KAJIAN SEMIOTIKA DAN NILAI-NILAI MEMMANG DALAM RITUAL MAGGIRIK BISSU KABUPATEN PANGKEP SULAWESI SELATAN SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SMA.

(1)

KAJIAN SEMIOTIKA DAN NILAI-NILAI MEMMANG DALAM RITUAL

MAGGIRIK BISSU KABUPATEN PANGKEP SULAWESI SELATAN

SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SMA

TESIS

diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh

ANDI SULFANA MASRI NIM 1302789

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2015


(2)

LEMBAR HAK CIPTA

KAJIAN SEMIOTIKA DAN NILAI-NILAI MEMMANG DALAM RITUAL

MAGGIRIK BISSU KABUPATEN PANGKEP SULAWESI SELATAN

SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SMA

oleh

Andi Sulfana Masri UPI Bandung, 2015

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

©Andi Sulfana Masri, 2015 Universitas Pendidikan Indonesia

Juni 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa izin dari penulis.


(3)

LEMBARAN PERSETUJUAN

ANDI SULFANA MASRI

KAJIAN SEMIOTIKA DAN NILAI-NILAI MEMMANG DALAM RITUAL

MAGGIRIK BISSU KABUPATEN PANGKEP SULAWESI SELATAN

SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA INDONESIA DI SMA

Disetujui dan disahkan oleh:

Pembimbing

Dr. Tedi Permadi, M.Hum. NIP 19700624 2006 04 1001

Mengetahui


(4)

Dr. Sumiyadi, M.Hum. NIP 19660320 1991 03 1004

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Kajian Semiotika Dan Nilai-Nilai Memmang Dalam Ritual Maggirik Bissu Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan Serta Pemanfaatannya Dalam Pembelajaran Sastra Indonesia Di SMA” isi sepenuhnya karya saya sendiri. Tidak ada bagian di dalamnya yang merupakan plagiat dan tidak melakukan penjiplakan serta pengutipannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuaan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan.

Atas pernyataan ini, saya siap menangung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuaan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keasliaan penulisan karya saya ini.

Bandung, Juni 2015 Yang membuat pernyataan,


(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Hak Cipta ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Lembar Pernyataan... iv

Ucapan Terima Kasih ... v

Abstrak ... viii

Daftar Isi... x

Daftar Tabel ... xiv

Daftar Gambar ... xv

Daftar Lampiran ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 RumusanMasalah ... 5

1.3 TujuanPenelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Struktur Organisasi ... 6

BAB 2 LANDASAN TEORETIS ... 8

2.1Memmang dalam Ritual Maggirik Bissu Sebagai Folklor dan Sastra Lisan ... 8

2.1.1 Memmang ... 8

2.1.2 Ritual ... 14

2.1.3 Ritual maggirik bissu ... 15

2.1.4 Bissu dan peranannya ... 16

2.2 Kajian Semiotika ... 18

2.2.1 Tanda: Penanda dan Petanda ... 19

2.2.2 Pengertian Semiotik ... 20

2.2.3 Semiotika Michael Riffaterre ... 22

2.2.3.1 Ketidaklangsugan Ekspresi ... 23

2.2.3.2 Pembacaan Heuristik ... 24


(7)

2.2.3.4 Matriks, Model, dan Varian ... 39

2.3 Konteks ... 41

2.4 Fungsi Sastra Lisan ... 42

2.5 Nilai-nilai dalam Karya Sastra ... 44

2.6 Bahan Ajar ... 45

2.7 Penelitian yang Relevan ... 49

2.8 Posisi Teoritis Peneliti ... 50

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 53

3.1 Desain Penelitian ... 53

3.2 Partisipan dan Tempat Penelitian ... 53

3.3 Data dan Pengumpulan Data ... 54

3.3.1 Obeservasi ... 54

3.3.2 Wawancara ... 55

3.3.3 Studi Dokumen ... 55

3.4 Teknik Analisis Data... 57

3.5 Isu Etik ... 58

BAB 4 TEMUAN DAN PEMBAHASAN ... 59

4.1Deskripsi Upacara Mappalili, Ritual Songkabalang, dan Pementasan Maggirik pada Acara Panggung ... 59

4.1.1 Deskripsi Upacara Mappalili ... 59

4.1.2 Deskripsi Upacara Songkabalang ... 61

4.1.3 Maggirik pada Acara Pementasan Biasa... 61

4.2 Teks Memmang I: Memmang Maggirik pada Upacara Mappalili ... 62

4.2.1 Pembacaan Semiotika Teks Memmang I ... 63

4.2.1.1 Pembacaan Heuristik Teks Memmang I ... 63

4.2.1.2Pembacaan Hermeneutik Teks Memmang I ... 72

4.2.1.3Matriks dan Model ... 75

4.2.2 Konteks Memmang I ... 75

4.2.3 Fungsi Teks Memmang I ... 81

4.2.4 Nilai-nilai Teks Memmang I ... 83 4.3 Teks Memmang II: Memmang Maggirik pada


(8)

Ritual Songkabalang ... 85

4.3.1 Pembacaan Semiotika Teks Memmang II ... 90

4.3.1.1 Pembacaan Heuristik Teks Memmang II ... 90

4.3.1.2Pembacaan Hermeneutik Teks Memmang II ... 130

4.3.1.3Matriks dan Model ... 136

4.3.2 Konteks Memmang II ... 136

4.3.3 Fungsi Teks Memmang II ... 138

4.3.4 Nilai-nilai Teks Memmang II ... 140

4.4 Teks Memmang III: Memmang Maggirik pada Pementasan Biasa ... 144

4.4.1 Pembacaan Semiotika Teks Memmang III ... 145

4.4.1.1 Pembacaan Heuristik Teks Memmang III ... 145

4.4.1.2Pembacaan Hermeneutik Teks Memmang III ... 157

4.4.1.3Matriks dan Model ... 163

4.4.2 Konteks Memmang III ... 164

4.4.3 Fungsi Teks Memmang III ... 165

4.4.4 Nilai-nilai Teks Memmang III ... 166

4.5 Rangkuman Hasil Analisis ... 170

4.5.1 Pembacaan Semiotika Teks Memmang ... 170

4.5.2 Konteks Memmang dalam Ritual Maggirik Bissu ... 175

4.5.2.1Fungsi Memmang dalam Ritual Maggirik Bissu ... 179

4.5.2.2Nilai-nilai Memmang dalam Ritual Maggirik Bissu ... 180

4.6 Pembahasan ... 181

4.6.1 Pembacaan Semiotika Teks Memmang dalam Ritual Maggirik Bissu182 4.6.2 Konteks Memmang dalam Ritual Maggirik Bisu ... 183

4.6.3 Fungsi Memmang dalam Ritual Maggirik Bisu ... 184

4.6.4 Nilai Memmang dalam Ritual Maggirik Bisu ... 184

BAB 5 Pemanfaatan Hasil Analisis Memmang dalam Ritual Maggirik Bissu sebagai Bahan Ajar Apresiasi Puisi Lama ... 192

5.1.Memmang dalam Ritual Maggirik Bissu sebagai Bahan Ajar Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA ... 192


(9)

5.2.Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Puisi Lama dengan

Menggunakan Bahan Ajar Memmang Ritual Maggirik Bissu ... 197

5.3.Lembar Kerja Siswa (LKS) Pembelajaran Puisi Lama ... 214

BAB 6 SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI ... 236

6.1. Simpulan ... 236

6.1.1 Pembacaan Semiotika Teks Memmang Ritual Maggirik ... 236

6.1.2 Konteks Penuturan Memmang Ritual Maggirik ... 236

6.1.3 Fungsi Memmang Ritual Maggirik ... 237

6.1.4 Nilai-nilai Memmang Ritual Maggirik ... 237

6.1.5 Pemanfaatan Memmang Ritual Maggirik sebagai Bahan Ajar ... 338

6.2. Implikasi dan Rekomendasi... 238

GLOSARIUM ... 240

DAFTAR PUSTAKA ... 243


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Efek Musikalitas Bunyi Vokal ... 37

Tabel 2.2. Efek Musikalitas Bunyi Konsonan Terhambat ... 38

Tabel 2.3. Efek Musikalitas Bunyi Konsonan Lanjut ... 38

Tabel 3.4 Pedoman Analisis Data ... 56

Tabel 4.5. Analisis Sintaksis TM I ... 67

Tabel 4.6. Hasil Analisis Asonansi dan Aliterasi TM I ... 71

Tabel 4.7. Hasil Analisis Asonansi dan Aliterasi TM II ... 121

Tabel 4.8. Analisis Sintaksis TM III ... 151


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peneliti bersama Puang Lolo Bissu ... 278

Gambar 2. Peneliti bersama bissu ... 278

Gambar 3. Pusat rumah adat bissu ... 278

Gambar 4. Puang Matowa menggunakan pakaian bissu ... 279

Gambar 5. Bissu mengelilingi walasuji pada ritual maggirik ... 279

Gambar 6. Bissu maggirik... 280

Gambar 7. Pemusik latihan ... 280

Gambar 8. Pemusik menggunakan pakaian biasa saat mengiringi tari maggirik280 Gambar 9. A’rajang ... 281

Gambar 10. Alameng ... 281

Gambar 11. Coda Mpulaweng ... 281

Gambar 12. Alosu ... 282

Gambar 13. Arumpi ... 282

Gambar 14. Tempat penyimpanan benda pusaka bissu di rumah ... 282

Gambar 15. Sesajian... 283

Gambar 16. Sessung ... 283

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Penilaian Bahan Ajar ... 247


(12)

Lampiran 2. Ringkasan I La Galigo ... 253 Lampiran 3. Pedoman Wawancara ... 277 Lampiran 4. Gambar Penelitian ... 278


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Folklor merupakan sebuah elemen penting yang ada dalam suatu sistem tatanan budaya dan sosial suatu masyarakat. Folklor merupakan sebuah refleksi sosial akan suatu masyarakat dan segala sistem yang berlaku didalamnya, sebuah cerminan akan nilai-nilai baik moral, etik dan nilai-nilai normalitas yang berlaku dalam suatu masyarakat. Selain itu, folklor juga dapat dilihat sebagai suatu manifestasi dari cara pandang satu masyarakat secara holistik. Ini artinya, sebuah folklor yang ada dan eksis dalam suatu masyarakat, bisa dilihat sebagai suatu proyeksi dari bagaimana sebuah masyarakat itu berpikir dan sebagai media mengabadikan apa-apa yang dirasakan penting (dalam suatu masa) oleh masyarakat pendukungnya (Danandjaja, 2007, hlm.17).

Karya sastra I La Galigo adalah karya sastra terpanjang di dunia, yang berasal dari tanah Bugis, Sulawesi Selatan, dan merupakan karya sastra terpanjang di dunia melebihi Mahabrata dari India (Ram, 2011, hlm.v). I La Galigo menceritakan tentang kepercayaan masyarakat Bugis kuno Sulawesi Selatan di masa lampau, yakni penciptaan bumi, serta raja-raja langit dan bumi. I La Galigo merupakan salah satu folklor yang di dalamnya juga memuat berbagai folklor lain yang masih diwariskan dan masih ada hingga kini. Salah satu folklor yang dimaksud adalah berbagai ritual yang dilakukan oleh para bissu.

Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam yang juga banyak

disebut-sebut dalam I La Galigo dengan berbagai ritualnya.Uniknya, bissu adalah para waria yang berbeda dengan waria-waria yang lain. Jika waria-waria pada umumnya memiliki tempat marginal di lingkungan sosial masyarakat, bissu justru memiliki kedudukan yang lebih terhormat, bahkan sebutan ‘Puang’ (sapaan masyarakat Bugis pada orang-orang yang dihormati) diberikan pada ketua Bissu sebagai bentuk penghormatan pada waria ini. Bissu yang notabene adalah waria, dianggap mewakili dua elemen gender manusia, yaitu laki-laki dan perempuan.

Bissu sebagai pendeta Bugis Kuno dianggap suci, sehingga dituntut untuk


(14)

perlakuan khusus karena perannya sebagai penyambung lidah antara rakyat, raja dengan para dewa melalui ritual-ritual tradisionalnya yang menggunakan bahasa dewa atau basa to rilangi (bahasa langit).

I La Galigo sebagai referensi utama sejarah purba suku Bugis,

membuktikan bahwa kehadiran bissu dianggap sebagai pengiring lestarinya tradisi keilahian atau religiusitas nenek moyang. Bissu pun dalam perkembangannya juga dikenal oleh masyarakat Bugis akan kesaktiannya. Salah satu kisah kesaktian

bissu ini dapat kita temukan dalam kisah Arung Palakka ketika pada tahun 1667

melakukan penyerbuan bersama tentara Soppeng terhadap Lamatti, sebuah distrik di Bone Selatan, sebanyak seratus bissu Lamatti tampil dengan senjata walida (pemukul tenun) sambil mendendangkan memmang (nyanyian suci). Anehnya, tidak satupun senjata prajurit Bone dan Soppeng yang mampu melukai para bissu sakti tersebut (Andaya, 2006, hlm.106).

Saat sekarang ini, bissu berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional Bugis di daerah-daerah Bugis, seperti Soppeng, Wajo, Bone, dan Pangkep. Upacara tradisional ini, diantaranya adalah upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan (indo’ botting), pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, tanam padi, dan lain-lain. Pada ritual-ritual tertentu, bissu melakukan tari

maggirik yang merupakan salah satu wujud kesaktian bissu. Maggirik adalah

salah satu rangkaian dari ritual tertentu saat bissu menari sambil menusuk diri dengan badik. Maggirik dimaksudkan untuk menguji apakah roh leluhur atau dewata yang sakti sudah merasuk ke dalam diri bissu dalam sebuah upacara, sehingga apabila sang bissu kebal dari tusukan badik itu, dia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat kepada yang memintanya. Namun, apabila badik tersebut menembus dan melukai bissu, maka yang merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh leluhur sama sekali yang merasukinya.

Bissu mendendangkan memmang dalam ritual manggirik dalam basa to rilangi yang menjadi salah satu penentu kekebalan bissu. Isi memmang berupa

syair-syair suci antara lain tentang riwayat kejadian dan muasal alat dan bahan perlengkapan upacara, puji-pujian dan sanjungan kepada dewata, bujukan dan rayuan kepada dewata agar sudi datang membantu, serta permohonan berkah dan


(15)

bantuan kepada dewata (Lathief, 2009, hlm.142). Memmang ini juga merupakan salah satu folklor di Indonesia yang berupa sastra lisan.

Sastra lisan sebagai karya sastra maupun sebagai folklor, merupakan suatu bentuk kesenian yang bermakna dan berfungsi sebagai alat pengajaran bagi masyarakat. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan Teeuw (dalam Ratna, 2010, hlm. 4) bahwa sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Danandjaja (1984, hlm.4) yang menyatakan bahwa folklor memiliki kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif, misalnya sebagai alat pendidikan.

Pemahaman terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam kebudayaan menjadi sangat penting agar fungsi kebudayaan sebagai alat pendidikan benar-benar dapat terwujud. Ketidakpahaman terhadap nilai yang terkandung dalam suatu kebudayaan tentunya akan berakibat fatal bagi eksistensi kebudayaan tersebut sebagai suatu hal yang bermanfaat banyak bagi masyarakat dan negara. Aktualisasi dari kurang pahamnya masyarakat terhadap budaya yang dimilikinya mengakibatkan beberapa kebudayaan tidak jarang ditolak pelestariannya karena dianggap menyimpang dari nilai-nilai luhur bangsa atau pun karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembagan globalisasi. Oleh karena itu, nilai-nilai positif yang terkandung dalam sebuah tradisi kebuadayaan, termasuk sastra lisan

memmang, hendaknya selalu dipelajari dan dipahami. Masyarakat hendaknya

mengetahui dan memahami kebudayaan yang dimilikinya, mempelajari nilai-nilai filosofisnya, dan bukan hanya sekadar menilai sebuah tradisi sebagai kebudayaan dari kulit luarnya saja.

Dalam kedudukannya sebagai sastra lisan, memmang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Ferdinand De Saussure (dalam Widada, 2009, hlm.17) mengatakan bahwa, bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang mengungkapkan pikiran atau gagasan. Sejalan dengan itu, kajian semiotika dianggap relevan dengan upaya membaca pikiran dan gagasan yang diimplikasikan melalui tanda-tanda dalam memmang maggirik. Hal ini karena pendekatan semiotik memandang karya sastra, termasuk sastra lisan sebagai tanda yang memiliki makna. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi yang seharusnya dapat dipahami oleh penikmat karya sastra. Sasaran pembacaan


(16)

tanda-tanda pada karya sastra tidak hanya pada sistem (tataran) pembacaan tingkat pertama (first-order semiotic system), melainkan terlebih pada sistem pembacaan tingkat kedua (second-semiotic system).

Pembacaan terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam sebuah sastra lisan, termasuk memmang dalam ritual maggirik, juga dapat memudahkan kita memahami nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam sastra lisan tersebut. Nilai-nilai dalam memmang ritual maggirik dapat dijadikan landasan bertindak dan bertingkah-laku bagi generasi selanjutnya dalam segala aspek kehidupannya. Dengan demikian, manfaat sastra lisan sebagai alat pengajaran dan pewarisan nilai-nilai etik dan moral dapat terealisasikan.

Penelitian terhadap sastra lisan dengan menggunakan pendekatan semiotik telah dilakukan oleh Uniawati (2007) dengan judul penelitian “Mantra Melaut

Suku Bajo: Interpretasi Semiotik Rifaterre”. Objek penelitian Uniawati adalah mantra melaut suku Bajo. Berbeda dengan penelitian Uniawati, penelitian ini menetapkan memmang dalam ritual maggirik bissu sebagai objek penelitian dengan pertimbangan bahwa memmang adalah bagian dari salah satu epos terpanjang dan tertua di dunia, yaitu epos I La Galigo, sekaligus sebagai bagian dari peradaban salah satu suku terbesar di Sulawesi, yaitu suku Bugis.

Siswa adalah bagian dari masyarakat yang diharapkan dapat memahami kebudayaannya. Bahkan, siswa sebagai penerus kehidupan bangsa adalah masyarakat yang sangat penting untuk memahami kebudayaannya sebagai suatu hal yang mengandung nilai-nilai luhur di dalamnya. Seperti yang diungkapkan Amir (2013, hlm. 14) bahwa siswa perlu tahu apa yang mereka miliki, sehingga jika mereka menjadi wakil negara ini dan berhadapan dengan wakil negara lain, ia dapat menjelaskan apa yang ia miliki dan apa yang datang dari luar. Melalui pembelajaran berbasis kebudayaan lokal, misalnya melalui bahan ajar yang berkaitan dengan puisi lama memmang rakyat dalam ritual maggirik bissu, siswa dapat memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, menimbulkan apresiasi dan rasa bangga terhadap nilai-nilai tersebut, sekaligus dapat mengembangkan nlai-nilai karakter siswa. Dengan demikian, berbeda dengan penelitian sebelumnya, hasil analisis sastra lisan dengan pendekatan semiotik pada


(17)

penelitian ini akan dilanjutkan sampai pada penyusunan bahan ajar pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

1.2Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah pembacaan semiotik teks memmang dalam ritual maggirik

bissu di kecamatan Segeri, kabupaten Pangkep, provinsi Sulawesi Selatan?

2. Bagaimanakah konteks penuturan memmang dalam ritual maggirik bissu di kecamatan Segeri, kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan?

3. Apa sajakah fungsi memmang dalam ritual maggirik bissu di kecamatan Segeri, kabupaten Pangkep, provinsi Sulawesi Selatan?

4. Nilai-nilai apa sajakah yang terkandung dalam teks memmang pada ritual

maggirik bissu di kecamatan Segeri, kabupaten Pangkep, provinsi Sulawesi

Selatan?

5. Bagaimanakah perangkat pembelajaran sastra di SMA dengan memanfaatkan hasil analisis teks memmang dalam ritual maggirik bissu?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan hal-hal sebagai berikut.

1. Hasil pembacaan semiotik teks memmang dalam ritual maggirik bissu di kecamatan Segeri, kabupaten Pangkep, provinsi Sulawesi Selatan.

2. Konteks penuturan memmang dalam ritual maggirik bissu di kecamatan Segeri, kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.

3. Fungsi memmang dalam ritual maggirik bissu di kecamatan Segeri, kabupaten Pangkep, provinsi Sulawesi Selatan.

4. Nilai-nilai yang terkandung dalam teks memmang pada ritual maggirik bissu di kecamatan Segeri, kabupaten Pangkep, provinsi Sulawesi Selatan.

5. Perangkat pembelajaran sastra di SMA dengan memanfaatkan hasil analisis teks memmang dalam ritual maggirik bissu.


(18)

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Dari segi teori, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menjadi bahan

informasi teoretis tentang bentuk dan isi yang terkandung dalam sebuah tradisi kebudayaan, khususnya dalam memmang ritual maggirik bissu.

2. Dari segi kebijakan, hasil penelitian diharapkan mampu memberikan

masukan dalam pengembangan kebijakan pemerintah menyangkut pelestarian budaya-budaya lokal yang sarat makna, terutama kebijakan

menyangkut pelestarian memmang dalam ritual maggirik bissu.

3. Dari segi praktiknya, penelitian ini diharapkan bermanfaat kepada siswa,

guru, dan peneliti lain.

a) Kepada siswa, bermanfaat dalam mengenali kebudayaan nasional melalui

pembelajaran di sekolah, sehingga dapat menjadi pewaris kebudayaan yang cerdas.

b) Kepada guru, bermanfaat dalam memberikan sumbangan pikiran untuk

menggunakan materi ajar kebudayaan lokal pada pembelajaran bahasa Indonesia.

c) Bagi peneliti lain, sebagai bahan pembanding dan acuan dalam menulis

karya tulis yang relevan.

4. Dari segi isu serta aksi sosial, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pencerahan dan pengalaman hidup, yakni berkaitan dengan nilai-nilai yang

dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.

1.5 Struktur Organisasi

Tesis ini terdiri atas enam bab. Bab 1 pendahuluan, berisi pemaparan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi tesis. Bab 2 landasan teoretis, berisi pemaparan teori dan konsep berkenaan dengan memmang dalam ritual maggirik bissu sebagai folklor dan sastra lisan (memmang, ritual, ritual maggirik bissu, bissu dan peranannya), kajian semotika (tanda, pengertian semiotik, semiotika Michael Riffaterre, ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan heuristik, pembacaan hermeneutik, matriks, model, varian, dan nilai-nilai dalam karya sastra), serta pemaparan


(19)

mengenai bahan ajar. Selanjutnya, bab 2 memuat pemaparan mengenai penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, serta pemaparan mengenai posisi teoritis peneliti terhadap masalah yang diteliti. Bab 3 metode penelitian, berisi pemaparan tentang desain penelitian, partisipan dan tempat penelitian, pengumpulan data, analisis data, dan isu etik. Bab 4 temuan dan pembahasan, berisi pemaparan yang rinci mengenai data dan analisis data untuk menghasilkan temuan berkaitan dengan masalah penelitian, tujuan penelitian, dan pembahasan hasil analisis atau temuan. Bab 4 juga memuat mengenai rangkuman hasil analisis. Bab 5 pemanfaatan hasil analisis memmang dalam ritual maggirik bissu

sebagai bahan ajar apresiasi puisi lama, memuat pembahasan mengenai memmang

dalam ritual maggirik bissu sebagai bahan ajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) puisi lama dengan menggunakan bahan ajar memmang ritual maggirik bissu, dan Lembar Kerja Siswa (LKS) pembelajaran puisi lama. Bab 6 kesimpulan dan saran memuat penafsiran dan pemaknaan terhadap hasil analisis temuan penelitian


(20)

(21)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu penelitian tentang data yang dikumpulkan dan dinyatakan dalam bentuk kata-kata dan gambar, kata-kata disusun dalam kalimat. Menurut Sugiyono (2013, hlm. 15), metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci. Moleong (2014, hlm. 4), mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Penelitian ini akan mendeskripsikan mengenai data yang dikumpulkan secara alamiah mengenai mantra dalam ritual maggirik bissu.

3.2Partisipan dan Tempat Penelitian

Partisipan dalam penelitian ini adalah Puang Matowa (pemimpin bissu),

Puang Lolo (wakil pemimpin), dan empat anggota bissu. Pemilihan partisipan ini

didasarkan pertimbangan bahwa merekalah yang dapat melakukan ritual tari

maggirik dan mereka pulalah yang mengetahui teks dan memahami isi dari memmang. Bissu-bissu inilah yang kerap kali dipanggil untuk memimpin ritual,

terutama ritual mappalili, songkabalang, dan sering pula diundang untuk mengisi acara dengan tarian maggiriknya pada acara-acara tertentu, seperti perayaan tahun baru atau pada acara lainnya.

Penelitian dilakukan di desa Segeri, kabupaten Pangkep, provinsi Sulawesi Selatan. Walaupun, bissu terdapat juga pada daerah Bugis yang lain, seperti Bone dan Soppeng, tetapi pada saat sekarang ini, eksistensi bissu di Segeri lebih kental daripada bissu-bissu di daerah lain, terutama karena upacara mappalili yang melibatkan bissu sebagai pemimpin upacara selalu dilakukan tiap tahun secara


(22)

besar-besaran. Masyarakat sendiri lebih mengenal adanya bissu di Segeri daripada di daerah lain.

3.3 Data dan Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini adalah teks memmang ritual maggirik pada beberapa acara, yaitu teks memmang ritual maggirik dalam upacara mappalili, teks memmang maggirik dalam ritual songkabalang, dan teks memmang maggirik pada pementasan biasa. Selain itu, juga dibutuhkan data pelaksanaan ritual tari

maggirik dalam upacara mappalili, tari maggirik dalam ritual songkabalang, dan

tari maggirik pada pementasan biasa. Data-data lain berupa informasi-informasi mengenai teks-teks memmang dan pelaksanaan ritualnya, yakni mengenai terjemahan dan maksud dalam teks, serta piranti-piranti ritual.

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen utama adalah peneliti sendiri atau anggota tim peneliti (Sugiyono, 2013, hal. 400). Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai instrumen utama, didukung oleh; (a) pedoman wawancara (interview guide), yaitu pertanyaan yang mengkhusus pada hal yang akan diteliti, sehingga dapat dikembangkan dan diperdalam di lapangan untuk mengumpulkan data; (b) alat perekam digunakan sebagai alat bantu merekam hasil wawancara; (c) hasil penelusuran informasi mengenai memmang maggirik bissu dari dokumen-dokumen terkait; (d) pedoman analisis puisi lisan dengan menggunakan pendekatan semiotik; (e) Pedoman analisis konteks puisi lisan; (f) pedoman analisis fungsi puisi lisan; (g) pedoman analisis nilai-nilai yang terkandung dalam puisi lisan; dan (h) pedoman penyusunan bahan ajar sastra (puisi) lama.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu teknik

observasi, teknik wawancara mendalam, dan studi dokumen.

3.3.1 Observasi

Dalam hal ini yang dimaksudkan observasi adalah cara pengumpulan data melalui indera mata mengenai suatu gejala atau kenyataan dari apa yang dapat dilihat, terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah yang diteliti. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti mengamati bissu dalam upacara ritualnya yaitu


(23)

maggirik untuk mendapatkan data yang diperlukan. Untuk mengantisipasi

keterbatasan daya pengamatan peneliti, maka pada saat melakukan observasi, peneliti akan menggunakan alat perekam audio dan visual.

3.3.2 Wawancara

Wawancara mendalam merupakan suatu cara untuk memperoleh keterangan secara lisan, yakni berinteraksi dengan seorang informan sesuai dengan permasalahan penelitian, kemudian dilakukan pencatatan secara sistematik. Wawancara mendalam dipakai untuk memperdalam informasi dengan melakukan cross check antar informan untuk mendapatkan verifikasi agar valid dan reliable. Wawancara mendalam dalam penelitian ini dilakukan dalam rangka menggali, memahami, dan mengkaji memmang dalam ritual maggirik bissu. Ada dua alasan pokok yang mendasari peneliti melakukan wawancara mendalam sewaktu mengumpulkan data. Pertama, wawancara mendalam memungkinkan peneliti untuk menggali fenomena bissu dan ritualnya, serta aplikasi kebudayaan

bissu tersebut. Kedua, dengan wawancara mendalam, peneliti dapat menanyakan

kepada informan hal-hal yang bersifat lintas waktu yang berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang, dan harapan masa mendatang. Dalam kaitan ini instrumen wawancara mendalam mengunakan pedoman wawancara (interview

guide).

3.3.3 Studi Dokumen

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2013, hal. 329). Dokumen yang berbentuk tulisan, misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, biografi, dan peraturan. Dokumen yang berbentuk gambar misalnya foto dan video. Dokumen yang berbentuk karya monumental dari seseorang, misalnya karya ilmiah atau karya seni milik orang.

Pada penelitian ini dokumen yang dimaksud, diantaranya adalah video pada saat bissu melaksanakan ritual maggirik, rekaman pada saat wawancara dengan anggota bissu, dan karya-karya ilmiah berkenaan dengan bissu, analisis sastra (mantra) dengan pendekatan struktural, analisis karya sastra dengan pendekatan


(24)

semiotik, analisis nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra, dan karya ilmiah mengenai pembuatan bahan ajar sastra.

Tabel 3.4. Pedoman Analisis Data

No. Aspek Indikator Tujuan Teori

1 2 3 4 5

1. Analisis memmang ritual maggirik dengan pendekatan semiotika Michael Riffaterre. - Pembacaan Heuristik - Pembacaan Hermeneuitik - Model dan

Matriks.

Untuk mengetahui makna yang ada dalam teks mantra Semiotika Riffaterre 2. Konteks memmang ritual maggirik

- Konteks budaya - Konteks sosial - Konteks situasi - Konteks ideologi

Untuk mengetahui unsur-unsur selain teks memmang ritual maggirik, tetapi masih berkenaan dengan teks memmang Sibarani Robert 3. Analisis fungsi teks memmang Fungsi memmang berdasarkan analisis struktur teks, konteks, dan makna memmang.

Untuk mengetahui fungsi

memmang

ritual maggirik

-William R. Bascom -Dundes -Wellek dan

Werren 4. Analisis nilai-nilai yang terkandung dalam memmang

Hal-hal di dalam kaya sastra yang dijadikan rujukan untuk menentukan pilihan dalam bertindak. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam memmang. Mulyana Rohmat 5.

Bahan ajar Pemanfaatan asil analisis memmang dalam pembelajaran Untuk mengetahu bentuk bahan ajar yang sesuai dengan pemanfaatan hasil analisis memmang. - Rahmanto - Iskandarwassid dan Sunendar.


(25)

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan tindakan yang dilakukan terhadap data penelitian untuk memperoleh jawaban rumusan masalah. Tindakan yang dilakukan terhadap data-data yang telah dikumpulkan untuk memperoleh jawaban rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Menanskripsi. Menurut Endraswara, 2009, hlm. 96), traskripsi, yaitu langkah untuk mengubah data lisan ke tulis, adalah teknik yang tidak bisa dielakkan dalam penelitian folklor. Dalam mentranskrip, peneliti tidak dibenarkan untuk mengubah satu huruf dan kata pun karena huruf dan kata merupakan simbol yang sangat berharga (Endraswara, 2009, hlm. 96). Isi memmang dalam ritual

maggirik bissu ditranskrip melalui cara menyimak mantra yang diucapkan bissu pada rekaman video secara berulang-ulang.Teks memmang yang telah

ditranskripkan dari video diklarifikasi kepada anggota bissu. Menurut Endraswara (2009, hlm. 96), dalam proses trasnkrip data lisan ke tulis, mungkin sekali ada kata-kata yang tidak jelas dan kacau, sehingga harus digali ulang di lapangan dan bukan dilompati.

2) Menerjemahkan. Jika data telah berupa transkrip yang bisa dibaca, peneliti baru melakukan penerjemahan untuk mempermudah pemahaman orang yang tidak memahami bahasa asli data (Endraswara, 2009, hlm. 97). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam terjemahan teks lisan, yaitu (a) sebaiknya pahami dulu kata-kata yang kurang dikenal; (b) bisa menggunakan beberapa kamus yang komunikatif; (c) terjemahan teks bukan kata per kata; (d) penyajian bahasa terjemahan hausnya ke dalam bahasa dan susunan yang mudah dipahami oleh banyak orang; (e) penerjemahan hendaknya kontekstual, memerhatikan aspek-aspek di luar teks (Endraswara, 2009, hlm. 98). Jika peneliti mengalami jalan buntu dalam penerjemahan, peneliti dapat melakukan beberapa hal; (a) mencari padanan kata, ungkapan, dan gaya bahasa yang sejenis; (b) peneliti dapat menanyakan kepada informan dan narasumber lain; (c) menghubungkan antara konteks dan teks lain yang senada (Endraswara, 2009, hlm. 98). Yang penting dalam terjemahan harus bisa menyuarakan ide asli teks (Endraswara, 2009, hlm. 98). Teks memmang diterjemahkan dengan melibatkan bissu, teman sejawat yang memahami dan


(26)

sering menggunakan bahasa Bugis, serta teks terjemahan I La Galigo yang notabene menggunakan bahasa yang sama dengan bahasa memmang.

3) Menganalisis teks memmang dengan pendekatan semiotik Michael Riffaterre. 4) Menganalisis konteks memmang dengan berpedoman pada hasil wawancara,

dan video pembacaan memmang dalam ritual maggirik, dan dokumen karya ilmiah yang berkaitan dengan konteks penuturan memmang.

5) Menganalisis fungsi teks memmang dengan berpedoman pada teori-teori fungsi sastra lisan.

6) Menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalam teks memmang.

7) Membahas hasil penelitian dalam bentuk pemaknaan hasil temuan penelitian yang berpedoman kepada teori dan pendapat para ahli.

8) Menyusun alternatif bahan ajar berdasarkan hasil kajian semiotik, konteks, fungsi, dan nilai-nilai yang terkandung dalam memmang maggirik bissu. 9) Menyimpulkan hasil kajian semiotik, konteks, fungsi dan nilai-nilai yang

terkandung dalam memmang maggirik bissu , serta bentuk pemanfaatannya sebagai bahan ajar dalam pendidikan formal.

3.5 Isu Etik

Hal yang akan diteliti adalah teks memmang pada saat ritual tari maggirik dilakukan. Teks ini dibacakan dengan suara yang dapat didengar oleh pengunjung, sehingga dapat dikatakan bahwa teks ini tidak dirahasiakan dan memang diperkenankan untuk diketahui banyak orang. Sebelum dilakukan pengambilan data, peneliti meminta izin terlebih dahulu kepada para bissu. Peneliti diberi syarat untuk ikut serta dalam pelaksanaan ritual meminta izin pada benda pusaka

bissu sebelum memulai kegiatan penelitian. Setelah syarat tersebut dipenuhi,

pemimpin bissu memberikan izinnya untuk melakukan penelitian.

Bissu diberitahu bahwa data yang diperoleh darinya akan dimuat dalam tesis. Teks memmang yang dianalisis diperoleh dari bissu pada saat ritual dilakukan. Memmang yang didengar berulang-ulang dari video pelaksanaan ritual ditranskripkan, lalu diserahkan kembali kepada pemimpin bissu untuk dilakukan verifikasi teks. Pada saat dilakukan wawancara, beberapa pertanyaan tidak dijawab oleh bissu dan ada yang dijawab dengan isyarat saja. Dengan demikian, data yang diperoleh adalah data yang memang ingin dibagikan oleh bissu karena

bissu tidak menjawab pertanyaan dan tidak memberikan informasi yang tidak


(27)

(28)

BAB 5

PEMANFAATAN HASIL ANALISIS MEMMANG DALAM RITUAL

MAGGIRIK BISSU SEBAGAI BAHAN AJAR APRESIASI PUISI LAMA

5.1Memmang dalam Ritual Maggirik Bissu sebagai Bahan Ajar Mata

Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

Berdasarkan paham eksistensialisme, pendidikan seharusnya dapat dijadikan wadah dalam menjaga eksistensi negara. Pendidikan negara seyogianya mampu mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, diperlukan strategi pembelajaran yang tepat untuk mengakomodasi pengembangan segala potensi yang dimiliki melalui pendidikan.

Mengingat bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman budaya, suku bangsa, agama, bahasa, dan sebagainya, maka sistem pendidikan Indonesia seharusnya sungguh-sungguh melayani kesejahteraan masyarakat plural, seperti yang diungkapkan Alwasilah (2014, hal.131) ‘given that Indonesia is a multicultural, multilingual, and multireligious society, our educational system

should, to a considerable extent serve the well-being of our pluralistic society‟.

Hal tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi dampak negatif dari keanekaragaman bangsa. Walaupun keragaman ini memperkaya khasanah budaya dan dapat menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia, kondisi tersebut juga dapat mendatangkan konflik karena aneka budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah ini muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah.

Paradigma pendidikan multikulturalisme sangat penting untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Model pembelajaran yang tepat bukan dengan cara menyembunyikan identitas dan eksistensi budaya lain, atau dengan jalan melakukan penyeragaman budaya yang ada sebagai sebuah budaya nasional, sehingga budaya lokal hilang. Pengenalan budaya melalui pedidikan multikultural akan membantu anak didik mengerti budaya dengan jelas dan dengan pengenalan budaya lain dapat makin memperkokoh budaya sendiri. Mereka akan memiliki cara pandang yang luas, dapat membandingkan antara satu budaya dengan budaya lain, melakukan telaah kritis atas masing-masing budaya,


(29)

dan memiliki penghargaan terhadap eksistensi budaya lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai.

Bahan ajar, sebagai rangkaian materi pembelajaran yang harus diserap siswa, merupakan media yang penting untuk mengonstruksi pembelajaran berbasis pendidikan multikultural. Muatan-muatan kebudayaan lokal dapat dimasukkan dalam bahan ajar yang disusun berdasarkan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Dengan demikian, peserta didik dapat mempelajari materi pembelajaran, sekaligus mengenali budaya lokal yang termuat dalam bahan ajar.

Kreativitas seorang guru sangat diperlukan dalam menyesuaikan muatan pendidikan multikultural dengan Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Khusus untuk pembelajaran sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Kompetensi Dasar tentang karya sastra lama dapat disajikan dengan menjadikan karya sastra lama lokal sebagai objek pembelajaran.

Mantra merupakan salah satu bentuk puisi lama. Sebagai karya sastra yang dikenal memiliki kekuatan magis, mantra sering kali dianggap sebagai sesuatu yang syirik dan menyimpang dari ajaran agama, sehingga menimbulkan antipati yang cukup kuat. Padahal, sebagai karya sastra, mantra tentu mengandung pesan dan nilai-nilai yang dapat dijadilan sarana dalam mewujudkan pendidikan karakter yang dicanangkan oleh kurikulum 2013.

Guru perlu memperhatikan beberapa hal dalam menyusun bahan ajar. Beberapa hal tersebut diantaranya adalah aspek bahasa, aspek psikologi, dan aspek latar belakang budaya daerah.

5.1.1. Aspek Bahasa

Hal-hal yang hendaknya diperhatikan dalam pemilihan atau penyusunan bahan ajar, berkaitan dengan bahasa, adalah bahasa yang digunakan harusnya bahasa yang dipahami oleh siswa. Selain itu, juga harus diperhatikan bahwa bahasa yang digunakan dapat pula memberikan wawasan kebahasaan pada siswa, misalnya mengenai bentuk-bentuk struktur kalimat, klausa, frasa, atau kata, tetapi siswa juga dapat dengan mudah memahami maksud bahasanya.


(30)

Mantra yang pada dasarnya menggunakan bahasa daerah merupakan alat yang efektif untuk memperkaya dan menambah ilmu pengetahuan kebahasaan. Kosakata dan struktur kalimat yang digunakan merupakan kosakata dan struktur bahasa daerah yang khas. Kekhasan bahasa daerah tersebut dapat dijadikan sebagai kajian bandingan dengan bentuk bahasa puisi kontemporer lainnya, sehingga siswa dapat menambah ilmu pengetahuan kebahasaannya.

5.1.2. Aspek Psikologi

Psikologi siswa sangat perlu diperhatikan dalam menyusun bahan ajar. Tujuan pembelajaran akan sulit dicapai jika bahan ajar yang disusun tidak disesuaikan dengan aspek perkembangan psikologi siswa. Perkembangan psikologi siswa sangat berpengaruh terhadap daya pikir, motivasi, minat, dan perhatian siswa terhadap materi pembelajaran.

Siswa SMA kelas X rata-rata berumur lima belas atau enam belas tahun. Siswa dalam rentang umur tersebut dapat digolongkan sebagai kelompok dewasa awal, yang disebut oleh Jean Pieget (dalam Ornstein dan Lavine, 2008 hlm.113) sebagai periode formal-operation, yaitu individu berurusan dengan masalah logika dan membangun hipotesis abstrak.

Pada tahap formal-operational, siswa memahami dan menafsirkan ruang, waktu historis, dan beberapa hubungan sebab-akibat, seolah-olah mereka menggunakan banyak jenis pemikiran untuk mengonstruksi kemungkinan rencana dan aksi. Pada periode ini, remaja memahami hubungan sebab-akibat, mereka dapat menggunakan metode ilmiah untuk menjelaskan realitas serta dapat mempelajari proses matematika, dan mekanik yang kompleks (Pieget dalam Ornstein dan Lavine, 2008 hlm.113).

Teks mantra daerah memiliki struktur kalimat, bunyi, dan gaya bahasa tersendiri dalam menyampaikan makna, pesan, dan nilai-nilai. Berdasarkan penjeasan Jean Pieget tentang psikologi siswa di atas, siswa kelas X dianggap mampu menganalisis bentuk dan karakteristik mantra yang notabenenya berupa bahasa daerah dengan struktur kalimat, bunyi, dan gaya bahasa yang khas. Siswa pada periode formal-operational dianggap mampu mengidentifikasi dan menentukan karakteristik puisi lama berupa mantra (memmang) dari segi struktur kalimat, bunyi, dan gaya bahasa yang digunakan.


(31)

5.1.3. Latar Belakang Budaya

Latar belakang budaya siswa perlu diperhatikan dalam menyusun bahan ajar. Bahan ajar yang disesuaikan dengan latar belakang budaya siswa akan membuat siswa lebih mudah dalam menalar dan memahami materi. Dengan karya sastra lokal, siswa merasa dekat, mengenali, dan telah memiliki skema awal tentang hal-hal yang digambarkan dalam karya sastra lokal tersebut, sehingga memudahkannya dalam mengonstruksi pikirannya untuk mencapai suatu kesimpulan konsep. Sebaliknya, jika disajikan karya sastra yang asing bagi siswa, tentu akan membuat siswa kesulitan dalam menalar karena tidak memiliki gambaran awal berkenaan dengan karya sastra tersebut.

Mantra daerah merupakan karya sastra yang mengandung nilai-nilai budaya lokal dan memuat hal-hal yang berkaitan dengan budaya lokal. Hal tersebut akan memudahkan siswa dalam memahami dan menalar materi pembelajaran karena merupakan gambaran dari sesuatu di sekitar siswa.

Ketiga aspek di atas, yaitu aspek bahasa, aspek psikologis, dan latar belakang budaya siswa secara dominan, dapat membantu guru dalam menyusun bahan ajar yang representatif. Bahan ajar yang akan dirancang adalah berupa Lembar Kerja Siswa (LKS). Penyusunan LKS disesuaikan dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

5.2. Memmang Ritual Maggirik Bissu dalam Lembar Kerja Siswa

Menurut Hendro Darmodjo dan Jenny R. E. Kaligis (1992, hlm. 40), Lembar Kerja Siswa (LKS) merupakan sarana pembelajaran yang dapat digunakan guru dalam meningkatkan keterlibatan atau aktivitas siswa dalam proses belajar-mengajar. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Surachman (1998, hlm. 46) yang menyatakan LKS sebagai jenis hand out yang dimaksudkan untuk membantu siswa belajar secara terarah (guided discovery activities). Dengan demikian, LKS merupakan sarana pembelajaran yang dapat membuat pembelajaran lebih terarah dan membentuk suasana belajar strundet centre.

Manfaat yang diperoleh dengan menggunakan LKS (Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis, 1992, hlm. 40), antara lain : (a) memudahkan guru dalam mengelola proses belajar, misalnya mengubah kondisi belajar dari ‘suasana

pembelajaran yang berpusat pada guru’ menjadi ‘suasana pembelajaran yang

berpusat pada siswa’; (b) membantu guru mengarahkan siswanya untuk dapat


(32)

kerja; (c) dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan proses, mengembangkan sikap ilmiah serta membangkitkan minat siswa terhadap alam sekitarnya.; (d) memudahkan guru memantau keberhasilan siswa untuk mencapai sasaran belajar.

LKS dikatakan berkualitas baik bila memenuhi syarat (Hendro Darmodjo dan Jenny R.E. Kaligis, 1992 : 41-46) sebagai berikut.

1. Syarat-syarat Didaktik

LKS sebagai salah satu bentuk sarana berlangsungnya PBM haruslah memenuhi persyaratan didaktik, artinya LKS harus mengikuti asas-asas belajar-mengajar yang efektif, yaitu : (a) memperhatikan adanya perbedaan individual; (b) tekanan pada proses untuk menemukankonsep-konsep; (c) memiliki variasi stimulus melalui berbagai media dan kegiatan siswa; (d) dapat mengembangkan kemampuan komunikasi sosial, emosional, moral, dan estetika pada diri siswa; (e) pengalaman belajarnya ditentukan oleh tujuan pengembangan pribadi siswa dan bukan ditentukan oleh materi bahan pelajaran.

2. Syarat-syarat Konstruksi

Syarat konstruksi ialah syarat-syarat yang berkenaan dengan penggunaan bahasa, susunan kalimat, kosa-kata, tingkat kesukaran, dan kejelasan yang pada hakikatnya haruslah tepat guna dalam arti dapat dimengerti oleh pengguna yaitu siswa: (a) menggunakan bahasa yang sesuai dengan tingkat kedewasaan siswa; (b) menggunakan struktur kalimat yang jelas; (c) memiliki tata urutan pelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa; (d) dihindarkan pertanyaan yang terlalu terbuka; (e) tidak mengacu pada buku sumber yang di luar kemampuan keterbacaan siswa; (f) menyediakan ruangan yang cukup untuk memberi keleluasaan pada siswa untuk menuliskan jawaban atau menggambar pada LKS; (g) menggunakan kalimat yang sederhana dan pendek; (h) menggunakan lebih banyak ilustrasi daripada kata-kata; (i) dapat digunakan untuk semua siswa, baik yang lamban maupun yang cepat; (j) memiliki tujuan belajar yang jelas serta bermanfaat sebagai sumber motivasi; (k) mempunyai identitas untuk memudahkan administrasinya.


(33)

3. Syarat-syarat Teknis

Syarat teknis merupakan syarat mengenai tulisan, gambar, dan penampilan LKS. Syarat-syarat tulisan memuat: (a) menggunakan huruf cetak dan tidak menggunakan huruf latin atau romawi; (b) menggunakan huruf tebal yang agak besar untuk topik, bukan huruf biasa yang diberi garis bawah.; (c) menggunakan tidak lebih dari sepuluh kata dalam satu baris; (d) menggunakan bingkai untuk membedakan kalimat perintah dengan jawaban siswa; (e) mengusahakan perbandingan besarnya huruf dengan besarnya gambar serasi. Syarat gambar yang baik untuk LKS adalah gambar yang dapat menyampaikan pesan/isi dari gambar tersebut secara efektif kepada pengguna LKS. Penampilan sangat penting dalam LKS karena anak pertama-tama akan tertarik pada penampilan bukan pada isinya.

5.2.1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Puisi Lama dengan Menggunakan Bahan Ajar Memmang Ritual Maggirik Bissu

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Sekolah : SMA

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Semester : X/ I

Materi Pokok : Karakteristik Puisi Lama dan Karakteristik Puisi Baru Alokasi waktu : 4 x 45 menit

A. Standar Kompetensi

4 Memahami puisi yang disampaikan secara langsung/tidak langsung.

B. Kompetensi Dasar dan Indikator

5.1. Mengidentifikasi unsur-unsur bentuk suatu puisi yang disampaikan secara langsung ataupun melalui rekaman

5.2. Mengungkapkan isi suatu puisi yang disampaikan secara langsung ataupun melalui rekaman


(34)

C. Indikator

Kognitif: Produk

(1) Siswa mampu mengidentifikasi pengertian rima. (2) Siswa mampu mengidentifikasi jenis-jenis rima. (3) Siswa mampu mengidentifikasi pengertian majas. (4) Siswa mampu mengidentifiksi jenis bentuk majas. (5) Siswa mampu mengidentifikasi pengertian makna. (6) Siswa mampu mengidentifikasi pengertian nilai.

: Proses

(7) Siswa mampu menuliskan pengertian rima. (8) Siswa mampu menuliskan jenis rima.

(9) Siswa mampu menuliskan pengertian majas. (10)Siswa mampu menuliskan jenis majas. (11)Siswa mampu menuliskan pengertian makna (12)Siswa mampu menuliskan pengertian nilai.

Psikomotor

(13)Siswa mampu menuliskan hasil analisis rima puisi. (14)Siswa mampu menuliskan hasil analisis majas puisi. (15)Siswa mampu menuliskan hasil analisis makna puisi.

(16)Siswa mampu menuliskan hasil analisis nilai yang terkadung dalam puisi.

Afektif:

(a) Religius (b) Jujur

(c) Tanggung jawab (d) disiplin

D. Tujuan Pembelajaran

Setelah proses pembelajaran, siswa diharapkan dapat: Kognitif: Produk

(1) mengidentifikasi pengertian rima; (2) mengidentifikasi jenis rima puisi;


(35)

(3) mengidentifikasi pengertian majas; (4) mengidentifikasi jenis majas; (5) mengidentifikasi pengertian makna; (6) mengidentifikasi pengertian nilai;

: Proses

(7) menuliskan pengertian rima; (8) menuliskan jenis rima; (9) menuliskan pengertian majas; (10) menuliskan jenis majas;

(11) menuliskan pengertian makna; (12) menuliskan pengertian nilai;

Psikomotor

(13)menuliskan hasil analisis rima puisi; (14)menuliskan hasil analisis majas puisi; (15)menuliskan hasil analisis makna puisi;

(16)menuliskan hasil analisis nilai yang terkadung dalam puisi.

Afektif:

Religius, disiplin, jujur, tanggung jawab

E. Materi Pembelajaran

1. Pengertian puisi

2. Bentuk Puisi, meliputi rima dan majas.

3. Isi puisi, meliputi makna dan nilai yang terkandung di dalam puisi.

F. Model dan Metode Pembelajaran

Model Pembelajaran : Discovery learning


(36)

G. Media dan Alat Pembelajaran

Media : Rekaman pembacaan memmang (mantra) dalam ritual maggirik

bissu.

Tayangan teks memmang (mantra) dalam ritual maggirik bissu.

Alat : LCD dan laptop

H. Kegiatan Pembelajaran

Pertemuan pertama

Kegiatan Kegiatan Alokasi

waktu

1 2 3

Pendahuluan 1. Siswa merespon ucapan salam . 2. Membaca doa bersama.

3. Siswa menjawab pertanyaan dari guru tentang kondisi kelas dan tentang pembelajaran sebelumnya.

4. Siswa menerima informasi tentang keterkaitan pembelajaran sebelumnya dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan.

5. Siswa menerima informasi tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, tujuan, manfaat, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan.

6. Guru memotivasi siswa sebagai kegiatan apersepsi.

7. Siswa memperhatikan video pembacaan puisi sebagai stimulan dengan sejumlah pertanyaan.

15 menit

Inti 8. Secara berkelompok, siswa meyimak

rekaman pembacaan puisi.

9. Siswa saling bertanya dan saling mengonfirmasikan dengan anggota kelompoknya mengenai kesesuaian teks dengan puisi yang simaknya.


(37)

10.Siswa saling bertanya dan saling menginformasikan dengan anggota kelompoknya mengenai bentuk puisi (rima dan majas) dan isi puisi (makna dan nilai). 11.Membaca konsep tentang pengertian

majas, jenis majas, pengertian rima, jenis rima, pengertian makna, dan pengertian makna, pengertian nilai dalam puisi, untuk dicocokkan dengan hasil identifikasi dan hasil tanya jawab sebelumnya.

12.Secara berkelompok, siswa mencoba merumuskan pengertian puisi, pengertian dan jenis rima, pengertian dan jenis majas, makna, dan nilai puisi sesuai dengan hasil identifikasi dan hasil tanya jawab sebelumnya.

13.Masing-masing utusan kelompok mempresentasikan hasil diskusi dan ditanggapi oleh siswa lain dengan santun. 14.Siswa bersama guru mengoreksi jawaban

siswa.

15.Guru memberi penguatan dan umpan balik.

Penutup 16.Siswa bersama guru menyimpulkan pengertian dan jenis rima, pengertian dan jenis majas, makna, dan nilai puisi.

17.Siswa bersama guru melaksanakan refleksi terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.

18.Siswa dan guru merencanakan tindak lanjut pembelajaran untuk pertemuan berikutnya.

15 Menit Partisipatori

Ceramah


(38)

Kegiatan Kegiatan Alokasi waktu

1 2 3

Pendahuluan 1. Siswa merespon ucapan salam . 2. Membaca doa bersama.

3. Siswa menjawab pertanyaan dari guru tentang kondisi kelas dan tentang pembelajaran sebelumnya.

4. Siswa menerima informasi tentang keterkaitan pembelajaran sebelumnya dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan.

5. Siswa menerima informasi tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar, materi, tujuan, manfaat, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan.

6. Guru memotivasi siswa sebagai kegiatan apersepsi.

7. Siswa menyaksikan video pembacaan puisi.

15 menit

Inti 8. Siswa menyimak dan menyesuaikan

kesesuaiannya dengan teks puisi di dalam LKS yang dibagikan guru.

60 menit

9. Siswa saling bertanya jawab dengan anggota kelompoknya tentang bentuk puisi (rima dan majas) dan isi puisi (makna dan nlai) berdasarkan teks puisi yang ada di dalam LKS.

10.Membaca konsep tentang bentuk dan isi puisi untuk dicocokkan dengan hasil identifikasi dan hasil tanya jawab tentang struktur puisi.

11.Siswa mencoba menentukan bentuk teks puisi berdasarkan hasil analisis jawaban


(39)

atas pertanyaan-pertanyaan dan konsep tentang benuk puisi.

12.Beberapa siswa mempresentasikan hasil analisisnya dan ditanggapi oleh siswa lain dengan santun.

13.Siswa bersama guru mengoreksi kesesuaian jawaban dengan teks puisi. 14.Guru memberi penguatan dan umpan

balik.

Penutup 15.Siswa bersama guru menyimpulkan

bentuk dan isi puisi

16.Siswa bersama guru melaksanakan refleksi terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.

17.Siswa dan guru merencanakan tindak lanjut pembelajaran untuk pertemuan berikutnya.

15 Menit

I. Penilaian

1. Teknik Penilaian

a.Kompetensi sikap dan keterampilan : Penilaian proses dengan nontes (observasi, pengamatan).

b.Kompetensi pengetahuan : Penilaian hasil belajar dengan tes tertulis.

2. Bentuk Instrumen

Soal Diskusi Kelompok Puisi

E...

dapo‟ dapo‟ na batara

Ku simula jaji


(40)

Saliu sarumpu-rumpu

Saliu sanra‟ batara

Anak to botto tollao-lao ko mai

Mu solok lanyu‟ lanyu‟

Anurungeng to ri wakasa

Tenao passangajik koro assoe koro angngie Tunrui papenge

Madekki‟ assara e Sikkiri‟ pungo-pungo Coda mpulawenge

Alamakeng a‟bissunge

Arukkajo...

Pa‟batari

Terjemahan E...

tungku-tungku dewa Awal kejadian Kujinjing berkeliling Asap mengepul

Asap menyebar ke tempat dewata Anak baru, ke sinilah

Kau lewati dengan lancar keturunan orang di atas Tidak terkecuali siang dan malam

Ikutilah papan Ashar telah dekat

Nyanyian burung-burung Coda emas

Alamakeng bissu Raja kayu

Penyembahan

Diskusikanlah dengan teman klompk mu mengenai hal-hal berikut! 1. Pengertian rima puisi berdasarkan puisi yang kalian baca.


(41)

2. Jenis-jenis rima. 3. Pengertian majas. 4. 3 jenis majas.

5. Pengertian makna dalam puisi. 6. Pengertian nilai-nilai dalam puisi.

Soal Individu

Bacalah Teks puisi lama (Mantra) di bawah ini dengan seksama!

Teks Asli Ya sabo, Sabo

Ya sabo, sabo Oiyo

Pole alaukang riauauanna bessi e Ya sabo, sabo

Oiyo

Yasabo, sabo, sabo Oiyo

E tenna ale Aju sanro e Ya sabo, sabo

Oiyo

E cenra na datu aju e

E maja‟ ale assessekno

Ya sabo, sabo, sabo

Oiyo

Ya sabo, sabo Oiyo

Terjemahan

Yasabo, sabo Ya sabo, sabo Oiyo


(42)

Dari sanalah asal muasal besi Ya sabo, sabo

Oiyo

Yasabo, sabo, sabo

E bukan tubuh kayu pengobat Ya sabo, sabo

Oiyo

E jelmaan raja kayu e E diri yang jelek minggirlah Ya sabo, sabo, sabo

Oiyo

Ya sabo, sabo Oiyo

Jawablah pertanyaan di bawah ini!

1. Identifikasilah rima yang terdapat pada teks puisi lama di atas (rima penuh, rima awal, dan rima akhir)

2. Majas apa sajakah yang terdapat pada teks puisi lama di atas? 3. Tentukanlah makna tiap baris puisi di atas!

4. Jelaskanlah nilai-nilai yang terkandung dalam teks di atas!

J. Pedoman Penilaian

1. Penilaian kognitif

Indikator Pencapaian Kompetensi

Teknik penilaian

Bentuk

Penilaian Instrumen

1 2 3 4

1. Menyampaikan pengertian rima

Penilaian proses Performa Tuliskanlah pengertian rima 2. Menyampaikan jenis

rima

Penilaian proses Performa Tuliskanlah jenis rima!

3. Menyampaikan pengertian majas

Penilaian proses Performa Tuliskanlah pengertian


(43)

majas! 4. Menyampaikan jenis

majas.

Penilaian proses Performa Tuliskanlah jenis majas! 5. Menyampaikan pengertian makna Tuliskanlah pengertian makna! 6. Menyampaikan

pengertian nilai dalam puisi.

Penilaian proses Performa Jelaskanlah mengenai nilai!

2. Penilaian Afektif

No. Aspek yang Dinilai Teknik Penilaian Waktu Penilaian Instrumen

Penilaian Keterangan

1. Religiius Pengamatan Proses Lembar pengamatan Hasil penilaian no.1 untuk masukan pembinaan dan informasi kepada guru agama dan PKn.

2. Jujur Pengamatan Proses Lembar

pengamatan 3. Disiplin Pengamatan Proses Lembar

pengamatan 4. Tanggung

Jawab

Pengamatan Proses Lembar pengamatan

3. Penilaian Hasil Pembelajaran Psikomotorik

No. Indikator Pencapaian Kompetensi

Teknik penilaian

Bentuk

Penilaian Instrumen

1 2 3 4 5

1. Menuliskan hasil analisis rima

Unjuk kerja

Tertulis Tuliskanlah pengertian rima! 2. Hasil analisis majas Unjuk

kerja

Tertulis Tuliskanlah jenis-jenis rima!


(44)

3. Menuliskan hasil analisis makna

Unjuk kerja

Tertulis Jelaskanlah makana setiap larik teks puisi! 4. Menuliskan hasil

analisis nilai

Unjuk kerja

Tertulis Temukanlah nilai-nilai yang

terkandung dalam puisi!

K. Pedoman Penskoran

1. Pedoman Penskoran Nilai Sikap Spriritual dan Sosial

No. Aspek yang

Dinilai

Rentang Skor

Rentang Nilai

Konversi Keterangan

1. Religius. 1

2 3 4 10-55 56-74 76-85 86-100 D C B A Kurang Cukup Baik Baik sekali 2. Jujur

3. Tanggung jawab 4. Disiplin

(Nurgiyantoro, 2010, hlm.253)

2. Pedoman Peskoran Nilai Kognitif

No. Aspek Skor

1 2 3

1. Pengertian rima:

Tepat, diikuti contoh, dan menggunakan bahasa yang efektif

5

Tepat, diikuti contoh, bahasa yang digunakan kurang efektif

4

Tepat, tetapi tidak diikuti contoh 3

Hampir tepat dan tidak diikuti contoh 2

Tidak tepat 1

2. Jenis rima

Lengkap, dijelaskan, dan diberikan contoh 5 Lengkap, dijelaskan, tetapi tidak ada contoh 4 Kurang lengkap, dijelaskan, ada contoh 3


(45)

Kurang lengkap, tidak dijelaskan, tidak ada contoh

2

Tidak tepat 1

3. Pengertian majas

Tepat, diikuti contoh, dan menggunakan bahasa yang efektif.

5

Tepat, diikuti contoh, bahasa yang digunakan kurang efektif

4

Tepat, tetapi tidak diikuti contoh 3

Hampir tepat dan tidak diikuti contoh 2

Tidak tepat 1

4. Jenis majas

Lengkap, dijelaskan, dan diberikan contoh 5 Lengkap, dijelaskan, tetapi tidak ada contoh 4 Kurang lengkap, dijelaskan, ada contoh 3 Kurang lengkap, tidak dijelaskan, tidak ada

contoh

2

Tidak tepat 1

5. Pengertian makna

Tepat, diikuti contoh, dan menggunakan bahasa yang efektif

5

Tepat, diikuti contoh, bahasa yang digunakan kurang efektif

4

Tepat, tetapi tidak diikuti contoh 3

Hampir tepat dan tidak diikuti contoh 2

Tidak tepat 1

6. Pengertian nilai

Tepat, diikuti contoh, bahasa yang digunakan kurang efektif

5

Tepat, tetapi tidak diikuti contoh 4


(46)

Tidak tepat 2 Tepat, diikuti contoh, dan menggunakan

bahasa yang efektif

1

Skor 25

3. Pedoman Penilaian Psikomotorik

No.

Soal Aspek Bobot

1 2 3

1. Rima puisi

Menuliskan semua jenis rima yang muncul dengan penjelasan yang tepat.

5

Menuliskan semua jenis rima yang muncul dengan penjelasan yang cukup tepat

4

Menuliskan hanya beberapa jenis rima yang muncul, dilengkapi penjelasan yang cukup tepat.

3

Menuliskan hanya beberapa jenis rima tanpa penjelasan 2

Menuliskan jenis rima yang salah dengan penjelasan yang salah

1

2. Majas puisi

Menuliskan semua jenis majas yang muncul beserta penjelasan yang sangat tepat

5

Menuliskan semua jenis majas yang muncul dengan penjelasan yang cukup tepat

4

Menuliskan hanya beberapa jenis majas yang muncul dengan penjelasan yang cukup tepat

3

Menuliskan hanya beberapa jenis majas tanpa penjelasan 2

Menuliskan jenis majas yang tidak tepat tanpa penjelasan 1

3. Makna Puisi


(47)

Didominasi oleh penjelasan makna setiap larik yang tepat 4

Makna yang tepat hanya setengah dari jumlah larik. 3

banyak makna laik yang salah 2

Semua makna larik salah. 1

4. Nilai puisi

Menemukan tiga nilai yang tepat dan penjelasanannya menggunakan kalimat yang efektif.

5

Menemukan tiga nilai, tetapi penjelasannya menggunakan bahasanya kurang efektif

4

Menemukan dua nilai 3

Menemukan satu nilai 2

Tidak menemukan nilai yang tepat. 1

Total Skor 20

L. Lembar Penilaian

1. Lembar Penilaian Afektif

No. Nama Siswa 1

(1-4)

2

(1-4)

3

(1-4)

4

(1-4)

Jumlah Skor

Nilai Akhir

1 2 3 4 5 6 7 8

1. A 2. B 3. C 4. D 5. dst.

Keterangan:

1= Religius, 2= Jujur, 3= Tanggung Jawab, 4= Disiplin


(48)

Keterangan:

1. Pengertian rima 2. Jenis rima 3. Pengertian majas 4. Jenis majas 5. Pengertian makna 6. Pengertian nilai

7. Lembar Penilaian Psikomotorik

No. Nama

Siswa 1 (1-5) 2 (1-5) 3 (1-5) 4 (1-5) 5 (1-5) 6 (1-5) Jml.

Skor Nilai

Konv ersi

Predi kat

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1. A 2. B 3. C 4. D 5. dst.

No. Nama Siswa 1 (1-5) 2 (1-5) 3 (1-5) 4 (1-5) Jml.

Skor Nilai Konversi Predikat

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1. A 2. B 3. C 4. D 5. Dst.


(49)

Keterangan:

1. Rima yang terdapat dalam puisi 2. Majas yang terdapat dalam puisi 3. Makna setiap larik

4. Nilai yang terdapat dalam puisi

Bandung, Juni 2015 Mengetahui


(50)

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA KELAS X

OLEH

PEMBELAJARAN SASTRA BERBASIS MUATAN LOKAL

OLEH

ANDI SULFANA MASRI

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG

2015


(51)

LEMBAR KERJA SISWA

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA KELAS X

Kata Pengantar

Lembar Kerja Siswa (LKS) ini disusun dengan memperhatikan tujuan pembelajaran sastra dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yaitu: (1) siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; (2) siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. LKS ini memuat materi pembelajaran sastra yang berbasis kearifan lokal, yaitu memuat mengenai sastra daerah yang mengandung berbagai nilai luhur.

Melalui penggunaan LKS ini, diharapkan siswa dapat memenuhi tujuan pembelajaran sastra berdasarkan Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan. siswa diharapkan dapat menikmati dan memanfaatkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sastra daerah untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupannya, serta dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasanya. Siswa diharapkan pula memiliki rasa bangga terhadap budayanya sendiri, khususnya rasa bangga terhadap sastra daerahnya. Dengan memenuhi tujuan-tujuan tersebut, lebih luas diharapkan agar para siswa dapat menjadi penerus kehidupan bangsa yang kaya rohani dan intelektualnya.

Bandung, Juni 2015

Penyusun


(52)

Daftar Isi

Kata Pengantar ... ii i Daftar Isi... iii ii Standar Kompetensi ... 1 1 Kompetensi Dasar ... 1 1 Tujuan Pembelajaran ... 1 1 Uraian Materi Pembelajaran ... 2 Latihan dan Tugas ... 8 8


(53)

LEMBAR KERJA SISWA

Sekolah : SMA

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Semester : X/ I

Materi Pokok : Memahami Puisi Alokasi waktu : 4 x 45 menit

5. Memahami puisi yang disampaikan secara langsung/tidak langsung

5.1Mengidentifikasi unsur-unsur bentuk suatu puisi yang disampaikan secara langsung ataupun melalui rekaman.

5.2Mengungkapkan isi suatu puisi yang disampaikan secara langsung ataupun Melalui rekaman

Setelah pembelajaran, siswa diharapkan mampu memahami dengan dibuktikan mampu menuliskan unsur-unsir puisi yang disampaikan, meliputi: rima, irama, dan majas puisi. Selain itu, siswa diharapkan pula dapat memahami dengan dibuktikan dapat menulis isi puisi, yakni makna dan nilai-nilai dalam puisi.

1

A. Standar Kompetensi

B. Kompetensi Dasar

DDasar


(54)

2 1. Pengertian Puisi

Menurut Pradopo (2009, hlm.7), puisi merupakan pengekspresian pikiran yang membangkitkan perasaan, yang menimbulkan imajinasi. Sementara itu, Waluyo (1987, hlm.25) menyatakan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya. Dengan demikian, puisi merupakan ungkapan ide, gagasan, perasaan penulis atau pengarang dengan memperhatikan bahasa yang digunakannya agar dapat menimbulkan imajinasi dan menggugah perasaan pembacanya.

Puisi disusun ata struktur fisik dan struktur batin. Menurut Waluyo (1987, hlm. 71), struktur fisik puisi merupakan unsur estetik yang membangun struktur puisi yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Sedangkan, struktur batin puisi merupakan isi atau gagasan yang hendak dikemukakan oleh penyair dengan perasaan dan suasana jiwanya (Waluyo, 1987, hlm. 102). Unsur Fisik puisi meliputi rima dan majas. Unsur batin puisi meliputi makna atau pesan yang terkandung di dalam puisi.

Puisi terdiri atas puisi lama dan puisi baru. Yusuf (dalam Suryaman 2012, hlm.12) menyebutkan bahwa puisi lama merupakan ragam sastra yang terikat oleh unsur-unsurnya, seperti irama, rima, matra, larik, dan bait. Puisi lama belum mendapatkan pengaruh asing. Sedangkan, Puisi baru adalah karya sastra yang lahir setelah puisi lama, puisi ini lahir bersamaandengan puisi kontemporer, tidak terikat dengan aturan-aturan dalam puisi. Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima.

D. Uraian Materi Pembelajaran C.


(55)

TAHUKAH KAMU

Karya sastra terpanjang di dunia adalah epos I La Galigo (Ram, 2011, hlm. V). I La Galigo menceritakan tentang kehidupan dewa-dewa dan munculnya manusia pertama di bumi serta anak cucunya. I La Galigo juga banyak menceritakan tentang pendeta Bugis Kuno, yang disebut bissu.

Sampai saat ini, di daerah-daerah Bugis, seperti Soppeng, Bone, dan Pangkep, masih terdapat bissu. Bissu merupakan waria-waria suci yang dipercaya oleh masyarakat sekitar sebagai penghubung antara manusia dengan dewa. Bissu sering kali memimpin ritual-ritual seperti, ritual sebelum melakukan tanam padi, ritual pengusir bala, bahkan sekarang sering dipanggil untuk mengisi acara-acara tertentu. Dalam melakukan ritual, bissu kerapkali melakukan tarian maggirik, yaitu tarian yang menunjukkan kekebalan bissu terhadap keris. Sebelum melakukan tarian kekebalan tersebut, ketua bissu harus terlebih dahulu membacakan mantra yang mereka sebut dengan memmang.

Mantra merupakan bentuk karya sastra yang paling tua dan jenis puisi yang paling tua adalah mantra (Waluyo, 1987, hlm.5). Sebagai karya sastra yang paling tua, mantra digolongkan sebagai karya sastra (puisi) lama.

Menurut Sukatman (2009, hlm.61), mantra adalah doa khusus yang mempunyai tuah (kekuatan magis) tertentu, biasanya diikuti dengan ritual untuk memunculkan kekuatan magis, disampaikan dengan bahasa dan maksud tertentu, baik untuk tujuan jahat maupun baik. Dalam masyarakat primitif, mantra terkait erat dengan kehidupan agama dan kepercayaan masyarakat pemiliknya, tetapi masyarakat modern cenderung menyikapi mantra sebagai khasanah kebudayaan semata (Sukatman, 2009, hlm.62).


(56)

2. Bentuk (Struktur Teks) Puisi

Di bawah ini merupakan puisi lama berupa mantra yang digunakan oleh para bissu sebelum melakukan tari maggirik. Perhatikanlah kata yang tercetak tebal pada teks asli atau tercetak miring pada terjemahan.

Teks Asli

E...

Rima Awal Dapo‟- dapo‟ na Batara Majas Metafora

Ku simula jaji Ku teteng ku pangessara Rima Awal Saliu sarumpu-rumpu

Saliu sanra‟ Batara Metonimia Anak to botto tollao-lao ko mai

Mu solok lanyu‟ lanyu‟

Anurungeng to ri wakasa

Tenao passangajik koro assoe koro angngie Tunrui papenge

Rima Tengah Madekki‟ assara e Majas Metafora

Sikkiri‟ pungo-pungo

Coda mpulawenge Rima akhir

Alamakeng a‟bissunge

Arukkajo...

Pa‟batari

Terjemahan E...

tungku-tungku Dewa Majas Metafora

Awal kejadian

Kujinjing berkeliling Asap mengepul


(57)

Majas Metonimi

Anak baru, ke sinilah

Kau lewati dengan lancar keturunan orang di atas Tidak terkecuali siang dan malam

Ikutilah papan

Ashar telah dekat Majas Metonimia Nyanyian burung-burung

Coda emas Alameng bissu Raja kayu Penyembahan

Majas

Majas yang terdapat dalam puisi di atas adalah majas metafora dan metonimi. Larik ke-1 dan ke-2 jika disatukan maka membertuk ungkapan „e

dapo‟-dapo‟ na Batara‟, „kusimulajaji‟yang artinya ‘tungku-tungku Dewa’, ‘awal

kejadian’. Ungkapan tersebut memetaforakan tempat asal kejadian dengan

tungku-tungku Dewa. Penggunaan kata tungku-tungku yang merupakan simbol atau lambang tersendiri yang tentu memiliki maksud. Tungku merupakan tempat perapian yang digunakan orang dahulu sebagai kompor untuk memasak. Bahkan, sampai sekarang, pada rumah penduduk desa masih sering didapati tungku dan biasanya digunakan untuk memasak air minum. Air yang dimasak biasanya sepanci besar atau dilakukan berkali-kali. Tungku terbuat dari tanah liat dan saat digunakan, pemilik sering meniup-niupkan kayu bakar yang terbakar didalam tungku untuk mengatur apinya. Jika dikaitkan diaitkan dengan bentuk dan fungsi tungku sendiri, maksud dari penggunaan kata tungku sebagai metafora dari awal kejadian adalah untuk melambangkan empat unsur kejadian manusia, yaitu api, tanah, angin, dan air.

Metafora selanjutnya terdapat pada larik ke-11 ‘madekki assarae‟ yang

artinya ‘ashar sudah dekat’ mengandaikan keadaaan terlambat dengan ashar.


(1)

kayu pengobat’. Dengan demikian, larik ke-10 memetaforakan ‘tubuh’ sebagai

‘kayu pengobat’.

Larik berikutnya yang merupakan majas metafora adalah ungkapan pada larik ke-12 „e cenra na datu aju e‟ yang berarti ‘jelmaan raja kayu’. Ungkapan ini juga merujuk pada larik ke-9 yaitu ‘tubuh’. Larik ke-12 me-metafora-kan ‘tubuh’

dengan ‘jelmaan raja kayu’.

Majas metonimi terdapat dalam ungkapan pada larik ke-13 „e maja ale

asseksekno‟ (diri yang jelek minggirlah). Maja ale (diri yang jelek) mewakili sifat dan nasib-nasib buruk manusia. Larik ke-4 yang berisi „e pole alaukang

rianuanuanna bessi e‟ (dari sanalah asal muasal besi) juga merupakan metonimi. Hal yang dimetonimikan adalah kata ‘alaukang‟ yang artinya ‘sana’ atau ‘di

sana’. Kata tersebut menggantikan nama yang menjadi asal muasal besi.

Ungkapan ya sabo, sabo, oiyo merupakan bujuk rayu kepada suatu makhluk. E pole alaukang ri auauanna bessi merupakan pernyataan bahwa besi berasal dari suatu tempat. E tenna‟ ale merupakan ungkapan bahwa tubuhnya bukanlah tubuh yang dapat terluka, rusak, lemah, atau mati. Tubuhnya adalah aju sanro (kayu pengobat). Aju sanro. Aju sanro bermakna bahwa tubuhnya diibaratkan kayu pengobat, yaitu kayu atau batang tumbuhan yang memiliki kekuatan. E cenra na

datu‟ajue bermakna bahwa tubuhnya merupakan datu aju, datu aju merupakan kayu yang paling kuat diantara kayu lain dan memiliki banyak kelebihan. Maja‟ ale asseksekno bermakna sebagai perintah agat hal-hal buruk dalam diri hilang, yaitu sifat tubuh yang mudah terluka, diharapkan tidak ada dan berubah menjadi tubuh yang kuat meskipun ditusuk oleh keris, seperti kampak yang tidak tembus saat menebang batang pohon yang kuat.

3. Makna

Larik ya sabo sabo bermakna bujukan atau rayuan kepada suatu hal. Larik e tenna ale aju sanro bermkna penyangkalan terhadap tubuh atau bentuk tubuh yang lemah, tubuh tidak lemah melainkan memiliki kekuatan dan bermanfaat. Larik e cenrana datu aju e bermakna bahwa tubuh sangat kuat. Larik e maja‟ ale asseksekno bermakna perintah agar suatu yang buruk dalam diri hilang.


(2)

4. Nilai Puisi

Puisi memiliki nilai budaya gotong royong dan kerja sama. Puisi mengandung nilai budaya pengobatan. Seperti telah dijelaskan di atas, Aju sanro (kayu pengobat) mengimplikasikan kebiasaan masyarakat Bugis menggunakan bahan-bahan alami, seperti jenis kayu-kayu untuk menyembuhkan penyakit. Kayu-kayu pengobat yang biasa digunakan sebagai obat, seperti kayu manis, jahe, dan lain-lain.

Pole alaukang ri auauanna bessi (dari sanalah asal muasal besi) mengandung ajaran meyakini bahwa Allah adalah Yang Maha Pencipta, yang menciptakan segala hal termasuk besi. Kalimat pole alaukang riauauanna bessi yang berkenaan dengan kebesaran Allah diletakkan di awal teks mengajaran sikap bertawakkal kepada Allah. Kalimat tersebut muncul sebelum kalimat yang mengimplikasikan kekuatan tubuh tenna ale aju sanroe (bukan diri, kayu pengobat) dan cenrana datu‟ ajue (jelmaan raja kayu) menggambarkan bahwa kekuatan berasal dari Allah. Kalimat pole alaukang riauauanna bessi muncul sebelum kalimat yang mengimplikasikan perintah agar hal-hal buruk lenyap maja‟ ale sseksekno (diri yang jelek minggirlah) menggambarkan bahwa sesuatu yang buruk akan hilang jika senantiasa meyakini kebesaran Allah. Oleh sebab itu, dalam melakukan sesuatu hal hendaknya diawali dengan mengingat Allah SWT.

Tenna ale aju sanro, cenra na datu aju e, dan maja‟ ale asseksekno memuat nilai-nilai religius yang mengajarkan tentang kekuatan dan menghindari kelemahan. Kekuatan yang dimaksud dapat berupa kekuatan menjalani hidup, kekuatan menjalani segala cobaan, kuat melawan hawa nafsu, dan kekuatan menjalankan segala perintah Allah SWT. Kelemahan yang dimaksud dapat berupa kelemahan terhadap cobaan yang telah diberikan, kelemahan terhadap usaha menjauhi larangan-larangan-Nya, dan kelemahan melawan nafsu manusia.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar. (2014). Islam, culture, and education. Bandung: Rosdakarya. Alwi, Hasan, dkk. (2003). Tata bahasa baku bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka.

Amir, Andriyetti. (2013). Sastra lisan Indonesia. Yogyakarta: CV Andi Offset. Berger, Arthur Asa. (2010). Pengantar semiotika: tanda-tanda dalam kebudayaan

kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Chaer, Abdul. (2011). Linguistik umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Cummings, Louise. (2007). Pragmatik: sebuah perspektif multidisipliner. Diterjemahkan oleh Abdul Syukur Ibrahim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Danandjaja, James. (1997). Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan

lain-lain. Jakarta: Grafiti.

Emzir dan Saifur Rohman. (2015). Teori dan pengajaran sastra. Jakarta: Grafindo Persada.

Endraswara, Suwardi. (2004). Metodologi penelitian sastra: epistemologi, model,. teori dan aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Endraswara, Suwardi. (2008). Metodologi penelitian sastra. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Endraswara, Suwardi. (2009). Metodologi penelitian folklor. Yogyakarta: Media Pressindo.

Hutomo, Suripan Sadi. (1991). Mutiara yang terlupakan. Malang: Dioma. Ismawati, Esti. (2013). Pengajaran sastra. Yogyakarta: Ombak.

Kabbani, Syekh Muhammad Hiyam. (2007). Syafaat, tawasul,dan tabaruk. Jakarta: Serambi.

Kaelan. (2009). Filsafat bahasa semiotika. Yogyakarta: Paradigma. Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Koentjaraningrat. (2002). Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Kosasih, M. 2011. “Sastra klasik sebagai wahana efektif pengembangan


(4)

Kridalaksana. (2007). Kelas kata dalam bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. Lathief, Halilintar. (2008). Massompa: upacara dan simbol dalam ritual Bugis.

Makassar: Latar Nusa.

Lathief, Halilintar. (2009). Tari bissu di Sulawesi Selatan. Makassar: Padat Daya. Lathief, Halilintar. (2009). Mozaik bissu: kumpulan makalah. Makassar: Padat

Daya.

Lathief, Halilintar. (2005). Kepercayaan orang Bugis di Sulawesi Selatan. Ringkasan Disertasi. Makassar:Universitas Hasanuddin.

Luxemburg, dkk. (1992). Pengantar ilmu sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka. Andaya, Ly. 2006. Warisan arung palakka. Makassar: Ininnawa.

Martinet, Jeanne. (1975). Semiologi kajian teori tanda Saussuran antara semiologi komunikasi dan semiologi signifikansi. Yogyakarta: Jalasutra. Moleong. 2014. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Muftie, Arifin. (2004). Matemaika alam semesta: kodetifikasi bilangan prima dalam Al-Qur'an. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

Mulyana, Rohmat. (2011). Mengartikulasikan pendidikan nilai. Bandung: Alfabeta.

Mustika, Ika. (2011). Pembinaan karakter melalui pembelajaran sastra berbasis strategi metakognitif. Jurnal. Bunga Rampai Purnabakti Pendidikan Sastra dan Karakter Bangsa. hal 55-64.

Ornstein, Allan dan Daniel U. Lavine. (2008). Fondations of education: tenth edition. Boston: Houghton Mifflin Company.

Pelras, Christian. (2006). Manusia Bugis. Jakarta: penerbit nalar. Peyroutet, Claude. (1994). Style et rhétorique. Paris: Nathan.

Pradoppo, Rachmat Djoko. (1998). Semiotika: Teori, metode, dan penerapannya dalam pemaknaan sastra. Humaniora: Journal of Culture, Literature, and Linguistics, 11(1), pp. 76-84

Pradopo, Rakhmat Djoko. (2009). Pengkajian puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


(5)

Pradopo, Rakhmat Djoko. (2012). Beberapa teori sastra, metode kritik, dan penerapannya.. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rahmanto. B. (1988). Metode pengajaran sastra. Yogyakarta: Kanisiu. Ram, Nunding, dkk. (2011). I la galigo jilid 1. Makassar: Pustaka Refleksi. Ramlan. (1987). Sintaksis. Yogyakarta: CV. Karyono.

Rampan Kirrie Layun. (2014). Mantra, syair, dan pantun: di tengah kehidupan dunia modern. Bandung: Yrama Widya.

Ratna, Nyoman Kutha. (2010). Sastra dan cultural studies: representasi fiksi dan fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Kutha Nyoman. (2013). Teori, metode, dan teknik penelitian sastra: dari strukturalisme hingga postrukturalisme persektif wacana naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Riffaterre, Michael. (1984). Semiotics of poetry. Bloomington: Indiana University Press.

Rostiyati, dkk. (1994). Fungsi upacara tradisional bagi masyarakat pendukungnya masa kini.Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan.

Santosa, Puji. (2013). Ancangan semiotika dan pengkajian suastra. Bandung: Angkasa.

Saussure, Ferdinand de. (1988). Pengantar linguistik umum. Diterjemahkan oleh Rahayu S. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sibarani, Robert. (2012). Kearifan lokal: hakikat, peran, dan metode tradisi lisan. Jakarta Selatan: Asosiasi Tradisi Lisan.

Siswanto, Wahyudi. (2008). Pengantar teori sastra. Jakarta: Grasindo.

Sumiyadi dan Memen Durachman. (2014). Sanggar sastra: pengalaman artistik dan estetik sastra. Bandung: Alfabeta

Sobur, Alex. (2009). Semiotika komunikasi. Bandung: Rosdakarya. Sugiyono. (2013). Metodologi penelitian pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sugono, Dendy. (2008). Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. Sukatman. (2009). Butir-butir tradisi lisan Indonesia: pengantar teori dan


(6)

Suryaman, Maman dan Wiyatmi. (2012). Puisi Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Suwarningdiyah, nur. (2007). Laporan penelitian tinggalan budaya: bidang

kesenian. Jakarta: Departemen Pariwisata.

Taum, Yoseph Yapi. (2011). Studi sastra lisan: sejarah, teori, metode, dan pendekatan disertai contoh penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.

Uniawati. (2007). Mantra melaut suku Bajoe: interpretasi semiotik Riffaterre. Tesis. Universitas Diponegoro: tidak diterbitkan.

Waluyo, Herman J. (1995). Teori dan apresiasi puisi. Jakarta: Erlangga.

Widada, Rh. (2009). Saussure untuk sastra: sebuah metode kritik sastra struktural. Yogyakarta: Jalasutra.

Wellek, Renne dan Austin Warren. (1989). Theory of literature. Jakarta: GramediaVansina

Zaimar, Okke Kusuma Sumantri. (2014). Semiotika dalam analisis karya sastra. Depok: Komodo Books.


Dokumen yang terkait

KAJIAN NILAI-NILAI SOSIOLOGIS NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA A.FUADI DAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA DI SMA.

0 7 73

KAJIAN SOSIOLOGIS DAN NILAI KARAKTER DALAM NOVEL MENGENAI KORUPSI SERTA PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR DI SMA.

1 16 82

Kajian Struktural dan Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Cerita Pendek Keagamaan serta Pemanfaatannya sebagai Bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Menengah Pertama.

0 2 21

RITUAL KAGHOTINO BUKU PADA MASYARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA : Kajian Bentuk, dan Isi, serta Pemanfaatannya dalam Rancangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Menengah Atas.

4 48 123

Kajian Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan dalam Novel Sri Rinjani Karya Eva Nourma serta Relevansinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA.

3 7 16

KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL SUTI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO SERTA RELEVANSINYA SEBAGAI MATERI PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA.

0 0 17

View of KAJIAN STRUKTURAL DAN NILAI MORAL DALAM KUMPULAN CERPEN KOMPAS 2015 SERTA PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMP

0 4 11

NILAI-NILAI KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL KANCING YANG TERLEPAS KARYA HANDRY TM SERTA RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA (Kajian Antropologi Sastra)

0 0 6

KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL GENDUK KARYA SUNDARI MARDJUKI SERTA RELEVANSINYA DENGAN MATERI PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

0 2 18

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL NUN: PADA SEBUAH CERMIN KARYA AFIFAH AFRA SERTA RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA TESIS

0 1 12