T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 21PUUXXI2014 tentang Penetapan Tersangka sebagai Obyek Praperadilan T1 BAB II

BAB II PEMBAHASAN

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. MEKANISME PENETAPAN TERSANGKA

  Penyidikan berasal dari kata selidik artinya teliti, cermat atau diperiksa, sedangkan penyelidikan berarti usaha untuk memperoleh informasi melalui pengumpulan data atau proses. Latar belakang, motivasi dan urgensi introdusirnya fungsi dilakukannya penyelidikan adalah untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepada Hak Asasi manusia itu sendiri yang mengacu pada asas legalitas.

  Dalam melaksanakan fungsi “Penyelidikan” dan “Penyidikan”, konstitusi memberi “hak istimewa” atau “hak previlese” kepada Polri untuk: memanggil-memeriksa- menangkap-menahan-menggeledah-menyita terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tidak pidana. Hak dan kewenangan tersebut, harus taat dan

  tunduk kepada prinsip : the right of due process. 1

  Dalam prinsip : the right of due process tersebut menjelaskan setiap tersangka berhak disidik di atas landasan “sesuai dengan hukum acara”. Bahwa konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi “supremasi hukum”, dalam menangani tindak pidana: tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum (no one is above the law), dan hukum harus diterapkan kepada siapapun berdasarkan prinsip “perlakukan” dan dengan “cara yang jujur”.

  Menurut J.C.T. Simorangkir, bahwa tersangka adalah “seseorang yang telah disangka melakukan sesuatu tindak pidana dan ini masih dalam taraf pemeriksaan pendahuluan untuk dipertimbangkan apakah tersangka ini mempunyai cukup dasar

  untuk diperiksa di persidangan. 2

  Menurut Pasal 1 butir 14 Kitab Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa pengertian tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga

  1 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penetapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Cet ke-14,2012,hlm 95.

  2 J.C.T. Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Pen. Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm 178 2 J.C.T. Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Pen. Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm 178

  Sedangkan Rapat Kerja MAKEHJAPOL 1 (Mahkamah agung-Kehakiman-

  Kejaksaan-Polisi, tanggal 21 maret 1984, menyimpulkan bahwa bukti permulaan yang cukup seyogianya minimal: laporan polisi ditambah salah satu alat bukti lainnya.

  Menurut P.A.F. Lamintang, mengatakan bahwa “barang bukti permulaan yang cukup“ dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai “bukti-bukti minimal”, berupa alat-alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 ayat 4 KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana setelah

  terhadap seorang tersebut dilakukan penangkapan. 3 KUHAP memang tidak menjelaskan lebih lanjut tentang definisi ‘bukti permulaan’, namun KUHAP secara jelas mengatur tentang

  alat bukti yang sah di dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP yaitu meliputi: (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk, (5) keterangan terdakwa.

  Dalam proses penyidikan hanya dimungkinkan untuk memperoleh alat bukti yang sah berupa keterangan saksi,keterangan ahli, surat dan keterangan tersangka, Sementara, alat bukti berupa petunjuk diperoleh dari penilaian hakim setelah melakukan pemeriksaan di dalam persidangan, dan alat bukti berupa keterangan terdakwa diperoleh ketika seorang terdakwa di dalam persidangan, sebagaimana hal tersebut jelas diatur di dalam ketentuan Pasal 188 ayat (3) KUHAP dan ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP.

  Apabila di dalam suatu proses penyidikan sudah terdapat laporan polisi dan satu alat bukti yang sah maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka, dan alat bukti yang sah yang dimaksud tersebut dapat berupa keterangan saksi, keterangan ahli dan surat. Selain itu, perlu ditekankan jika ‘keterangan saksi’ yang dimaksud sebagai alat bukti yang sah tidak terlepas dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menjelaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang di dakwakan

  3 P.A.F. Lamintang, KUHAP Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Pen. Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm 117 3 P.A.F. Lamintang, KUHAP Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Pen. Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm 117

  Berkaitan dengan hal tersebut apabila telah terdapat laporan polisi dan adanya keterangan seorang saksi saja maka tidak serta merta dapat menjadi satu alat bukti yang sah, karena harus disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya, maka secara hukum seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian s etelah adanyan penetapan tersangka tersebut, mengakibatkan adanya upaya paksa lainnya yang dapat diterapkan kepadanya. Upaya

  paksa tersebut antara lain yaitu dilakukannya penyitaan, penggeledahan dan lain sebagainya. Ketika tersangka merasa haknya dilanggar atas upaya paksa tersebut, maka tersangka mempunyai hak untuk mengajukan upaya hukum yaitu Praperadilan.

2. PRAPERADILAN

  Praperadilan merupakan lembaga peradilan yang tidak berdiri sendiri. Dalam hal ini bahwa pra peradilan merupakan salah satu lembaga yang mempunyai wewenang untuk tidak memberikan putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Bahwa praperadilan sendiri hanya suatu lembaga yang mempunyai ciri eksistensi yaitu sebagai berikut.

  a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan

  sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tak terpisah dari Pengadilan Negeri.

  b. Dengan demikian, praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun

  sejajar dengan Pengadilan Negeri, tapi hanya devisi dari Pengadilan Negeri.

  c. Administrasi yudisial, personil, peralatan, dan financia bersatu dengan

  Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua pengadilan

  d. Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial

  Pengadilan Negeri itu sendiri. 4

  Dalam pelaksanaan prapreadilan undang-undang memberikan wewenang kepada Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP

  a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

  b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

  4 M. Yahya Harahap,pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm 1

  Dengan kata lain, praperadilan memiliki obyek penting didalamnya yakni, pertama, memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa yang meliputi penangkapan dan penahanan. Kedua, memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dapat dilakukan karena empat hal yaitu nebis in idem atau karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusannya sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, perkara yang disangkakan padanya merupakan perkara yang kadaluwarsa, dan abbuse of authority. Ketiga, berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi. Keempat, memeriksa

  permintaan rehabilitasi. Kelima, Praperadilan terhadap tindakan penyitaan. 5

  Sedangkan dalam pelaksanaannya praperadilan diatur lebih lanjut dalam Pasal 82-83 KUHAP. Dalam proses permeriksaan di pengadilan praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang di tunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri yang di bantu oleh seorang panitra dalam memeriksa atau memutus mengenai praperadilan. Pelaksanaan praperadilan tersebut timbul atas permintaan atau pengajuan yang di ajukan oleh tersangka, keluarga tersangka ataupun kuasa hukum tersangka kepada Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasan yang menjadi dasar praperadilan. Bahwa dalam hal ini permintaan yang diminta adalah ganti kerugian atas proses peradilan di tingkat penyidikan ataupun penuntutan.

  Kewenangan pelaksanaan praperadilan mutlak menjadi wewenang Pengadilan Negeri dalam memeriksa ataupun memutus perkara praperadilan. Putusan mengenai praperadilan tidak dapat dimintakan banding kecuali dalam beberpa hal yang yaitu penetapan sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.

3. PEMERIKSAAN PERSINDANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

  1. Pemeriksaan Pendahuluan

  5 Yahya Harahap,pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm 4-6

  Pemeriksaan pendahuluan adalah satu pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim (panel) dan dihadiri pemohon untuk mempersiapkan permohonan tersebut secara lengkap sebelum diadakan persidangan baik untuk mendengar keterangan dari pemerintah, DPR maupun pihak terkait dengan cara yang efektif, efisien dan

  lancar. 6 Sifat pemeriksaan pendahuluan adalah informatif, dalam arti pemeriksaan pendahuluan dimaksudkan untuk memberi penjelasan dan memperoleh informasi

  sehingga masalah yang diajukan dapat dipahami secara baik dan benar oleh hakim maupun oleh pemohon sendiri.

  Dalam UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pemeriksaan pendahuluan ini diatur tersendiri dalam Bagian Kelima Bab V tentang Hukum Acara. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 39 yaitu:

  (1) Sebelum mulai pemeriksaan pokok perkara, Mahkamah Konstitusi

  mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan;

  (2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal (1),

  Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 hari.

  Pemeriksaan pendahuluan harus dilakukan terlebih dahulu sebelum mengadakan pemeriksaan terhadap pokok perkara (substansi permohonan). Dalam pemeriksaan pendahuluan tersebut bertujuan untuk:

  (1) Memastikan kelengkapan berkas permohonan perkara pengujian

  undang-undang yang diajukan oleh pemohon sesuai dengan ketentuan UU dan PMK

  (2) Memastikan kejelasan materi permohonana yang diajukan oleh

  pemohon, baik posita-nya, amar yang diminta, dan apa saja alat bukti yang sudah dan akan diajukan untuk mendukung dalil-dalil yang diajukan.

  (3) Memastikan bahwa permohonan yang diajukan oleh pemohon

  memang termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili, termasuk mengenai kejelasaan apakah

  6 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia, cet pertama, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm 101 6 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia, cet pertama, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm 101

  (4) Memastikan kualiatas kedudukan hukum atau legal standing

  permohonan yang mengajukan permohonan memang menentukan syarat menurut ketentuan Undang-undang.

  (5) Memastikan bahwa permohonan perkara pengujian undang-undang

  yang diajkan oleh pemohon itu memang sudah sesuai dengan ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 dan Peratuan Mahkamah Konstitusi No.

  06PMK2005. 7

  Selain kelima hal tersebut, dalam pemeriksaan pendahuluan juga dilakukan pemeriksaan terhadap alat bukti yang diajukan oleh pemohon dalam pemeriksaan pada tahap-tahap selanjutnya. Jika pemohon mengajuka alat-alat bukti surat, perlu dipastikan bahwa cara pemohon memperoleh alat bukti surat tersebut tidak melanggar hukum dan diambil dari sumber yang resmi. Berkaitan dengan pembukian tersebut Mahkamah Kosntitusi menganut prinsip adanya disclosure (keterbukaan) dari pemohon, yang diatur dalam Pasal 31 ayat (2) UU MK tentang beracara,

  baik keterbukaan tentang alat bukti yang dipunyainya dan keterbukaan buktinya kepada Pemerintah, DPR maupun hakim MK sendiri.

  Selanjutnya, apabila permohon bermaksud mengajukan saksi dan ahli dalam rangka pembuktian atas dalil-dalil yang diajukan dalam persidangan, maka panel hakim perlu memastikan mengenai siapa, apa relevansinya dengan perkara, dan berapa saksi danatau ahli yang diajukan. Pada pokoknya tidak semua saksi atau ahli yang diajukan oleh pemohon dapat diterima untuk dihadirkan dalam peridangan Mahkamah Konstitusi.

  Setelah semua permasalahan yang diuraikan diatas telah dapat ditata maka perbaikan permohonan yang disarankan hakim atau yang diinginkan pemohon serta kelengkapan bukti-bukti lain telah dapat diajukan tanpa harus menunggu jangka waktu selambat- lambatnya 14 hari seperti diatur dalam UU MK. Seusai pemeriksaan pendahuluan mempersiapkan segala sesuatu untuk berlangsungnya sidang yang baik dan fair, panel

  melaporkan seluruh persiapan yang telah dilakukan pada pleno sesuai dengan checking list yang diuraikan diatas dan disertai dengan pendapat bahwa permohonan tersebut telah siap untuk diperiksa dalam persidangan pemeriksaan pokok perkara. Hal tersebut akan

  7 Jimly assiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 106 7 Jimly assiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 106

  Sidang pleno yang menjadi lanjutan pemeriksaan pendahuluan adalah satu sidang yang harus ditentukan setelah pemeriksaan pendahuluan secara pasti menentukan bahwa permohonan pemohon layak dan memenuhi syarat untuk dilanjutkan pada pemeriksaan persidangan dengan menghadirkan pemerintah dan DPR, dan kalau dipandang perlu juga DPD.

  2. Pemeriksaan persidangan

  Dengan selesainya pemeriksaan pendahuluan, akan dilanjutkan dengan pemeriksaan persidangan. Dalam hal ini pemeriksaan persidangan diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 15 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06PMK2009 yaitu sebagai berikut : Dalam Pasal 11 menjelaskan

  (1) Dalam pemeriksaan pendahuluan, Hakim memeriksa kelengkapan

  dan kejelasan materi permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan pokok permohonan.

  (2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1) Hakim wajib

  memberi nasihat kepada Pemohon danatau kuasanya untuk melengkapi danatau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.

  (3) Nasihat sebagaimana dimaksud ayat (2) juga mencakup hal-hal yang

  berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan. (4) Dalam hal Hakim berpendapat bahwa permohonan telah lengkap dan

  jelas, danatau telah diperbaiki sesuai dengan nasihat dalam sidang panel, Panitera menyampaikan salinan permohonan dimaksud kepada Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.

  (5) Dalam hal pemeriksaan pendahuluan telah dilakukan oleh Panel

  Hakim, Panel yang bersangkutan melaporkan hasil pemeriksaan dan Hakim, Panel yang bersangkutan melaporkan hasil pemeriksaan dan

  (6) Dalam laporan panel sebagaimana dimaksud ayat (5) termasuk pula

  usulan penggabungan pemeriksaan persidangan terhadap beberapa perkara dalam hal:

  a. memiliki kesamaan pokok permohonan;

  b. memiliki keterkaitan materi permohonan atau;

  c. pertimbangan atas permintaan Pemohon;

  (7) Pemeriksaan penggabungan perkara dapat dilakukan setelah

  mendapat Ketetapan Ketua Mahkamah;

  Dalam Pasal 11 ayat (1), (2) dan (3) tersebut menjelaskan bahwa hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan dan apabila pemohon belum lengkap atau ada yang perlu diperbaiki, maka pemohon diberikan waktu 14 hari untuk melengkapi atau memprbaiki. Namun apabila permohonan telah lengkap dan jelas, maka panitera menyampaikan salinan permohonan kepada Presiden, DPR, dan Mahmamah Agung.

  Bunyi Pasal 12 bahwa pemeriksaan persidangan tersebut dilakukan secara terbuka untuk umum dan pemeriksaan persidangan dapat dilakukan oleh Panel Hakim dalam keadaan tertentu yang diputuskan oleh Rapat Permusyawaratan Hakim. Dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan Mahmamah Konstitusi No 06PMK2005 menjelaskan bahwa pemeriksaan persidangan yang dimaksud dalam pasal 12 adalah

  1. pemeriksaan pokok permohonan;

  2. pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;

  3. mendengarkan keterangan PresidenPemerintah;

  4. mendengarkan keterangan DPR danatau DPD;

  5. mendengarkan keterangan saksi;

  6. mendengarkan keterangan ahli;

  7. mendengarkan keterangan Pihak Terkait;

  8. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, danatau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk.

  Dalam hal ini pemeriksaan alat bukti lain yang dimaksud yaitu berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Bahwa atas permintaan Hakim, keterangan yang terkait dengan permohonan wajib disampaikan baik berupa keterangan tertulis, risalah rapat, danatau rekaman secara elektronik, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan dimaksud.

  Berdasarkan pemeriksan tersebut diatas bahwa pemeriksaan persidangan dapat dilakukan dengan persidangan jarak jauh (teleconference).Setelah pemeriksaan persidangan dinyatakan selesai, pihak-pihak diberikan kesempatan menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan danatau tertulis selambat lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak hari persidangan terakhir, kecuali ditentukan lain dalam persidangan.

  Dalam pemeriksaan persidangan dijelaskan mengenai mendengarkan keterangan pihak terkait, bahwa pihak terkait tersebut adalah pihak yang berkepentingan langsung (pihak yang hak danatau kewenangannya terpengaruh oleh pokok permohonan)atau tidak langsung dengan pokok permohonan.Pihak Terkait dapat diberikan hak-hak yang sama dengan Pemohon dalam persidangan dalam hal keterangan dan alat bukti yang diajukannya belum cukup terwakili dalam keterangan dan alat bukti yang diajukan oleh PresidenPemerintah, DPR, danatau DPD. Pihak terkait tersebut mengajukan permohonan kepada Mahkamah melalui Panitera, yang selanjutnya apabila disetujui ditetapkan dengan Ketetapan Ketua Mahkamah, yang salinannya disampaikan kepada yang bersangkutan.

  Berdasarkan penjelasan diatas apabila dipandang perlu, pemeriksaan persidangan dapat diikuti dengan pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi yang ditunjuk dengan didampingi oleh Panitera danatau Panitera Pengganti serta dapat pula disertai Pemohon, Presiden Pemerintah, DPR, DPD, dan Pihak Terkait yang hasilnya disampaikan dalam persidangan.

4. HAL-HAL YANG HARUS DIPERTIMBANGAN DALAM MEMUTUS PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

  1. Pembuktian

  Peradilan di Mahkamah Konstitusi adalah peradilan konstitusional tingkat terakhir, artinya, tidak ada lagi upaya hukum diatasnya atau upaya hukum lain yang dapat menganulir atau mengubah putusan final dan mengikat mahkamah konstitusi tersebut.

  Perselisihan yang menjadi perkara permohonan di depan Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh pemohon dan di sangkal oleh termohon atau pemerintah dan DPR maupun pihak terkait adalah merupakan rangkaian dalil dari pihak-pihak yang berlawanan dan hal tersebut harus didukung oleh alat-alat bukti bukan sekedar argumentasi.

  Membuktikan adalah kewajiban pihak-pihak melalui alat-alat bukti yang menimbulkan suatu tingkat kepercayaan atau keyakinan dalam pikiran hakim tentang

  kebenaran suatu dalil mengenai fakta, kejadian, hak atas hukumnya. 8 Prof. Subekti menyatakan secara singkat bahwa membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang

  kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persidangan. 9 Bahwa dalam hal ini para pihak berkewajiban untuk menyakinkan hakim terhadap dalil yang

  dikemukankan dalam persidangan.

  Meskipun tujuan hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah untuk memberi kepastian akan kebenaran secara materiil adanya fakta, peristiwa dan hukum sebagaimana didalilkan pemohon kebenaran materiil demikian pun tidak dapat dikatakan mutlak. Yang diperoleh memang masih kebenaran yang ada dalam

  kemungkinan paling besar karena sifat keyakinan hakim tetap subjektif. 10 Akan tetapi, dalam perkara yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi maka pembuktian

  sepenuhnya berada pada hakim untuk menguji.

  8 Op.cit.,maruarar siahaan, Hukum Acara Konstitusi Republik Indonesia, hlm 119 9 Subekti,

  10 Op.cit.,maruarar siahaan, Hukum Acara Konstitusi Republik Indonesia, hlm 122

  Sehingga dari proses membuktikan itulah hakim dapat memperoleh keyakinan tentang kebenaran fakta yang harus dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan yang seadil-adilnya. Proses peradilan konstitusional jelas berbeda dari peradilan pidana ataupun perdata. Baik proses peradilan perdata berkenaan tentang keperdataan kepentingan orang-perorang atau satu badan hukum sedangkan pidana berkenaan dengan kepidanaan yang berkaitan antara orang dengan Negara.

  Adapun dalam perkara pengujian undang-undang, kedudukan hukum (legal standing) menjadi bagian yang sangat penting dalam suatu perkara yang diperiksa oleh Mahkahah Konstusi. Kedudukan hukum itu pula yang menjadi pintu masuk (entry- point) suatu perkara konstitusi untuk dapat memasuki pokok permohonan, tetapi substansi perkara yang dipermasalahkan oleh pemohon adalah menyangkut undang- undang yang berisi norma hukum yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms). Proses peradilan yang dilakukan dalam perkara pengujian undang- undang berkaitan erat dengan kepentingan umum (public interst). Maka mau tidak mau hakim konstitusi haruslah membuat keputusan berdasarkan pembuktian yang benar-benar sangat mendalam.

  Bahwa dalam pembuktian tersebut dikenal adanya beberapa prinsip teoritis mengenai metode pembuktian, yaitu sebagai berikut:

  a. Positive Wettelijk Bewijstheorie Diaman pembuktian ini bersifat sangat formal, yaitu semata-mata mengandalkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undan-undang. Diaman dalam hal ini hakim cukup mengandalkan apa yang secara normatif telah ditentukan sebagai alat bukti, dan tidak lagi memerlukan keyakinan para hakim

  b. Vrije Bewijstheorie Rasionee Dalam metode ini proses pembuktian sangat mengandalkan keyakinan para hakim, dimana hakim bebas untuk menilai dan mempertimbangkan alasan- alasan dibalik keyakianan yang dianutnya dalam mengambil kesimpulan Vrije bewijs. Hakim bebas menemukan sendiri kebenaran di balik alat-alat bukti yang tersedia

  c. La Concentive Rasionee Dalam metode ini para hakim tetap mempertahankan pembuktian yang bersifat positif berdasarkan undang-undang, akan tetapi keyakinan- keyakinan bebas para hakim juga dianggap menentukan sampai kepada batas tertentu. Alasan yang dimaksud adalah alasan yang logis sebagai kriteria pembatas atas kebebasan para hakim menerapkan keyakinannya sendiri.

  d. Negative Wettelijk Bewijstheorie

  Dalam pembuktian menggunakan keyakinan hakim namum dalam keyakinan tersebut didasarkan kepada norma-norma undang-undang yang mengatur secara limitatif mengenai pembuktian tersebut yang diikuti dengan keyakinan untuk menarik konklusi dan keputusan yang dianggap adil atas pembuktian perkara yang bersangkutan. 11

  Berkaitan dengan metode diatas, dalam proses pembuktian yang dilakukan oleh hakim Konstitusi lebih condong kepada metode Negative Wettelijk Bewijstheorie yang di dalam proses pembuktian tersebut, hakim memutus perkara berdasarkan keyakinan hakim yang disertai dengan adanya alat bukti, sesuai yang dijelaskan dalam Pasal 45 ayat (1) menjelaskan bawah Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim, yang kemudian dipertegas dalam ayat (2) bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.

  2. Alat bukti

  Berdasarkan dalam prinsip pembuktian yang dijelaskan diatas yaitu digunakan untuk keyakinan hakim , maka Alat bukti yang digunakan untuk keyakinan hakim mahkamah konstitusi sesuai 36 ayat (1) UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dalam persidangan yaitu terdapat enam alat bukti yang sah yang dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan memutuskan setiap perkara kosntitusi yang dimohonkan kepadanya, alat bukti yang disebut dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:

  a. Surat atau tulian;

  Yang dimaksud dengan alat bukti surat atau tulisan adalah dokumen yang memberikan pengertian tertentu mengenai suatu hal, yang tertuang di atas kertas, ataupun bahan-bahan lainya yang bukan kertas. 12 Salah satu

  bentuk bukti tertulis tersebut adalah dokumen resmi yang berkaitan dengan pengujian tersebut. Sifat resminya suatu dokumen peraturan perundang-

  11 Op.cit., Jimly assiddiqie, hlm 146-147 12 Ibid, hlm 151 11 Op.cit., Jimly assiddiqie, hlm 146-147 12 Ibid, hlm 151

  Dalam huruf (f) ketentuan pasal 36 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 menyebutkan pula bahwa jenis alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan, secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Sekiranya informasi yang dimaksud berupa tulisan yang tersimpan di dunia maya internet, maka hal itu pula disebut sebagai bukti surat yang sewaktu-waktu dapat di-printout ke dalam kertas. Dari segi bentuknya tidak dapat dihindari bahwa dokumen dimaksu adalah juga dokumen tuilisan, hanya saja medianya berbeda.

  b. Keterangan saksi

  Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan tersebut ia alami, didengar, dan dilihat sendiri. Dugaan, pendapat, anggapan atau keterangan yang diperoleh dari orang lain tidak disebut debgai keterangan saksi. Dalam Pasal 38 UU Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa para pihak, saksi dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan Mahkamah Konstitusi. Panggilan tersebut harus sudah diterima dalam jangka waktu paling lambat 3 hari sebelum masa persidangan.

  Pada Pasal 38 ayat 1 UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menerangkan bahwa para pihak, saksi dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya pada ayat 4 ditegaskan pula bahwa jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipu dan telah dipanggil secara patut menurut hukum, Mahkamah Konstitusi dapat meminta bantuan kepada kepolisan untuk menghadirkan saksi tersebut secara paksa.

  Dalam hal permohonan pengujian Undang-Undang, dalam praktiknya saksi dan ahli di hadirkan oleh pemohon, namun dalam acara Konstitusi, Mahkamah Konstitusilah yang memiliki peran untuk menghadirkan saksi dan ahli sebagai konsekuensi asa hukum acara Mahkamah Konstitusi dimana hakim menacari kebenaran materiil dan bersifat aktif.

  Dalam peridangan Mahkamah Konstitusi saksi wajib memberikan kesaksiannya berkaitan dengan perkara yang dimohonkan oleh pemohon. Sehingga jika saksi menolak memberikan keterangan setelah ia dipanggil dan dimintai keteragan dengan patut, maka yang bersangkutan dapat diniali telah melakukan penghianaan terhadap pengadialan (contempt of court).

  c. Keterangan ahli

  Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, keterangan ahli adalah keterangan pihak ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu

  hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri. 13 Yang dalam pemberian kesaksian diperlukan, jika pengetahuan

  ilmiah,teknis, atau pengetahuan khusus lainnya dapat membantu pengadilan menilai bukti atau fakta yang sedang diperiksa, seorang saksi yang mempunyai kualifikasi sebagai ahli karena pengetahuan, keterampilan, pengalaman, pelatihan, atau pendidikan, dapat diminta untuk menilai hal itu. Penilaian itu dapat berupa pendapat atau bentuk lainnya, sepanjang kesaksian itu:

  1. Didaftarkan atas fakta atau data yang cukup;

  2. Meruapakan hasil dari perinsip-perinsip dan metode yang

  terpercaya;

  3. Saksi yang bersangkutan telah menerapkan prinsip-prinsip dan

  metode yang memang terpercaya terhadap fakta-fakta yang terkait dengan perkara yang bersangkutan. 14

  Dalam praktik pihak yang mengajukan keterangan ahli untuk di dengar keterangannya di depan persidangan, terlebih dahulu diminta mengajukan daftar calon ahli dimaksud disertai curriculum vitae-nya yang akan digunakan Mahkamah Konstitusi untuk menilai bidang keahlian yang

  13 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet.pertama, edisi keenam, liberty, hlm. 188

  14 Op. cit.,Jimly assiddiqie, hlm 162 14 Op. cit.,Jimly assiddiqie, hlm 162

  keterangannya. 15

  Pendapat ahli ini ditentukan haruslah didasarkan atas fakta atau data mengenai sesuatu hal tertentu. Atas dasar fakta-fakta atau data itulah (inferensi) atau pandangannya (opinion), mengenai suatu fakata yang telah di ketahuinya, baik sejak sebelum persidangan ataupun sesuatu yang baru diberitahukan kepadanya dalam persidangan. Dalam praktik persidangan di Mahkamah Konstitusi, para saksi fakta kadang-kadang memang sulit menghindar untuk tidak menyampaikan pendapat aau opini yang berisi persepsi saksi sendiri mengenai sesuatu peristiwa atau sesuatu fakta.

  Sehingga diberbagai Negara, keteragan ahli juga di golongkan sebagai sah satu kesaksian, yaitu saksi ahli (expert witness). Di Negara-negara yang megikuti tradisi hukum common law, sebenarnya, bukti pendapat ini pada dasarnya tidaklah dapat diterima. Seorang saksi juga tidak diperkenankan menyampaikan pendapat mengenai sessuatu yang menjadi kewenangan hakim untuk memutusnya. Inilah yang biasa disebut dengan ultimate issue, yaitu mengenai persoalan yang memang harus diputuskan oleh pengadilan (the question that the court had to deside). UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jelas membedakan antara keterangan saksi dan keterangan ahli. Ahli adalah ahli, bukan saksi ahli.

  Oleh karena itu, dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi, ahli tidak boleh disebut sebagai saksi ahli, melainkan ahli saja, yaitu orang yang diperlukan keterangannnya dalam persidangan untuk memberikan informasi menurut bidang keahlian yang diketahuinya. Keterangannya itu diperlukan dalam rangka proses pembuktian perkara pengujian undang-undang yangs sedang diperiksa oleh mahkamah konstitusi.

  15 PMK No. 01PMK2005 memberikan definisi mengenai keterangan ahli yang lebh rinci, yaitu “keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang karena pendidikan danatau pengalamannya memiliki keahlian

  atau pengetahuan mendalam yang berkaitan dengan permohonan,berupa pendapat ilmiah, teknis, atau pendapat khusus lainnya tentang suatu alat bukti atau fakta yang diperlukan untuk pemeriksaan permohonan”. Lihat Mahkamah Konstitusi (a) Pasal 1 angka 13.

  d. Keterangan yang diperlukan

  Dalam praktik dipersidangan Mahkamah Konstitusi, biasanya pihak-pihak mengajukan ahli dalam berbagai bidang untuk didengar dalam persindangan. Mereka dapat diajukan oleh pemohon, oleh pemerintah,atau oleh pihak terkait yang kepentingannya lngsung terkait dengan materi perkara. Jika undang-undang yang diuji berkenaan dengan materi yang komplek dan menuntut pengetahuan yang multi atau lintas disiplin, kadang-kadang oleh pihak-pihak diajukan para ahli dari masing-masing bidang yang diperlukan. Biasanya ahli yang diajukan untuk memberi keterangan di Mahkamah Konstitusi meliputi:

  1. Ahli di bidang ilmu hukum, di bidang hukum HTN

  2. Ahli di bidang hukum selain darii hukum selain dari hukum tata Negara

  yang beritan dengan meteri undang-undang yang diuji

  3. Ahli diluar bidang hukum yang berkaitan dengan substansi undang-

  undang yang sedang diuji.

  4. Ahli lainnya dari bidang-bidang yang bersifat menunjang dalam proses

  pembuktian terhadap substansi yang sedang diuji. 16

  Seperti halnya untuk saksi, dalam pengujian undang undang, pihak-pihak yang dapat mempunyai kepentingan untuk mengajukan ahlli dalam rangka pembutian adalah:

  1. Pihak Pemohon

  2. Pihak Pemerintah yang bertindak sebagai lembaga co-pembentuk

  undang-undang (co-legisltor) bersama dengan DPR dan DPD

  3. Pihak lembaga Negara teraik yang mempunyai kepentingan langsung

  sebagai pelaksana undang-undang yang diuji

  4. Pihak terkait lainnya yang mempunyai kepentingan yang langsung

  terkait dengan pokok permohonan pengujian yang dajukan oleh pemohon

  5. Majelis hakim sendiri juga memanggil ahli untuk didengar

  keterangannya dalam persidangan.

  e. Keterangan Para Pihak

  Pihak yang terlibat langsung dalam perkara pengujian undang-undang adalah;

  1. Pemohon;

  2. Pemerintah;

  3. Dewan Perwakilan Ratkyat;

  4. Dewan Perwakilan Daerah (Fakultatif);

  16 Op. cit., Jimly assiddiqie, hlm 165

  5. Lembaga Negara yang terkait langsung sebagai pelaksana undang- undang yang bersangkutan;

  6. Pihak-pihak lain di luar orga Negara yang mempunyai kepentingan yang terkait langsung ataupun tidak langsung denan undang-undang

  bersangkutan. 17

  Apabila diperlukan, Mahkamah Konstitusi juga dapat memanggil pihak lain, baik lembaga Negara ataupun bukan, untuk didengar keterangannya mengenai materi perkara pengujian undang-undang yang bersangkutan. Bahkan, bila diperlukan, Mahkamah Konstitusi juga dapat memanggil MPR untuk dimintakan keterangan berkaitan dengan Undang-Undang Dasar.

  f. Petunjuk; 18

  Dalam Ned. Rv di negeri Belanda, alat bukti petunjuk diubah menjadi alat bukti pengamatan yang oleh hakim di Indonesia kemudian ditiru juga dalam

  rangka Undang-undang No.1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung, 19 yang di maksud dengan pengamatan oleh hakim ini (eigen waarneming van de rechter)

  adalah pengamatan yang terbuka untuk umum. Artinya, pengamatan oleh hakim sebelum pemeriksaan persidangan tidak boleh di jadikan dasar untuk membuat kesimpulan dan keputusan, kecuali jika hal-hal yang dimaksud memang telah menjadi pengetahuan umum atau mengenai hal-hal ang memang sudah diketahui oleh umum.

  Akan tetapi, Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP tetap menganut pandangan bahwa petunjuk dpat dijadikan alat bukti. Dalam Pasal 188 ayat (1) menerangan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik atara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Hal tersebut diikuti pula oleh UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi yang mencantumkan petunjuk sebagai alat

  17 Ibid, hlm 168 18 Dalam penjelasan ayat (1) huruf e UU No. 24 Tahun 2003, dinyatakan bahwa petunjuk yang dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan barang bukti. Lihat TLN RI Nomor 4316

  19 Undang-undang tentang susunan kekuasaan dan pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, Undang-undang No.1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung, LN NO.30 19 Undang-undang tentang susunan kekuasaan dan pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, Undang-undang No.1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung, LN NO.30

  g. Bukti elektronik

  Alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (1) huruf f UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi. Alat bukti elektronik merupakan sesuatu yang masih tergolong baru, namun demikian sebenarnya semua isi media elektronik ini sama saja dengan alat bukti surat maupun dokumen yang berisi tulisan atau hal-hal yang memberikan pengertian tertentu mengenai suatu hal, yang tertuang diatas kertas, ataupun bahan-bahan lainnya yang bukan kertas. Oleh karena itu, bukti elektronik tersebut sebenarnya memang dapat saja disebut tersendiri, tetapi dapat pula dianggap bagian atau salah satu bentuk media dari alat bukti surat.

  3. Hal yang perlu dipertimbangkan oleh Hakim

  Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua aspek undang-undang yang dipersoalkan, yaitu mengenai materi undang-undang danatau mengenai pembentukan dan hal-hal selain soal materi undang-undang. Yaitu mengenai materi undang-undang danatau mengenai pembentukan dan hal-hal selain soal materi undang-undang. Persoalan tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu mengenai kedudukan hukum

  pemohon (legal standing), 20 dan mengenai keberwenangan Mahkamah Konstitusi sendiri dalam memeriksa dan mengadili permohonan yang diajukan. Dimana

  persoalan tersebut dapat dirinci sebagai berikut; 21

  a. Berkewenangan Mahkamah Konstitusi

  Pembuktian pertama yang perlu dilakukan melalui persidangan panel Mahkamah Kosntitusi adalah persoalan kewenangan Mahkamah Kosntitusi sendiri untuk memeriksa dan mengadili permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh pemohon.

  20 Jimly assiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 143 21 Ibid, hlm 143 20 Jimly assiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm 143 21 Ibid, hlm 143

  Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, yang boleh mengajukan permohonan untuk beracara di Mahkamah Konstitusi untuk pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Konstitusi yang bunyinya sebagai berikut “pemohon adalah pihak yang menganggap hak danatau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :

  1) Perorangan warga Negara Indonesia;

  2) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjan masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang- undang;

  3) Badan hukum publik atau prifat; atau

  4) Lembaga Negara.”

  c. Konstitusionalitas materiil

  kosntitusionalitas atau

  inkonstitusionalitas materi suatu undang-undang perlu diuji pembuktian mengenai ayat, pasal tertentu danatau bagian undang-undang saja dengan konsekuensi hanya bagian, ayat dan pasal tertentu saja yang dianggap bertentangan dengan konstitusi dan karenanya dimohon tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum hanya sepanjang mengenai ayat, pasal dan bagian tertentu dari undang-undang yang bersangkutan.

  d. Konstitusionalitas Formil

  Untuk membuktikan konstitusionalitas undang-undang secara formil, perlu dihimpun bukti-bukti mengenai proses pembentukan undang- undang yang bersangkutan, dan hal-hal lain soal meteri undang-undang. Disamping itu pula ada hal-hal tersebut yang tidak perlu dibuktikan atau

  yang biasa dikenal sebagai pengetahuan umum atau notoire feiten 22 , diamana hal tersebut telah menjadi pengetahuan hakim sendiri atau hal

  yang memang hakim sendiri tau hukumnya.

  22 Ibid, hlm 146

B. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

1.HASIL PENELIAN

a. GAMBARAN KASUS PERMOHONAN PRAPERADILAN OLEH PEMOHON BACHTIAR ABDUL FATAH

  Bachtiar abdul fatah adalah tersangka dalam kasus korupsi bioremidiasi PT Chevron Pasific Indonesia. Ia di tetapkan sebagai tersangka pada tanggal 12 maret 2012 atas kerugikan Negara sebesar US 270 juta di Kejaksaan Agung. Atas penetapannya tersebut sebagai tersangka, ia mengajukan gugatan praperadilan di pengadilan Jakarta selatan yang kemudian oleh hakim Suko Harsono pada tanggal 27 november 2012 dengan keluarnya putusan praperadilan Jakarta Selatan No:38Pid.Prap2012PN.JKT- Selatan tersebut memutuskan bahwa penetapan tersangka Bachtiar Abdul Fatah tidak sah sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum, dalam pertimbangannya hakim Harsono memberi pertimbangan bahwa penahanan yang dilakukan termohon tidak berdasarkan alat bukti yang cukup. Seluruh bukti termohon dinilai tidak dapat membuktikan tentang adanya minimal dua alat bukti yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan pemohon sebagai tersangka dan kemudian menahannya. Dan juga meminta Kejaksaan Agung untuk memulihkan harkat martabat Bachtiar Abdul Fatah selaku pemohon.

  Terkait diterimanya permohonan praperadilan yang diajukan Bachtiar Abdul Fatah, Kejaksaan Agung mengajukan banding ke Pengladilan Tinggi, namun memori banding tersebut ditolak karena setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65PUU- IX2011, sehingga ketentuan banding dalam praperadilan sudah tidak dikenal lagi.

  Kemudian Jampidsus Andhi Nirwanton melayangkan surat permohonan ke Mahkamah Agung. Kemudian pada tanggal 21 Maret 2013 Badan Pengawas Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Nomor:316BPEks032013 yang membatalkan putusan hakim Suko Harsono. Mahkamah Agung menilai bahwa Suko Harsono melanggar batas kewenangan dengan memutuskan soal penetapan tersangka. Bahwa penetapan tersangka bukanlah obyek dari praperadilan, dan juga tak mungkin praperadilan mampu Kemudian Jampidsus Andhi Nirwanton melayangkan surat permohonan ke Mahkamah Agung. Kemudian pada tanggal 21 Maret 2013 Badan Pengawas Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Nomor:316BPEks032013 yang membatalkan putusan hakim Suko Harsono. Mahkamah Agung menilai bahwa Suko Harsono melanggar batas kewenangan dengan memutuskan soal penetapan tersangka. Bahwa penetapan tersangka bukanlah obyek dari praperadilan, dan juga tak mungkin praperadilan mampu

  Atas pembatalan putusan praperadilan oleh Mahkamah Agung tersebut pada tanggal 17 februari 2014 Bachtiar Abdul Fatah melakukan uji materi mengenai praperadilan berkaitan dengan Pasal 77 KUHAP yang menjelaskan mengenai obyek praperadilan yaitu tentang :

  a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

  b. penghentian penyelidikan atau penghentian penuntutan;

  c. Ganti kerugian atau rehabilitasi yang berhubungan dengan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

b. PERMOHONAN PENGUJIAN TERHADAP PERKARA PRAPERADILAN

1.1 PERMOHONAN

  Permohonan pengujian terhadap Pasal 1 angka 14, 17 dan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Yang dalam kasus tersebut selaku pemohon pengajuan uji materi tersebut adalah:

  Nama

  : Bahctiar Abdul Fatah

  Pekerjaan : Karyawan PT. Chevron Pacific Indonesia Alamat

  : Komplek Merapi Nomor 85, RT. 01, RW. 03, Desa Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Bengkalis, Riau

1.2 DUDUK PERKARA

  Dalam putusan Nomor 21PUU-XII2014 dimana pemohonnya adalah Bahtiar Abdul Fatah berkewarganegaraan Indonesia yang mengajukan permohonan tentang pengujian Pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau biasa disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

  (KUHAP) berkaitan dengan obyek praperadilan. Dimana pokok-pokok dari permohonan tersebut adalah:

  1. Bahwa frasa dan guna menentukan tersangkanya dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP melanggar Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karna menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga bertentangan dengan prinsip due process of law serta melanggar hak atas kepastian hukum yang adil;

  2. Bahwa frasa “bukti permulaan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka

  14 dan frasa “bukti permulaan yang cukup” sebagaimana disebut dalam pasal

  17 KUHAP yang tanpa disertai parameter yang jelas menimbulkan ketidak pastian hukum, khusus berkenaan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penyidik sebelum menyatakan seseorang menjadi tersangka atau sebelum menggunakan upaya paksa dalam menangkap seseorang;

  3. Bahwa frasa “melakukan tindak pidana” dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP adalah multi tafsir dan menimbulkan ketidak pastian hukum dan ketidak adilan karna jumlah tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih sangat banyak jumlahnya. Dan frasa “dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekawatiran bahwa tersangka atau terdakwa” dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, ukuran, standar, atau parameternya tidak ditemukan jawabannya dalam ketentuan norma Pasal 21 ayat (1) KUHAP maupun dalam penjelasan atas pasal tersebut. Pemaknaan sepenuhnya diserahkan kepada penyidik. Oleh karena itu, frasa tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (5) UUD 1945;

  4. Bahwa konsep praperadilan berdasarkan Pasal 77 huruf a KUHAP yang terbatas pada memberikan penilaian terhadap sah atau tidak sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, jelas tidak sepenuhnya memberikan perlindungan yang cukup bagi tersangka sehingga menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945;

  5. Bahwa frasa “sebaliknya dalam hal tidak diterimanya atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang 5. Bahwa frasa “sebaliknya dalam hal tidak diterimanya atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang

  Bahwa permasalahan utama pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf a, dan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209 selanjutnya disebut KUHAP) yang menyatakan;

  Pasal 1 Angka 2 KUHAP

  “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

  cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”

  Pasal 1 angka 14 KUHAP “Tersangka adalah seorang yang karna perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”

  Pasal 17 KUHAP“Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”

  Pasal 21 ayat (1) KUHAP “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan

  Pasal 77 Huruf a KUHAP “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus,sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan”

  Pasal 156 ayat (2) KUHAP “Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaiknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan”

  Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945, yaitu: Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”

  Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan Hukum”

  Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yag demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”

  Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”

1.3 PERMOHONAN

  Berdasarkan permohonan yang telah disampaikan oleh Bachtiar Abdul Fatah, pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeberikan putusan sebagai berikut:

  1. Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya

  2. Menyatakan frasa “dan guna menemukan tersangkanya” dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tidak berdasarkan hasil penyelidikan tersebut untuk kemudian dapat menemukan tersangkanya”

  3. Menyatakan frasa “bukti permulaan” dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti”

  4. Menyatakan frasa “bukti permulaan yang cukup” dalam Pasal 17 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti”

Dokumen yang terkait

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN DENGAN KORBAN ANAK (Putusan Nomor 24/Pid.Sus/A/2012/PN.Pso)

7 78 16

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100