat meliputi gangguan pada aspek bahasa, memori, emosi, visuospasial dan kognisi.

1. Gangguan bahasa : gangguan bahasa yang terjadi pada demensia terutama tampak pada kemiskinan kosa kata. Pasien tak dapat menyebutkan nama benda atau gambar yang ditunjukkan padanya (confrontation naming), tetapi lebih sulit lagi menyebutkan nama benda dalam satu kategori (category naming), misalnya disuruh menyebutkan nama buah atau hewan dalam satu kategori. Sering adanya diskrepansi antara penamaan konfrontasi dan penamaan kategori dipakai untuk mencurigai adanya demensia dini. Misalnya orang dengan cepat dapat menyebutkan nama benda dalam satu kategori, ini didasarkan karena adanya abstraksinya mulai menurun (Valcour dkk, 2011)


(38)

2. Gangguan memori : gangguan mengingat sering merupakan gejala yang pertama timbul pada demensia dini. Tahap awal yang terganggu adalah memori barunya, yakni cepat lupa apa yang baru saja dikerjakan. Lambat laun memori lama juga terganggu. Dalam klinik neurologi fungsi memori dibagi dalam tiga tingkatan bergantung lamanya rentang waktu antara stimulus dan recall (Clifford dan Ances, 2013), yaitu :

1. Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara stimulus dan recall hanya beberapa detik. Dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat (attention) disini.

2. Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama yaitu beberapa menit, jam, bulan bahkan tahun.

3. Memori lama (remote memory), rentang waktunya bertahun-tahun bahkan seusia hidup.

3. Gangguan emosi : efek langsung yang paling umum dari penyakit pada otak pada personality adalah emosi yang tumpul, disinhibition, kecemasan yang berkurang atau euforia ringan, dan menurunnya sensitifitas sosial. Dapat juga terjadi kecemasan yang berlebihan, depresi dan hipersensitif (Valcour dkk, 2011).

4. Gangguan visuospasial : gangguan juga sering timbul dini pada demensia. Pasien banyak lupa waktu, tidak tahu kapan siang dan malam, lupa wajah teman dan sering tidak tahu tempat dan orang). Secara objektif gangguan visuospasial ini dapat ditentukan dengan


(39)

meminta pasien mengkopi gambar atau menyusun balok-balok sesuai bentuk tertentu (Valcour dkk, 2011).

5. Gangguan kognisi (cognition) : fungsi ini yang paling sering terganggu pada pasien demensia, terutama daya abstraksinya. Ia selalu berpikir konkrit, sehingga sukar sekali memberi makna peribahasa dan daya persamaan (similarities) mengalami penurunan (Clifford dan Ances, 2013).

2.2.5 Klasifikasi gangguan neurokognitif pada infeksi HIV

Infeksi HIV dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat, bila otak yang terkena bisa terjadi gangguan neurokognitif yang disebut HIV-associated neurocognitive disorder (HAND) berupa HIV-associated dementia (HAD) atau AIDS dementia complex, mild neurocognitive disorder (MND), dan asymptomatic neurocognitive impairment (ANI). Gejala gangguan neurologik tersebut dapat diprediksi dengan jumlah limfosit T CD4+ pada penderita, jadi penderita dengan

CD4+ masih cukup tinggi atau diatas 200 sel/µL mengalami gangguan

neurokognitif berupa MND atau ANI. HAD terjadi pada penderita yang sudah dalam fase AIDS (Levy, 2007).

Sindrom yang terjadi pada HAND berupa gangguan neurokognitif (mudah lupa), gangguan emosi (menyebabkan agitasi atau apatis), dan disfungsi motorik (tremor, ataksia, spastisitas). Gejala klinis demensia tersebut berbeda antara satu individu dengan individu lain, ada yang mengalami perburukan dalam beberapa minggu atau dalam beberapa bulan. MND terjadi sebelum HAD, yang mana terkadang sulit diidentifikasi karena penyakit komorbiditas seperti cedera kepala


(40)

atau koinfeksi seperti hepatitis C. Diagnosis HAD atau MND menentukan prognosis dan bergantung pada pemakaian obat anti retroviral (Skiest, 2002; Levy, 2007).

Gejala klinis dan hasil laboratorium yang menuntun ke arah diagnosis HAD atau demensia HIV adalah (Boisse dkk, 2008) :

1. Serologi HIV positif

2. Terdapat gangguan yang bersifat progresif : kognitif, perilaku, memori dan perlambatan mental.

3. Pemeriksaan neurologik : gambaran gejala neurologik yang bersifat difus, perlambatan rapid eye movement dan motorik ekstremitas hiperrefleksia, hipertonia dan dijumpainya release sign.

4. Pemeriksaan neuropsikologi : impairment pada dua jenis pemeriksaan yaitu : fungsi lobus frontal, kecepatan motorik dan memori verbal. 5. Cairan otak : tidak dijumpai neurosifilis dan meningitis kriptokokus. 6. Pemeriksaan radiologi : atrofi serebri dan disingkirkan adanya lesi

fokal.

7. Tidak dijumpai penyakit psikiatri mayor dan intoksikasi.

8. Tidak dijumpai gangguan metabolik, hipoksemia, sepsis dan lain-lain. 9. Tidak dijumpai penyakit oportunistik otak yang aktif.

Berdasarkan American Academy of Neurology kriteria dari gangguan kognitif/motor minor terkait HIV/MND adalah :


(41)

1. Abnormalitas kognitif/motorik/perilaku yang didapat, dipastikan oleh anamnesis yang dipercaya dan pemeriksaan neurologik neuropsikologi. 2. Mild impairment dari aktivitas sehari-hari.

3. Tidak masuk kriteria demensia HIV atau myelopati HIV. 4. Tidak disebabkan etiologi lain.

Possible (harus ada salah satu gejala di bawah ini) :

1. (1), (2), dan (3) didapatkan gejala di atas, tetapi ada alternatif etiologi lain dan penyebab dari (1) tidak pasti.

2. (1), (2), dan (3) didapatkan gejala di atas, tetapi etiologi dari (1) tidak dapat ditentukan berdasarkan evaluasi yang inkomplit.

Kriteria MND :

1. Gangguan fungsi kognitif yang didapat, dimana minimal terlibatnya 2 domain kognitif, yang didokumentasikan paling sedikit dalam 1,0 standar deviasi di bawah ini, dari usia, pendidikan, norma yang cocok berdasarkan tes neuropsikologik yang terstandarisasi. Penilaian

neuropsikologi harus termasuk kemampuan : verbal/bahasa,

atensi/kecepatan proses abstrak/eksekutif, memori (pembelajaran, mengingat), perseptual kompleks-performa motorik, kemampuan motorik.

2. Gangguan kognitif menyebabkan sedikitnya gangguan ringan

keterlibatan fungsional sehari-hari (paling sedikit satu dibawah ini) : a. Berkurangnya ketajaman mental diri sendiri, tidak efisien dalam


(42)

b. Pengamatan dari orang lain yang menyatakan bahwa individu tersebut telah mengalami kemunduran ringan dari mental, dengan gabungan dari gejala tidak efisien dalam bekerja, pekerjaan rumah tangga atau fungsi sosial.

3. Gangguan kognitif didapatnya paling sedikit 1 bulan.

4. Gangguan kognitif tidak termasuk kriteria untuk delirium atau demensia HIV.

5. Tidak didapatkan bukti penyebab lain dari MND (infeksi susunan saraf pusat, neoplasma, penyakit serebrovaskular, penyakit neurologi yang telah ada, gangguan psikiatri, atau ketergantungan berat substansi tertentu).

Kriteria diagnosis ANI :

1. Gangguan fungsi kognitif yang didapat, dimana minimal terlibatnya 2 domain kognitif, yang didokumentasikan paling sedikit dalam 1,0 standar deviasi di bawah ini, dari usia, pendidikan, norma yang cocok berdasarkan tes neuropsikologi yang terstandarisasi.

2. Gangguan kognitif tidak menyebabkan gangguan fungsional sehari-hari.

3. Gangguan kognitif tidak memenuhi kriteria delirium atau demensia. 4. Tidak ada bukti yang menjadi penyebab lain dari ANI.

2.2.6 Patogenesis gangguan kognitif pada penderita HIV

Infeksi HIV dimulai dengan pengikatan gp120 pada selubung HIV dengan reseptor CD4+ pada permukaan sel limfosit yang diperkuat oleh koreseptor


(43)

kemokin CCR5/CXCR4. Inti virus memasuki sel setelah terjadi fusi membran virus dengan membran sel limfosit. Siklus reproduksi diawali dengan transkripsi virus RNA oleh enzim reverse transcriptase menjadi double-stranded DNA (dsDNA) sebagai provirus. Provirus memasuki nukleus dan berintergrasi dengan mediator enzim integrase. Provirus tidak aktif dalam beberapa bulan/tahun tanpa memproduksi virion disebut sebagai fase laten. Provirus teraktivasi oleh antigen, sitokin atau faktor lain yang memicu nuclear factor kB (NF-kB) aktif dan berikatan pada 5’long terminal repeats (LTR). Transkripsi DNA menjadi RNA dan polipeptida yang dipecah oleh enzim protease membentuk virus baru yang siap menginfeksi sel target berikutnya. Virus HIV bersifat highly neurotropic sehingga tahap awal sudah menyerang susunan saraf tepi dan pusat (Nasronudin, 2007; Valcour dkk, 2010).

Target utama infeksi HIV pada susunan saraf pusat (SSP) adalah monosit-makrofag, mikroglia dan astrosit. Virus HIV menginfiltrasi SSP dengan melewati sawar darah otak bersama monosit melalui mekanisme Trojan Horse. Monosit yang terinfeksi berdiferensiasi di dalam SSP menjadi mikroglia (perivascular microglia) dan makrofag, serta bertindak sebagai antigen presenting cell bagi limfosit T sehingga limfosit T dapat mengenal dan mengekspresikan reseptor CD4+ pada permukaannya (Ghafouri dkk, 2006; Sugianto, 2008)

HIV melakukan penetrasi dengan cepat ke dalam SSP setelah infeksi perifer dan kemudian menetap secara primer dalam makrofag perivaskular dan mikroglia. Aktivasi makrofag dan mikroglia melepaskan protein virus HIV (gp120, tat, vpr) dan mediator kimia yang bersifat neurotoksik antara lain quinolinic acid dan


(44)

excitotoxic amino acid (EAAs) seperti glutamat dan L-sistein, asam arakhidonat, platelet activating factor (PAF), nitric oxide (NO) dan tumor necrosis factor alpha (TNF-α). Mediator kimia tersebut menimbulkan gangguan sawar darah otak

yang memudahkan masuknya virus HIV ke SSP. Stimulasi reseptor

N-methyl-D-aspartate (NMDA) menyebabkan meningkatnya pelepasan Ca2+ intraseluler dan

glutamat. Konsentrasi glutamat otak dan neurotoksin lainnya meningkat dan menyebabkan kematian neuron (Kaul dan Lipton, 2006; Ghafouri dkk, 2006). Kerusakan neuron terjadi akibat mekanisme langsung melalui interaksi protein virus seperti gp 120, tat dan vpr yang dihasilkan oleh sel-sel terinfeksi dan mekanisme tidak langsung akibat proses inflamasi dari aktivasi monosit, makrofag dan astrosit. Substansi-substansi ini menginduksi neuronal injury dan apoptosis yang menyebabkan terjadinya demensia sehingga dengan semakin meningkatnya survival pada infeksi HIV/AIDS maka prevalensi demensia akan meningkat sebagai penyakit yang menegaskan AIDS (Kaul dan Lipton, 2006).

2.2.7 Pemeriksaan penunjang gangguan kognitif pada penderita HIV

Pemeriksaan laboratorium gangguan kognitif pada HIV hanya skrining untuk menyingkirkan secara efektif etiologi infeksi dan metabolik lain. Anemia yang berhubungan dengan infeksi HIV-1 dikatakan sebagai prediktor awal risiko tinggi gangguan neuropsikologis (Valcour dkk, 2010).

Pemeriksaan rutin liquor cerebrospinalis (LCS) pada pasien HAD menunjukkan gangguan tidak spesifik berupa peningkatan protein ringan dan pleositosis. Teknik imaging dapat mengidentifikasi abnormalitas otak pasien HIV yang menderita gangguan kognitif. Penelitian menggunakan Computed


(45)

Tomography (CT) sken dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) menunjukkan peningkatan ruang sulkus dan ventrikuler, berkurangnya volume substansia alba dan substansia grisea dan abnormalitas sinyal area subkortikal dan kortikal, terutama pada kasus lanjut (Reynolds dkk, 2008).

Gambaran neuropatologi yang berhubungan dengan HAD adalah multinucleated giant cell. Makrofag dan mikroglia terinfeksi dan tidak terinfeksi

bergabung bersama membentuk multinucleated giant cells yang merupakan

gambaran yang paling spesifik pada HAD (Reynolds dkk, 2008).

2.2.8 Penilaian gangguan kognitif pada penderita HIV

Perangkat sederhana untuk mengetahui penurunan fungsi kognitif antara lain dengan Mini Mental State Examination (MMSE). Salah satu pemeriksaan fungsi kognitif kompleks melalui satu atau dua pertanyaan. MMSE berisi 11 item pertanyaan dan perintah meliputi orientasi waktu, tempat, ingatan segera, memori jangka pendek, dan kemampuan pengurangan serial atau membaca terbalik (Folstein, 1975; Setyopranoto dkk, 2000). Montreal Cognitive Assesment digunakan untuk mengetahui adanya mild cognitive impairment. MoCA terdiri dari 30 poin yang akan diujikan dengan menilai beberapa domain kognitif, yaitu :

1. Fungsi eksekutif : dinilai dengan trail-making B (1 poin), phonemic fluency test (1 poin), dan two item verbal abtraction (1 poin).

2. Visuospasial : dinilai dengan clock drawing test (3 poin) dan menggambarkan kubus 3 dimensi (1 poin).

3. Bahasa : menyebutkan 3 nama binatang (singa, unta, badak; 3 poin). mengulang 2 kalimat (2 poin), kelancaran berbahasa (1 poin).


(46)

4. Delayed Recall: menyebutkan 5 kata (5 poin), menyebutkan kembali setelah 5 menit (5 poin).

5. Atensi: menilai kewaspadaan (1 poin), mengurangi berurutan (3 poin), digit fordward and backward (masing-masing 1 poin)

6. Abstraksi: menilai kesamaan suatu benda (2 poin)

7. Orientasi: menilai menyebutkan tanggal, bulan, tahun, hari dan tempat (masing-masing 1 poin).

Tes MoCA telah menunjukkan MoCA dapat menjadi instrumen yang menjanjikan untuk mendeteksi Mild Cognitive Impairment (MCI) pada awal penyakit Alzheimer (AD) yang dibandingkan dengan pemeriksaan terkenal MMSE. Menurut studi validasi (Nasreddine dkk, 2005), sensitifitas dan spesifisitas dari MoCA untuk mendeteksi MCI (n=94 subyek) adalah masing-masing 90% dan 87% dibandingkan dengan 18% dan 100% untuk MMSE. Sejak MoCA dapat digunakan untuk menilai beberapa domain kognitif telah diteliti sebagai alat untuk mendeteksi gangguan kognitif yang berguna pada penyakit neurologis lainnya, seperti penyakit parkinson (5 penelitian yang menunjukkan keunggulan MoCA atas MMSE), gangguan kognitif pada penyakit pembuluh darah otak, penyakit Hutington, metastasis serebri, tumor otak primer, multipel skerosis, cedera kepala, serta kondisi lain seperti pada depresi, skizofrenia dan penyakit hati kronik berat (Nasreddine dkk, 2005).

Tes validasi MoCA telah dilakukan di Indonesia, dari hasil penelitian ini didapatkan nilai kappa total diantara 2 dokter adalah 0,820. Didapatkan bahwa tes MoCA versi Indonesia (MOCA-Ina) telah valid menurut kaidah validasi


(47)

transkultural sehingga dapat digunakan baik oleh dokter ahli saraf maupun dokter umum (Husein dkk, 2010).

Perangkat skrining lain yaitu International HIV Dementia Scale (IHDS), merupakan skala pemeriksaan yang singkat namun sensitif untuk menentukan penderita HIV yang berisiko mengalami demensia. Skala ini memfokuskan pada pemeriksaan kecepatan motorik dan psikomotor sehingga mudah digunakan pada budaya yang berbeda. IHDS dikerjakan dalam waktu 2-3 menit dan tidak membutuhkan instrumen khusus selain stopwatch (Singh dkk, 2008).

2.3 Limfosit T CD4+

2.3.1 Hubungan Limfosit T CD4+ dengan HIV

Mekanisme utama dalam infektivitas HIV melalui perlekatan selubung glikoprotein virus (gp120) pada molekul CD4+ yang bertindak sebagai reseptor

dengan afinitas sangat tinggi pada permukaan sel-sel inang. Molekul-molekul CD4+ sangat banyak terdapat pada permukaan sel T terutama pada sel-sel T

helper. Namun sel-sel seperti monosit atau makrofag dapat diinfeksi oleh HIV oleh karena fagositosis kompleks virus-antibodi atau melalui molekul CD4+ yang

dimiliki oleh sel bersangkutan. Kerusakan sel limfosit T CD4+ sebagai penyebab

turunnya fungsi sistem imun, virus merusak sel dengan replikasi, bertunas merusak membran sel, ikatan glikoprotein (gp120) pada sel terinfeksi dengan limfosit T CD4+ membentuk fusi sel-sel menjadi sinsitium. Sel terinfeksi dirusak

oleh T sitolik sel NK, gp120 bebas berikatan dengan limfosit T CD4+ pada sel


(48)

Molekul CD4+ berperan penting dalam proses patogenesis AIDS, dan CD4+

berperan pula dalam sitolisis oleh infeksi HIV. Kerusakan sel oleh HIV tergantung pada molekul CD4+ yang ada pada permukaan sel tersebut, sedangkan

sel yang paling banyak memiliki molekul CD4+ adalah limfosit. HIV memasuki

sel melalui 3 tahap, yaitu perlekatan, penggabungan, dan masuk ke dalam sel (gambar 2).

Nilai normal CD4+ adalah 500-1200 sel/µl, digunakan untuk mengetahui

sistem imun dari pasien dan untuk penentuan terapi serta profilaksis patogen oportunistik pada penderita HIV.

Gambar 2.3 Cara virus HIV memasuki sel. (Duri, 2012)

2.3.2 Hubungan limfosit T CD4+ dengan Gangguan Kognitif pada Penderita HIV

Suatu penelitian kohort prosfektif menyatakan bahwa kadar plasma HIV


(49)

Penekanan replikasi HIV secara efektif dapat menurunkan insiden demensia (Childs dkk, 1999). Penelitian lain dengan metode kasus kontrol mengidentifikasi faktor resiko gangguan neurokognitif pada penderita HIV antara lain tingkat pendidikan rendah (˂6 tahun), angka limfosit T CD4+ rendah dan penularan secara seksual berisiko lebih tinggi dibandingkan dengan IDU. Penderita HIV dengan kondisi imunosupresi berat berisiko lebih tinggi mengalami gangguan kognitif dan terapi ARV mencegah gangguan kognitif pada penderita HIV (Ronchi dkk, 2002).

Hubungan antara CD4+ rendah dengan timbulnya komplikasi neurologi telah

ditegaskan sebelum era penggunaan ARV. Proses neuropatologi yang mendasari hubungan ini belum dimengerti dengan baik, namun dikatakan bahwa kondisi imunokompromais mempermudah masuknya virus dan terjadinya kerusakan pada otak. Rekomendasi pemberian ARV pada individu dengan angka CD4+ ≤200 sel/mm3 dan pertimbangan untuk memulai ARV jika limfosit T CD4+ ≤350 sel/mm3 menyebabkan marker imunokompromais yang ditandai dengan angka limfosit T CD4+ rendah menjadi jarang dijumpai (Valcour dkk, 2006).

Terapi kombinasi ARV dapat memperbaiki kemampuan neurokognitif penderita HIV namun pemulihan tidak terjadi pada semua individu yang mendapat terapi. Gangguan neurokognitif lebih sering terjadi pada penderita dengan limfosit T CD4+≤200 sel/µl (73,1%) dibandingkan limfosit T CD4+ 200 sel/µl (52,6%) (Moreno dkk, 2008).


(1)

excitotoxic amino acid (EAAs) seperti glutamat dan L-sistein, asam arakhidonat, platelet activating factor (PAF), nitric oxide (NO) dan tumor necrosis factor alpha (TNF-α). Mediator kimia tersebut menimbulkan gangguan sawar darah otak yang memudahkan masuknya virus HIV ke SSP. Stimulasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) menyebabkan meningkatnya pelepasan Ca2+ intraseluler dan glutamat. Konsentrasi glutamat otak dan neurotoksin lainnya meningkat dan menyebabkan kematian neuron (Kaul dan Lipton, 2006; Ghafouri dkk, 2006). Kerusakan neuron terjadi akibat mekanisme langsung melalui interaksi protein virus seperti gp 120, tat dan vpr yang dihasilkan oleh sel-sel terinfeksi dan mekanisme tidak langsung akibat proses inflamasi dari aktivasi monosit, makrofag dan astrosit. Substansi-substansi ini menginduksi neuronal injury dan apoptosis yang menyebabkan terjadinya demensia sehingga dengan semakin meningkatnya survival pada infeksi HIV/AIDS maka prevalensi demensia akan meningkat sebagai penyakit yang menegaskan AIDS (Kaul dan Lipton, 2006).

2.2.7 Pemeriksaan penunjang gangguan kognitif pada penderita HIV

Pemeriksaan laboratorium gangguan kognitif pada HIV hanya skrining untuk menyingkirkan secara efektif etiologi infeksi dan metabolik lain. Anemia yang berhubungan dengan infeksi HIV-1 dikatakan sebagai prediktor awal risiko tinggi gangguan neuropsikologis (Valcour dkk, 2010).

Pemeriksaan rutin liquor cerebrospinalis (LCS) pada pasien HAD menunjukkan gangguan tidak spesifik berupa peningkatan protein ringan dan pleositosis. Teknik imaging dapat mengidentifikasi abnormalitas otak pasien HIV yang menderita gangguan kognitif. Penelitian menggunakan Computed


(2)

Tomography (CT) sken dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) menunjukkan peningkatan ruang sulkus dan ventrikuler, berkurangnya volume substansia alba dan substansia grisea dan abnormalitas sinyal area subkortikal dan kortikal, terutama pada kasus lanjut (Reynolds dkk, 2008).

Gambaran neuropatologi yang berhubungan dengan HAD adalah multinucleated giant cell. Makrofag dan mikroglia terinfeksi dan tidak terinfeksi bergabung bersama membentuk multinucleated giant cells yang merupakan gambaran yang paling spesifik pada HAD (Reynolds dkk, 2008).

2.2.8 Penilaian gangguan kognitif pada penderita HIV

Perangkat sederhana untuk mengetahui penurunan fungsi kognitif antara lain dengan Mini Mental State Examination (MMSE). Salah satu pemeriksaan fungsi kognitif kompleks melalui satu atau dua pertanyaan. MMSE berisi 11 item pertanyaan dan perintah meliputi orientasi waktu, tempat, ingatan segera, memori jangka pendek, dan kemampuan pengurangan serial atau membaca terbalik (Folstein, 1975; Setyopranoto dkk, 2000). Montreal Cognitive Assesment digunakan untuk mengetahui adanya mild cognitive impairment. MoCA terdiri dari 30 poin yang akan diujikan dengan menilai beberapa domain kognitif, yaitu :

1. Fungsi eksekutif : dinilai dengan trail-making B (1 poin), phonemic fluency test (1 poin), dan two item verbal abtraction (1 poin).

2. Visuospasial : dinilai dengan clock drawing test (3 poin) dan menggambarkan kubus 3 dimensi (1 poin).

3. Bahasa : menyebutkan 3 nama binatang (singa, unta, badak; 3 poin). mengulang 2 kalimat (2 poin), kelancaran berbahasa (1 poin).


(3)

4. Delayed Recall: menyebutkan 5 kata (5 poin), menyebutkan kembali setelah 5 menit (5 poin).

5. Atensi: menilai kewaspadaan (1 poin), mengurangi berurutan (3 poin), digit fordward and backward (masing-masing 1 poin)

6. Abstraksi: menilai kesamaan suatu benda (2 poin)

7. Orientasi: menilai menyebutkan tanggal, bulan, tahun, hari dan tempat (masing-masing 1 poin).

Tes MoCA telah menunjukkan MoCA dapat menjadi instrumen yang menjanjikan untuk mendeteksi Mild Cognitive Impairment (MCI) pada awal penyakit Alzheimer (AD) yang dibandingkan dengan pemeriksaan terkenal MMSE. Menurut studi validasi (Nasreddine dkk, 2005), sensitifitas dan spesifisitas dari MoCA untuk mendeteksi MCI (n=94 subyek) adalah masing-masing 90% dan 87% dibandingkan dengan 18% dan 100% untuk MMSE. Sejak MoCA dapat digunakan untuk menilai beberapa domain kognitif telah diteliti sebagai alat untuk mendeteksi gangguan kognitif yang berguna pada penyakit neurologis lainnya, seperti penyakit parkinson (5 penelitian yang menunjukkan keunggulan MoCA atas MMSE), gangguan kognitif pada penyakit pembuluh darah otak, penyakit Hutington, metastasis serebri, tumor otak primer, multipel skerosis, cedera kepala, serta kondisi lain seperti pada depresi, skizofrenia dan penyakit hati kronik berat (Nasreddine dkk, 2005).

Tes validasi MoCA telah dilakukan di Indonesia, dari hasil penelitian ini didapatkan nilai kappa total diantara 2 dokter adalah 0,820. Didapatkan bahwa tes MoCA versi Indonesia (MOCA-Ina) telah valid menurut kaidah validasi


(4)

transkultural sehingga dapat digunakan baik oleh dokter ahli saraf maupun dokter umum (Husein dkk, 2010).

Perangkat skrining lain yaitu International HIV Dementia Scale (IHDS), merupakan skala pemeriksaan yang singkat namun sensitif untuk menentukan penderita HIV yang berisiko mengalami demensia. Skala ini memfokuskan pada pemeriksaan kecepatan motorik dan psikomotor sehingga mudah digunakan pada budaya yang berbeda. IHDS dikerjakan dalam waktu 2-3 menit dan tidak membutuhkan instrumen khusus selain stopwatch (Singh dkk, 2008).

2.3 Limfosit T CD4+

2.3.1 Hubungan Limfosit T CD4+ dengan HIV

Mekanisme utama dalam infektivitas HIV melalui perlekatan selubung glikoprotein virus (gp120) pada molekul CD4+ yang bertindak sebagai reseptor dengan afinitas sangat tinggi pada permukaan sel-sel inang. Molekul-molekul CD4+ sangat banyak terdapat pada permukaan sel T terutama pada sel-sel T helper. Namun sel-sel seperti monosit atau makrofag dapat diinfeksi oleh HIV oleh karena fagositosis kompleks virus-antibodi atau melalui molekul CD4+ yang dimiliki oleh sel bersangkutan. Kerusakan sel limfosit T CD4+ sebagai penyebab turunnya fungsi sistem imun, virus merusak sel dengan replikasi, bertunas merusak membran sel, ikatan glikoprotein (gp120) pada sel terinfeksi dengan limfosit T CD4+ membentuk fusi sel-sel menjadi sinsitium. Sel terinfeksi dirusak oleh T sitolik sel NK, gp120 bebas berikatan dengan limfosit T CD4+ pada sel sehat menyebabkan respon autoimun.


(5)

Molekul CD4+ berperan penting dalam proses patogenesis AIDS, dan CD4+ berperan pula dalam sitolisis oleh infeksi HIV. Kerusakan sel oleh HIV tergantung pada molekul CD4+ yang ada pada permukaan sel tersebut, sedangkan sel yang paling banyak memiliki molekul CD4+ adalah limfosit. HIV memasuki sel melalui 3 tahap, yaitu perlekatan, penggabungan, dan masuk ke dalam sel (gambar 2).

Nilai normal CD4+ adalah 500-1200 sel/µl, digunakan untuk mengetahui sistem imun dari pasien dan untuk penentuan terapi serta profilaksis patogen oportunistik pada penderita HIV.

Gambar 2.3 Cara virus HIV memasuki sel. (Duri, 2012)

2.3.2 Hubungan limfosit T CD4+ dengan Gangguan Kognitif pada Penderita HIV

Suatu penelitian kohort prosfektif menyatakan bahwa kadar plasma HIV RNA dan angka CD4+ yang dinilai sebelum terapi ARV dapat memprediksi HAD.


(6)

Penekanan replikasi HIV secara efektif dapat menurunkan insiden demensia (Childs dkk, 1999). Penelitian lain dengan metode kasus kontrol mengidentifikasi faktor resiko gangguan neurokognitif pada penderita HIV antara lain tingkat pendidikan rendah (˂6 tahun), angka limfosit T CD4+ rendah dan penularan secara seksual berisiko lebih tinggi dibandingkan dengan IDU. Penderita HIV dengan kondisi imunosupresi berat berisiko lebih tinggi mengalami gangguan kognitif dan terapi ARV mencegah gangguan kognitif pada penderita HIV (Ronchi dkk, 2002).

Hubungan antara CD4+ rendah dengan timbulnya komplikasi neurologi telah ditegaskan sebelum era penggunaan ARV. Proses neuropatologi yang mendasari hubungan ini belum dimengerti dengan baik, namun dikatakan bahwa kondisi imunokompromais mempermudah masuknya virus dan terjadinya kerusakan pada otak. Rekomendasi pemberian ARV pada individu dengan angka CD4+ ≤200 sel/mm3 dan pertimbangan untuk memulai ARV jika limfosit T CD4+ ≤350 sel/mm3 menyebabkan marker imunokompromais yang ditandai dengan angka limfosit T CD4+ rendah menjadi jarang dijumpai (Valcour dkk, 2006).

Terapi kombinasi ARV dapat memperbaiki kemampuan neurokognitif penderita HIV namun pemulihan tidak terjadi pada semua individu yang mendapat terapi. Gangguan neurokognitif lebih sering terjadi pada penderita dengan limfosit T CD4+≤200 sel/µl (73,1%) dibandingkan limfosit T CD4+ 200 sel/µl (52,6%) (Moreno dkk, 2008).