Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nemo Dat Rule dalam Putusan Mahkamah Agug Republik Indonesia T1 312010029 BAB II

(1)

17

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Bab ini sesuai dengan judul di atas, akan dikemukakan suatu tinjauan kepustakaan atas kaedah nemo dat rule. Tujuan dari pemaparan kepustakaan yang membicarakan mengenai nemo dat rule yang merupakan asas hukum perdagangan internasional yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran konsepsional, yakni suatu kerangka analisis mengenai nemo dat rule. Dengan kerangka analisis nemo dat rule tersebut, diperoleh suatu alat bedah terhadap Putusan 1887, Putusan yang diuraikan di Bab III. Disamping itu, studi kepustakaan ini juga akan memberikan suatu jawaban awal, jawaban konsepsional terhadap pertanyaan dalam rumusan masalah penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah ini; yaitu bagaimana nemo dat rule dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1887 K/PDT/1986.

Mencapai tujuan tersebut di atas, Bab ini dipilah ke dalam lima Sub Bab. Sub Bab yang pertama membicarakan tentang tinjauan umum transaksi perdagangan internasional, Sub Bab kedua dikemukakan tentang hukum transaksi perdagangan internasional, Sub Bab ketiga tentang hakikat dari nemo dat rule, Sub Bab keempat dikemukakan tentang sejarah singkat keberadaan nemo dat rule dan mengakhiri Bab ini Penulis kemukakan secara singkat tentang arti penting studi kepustakaan, terutama arti penting untuk mengantisipasi apa yang dicapai dalam bagian analisis di Bab III, yaitu menggambarkan jawaban atas pertanyaan bagaimana keberadaan nemo dat rule dalam Putusan 1887.


(2)

18

2.1.

Tinjauan Umum Transaksi Perdagangan Internasional

Adapun pengertian dari transaksi perdagangan internasional atau disebut juga dengan transaksi bisnis internasional adalah:

“...act of transaction or conducting any business; management;

proceeding; that which is done; an affair”. Kemudian disebutkan “...it may involve selling, leasing, borrowing, mortaging or lending... it must therefore consist of an act agreement, or several acts or agreements, or several acts or agreement having some connection with each other, in which more than one person in concerned, and by which the legal

relations of such persons between themselves are altered...”

yang berkewarganegaraan berbeda.22

Menurut Jeferson Kameo dalam bukunya, ada tiga cara dalam mengidentifikasi suatu transaksi, apakah transaksi tersebut memiliki atau tidak memiliki karakteristik atau ciri-ciri transaksi perdagangan internasional.23 Cara yang pertama, menitikberatkan pada perpindahan barang; cara yang kedua memfokuskan diri kepada tempat kedudukan dari para pihak dalam suatu transaksi; dan cara yang ketiga adalah cara penentuan karakteristik internasional dari suatu transaksi yang menggabungkan antara cara yang pertama dengan cara yang kedua, atau disebut juga dengan cara hibrida.24

Jual beli dalam arti khusus ialah jual beli perusahaan, dalam hal ini adalah transaksi ekspor-impor. Transaksi ekspor-impor adalah transaksi perdagangan internasional (international trade) yang sederhana dan tidak lebih dari membeli dan menjual barang antara pengusaha-pengusaha yang bertempat di negara yang

22

Wyasa Putra I. D., Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis internasional, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm., 2.

23

Jeferson Kameo, Op.Cit., hlm., 1.

24


(3)

19

berbeda.25 Dengan kata lain bahwa kegiatan ekspor impor merupakan jual beli yang dilakukan secara internasional, artinya dilakukan antar negara.

Dalam jual beli perusahaan, yang dalam hal ini adalah ekspor impor, terdapat ciri-ciri khusus. Kekhususan ini dapat ditelaah melalui unsur-unsur dalam jual beli berikut ini:26 Pertama, unsur subjek yang terdiri dari penjual dan pembeli. Dua pihak dalam transaksi ini atau salah satunya adalah pengusaha, yaitu perseorangan atau badan hukum yang menjalankan perusahaan. Kedua, unsur obyek, yang terdiri dari benda dan harga. Benda adalah barang dagangan, yaitu barang yang dibeli atau dijual lagi atau disewakan. Harga adalah nilai benda sebagai imbalan yang dapat menghasilkan nilai lebih yang disebut keuntungan atau laba. Sedangkan ketiga, adalah unsur perbuatan, terdiri dari menjual dengan penyerahan dan membeli dengan pembayaran harga. Peyerahan barang dengan menggunakan alat angkut khusus dan dengan syarat khusus pula. Pembayaran biasanya dilakukan melalui bank dengan menggunakan dokumen-dokumen atau surat-surat berharga. Untuk unsur tujuan, yaitu keuntungan atau laba yang diperhitungkan.27

Ada berbagai motif atau alasan mengapa subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi perdagangan internasional. Diantaranya adalah adakalanya produksi yang dihasilkan di suatu negara itu belum dapat dikonsumir seluruhnya di dalam negeri dan ada pula yang masih memerlukan bantuan pihak

25

Roselyne Hutabarat, Transaksi Ekspor Impor, Erlangga, Jakarta, 1991, hlm., 1.

26

C. S. T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum dan Ekonomi) Bagian Dua, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm., 7.

27


(4)

20

di negara lain untuk mengolahnya. Kemungkinan lain karena konsumsi di dalam negeri sudah melebihi dari yang dibutuhkan, maka kelebihannya itu dapat diekspor ke negara lain untuk memperoleh devisa.28

Selain itu, setiap negara berbeda dengan negara lainnya ditinjau dari sudut sumber daya alamnya, iklimnya, letak geografisnya, penduduk, keahliannya, tenaga kerja, tingkat harga, keadaan struktur ekonomi dan sosialnya. Perbedaan-perbedaan tersebut menimbulkan pula Perbedaan-perbedaan barang yang dihasilkan, biaya yang diperlukan serta mutu dan kuantum barang yang dihasilkan. Sehingga ada barang yang hanya dapat diproduksi dan dihasilkan di satu negara dan tidak dapat dihasilkan oleh negara lainnya. Hal-hal demikian pula yang menyebabkan terjadinya perdagangan antar negara satu dengan negara lainnya.29

Latar belakang adanya perdagangan internasional dilihat dari sudut legalitas dapat dijelaskan bahwa perdagangan ekspor impor termasuk kegiatan yang mengandung resiko tinggi, kerena eksportir dan importir berjauhan secara geografis, berbeda bahasa, kebiasaan dan hukum dalam transaksi ekspor impor, satu resiko yang dihadapi oleh ekportir adalah apabila terjadi penyimpangan maupun pembatalan kontrak. Resiko tersebut dapat dihindari, apabila setiap transaksi ekspor yang dilakukan, dituangkan dalam bentuk tertulis atau ke dalam bentuk kontrak dagang (sales contract).

28

Hadisoeprapto Hartono., Kredit Berdokumen (Letter of Credit) Cara Pembayaran dalam Jual Beli Perniagaan, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1984, hlm., 1.

29


(5)

21

Adapun tahap pelaksanaan kontrak dagang (sales contract) ada dua tahap, yakni tahap awal perjanjian dan tahap terjadinya perjanjian.30 Pertama, tahap awal perjanjian adalah tahap dimana terjadi penawaran produk yang dilakukan oleh penjual (eksportir). Hal ini biasanya disertai dengan harga barang, mutu barang, jumlah barang serta syarat-syarat lain yang biasanya disebut an inquiry for a quotation. Apabila penawaran telah disetujui oleh Pembeli (importir), maka kedua

belah pihak mengikatkan diri untuk melakukan “perjanjian jual beli” dengan

syarat-syarat yang telah disepakati.31

Kedua, tahap terjadinya perjanjian merupakan tahap realisasi dari tahap awal perjanjian. Dalam tahap ini dituangkan secara rinci dan tertulis tentang segala sesuatu yang dianggap penting dalam transaksi ekspor impor. Sedangkan yang sama dengan itu adalah realisasi dari perjanjian, yaitu pelaksanaan kontrak suatu perdagangan internasional dan hal ini berarti melibatkan kepentingan lebih dari satu hukum nasional dan masing-masing pihak yang terkait dalam transaksi perdagangan internasional menginginkan agar kontrak yang mereka buat tunduk pada hukum di negara mereka. Pada transaksi perdagangan internasional, masing-masing negara tunduk pada konvensi-konvensi serta perjanjian dagang internasional, yaitu ketentuan yang berlaku secara internasional yang disusun oleh badan internasional dan dalam pertemuan resmi antar negara.32 Selain itu, juga tunduk pada lex mercatoria. Salah satu asas dalam lex mercatoria adalah nemo dat rule.

30

Etty Susilowati Suhardo, Cara Pembayaran dengan Letter of Credit dalam Perdagangan Luar Negeri, Semarang: FH UNDIP, 2001, hlm., 12.

31

Ibid.

32


(6)

22

Dalam setiap transaksi perdagangan, baik itu transaksi perdagangan internasional maupun tidak, selalu menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yang bertransaksi. Pihak penjual diwajibkan melakukan penyerahan barang yang telah diperjanjikan dan berhak pula sesuai dengan prestasinya untuk menerima pembayaran atas harga barang yang telah dijualnya. Begitu pula sebaliknya, pihak pembeli berkewajiban membayar atau melunasi harga dari barang yang diserahkan dan berhak menuntut penyerahan barang yang dibelinya.33 Selain itu, ada pula kewajiban supaya tidak melanggar nemo dat rule yang menjadi fokus kajian skripsi ini.

2.2.

Hukum Transaksi Perdagangan Internasional

Hukum transaksi perdagangan internasional merupakan bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks.

Kompleksnya suatu hubungan atau suatu transaksi perdagangan internasional ini paling tidak disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi) sehingga transaksi-transaksi dagang semakin berlangsung dengan cepat. Batas-batas negara bukan lagi halangan dalam bertransaksi. Bahkan

33

H. M. N., Purwosutjipto, Pengaturan Pokok Hukum Dagang Indonesia-Jilid 4: Hukum Jual Beli Perusahan, Penerbit Djambatan, Jakarta 2003, hlm., 21.


(7)

23

dengan pesatnya teknologi, dewasa ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui atau mengenal siapa rekan dagangnya yang berada jauh di belahan bumi.34

Hukum transaksi perdagangan internasional adalah hukum yang dipergunakan sebagai dasar transaksi bisnis lintas batas negara, yaitu perangkat kaidah, asas-asas dan ketentuan hukum, termasuk institusi dan mekanismenya, yang digunakan untuk mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam suatu transaksi bisnis dalam hubungan dengan objek transaksi, prestasi para pihak, serta segala akibat yang timbul dari akibat transaksi.35

Definisi hukum perdagangan internasional menurut Schmitthoff adalah sekumpulan aturan yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya perdata. Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi yang berbeda negara.36

Hukum transaksi perdagangan internasional memiliki beberapa sumber hukum, yaitu perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional (lex mercatoria), prinsip-prinsip hukum umum, putusan-putusan badan pengadilan dan publikasi sarjana-sarjana hukum terkemuka (doktrin), kontrak dan hukum nasional.37

Dalam kaitannya dengan uraian mengenai hukum perdagangan internasional, skripsi ini hanya akan membicarakan satu aspek dari banyak aspek

34

Ibid., hlm., 10.

35

Wyasa Putra I. D, Op. Cit.

36

Adolf, Huala, Op. Cit. hlm., 4.

37


(8)

24

dalam hukum perdagangan internasional, aspek yang dimaksud adalah nemo dat rule.

2.3.

Hakikat

Nemo Dat Rule

Kepustakaan yang membicarakan tentang bagaimana berlakunya asas hukum nemo dat quod non habet atau nemo dat rule dalam mengatur transaksi perdagangan internasional di Indonesia memang harus diakui, sulit Penulis temukan. Oleh sebab itu, berikut di bawah ini Penulis mengambil sepenuhnya uraian dalam Bab tentang Tinjauan Kepustakaan ini dari suatu Penelitian Individual yang tidak dipublikasikan. Penelitian individual tersebut dilakukan oleh Jeferson Kameo di Glasgow Skotlandia. Penelitian dimaksud adalah penelitian terhadap asas atau kaedah hukum, menurut Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum yang mengatur tentang jual-beli yang dilakukan oleh penjual dan ternyata penjual itu bukanlah merupakan pemilik dari barang yang dijual (sale by a non owner).

Apakah kepemilikan atas suatu benda milik satu pihak dapat dialihkan kepada pihak lain apabila benda itu ternyata dijual oleh orang yang bukan pemilik? Pertanyaan inilah yang Penulis maksudkan sama dengan unsur dalam

pertanyaan „bagaimana‟ berlakunya asas nemo dat qoud non habet atau nemo dat rule yang telah Penulis rumuskan di dalam rumusan masalah Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Ilmiah ini di dalam Bab I.38

Penelitian hukum sebagaimana dikemukakan di atas menemukan bahwa asas dalam hukum perdagangan internasional (lex mercatoria) hasil dikte hukum

38


(9)

25

yang bernama nemo dat rule itu dapat dijumpai dalam rumusan peraturan perundangan yang berlaku di Skotlandia. Rumusan itu adalah:

“... where goods are sold by a person who is not their owner,

and who does not sell them under the authority or with the consent of the owner, the buyer acquires no better title to the goods than the seller had, unless the owner of the goods is by

his conduct precluded from denying the seller’s authority to

sell.39 Yang diartikan sebagai berikut... tatkala sejumlah barang dijual oleh orang yang bukan pemilik dari barang-barang itu, dan juga bahwa barang-barang itu ternyata telah dijual oleh si penjual karena sebelumnya tidak ada kewenangan yang diberikan oleh pemilik barang itu atau bahwa barang-barang itu ternyata telah dijual tanpa persetujuan yang diberikan oleh pemilik barang kepada penjual untuk menjual barang tersebut, maka dengan demikian si pembeli barang-barang tersebut tidak memiliki hak yang lebih baik dari hak yang dimiliki oleh penjual, terkecuali, apabila dapat dibuktikan bahwa pemilik dari benda-benda itu, karena tindakan-tindakan yang telah ia lakukan, dihalangi untuk menyangkal kewenangan si penjual untuk menjual barang-barang itu.”

Kutipan di atas adalah merupakan kutipan dari rumusan peraturan perundangan yang pada hakikatnya mengandung asas hukum dalam perdagangan internasional atau lex mercatoria yaitu nemo dat rule. Sebagaimana dapat dilihat dari perumusan ketentuan yang dikemukakan di atas, asas tersebut pada hakikatnya mengandung perintah, obligation, atau perikatan bahwa tidak seorangpun dapat mengalihkan hak yang lebih baik daripada hak yang ia miliki. Selanjutnya, kutipan itu juga mengandung apa yang disebut sebagai pengecualian terhadap nemo dat rule. Apabila diperhatikan dengan cermat, dalam penggalan yang paling akhir dari kutipan di atas, terlihat suatu rumusan yang menjelaskan lebih lanjut atau ada yang mengatakan pemberian pengecualian terhadap pengertian nemo dat rule yang sebenarnya. Pengecualian atau exemption tersebut

39


(10)

26

yaitu bahwa seorang pemilik atas benda dapat dicegah untuk menyatakan klaim bahwa barang miliknya telah dijual oleh seorang penjual yang tidak mempunyai kewenangan untuk menjual suatu barang, sebab barang itu bukan milik si Penjual.

Penggalan akhir dari kutipan tentang nemo dat rule sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas itu:

unless the owner of the goods is by his conduct precluded from

denying the seller’s authority to sell,” atau “terkecuali, apabila dapat dibuktikan bahwa si pemilik dari benda-benda itu, karena tindakan-tindakan yang telah ia lakukan, dihalangi untuk menyangkal kewenangan si penjual untuk menjual barang-barang itu.”

Di dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, menyerupai apa yang dikenal di dalam lex mercatoria dan di dalam sistem hukum Skotlandia juga dikenal dengan kaedah personal bar. Kaedah personal bar dalam literatur English common law disebut sebagai estoppel. Hanya saja perlu Penulis kemukakan di sini, seperti terungkap dalam Penelitian individual yang sudah dikemukakan di atas, yaitu bahwa khusus mengenai estoppel yang mengecualikan berlakunya asas nemo dat itu, di dalam sistem hukum Inggris sendiri masih terdapat keragu-raguan di kalangan para ahli. Rujukan pada common law mencatat bahwa; klaim apabila pengecualian atas nemo dat rule itu didasarkan kepada estoppel yang biasanya dipahami di Inggris itu, bisa jadi kuranglah tepat. Mengapa demikian? Sebab, dalam pengertian estoppel, larangan hanya sebatas menghalangi pemilik barang untuk melakukan bantahan apabila penjual tidak punya wewenang menjual barang. Kenyataanya, rumusan dalam penggalan Pasal undang-undang sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas tersebut lebih dari pada itu. Yaitu bahwa rumusan Pasal tersebut di samping mencegah pemilik barang untuk


(11)

27

memberikan sanggahan bahwa penjual tidak berhak untuk menjual, Pasal dalam penggalan undang-undang di atas juga menegaskan kembali prinsip, bahwa sejatinya lebih dari sekedar apa yang dikemukakan di atas, hak milik dalam barang yang dijual oleh penjual yang menurut pemilik barang tidak berwenang menjual barang itu sudah beralih dari pemilik barang kepada pembeli. Dalam suatu putusan pengadilan, dikatakan:

We doubt whether this principle ... ought really to be regarded as part of the law of estoppel. At any rate it differs from what is

sometimes called “equitable estoppel” in this vital respect, that

the effect of its application is to transfer a real title and not

merely a metaphorical title by estoppel”.40 Dengan kata lain, para hakim itu meragukan apakah prinsip sebagaimana ada dalam penggalan Pasal dalam undang-undang yang telah Penulis kemukakan di atas ... haruslah benar-benar dituruti sebagai satu bagian dari hukum tentang estoppel. Bagaimanapun juga ketentuan sebagaimana ada dalam penggalan Pasal yang dikemukakan di atas itu berbeda dari apa yang kadang dimengerti sebagai “estoppel ekuiti”. Bahwa sesungguhnya akibat dari rumusan dalam penggalan Pasal sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas itu adalah bahwa ada peralihan hak yang nyata dari pemilik benda kepada pembeli, dan tidak sekedar peralihan yang sifatnya metaforikal atau semu.

Penelitian individual yang tidak dipublikasikan sebagaimana telah diungkapkan di atas, mengungkapkan bahwa sejatinya pengecualian (exemption) terhadap asas nemo dat quot non habet itu dapat dibenarkan tidak dengan mendasarkan diri kepada English common law of estoppel sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas. Yang benar adalah bahwa justifikasi terhadap

40

Hasil Penelitian Individuil sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas dari Eastern Distributors Ltd v Goldring [1957] 2 Q.B. 600 at 611, per Lord Devlin. Perlu Penulis kemukakan penjelasan kutipan ini yaitu bahwa yang dimaksud dengan Eastern Distributors Ltd v Goldring

adalah nama para pihak yang bersengketa pda tahun 1957. Pihak Penggugat adalah Eastern Distributors Ltd, sedangkan Pihak Tergugat adalah Goldring, dan keputusannya dimuat di dalam Jurnal Hukum yang singkatannya adalah Q. B., atau Queen Bench Edisi Kedua putusan dimuat mulai halaman 600 dan pertimbangan hakim yang bernilai hukum sebagaimana dikemukakan di atas dapat ditemukan pendapat dari Lord Devlin pada halaman 611.


(12)

28

pengecualian nemo dat rule musti didasarkan kepada kewenangan seorang agen. Kewenangan agen tersebut adalah kewenangan agen yang di dalam Scottish Common Law41 dikenal berjenis apparent authority. Jelasnya, yang dimaksud dengan apparent authority adalah kewenangan agen yang nampak di atas permukaan ada, meskipun ada kemungkinan, 42 apabila di kemudian hari dibuktikan ternyata kewenangan agen untuk mengalihkan kepemilikan barang dari pihak prinsipal kepada pembeli yang membeli dari agen itu ternyata tidak ada.

Perlu ditegaskan di sini bahwa pengecualian terhadap nemo dat rule yang mencari justifikasi kepada asas hukum apparent authority dan bukan kepada English doktrin bernama estoppel itu, logikanya, atau rasio legisnya pernah dikemukakan oleh seorang hakim Inggris yang sangat terkenal yaitu Lord Denning. Dalam suatu dikta putusan di mana Dening menjadi ketua majelis untuk menyidangkan kasus yang berdimensi perdagangan internasional, dikatakan:

In the development of our law, two principles have striven for mastery. The first is for the protection of property: no one can give a better title then he himself possesses. The second is for the protection of commercial transactions: the person who takes in good faith and for value without notice should get a good title. The first principle has held sway for along time, but it has been modified by the Common Law itself and by statute so as to meet the needs of our times. 43 Yang berarti, dalam pembangunan hukum di Inggris, dua asas atau prinsip hukum

41

Mengenai perbedaan antara Scottish Common Law dengan English common law ini uraian yang lebih tepat dapat dibaca dalam Buku Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

42

Sekali lagi ada kemungkinan, tidak selamanya setelah dibuktikan di kemudian hari ternyata kewenangan itu tidak ada.

43

Bishopsgate Motor Finance Corporation Ltd v Transport Brakes Ltd [1949] 1 K.B. 322 mulai dapat dibaca point pengecualian nemo dat rule pada halaman 336 sampai dengan halaman 337 di mana di dalamnya terdapat pendapat hukum Lord Denning. Keterangan dikutip dari hasil penelitian Jeferson Kameo yang tidak dipublikasikan sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas.


(13)

29

telah berlomba-lomba untuk saling menguasai satu sama lainnya. Prinsip yang pertama adalah kaedah perlindungan kepada harta kekayaan atau hak milik. Prinsip itu menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat memberikan suatu titel atau hak yang lebih baik daripada apa yang dia miliki. Sedangkan prinsip yang kedua adalah untuk melindungi transaksi-transaksi perdagangan44: yaitu asas bahwa seseorang yang memperoleh suatu barang atau hak secara beriktikad baik, dan bahwa barang itu dibayarkan dengan nilai yang sesuai atau pantas dengan barang tersebut tanpa terlebih dahulu mengetahui secara pasti mengenai siapa sesungguhnya pemilik barang tersebut maka si orang (pembeli) yang beriktikad baik tersebut haruslah diberikan perlindungan dengan menghargai bahwa hak atau titel yang ia peroleh adalah titel yang baik. Prinsip yang pertama telah memerintah jagat raya sejak lama sekali, namun prinsip tersebut telah dimodifikasi oleh Common Law45 itu sendiri dan juga oleh undang-undang yang berlaku sehingga dengan modifikasi itu ada hukum yang bisa memenuhi kebutuhan kita saat ini.

Apapun analisis dalam rangka mencari pembenar terhadap pengecualian berlakunya nemo dat rule, seperti telah dikemukakan di atas, namun dari uraian tentang apa itu nemo dat rule maupun sejumlah rasionalisasi yang diberikan kepada kemungkinan pengecualian (exemption) atas asas itu menunjukan bahwa nemo dat rule itu sendiri pada hakikatnya (its nature) adalah suatu kaedah hukum atau suatu perikatan (obligation). Perikatan tersebut timbul karena hukum (the dictate of the Law). Dalam struktur analisis ilmu hukum, perikatan yang demikian itu ada di dalam penggalan definisi kontrak di bawah ini:

44

Perlu dikemukakan di sini bahwa ketika Lord Dening menguasai peradilan Inggris, pada waktu itu Inggris sedang giat-giatnya berjuang untuk menunjukkan kepada dunia bahwa sistem hukum

common law mereka (English) juga harus belajar dari sistem hukum Common Law Skotlandia yang lebih baik dalam mengatur perlindungan kepada transaksi-transaksi bisnis internasional yang pada saat Dening berkuasa kualitas dan kuantitasnya memang berada pada titik-tidak kejayaan.

45

Peneliti yang hasil penelitian ilmiahnya tidak dipublikasikan dan dirujuk sepenuhnya dalam Bab ini menegaskan bahwa dapat dipastikan apabila Lord Dening tidak merujuk kepada English

common law tetapi Scottish Common Law. Banyak putusan-putusan Dening yang merekonsiliasi antara Scottish Common Law dan English common law sebab Dening bersedia belajar untuk membangun English common law dan mereformasi sistem hukum Inggris dengan bertransposisi untuk menaikan derajat English common law mendekati Scottish Common Law.


(14)

30

Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya. 46

Sehingga merujuk kepada hakikat nemo dat rule sebagai suatu kontrak dan memperhatikan definisi kontrak sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, maka apabila penggalan dalam definisi kontrak tersebut di atas diganti dengan larangan nemo dat rule, maka rumusan penggalan dari definisi itu akan menyebabkan definisi kontrak sebagaimana dikemukakan di atas hanya berlaku untuk satu kewajiban, yaitu larangan nemo dat rule yang rumusannya menjadi:

“... larangan tidak boleh nemo dat rule bagi setiap orang, termasuk mereka yang melakukan transaksi bisnis internasional yang otomatis juga merupakan suatu janji atau kata-sepakat yang dinyatakan secara diam-diam antara orang yang satu dengan orang lainnya untuk memberikan barang, misalnya dalam Putusan 1887 adalah pupuk, atau berbuat, dalam hal ini memerintahkan agar pengangkut dalam Putusan 1887 menyerahkan pupuk kepada tiga pihak yang memesan dari PT. Gespamindo sebagai orang lain tersebut di dalam hubungan hukum yang menjadi sengketa di Putusan 1887, atau larangan untuk tidak melakukan nemo dat rule mengingat hal itu merupakan tuntutan hukum (the dictate of the Law) supaya siapa saja tidak memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merugikan orang lain sebab semua hal itu sama juga dengan dipenuhinya suatu tuntutan keadilan di dalam Hukum”.

2.4.

Sejarah Keberadaan

Nemo Dat Rule

Meskipun terlihat pada kutipan yang baru saja dikemukakan di atas ada sedikit aspek historis mengenai perkembangan berlakunya dan juga modifikasinya

46

Definisi Kontrak itu dikutip dari Buku Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum,


(15)

31

asas nemo dat quot non habet sebagaimana diungkap oleh Lord Denning di atas, namun dalam Bab ini, Penulis juga merasa perlu untuk memberikan sedikit gambaran tentang sejarah keberadaan nemo dat rule ini sehingga sedikit dapat memberikan gambaran tentang bagaimana keberadaan nemo dat rule yang telah dijanjikan dalam rumusan masalah dalam Bab I untuk dicarikan jawabannya.

Sejarah perlindungan terhadap hak milik yang belakangan ini lebih tren dengan sejarah perkembangan hak-hak asasi manusia sebetulnya sudah terlihat dari perlindungan hak milik yang terdapat di balik nemo dat rule. Menurut penelitian individuil yang tidak dipublikasikan yang berkali-kali dijadikan referensi Penulis untuk penyusunan Bab Tinjauan Kepustakaan ini, nemo dat rule adalah suatu prinsip yang sangat tetap (a well-established principle) yang dapat dilihat dalam surat-surat Paulus kepada jemaatnya yang menjadi bagian dari bangsa yang berada dan tunduk ke dalam hukum positif Romawi. Menurut penelitian individuil di atas, prinsip tersebut diadopsi oleh Ulpian ke dalam produk hukum bernama Digest yang ditulis oleh Ulpian.47 Dalam karyanya itu, Ulpian menegaskan pengakuan akan kebenaran suatu kaedah nemo plus iuris ad alium transferre potest, quam ipse habet.48

Latin maxim yang menjadi rujukan pula dari lex mercatoria, atau yang saat ini dikenal dengan hukum dagang/bisnis internasional diartikan sebagai tidak ada

47

Ulpian mengemukakan perihal nemo dat rule dalam Paragraf ke-50.

48

Kepustakaan yang dirujuk oleh Peneliti di atas dapat dibandingkan dengan tulisan De Zulueta,

Roman Law of Sale, dalam halaman 36. Dan dapat pula dibandingkan dengan buku Buckland and McNair, berjudul Roman Law and Common Law, dalam halaman 77. Apabila rumusan kaedah itu ditilik secara etimologis, kata per kata maka kata nemo adalah kata dalam bahasa Latin yang berarti: tidak seorang pun, sedangkan plus artinya lebih dari, iuris artinya dapat dibenarkan, ad

artinya agar supaya, alium artinya pihak lain, transferee artinya orang yang menerima peralihan,


(16)

32

seorangpun yang dapat mengalihkan kepada orang lain suatu hak yang lebih besar dari apa yang ia miliki. Untuk memberi ilustrasi yang jelas mengenai kaedah yang terdapat di dalam maxim Latin, orang dapat mengambil contoh dari situasi di mana ada seorang pembeli yang beriktikad baik yang membeli barang curian. Barang curian tersebut dibeli oleh pembeli yang beriktikad baik, entah dibeli langsung dari pencuri atau dari seseorang yang sudah membeli barang tersebut dari pencuri. Maka menurut kaedah hukum yang mengatur mengenai perlindungan hak milik dalam sejarah kaedah tersebut di jaman kekaisaran Romawi, pembeli tadi tidak berhak atas barang yang telah dia beli. Sehingga barang itu dalam keadaan berada dalam kompetisi antara pembeli dari pencuri dengan pemilik dari benda itu. Hal ini terjadi karena orang yang menjual barang yang dibeli oleh pembeli itu ternyata tidak mempunyai hak atau titel, dan menurut kaedah di dalam maxim di atas, pencuri tersebut tidak dapat memberikan kepada pembeli suatu hak atau suatu titel yang lebih baik daripada yang dimiliki oleh pencuri tersebut.

Di dalam sistem hukum Romawi pun nemo dat rule sesungguhnya juga memperoleh pengecualian, terutama dalam hal yang berkaitan dengan peralihan surat-surat berharga yang dijaman itu sudah dikenal dengan accomodation bill. Dalam hubungan hukum seperti itu, seorang penarik bill yang menerbitkan surat tersebut mempunyai hak yang lebih baik dibandingkan dengan si indorser. Demikian pula dengan apa yang dikatakan oleh Bell:49

“...possessors of moveables who have lawfully come into

possession, may in some cases give a better title than they have;

49


(17)

33

their own title may be that of mere factor or agent, --not proprietor, -- but they may sell so as validly to vest the

purchaser in bona fide with a right of property”. Artinya, orang

yang menguasai benda bergerak yang secara sah telah memegang barang-barang itu, dapat dalam hal-hal tertentu memberikan hak atau titel yang lebih baik daripada yang mereka peroleh; hak atau titel mereka mungkin sebatas sebagai faktor atau agen dan bukan pemilik benda, -- tetapi mereka dapat menjual supaya secara sah dapat memberikan kepada pembeli yang beriktikad baik dengan suatu hak atas benda.”

Di Indonesia, nemo dat rule dapat dijumpai dalam Pasal 584 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut:

Hak milik atas suatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukkan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.

Menurut Penulis, nemo dat rule yang secara tersurat memang tidak terlihat di dalam rumusan ketentuan tersebut dapat diinfers dari penggalan kalimat dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu. Penggalan kalimat dari rumusan Pasal 584 tersebut memberikan isyarat bahwa tanpa kepemilikan seseorang tidak dapat mengalihkan hak milik.

Masuknya rumusan yang menurut pendapat Penulis berdimensi nemo dat rule di atas di dalam sistem KUHPerdata Indonesia, dalam perspektif sejarah dapat disimpulkan bahwa aturan tersebut tidak dapat dilepaskan dari rumusan Ulpian sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas. Sebagai bagian dari sistem hukum yang menganut tradisi civil law, maka KUHPerdata Indonesia juga sesungguhnya sudah tidak terlalu asing lagi dengan nemo dat rule.


(18)

34

Di dalam sistem hukum positif Indonesia pun, nemo dat rule ternyata memperoleh pengecualian yang sama dengan yang terjadi dalam kancah pengaturan perdagangan internasional, seperti yang gambarannya telah Penulis uraikan di atas. Pengecualian dimaksud adalah diatur dalam Pasal 548 yang mengatakan tiap-tiap kedudukan berkuasa yang beriktikad baik, memberi kepada si yang memangkunya, hak-hak atas kebendaan yang dikuasai.50

2.5.

Arti Penting Tinjauan Kepustakaan atas

Nemo Dat Rule

Memperhatikan tinjauan kepustakaan tentang hakikat nemo dat rule dan sejarah keberadaaan kaedah hukum tersebut sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, maka berikut di bawah ini Penulis perlu pula mengemukakan arti penting tinjauan kepustakaan di atas, dalam konteks menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah penelitian sebagaimana telah Penulis kemukakan di dalam Bab I skripsi ini. Bahwa arti penting dari studi kepustakaan di atas adalah keberadaan nemo dat rule, yang pada hakikatnya adalah merupakan suatu kontrak itu ternyata bisa jadi tidaklah merupakan suatu kaedah yang bersifat mutlak (absolut). Dalam semua sistem hukum, baik itu sistem hukum yang sudah tergolong ancient atau kuno, maupun dalam sistem hukum di Inggris dan Skotlandia serta sistem hukum di Indonesia, nemo dat rule dikecualikan dalam rangka memberikan perlindungan kepada pembeli yang beriktikad baik (in good faith) yang membeli suatu harga barang dengan bayaran yang sesuai dengan harga barang tersebut.

50

Uraian pengecualian nemo dat rule tersebut dapat dibaca lebih jauh dalam Pasal 548 Ayat (1), (2), (3) dan (4) KUHPerdata Indonesia.


(19)

35

Isu hukum selanjutnya, yang juga menjadi arti penting dari studi kepustakaan ini adalah, dalam konteks Putusan 1887, apakah para hakim yang mengadili Putusan 1887 itu juga telah mempertimbangkan pengecualian yang berlaku dalam lex mercatoria atau hukum perdagangan internasional dalam rangka memberikan perlindungan terhadap ketiga perusahaan yang memesan pupuk untuk dibeli dari Australia tersebut? Dalam Bab Selanjutnya hal ini dianalisis secara khusus,51 terutama setelah dikemukakan terlebih dahulu hasil penelitian yaitu gambaran tentang Putusan 1887.

51


(1)

30 Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat

dengan orang lain untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun tidak diperjanjikan sebelumnya. 46

Sehingga merujuk kepada hakikat nemo dat rule sebagai suatu kontrak dan

memperhatikan definisi kontrak sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, maka apabila penggalan dalam definisi kontrak tersebut di atas diganti dengan

larangan nemo dat rule, maka rumusan penggalan dari definisi itu akan

menyebabkan definisi kontrak sebagaimana dikemukakan di atas hanya berlaku

untuk satu kewajiban, yaitu larangan nemo dat rule yang rumusannya menjadi:

“... larangan tidak boleh nemo dat rule bagi setiap orang, termasuk mereka yang melakukan transaksi bisnis internasional yang otomatis juga merupakan suatu janji atau kata-sepakat yang dinyatakan secara diam-diam antara orang yang satu dengan orang lainnya untuk memberikan barang, misalnya dalam Putusan 1887 adalah pupuk, atau berbuat, dalam hal ini memerintahkan agar pengangkut dalam Putusan 1887 menyerahkan pupuk kepada tiga pihak yang memesan dari PT. Gespamindo sebagai orang lain tersebut di dalam hubungan hukum yang menjadi sengketa di Putusan 1887, atau larangan untuk tidak melakukan nemo dat rule mengingat hal itu merupakan tuntutan hukum (the dictate of the Law) supaya siapa saja tidak memberikan atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merugikan orang lain sebab semua hal itu sama juga dengan dipenuhinya suatu tuntutan keadilan di dalam Hukum”.

2.4.

Sejarah Keberadaan

Nemo Dat Rule

Meskipun terlihat pada kutipan yang baru saja dikemukakan di atas ada sedikit aspek historis mengenai perkembangan berlakunya dan juga modifikasinya

46

Definisi Kontrak itu dikutip dari Buku Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum,


(2)

31

asas nemo dat quot non habet sebagaimana diungkap oleh Lord Denning di atas,

namun dalam Bab ini, Penulis juga merasa perlu untuk memberikan sedikit

gambaran tentang sejarah keberadaan nemo dat rule ini sehingga sedikit dapat

memberikan gambaran tentang bagaimana keberadaan nemo dat rule yang telah

dijanjikan dalam rumusan masalah dalam Bab I untuk dicarikan jawabannya.

Sejarah perlindungan terhadap hak milik yang belakangan ini lebih tren dengan sejarah perkembangan hak-hak asasi manusia sebetulnya sudah terlihat

dari perlindungan hak milik yang terdapat di balik nemo dat rule. Menurut

penelitian individuil yang tidak dipublikasikan yang berkali-kali dijadikan

referensi Penulis untuk penyusunan Bab Tinjauan Kepustakaan ini, nemo dat rule

adalah suatu prinsip yang sangat tetap (a well-established principle) yang dapat

dilihat dalam surat-surat Paulus kepada jemaatnya yang menjadi bagian dari bangsa yang berada dan tunduk ke dalam hukum positif Romawi. Menurut penelitian individuil di atas, prinsip tersebut diadopsi oleh Ulpian ke dalam

produk hukum bernama Digest yang ditulis oleh Ulpian.47 Dalam karyanya itu,

Ulpian menegaskan pengakuan akan kebenaran suatu kaedah nemo plus iuris ad

alium transferre potest, quam ipse habet.48

Latin maxim yang menjadi rujukan pula dari lex mercatoria, atau yang saat

ini dikenal dengan hukum dagang/bisnis internasional diartikan sebagai tidak ada

47

Ulpian mengemukakan perihal nemo dat rule dalam Paragraf ke-50.

48

Kepustakaan yang dirujuk oleh Peneliti di atas dapat dibandingkan dengan tulisan De Zulueta,

Roman Law of Sale, dalam halaman 36. Dan dapat pula dibandingkan dengan buku Buckland and McNair, berjudul Roman Law and Common Law, dalam halaman 77. Apabila rumusan kaedah itu ditilik secara etimologis, kata per kata maka kata nemo adalah kata dalam bahasa Latin yang berarti: tidak seorang pun, sedangkan plus artinya lebih dari, iuris artinya dapat dibenarkan, ad

artinya agar supaya, alium artinya pihak lain, transferee artinya orang yang menerima peralihan,


(3)

32 seorangpun yang dapat mengalihkan kepada orang lain suatu hak yang lebih besar dari apa yang ia miliki. Untuk memberi ilustrasi yang jelas mengenai kaedah yang terdapat di dalam maxim Latin, orang dapat mengambil contoh dari situasi di mana ada seorang pembeli yang beriktikad baik yang membeli barang curian. Barang curian tersebut dibeli oleh pembeli yang beriktikad baik, entah dibeli langsung dari pencuri atau dari seseorang yang sudah membeli barang tersebut dari pencuri. Maka menurut kaedah hukum yang mengatur mengenai perlindungan hak milik dalam sejarah kaedah tersebut di jaman kekaisaran Romawi, pembeli tadi tidak berhak atas barang yang telah dia beli. Sehingga barang itu dalam keadaan berada dalam kompetisi antara pembeli dari pencuri dengan pemilik dari benda itu. Hal ini terjadi karena orang yang menjual barang yang dibeli oleh pembeli itu ternyata tidak mempunyai hak atau titel, dan menurut kaedah di dalam maxim di atas, pencuri tersebut tidak dapat memberikan kepada pembeli suatu hak atau suatu titel yang lebih baik daripada yang dimiliki oleh pencuri tersebut.

Di dalam sistem hukum Romawi pun nemo dat rule sesungguhnya juga

memperoleh pengecualian, terutama dalam hal yang berkaitan dengan peralihan

surat-surat berharga yang dijaman itu sudah dikenal dengan accomodation bill.

Dalam hubungan hukum seperti itu, seorang penarik bill yang menerbitkan surat

tersebut mempunyai hak yang lebih baik dibandingkan dengan si indorser.

Demikian pula dengan apa yang dikatakan oleh Bell:49

“...possessors of moveables who have lawfully come into

possession, may in some cases give a better title than they have;

49


(4)

33 their own title may be that of mere factor or agent, --not

proprietor, -- but they may sell so as validly to vest the

purchaser in bona fide with a right of property”. Artinya, orang

yang menguasai benda bergerak yang secara sah telah memegang barang-barang itu, dapat dalam hal-hal tertentu memberikan hak atau titel yang lebih baik daripada yang mereka peroleh; hak atau titel mereka mungkin sebatas sebagai faktor atau agen dan bukan pemilik benda, -- tetapi mereka dapat menjual supaya secara sah dapat memberikan kepada pembeli yang beriktikad baik dengan suatu hak atas benda.”

Di Indonesia, nemo dat rule dapat dijumpai dalam Pasal 584 KUHPerdata

yang menyatakan sebagai berikut:

Hak milik atas suatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukkan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.

Menurut Penulis, nemo dat rule yang secara tersurat memang tidak terlihat

di dalam rumusan ketentuan tersebut dapat diinfers dari penggalan kalimat dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu. Penggalan kalimat dari rumusan Pasal 584 tersebut memberikan isyarat bahwa tanpa kepemilikan seseorang tidak dapat mengalihkan hak milik.

Masuknya rumusan yang menurut pendapat Penulis berdimensi nemo dat

rule di atas di dalam sistem KUHPerdata Indonesia, dalam perspektif sejarah

dapat disimpulkan bahwa aturan tersebut tidak dapat dilepaskan dari rumusan Ulpian sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas. Sebagai bagian dari sistem

hukum yang menganut tradisi civil law, maka KUHPerdata Indonesia juga


(5)

34

Di dalam sistem hukum positif Indonesia pun, nemo dat rule ternyata

memperoleh pengecualian yang sama dengan yang terjadi dalam kancah pengaturan perdagangan internasional, seperti yang gambarannya telah Penulis uraikan di atas. Pengecualian dimaksud adalah diatur dalam Pasal 548 yang mengatakan tiap-tiap kedudukan berkuasa yang beriktikad baik, memberi kepada

si yang memangkunya, hak-hak atas kebendaan yang dikuasai.50

2.5.

Arti Penting Tinjauan Kepustakaan atas

Nemo Dat Rule

Memperhatikan tinjauan kepustakaan tentang hakikat nemo dat rule dan

sejarah keberadaaan kaedah hukum tersebut sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, maka berikut di bawah ini Penulis perlu pula mengemukakan arti penting tinjauan kepustakaan di atas, dalam konteks menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah penelitian sebagaimana telah Penulis kemukakan di dalam Bab I skripsi ini. Bahwa arti penting dari studi kepustakaan di atas adalah

keberadaan nemo datrule, yang pada hakikatnya adalah merupakan suatu kontrak

itu ternyata bisa jadi tidaklah merupakan suatu kaedah yang bersifat mutlak (absolut). Dalam semua sistem hukum, baik itu sistem hukum yang sudah

tergolong ancient atau kuno, maupun dalam sistem hukum di Inggris dan

Skotlandia serta sistem hukum di Indonesia, nemo dat rule dikecualikan dalam

rangka memberikan perlindungan kepada pembeli yang beriktikad baik (in good

faith) yang membeli suatu harga barang dengan bayaran yang sesuai dengan harga barang tersebut.

50

Uraian pengecualian nemo dat rule tersebut dapat dibaca lebih jauh dalam Pasal 548 Ayat (1), (2), (3) dan (4) KUHPerdata Indonesia.


(6)

35 Isu hukum selanjutnya, yang juga menjadi arti penting dari studi kepustakaan ini adalah, dalam konteks Putusan 1887, apakah para hakim yang mengadili Putusan 1887 itu juga telah mempertimbangkan pengecualian yang

berlaku dalam lex mercatoria atau hukum perdagangan internasional dalam

rangka memberikan perlindungan terhadap ketiga perusahaan yang memesan pupuk untuk dibeli dari Australia tersebut? Dalam Bab Selanjutnya hal ini

dianalisis secara khusus,51 terutama setelah dikemukakan terlebih dahulu hasil

penelitian yaitu gambaran tentang Putusan 1887.

51


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Inkonsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: studi terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Inkonsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: studi terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi T1 312012002 BAB I

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Inkonsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: studi terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi T1 312012002 BAB II

0 6 34

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Inkonsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: studi terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi T1 312012002 BAB IV

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nemo Dat Rule dalam Putusan Mahkamah Agug Republik Indonesia

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nemo Dat Rule dalam Putusan Mahkamah Agug Republik Indonesia T1 312010029 BAB I

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nemo Dat Rule dalam Putusan Mahkamah Agug Republik Indonesia T1 312010029 BAB IV

0 1 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nemo Dat Rule dalam Putusan Mahkamah Agug Republik Indonesia

0 0 10

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Yuridis Putusan HakimTerkait dengan Esensi Utang dalam Putusan Kepailitan T1 BAB II

0 1 56

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 21PUUXXI2014 tentang Penetapan Tersangka sebagai Obyek Praperadilan T1 BAB II

0 0 57