Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis Pakondona (Kawin Lari) Menurut Hukum Adat Suku Waijewa di Desa Buru Kaghu Kabupaten Sumba Barat Daya T1 312012709 BAB II

(1)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Budaya Hukum a. Sistem Hukum

Untuk mengetahui budaya dengan baik, perlu diketahui tentang sistem hukum yang menjadi dasar dari terbentuknya budaya hukum. Bicara hukum sebagai suatu sistem, yang mengemukakan adanya komponen-komponen yang terkandung dalam hukum yaitu :

1. Komponen Struktur kelembagaan yang mempunyai fungsi untuk mendukung bekerja sistem hukum itu sendiri. Misalnya : Pengadilan. Struktur pengadilan dapat digambarkan majelis hakim yang bersidang ditempat tertentu pada suatu waktu tertentu, dengan jumlah anggota tertentu, dan dengan batasan-batasan yuridiksi yang telah ditentukan pula.

2. Komponen Substansi yaitu berupa norma-norma hukum, baik itu peraturan-peraturan, kepautusan-keputusan, dan sebagainya yang semuanya dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur. Misalnya setiap keputusan yang mangandung doktrin, yang dibuat oleh pengadilan, atau setiap keputusan yang dibuat oleh pembuat undang-undang, atau setiap ketentuan yang diterapkan oleh badan-badan pemerintah.

3. Komponen Hukum yang bersifat kulutral yang terdiri dari ide-ide ,sikap-sikap, harapan dan pendapat tentang hukum. Kultural hukum yang dimaksud adalah external legal culture yakni budaya hukum masyarakat pada umumnya.1

1

Lawrence M. Friedman dalam bukunya On Legal Development yang diterjemahkan kembali oleh Rachmadi Djoko Soemadio seperti dikutip oleh Esmi Warrassih.


(2)

12

Menurut Lawrence M Freidman komponen ketiga akan menentukan apakah pengadilan akan didaya gunakan atau tidak? Karena nilai-nilai dalam masyarakat itulah yang dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa orang menggunakan, atau tidak menggunakan, atau menyalahgunakan, proses hukum serta sistem hukum.

Semua komponen saling berkaitan satu sama lain yang disebut dengan sistem hukum.. Masing-masing komponen ingin mengembangkan nilai-nilai yang ada dilingkugan yang sarat degan faktor-faktor non-hukum lainya. Misalnya ketika penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan, maka proses itu selalu melibatkan para pembuat dan pelaksana hukum, serta juga masyarakatnya. Jadi jika hukum dipahami sebagai suatu sistem , maka seluruh tata aturan yang berbeda didalamnya tidak boleh saling bertentangan.

Faktor pembentuk terjadinya komponen struktur, komponen substansi, dan komponen kulutral yaitu faktor-faktor non-hukum terutama nilai-nilai maupun pola-pola perilaku yang telah mapan dalam masyarakat.

Nilai-nilai yang telah mapan dalam masyarakt dalam masyarakat pada dasarnya terbentuk melalui pola perilaku dan sikap dari masyarakat. Misalnya dalam masyarakat adat. Ketika nilai-nilai adat dianggap menjadi sesuatu yang penting bagi kehidupan mereka maka segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan mereka pasti tidak terlepas dari nilai-nilai adat itu sendiri.

Adat dilakukan dan dipatuhi oleh masyarakatnya karena telah memberikan rasa aman dan sejahtera bagi mereka dalam kehidupannya. Hal ini tidak lepas dari

namanya “kekuasaan supranatural”, masyarakat adat dipercaya bahwa didalam adat

istiadat yang dipatuhi olehnya ada kekuasaan yang besar dan mampu memberikan kebahagian bagi mereka.


(3)

13

Sebagaimana pendapat Prof Mr. F.D. Holleman bahwa hukum adat Indonesia memiliki empat sifat umum yang merupakan kesatuan harmonis, salah satunya religio-magis. Religio-MAGIS menurut Prof. Kuntjaraningrat adalah teori-teori tentang dasar-dasar anismisme, preanisme, ilmu gaib, dan pantangan.2

b. Pengertian Budaya Hukum

Menutut Lawrance M. Friedman sebagimana dikutip oleh Esmi Warasih yang dimaksud dengan budaya hukum adalah “berupa kategori nilai-nilai, padangan-pandangan serta sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum”

Berdasarkan pendapat diatas, dapat dijelaskan bahwa hukum juga berada dalam wilayah adat isitadat yang ditunjukan dengan adanya aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya, yang kemudian diwujudkan kembali melalui nilai-nilai, cara pandang serta sikap-sikap.

Hal ini terjadi karena budaya mempunyai kedudukan dan peranan yang penting didlaam kehidupan manusia. Sebagaimana pendapat Koenjaraningrat yang dikutip oleh Esmi Warassih bahwa:

“Para Individu sejak kecil telah diresapi oelh nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarkat. Konsepsi-Konsepsi yang dimiliki itu sejak lama

telah berakar dalam jiwa mereka”

Oleh sebab itu, hukum sebaiknya jangan dilihat sebagai peraturan-peraturan saja tetapi juga hendaknya dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati dalam masyarakat, melalui tingkah laku warga masyarakat, terutama faktor nilai dan sikap serta pandangan masyarakat yang disebut kultur hukum.

2


(4)

14

Faktor-Faktor pembentuk budaya hukum sebagai pendorong adalah nilai-nilai hukum subsantif. Nilai-nilai-nilai prosedural mempersoalkan tentang cara-cara pengaturan masyaraakt dan menajemen konflik. Sedangkan nilai-nilai substantif lebih kepada apa yang adil dan tidak menurut masyarakat. Budaya hukum merupakan unsur yang penting untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat pada sistem hukum yang satu dengan yang lain.

Dengan demikian, budaya hukum dalam pelaksanaannya sangat berpengaruh dalam masyarakat. Krena komponen budaya hukum menentukan berhasil tidaknya kebijaksanaan yang telah ditungakan dalam bentuk hukum itu, sehingga ketika ada perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh undang-undang dengan praktek yang dijalankan oleh masyarakat hak ini bisa disebabkan karena masyarakat lebih mematuhi nilai-niai yang dianut.

c. Tujuan Budaya Hukum

Menurut istilah para Antropolog, budaya tidaklah sekedar berarti himpunan fragmen-fragmen tingkah laku dan pemikiran yang saling terlepas. Budaya yang diartikan sebagai kategori sisa, dan termasuk didalamnya keselurahan nilai sosial yang berhubugan dengan hukum, sikap yang mempengaruhi hukum , tetapi yang bukan hasil deduksi dari substansi dan struktur.

Termasuk rasa suka atau tidak suka kepada huku untuk menggunakan pengadilan atau tidak menggunakan pengadilan, karena lebih memilih cara-cara informal untuk menyelesaikan sengketa dan juga sikap-sikap serta tuntutan pada hukum yang diajukan oleh kelompok-kelompok etnik, ras, agama, lapangan pekerjaaan dan kelas-kelas sosial yang berbeda.


(5)

15

Budaya Hukum bertujuan membantu Pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan aturan-aturan hukum. Hal ini dikarenakan, aturan-aturan hukum tidak dijalankan sebagaimana mestinya.

Nilai-Nilai dalam budaya hukum dipergunakan karena hukum merupakan nilai-nilai terbentuk dari kebudayaan suatu masyarakt. Karena setiap masyarakat selalu menghasilkan kebudayaan, amaka hukum pun selalu ada disetiap masyarakat dan tampil dengan khasan masing-masing.

Oleh karena itu, setiap bangsa akan mengembangkan sendiri aturan-aturan hukumnya. Sedangkan dalam arti lebih kecil, aturan-aturan adat setiap daerah mempunyai perbedaan sendiri-sendiri. Hal ini disesuaikan dengan kebudayaan dari daerah-daerah tersebut. Sehingga aturan didaerah lain tidak akan sama dengan aturan didaerah lainya, sama halnya ketika aturan perkawinan dalam adat berbeda dengan aturan perkawinan yang telah dikeluarkan dandiberlalkukan bagi warga Indonesia. Karena Halitu merupakan identitas diri dari pada atraun adat dan aturan negara.

d. Komponen Budaya Hukum

Hukum dipandang sebagai suatu sitem norma, yang mana dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki secara efektif, hukum harus dilihat sebagai sub-sistem dari suatu sistem yang besar yaitu masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena hukum juga dipandang sebagai suatu sistem, maka untuk dapat memahaminya perlu penggunaan pedekatan sistem.

Pengertian hukum dikemukakan antara lain oleh Lawrance M. Friedman yang dikutip oleh Ernis Warassih bahwa hukum itu adalah gabungan komponen struktur, substansi dan kultur. Adapun sistem hukum berikut ini :


(6)

16

1. Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum seperti pengadilan yang mempunyai fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen struktur ini memungkin pemberian pelayanan dan penghargaan hukum secara teratur.

2. Komponen substansi yaitu berupa norma-norma hukum, baik itu peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, dan sebagainya semuanya dipergunakan oleh penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur. 3. Komponen Kultur terdiri dari ide-ide, sikap-sikap, harapan, dan

pendapat tentang hukum. Kultur hukum dibedakan antara internal legal culture yakni kultur hukumnya lawyers dan judges dan eksternal legal culture yakni kultur hukum masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat terlihat dari akte-akte kelahiran yang dengan mudahnya dapat dimiliki oleh anak-anak dari suami istri yang tidak melakukan pencatatan perkawinan.

Faktor pembentuk budaya hukum adalah nilai prosedural dan nilai-nilai substantif. Nilai-nilai-nilai prosedural mempersoalkan tetang cara-cara pengaturan masyarakat dan manajemen konflik. Sedangkan nilai-nilai substantif lebih kepada apa yang adil dan tidak menutur masyarakat. Budaya hukum merupakan unsur yang penting untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara sistem hukum yang satu dengan yang lain.

Kebudayaan berfungsi sebagai sistem perilaku berarti kaedah-kaedah yang berlaku sebenarnya berakar pada nilai-nilai sosial dan budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Bedasarkan penjelasan diatas, budaya hukum menjadi satu hal penting yang dapat menentukan mengapa seseorang patuh atau tidak terhadap


(7)

17

peraturan yang ada. Hal ini berakibat dari perbedaaan anatara apa yang dikehendaki oleh undnag-undang dengan praktek yang dijalankan masyarakat.

Masyarakat adalah objek yang melaksanakan aturan–aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah ataupun adat yang dilaksanakannya.

Hukum merupakan salah satu alat yang berfungsi untuk membantu manusia/pribadi atau masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu hukum perlu untuk melihat apa dan bagaimana hukum itu bisa diterima dan diberlakukan dalam masayrakat.

B.Perkawinan

a. Pengertian Perkawinan

W.J.S Poerdarminta mengartikan kata kawin sebagai berikut : “Kawin :

perjodohan laki-laki dan permepuan menjadi suami istri:nikah. Soerjono Wigmdodipoero: (1988: 122) mengartikan kata perkwainan sebagai berikut : “ Perkawinana adalah suatu perestiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita, sebab perkawinan tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja tapi juga kedua belah pihak orang tua, saudara bahkan keluarga mereka masing-masing”.3

Dari pengertian perkainan tersebut diatas, jelas bahwa erestiwa perkawinan bukanlah perestiwa yang alami saja tetapi merupakan persetiwa yang suci atau dengan kata lain perestiwa yang sakral. Dikatakan demikian karena deengan pelaksanaan perkawinan merupakan suatu perestiwa perwujudan atas kesepakan kedua calon suami istri bahkan menyangkut pula keluarga yang merupakan suatu perwujudan perestiwa pula keluarga yang merupakan salah satu sisi penting dari

3


(8)

18

mempertanggungjawabkan kehadiran seseorang manusia sebaai ciptaan Tuhan sehingga dapatlah dikatakan bahwa perkawinan bukanlah suatu upacara berkelompoknya dua manusia akan tetapi pada hakekatnya merupakan penyatuan kedua muda-mudi dalam suatu tata cara resmi.

Berkaitan dengan pengertian terdahulu Dr. Verkuyl yang dikutip oleh Sugiarto (1984:54) menegaskan bahwa :

“Perkawinan suatu tata suci yang ditetapkan Tuhan yang didalamnya diatur hubungan antara wanita”4

.

Dari pengertian yang dikemukakan diatas bila dikaji lebih lanjut maka perestiwa perkawinan yang dihadapi oleh manusia yang sudah patut melangsungkan perwakiwanan yang darikeyakinana adalah merupakan suatu tata tertib yang suci yang diterapkan oleh Tuhan bagi manusia. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa perkawinana itu pada hakekatnya adalah merupakan suatu perestiwa yang sakral bagi pihak-pihak yang akan melangsungkanya lebih lanjut dalam pasal 1 Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa :

“Perkawinanan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang

wanita dengan tujuan sebagai suami istri dengan tujuan mebentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.”

Dari ketentuan pasal 1 tersebut diatas, peristiwa yang dilangsungkan oleh kedua calon suami istri . Untuk memwujudkan kesepakatan inilah maka terjadi suatu perestiwa perkawinaan. Dalam hubungan dengan ikatan lahir bathin tersebut, oleh K. Wantjik Saleh menjelaskan bahwa :

4


(9)

19

“ Dengan ikatan lahir bathin dimaksud bahwa perkawinan itu tidak hanya

cukup dengan adanya ikatan lahir batin saja tetapi harus kedua-duanya. Suatu ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat, mengungkapkan adanya suatu hubungan antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan kata lain dapat disebut dengan hubungan formal. Hubungan formal itu ternyata suatu ikatan yang tidak dapat lihat atau tidak

nyata namun harus ada sehingga ikatan lahir tidak mudah rapuh”.5

Penegasan diatas apabila dikaji lebih jauh maka terjalinya ikatan lahir dan batin dapatlah merupakan dasar dalam membentuk dan membina rumah tangga yang bahagia dan kekal. Pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Tuhan Yang Maha ESA. Sejalan Dengan pemahaman tesebut, K.Wantjik Saleh SH dalam penjelasannya dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatakan :

“Yang dimaksud dengan persetujuan disini adalah persetujuan itu antara calon

suami dan calon istri dan dasar harus adanya suatu persetujuan itu berarti telah dipasang pondasi yang kokoh untuk membina suatu keluarga dan rumah tangga . Hendaklah persetujuan itu adalah yang murni yang betul-betul tercetus dari hati para calon tersebut dalam bentuk kemauan untuk hidup bersama seumur hidup, bukan secara pura-pura atau hasil paksaan”

Pengertian dan tujuan perkawinan sudah diatur dalam bentuk perundang-undangan yaitu terdapat dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dalam pasal 2 ayat (1), Undang-Undang tersebut menetapkan bahwa “perkawinan adalah sah

apabila ditetapkan menurut agama dan kepercayaan itu”.

5


(10)

20

Jadi keputusan diatas menunjukan bahwa sahnya suatu perkawinan berkaitan erat dengan aspek hokum. Hukum tidak hanya diartikan dengan kekuasaan yang diatur oleh Negara dan agama tetapi juga peraturan-peraturan yang dibuat oleh adat yang dianggap berlaku dalam masyarakat di lingkungan adat tersebut.

Pengertian perkawinan dalam hukum adat berbeda dengan pengertian perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, dalam hukum adat perkawinan merupakan suatu peristiwa yang penting dalam kehidupan masyarakat, karena perkawinan bukan saja menjadi urusan mereka yang melangsungkan perkawinan, tetapi juga melibatkan orang tua dan keuarga kedua belah pihak yang di dalamnya termasuk urusan suku, urusan kelas sosial, urusan masyarakat dan sebagainya. Dengan demikianperkawinan akan menjadi urusan keluarga kedua belah pihak.

Dalam hukum adatpun perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa yang penting bagi mereka yang masih hidup saja tetapi perkawinan itu juga merupakan peristiwa yang sangat berarti yang sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak beserta keluarganya yang mengharapkan juga restu bagi kedua mempelai, hingga setelah menikah kedua mempelai dapat hidup rukun bahagia sebagai suami dan istri sampai kaken–kaken nien–nien (istilah jawa yang artinya sampai sang suami menjadi kaki-kaki dan sang istri menjadi nini-nini yang bercucu cicit.6

6


(11)

21

H. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa:

“Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan bukan saja

berarti sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan”.7

Pendapat tersebut menunjukan bahwa perkawinan dalam hukum adat mempunyai arti yang luas sekali. Hal itu disebabkan karena perkawinan tidak semata-mata ikatan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina keluarga yang harmonis, tetapi juga berhubungan dengan keluarga, masyarakat umum dan orang-orang yang telah meninggal. Dengan demikian maka suatu perkawinan menjadi tanggung jawab yang berat bagi pasangan suami istri, selain bertanggung jawab terhadap orang banyak (keluarga dan masyarakat) juga bertanggung jawab kepada Tuhan.

Selanjutnya menurut Hilman Hadikusuma menjelaskan bahwa:

“Perkawinan dalam arti perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.”

Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya adanya hubungan pelamaran yang merupakan rasa tuha (hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami istri). Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua termasuk anggota keluarga atau kerabat menurut hukum adat dan selanjutnya dalam peran serta

7

Hilman Hadikusuma, 1990. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Pandangan, Hukum Agama, Hukum Adat, Mandar Maju, Bandung, hal. 8.


(12)

22

membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat hal perkawinan.8

Pernyataan itu menunjukan bahwa perkawinan mengakibatkan adanya suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak suami dan dari pihak istri. Hubungan hukum tersebut dapat dilihat, misalnya; melangsungkan suatu perkawinan, dan pihak laki-laki menyerahkan sejumlah mas kawin kepada pihak perempuan. Mas kawin sebagai ikatan hukum dalam perkawinan sehingga setelah perkawinan seorang istri harus melepaskan semua kedudukannya dan memasuki atau mengikuti kerabat suami beserta anak dan keturunannya.

Soerojo Wignjopdipoero mengatakan tentang perkawinan dalam bukunya

“Pengantar dan asa-asa adat, bahwa… “ Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria atau mempelai saja tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga masing-masing. Bahkan dalam hukum adat, perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja tetapi juga merupakan peristiwa yang sangat berarti dan sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah leluhur dari kedua belah pihak”.9

Dari pernyataan diatas bisa diketahui bahwa perkawinan (perkawinan adat) tidak hanya mencakup antara orang yang masih hidup (kedua calon mempelai, keluarga kedua belah pihak) tetapi juga orang yang sudah mati (leluhur).

8

Ibid, hal. 9.

9


(13)

23

Cara seperti diatas masih tetap terpelihara walaupun nilai-nilai yang ada di dalam tindakan tersebut telah banyak mengalami pergeseran akibat modernisasi. Akan tetapi meskipun perkawinan merupakan urusan keluarga, urusan kerabat, dan urusan persekutuan, tetap saja perkawinan itu sendiri merupakan urusan hidup pribadi dari pihak-pihak individual yang kebetulan tersangkut didalamnya. Jadi soal suka atau benci, jalannya proses kawin pinang terlebih kawin lari atau bawa lari mencerminkan ketegangan tersebut antara kelompok dan warga selaku oknum. Selanjutnya yang dimaksud dengan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tujuan perkawinan tersebut menghendaki agar perkawinan tersebut berlangsung seumur hidup dan dalam bentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

b. Tujuan Perkawinan

Pada prinsipnya, perkawinan mempunyai tujuan-tujuan atau motivasi tertentu dan bervariasi sangat tergantung dari aspek mana seseorang mengartikannya. Dalam kaitan ini M.W. Brower mengatakan : “Perkawinan bertujuan untuk memperoleh cinta, anak dan sekaligus sebagai tujuan

perkawinan”

Pendapat Brower tersebu diatas memberi kesan bahwa perkawinan adalah dari sisi tumbuhnya suatu perasaaan saling mencintai, untuk melanjutkan keturunan(anak) dan untuk memberikan suatu kebahagiaan rumah tangga. Karena perkawinan itu dilandasi oleh perasaan saling memiliki, merasa senasib dan


(14)

24

sepenanggungan maka muncul komitmen bersama antara kedua calon mempelai ata suami istri untuk memperoleh anak untuk menciptakan suasna kebahagian

K. Wantjik Saleh SH (1976:15) menjelaskan : Perkainana yang bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal. Dapat diartikan bahwa perkawinan haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.10

Selanjutnya dalam uraiannya, melandasinya pada aspek tujuan yang mengandung makna seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja, dan pada aspek tujuan ini pula mengandung makna bahwa perkawinan dan tujuan akhirnya adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa (1976:14).11

Dari pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa tujuan perkawinan tidak lain adalah untuk membina rumah tangga yang bahagia dan kekakl seumur hidup, serta dilandasi oleh rasa cinta berdasrkan Tuhan Yang Maha Esa.

Pendapat tersebut adalah sejalan dengan jiwa Ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawina yang menegaskan bahwa perkawinan adalah untuk membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tujuan perkawinan dalam hukum adat bagi masyarakat adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut gari kebapakan atau keibu-bapakan, untuk kebahagian rumah tangga keluarga atau kerabatan, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian dan untuk mempertahankan kewarisan.Oleh karena sistem keturuna dan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dengan yang lain berbeda-beda termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan dari

10

K. Wantjik Saleh, (1976:15)

11


(15)

25

perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda-beda diantara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lain, daerah yang satu dan daerah yang lain berbeda, serta akibat hukum dan upacara perkawinannya berbeda-beda.

Pada masyarakat kekerabatan adat yang patrilinial, perkawinan bertujuan mempertahankan garis keturuana bapak, sehingga anak laki-laki (terua), harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil istri (dengan pembayaran uang jujur), dimana setelah terjadi perkawinan istrei ikut (masuk) dalam kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan bapaknya. Sebaliknya pada masyarakat kekerabatan adat yang matrilineal, perkawinan bertujuan mempertahankan garis keturunan ibu, sehingga anak wanita tertua (tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil suami (semanda). Dimana setelah terjadinya suami ikut (masuk) dalam kekerabatan istri dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan orang tuanya.

c. Keabsahan Perkawinan

Suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila dalam pelaksanaannya telah memenuhi persyaratan dan tata cara perkawinan baik secara formal maupun non formal yang berlaku secara sah. Peraturan yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan perkawinan yakni Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan hukum adat,agama, dan kepercayaan masing-masing.

Pada pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menegaskan

bahwa : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing


(16)

26

Jadi suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. Bila menyimpang dari hal itu maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan sesuai ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 karena perkawinan itu dianggap tidak sah.

K. Wantjik Saleh, SH (1976:16) menegaskan bahwa :

“Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaa yaitu, sesaui dengan UUD 1945”. Yang dimaksud dengan hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undanng ini.

Lebih lanjut K.Wantjik Saleh, SH menegaskan bahwa : Kata sesuai dengan UUD 1945 dalam hubungan dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu adalah dimaksud dalam pasal 29 yang berbunyi :

1. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk menjalankan/beribadah menurut agama dan kepercayaanya itu.

Menurut H. Sainus Syakar (1981:19) menyatakan bahwa atas sadurannya terhadap para pendapat sarjana dan pakar hukum yakni12:

Pertama, Para sarjana dan ahli hukum serta golongan ang selama ini tundauk dan melakukan perkawinan berdasarkan KUHPerdata dan ordinasi perkawinan kristen mengatakan bahwa saat mulai sahnya perkawinan itu bukan pada saaat pencacatan tetapi pada selesainya pemberkatan nikah.

12


(17)

27

Kedua, umumnya dianut oleh umat Islam saat mulai sahnya perkawinan itu bukan pada pendaftaran atau pencatatan, itu hanyalah merupakan tindakan administratif belaka akan tetapi sahnya nikah itu mulai saat selesainya tata cara keagamaan, misalnya saat selesainya akad nikah yang diucapkan kedua belah pihak mempelai wanita maupun mempelai pria.

Gambaran dan penjelasan tersebut diatas menunjukan bahwa adanya suatu kejelasan yang berbeda antara kedua agama (kristen dan islam). Hal terebut diatas ditegaskan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa:

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Penjelasannya percatatan setiap perestiwa penting dalam kehendak seseorang misalnya kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, surat akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

Sehubungan dengan penjelasan pasal 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974,

maka K. Wanttjik Saleh, SH menyatakan bahwa : “ Pencatatan perkawinan itu

bertujuan untuk menjadikan perestiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik yang bersangkutan maupun baik bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat dibaca dalam surat yang bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar khusus yang disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan dimana perlu sebagai alat bukti tertulis dan autentik. Dengan adanya surat bukti ini dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan lain.


(18)

28

Dari uraian K. Wantijik Saleh, SH diatas menjelaskan adanya suatu pencatatan yang resmi yaitu untuk menjelaskan kondisi pelaku perkawinan umumnya. Karena adanya pencatatan yang resmi serta tertulis dapat membuktikan keadaan seseorang pada saat bilamana disangsikan kedudukanya dan dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti perceraian dan sebagainya.

Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan. Maksudnya jika telah dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat.

Sedangkan menurut Agsutinus Sabarua,BBA (Kepala Desa) menyatakan bahwa: suatu perkawinan dinyatakan sah, apabila prosedur adat perkawinannya telah selesai, hal ini dipandang dari proses pelaksanaan tahap prosedur adatnya (pembelisan)

“Terlaksananya acara nikah dan catatan sipil dan catatan sipil hanya

merupakan pencatatan yang bersifat administratif saja, karena hal itu merupakan tuntutan Gerejawi dan Pemerintahan yang berlaku berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang tertulis dengan pertimbangan-pertimbangan administratif kedepan yang merugikan kelangsungan hidup

berumah tangga dan bernegara bagi kedua mempelai tersebut.”

Dipandang dari segi hukum tertulis dan tidak tertulis dan telah diselesaikan syarat-syarat perkawinana dan terpenuhinya sayarat prosedur perkawinan maka pelaksanaan kelangsungan perkawinan telah diaggap sah baik ditinjau dari segi hukum dan juga adatnya.


(19)

29 C. Perkawinan menurut Hukum Adat

a. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Adat

Menurut Hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan

saja berarti sebagai “perikatan perdata”, tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan sekaligus merupakan “perikatan kekerabatan dan ketetanggaan”. Jadi

terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orangtua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.

Perkawinan dalam perikatan adat adalah perkawinan adat,ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan

“rasan sanak” (hubugan anak-anak,bujang-gadis) dan “rasan tuha” (hubugan antara orang tua keluarga dari para calon suami istri). Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua (termasuk anggota keluarga atau kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memilihara kerukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan.

Soerojo Wigyodipoero, SH mengatakan bahwa perkawinan adalah: suatu perkawinan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat sebab manusia itu


(20)

30

tidak saja mencakup pria dan wanita bakal mempelai saja tetapi juga orang tua kedua belah pihak dan keluarga masing-masing.

A.Van Gennep, perkawinan adalah suatu proses perubahan status kemandirian seoarang laki-laki dan seoarang wanita yang tadinya hidup terpisah setelah melalui upacara atau proses beralih dan hidup bersama dalam suatu kehidupan bersama sebagai suami dan istri. Pendapat ini mensyaratkan bahwa perestiwa perkawinan itu berlaku ganda, artinya bahwa disamping mempertemukan pria dan wanita sebagai suami istri juga mengikat keluarga kedua belah pihak.

b. Bentuk Perkawinan Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat cara terjadinya perkawinan pada umumnya di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Perkawinan Pinang (Meminang, Melamar)13

Perkawinan pinang dimaksud bahwa pihak ke satu (laki-laki) mengajak pihak lainnya (perempuan) untuk menjalin ikatan perkawinan. Peminangan ini dilakukan oleh seorang utusan atau seorang wakil, biasanya diungkapkan dengan bahasa yang indah dan berkias. Utusan yang meminang biasanya seorang kerabat atau orang tuanya dengan persetujuan kelompok kerabat dan orang tua.

2. Perkawinan Bawa Lari14

13

Te. Her. Asas – Asas dan susunan Hukum Adat, terjemahan Soebakti poesponoto (Jakarta : Pradnya Paramitha) Hal. 188 – 199.

14


(21)

31

Perkawinan bawa lari adalah kedua mempelai (laki-laki dan perempuan) lari bersama tanpa melalui peminangan. Maksud dari pada perkawinan bawa lari atau sama-sama melarikan diri adalah untuk menghindarkan diri dari berbagai keharusan sebagai akibat dari perkawinan pinang, pihak orang tua dan saudara-saudara atau keluarga.

3. Kawin Lari (Berlarian untuk kawin)

Kawin lari adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi tidak atas persetujuan keluarga yang terpaksa dilakukan dikarenakan untuk menghidari persyaratan adat. Pada umumnya perbuatan kawin lari adalah perbuatan yang melanggar hukum adat, melanggar kekuasaaan orang tua dan kerabat pihak gadis. Namun demikian dikarenakan masyarakat adat itu berpegang teguh pada azas kerukunan dan kedamaian, maka perbuatan berlarian itu dapat dimaafkan dengan penyelesaian perundingan kerabat kedua belah pihak.

4. Perkawinan Mengabdi

Perkawinan jenis ini mengandung maksud bahwa suatu perkawinan yang pembayarannya ditunda, atau suatu perkawinan dimana suami dan istri sudah mulai hidup bekumpul tetapi pembayaran mas kawinnya belum lunas maka si suami bekerja mengabdi kepada kerabat mertuannya sampai mas kawinnya terbayar lunas.

c. Sah Menurut Hukum Adat

Sahnya menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan. Maksudnya


(22)

32

jika telah dilaksanakan menurut tata-tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat, kecuali bagi mereka yang masih menganut

agama lama (kuno) seperti “Marapu” (memuja roh nenek moyang), maka

perkawinan yang dilakukan menurut tata-tertib adat atau agama mereka itu adalah sah menurut hukum adat setempat.15

d. Persyaratan Perkawinan Menurut Hukum Adat 1. Adanya persetujuan

Menurut hukum adat setiap pribadi walaupun sudah dewasa tidak bebas menyatakan kehendaknya untuk melakukan perkawinan tanpa persetujuan orang tua atau kerabatnya. Lebih-lebih pada masyarakat kekerabatan adat yang sistim klennya masih kuat seperti di Nusa Tenggara Timur, dimana klen yang mengetahui dan memilihkan calon istri bagi para anggota lelakinya.Bagi setiap yang melaksanakan perkawinan tanpa pengetahuan orang tua atau kerabatnya maka ia tersingkir dari kerabatnya. Dalam rasan sanak persetujuan untuk kawin diputuskan oleh mereka sendiri, lalu disampaikan kepada orang tua untuk melakukan peminangan (pelamaran) dalam rasan tua. Dalam rasan tua ada kemungkinan bujang gadis tidak setuju melainkan berdasrkan perundingan dan persetujuan pihak kedua orang tua atau kerabat sendiri.

2. Batas Umur

Hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang batas umur untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini berarti hukum adat adat memperbolehkan

15


(23)

33

perkawinan semua umur. Kedewasaan seseorang didalam hokum adat diukur dengan tanda-tanda bangun tubuh, apabila anak perempuan sudah haid (datang bulan), buah dada sudah menonjol, berarti dia sudah dewasa. Bagi anak laki-laki ukurannya dapat dilihat pada perubahan suara, sudah mengeluarkan air mania tau sudah mempunyai nafsu sex. Jadi bukan diukur dengan umur karena orang tua dimasa lampau kebanyakan tidak mencatat tanggal lahir anak-anaknya sebab kebanyakan mereka masih buta huruf.

e. Tata Cara Perkawinan Menurut Hukum Adat

Tata cara perkawinan adat pada suatu perkawinan berakar pada adat istiadat serta kepercyaan yang sudah ada sejak dahulu kala, sebelum agama-agama (Hindu, Budha, Islam dan Kristen) masuk di Indonesia telah di turuti dan senantiasa dilakukan. Tata cara tersebut sudah mulai dilakukan pada hari-hari sebelum pernikahan serta berlangsung sampai hari-hari sesudah upacara nikah. Tata cara diberbagai daerah di Indonesia adalah tidak sama sebab dilangsungkan menurut adat kebiasaan di tempat masing-masing.

Tentang upacara perkawinan tidak diatur dalam perundangan, kesemuanya diserahkan kepada para pihak yang bersangkutan menurut adat atau agamanya masing-masing. Jadinya perkawinan tampa upacara adat kebiasaan dalam masyarakat dapat saja dilakukan , asal saja dilakukan tata cara perkawinan yang ditelah ditentukan dalam perundangan. Dengan demikian upacara perkawinan itu pelaksanaanya menyangkut hukum adat dan hukum agama.

Pada umumnya pelaksanaan upcara perkawinana adat di Indonesia dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan adat setempat dalam kaitannya dengan susunan masyarakat atau kekerabatan yang dipertahankan masyarakat


(24)

34

bersangkutan. Bentuk perkawinan itu “istri ikut suami”(kawin jujur), suami ikut

istri (kawin semanda), atau suami istri bebas menentukan sendiri (kawin bebas) atau juga dalam bentuk campuran dalam perkawinan antara adat/ suku bangsa dalam masyarakat yang kian bertambah maju.

Upacara perkawinan adat dalam segal bentuk dan cara tersebut,pada umumnya dilaksanakan sejak masa pertunangan (pacaran), atau tahap penyelesain tahp berlarian, penyampaian lamaran, upacara adat perkawinan, upacara adat perkawinan, upacara keagamaan dan terakhir akhir acara kunjungan mempelai ke tempat orang tua atau mertuanya.

Latar belakang terjadinya berlarian bujang gadis (kawin lari) untuk maksud perkawinan adalah dikarenakan sebagai berikut :

a. Syarat-syarat pembayaran, pembiayaan dan upacara perkawinan yang diminta pihak gadis tidak dapat dipenuhi pihak bujang

b. Gadis belum diizinkan orang tuanya untuk bersuami tetapi dikarenakan keadaaan gadis bertindak sendiri

c. Orang tua dan keluarga gadis menolak lamaran pihak bujang, lalu gadis bertindak sendiri

d. Gadis telah bertunangan dengan seorang pemuda yang tidak disukai oleh si gadis

e. Gadis dan bujang telah berbuat yang bertentangan dengan hukum adat dan hukum agama (gadis sudah hamil dan lain-lain).

D. Bentuk Perkawinan Menurut Hukum Adat di desa Buru Kaghu

Perkawinan pada umumnya masih dimungkinkan untuk mengikuti dan mempertahankan tata cara adat istiadat yang berlaku bagi masyarakat setempat


(25)

35

termasuk di desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan Kabupaten Sumba Barat Daya sebagai bagian integral dari wilayah Kesatuan Republik Indonesia.

Ada 3 jenis bentuk perkawinan adat yang biasa dikenal oleh masyarakat adat di desa Buru Kaghu adalah sebagai berikut:

1. Kawin Paksa : Perjodohan sejak kecil sebagai salah satu bentuk perkawinan paksa dilakukan atas kesepakatan kedua rumpun keluarga, terutama kedua orang tua dari masing-masing pihak. Prosedur itu dilakukan ketika anak-anak itu sudah cukup umur untuk melakukan perkawinan.

2. Kawin Bawa Lari : hal ini terjadi mana kala seorang pria mengajukan lamaran ternyata ternyata ditolak/tidak diterima oleh pihak keluarga wanita dengan berbagai alasan, salah satu alasan karena adanya perbedaan status sosial di antara kedua keluarga, maka untuk mencapai keinginannya sang pria membawa lari atau menculik wanita tersebut. Konsekuensi dari perkawinan tersebut adalah pihak pria harus berani mempertanggungjawabkan perbuatannya itu berdasarkan prosedur dan tata cara adat yang berlaku yakni ditandai dengan pembayaran sejumlah belis atau mas kawin berupa kerbau, kuda, sapi, kepingan emas (mamuli) dan lainnya, pembayarannya diatur berdasarkan tahapan-tahapan tertentu. Seturut dengan itu, oleh Teer Haar dikatakan bahwa Kawin paksa adalah suatu bentuk perkawinan, dimana si wanita bertentangan dengan kehendaknya dipaksa kawin dan dibawa lari oleh si pria yang memaksakan kehendaknya.

3. “Kawin Lari” (Pakondona) : Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian secara bersama-sama tanpa ada unsur paksaan dari pihak pria16.

16


(1)

30

tidak saja mencakup pria dan wanita bakal mempelai saja tetapi juga orang tua kedua belah pihak dan keluarga masing-masing.

A.Van Gennep, perkawinan adalah suatu proses perubahan status kemandirian seoarang laki-laki dan seoarang wanita yang tadinya hidup terpisah setelah melalui upacara atau proses beralih dan hidup bersama dalam suatu kehidupan bersama sebagai suami dan istri. Pendapat ini mensyaratkan bahwa perestiwa perkawinan itu berlaku ganda, artinya bahwa disamping mempertemukan pria dan wanita sebagai suami istri juga mengikat keluarga kedua belah pihak.

b. Bentuk Perkawinan Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat cara terjadinya perkawinan pada umumnya di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Perkawinan Pinang (Meminang, Melamar)13

Perkawinan pinang dimaksud bahwa pihak ke satu (laki-laki) mengajak pihak lainnya (perempuan) untuk menjalin ikatan perkawinan. Peminangan ini dilakukan oleh seorang utusan atau seorang wakil, biasanya diungkapkan dengan bahasa yang indah dan berkias. Utusan yang meminang biasanya seorang kerabat atau orang tuanya dengan persetujuan kelompok kerabat dan orang tua.

2. Perkawinan Bawa Lari14

13

Te. Her. Asas – Asas dan susunan Hukum Adat, terjemahan Soebakti poesponoto (Jakarta : Pradnya Paramitha) Hal. 188 – 199.

14


(2)

31

Perkawinan bawa lari adalah kedua mempelai (laki-laki dan perempuan) lari bersama tanpa melalui peminangan. Maksud dari pada perkawinan bawa lari atau sama-sama melarikan diri adalah untuk menghindarkan diri dari berbagai keharusan sebagai akibat dari perkawinan pinang, pihak orang tua dan saudara-saudara atau keluarga.

3. Kawin Lari (Berlarian untuk kawin)

Kawin lari adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi tidak atas persetujuan keluarga yang terpaksa dilakukan dikarenakan untuk menghidari persyaratan adat. Pada umumnya perbuatan kawin lari adalah perbuatan yang melanggar hukum adat, melanggar kekuasaaan orang tua dan kerabat pihak gadis. Namun demikian dikarenakan masyarakat adat itu berpegang teguh pada azas kerukunan dan kedamaian, maka perbuatan berlarian itu dapat dimaafkan dengan penyelesaian perundingan kerabat kedua belah pihak.

4. Perkawinan Mengabdi

Perkawinan jenis ini mengandung maksud bahwa suatu perkawinan yang pembayarannya ditunda, atau suatu perkawinan dimana suami dan istri sudah mulai hidup bekumpul tetapi pembayaran mas kawinnya belum lunas maka si suami bekerja mengabdi kepada kerabat mertuannya sampai mas kawinnya terbayar lunas.

c. Sah Menurut Hukum Adat

Sahnya menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan. Maksudnya


(3)

32

jika telah dilaksanakan menurut tata-tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat, kecuali bagi mereka yang masih menganut

agama lama (kuno) seperti “Marapu” (memuja roh nenek moyang), maka

perkawinan yang dilakukan menurut tata-tertib adat atau agama mereka itu adalah sah menurut hukum adat setempat.15

d. Persyaratan Perkawinan Menurut Hukum Adat 1. Adanya persetujuan

Menurut hukum adat setiap pribadi walaupun sudah dewasa tidak bebas menyatakan kehendaknya untuk melakukan perkawinan tanpa persetujuan orang tua atau kerabatnya. Lebih-lebih pada masyarakat kekerabatan adat yang sistim klennya masih kuat seperti di Nusa Tenggara Timur, dimana klen yang mengetahui dan memilihkan calon istri bagi para anggota lelakinya.Bagi setiap yang melaksanakan perkawinan tanpa pengetahuan orang tua atau kerabatnya maka ia tersingkir dari kerabatnya. Dalam rasan sanak persetujuan untuk kawin diputuskan oleh mereka sendiri, lalu disampaikan kepada orang tua untuk melakukan peminangan (pelamaran) dalam rasan tua. Dalam rasan tua ada kemungkinan bujang gadis tidak setuju melainkan berdasrkan perundingan dan persetujuan pihak kedua orang tua atau kerabat sendiri.

2. Batas Umur

Hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang batas umur untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini berarti hukum adat adat memperbolehkan

15


(4)

33

perkawinan semua umur. Kedewasaan seseorang didalam hokum adat diukur dengan tanda-tanda bangun tubuh, apabila anak perempuan sudah haid (datang bulan), buah dada sudah menonjol, berarti dia sudah dewasa. Bagi anak laki-laki ukurannya dapat dilihat pada perubahan suara, sudah mengeluarkan air mania tau sudah mempunyai nafsu sex. Jadi bukan diukur dengan umur karena orang tua dimasa lampau kebanyakan tidak mencatat tanggal lahir anak-anaknya sebab kebanyakan mereka masih buta huruf.

e. Tata Cara Perkawinan Menurut Hukum Adat

Tata cara perkawinan adat pada suatu perkawinan berakar pada adat istiadat serta kepercyaan yang sudah ada sejak dahulu kala, sebelum agama-agama (Hindu, Budha, Islam dan Kristen) masuk di Indonesia telah di turuti dan senantiasa dilakukan. Tata cara tersebut sudah mulai dilakukan pada hari-hari sebelum pernikahan serta berlangsung sampai hari-hari sesudah upacara nikah. Tata cara diberbagai daerah di Indonesia adalah tidak sama sebab dilangsungkan menurut adat kebiasaan di tempat masing-masing.

Tentang upacara perkawinan tidak diatur dalam perundangan, kesemuanya diserahkan kepada para pihak yang bersangkutan menurut adat atau agamanya masing-masing. Jadinya perkawinan tampa upacara adat kebiasaan dalam masyarakat dapat saja dilakukan , asal saja dilakukan tata cara perkawinan yang ditelah ditentukan dalam perundangan. Dengan demikian upacara perkawinan itu pelaksanaanya menyangkut hukum adat dan hukum agama.

Pada umumnya pelaksanaan upcara perkawinana adat di Indonesia dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan adat setempat dalam kaitannya dengan susunan masyarakat atau kekerabatan yang dipertahankan masyarakat


(5)

34

bersangkutan. Bentuk perkawinan itu “istri ikut suami”(kawin jujur), suami ikut

istri (kawin semanda), atau suami istri bebas menentukan sendiri (kawin bebas) atau juga dalam bentuk campuran dalam perkawinan antara adat/ suku bangsa dalam masyarakat yang kian bertambah maju.

Upacara perkawinan adat dalam segal bentuk dan cara tersebut,pada umumnya dilaksanakan sejak masa pertunangan (pacaran), atau tahap penyelesain tahp berlarian, penyampaian lamaran, upacara adat perkawinan, upacara adat perkawinan, upacara keagamaan dan terakhir akhir acara kunjungan mempelai ke tempat orang tua atau mertuanya.

Latar belakang terjadinya berlarian bujang gadis (kawin lari) untuk maksud perkawinan adalah dikarenakan sebagai berikut :

a. Syarat-syarat pembayaran, pembiayaan dan upacara perkawinan yang diminta pihak gadis tidak dapat dipenuhi pihak bujang

b. Gadis belum diizinkan orang tuanya untuk bersuami tetapi dikarenakan keadaaan gadis bertindak sendiri

c. Orang tua dan keluarga gadis menolak lamaran pihak bujang, lalu gadis bertindak sendiri

d. Gadis telah bertunangan dengan seorang pemuda yang tidak disukai oleh si gadis

e. Gadis dan bujang telah berbuat yang bertentangan dengan hukum adat dan hukum agama (gadis sudah hamil dan lain-lain).

D. Bentuk Perkawinan Menurut Hukum Adat di desa Buru Kaghu

Perkawinan pada umumnya masih dimungkinkan untuk mengikuti dan mempertahankan tata cara adat istiadat yang berlaku bagi masyarakat setempat


(6)

35

termasuk di desa Buru Kaghu, Kecamatan Wewewa Selatan Kabupaten Sumba Barat Daya sebagai bagian integral dari wilayah Kesatuan Republik Indonesia.

Ada 3 jenis bentuk perkawinan adat yang biasa dikenal oleh masyarakat adat di desa Buru Kaghu adalah sebagai berikut:

1. Kawin Paksa : Perjodohan sejak kecil sebagai salah satu bentuk perkawinan paksa dilakukan atas kesepakatan kedua rumpun keluarga, terutama kedua orang tua dari masing-masing pihak. Prosedur itu dilakukan ketika anak-anak itu sudah cukup umur untuk melakukan perkawinan.

2. Kawin Bawa Lari : hal ini terjadi mana kala seorang pria mengajukan lamaran ternyata ternyata ditolak/tidak diterima oleh pihak keluarga wanita dengan berbagai alasan, salah satu alasan karena adanya perbedaan status sosial di antara kedua keluarga, maka untuk mencapai keinginannya sang pria membawa lari atau menculik wanita tersebut. Konsekuensi dari perkawinan tersebut adalah pihak pria harus berani mempertanggungjawabkan perbuatannya itu berdasarkan prosedur dan tata cara adat yang berlaku yakni ditandai dengan pembayaran sejumlah belis atau mas kawin berupa kerbau, kuda, sapi, kepingan emas (mamuli) dan lainnya, pembayarannya diatur berdasarkan tahapan-tahapan tertentu. Seturut dengan itu, oleh Teer Haar dikatakan bahwa Kawin paksa adalah suatu bentuk perkawinan, dimana si wanita bertentangan dengan kehendaknya dipaksa kawin dan dibawa lari oleh si pria yang memaksakan kehendaknya.

3. “Kawin Lari” (Pakondona) : Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian secara bersama-sama tanpa ada unsur paksaan dari pihak pria16.

16


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis Pakondona (Kawin Lari) Menurut Hukum Adat Suku Waijewa di Desa Buru Kaghu Kabupaten Sumba Barat Daya T1 312012709 BAB I

0 1 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis Pakondona (Kawin Lari) Menurut Hukum Adat Suku Waijewa di Desa Buru Kaghu Kabupaten Sumba Barat Daya T1 312012709 BAB IV

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan Yuridis Pakondona (Kawin Lari) Menurut Hukum Adat Suku Waijewa di Desa Buru Kaghu Kabupaten Sumba Barat Daya

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyelesaian Kawin Lari dalam Hukum Adat di Desa Wab Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara (Studi Kasus) T1 172009023 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyelesaian Kawin Lari dalam Hukum Adat di Desa Wab Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara (Studi Kasus) T1 172009023 BAB II

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyelesaian Kawin Lari dalam Hukum Adat di Desa Wab Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara (Studi Kasus) T1 172009023 BAB IV

2 14 61

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyelesaian Kawin Lari dalam Hukum Adat di Desa Wab Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara (Studi Kasus) T1 172009023 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kawin Lari Suatu Kajian Sosio-Antropologi terhadap Nilai Luhur dari Kawin Lari dalam Perkawinan Adat Suku Sasak

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kawin Lari Suatu Kajian Sosio-Antropologi terhadap Nilai Luhur dari Kawin Lari dalam Perkawinan Adat Suku Sasak T2 752011051 BAB II

0 0 23

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

0 0 7