RITUAL KAGHOTINO BUKU PADA MASYARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA : Kajian Bentuk, dan Isi, serta Pemanfaatannya dalam Rancangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Menengah Atas.

(1)

RITUAL KAGHOTINO BUKU PADA MASYARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA

(Kajian Bentuk, dan Isi, serta Pemanfaatannya dalam Rancangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Menengah Atas)

TESIS

diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

oleh

LA TIKE NIM 1103847

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2013


(2)

RITUAL KAGHOTINO BUKU PADA MASYARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA

(Kajian Bentuk, dan Isi, serta Pemanfaatannya dalam Rancangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Menengah Atas)

oleh

La Tike

Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 2013

Sebuah Tesis yang Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan (M. Pd.) pada Sekolah Pascasarjana

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

© La Tike 2013

Universitas Pendidikan Indonesia Juni 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian,


(3)

(4)

ABSTRAK

Ritual kaghotino buku, salah satu bentuk ekspresi kebudayaan masyarakat Muna dalam mengungkapkan rasa sukur dan permohonaan pada Allah Swt., maupun pada mahluk gaib yang diyakini turut mencampuri kehidupan manusia agar selalu diberi kekuatan, kesehatan, umur panjang, kelancaran rezki, serta dijauhkan dari segala hambatan dalam menjalangkan kehidupan.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah proses pelaksanaan ritual kaghotino buku, apakah yang menjadi tujuan pelaksanaan ritual kaghotino buku bagi masyarakat pendukungnya, bagaimanakah bentuk (struktur teks, ko-teks, dan konteks) dalam ritual kaghotino buku, bagaimanakah isi (makna, fungsi, dan sistem nilai) yang terkandung dalam mantra ritual

kaghotino buku, bagaimanakah pemanfaatan mantra ritual kaghotino buku dalam

rancangan pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas yakni mendeskripsikan proses pelaksanaan ritual

kaghotino buku, mendeskripsikan tujuan pelaksanaan ritual kaghotino buku bagi

masyarakat pendukungnya, mendeskripsikan bentuk (teks, ko-teks, dan konteks) dalam mantra ritual kaghotino buku, mendeskripsikan isi (makna dan nilai) dalam mantra ritual kaghotino buku, mendeskripsikan pemanfaatan mantra ritual

kaghotino buku dalam rancangan pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA.

Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan teori struktur teks, koteks, konteks, teori makna, sistem nilai, serta metode pengajajaran bahasa dan sastra di SMA. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah bentuk non tes berupa observasi dan wawancara. Selain peneliti sebagai instrumen kunci, instrumen lain yang digunakan adalah pedoman wawancara, pedoman observasi. Alat untuk mengumpulkan datanya adalah handycam, kamera dan catatan lapangan.

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa ritual kaghotino buku mengandung nilai sosial, nilai pedagogis, nilai religius, dan nilai intelektual yang masih relevan dengan kehidupan masa kini. Dalam lingkup pendidikan, mantra pada ritual ini dapat dijadikan sebagai rancangan pembelajaran bahasa dan sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan menggunakan model pembelajaran

jigsaw dan point-counter-point.


(5)

ABSTRACT

Ritual of kaghotino buku is an expression of culture in Muna society in expressing thier thanks to God and invisible creature who are believed to intervene human’s life so that they are always healthy, strong, have a long life, good livelihood, as well as far from any obstruction in their life.

The problem in this research is how the ritual implementation of kaghotino buku is, what the aim at doing it for society is, what the form (text structure, co-text, and context) in the ritual of kaghotino buku is, what the content (meaning, function, and value system) containing in the ritual of magic words of kaghotino

buku is, and what the employment of kaghotino buku in designing the instruction

of language and literature at Senior High School is.

The aim of this research is to answer the problem as having been exposed previously namely to describe the ritual implementation of kaghotino buku, to describe the aim of ritual implementation of kaghotino buku for society, to describe the form (text, co-text, and context) found in magic words of kaghotino buku ritual, to describe the employment of magic words found in kaghotino buku ritual in designing the instruction of language and literature at Senior High School.

To analyze the data, the researcher uses the theory of text strucure, co-text, context, semantic theory, value system, as well as the method of teaching language and literature at Senior High School. The technique of collecting data is through observation and interview. Beside the researcher as the key instrument, other instruments being used are interview guidance and observation. The media being used is handycam, camera, and field note.

Based on the result of analysis, it shows that the ritual of kaghotino buku contains social value, pedagogical value, religious value, and intelectual value which are still relevant with human’s life nowadays. In eduction scope, the magic words in this ritual can be treated as a design of instruction on language and literature at Senior High School by using instruction model from jigsaw and

point-counter-point.


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... I UCAPAN TERIMA KASIH ... II ABSTRAK ... III DAFTAR ISI ... IV

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... ... 1

B. Batasan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Penelitian yang Relevan ... 7

F. Definisi Operasional ... 8

BAB II KAJIAN TEORETIS A. Kebudayaan ... 10

1. Pengertian Kebudayaan ... 10

2. Unsur-unsur kebudayaan ... 13

3. Sistem Nilai Budaya ... 15

B. Tradisi Lisan/Folklor ... 16

1. Pengertian Tradisi Lisan ... 16

2. Ciri-Ciri Tradisi Lisan ... 19

3. Fungsi Penelitian Tradisi Lisan ... 20

4. Bentuk-bentuk Tradisi Lisan ... 22

C. SastraLisan ... 23

1. Pengertian Sastra Lisan ... 23

2. Fungsi Sastra Lisan ... 26

D. Puisi ... 26

1. Puisi yang Mantra ... 27

2. Puisi Modern ... 32

E. Upacara Ritual ... 34

F. Struktur Teks ... 36

1. Struktur Makro ... 37

2. Superstruktur ... 38

3. Struktur Mikro ... 38

a. Morfologi ... 39

b. Sintaksis ... 41

c. Gaya Bahasa ... 43

1) Bahasa Figuratif/Majas ... 44

2) Diksi ... 46

3) Paralelisme ... 46

d. Formula Bunyi ... 46

1) Rima ... 47

2) Irama ... 48


(7)

4) Repetisi ... 49

G. Ko-Teks ... 50

1. Paralinguistik ... 50

2. Kinetik ... 50

3. Proksemik ... 51

4. Unsur material ... 51

H. Konteks ... 52

1. Konteks Budaya ... 52

2. Konteks Sosial ... 53

3. Konteks Situasi ... 53

4. Konteks Ideologi ... 54

I. Makna, Fungsi, dan Sistem Nilai ... 55

J. Mantra Ritual Kaghotino Buku sebagai Sastra Lisan yang Memiliki Fungsi ... 63

K. Metode Pengajaran Sastra ... 64

L. Strategi Pembelajaran Puisi Lama di Tingkat SMA dengan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual ... 73

M. Pembelajaran Bahasa dan Sastra dalam Kurikulum 2013... 79

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 89

B. Paradigma Penelitian ... 91

C. Data dan Sumber Data ... 91

D. Teknik Pengumpulan Data ... 92

E. Instrumen Penelitian ... 92

F. Teknik Analisis Data ... 93

G. Pedoman Analisis ... 94

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 95

1. Letak Geografis ... 95

2. Kondisi Alam Fisik ... 96

3. Kondisi Alam Hayati... 97

4. Unsur-Unsur Kebudayaan Masyarakat Muna ... 98

B. Perihal Pelaksanaan Ritual Kaghotino Buku ... 103

1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan ... 104

2. Prosesi Pelaksanaan ... 105

C. Analisis Data ... 114

1. Analisis Bentuk ... 114

a. Teks ... 114

b. Ko-Teks ... 138

c. Konteks ... 143

2. Analisis Isi ... 146

a. Makna ... 146

b. Fungsi ... 154


(8)

D. Pembahasan Hasil Analisis ... 160

BAB V IMPLEMENTASI HASIL PENELITIAN DALAM BENTUK PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS

A. Apresiasi Puisi Lama (Mantra) dengan Model

Pembelajaran Jigsaw ... 187 B. Model Pembelajaran Point-Counter-Point ... 191

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ... 198 B. Saran ... 203

DAFTAR PUSTAKA ... 205 LAMPIRAN


(9)

La Tike, 2013

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Penelitian

Nilai-nilai sosial yang diusung lewat pancasila sebagai ideologi Negara rasanya sudah tidak dipahami lagi oleh sebagian kelompok masyarakat. Ini dibuktikan dengan pola tingkah laku yang sudah tidak sesuai tatanan nilai dalam kehidupan bermasyarakat. Saling menuding antara satu dengan yang lain sebagai dalang merosotnya nilai ini pun tidak lagi terhindarkan. Melihat kondisi demikian, pemerintah terus berusaha untuk menemukan langkah solutif yang salah satunya mendorong pendidikan ke arah pembangunan karakter dengan harapan menemukan kembali jati diri bangsa yang telah diombang-ambing oleh gelombang global.

Pertanyaan kemudian muncul adalah apa yang dilakukan oleh masyarakat zaman dahulu untuk membangun tatanan nilai dalam kehidupan bermasyarakat sebelum mengenal panacasila sebagai ideologi negara dan program pendidikan karakter seperti sekarang ini? Secara akal sehat, kita dapat menerima manakala ada yang memberikan jawaban bahwasanya masyarakat zaman dahulu memiliki konsep kebudayaan yang dipegang bersama oleh anggota masyarakat untuk menata nilai-nilai sosial sebagai landasan hidup. Hal demikian sejalan pendapat Marvin Harris (Spradley, 2007: 5) yang mengemukakan bahwa konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat atau cara hidup masyarakat. Spradley menggunakan istilah kebudayaan yang merujuk pada pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial.

Sebagai bangsa besar dan dihuni oleh berbagai komunitas, Indonesia memberikan warna kebudayaan tersendiri yang dilahirkan oleh keragaman komunitas yang mendiaminya. Keanekan ragaman inilah yang merupakan salah satu ciri khas pembeda bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Koentjaraningrat (2004:31) mengatakan bahwa:


(10)

La Tike, 2013

untuk masa sekarang ini, gejala aneka warna kebudayaan itu masih merupakan suatu realitet yang tak dapat kita ingkari. Maka daripada menipu diri sendiri dan menutup-nutup realitet suku-suku bangsa itu, sebaiknya kita terimanya dengan akal yang sehat dan memupuk kesatuan bangsa kita dengan lebih dahulu mengakui dan menghormati semua variasi kebudayaan yang ada di negara kita itu, dan dengan kemudian mencoba mencapai pengertian tentang sebanyak mungkin aneka warna manusia dan kebudayaan di Indonesia.

Salah satunya aneka warna kebudayaan yang dimiliki oleh suku bangsa di Indonesia adalah tradisi lisan. Tradisi lisan atau biasa disebut dengan sastra lisan oleh sebagian orang merupakan bagian kebudayaan yang pola pewarisannya menggunakan lisan. Melalui tradisi lisan masyarakat Indonesia masa silam menanamkan berbagai nilai dan norma kehidupan sebagai landasan hidup yang harus dipatuhi. Tradisi-tradisi itu dapat berupa pola hidup, karya sastranya, sistem kepercayaan (religi), upacara adat (ritual), sistem pengetahuan, dan sebagainya.

Peursen (1988: 11) mengungkapkan bahwa tradisi dapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan norma-norma, adat-istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Pewarisan dan penerusan itu dilakukan dengan lisan tanpa menggunakan media tulis. Selanjutnya Hoed (dalam Pudentia, 2008: 184) mengemukakan hal serupa, bahwa yang dimaksud dengan tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan secara lisan. Pengertian ini merujuk pada hal-hal yang menjadi kebiasaan masyarakat dari masa ke masa yang pewarisannya secara lisan.

Hutomo (1991:32) mengatakan bahwa sebelum Indonesia merdeka tepatnya pada pertengahan abad 19 (1850-1900) penelitian tentang sastra lisan sudah mulai dilakukan oleh para peneliti yang datang dari kalangan asing terutama penyiar agama Nasrani, ahli bahasa dan sastra Indonesia, serta para pegawai pemerintah penjajah dari Eropa dengan tujuan untuk kepentingan penjajahan dan penyebaran agama Nasrani. Mereka meneliti cerita rakyat, puisi rakyat dan teka-teki rakyat. Pada awal abad 20 (1900-1950) muncul beberapa ahli antropologi dan folklor mengolah lebih lanjut bahan-bahan yang telah dikumpulkan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Fenomena ini sudah sepatutnya dijadikan pengalaman, bahwa sastra lisan memiliki peranan besar dan bahkan


(11)

La Tike, 2013

pada situasi tertentu dapat dijadikan sebagai alat penyampaian sebuah misi, baik yang sifatnya intelektual, pendidikan rohani, serta hal-hal yang sifatnya personal maupun sosial.

Budaya Indonesia bukan hanya diperkaya dengan tradisi lisan. Akan tetapi, tradisi tulis ikut memberikan warna dalam khasanah budaya kita. Seiring dengan perkembangan zaman, mulai memunculkan kekhawatiran di kalangan pecinta tradisi lisan. Hal ini disebabkan pelestarian tradisi lisan hampir tidak berimbang dibanding perkembangan tradisi tulis sehingga ruang untuk mempertahankan keberadaanya semakin terancam. Pudentia (2007: 28) mengatakan bahwa berdasarkan hasil Seminar Internasional Tradisi Lisan Nusantara yang pertama, pada tahun 1993 telah terungkap bahwa modernisasi termasuk di dalamnya juga media tulisan secara berangsur-angsur menyempitkan wilayah kelisanan dan mengubah banyak hal dari tradisi lisan. Padahal jika memberikan deskripsi tentang kelisanan dengan memakai ukuran dari hal-hal yang berasal dari dunia keberaksaraan, masih ada hal-hal tertentu yang khas dari kelisanan yang belum terungkap. Hal ini bukan berarti kelisanan terlepas dari dunia keberaksaraan atau sebaliknya, keberaksaraan terlepas dari kelisanan. Dengan demikian, pelestarian tradisi lisan harusnya diberi ruang yang sama dengan perkembangan tradisi tulis, karena dua kebudayaan ini hadir dengan keunikan tersendiri yang bisa saling melengkapi.

Selain masalah penyebaran yang tidak berimbang dengan tradisi tulis, tradisi lisan juga ikut diperhadapkan dengan budaya modern. Hal ini mulai nampak dengan melihat kecenderungan sebagian besar generasi muda yang lebih mencintai budaya luar dibanding dengan budaya daerah sendiri. Lebih parahnya lagi, budaya daerah dianggap primitif dan tertinggal serta menganggap budaya asing sebagai budaya yang perlu dilestarikan. Bahkan ada sebagian orang yang beranggapan bahwa kalau Indonesia mau maju maka ia harus mengikuti budaya asing. Ini tentunya merupakan ancaman serius bagi kelangsungan budaya daerah tidak terkecuali tradisi lisan.

Perlu adanya pemahaman bersama bahwa mempelajari suatu kebudayaan bukan berarti kembali hidup seperti masyarakat zaman dahulu. Akan tetapi,


(12)

La Tike, 2013

menjadikan kebudayaan itu sebagai ruang untuk melihat peradaban yang terjadi di masa itu, sebagai cikal bakal mengarungi perdaban masa kini maupun masa yang akan datang. Salah satu contoh misalnya, jenis tradisi lisan berupa nyanyian

rakyat “Nabhalamo Namandemo Inano Nambebasimo” yang terdapat pada masyarakat Muna. Melalui nyayian tersebut, kita dapat melihat cara seorang ibu di zama dulu ketika menidurkan seorang anak disertai dengan nyayian yang mengandung pesan, agar si anak ketika besar dapat membantu dan meringankan pekerjaan orang tua atau dengan kata lain menjadi anak yang berbakti.

Contoh di atas, hanya sebagian kecil dari jenis kebudayaan kita. Oleh karena itu, usaha sadar dan terencana perlu digalakan untuk melakukan pengiventarisan, pencatatan, perekaman, dan pendokumentasian. terhadap tradisi-tradisi di nusantara sebagai upaya mempertahankan keberadaannya. Sebab pada tradisi tersebut, baik yang tersurat maupun tersirat memiliki kandungan makna lebih berharga dan masih relevan untuk diterapkan dalam kehidupan masa kini.

Begitu pula dengan tradisi lisan yang berupa ritual kaghotino buku, tentu saja ada nilai-nilai yang terkandung baik dari segi bahasanya maupun pada benda-benda yang digunakan saat berlangsungnya proses ritual. Seperti makanan yang disajikan, pakaian yang dikenakan, bahasa yang diucapkan, gerak tubuh pada saat pelaksanaan, maupun cara berinteraksi antara satu dengan yang lain. Semua itu tidak diciptakan begitu saja akan tetapi ada nilai kehidupan yang mesti dipatuhi dan dijalangkan oleh masyarakat pendukungnya.

Menurut Sibarani (2012: 243) untuk mengkaji kebudayaan jenis tradisi lisan, hendaknya dapat mengungkap kebenaran bentuk dan isinya, sehingga dapat memberikan manfaat bagi generasi berikutnya untuk pembangunan karakter dan identitas dalam rangka tercapainya kedamaian serta peningkatan kesejahteraan bangsa. Kajian ini lanjut Sibarani dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang, tergantung pada disiplin ilmu penelitinya termasuk yang berlatar belakang linguistik atau bahasa, antropologi, seni, sastra, dan sebagainya. Maka dengan demikian, semakin jelas bahwa tradisi lisan bukan hanya bisa dikaji oleh kaum antropolog akan tetapi orang yang bergelut di bidang bahasa dan sastra pun bisa


(13)

La Tike, 2013

mengkajinya dan bahkan hasil kajian itu dapat dimanfaatkan sebagai materi ajar di sekolah.

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi yang terdapat dalam wilayah Negara Kesatuan Repulik Indonesia (NKRI) yang juga masih mengakui Pancasila sebagai ideologi Negara serta Undang-Undang sebagai aturan hidup. Daerah tersebut terdiri atas 12 Kabupaten/Kota yang dihuni oleh beragam suku bangsa. Sehingga dengan keragaman itu melahirkan berbagai ragam tradisi yang masing-masing hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat pendukungnya tanpa dijadikan sebagai perbedaan antara satu dengan yang lain, sehingga kehidupan harmonis dalam bernegara tetap terjaga. Adapun etnis mayoritasnya yakni Wuna, Buton, Tolaki, dan Moronene serta beberapa etnis minoritas lainnya.

Tanpa bermaksud menonjolkan sifat kedaerahan, pada penelitian ini akan terfokus pada salah satu tradisi lisan yakni tradisi ritual Kaghotino Buku yang secara kebetulan terdapat pada masyarakat Muna Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai salah satu upaya penyelamatan tradisi yang juga merupakan aset kebudayaan nasional. Ritual ini dilakukan sebagai bentuk ucapan rasa syukur dan permohonan pada Allah Swt., maupun mahluk gaib agar selalu diberi kekuatan, kesehatan, keimanan, kehidupan yang lebih baik, umur panjang, kelancaran rezki, serta dijauhkan dari segala gangguan hidup. Dalam proses pelaksanaannya, ritual ini disertai dengan pembacaan mantra yang dibawakan oleh seorang pawang atau mereka kenal dengan istilah pande. Berdasarkan latar belakang di atas, pada penelitian ini akan mengajukan judul dengan formula: Ritual Kaghotino Buku

pada Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara (Kajian Bentuk, dan Isi, serta Pemanfaatannya dalam Rancangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Menengah Atas)

Penelitian tentang ritual Kaghotino Buku pernah dilakukan oleh La Tike dengan judul sikripsi: Analisis Makna, Fungsi, dan Tujuan Penggunaan Mantra

dalam Ritual Kaghotino Buku Pada Masyarakat Muna (2011). Bila dilihat dari

judul penelitian, terdapat persamaan objek yang akan diteliti yakni tentang


(14)

La Tike, 2013

keduanya adalah terletak pada penggunaan pendekatan. Pada penelitian ini, tidak hanya melihat makna dan nilainya. Akan tetapi, mengkaji pula bentuk teksnya (morfologi, struktur sintaksis, formula bunyi, dan gaya bahasanya), ko-teks (unsur material), konteks (konteks budaya, konteks sosial, konteks situasi, dan konteks ideologi), serta memberikan rumusan agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Menengah Atas.

B. Batasan Masalah Penelitian

Agar tidak bias dengan apa yang hendak diketahui oleh peneliti, maka dalam peneltian ini membatasi masalah yaitu hanya terfokus pada Ritual

Kaghotino Buku pada Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara (Kajian Bentuk, dan Isi, serta Pemanfaatannya dalam Rancangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Menengah Atas) yang dapat dirumuskan dalam bentuk

pertanyaan-pertanyaan berikut.

1. Bagaimanakah proses pelaksanaan ritual kaghotino buku?

2. Apakah yang menjadi tujuan pelaksanaan ritual kaghotino buku bagi masyarakat pendukungnya?

3. Bagaimanakah bentuk (struktur teks, ko-teks, dan konteks) ritual kaghotino

buku?

4. Bagaimanakah isi (makna, fungsi, dan sistem nilai) yang terkandung dalam ritual kaghotino buku?

5. Bagaimanakah pemanfaatan mantra ritual kaghotino buku dalam rancangan pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA)?

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan sebagaimana yang dikemukakan di atas. Adapun tujuan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

a. Mendeskripsikan proses pelaksanaan ritual kaghotino buku.

b. Mendeskripsikan tujuan pelaksanaan upacara ritual kaghotino buku bagi masyarakat pendukungnya.

c. Mendeskripsikan bentuk (teks, ko-teks, dan konteks) dalam mantra ritual


(15)

La Tike, 2013

d. Mendeskripsikan isi (makna, fungsi, dan sistem nilai) dalam mantra ritual

kaghotino buku.

e. Mendeskripsikan pemanfaatan mantra ritual kaghotino buku dalam rancangan pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA).

D. Manfaat Penelitian

Manfaat berkaiatan dengan kegunaan hasil penelitian yang telah dilakukan. Adapun kegunaan yang dimaksud di antaranya adalah sebagai berikut.

a. Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberi manfaat bagi perkembangan ilmu budaya khususnya tradisi lisan di nusantara.

b. Hasil penelitian ini dapat diimplementasikan sebagai bahan ajar baik di SMP maupun SMA pada pembelajaran Bahasa dan Sastra.

c. Salah satu sumber referensi bagi yang ingin menambah pengetahuan tentang khazanah satra daerah Muna terutama yang berkaitan dengan ritual

kaghotino buku.

d. Salah satu upaya pelestarian budaya tradisi lisan dalam rangka memperkaya khasana kebudayaan nasional,

e. Sebagai bahan acuan bagi penelitian selanjutnya terutama yang menyangkut sastra daerah Muna.

f. Dapat memberikan pengetahuan baru, tentang manfaat penyelenggaraan ritual kaghotino buku bagi masyarakat pendukungnya.

g. Memberikan dorongan bagi peneliti selanjutnya, agar senangtiasa meneliti kebudayaan daerah yang kini terancam punah.

E. Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang tradisi lisan pernah dilakukan oleh Ahmad Badrun (2003) untuk penyusunan disertasi di Universitas Indondonesia dengan judul:

Patu Mbojo: Struktur, Konteks Pertunjukkan, Proses Penciptaan dan Fungsi.

Penelitian sejenis juga dilakukan oleh La Ode Wahidin (2010) sebagai tugas akhir pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah di Universitas Haluoleo, dengan judul sikripsi: Mantra Kaasi Masyarakat Muna


(16)

La Tike, 2013

Kajian Makna, Tujuan, dan Fungsinya. Pada penelitiannya, ia memaparkan

bahwa mantra kaasi memiliki fungsi untuk memikat hati seseorang/kelompok orang. Mantra ini biasanya dipakai oleh pejabat, pemuda maupun para orang tua.

Munandar (2010) melakukan penelitian sebagai tugas akhir pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah di Universitas Haluoleo, dengan judul skripsi: Mantra Mendirikan Rumah Masyarakat Muna dengan fokus kajian pada bidang makna, tujuan dan fungsinya. Nazriani (2012) dengan judul Tesis: Mantra dalam Upacara Pesondo: Tradis Lisan Masyarakat

Kulisusu Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara (Kajian Struktur

Teks, Konteks, Proses Penciptaan dan Fungsi) serta Kemungkinan

Pemanfaatannya sebagai Bahan Ajar Sastra di Sekolah” sebagai tugas akhir pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia. Maliudin (2011) melakukan penelitian dengan judul “Nyanyian Rakyat Kau-Kaudara Kajian Struktur Teks, Konteks, dan Fungsi serta Upaya Pelestariannya

sebagai tugas akhir pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia.

Sehubungan dengan itu, pada penelitian ini akan mengkaji ritual kaghotino

buku pada masyarakat Muna yang dijadikan sebagai salah satu bentuk ekspresi

rasa syukur dan permohonan pada Allah Swt., maupun mahluk gaib agar selalu diberi kekuatan, kesehatan, keimanan, kehidupan yang lebih baik, umur panjang, kelancaran rezki, serta dijauhkan dari segala gangguan hidup. Pentingnya mengkaji tradisi ini, tidak hanya untuk mempertahankan keberadaannya sebagai warisan leluhur bangsa, akan tetapi perlu mengungkap nilai yang dikandungnya dan kemungkinan masih relevan dengan kehidupan masa kini.

F. Definisi Operasional

Untuk mencegah kesalahan penafsiran berkaitan dengan beberapa istilah yang ada dalam penelitian ini. Maka peneliti memberikan definisi operasional sebagai berikut.

1. Ritual kaghotino buku adalah ritual yang dilakukan oleh masyarakat Muna untuk memohon pada Allah Swt., agar diberi kekuatan dan kemudahan


(17)

La Tike, 2013

dalam menjalangkan kehidupan serta menjauhkannya dari gangguan roh-roh jahat.

2. Proses pelaksanaan ritual kaghotino buku adalah langkah-langkah yang dilakasanakan saat berlangsungnya ritual. Langkah-langkah ini meliputi tiga tahap yakni, tahap persiapan, pelaksanaan, dan penutup.

3. Kajian bentuk ritual kaghotino buku adalah kajian yang akan mengarah pada analisis struktur teks, ko-teks, dan konteks.

a) Struktur teks ritual kaghotino buku berhubungan dengan teks mantra atau tuturan yang digunakan dalam ritual kaghotino buku yang meliputi; analisis sintaksis (jenis kalimat berdasarkan respon yang diharapkan), morfologi (morfem bebas dan morfem terikat), formula bunyi (asonansi, aliterasi, rima, dan irama), dan gaya bahasa (majas, diksi, dan paralelisme).

b) Ko-teks ritual kaghotino buku merupakan kajian yang berhubungan dengan unsur-unsur yang menyertai teks atau tuturan mantra saat berlangsungnya proses ritual kaghotino buku. Analisis ko-teks tersebut berupa; paralinguistik (intonasi), kinetik (gerak dan mimik), proksemik (penjagaan jarak), dan unsur material (peralatan yang digunakan). c) Konteks ritual kaghotino buku adalah kondisi atau situasi di tempat

berlangsungnya ritual yang dimaksud. Hal ini meliputi; konteks budaya, konteks sosial, konteks situasi, dan konteks ideologi.

4. Kajian isi ritual kaghotino buku adalah kajian yang akan mengarah pada analisis makna (semantik dan pragmatik), fungsi (kegunaan mantra dan peralatan), dan sistem nilai (nilai sosial, pedagogis, religius, dan nilai intelektual) yang terkandung dalam ritual kaghotino buku.

5. Rancangan pembelajaran adalah cara pemanfaatan mantra ritual kaghotino


(18)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara ilmiah yang ditempuh oleh peneliti dalam mengumpulkan sebuah data. Menurut Sugiyono (2011: 2) cara ilmiah merupakan kegiatan penelitian yang didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Dikatakan rasional sebab kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Cara ilmiah juga disebut empiris sebab cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara tersebut. Ciri terakhir adalah sistematis yang berarti proses yang digunakan dalam penelitian menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis.

Dilihat dari jenisnya, metode penelitian terbagi atas dua yaitu penelitian kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dinamakan metode tradisional sebab penggunaan metode ini sudah mentradisi sebagai metode penelitian dengan berlandaskan pada filsafat positivisme. Aliran ini memandang realitas atau fenomena dapat diklasifikasikan, relative tetap, kongkrit, teramati, terukur, dan hubungan gejala bersifat sebab akibat. Sedangkan metode penelitian kualitatif disebut metode postpositivistik karena metode ini berlandaskan filsafat postpositivisme. Aliran ini memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistic/utuh, kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan gejala bersifat interaktif (reciprocal).

Berkaitan dengan di atas, Sugiyono (2011: 9) mengemukakan bahwa metode penelitian kualitatif merupakan suatu metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme dan digunakan pada kondisi alamiah, di mana peneliti sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif yang hasilnya lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Metode penelitian kualitatif dinamakan metode penelitian naturalistik karena dalam penelitiannya dilakukan pada kondisi alamiah (natural setting). Penelitian kualitatif juga disebut


(19)

sebagai metode etnografi sebab pada awalnya metode ini banyak digunakan untuk penelitian di bidang antropologi budaya. Selain disebut sebagai metode naturalistik dan etnografi, penelitian ini juga disebut sebagai metode kualitatif karena data yang terkumpul dan analisisnya bersifat kualitatif.

Ditinjau dari data dan sumber data yang dibutuhkan, penelitian ini tergolong penelitian lapangan yakni penelitian tentang tradisi lisan sebagian lisan dengan melihat kebudayaan yang ada pada suatu masyarakat berupa upacara ritual

kaghotino buku pada Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara. Dikatakan penelitian

tradisi lisan sebagian lisan sebab selain mengkaji mantra yang digunakan dalam upacara ritual juga mengkaji unsur-unsur lain yang menyertainya, seperti posisi duduk pembawa upacara, tahap-tahap penyelenggaraan, waktu penyelenggaraan, peralatan atau perlengkapan, dan sebagainya.

Berdasarkan teori di atas, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat naturalistik atau dilakukan pada kondisi alamiah dan kemudian dianalisis secara kualitatif yang lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Metode penelitian ini dapat pula dikatakan sebagai metode penelitian etnografi sebab yang menjadi objek kajian adalah menyangkut kebudayaan pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Pada dasarnya metode etnografi berakar pada bidang antropologi dan sosiologi.

Emzir (2010: 152-153) mengemukakan bahwa dalam terminologi “metode” secara umum istilah etnografi mengacu pada penelitian sosial dengan karasteristik; (a) perilaku manusia dikaji dalam konteks sehari-hari, bukan di bawah kondisi eksperimental yang diciptakan oleh peneliti; (b) data dikumpulkan dari suatu rentangan sumber, tetapi observasi dan percakapan yang relative informal biasanya lebih diutamakan; (c) pendekatan untuk pengumpulan data tidak terstruktur dalam arti tidak melibatkan suatu set terperinci yang disusun sebelumnya, juga tidak menggunakan kategori yang telah ditetapkan sebelumnya untuk penginterpretasian apa yang dikatan atau dilakukan orang; (d) fokus penelitian biasanya merupakan suatu latar tunggal atau kelompok dari skala yang relatif kecil. Dalam penelitian sejarah kehidupan fokus penelitian dapat berupa


(20)

individu tunggal; (e) analisis data melibatkan interpretasi arti dan fungsi tindakan manusia dan sebagian besar mengambil format deskripsi verbal dan penjelasan.

B. Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian yang dimaksudkan adalah arah yang dilakukan oleh peneliti dalam menganalisis data, guna menjawab permasalah yang telah diajukan sebelumnya.

Bagan 2. Paradigma penelitian

C. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah mantra dan segala perangkat yang digunakan dalam upacara ritual kaghotino buku pada masyarakat Muna Sulawesi Tenggara. Berangkat dari informasi yang diberikan oleh La Djaunu (pande ghoti buku yang tinggal di Kec. Parigi) masih satu wilayah dengan tempat tinggal peneliti, ia memberikan data yang dibutuhkan oleh peneliti termasuk mantranya.

Tidak berhenti sampai di situ, peneliti berusaha untuk mencari informasi tentang ritual ini. Peneliti melakukan perjalanan di sebuah kampung yang disebut dengan Batalaiworu (nama sebuah kecamatan di Kab. Muna), di sana peneliti bertemu dengan Informan yang bernama La Ndeengu. Pertemuan ini berawal dari informasi yang diberikan oleh La Djaunu. Sepengetahuan penulis, La Ndeengu merupakan pande ghoti buku yang tersohor di kampung tersebut. Dalam

Teks

Kajian Bentuk Kajian isi

Makn

Ko-teks

Konteks Fungsi

Bahan pengajaran bahasa dan sastra di SMA Mantra dalam Upacara Ritual Kaghotino Buku Pada Masyarakat Muna Sulawesi


(21)

perbincangan ini, informasi yang didapat peneliti kurang lebih seperti apa yang dikatakan oleh La Djaunu hanya saja ada satu perbedaan antara kedua pande tersebut yakni jumlah helai benang yang akan dikenakan untuk peserta ritual. La Ndeengu menggunakan 7 helai yang melambangkan jumlah hari dalam seminggu sedangkan La Djaunu menggunakan 12 helai yang melambangkan jumlah bulan dalam setahun.

Sumber data berikutnya adalah datang dari Wa Kasu yang bertempat tinggal di Lawa (nama sebuah kecamatan di Kab. Muna). Ia merupakan salah satu warga yang sangat fanatik dengan ritual kaghotino buku. Dalam perbincangan ini, ia menuturkan tentang pentingnya menyelenggarakan kegiatan ritual ini adalah sebagai salah satu upaya untuk mencegah gangguan dari roh-roh jahat ketika kita sedang melakukan pekerjaan serta mencegah penyakit tertentu.

D. Teknik Pengumpulan Data

Pada pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik triangulasi atau gabungan antara observasi partisipatif dan wawancara tidak terstruktur. Teknik observasi partisipatif dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih tajam dan dapat mengetahui makna dari setiap perilaku yang nampak dalam proses upacara dengan cara melibatkan diri secara langsung sebagai peserta riual. Hal ini sejalan dengan pendapat Emzir (2010: 164) yang mengemukakan bahwa dengan cara observasi partisipan, peneliti dapat mengamati aktivitas orang, karakteristik situasi sosial, dan apa yang akan menjadi bagian dari tempat kejadian.

Agar proses wawancara tidak terkesan kaku, peneliti menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur dengan mengajukan beberapa pertanyaan tanpa menggunakan pedoman wawancara yang tidak disusun secara sistematis dan lengkap. Peneliti hanya menggunakan pedoman wawancara berupa garis-garis besar permasalahan yang ditanyakan yakni mantra yang digunakan, unsur-unsur yang menyertai, serta fungsi dan tujuan pelaksanaan ritual kaghotino buku.

E. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti sendirilah yang akan menjadi instrumen kunci. Untuk membantu keterbatasan daya ingat ketika terjun di lokasi penelitian,


(22)

maka peneliti menggunakan alat bantu berupa seperangkat penelitian. Perangkat-perangkat yang dimaksud adalah pedoman observasi, pedoman wawancara, catatan lapangan, tape recorder, dan handycam. Adapun kegunaan perangkat tersebut adalah sebagai berikut.

1. Pedoman observasi berfungsi sebagai patokan awal dalam melakukan observasi ketika terjun di lokasi penelitian. Adapun yang menjadi fokus observasi adalah berkaitan dengan tahap pesrsiapan ritual yang sedang diteliti, pelaksanaan, dan tahap akhir.

2. Pedoman wawancara, pedoman ini digunakan sebagai rujukan pertanyaan awal yang akan diajukan kepada responden ketika melakukan wawancara. Pertanyaan-pertanyaan ini terdiri atas 23 butir, 2 butir diajukan untuk mengetahui proses pelaksanaan upacara ritual kaghotino buku, 1 butir untuk mengetahui tujuan pelaksanaan upacara ritual kaghotino buku, 12 butir untuk mengetahui bentuk (teks, ko-teks, dan konteks) dalam upacara ritual kaghotino buku, 9 butir untuk mengetahui isi (makna dan fungsi serta nilai dan norma) pelaksanaan upacara ritual kaghotino buku.

3. Catatan lapangan digunakan untuk mencatat bagian-bagian penting dari observasi dan wawancara yang diperlukan dalam penelitian.

4. Tape recorder digunakan untuk merekam proses wawancara yang

dilakukan oleh peneliti dan responden serta untuk merekan tuturan mantra yang digunakan.

5. Handycam digunakan digunakan untuk merekam gambar (proses upacara

ritual kaghotino buku) yang menjadi objek penelitian.

F. Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul dari wawancara, catatan lapangan, maupun dokumentasi diorganisasikan ke dalam kategori, dijabarkan ke dalam unit-unit, serta memilih mana yang dibutuhkan dengan yang tidak dibutuhkan, sehingga dapat memudahkan peroses analisis. Adapun langkah-langkah analisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(23)

1. Menerjemahkan hasil wawancara ke dalam bahasa Indonesia (apabila bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah) guna memudahkan proses analisis.

2. Menyusun secara sistematis data-data tersebut serta menguraikannya secara deskriptif;

3. Menganalisis data sesuai dengan teori yang digunakan.

4. Merumuskan hasil penelitian dalam bentuk model pengajaran sehingga dapat digunakan sebagai bahan ajar pada mata pelajaran pendidikan bahasa dan sastra di tingkat SMA.

5. Menarik kesimpulan.

G. Pedoman Analisis

Untuk dapat menganalisis data yang ditemukan dalam penelitian, maka peneliti perlu menetapkan pedoman analisis yang akan digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Adapaun pedoman itu adalah sebagai berikut.

Tabel: 7. Teori Analisis Data

No Jenis Data Teori Analisis

1 Teks mantra (ujaran yang digunakan dalam proses ritual)

1. Sintaksis 2. Morfologi 3. Semantik 4. Pragmatik 2 Ko-teks (unsur-unsur yang mendampingi

teks mantra ketika proses berlangsungnya upacara termasuk peralatan dan

perlengkapan yang digunakan)

1. Paralinguistik 2. Kinetik 3. Proksemik 4. Semiotik 3 Konteks (kondisi di sekitar pelaksanaan

ritual)

1. Konteks budaya 2. Konteks sosial 3. Konteks situasi 4. Konteks ideologi 4 Makna (makna yang terkandung dalam

teks mantra dan benda-benda yang digunakan dalam ritual kaghotino buku).

1. Teori semantik 2. Pragmatik 3. Semiotik. 5 Fungsi (kegunaan dan tujuan pelaksanaan

ritual kaghotino buku bagi masyarakat pendukungnya)

Teori fungsi

6 Model pembelajarannya Metode pengajaran jigsaw


(24)

(25)

BAB IV

DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

Pengantar: bab ini akan memaparkan deskripsi data dan analisis data.

Sebelum pada tahap deskripsi dan analisis, peneliti terlebih dahulu memberikan gambaran lokasi penelitian yang meliputi letak geografis, kondisi alam fisik, kondisi alam hayati, dan unsur-unsur kebudayaan masyakat Muna. Pada deksripsi data akan menggambarkan perihal pelaksanaan ritual kaghotino buku, tempat dan waktu pelaksanaannya, serta proses pelaksanaannya. Terakhir adalah tahap analisis data yang meliputi kajian bentuk dan isi.

Kajian bentuk adalah kajian yang akan mengarah pada analisis struktur teks, ko-teks, dan konteks.

1. Struktur teks berhubungan dengan analisis sintaksis, morfologi, formula bunyi, dan gaya bahasa.

2. Ko-teks merupakan kajian yang berhubungan dengan unsur-unsur yang mendampingi teks. Analisis ko-teks tersebut berupa; paralinguistik, kinetik, proksemik, dan unsur material.

3. Konteks adalah kondisi atau situasi di tempat berlangsungnya ritual

kaghotino buku. Hal ini meliputi; konteks budaya, konteks sosial,

konteks situasi, dan konteks ideologi.

Sedangkan kajian isi adalah kajian yang akan mengarah pada analisis makna, fungsi, serta sistem nilai yang terkandung dalam ritual kaghotino buku termasuk pada mantra maupun unsur-unsur lain yang menyertainya.

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Letak geografis penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Muna merupakan salah satu pulau dengan ibukota Raha yang secara geografis terletak di bagian selatan khatulistiwa pada garis lintang 4. 06° - 5.15° LS dan 120.00° – 123.24° BT dengan luas wilayah daratan 4.887 km² atau 488.700 ha. Perbatasan pulau Muna yakni; (1) sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten


(26)

Konawe Selatan dan Selat Tiworo; (2) sebelah selatan berbatasan dengan selat Muna; (3) sebelah barat berbatasan dengan Selat Spelman; (4) sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Buton Utara dan Pulau Kajuangi, yang mana bisa dilihat dalam gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Peta Kab. Muna

2. Kondisi alam fisik a. Tanah

Di Kabupaten Muna terdapat beberapa karateristik tanah di antaranya: tanah merah, tanah berbatu, tanah kapur yang biasa disebut bhatuawo, serta tanah kehitam-hitaman yang biasa masyarakat di sana menyebutnya wite iga.

b. Air

Untuk kebutuhan air bersih, masyarakat Muna tidak mengalami kendala yang berarti. Sumber air berasal dari sungai-sungai dan sumur yang sengaja dibuat oleh masyarakat secara gotong-royong yang dikenal dengan istilah pokadulu. Bagi masyarakat yang letak tempat tinggalnya di daerah bebatuan dan tidak memiliki mata air, pemerintah memasukkan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan juga memberikan bantuan berupa pembangunan tempat penampungan air hujan. Selalin itu, mereka juga dapat meperoleh air bersih dengan cara membeli kepada


(27)

warga yang setiap sore menjajakan air bersih yang dimuat mobil tangki atau open

cup.

Air yang ada di Kabapaten Muna memiliki kadar kapur yang tinggi sehingga masyarakat di sana sebelum air dikosumsi maka terlebih dahulu dimasak dengan tujuan untuk mengurangi kadar kapur dan juga membunuh kuman-kumannya.

c. Udara

Suhu udara di Muna rata-rata antara 25º C – 27º C. Pada siang hari matahari akan bersinar terang dan terasa panas lalu pada malam hari akan terasa sangat dingin. Musim hujan terjadi antara bulan November dan Maret, pada bulan ini angin bertiup dari Benua Asia dan Samudera Pasifik yang mengandung banyak uap air sehingga menyebabkan terjadinya hujan di wilayah Indonesia, sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan Mei dan bulan Oktober, pada bulan ini angin bertiup dari Benua Australia yang sifatnya kering dan sedikit mengandung uap air.

3. Kondisi alam Hayati

Kondisi alam fisik dan letak geografis suatu daerah dapat mempengaruhi kelangsungan mahluk hidup yang ada di atasnya dan bahkan melahirkan ciri khusus jenis suatu hewan, burung ataupun tumbuhan. Dengan letak geografis demikian, seperti yang disebutkan di atas, Pulau Muna di huni berbagai jenis hewan maupun burung. Adapun jenis hewan yang terdapat di sana di antaranya adalah anoa, rusa, kerbau, sapi, kuda, monyet, dan masih banyak lagi. Sementara itu, untuk jenis burung ada burung kakatua putih (wela), burung nuri, burung tekukur, merpati, burung hantu, elang, dan berbagai jenis burung lainnya. Kebedaradaan jenis hewan dan burung di atas ada yang sengaja dipelihara dan adapula yang hidup di alam bebas.

Selain itu, di pulau Muna juga terdapat berbagai jenis tumbuhan baik yang sifatnya jangka panjang maupun jangka pendek. Untuk jangka pendek misalnya, tanaman jagung, umbi-umbian seperti ubi kayu/singkong, ubi jalar, talas, dan umbi-umbian lainnya, sayur-sayuran seperti bayam, labu, terong, sawi, kangkung, kacang panjang, kacang kedelai, dan jenis sayur dan kacang-kacangan lainnya serta berbagai buah-buahan seperti mangga, papaya, sirsak, jambu air, nangka,


(28)

dan lain-lain. Untuk tanaman jangka panjang ada cokelat, jambu mente, kopi, cengkeh. Daerah hutan, pulau Muna ditumbuhi atau sengaja ditanami berbagai macam pohon seperti rotan, kayu jati, mahoni, cendana, kayu besi, dan lain-lain.

4. Unsur-Unsur Kebudayaan Masyarakat Muna

Pada bab II telah dikemukakan bahwa secara universal seluruh kebudayaan masyarakat memiliki tujuh Unsur. Adapun ke tujuh unsur tersebut yang terdapat pada masyarakat Muna adalah sebagai berikut.

a. Peralatan dan perlengkapan hidup

1) Pakaian

Perkembangan model pakaian dari zaman ke zaman telah mempengaruhi tatacara berpakaian pada masyarakat Muna. Misalnya, orang tua zaman dulu ketika pergi pada suatu acara kampung maka ia selalu mengenakan sarung dan baju kemeja disertai dengan songko kopianya. Setelah munculnya berbagai model pakaian seperti celana panjang, mereka mulai memiliki kecenderungan untuk menggantikan fungsi sarung dengan celana panjang. Alasannya cukup sederhana yaitu memakai celana panjang lebih gampang dan ruang gerak lebih bebas dibanding mengenakan sarung.

2) Perumahan

Entah orang kaya atau miskin, rumah panggung merupakan pilihan masyarakat Muna tempo dulu. Biasanya rumah ini terdiri atas dua ruangan yaitu ruang tamu yang terletak bagian depan dan ruangan keluarga terletak pada bagian belakang. Keadaan demikian mulai berubah di zaman ini, masyarakat Muna sudah mulai membangun rumah batu dan bahkan ada sebagian warga mengubah bentuk rumahnya yang awalnya berbentuk panggung menjadi rumah batu.

3) Alat-alat rumah tangga

peralatan rumah tangga seperti alat untuk memasak, sebagian masyarakat Muna yang hidup di pedesaan masih menggunakan kayu bakar yang berasal dari jati atau pohon jambu mente sedangkan masyarakat yang hidup di perkotaan mengunakan kompor gas atau bahan bakar minyak.


(29)

4) Alat-alat produksi

Alat produksi yang digunakan sudah dapat digolongkan modern, hal ini dapat dilihat dari sebagian besar masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sahari-hari telah menggunakan mesin. Seperti mesin penggiling (padi dan jagung), mesin parut, mesin jahit, dan sebagainya.

5) Alat transportasi

Untuk alat transport yang digunakan di laut, mereka menggunakan jonson atau sejenisnya. Sedangkan di darat, mereka telah menggunakan kendaraan roda dua (motor) maupun roda empat (mobil).

6) Mata pencaharian hidup dan sistem sistem ekonomi

Mata pencaharian hidup yang ada di masyarakat Muna bervariasi seperti yang terdapat pada daerah lain pada umumnya, ada yang terjun di wiraswasta, pemerintahan, politik, PNS, nelayan, petani, peternak, dan sebagainya. Misalnya, untuk pertanian mereka bertani jagung, padi, umbi-umbian, sayur-sayuran dan di bidang peternakan ada yang berternak sapi, kerbau, ayam, itik, dll.

b. Sistem kemasyarakatan

1) Kekerabatan

Di bawah ini ada beberapa istilah kekerabatan yang dikenal pada masyarakat Muna di antaranya.

idha adalah sebutan untuk ayah pada golongan la ode dan walaka;

paapaa adalah sebutan untuk ibu pada golongan wa ode dan walaka;

ama adalah sebutan untuk ayah pada golongan maradika;

ina adalah sebutan untuk ibu pada golongan maradika;

awa adalah sebutan untuk kakek, nenek, dan cucu untuk semua golongan;

fokoidhau adalah sebutan untuk paman dari saudara laki-laki ayah dan/atau

ibu pada golongan La Ode dan Walaka;

fokopaapaa adalah sebutan untuk bibi dari saudara perempuan ayah dan/atau

ibu pada golongan wa ode dan walaka;

fokoamau adalah sebutan untuk paman dari saudara laki-laki ayah dan/atau ibu


(30)

fokoinau adalah sebutan untuk paman dari saudara laki-laki ayah dan/atau ibu

pada golongan maradika;

kakuta/kabhera adalah sebutan untuk saudara kandung baik laki-laki maupun

perempuan pada semua golongan;

isa/poisaha adalah sebutan untuk kakak baik laki-laki maupun perempuan

pada semua golongan;

ai/poaiha adalah sebutan untuk adik baik laki-laki maupun perempuan pada

semua golongan;

pisa adalah sebutan untuk sepupu satu kali baik laki-laki maupun perempuan

pada semua golongan;

ndua adalah sebutan untuk sepupu dua kali baik laki-laki maupun perempuan

pada semua golongan;

ntolu adalah sebutan untuk sepupu tiga kali baik laki-laki maupun perempuan

pada semua golongan;

fokoanau adalah sebutan untuk kemenakan baik laki-laki maupun perempuan

pada semua golongan;

finemoghane adalah sebutan untuk saudara laki-laki pada semua golongan;

finerobhine adalah sebutan untuk saudara perempuan pada semua golongan;

bhasitie adalah sebutan kepada keluarga yang hubungannya sudah jauh

seperti sepupu empat kali atau ketika dua orang atau lebih bercerita lalu saling menanyakan asal dari mana kemudian menyebut nama kakek atau nenek di suatu daerah ternyata mereka yang bercerita itu merupakan keturunan dari nenek/kakek tersebut;

fokoawau adalah sebutan untuk nenek atau kakek dan cucu dari saudara pada

semua golongan;

ana adalah sebutan untuk anak baik laki-laki maupun perempuan pada semua

golongan;

kamodu adalah sebutan untuk besan baik laki-laki maupun perempuan pada

semua golongan;

tamba adalah sebutan untuk ipar baik laki-laki maupun perempuan pada


(31)

bhai adalah sebutan kepada teman baik laki-laki maupun perempuan pada

semua golongan;

mosiraha adalah sebutan untuk tetangga atau orang yang sudah dianggap

sebagai saudara atau keluarga sendiri pada semua golongan;

kamokula adalah sebutan untuk orang tua baik orang tua kandung maupun

orang tua pada umumnya, baik laki-laki maupun perempuan pada semua golongan;

nikoamagho, yaitu sebutan dari anak kaum walaka kepada orang tua kaum maradika;

nikoanagho, yaitu sebutan untuk anak dari kaum walaka oleh orang tua dari

kaum maradika;

anamantu, yaitu sebutan dari orang tua kepada laki-laki/perempuan yang

menikahi anaknya;

inamantu, yaitu sebutan untuk menyebut mertua (perempuan);

amamantu, yaitu sebutan untuk menyebut mertua (laki-laki);

awamantu,yaitu sebutan untuk menyebut nenek dari suami atau istri; awantuu, yaitu sebutan untuk orang tua nenek (cicit);

kambali, yaitu sebutan untuk madu (istri lain suami).

2) Organisasi politik

Organisasi politik yang ada pada masyarakat Muna sama dengan organisasi yang terdapat pada kelompok masyarakat lain seperti organisasi kepemudaan, organisasi masyarakat (ORMAS) dan paratai politik (Parpol).

3) Sistem hukum

Selain hukum yang diciptakan oleh negara, hukum adat juga nampaknya masih dijunjung tinggi oleh pemilik tradisi (masyarakat Muna). Misalnya untuk pasangan muda-mudi yang kedapatan berduaan di tempat gelap akan ditangkap untuk dinikahkan atau dikenakan denda pada pihak laki-laki berupa pembayaran uang adat pada pihak keluarga perempuan. Begitu pula untuk seseorang yang mengambil hak orang lain, misalnya sesorang yang terbukti mencuri ayam maka ia dikenakan sangksi untuk mengelilingi kampung sambil memikul ayam hasil


(32)

curiannya dan berteriak pada seluruh masyarakat kampung bahwa ayam yang dipikulnya itu adalah hasil curian.

c. Bahasa

Bahasa daerah masyarakat Muna adalah Bahasa Wuna. Penggunaan bahasa Wuna di tengah-tengah masyarakat pemiliknya mulai mengalami kemunduran terutama yang ada di wilayah perkotaan. Di kota Raha (ibu kota Kab. Muna) hampir tidak ada lagi yang menggunakan bahasa daerah ini dan bahkan ada yang tidak mengerti sama sekali, padahal mereka masih merupakan penduduk asli Muna. Penggunaan bahasa Wuna hanya dapat kita jumpai di wilayah-wilayah pedesaan itupun ada juga sebagian warga yang sudah mulai cenderung mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia.

d. Kesenian

Di Kabupaten Muna memiliki berbagai macam kesenian. Untuk seni gerak, ada tari linda, kuntau, dan pogala. Seni rupa, seperti pengukiran gembol dan kerajinan mebel. Seni suara ada kantola, modero, dan kabhanti.

e. Sistem pengetahuan

Pemerolehan pengetahuan dalam masyarakat Muna melalui dua jalur yakni jalur formal dan non-formal. Pada jalur formal mereka dapat memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, baik itu ilmu pertanian, peternakan, sosial politik, teknologi informasi, ilmu kependidikan, dan sebagainya. Sedangkan pada jalur non-formal mereka memperoleh ilmu pengetahuan tentang kebudayaannya.

f. Sistem kepercayaan

Mayoritas penduduk asli masyarakat Muna memeluk agama Islam. Hal ini dapat dibuktikan hampir di seluruh pelosok desa yang terdapat di Kabupaten Muna memiliki sebuah mesjid baik itu yang didirikan secara swadaya maupun yang berasal dari bantuan pemerintah. Menurut Muh. Luthfi Malik dalam bukunya yang berjudul Islam Dalam Budaya Muna Suatu Ikhtiar Menatap Masa Depan, mengemukakan bahwa masuknya Islam di Muna berawal dari datangannya Abdul Wahid salah seorang ulama sufi yang berasal dari bangsa Arab sekitar tahun 1521 M. Pada saat itu, ia datang ke Buton untuk


(33)

mempersiapkan La Kilaponto (Sultan Buton ke-7) sebagai “Khalifatul Khamis” atau berupa pelimpahan kekuasaan guna mengembangkan ajaran agama Islam di Indonesia bagian Timur. Dalam perjalanan tersebut, ia sempat ke pulau Muna dan ia diterima dengan baik oleh raja Muna La Posasu (adik La Kilaponto). Kuat dugaan pada pertemuan ini, Abdul Wahid mulai memasukkan pengaruh ajaran Islam melalui raja Muna La Posasu.

Setelah abdul Wahid, proses pengislaman di Muna dilanjutkan oleh Firus Muhammad dan Sayid Arab yang juga merupakan ulama sufi yang berasal dari bangsa Arab. Pada proses pengislaman tersebut mereka tidak menentang secara radikal adat-adat kebiasaan masyarakat Muna Pra-Islam dan bahkan adat kebiasaan ini dijadikan sebagai wahdah untuk memasukkan ajaran Islam secara berlahan-lahan dengan harapan akan terbentuk suatu generasi muslim yang dapat melangsungkan proses islamisasi secara utuh dan berksinambungan.

Salah satu contoh adat kebiasaan masyarakat Muna pra-Islam adalah upacara ritual. Pada ritual kaghotino buku misalnya ada penggunaan simbol-simbol yang memiliki makna tertentu baik itu lewat peralatan dan perlengkapan yang digunakan, waktu dan tempat pelaksanaannya, maupun langkah-langkah pelaksanaannya. Setelah masuknya pengaruh ajaran Islam (masa kini) keberadaan simbol tersebut masih tetap dipertahankan, namun doa yang digunakan didominasi pengaruh ajaran Islam yakni permohonan kepada sang Pencipta (Allah Swt.) agar selalu diberi kekuatan, rekzi, keimanan, umur panjang, kehidupan yang lebih baik, serta dijauhkan dari segala marah bahaya.

B. Perihal Pelaksanaan Ritual Kaghotino Buku

Kaghotino buku merupakan salah jenis upacara ritual yang terdapat di

Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Ritual ini biasanya diselenggaran hanya sekali dalam satu tahun yang diikuti oleh setiap anggota keluarga.

Kaghotino buku berasal dari kata kaghotino dan buku. Kaghotino berarti pemberian makan dan buku berarti tulang. Jadi, kaghotino buku adalah pemberian

makan pada tulang. Pemberian makan yang dimaksud di sini adalah bukan dalam bentuk menyiapkan makanan lalu dihidangkan oleh tulang akan tetapi berupa doa


(34)

yang dipanjatkan oleh pembaca mantra (pande) kepada Tuhan Yang Maha Esa agar peserta ritual selalu diberi kekuatan.

Melalui mantra dan segala perlengkapan yang dipersembahkan dalam ritual kaghotino buku, peserta ritual mengharapkan dapat memperoleh rezki, umur panjang, kesehatan, kehidupan yang lebih baik, kekuatan, serta dijauhkan dari segala marah bahaya. Ia pula mengungkapkan ketika seseorang mengalami kegagalan dalam suatu pekerjaan tak lain karena ada faktor X yang menjadi penghalangnya. Jadi salah satu cara untuk membuka penghalang tersebut adalah bermohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa melalui ritual ini, Wa Kasu (peserta ritual). Meskipun demikian, peserta ritual juga mengakui bahwa walaupun melakukan kegiatan ritual ini setiap tahun tapi kalau tidak dibarengi dengan usaha maka mustahil harapan itu dapat tercapai.

Sejalan dengan itu, La Djaunu (pande ghoti buku/ pelaksana ritual), ritual ini tidak hanya sebagai sarana permohonon seperti yang telah disebutkan di atas. Akan tetapi merupakan salah satu bentuk ungkapan rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa maupun mahluk gaib atau roh-roh halus yang selama ini diyakini telah memberikan kekuatan maupun rezki sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup. Apabila ungkapan rasa syukur ini tidak pernah dilakukan maka selama di dunia akan mendapat berbagai hambatan terutama kesulitan mencari rezki dan kesehatan selalu terganggu. Bahkan di akhiratpun akan dimintai pertanggung jawaban oleh Yang Maha Esa dengan disaksikan oleh seluruh anggota badan.

Mengenai asal usul kegiatan ritual ini, masyarakat Muna sudah tidak mengetahui lagi siapa yang pertama kali menyelenggarakan ritual yang dimaksud. Mereka cuma bisa mengatakan bahwa ini adalah merupakan warisan nenek moyang yang sangat penting untuk diadakan sebagai salah satu usaha agar bisa terhindar dari segala hambatan dalam menjalangkan kehidupan.

1. Waktu dan tempat pelaksanaan ritual

Lazimnya suatu kegiatan upacara ritual memiliki waktu dan tempat yang dianggap sebagai bagian terpenting dari kesakralan upacara. Penentuan waktu dan tempat ini juga berlaku pada ritual kaghotino buku. Ritual kaghotino buku hanya bisa dilakukan pada hari Jumat dan Minggu sejak matahari mulai terbit sampai


(35)

matahari condong ke barat (sekitar jam 6 pagi-jam 12 siang). Menurut kepercayaan mereka, ketika matahari beranjak naik, maka itu merupakan waktu yang baik untuk bermohon kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk mengangkat atau mengabulkan permintaannya. Tahun dan bulan pelaksanaan tidak dipersoalkan dalam upacara ini, yang terpenting adalah memperhatikan hari dan posisi matahari seperti yang disebutkan di atas.

Perlu juga dijelaskan di sini bahwa ritual kaghotino buku hanya dapat dilaksanakan di rumah yang bersangkutan (pelaku) dengan posisi duduk di samping tiang rumah bagian tengah atau dalam istilah bahasa Wunanya adalah

wuntano lambu. Tiang tersebut di atas, merupakan tiang pertama didirikan ketika

membangun sebuah rumah disertai dengan pembacaan mantra yang dibawakan oleh parika agar rumah itu dapat membawa berkah bagi penghuninya. Proses ini disebut dengan istilah kabhelaino lambu. Jadi, Ini menandakan bahwa melaksanakan kegiatan ritual kaghotino buku bagi kehidupan mereka sama pentingnya dengan memohon berkah ketika mendirikan sebuah rumah.

2. Prosesi pelaksanaan ritual kaghotino buku

Proses yang dimaksudkan yakni langkah-langkah pelaksanaan ritual, mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan, dan tahap akhir. Penjabaran ketiga tahap tersebut adalah sebagai berikut.

a. Tahap persiapan


(36)

Mengingat prosesnya yang sangat sederhana dan tidak membutuhkan biaya besar. Maka pada tahap ini, ia cukup mengumpulkan keluarga yang ada dalam rumah serta menyiapkan bebagai perlengkapan yang di butuhkan, di antaranya sebagai berikut.

1) Bambu (wulu)

Bambu ini didirikan sejajar dengan tiang utama (tengah) rumah dengan ujung bagian bawah menyentuh tanah.

2) Kain putih

Bila ujung bambu yang bagian bawah diharuskan untuk menyentuh tanah, maka ujung bagian atasnya ditutup dengan menggunakan kain putih.

3) Bakul atau Loyang

Benda ini dipergunakan sebagai tempat menyimpan makanan yang akan dibaca-baca. Kemudian makanan tersebut akan dipergunakan sebagai sesajen atau persembahan pada mahluk gaib, makanan peserta ritual, dan makanan yang akan dihamburkan di tempat berlangsungnya ritual.

4) Lampu tembok

Selain sebagai penerang pada saat berlangsungnya proses ritual, lampu tembok juga berfungsi sebagai alat penanda baik tidaknya upacara yang diselenggarakan.

5) Minuman tradisional (kameko)

Minuman tradisonal atau biasa masyarakat di sana menyebutnya dengan istilah kameko, merupakan jenis minuman berasal dari pohon aren yang digunakan sebagai bahan dasar membuat gula merah. Kegunaan minuman tradisonal dalam ritual ini adalah untuk disiramkan di atas sesajen.

6) Benang putih

Benang putih memiliki kegunaaan sebagai alat yang akan dikenakan oleh pelaku setelah selesai ritual.


(37)

7) Sesajen

Pada sesajen ini terdiri atas berbagai macam, mulai dari, nasi, telur ayam kampung, rokok tradisonal (terbuat dari daun enau muda yang dikeringkan atau masyarakat Muna menyebutnya dengan isltilah kowala), minuman trdisional (kameko), serta daun sirih (kampanaha). Sesajen tersebut digunakan sebagai persembahan pada roh halus dan jin agar tidak mengganggu kehidupan mereka.

8) Nasi dan telur

Selain diperuntukan sebagai persemabahan pada roh halus dan jin, nasi dan telur juga dipergunakan sebagai makanan wajib bagi pelaku ritual.

Gambar 3. Pawang (memakai kopiah hitam) bersama pesrta ritual

sedang merangkai benang yang akan digunakan untuk ritual

Gambar 4. Nasi putih dan sebutir telur matang yang

masing-masing disimpan di piring untuk dikonsumsi peserta ritual


(38)

9) Daun lapi

Daun lapi merupakan salah satu jenis daun tumbuhan yang terdapat di dalam hutan dengan lebar menyerupai ukuran piring. Pada ritual ini, daun tersebut berjumlah lima lembar yang masing daun diisi dengan satu sendok nasi, satu batang rokok, satu lembar daun sirih, serta 1 biji telur ayam kampung.

10) Daun pisang

Kegunaan daun pisang dalam upacara ritual ini adalah sebagai tempat untuk meletakan daun lapi yang sebelumnya telah diisi dengan sesajen.

11) Piring

Dalam ritual kaghotino buku, tuan rumah (pelaksana ritual) menyiapkan piring berdasarkan jumlah peserta yang mengikuti ritual. Piring tersebut akan digunakan sebagai tempat makan yang sebelumnya telah dibaca-baca oleh

pande ghoti buku. Sebelum piring yang terbuat dari kaca atau plastik gampang

dijumpai seperti sekarang ini, dahulu memanfaatkan piring yang terbuat dari tempurung kelapa sebagai penggantinya.

12)Barang tajam (peralatan yang digunakan dalam bertani)

Keberadaan barang tajam berupa peralatan yang digunakan dalam bertani, hanya berfungsi sebagai pelengkap atau disebut dengan istilah katalasa.

b. Tahap pelaksanaan

Gambar 5. Pawang sedang mempersiapkan


(39)

1) Mempersilakan pande untuk duduk di tempat yang telah ditentukan.

2) Pande menyusun peralatan dan perlengkapan yang telah disiapkan

berdasarkan fungsinya masing-masing.

3) Pande duduk bersilah menghadap arah timur.

4) Pande membacakan mantra di dalam makanan yang disimpan dalam loyang

dan menghadap ke arah sesajen dan seluruh perlengkapan lainnya dengan bunyi sebagai berikut.

Tadawuno ghagheku. [1] Tadawuno limak. [2] Patakasundupa ane maino. [3] Sobharino, sofotahuraghoono. [4]

Katingke-tingke ini nabi adhamu, nabi muhamadhi. [5] Aesalo safoburino, sofotahuraghoono. [6]

Asumakariane ghau-ghauno. [7] Asumakariane limano. [8] Asumakariane pongkeku. [9] Asumakariane mataku .[10] Asumakariane neeku. [11] Asumakriane wobhaku. [12] Asumakriane lelaku. [13] Bhasakari anabi. [14] Barakati omputo nabi. [15] Barakati lilahi taala. [16] Barakati omputo hataala. [17] Barakati kolaki antara. [18]

Barakati kolakino bhabhaangi. [19] Barakati kolakino aulia. [20] Aesalogho wuluku. [21] Aesalogho kuliku. [22] Aesalogho ueku. [23] Aesalogho ihiku. [24]


(40)

Aesalogho bukuku. [25] Aesalogho imaniku. [26] Aesalogho rahasiaku. [27] Aesalogho dadiku. [28] Aesalogho umuruku. [29] Aesalogho radhakiiku. [30] Mai hende-hende. [31] Meda oe punto. [32] Meda oe pasilangga. [33] Mpolali-lali. [34]

Mpologo-logo mburumaino [35] Lali mburumaino. [36]

Ihintu isaku.[37] Ihintu bhakuku. [38] Ihintu loliku.[39] Ihintu reaku. [40] Ihintu katutubhaku. [41] Ihintu oe molinoku. [42] Koe ghonto kanaua. [43] Hamai sonegiuku. [44]

Taghondo-ghondo kanaumu. [45] Mahingka aegiu rokapaeya.[46] Mahingka aegiu rokaruku, [47] Mahingka aegiu kadehano wewi [48] Mahingka aegiu hae-hae itu. [49] Naembali bulawa. [50]

Naembali ointa. [51]

Naembali monaka maea. [52]


(41)

5) Penyiraman minuman tradisional atau kameko di atas sesajen yang dilakukan oleh pembaca mantra (pande).

6) Pembaca mantra (pande) membagikan makanan masing-masing satu sendok pada peserta ritual.

7) Peserta ritual dipersilakan mengkosumsi makanan yang telah dibagikan dan tidak diperkenankan untuk menyisahkan makanan sedikitpun di piringnya. 8) Pande memutuskan benang putih sambil membacakan mantra dengan bunyi

Saruna-runa batuna rasululla bisimilla.

Gambar 6. Pande sedang membacakan mantra

Gambar 7. Pande sedang menyiramkan


(42)

c. Tahap akhir

1) Pembagian benang putih pada peserta ritual untuk diikatkan di tangan, pinggang, atau kaki (peserta bebas memilih untuk mengikatkannya di salah satu anggota badan tersebut).

Gambar 8. Pande sedang memutuskan benang

untuk dikenakan peserta ritual

Gambar 9. Salah satu peserta ritual sedang


(43)

2) Pembaca mantra menghamburkan makanan dalam ruangan tempat berlangsungnya ritual.

3) Jika peserta ritual belum kenyang, maka dipersilakan untuk makan kembali.

Gambar 10. Pande menuntun pelaksana ritual

menghamburkan makanan dalam rumahnya

Gambar 11. Peserta ritual sedang menghidangkan makanan yang dibagikan


(44)

Berdasarkan penjelasan di atas, ditemukan bahwa dalam pelaksanaan ritual

kaghorino buku memiliki tiga tahap yakni, tahap persiapan, pelaksanaan, dan

tahap penutup.

C. Analisis Data

Mengingat penelitian ini berupa tradisi lisan, maka pada analisis data, peneliti akan mengkaji bentuk dan isi. Bentuk tradisi lisan terdiri atas teks, ko-teks, dan konteks. Sedangkan isi berkaitan dengan makna, fungsi, dan sistem nilai.

1. Analisis bentuk b. Teks

1) Morfologi

Dari sudut pandang morfologi, peneliti akan mengkaji morfem bebas dan morfem terikat, dalam mantra ritual kaghotino buku. Morfem bebas adalah bentuk kata yang dapat beridiri sendiri, artinya tidak membutuhkan bentuk lain yang digabung dengannya, dan dapat dipisahkan dari bentuk-bentuk “bebas” di depannya dan di belakangnya dalam tuturan. Morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat berdiri sendiri dan hanya dapat meleburkan diri pada morfem lain.

Untuk memudahkan analisis, kata-kata tersebut disusun dalam bentuk tabel.

Tabel 8. Analisis Morfologi Kata Morfem bebas Morfe

m terikat

Arti kata

Tadawuno Dawu (bagian) Ta-no Percuma ada bagian

Ghagheku Ghaghe (kaki) ku Kaki saya

Limaku Lima (tangan) ku Tangan saya

Patakasundupa Sundu (siksaan)

Pataka-pa

Kita tidak akan mendapat siksaan

anemaino Mai (datang) Ane-no Sama yang datang

sobharino Bhari (banyak) So-no Yang banyak

Katingke-tingke

Tingke (dengar) Ka- Kamu dengar-dengar

aesalo Salo (minta) Ae- Saya minta

sofoburino Buri (tulis) Sofo-no Yang akan menulis

sofotauraghoo no

tauraghoo (menghiraukan)


(1)

La Tike, 2013

Ritual Kaghotino Buku Pada Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara (Kajian Bentuk, dan Isi, serta Pemanfaatannya dalam Rancangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Menengah Atas) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

bersangkutan (pelaku). Ritual ini dipengaruhi oleh percampuran ideologi Islam dan pra-Islam.

4. Analisis Isi

Dalam ritual kaghotino buku, mantra memiliki fungsi sebagai: (a) sarana penghubung antara peserta ritual dengan Tuhan; (b) sarana penghubung dengan Nabi Adam dan Nabi Muhammad; (c) sebagai sarana penghubung dengan malaikat; (d) sebagai saran penghubung dengan makhluk ghaib. Tujuan pembacaan mantra ini adalah; (1) agar Tuhan dapat mengabulkan permintaan peserta ritual yakni diberi kesehatan, kelancaran rezki, kekuatan, umur panjang, serta dijauhkan dari segala marah bahaya; (2) agar Nabi Adam dan Nabi Muhammad menjadi saksi atas permintaan yang diinginkan oleh peserta ritual; (3) agar malaikat mencatat semua apa yang diinginkan oleh peserta ritual; (4) agar mahluk gaib tidak menjadi penghalang peserta ritual dalam menjalangkan kehidupannya.

Sedangkan benda-benda digunakan memiliki fungsi; (a) sebagai alat untuk menyimbolkan jumlah bulan dalam setahun; (b) sebagai alat persembahan pada mahluk ghaib; (c) menyimbolkan benteng pertahanan yang melindungi peserta ritual terhadap gangguan dari luar (roh-roh jahat); (c) sebagai simbol penghubung antara peserta ritual dengan Nabi Adam; (d) menyimbolkan kesucian Nabi Adam dan Nabi Muhammad; (e) sebagai tanda baik atau tidaknya ritual yang sedang dilakukan; (f) sebagai simbol peralatan yang digunakan untuk mencari kebutuhan hidup.

Sistem nilai yang terdapat dalam ritual kaghotino buku adalah nilai sosial, nilai psikologis dan pedagogis, nilai religius, dan nilai intelektual serta nilai kecerdasan.

5. Pemanfaatan Mantra Ritual Kaghotino Buku dalam Rancangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA

Pada pengembangan silabus mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kelas XII semester 1 tingkat sekolah menengah atas (SMA) memuat standar kompetensi dan kompetensi dasar dan materi pembelajaran yang berkenaan


(2)

La Tike, 2013

Ritual Kaghotino Buku Pada Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara (Kajian Bentuk, dan Isi, serta Pemanfaatannya dalam Rancangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Menengah Atas) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

dengan puisi lama. Dengan menggunakan pendekatan CTL (Contextual teaching Learning) tenaga pendidik dapat mengaitkan materi pembelajaran tentang puisi lama yang tertera dalam silabus dengan mantra ritual kaghotino buku. Pendekatan CTL dimaksudkan agar materi pembelajaran yang diterima peserta didik memiliki hubungan dengan kehidupan nyata mereka, khususnya pada masyarakat Muna.

Adapun model pembelajaran yang dapat digunakan adalah apresiasi puisi lama (mantra) dengan model pembelajaran jigsaw dan Point-Counter-Point. Metode pengajaran tipe jigsaw adalah suatu strategi yang digunakan jika materi yang akan kita pelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan materi tersebut tidak mengharuskan urutan penyampaiannya. Strategi ini dapat melibatkan seluruh siswa dalam belajar dan sekaligus mengajarkan kepada orang lain.

Sedangkan metode pembelajaran Point-Counter-Point digunakan untuk mendorong peserta didik berpikir untuk melihat ritual kaghotino buku dalam berbagai prespektif. Di satu sisi tradisi ini dianggap penting untuk dilakukan, di sisi lain dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Model pembelajaran ini, siswa dibagi dalam beberapa kelompok dan kemudian masing kelompok diarahkan untuk mengembangkan pandangan berdasarkan topik yang diberikan. Dari pengembangan topik ini, perwakilan kelompok tampil untuk menyampaikan pandangan kelompoknya yang kemudian ditanggapi oleh kelompok lain.

B. Saran

Ada beberapa poin yang menjadi harapan penulis berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Sepengetahuan penulis, penelitian tentang ritual kaghotino buku baru pertama kali dilakukan. Dengan itu, diharapkan ada peneliti selanjutnya untuk mengungkap hal-hal lain dari ritual ini yang sebelumnya tidak disadari oleh penulis.

2. Secara umum, diharapkan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk tetap merasa bangga atas anugrah Tuhan yang dilimpahkan kepada kita sebagai Negara pemilik keragaman budaya. Penelitian ini hanya sebagian kecil dari kebudayaan kita. Oleh karena itu, diharapkan ada penelitian selanjutnya untuk mengungkap makna yang ada dalam kebudayaan


(3)

La Tike, 2013

Ritual Kaghotino Buku Pada Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara (Kajian Bentuk, dan Isi, serta Pemanfaatannya dalam Rancangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Menengah Atas) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

daerahnya sebagai cikal bakal menatap kehidupan masa kini dan kehidupan yang akan datang

3. Penelitian ini membuktikan bahwa tradisi kaghotino buku mengandung nilai kehidupan yang masih relevan kehidupan masa kini. Oleh karena itu, kepada seluruh masyarakat Muna selaku pemilik tradisi untuk tetap menjaga keberadaannya sebagai warisan leluhur yang bukan dilahirkan tanpa tujuan tertentu.

4. Ritual kaghotino buku merupakan salah satu identitas yang membedakan dengan kebudayaan lain. Pemerintah daerah Kab. Muna sebagai tempat lahirnya tradisi ini, mesti melakukan langkah strategis guna menyelamatkan kebudayaan lokal yang sudah mulai terkikis oleh zaman dengan cara pembentukkan cagar budaya maupun memberikan dukungan pada para peneliti.

5. Guru yang mengajarkan mata pelajaran bahasa Indonesia di tingkat SMA diharapkan lebih kreatif merancang materi pembelajaran dengan memanfaatkan kebudayaan daerah, salah satunya adalah puisi tradisional (puisi lama). Misalnya menjadikan mantra pada ritual kaghotino buku dengan menggunakan model pembelajaran jigsaw dan Point-Counter-Point.


(4)

La Tike, 2013

Ritual Kaghotino Buku Pada Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara (Kajian Bentuk, dan Isi, serta Pemanfaatannya dalam Rancangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Menengah Atas) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

DAFTAR PUSTAKA

Al Musana (2011). Model Pendidikan Guru Berbasis Ke-Bhinekaan Budaya di Indonesia. Diterbitkan oleh Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, instruksi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional Vol. 17 No. 4 Edisi Juli 2011.

Ba’dulu dan Herman. 2005. Morfosintaksis. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Badrun, Ahmad. 2003. Patu Mbojo: Struktur, Konteks Pertunjukkan, Proses Penciptaan, dan Fungsi (Disertasi). Jakarta: tidak dipublikasikan.

Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa (Edisi Kelima yang diterjemahkan oleh Noor Cholis dan Yusi Afianto Pareanom). Jakarta: Pearson Education, Inc.

Couvreur, J. 2001. Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna. (Rene van den Berg, penerjemah). Kupang: Arta Wacana Press.

Chaer, Abdul. 2007. Kajian. Bahasa: Struktur Internal, Pemakaian, dan Pemelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Chaer, Abdul.2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, Dan Lain-Lain. Jakarta: Grafiti.

Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, Panduan Pengembangan Silabus, dan Panduan Pengembangan RPP Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMP/MTs. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP.

Depdiknas. 2009. Materi Pelatihan KTSP. Jakarta: Depdiknas.

Djamaris, Edwar. 1990. Menggali Khazana Sastra Melayu Klasik: Sastra Indonesia Lama. Jakarta: Balai Pustaka.

Emzir. 2010. Metode Penelitian Pendidikakan: Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Endraswara, suwardi.2011. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS.

Eryanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.

Esten, Mursal. 2007. Memahami Puisi. Bandung: Angkasa.

Halliday, M.A.K dan Hasan, Ruqaiya. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek bahasa dalam pandangan semiotic social (diterjemahkan oleh Asruddin Barori Tou). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hayati, A., dan Muslich, Masnur. (tahun terbit tidak ditampilkan). Latihan Apresiasi Sastra: Penunjang Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP dan SMA. Penerbit : Triana Media.

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: Himpunan Sarjana Kesustraan Indonesia.

Iskandarwassid dan Sunendar. 2008. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: SPS UPI dan PT. Remaja Rosdakarya.


(5)

La Tike, 2013

Ritual Kaghotino Buku Pada Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara (Kajian Bentuk, dan Isi, serta Pemanfaatannya dalam Rancangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Menengah Atas) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Isnendes, Chye Retty. 2010. Kajian Sastra: Aplikasi Teori dan Kritik Pada Karya Sastra Sunda dan Indonesia. Bandung: Daluang.

Johnson, Elanie B. 2007. Contextual Teaching & Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna (diterjemahkan oleh Ibnu Setiawan dan Ida Sitompul, serta diberi pengantar oleh Chaedar Alwasilah). Bandung: Mizan Media Utama.

Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa Ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia (kumpulan karangan). Jakarta: PT. Gramedia.

KBBI.2003. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Lampiran 3 Kurikulum 2013 Kompetensi Dasar Bahasa Indonesia SD/SMP/SMA.

Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat. 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia(cet. Ke-20). Jakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kutha Ratna, Nyoman. 2009. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

La Ode Taalami, dkk., bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tenggara Program Pengkajian Nilai Budaya Tahun Anggaran 2010, serta Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya (Bangsa). 2010. Kebudayaan Lokal dalam Kebudayaan Suku Bangsa- Suku Bangsa di Sulawesi Tenggara. Sulawesi Tenggara.

La Ode, Wahidin. 2010. Mantra Kaasi Masyarakat Muna: Kajian Makna, Tujuan, dan Fungsinya (sikripsi). Kendari: Universitas Haluoleo.

Malik, Muh. Luthfi. 1998. Islam dalam Budaya Muna: Suatu Ikhtiar Menatap Masa Depan. Ujung Pandang: PT. Umitoha Ukhuwa Grafika.

Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Munandar.2010. Mantra Mendirikan Rumah Masyarakat Muna: Kajian Makna,

Tujuan dan Fungsinya (Sikripsi). Kendari: Universitas Haluoleo.

MPPS., Pudentia. 2007. Hakikat Kelisanan Dalam Tradisi Melayu Mak Yong. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

MPPS.,Pudentia. 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Natawidjaja, Suparman. 1986. Apresiasi Stilistika. PT. Intermasa.

Nazriani. 2012. Mantra dalam upacara Pesondo: Tradis Lisan Masyarakat Kulisusu Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara: Kajian Struktur Teks, Konteks, Proses Penciptaan dan Fungsi serta Kemungkinan Pemanfaatannya sebagai Bahan Ajar Sastra di Sekolah (Tesis). Universitas Pendidikan Indonesia.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(6)

La Tike, 2013

Ritual Kaghotino Buku Pada Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara (Kajian Bentuk, dan Isi, serta Pemanfaatannya dalam Rancangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Menengah Atas) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Rahmanto B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.

Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra Dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV. Diponegoro.

Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Sims, Martha C. & Martine Stephens. 2005. Living folklore: an introduction to the study of people and their traditions. Logan, Utah: Utah State University Press.

Sudikan, Setya Yuwana. 2007. Antropologi Sastra. Surabaya: Unesa University Press.

Sugiarto, Eko.2011. Siap Ujian Bahasa Indonesia: Khusus Puisi Lama. Yogyakarta: Khitah Publishing

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sukatman. 2009. Butir-Butir Tradisi Lisan Indonesia: Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Suprijono, Agus. 2013. Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi Paikem. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi (edisi kedua, Cet. 1). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Tarigan, Henry Guntur.2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa

Taslim, Noriah. 2010. Lisan dan Tulisan: Teks dan Budaya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Taum, Yoseph Yopi. 2011. Studi Sastra Lisan: Sejarah Teori, Metode dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera

Tilaar, H.A.R.,. 2002. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan (cet. Ketiga). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Van peursen, C.A. 1988. Strategi Kebudayaan. Ygyakarta: Kanisius

Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Waluyo, Herman J. 1995. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga

Wellek, Rene dan Werren, Austin. 1990. Teori Kesusatraan. Jakarta: PT. Gramedia.

http://agepe-lesson.blogspot.com/2008/02/rima-dalam-puisi.html (diunduh pada 16 april 2013)