Studi Deskriptif Motif Prososial Pada Imam Paroki di Keuskupan "X" Kota "B".

(1)

Abstrak

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif mengenai motif prososial para Imam di Keuskupan “X” kota “B”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran motif prososial Imam di Keuskupan “X” kota “B”. Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori motif prososial dari Raykowski.

Pemilihan sampel menggunakan metode pupposive sampling, dan sample dalam penelitian ini 30 orang. Rancangan yang digunakan adalah rancangan penelitian deskriptif. Alat ukur yang digunakan bersifat semi proyektif terdiri atas 15 situasi, dan validitas alat ukur ini bersifat exspert validity.

Dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa 80% Imam di keuskupan “X” kota “B” memiliki motif intrinsic, 13,33% memiliki motif endosentric dan 6,67% memiliki motif endosentric-intrinsic.

Kesimpulan yang diperoleh adalah sebagian besar Imam memiliki kecenderungan motif prososial intrinsic. Peneliti mengajukan saran agar dilakukan penelitian mengenai kontribusi faktor keluarga, faktor lingkungan sosial, norma sosial dan usia terhadapmotif prososial Imam.


(2)

Abstract

This research is an descriptive studies concerning prosocial motive of Pastor in Keuskupan “X” “B” city. The purpose of this research is to give an overview of prosocial motive in Pastor in Keuskupan “X” “B” city. Teory of this research is motif prosocial from Januz Raykowski.

This research includes in descriptive studies use the survey techniques dan purposive sample. The population for this research are all the Pastor from keuskupan “X” “B” city, who have 30 Pastor in total. The instrument that being use to collect data about motive prosocial is semi-proyektif that consist of 15 items. The standariszation had been done on this questionnaire to search validation with expert validation.

From the final result we can see that motive prosocial that most of Pastor in Keuskupan “X” “B” city is have motive intrinsic with 80%, motive endosentric with 13,33% and motive endosentric-intrinsic with 6,67%

In conclusion, Pastor in Keuskupan”X” “B” city in general have intrinsic motive. The suggestion is for the next researcher to try doing contribution family factors, social environment factors, value and social norm factors dan ages factors at motive prosocial of Pastors.


(3)

DAFTAR ISI

Lembar Judul Lembar Pengesahan

Abstrak ... i

Abstract... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... vi

Daftar Bagan ... x

Daftar Tabel... xi

Daftar Lampiran ... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 10

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian... 10

1.3.1. Maksud Penelitian... 10

1.3.2. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Kegunaan Penelitian ... 10

1.4.1. Kegunaan Teoretis ... 10

1.4.2. Kegunaan Praktis ... 11

1.5. Kerangka Pikir ... 11


(4)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 22

2.1. Teori Motif Prososial ... 22

2.1.1. Sejarah Prososial ... 22

2.1.2. Pengertian Tingkah Laku Prososial ... 22

2.1.3. Pengertian motif prososial ... 23

2.1.4. Jenis-Jenis Motif Prososial... 27

2.1.4.1. Ipsocentric Motivation ... 27

2.1.4.2. Endosentric Motivation... 28

2.1.4.3. Intrinsic Motivation... 28

2.1.5. Aspek-Aspek Motif Prososial ... 28

2.1.5.1. Kondisi Awal ... 28

2.1.5.2. Akibat Awal ... 28

2.1.5.3. Kondisi yang Mendukung ... 29

2.1.5.4. Kondisi yang Menghambat ... 29

2.1.5.5. Karakteristik Kualitas dari Tindakan ... 30

2.1.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motif Prososial... 30

2.1.6.1. Faktor Eksternal ... 30

2.1.6.1.1. Keluarga ... 30

2.1.6.1.2. Lingkungan Sosial... 32

2.1.6.1.3. Norma Sosial... 34

2.1.6.2. Faktor Internal... 35


(5)

2.1.6.2.2. Usia ... 37

2.1.6.3.3. Jenis Kelamin ... 38

2.2. Teori Tahap Perkembangan Dewasa Awal ... 39

2.3. Teori Tahap Perkembangan Dewasa Madya... 42

2.4. Teori Tahap Perkembangan Dewasa Akhir ... 45

2.5.Altruisme... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 49

3.1. Rancangan Penelitian ... 49

3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 49

3.2.1. Variabel Penelitian ... 49

3.2.2. Definisi Operasional... 50

3.3. Alat Ukur... 51

3.4.1. Alat Ukur Motif Prososial... 56

3.4.2. Kuesioner Data Penunjang... 56

3.4.3. Uji Coba Alat Ukur ... 56

3.4.3.1. Validitas Alat Ukur ... 56

3.4. Populasi Sasaran dan Teknik Penarikan Sampel ... 56

3.3.1. Populasi Sasaran ... 56

3.3.2. Karakteristik Populasi ... 57

3.3.3. Teknik Penarikan Sampel ... 57


(6)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 59

4.1. Gambaran Responden ... 59

4.1.1. Persentase Imam Berdasarkan Usia ... 59

4.1.2.Persentase Imam Berdasarkan Lama Bertugas ... 59

4.2. Hasil Penelitian ... 60

4.2.1. Persentase Motif Prososial Imam... 60

4.2.2. Profil Motif Prososial Imam ... 61

4.3. Pembahasan... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

5.1. Kesimpulan ... 67

5.2. Saran... 67

Daftar Pustaka ... 70

Daftar Rujukan ... 71 Lampiran


(7)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1. Kerangka Pemikiran ... 20 Bagan 3.1. Prosedur Penelitian ... 49


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Indikator Alat Ukur... 55

Tabel 4.1. Persentase Imam Berdasarkan Usia ... 69

Tabel 4.2. Persentase Imam Berdasarkan Lama Bertugas ... 60


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Fungsi Imam

Lampiran 2 : Visi Misi dan Sejarah Keuskupan “X” Kota “B” Lampiran 3 : Alat Ukur

Lampiran 4 : Tabel Data Penunjang Lampiran 5 : Tabel Data Sekunder

Lampiran 6 : Tabel Motif Prososial per Cerita Lampiran 7 : Profile Motif Prososial Imam


(10)

LAMPIRAN 1 : FUNGSI PARA IMAM

1. Pelayan Sabda Allah

Para Imam mempunyai kewajiban terhadap semua orang, ntuk menyampaikan kebenaran Injil kepada mereka, sehingga mereka bergembira dalam Tuhan. Entah para Imam mempunyai cara hidup yang baik ditengah-tengah masyarakat dan mengajak mereka memuliakan Allah atau dengan pewartaan yang terbuka menyiarkan misteri Kristus kepada kaum tak beriman, atau memberikan katekese kristiani atau menguraikan ajaran Gereja, atau mereka berusaha mengkaji masalah persoalan aktual dalam terang Kristus, selslu merupakan tugas mereka; mengajarkan bukan kebijaksanaan mereka sendiri, melainkan sabda Allah. Hendaknya janganlah menguraikan Sabda Allah secara Umum dan abstrak saja, melainkan dengan menerapkan kebenaran Injil yang kekal pada situasi hidup yang kongkrit.

2. Pelayan Sakramen-sakramen dan Ekaristi

Allah, satu-satunya yang Kudus dan menguduskan, berkenan mengikutsertakan manusia sebagai rekan serta pembantu-Nya, untuk dengan rendah hati melayani karya pengudusannya. Maka para Imam, dengan pelayanan Uskup mereka secara istimewa ikut menghayati Imamat Kristus, dan dalam merayakan Ekaristi bertindak sebagai pelayan Dia, yang dalam Liturgi tiada hentinya melaksanakan semua Sakramen.


(11)

Para Imam mengajar umat untuk dalam Korban Ekaristi mempersembahkan Korban ilahi kepada Allah Bapa, dan bersama dengan-Nya mengorbankan hidup mereka sendiri. Dengan semangat Sang Gembala para Imam mengajar mereka untuk dengan hati remuk redam. Para Imam mengajar umat untuk berperan serta dalam perayaan dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Selanjutnya para Imam mengajar umat beriman, untuk sepenuh hati bernyanyi bagi Tuhan dengan kidung-kidung serta lagu-lagu rohani, sambil senantiasa mengucap syukur kepada Allah Bapa atas segala sesuatu demi nama Tuhan kita Yesus Kristus.

Para Imam juga memimpin ibadat-ibadat harian pada jam-jam tertentu, dengan ibadat itu mereka memanjatkan doa-doa kepada Allah atas nama Gereja, bagi segenap jemaat yang dipercayakan kepada mereka, bahkan bagii seluruh dunia.

Hendaknya para Imam berusaha mengembangkan dengan tepat pengetahuan dan kesenian Liturgi, supaya berkat pelayananliturgis mereka, oleh jemaat-jemaat kristiani yang dipercayakan kepada mereka, dipersembahkan pujian yang semakin sempurna kepda Allah, Bapa dan Putera dan Roh Kudus.

3. Pemimpin Umat Allah

Sementara para Imam, sesuai dengan tingkat partisipasi mereka dalam kewibawaan, menunaikan tugas Kristus.sebagai Kepala dan Gembala, mereka atas nama Uskup menghimpun keluarga Allah sebagai rukum persaudaraan yang sehati sejiwa, dan melalui Kristus mengantarnya dalam Roh menghadap


(12)

Allah Bapa. Untuk menjalankan pelayanan itu, seperti juga untuk tugas-tugas imam lainnya, dikurniakan kuasa rohani, yang diberikan untuk membangun umat.


(13)

LAMPIRAN 2 : VISI MISI DAN SEJARAH SERTA KARAKTERISTIK UMAT DI KEUSKUPAN “X” KOTA “B”

„ Visi Keuskupan “X” Kota “B”

Membangun Komunitas Umat Beriman pada Yesus Kristus yang bersatu dengan Masyarakat.

„ Misi Keuskupan “X” Kota “B”

Menjadi orang Katholik yang Dewasa dan Mandiri dengan menyebarkan Cinta Kasih kepada sesama melalui perbuatan, perkataan dan pikiran.

„ Sejarah Keuskupan “X” kota “B”

Keuskupan adalah bagian dari umat Allah, yang dipercayakan kepada Uskup untuk digembalakan dengan kerjasama para imam, sedemikian sehingga dengan mengikuti gembalanya dan dihimpun olehnya dengan Injil serta Ekaristi dalam Roh Kudus, membentuk Gereja partikulir, dalam mana sungguh-sungguh terwujud dan berkarya Gereja Kristus yang satu, kudus, katolik dan apostolik.

Sekalipun agama Katolik masuk ke Indonesia pada awal abad ke-7 dan sebuah misi Fransiskan telah nampak berkarya di kepulauan Maluku pada tahun 1522, namun awal misi Katolik di Indonesia dianggap jatuh pada tahun 1534 ketika Kolano (kepala) Mamuya di Moro (Halmahera Utara) mendatangi seorang misionaris awam bernama Gonsalo Veloso untuk meminta perlindungan dari gangguan orang-orang Islam di kampung sekitarnya. Setelah memperoleh


(14)

perlindungan Portugis di Ternate, Kolano tersebut minta untuk dipermandikan. Tindakannya ini diikuti oleh sejumlah penduduk dari Moro. Inilah awal dari perkembangan Gereja Katolik di tanah air.

Empat tahun kemudian agama Katolik mulai masuk ke kepulauan Ambon, dimana St. Fransiskus Xaverius pada tahun 1546 telah mengajar di tujuh kampung. Karya-karyanya dilanjutkan oleh pater-pater Jesuit dan agama Katolik makin menyebar hingga ke Sulawesi Utara.

Pada akhir abad ke-16 Gereja Katolik di Indonesia makin banyak menghadapi tantangan. Banyak sekolah dan gereja yang dihancurkan serta orang-orang Katolik banyak yang dikejar-kejar dan dibunuh. Kedatangan VOC pada tahun 1605 makin memperburuk keadaan misi. Banyak kampung-kampung Katolik yang dihancurkan. Pada masa kekuasaan VOC (1619-1790) umat Katolik tidak diberi hak hidup. Para imam dikejar dan diusir, umat beriman ditekan supaya pindah agama. Hanya beberapa kampung di NTT yang berpusat di Larantuka yang dapat terus bertahan.

Pada April 1808 tibalah dua orang misionaris pertama di pulau Jawa. Mereka adalah imam-imam praja prefek apostolik Pater Nellisen dan Pater Prinsen. Semenjak tahun ini orang Katolik boleh melaksanakan ibadat secara terbuka dan diizinkan untuk mengajar agama. Pada tanggal 10 April 1808 dirayakan misa kudus pertama dalam suasana bebas dan tanpa rasa takut. Kapel pertama dibuka di gang Kenanga Utara di daerah Senen, Jakarta.

Uskup pertama yaitu Vikaris Apostolik J. Grooff mendarat di Jakarta, Semarang dan Surabaya pada tahun 1845. Pada 9 Juli 1859 para pater Jesuit yang


(15)

pertama kali tiba di Indonesia menggantikan para imam praja. Mereka adalah M. v. d. Elzen SJ dan J. Palinck SJ. Di Jawa Tengah, Romo van Lith berhasil mempermandikan sekelompok penduduk pegunungan Kalibawang di Sendangsono. Pada akhir abad ke-19 inilah Gereja Katolik mulai masuk di daerah Jawa Barat.

Sejarah munculnya Gereja Katolik di Keuskupan “X” diawali dengan masuknya misi Katolik di daerah Cirebon pada tahun 1878. Hal ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari peranan Pastor J. Palincks, SJ yang melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Jawa Barat, termasuk Cirebon. Pada tahun 1878 dibentuk stasi Cirebon yang dalam penggembalaannya menjadi bagian dari Vikariat Apostolik Batavia (Jakarta). Selang beberapa waktu kemudian, Pastor A. v. Moorsel1 ditugaskan sebagai pastor di Cirebon. Beliau mulai bertugas di Stasi Cirebon pada tanggal 21 Februari 1878. Karena pada waktu itu stasi Cirebon belum memiliki gedung gereja maupun pastoran, Louis Theodorus Gonsalves, putera seorang pemilik pabrik gula, berinisiatif untuk membeli sebidang tanah di desa Lemawoengkoek. Kemudian, di tanah tersebut dibangun sebuah gereja yang kokoh dan peresmiannya dilakukan oleh Mgr. A. Claessens pada tanggal 10 November 1880. Gereja yang berlindung di bawah nama “Santo Yosef” ini merupakan gereja pertama di Keuskupan”X”.


(16)

Sementara itu, pada tahun 1884, jalur kereta api Batavia – Bandung dibuka sehingga hubungan Bandung dengan Batavia (Jakarta) menjadi lebih mudah.2 Bandung yang merupakan ibu kota karesidenan Priangan berkembang menjadi lebih ramai. Namun, pada waktu itu, kota “B” belum memiliki pelayan umat Katolik sendiri. Untuk melayani umat Katolik di kota “B”, didatangkan pastor dari stasi terdekat yaitu stasi Cirebon. Maka, mulai dipikirkan untuk mempersiapkan pelayanan umat secara tetap di kota “B”. Di bawah pimpinan Pastor Ch. Smets, mulai dibangun sebuah gereja dilengkapi dengan pastoran kecil di sampingnya. Gereja dengan ukuran 8 x 21 meter persegi tersebut terletak di

Schoolweg (sekarang Jl. Merdeka, di lokasi Gedung Bank Indonesia), berdekatan

dengan gudang kopi milik pemerintah kolonial Belanda (sekarang Komplek Balai Kota).3 Pada tanggal 16 Juni 1895, gereja dengan nama “St. Franciscus Regis” ini diberkati oleh Mgr. W. Staal. Inilah gereja pertama di Kota “B“

Kota “B“ semakin berkembang. Bahkan, sejak 1 April 1906 berhak untuk menyelenggarakan pengelolaan kota sendiri karena memperoleh status gemeente (setingkat kotamadya). Kota Bandung mulai berbenah. Pada tanggal 13 Februari 1907, pemerintah mengeluarkan surat keputusan yang intinya memisahkan Priangan dari distrik Cirebon. Maka, kota Bandung ditetapkan menjadi stasi baru di Jawa Barat. Pastor J. Timmers dari Cirebon yang sudah menetap selama 4 tahun di kota “B“ ditugaskan untuk melayani umat “B“ dengan dibantu oleh Pastor F. v. Santen.


(17)

Dalam penyelenggaraan gereja selama empat tahun berikutnya, jumlah umat ternyata semakin meningkat. Umat yang hadir dalam perayaan ekaristi mencapai jumlah 260 - 280 orang. Pada waktu itu, jumlah umat di Bandung sendiri sudah mencapai lebih dari 1800 orang. Pada tahun 1911, gereja St. Franciscus Regis diperluas sepanjang 8 meter karena sudah tidak dapat menampung umat yang semakin banyak. Namun, kendati sudah diperluas, gereja tersebut masih belum cukup untuk menampung umat. Mengingat perkembangan umat yang sedemikian pesat, dibutuhkan adanya bangunan gereja baru yang lebih besar. Sebagai lokasi gedung gereja baru, dipilih sebuah lahan bekas peternakan di sebelah timur Gereja St. Franciscus Regis. Sebagai perancangnya, dipilih seorang arsitek berkebangsaan Belanda bernama Ir. C.P. Wolff Schoemaker. Pembangunan gedung gereja yang baru dilaksanakan sepanjang tahun 1921. Di sebelah gereja, sekaligus dibangun juga sebuah pastoran. Setelah pembangunan selesai, gereja tersebut diberkati oleh Mgr. Luypen pada tanggal 19 Februari 1922 dan dipersembahkan kepada Santo Petrus. Gereja dan pastoran lama (Gereja St. Franciscus Regis) difungsikan sebagai gedung perkumpulan sosial Katolik (KSB). Dengan adanya Gereja St. Petrus, umat Katolik Bandung mempunyai tempat yang lebih luas dan mendukung untuk perayaan ekaristi. Sayangnya, beberapa tahun kemudian di sebelah selatan komplek gereja ini dibangun rel kereta api sehingga misa seringkali terganggu oleh deru mesin kereta api.

Seiring dengan perkembangan jumlah umat, berbagai bidang pelayanan mulai mendapat perhatian dari pihak gereja. Karya di bidang pendidikan, pertama kali dirintis oleh suster-suster Ursulin yang datang di kota Bandung pada tanggal


(18)

1 Januari 1906. Mereka mendirikan sekolah Taman Kanak-Kanak (TKK) dan sekolah Kepandaian Puteri di Jl. Merdeka. Beberapa bulan kemudian, masih di komplek tersebut, didirikan sekolah dasar “Santa Ursula” dengan 125 orang siswi. Dalam perkembangannya nanti, di komplek ini didirikan juga sekolah HBS “St. Angela” (1921)4 “Santa Angela” pada awalnya merupakan sekolah Katolik putri. Pada tahun 1924, tidak jauh dari komplek Santa Angela, tepatnya di Jl. Jawa (di belakang gereja St. Petrus), dibangun sekolah Katolik putra dengan nama “St. Berchman” (kini menjadi SD “St. Yusup”).5 Tahun 1931, sebuah MULO Katolik di Jl. Sultan Agung (kini menjadi Sekolah “Aloysius”) diberkati oleh Pastor J.H. Goumans OSC. Sekolah ini ditangani oleh bruder-bruder Aloysius dari Oudenbosch yang mulai berkarya di kota “B“ pada tahun 1930.

Karya di bidang kesehatan dirintis oleh suster-suster Carolus Borromeus dengan mendirikan sebuah rumah sakit dengan nama Rumah Sakit “St. Borromeus”. Rumah sakit yang merupakan pengembangan dari sebuah klinik milik dr. Merz ini secara resmi dibuka dan diberkati oleh Pastor P. Muller pada tanggal 18 September 1921. Sementara itu, untuk mendukung pelayanan di bidang sosial, pada tanggal 7 September 1929 didirikan Yayasan Camilus. Yayasan ini secara khusus menangani sebuah asrama yatim piatu di Cicadas.

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa misi Katolik di wilayah Keuskupan “X”, pada awalnya dirintis oleh pastor-pastor Yesuit.6 Namun, sejak tahun 1926, sebagian dari Vikariat Batavia dialihkan kepada Ordo Salib Suci.


(19)

Ordo Salib Suci memperoleh ius commissionis dari Tahta Suci untuk memperkembangkan umat di Priangan, Cirebon, dan Karawang agar di kemudian hari menjadi keuskupan tersendiri.7 Luas daerah ini sekitar 24.449 km2. Pada tanggal 6 Februari 1927, tiga imam Salib Suci yaitu J.H. Goumans OSC, M. Nillesen OSC, dan J. de Rooy OSC, tiba di pelabuhan Tanjung Priok. Tiga hari kemudian, terjadi serah terima antara para pastor Yesuit dengan ketiga pastor Salib Suci tersebut. Namun demikian, beberapa imam Yesuit masih akan tinggal di Bandung untuk membantu. Pastor J.H. Goumans OSC yang pada waktu itu bertindak sebagai missionaris superior (pemimpin misionaris) sekaligus diangkat menjadi pastor kepala Bandung.

Pelayanan di kota “B” dan sekitarnya semakin berkembang, meliputi sekolah, balai kesehatan, rumah sakit, rumah yatim piatu, dan lain-lain. Oleh karena itu, pada tanggal 20 April 1932, karya misi di Bandung diangkat statusnya menjadi sebuah Perfektur Apostolik. Sebulan kemudian, ada berita dari Roma yang mengabarkan bahwa Pastor J.H. Goumans, OSC diangkat sebagai Perfek Apostolik. Pelantikan Mgr. J.H. Goumans sebagai Perfek Apostolik Bandung dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 1932. Karya misi di kalangan pribumi menunjukkan kemajuan yang pesat. Berbagai sekolah dibangun, antara lain di Majalengka, Cicalengka, Subang, Cimahi, Cihaurgeulis (St. Melania), dan Pamanukan. Kemajuan dalam bidang pendidikan tersebut semakin pesat karena didukung oleh kedatangan suster Penyelenggaraan Ilahi (1934) dan suster-suster Dominikanes (1934) yang memang berkarya di bidang pendidikan.


(20)

Sejak “B” berstatus sebagai Perfektur Apostolik, beberapa paroki baru mulai didirikan. Tanggal 31 Juli 1934 didirikan paroki “Bunda Tujuh Kedukaan” di Jalan Pandu, sebagai paroki ketiga di kota “B”. Berikutnya, didirikan juga paroki “St. Odilia” di Cicadas (1937), paroki “St. Paulus” di Bandung Selatan (1938). Pada tanggal 16 Oktober 1941, Perfektur Apostolik Bandung ditingkatkan statusnya menjadi Vikariat Apostolik “B” dan Mgr. J.H. Goumans diangkat menjadi uskup. Karena situasi yang tidak memungkinkan yaitu dengan adanya pendudukan Jepang di Indonesia, konsekrasi atas Mgr. J.H. Goumans baru bisa dilaksanakan pada tanggal 22 April 1942.

Selama pendudukan Jepang, gereja mengalami masa-masa sulit. Mulai tanggal 17 Juli 1943, sebagian besar misionaris berkebangsaan Belanda yang tinggal di Vikariat Bandung harus masuk kamp tawanan Jepang. Vikariat Apostolik Bandung yang baru berumur beberapa bulan terpaksa harus kehilangan gembala. Satu-satunya pastor yang tidak ditawan adalah Pastor H. Reichert.8 Maka, tugas penggembalaan dan pemeliharaan umat Katolik di Vikariat Bandung terletak di pundak beliau. Selama bertahun-tahun, Pastor H. Reichert memikul tanggung jawab berat untuk mempertahankan nasib gereja Katolik, khususnya Vikariat “B”, agar tetap dapat bertahan. Para pastor yang ditahan baru dapat bertugas kembali setelah Jepang kalah perang dan kemerdekaan Indonesia diproklamirkan.


(21)

Pada tahun 1947, mulai dipikirkan untuk menyelenggarakan seminari bagi calon-calon imam pribumi.9 Sebuah bangunan di komplek Cicadas (di sebelah rumah sakit) digunakan sebagai seminari. Tanggal 19 Oktober 1947, bangunan tersebut diresmikan dan mulai dihuni oleh 4 orang seminaris yaitu: L. Oejoed, v. Aken, Gani, dan Paulus Saida. Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 29 Maret 1948, salah seorang dari seminaris tersebut, L. Oejoed, ditahbiskan menjadi imam diosesan pertama di Vikariat Apostolik ”B”. Sejak tanggal 20 September 1948, seminari tinggi dan seminari menengah secara resmi dibuka dengan seminaris sebanyak 8 orang. Di kemudian hari, pada tanggal 1 Agustus 1957, diadakan pemisahan seminari. Karena besarnya jumlah seminaris, Seminari Tinggi dipindahkan ke Jl. Pandu dengan presiden Pastor J. Dohne. Sementara itu, Seminari Menengah tetap menempati bangunan lama di Cicadas.

Pada tanggal 8 Oktober 1950, karena kesehatan yang semakin memburuk (sakit jantung), Mgr. J.H. Goumans meninggalkan kota “B” untuk menjalani perawatan di Belanda. Permohonan beliau untuk berhenti sebagai Vikaris Apostolik dikabulkan oleh Paus. Sebagai pengganti Mgr. J.H. Goumans, pada tanggal 18 Januari 1952, Pastor P. M. Arntz, OSC ditunjuk oleh Tahta Suci untuk menjadi uskup baru. Di bawah penggembalaan uskup yang baru, karya pelayanan di bidang pendidikan semakin mendapat perhatian. Salah satu jasa terbesar Mgr. P.M. Arntz adalah ketika beliau bersama dengan Mgr. Dr. N.J.C. Geise, OFM (Vikaris Apostolik Bogor) memprakarsai didirikannya Perguruan Tinggi


(22)

Parahyangan (kelak menjadi Universitas Katolik Parahyangan) pada tanggal 17 Januari 1955.10

Pada tanggal 3 Januari 1961, bersama dengan semua Vikariat/Perfektur Apostolik di Indonesia, Vikariat Apostolik “B” ditingkatkan statusnya menjadi Keuskupan (Diosesan) Sufragan dari Propinsi Gerejawi Jakarta. Sejak saat itu, Keuskupan Bandung diakui sebagai wilayah gerejani yang mandiri dan pengaturan penggembalaannya secara penuh berada di bawah kewenangan Mgr. Petrus Marinus Arntz, OSC selaku Uskup Diosesan pertama.11

Pada tahun 1964, terjadi “Peristiwa Cigugur” yang sangat berpengaruh bagi perkembangan umat Katolik di Keuskupan “B”. Pangeran Tejabuana Alibassa, selaku pimpinan Agama Djawa Sunda (ADS) yang berpusat di Cigugur, Kuningan, secara resmi membubarkan organisasi yang dipimpinnya. Pembubaran tersebut sekaligus disertai dengan kesediaan pimpinan ADS untuk menjadi anggota Gereja Katolik. Keputusan pimpinan ADS untuk masuk Gereja Katolik itu kemudian diikuti oleh sebagian besar pengikutnya. Ada lebih dari 5000 orang pengikut ADS – tersebar di Kabupaten Kuningan, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Subang, Kodya dan Kabupaten “B”– mendaftarkan diri ke Gereja terdekat. Sejak bulan Januari 1965, gereja secara resmi diperbolehkan untuk memulai pelayanan di Cigugur. Permandian kelompok pertama umat eks ADS dilakukan pada tanggal 7 Oktober 1965 di gereja Cigugur.

Sampai menjelang usianya yang ke 75 ini, Gereja di Keuskupan “B” telah dipimpin oleh tiga orang uskup: Mgr. J.H. Goumans, OSC (1932 – 1951), Mgr.


(23)

Petrus Marinus Arntz, OSC (1952 – 1984, dan Mgr. Alexander Djajasiswaja, Pr (1984 – 2006). Mgr. Alexander Djajasiswaja, Pr menggembalakan umat di Keuskupan Bandung selama lebih dari 21 tahun sampai dengan wafatnya pada tanggal 19 Januari 2006.

„ Karakteristik umat Keuskupan “X” kota “B”

Umat Katolik Keuskupan “B“ adalah umat yang sedikit dalam jumlah dan muda di dalam usia. Jumlah umat Katolik hanya sekitar 98.712 orang di tengah 39.960.869 penduduk Propinsi Jawa Barat. Sebagian besar umat Katolik Keuskupan “X” tinggal di kota “B”. Di Kota “B”, jumlah umat ada 50.964 orang yang tersebar di dalam 10 Paroki di Kodya, 2 Paroki di Kabupaten “B” (7.725 orang), dan 1 Paroki di Kotib Cimahi (7.925 orang). Hanya paroki Cigugur yang dapat digolongkan paroki desa. Keuskupan Bandung terdiri dari 23 Paroki. Dari 23 paroki yang ada, 4 Paroki bahkan hanya memiliki jumlah umat dibawah 1000 orang.

Dari data di atas tampak jelas bahwa umat Katolik tinggal di dalam kelompok-kelompok kecil yang tersebar. Selain tersebar dari sudut tempat tinggal, umat Katolik juga tersebar dalam berbagai macam pekerjaan. Di satu tempat pekerjaan hanya ada sedikit orang Katolik sehingga senantiasa dituntut untuk dapat bergaul dengan orang lain yang berbeda.

Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa umat katolik hidup di tengah-tengah saudara-saudara sesama warga masyarakat Jawa Barat yang beragama Islam. Pemahaman dan dialog dengan saudara-saudara muslim menjadi


(24)

sangat penting dan tidak dapat diabaikan. Hal ini secara langsung menuntut umat katolik untuk terus menerus belajar menempatkan diri menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Jawa Barat.

Umat Katolik Keuskupan “X” muda dalam usia. Selain umat pendatang, umat kelahiran Jawa Barat pada umumnya belum terlalu lama menjadi Katolik. Banyak umat yang menerima pembaptisan dewasa. Kenyataan ini dapat dilihat dari tingginya jumlah baptisan dewasa yang terjadi di paroki-paroki di Keuskupan “X”.

Dari segi sosio-kultural, walaupun Gereja Keuskupan Bandung berada di tatar Parahyangan tidak otomatis umatnya juga monokultur. Ada dua sub-kultur besar di dalam masyarakat Jawa Barat di wilayah Keuskupan “X”. Dua sub-kultur besar itu adalah masyarakat Sunda dan masyarakat Pantai Utara (Indramayu, Cirebon, dan sekitarnya). Dari sub-kultur kesundaan, Sunda sendiri terdiri dari: orang Sunda asli (USA, Urang Sunda Asli) dan kelahiran Sunda (anak dari para pendatang. Misal: berbagai etnis di Indonesia maupun Tionghoa). Dua sub-kultur besar ini tentu mempunyai kebudayaan dan mentalitas yang khas.12

Umat Katolik Keuskupan “X” hanya mempunyai sekitar 7 ribu umat yang asli Sunda. Kecilnya kuantitas umat Sunda ini membawa dampak bagi image Gereja Keuskupan “X” di mata masyarakat. Gereja Keuskupan “X” masih sering dilihat sebagai sosok yang asing. Gerak pelayanan Gereja melalui bidang pendidikan dan kesehatan ternyata belum mampu mengubah gambaran Gereja di mata masyarakat, khususnya masyarakat biasa. Gambaran atau wajah Gereja ini


(25)

menjadi keprihatinan tersendiri. Hal ini cukup berpengaruh dalam gerak dinamika dan perkembangan hidup menggereja.

„ Perkembangan hidup menggereja di Keuskupan “X” kota “B”

Untuk mengetahui dinamika kehidupan, kita akan melihat simpul-simpul peziarahan Gereja di tlatah Sunda selama tiga puluh tahun ini. Selama kurun waktu itu, ada empat simpul langkah yang harus kita cermati

Simpul pertama, dirumuskan dalam “Pedoman Kerja Pastoral Keuskupan Bandung”. Buku kerja ini dikeluarkan oleh Mgr. Petrus Marinus Arntz OSC pada tanggal 21 Januari 1980. Sesuai dengan namanya, pedoman ini ditujukan kepada ‘para pastor’. Inilah tolok ukur kebijakan pastoral yang berlaku di seluruh Keuskupan ”X”. Setelah dikeluarkannya Pedoman Kerja, pada tahun 1989-1990 Sinode Keuskupan dilaksanakan. Dalam sinode ini, seluruh umat merenungkan tema ”Menggereja di Tanah Pasundan, Menyongsong abad XXI”. Dari permenungan ini, muncullah kesadaran bahwa kita (Umat Keuskupan “X”) adalah warga masyarakat Jawa Barat, dan bahwa Gereja kota “B” adalah bagian dari Tatar Sunda. Kesadaran bersama ini tidak lain adalah benih bagi lahirnya suatu pedoman umat. Atas desakan umat, pada bulan November 1994, hadirlah “Menjadi Ragi dalam Dunia, Sehati Sejiwa Bersama Masyarakat” sebagai Buku Pedoman Umat Katolik Keuskupan Bandung.

Simpul kedua, dirumuskan dalam “Menjadi Ragi dalam Dunia, Sehati Sejiwa bersama Masyarakat (disebut “Buku Kuning”). Dalam “Buku Kuning” dinyatakan bahwa Gereja “sungguh ingin memahami permasalahan dan


(26)

tantangan yang dihadapi masyarakat Jawa Barat, mengingat letak dan peranan Jawa Barat yang strategis bagi Indonesia. Gereja sangat menyadari perannya bagi masyarakat, yaitu “menjadi ragi”. Keterlibatan Gereja dalam kehidupan bermasyarakat mendapat penekanan. Kesadaran yang dibangun adalah panggilan untuk menjadi ragi dan merasa senasib dengan masyarakatnya. Hal itu menjadi pondasi dasar sekaligus awal bagi pengembangan reksa pastoral keuskupan.

Simpul ketiga dirumuskan dalam “Menuju Gereja Yang Lebih Hidup”. Dalam buku pedoman tersebut, Gereja berani keluar dan merasakan kegembiraan dan harapan masyarakat kota “B” sebagai kegembiraan dan harapan umat Katolik. Hal ini berarti bahwa gerak kehidupan Gereja tidak hanya berputar di sekitar altar; sebaliknya, berani keluar dan masuk dalam kehidupan masyarakat. Dinamika hidup Gereja ini diungkapkan dalam ungkapan: “bagai

madu dalam taman-hadi”. Bapak Uskup, Mgr. A. Djajasiswaja mengungkapkan

bahwa “Gereja Yang Lebih Hidup” dapat diungkapkan dan dilaksanakan dalam wajah Gereja yang “terlibat, bergairah, murah hati dan peduli” dengan masyarakat. Wajah itu dapat dilaksanakan dengan membangun sebuah komunitas manusia yang “bertangan, beriman, berhati, dan berbudi”. Ungkapan tersebut menjadi tanda keseriusan Gereja Umat Allah dalam menjalani peziarahan hidupnya. Gereja senantiasa mencari satu arah dalam suatu masa tertentu. Gereja selalu memperbaharui diri sesuai dengan perkembangan situasi dan zaman. Gereja tidak menjadi institusi yang beku dan diam, tetapi sungguh hidup dan bergerak.


(27)

Simpul keempat dinyatakan dalam “Gereja Yang Lebih Mandiri, Terbuka, Terlibat, dan Solider”. Pedoman ini semakin melihat kenyataan bahwa komunitas manusia menjadi strategi pastoral. Dengan demikian, Komunitas Basis menjadi bentuk pastoral yang memberikan ruang partisipasi kepada umat. Arah dasar pastoral adalah kerasulan awam. Dalam komunitas-komunitas, peran umat lebih bisa dioptimalkan.

Dengan demikian, peziarahan dan dinamika Gereja Keuskupan “X” mulai dirumuskan bersama pada tahun 1994. Ini menjadi sebuah langkah awal bagi Gereja Keuskupan Bandung untuk merumuskan identitas dan perannya di dalam masyarakat Jawa Barat. Selama 75 tahun, Gereja Keuskupan Bandung sudah mencoba merumuskan kehadiran dirinya di tengah dunia: masyarakat Jawa Barat. Seluruh simpul-simpul tersebut merupakan tapak-tapak konkret bagi cara

menggereja di tlatah Sunda. Dengan jelas, Mgr. A. Djajasiswaja. meletakkan dinamika kehidupan menggereja ini. Tahun 1985 kuesioner pra-Sinode Para Uskup 1987 berbicara tentang perutusan kaum awam dalam Gereja dan Dunia. Akhir 1985, Sinode Luar Biasa (untuk mengenang 20 tahun Konsili Vatikan II) menghasilkan pemahaman Gereja sebagai communio. Pada tahun 1987, Sinode Para Uskup memahami Gereja sebagai a dynamic communion of communities. Tahun 1990, FABC (Federation of Asian Bishops’ Conference) mencetuskan a

new way of being church. FABC menekankan dua hal: peran awam dan pentingnya komunitas-komunitas.

Gagasan dasar inilah yang terus-menerus direnungkan dan direfleksikan dalam simpul-simpul peziarahan Gereja. Dalam praksis pastoral, di Keuskupan


(28)

“X” telah bermekaran komunitas teritorial (lebih dari 500 komunitas). Dari sekian banyak komunitas, harus diakui bahwa kebanyakan masih sekedar basa-basi; artinya, kualitas dan intensitas komunitas masih harus ditingkatkan. Walaupun demikian, kesadaran peran umat dan pentingnya komunitas telah menjadi arah pastoral. Pemberdayaan umat dalam komunitas-komunitas akan menampilkan wajah Gereja yang lain, apalagi bila merasuki masyarakat.13

Untuk mendukung semua praksis pastoral di Keuskupankota “X”, dibentuklah berbagai komisi yang berada dalam satu atap di Gedung Karya Pastoral Keuskupan “X”. Selain menjadi pusat kegiatan pastoral Keuskupan “X” juga menjadi pusat kegiatan tingkat keuskupan seperti; seminar, pertemuan, kursus, atau berbagai acara lainnya. Gedung ini juga dilengkapi dengan berbagai sarana penunjang seperti; ruang aktivitas komisi dan lembaga “Panti Karya”, ruang perpustakaan “ Bale Pustaka”, ruang pertemuan, hingga auditorium “Paseban Utama” dan ruang doa “Panti Samadi”.


(29)

LAMPIRAN 5 ALAT UKUR

Nama : No:

Paroki : Umur : Lama bertugas :

„ Selama ini saudara terlibat dalam kegiatan sosial

... ... ... ...

„ Saudara selama ini pernah bertugas dimana saja

... ... ...

„ Hal yang paling mendorong saudara untuk menjadi seorang biarawan adalah ... ...

„ Siapa Tokoh yang paling anda kagumi dalam hidup Saudara ? Mengapa ... ...

... ...

Jawaban pertanyaan di bawah ini sesuai dengan keadaan diri Saudara. Berilah tanda silang (x) pada a, bila sesuai dengan keadaan diri saudara. Berilah tanda silang (x) pada b, bila tidak sesuai dengan keadaan diri saudara. Saudara juga dapat memilih huruf c dan mengisi kata yang sesuai dengan pernyataan tersebut dengan diri saudara.


(30)

1. Pada saat tetangga akan melakukan acara, orang tua saya akan turut membantunya.

a. Ya b. Tidak c. ...

2. Teman akan menegur saya bila saya bersikap tidak peduli terhadap orang yang butuh bantuan saya.

a. Ya b. Tidak c. ...

3. Orang tua saya akan menegur bila saya tidak membantu teman yang butuh bantuan.

a. Ya b. Tidak c. ...

4. Pengajar ketika saya di seminari menegur saya bila tidak menolong teman yang butuh bantuan saya.

a. Ya b. Tidak c. ...

5. Teman memuji saya bila saya membantu orang yang sedang berkesusahan a. Ya

b. Tidak c. ...

6. Orang tua saya memuji bila saya menolong orang yang sedang berkesusahan

a. Ya b. Tidak c. ...

7. Sesama Imam akan saling membantu saat menghadapi kesulitan a. Ya


(31)

b. Tidak c. ...

8. Pengajar ketika saya di seminari sering mengingatkan saya untuk mau membantu orang lain yang sedang dalam kesusahan.

a. Ya b. Tidak c. ...

9. Pada saat saya mengalami kesulitan, teman saya datang membantu saya. a. Ya

b. Tidak c. ...

Pada halaman berikut ini terdapat sejumlah cerita. Bayangkanlah Saudara sebagai pelaku utama dalam cerita tersebut, yaitu A. Hayatilah situasi dan kondisi dimana A berada, kemudian pilihlah jawaban yang sesuai dengan keadaan Saudara. Setiapkali pilihan Saudara, hendaklah didasarkan pada keadaan diri Saudara dan jangan didasarkan atas apa yang Saudara anggap wajar. Disetiap cerita ada tiga (3) buah kemungkinan jawaban.

Pilihlah satu jawaban yang paling sesuai dengan keadaan diri Saudara, yaitu 1 atau 2 atau 3, dengan cara melingkari angka yang ada di depan pilihan jawaban Saudara. Tidak ada jawaban yang salah, semuanya benar bila sesuai dengan keadaan diri Saudara.

Contoh:

A seorang Imam. Ia dimintai bantuan oleh seorang umat untuk menjelaskan apa yang dimaksud keselamatan bagi orang Katholik. Pada saat bersamaan datang temannya yang berkunjung ke biara imam A dan mengajak A untuk melakukan hobi A yaitu memancing. A menolak menjelaskan arti keselamatan dan memilih pergi memancing bersama temannya.

A melakukan hal tersebut, karena :


(32)

2. Kapan lagi bermain dengan temannya, karena A sibuk 3. tidak enak menolak ajakan temannya, umat kan bisa menunggu.

Bila saudara memandang bahwa alasan A melakukan hal tersebut karena ingin memancing, dan kebetulan A hobi memancing, maka saudara melingkari angka 1. Kami sangat mengharapkan Saudara dapat menjawab setiap pernyataan yang diajukan dan mohon semua nomor diisi, jangan ada yang terlewati.

Terima kasih

Silahkan lanjut ke halaman berikutnya

A seorang Imam yang ingin memberikan jam tangan baru kepada orang tuanya yang sebentar lagi akan berulang tahun. Untuk itu ia menyisihkan uang yang dimilikinya agar bisa ditabung untuk membeli hadiah tersebut. Dan ketika waktunya untuk membeli jam tersebut ternyata uang yang dimiliki A kurang, sehingga A memutuskan untuk membeli barang yang sesuai dengan jumlah uang yang dimilikinya. Dan ketika A mau berangkat membeli hadiah untuk orang tuanya, tiba-tiba salah satu umatnya datang dan bercerita mengenai kesulitan untuk membayar uang sekolah anaknya yang sudah tertunda selama tiga bulan karena umat itu di PHK. Bila umat itu tidak bisa melunasi uang sekolah anaknya, anaknya tidak dapat mengikuti ulangan umum. Umat meminta bantuan kepada A. Dan A mengatakan bahwa dia tidak dapat menolong umat tersebut

Kondisi yang menghambat A untuk menolong :

1. A harus menolong umat, tetapi ia tidak memiliki uang untuk membantu.


(33)

2. A menjelaskan bahwa ia pun tidak memiliki uang untuk membantu umat tersebut karena uang A untuk membeli hadiah pun masih kurang. 3. A membutuhkan uang yang ada untuk membeli hadiah

C adalah seorang mahasiswa yang jarang aktif di gereja. C sedang memerlukan wawancara untuk skripsinya mengenai keuskupan Jakarta dan meminta waktu kepada A untuk diwawancarai pada hari ini, karena tugas C harus dikumpulkan besok, sedangkan pada hari ini A sangat sibuk, karena harus mengurus soal ujian di unpar, mempersiapkan sakramen perkawinan dan pengurapan orang sakit dan membuat laporan keuangan paroki yang harus selesai hari ini dan menghadiri rapat ketua lingkungan. Sepulang dari rapat ketua lingkungan A menyediakan waktu untuk membantu C, walaupun sebenarnya ia harus mengorbankan waktu istirahatnya.

A membantu C, karena :

1. Agar A dipandang sebagai orang yang mau membantu umat.

2. Agar C dapat cepat menyelesaikan skripsinya, kasihan juga kalau C tidak lulus-lulus.

3. Sebagai Imam harus siap melayani umatnya.

Y adalah Imam yang biasanya ceria, tetapi hari ini tiba-tiba Y menjadi murung dan A menanyakan kepada Y mengapa hal tersebut bisa terjadi dan ternyata Y baru saja ditinggal meninggal oleh Ayahnya. Y sangat bersedih dan terpukul akibat kejadian tersebut. Y mengungkapkan kegelisahan dan kesedihan hatinya kepada A dan A mendengarkannya dan berusaha menghibur hati Y agar tidak bersedih lagi.

Apa yang diperoleh A jika ia menolong : 1. A ingin dapat melihat Y ceria kembali

2. Sebagai teman, A merasa berguna dalam mengurangi kesedihan bagi Y. 3. Siapa tahu disuatu saat nanti a akan mengalami kesedihan serupa dan

bisa “curhat” kepada Y.

A besok harus memimpin rekoleksi di luarkota, dan seharian ini A merasa ngantuk karena belum sempat beristirahat karena kesibukannya di Gereja. Dan pada saat A hendak menuju kamarnya untuk tidur, A melihat C sedang sibuk sendirian mencari buku mengenai keselamatan.

Apa yang akan dilakukan oleh A:

1. Menanyakan buku apa yang dia cari dan Ikut membantu mencari buku tersebut bersama-sama dengan C


(34)

2. Mengambilkan buku yang ada dikamarnya mengenai keselamatan yang kira-kira dibutuhkan oleh C

3. A akan pamit kepada C untuk tidur duluan, karena A takut pelayanannya besok di rekoleksi tidak maksimal jika A kurang beristirahat

A sedang memimpin tur ke tempat ret-ret di cikanyere, tiba-tiba ketika A sedang berjalan bersama rombongan, ada seorang pengemis meminta sedekah kepada A, dan A mengambil uang disakunya dan memberikan sedekah kepada pengemis tersebut

Kondisi yang mendukung A untuk memberikan sedekah adalah: 1. Pengemis lebih memerlukan uang dibandingkan dirinya

2. Untuk memberikan contoh bagi rombongan bahwa sebagai umat manusia harus saling tolong menolong, tidak hanya teori saja

3. secara moral merasa kasihan

A merasa lapar karena tidak sempat sarapan ketika menghadiri Seminar bahaya Narkoba. Waktu jam istirahat makan siang, A cepat-cepat menuju ruang makan untuk mengambil makanan. P, sesama peserta seminar datang terlambat karena ia harus membereskan catatannya terlebih dahulu. Dan kebetulan makanan yang tersedia telah habis. Saat akan keluar dari ruang makan, P bertemu dengan A yang sedang asyik makan. A menanyakan mengapa P tidak makan, lalu A membagi makanannya kepada P

A melakukan Hal tersebut karena :

1. A mempunyai banyak makanan dan tidak ada ruginya jika berbagi makanan dengan P.

2. Kasihan, P lapar juga.

3. Berbagi makanan adalah hal yang perlu dilakukan.

Seorang teman A tinggal di daerah yang terkena gempa di Bengkulu. A bermaksud menolong temannya tersebut.

Saat menolong temannya, maka A akan :

1. Mencari tahu apa yang dibutuhkan oleh temannya tersebut 2. Menyumbang apa yang ada pada A, seperti uang, pakaian dll

3. Menyumbang barang yang dipikir A akan dibutuhkan temannya tersebut.


(35)

terjatuh dari sepedanya dan menangis karena kakinya terluka. Kondisi jalan disana cukup ramai dengan pedagang dan anggota gereja yang sedang berbelanja. A kemudian menolong anak itu.

Kondisi yang mendukung A untuk menolong adalah :

1. A takut dicap buruk oleh masyarakat jika tidak menolong

2. A akan merasa bersalah jika tidak menolong anak itu

3. Luka anak tersebut perlu dibersihkan, jika tidak akan infeksi.

A sedang asyik mengerjakan hobinya untuk mengisi waktu luangnya. Tiba-tiba Imam T menghampirinya dan mengajak A pergi ke toko buku untuk membeli buku yang segera ingin T baca. Sebenarnya A malas untuk menemani T, tetapi A pergi juga.menemani.

Apa yang diperoleh A jika ia menemani T ke toko buku :

1. Sekalian jalan-jalan untuk mengisi waktu luangnya, kebetulan ada yang menemani.

2. Merasa menjadi berguna bagi T yang sedang membutuhkan teman 3. Menjaga sikap tolong menolong dalam diri A

A sedang mengalami masalah dalam menjalankan tugasnya sebagai pengajar di seminari, karena ada frater yang berkelahi di seminari, dan B juga seorang imam yang sedang mengalami masalah juga, dimana B merasa jenuh dalam melakukan pelayanan. B menceritakan masalahnya dan meminta pendapat A mengenai masalah B, dan A mendengarkannya.

Kondisi yang mendukung A untuk mendengarkan keluh kesah B adalah : 1. siapa tahu bisa saling membantu menyelesaikan masalah, dimana

setelah B “curhat”, A pun bisa curhat juga kepada B.

2. B sekarang lebih membutuhkan bantuan A untuk mengobarkan semangat pelayanannnya lagi

3. Sebagai teman seprofesi, harus saling mendukung dan menguatkan.

A mempunyai teman bernama E. E tidak bisa datang mengajar pelajaran persiapan perkawinan pada calon suami-istri karena harus memberikan sakramen pengurapan orang sakit, sehingga E meminta A untuk menggantikan posisinya untuk memberikan pelajaran tersebut. Di satu sisi A juga belum pernah mengajar persiapan perkawinan dan sedang kesulitan dalam mempersiapkan kotbah untuk besok pagi.

A akan datang karena :

1. Merasa dapat mengajar dengan baik

2. A sudah menyelesaikan semua kesibukannya


(36)

3. Siapa lagi yang akan mengajar jika bukan A

Disaat A sedang bersemangat karena akan pergi ke Roma untuk membawa tur berziarah. A diberi tahu bahwa sebuah keluarga yang dekat dengan A sedang berkabung karena ayahnya meninggal secara mendadak Dan A diminta untuk memimpin upacara penutupan peti oleh keluarganya. Disaat hari yang sama A harus berangkat ke Jakarta karena sudah berjanji dengan petugas kedutaan untuk mengurus pasport dan visa. Dan akhirnya A menolak permintaan keluarga itu. Kondisi yang menghambat A untuk tidak memimpin upacara penutupan peti adalah :

1. A bisa gagal untuk pergi ke Roma jika tidak mendapatkan visa 2. Memimpin upacara penitipan peti bisa dilakukan oleh Imam lain,

sedangkan visa harus diurus sendiri.

3. A merasa tidak enak jika membatalkan janji dengan petugas kedutaan.

Ketika A sedang bersantai, S yang merupakan teman A yang sudah lama tidak bertemu datang dari jauh mengajak untuk pergi makan bareng, karena besok S harus kembali ke tempat asalnya. Tapi pada saat bersamaan A ditelefon dan diminta untuk datang menghadiri pertemuan lingkungan, dan kehadiran A sangat dinantikan. Akhirnya A memilih untuk pergi bersama temannya dan tidak datang ke pertemuan lingkungan.

Kondisi yang menghambat A untuk menghadiri pertemuan lingkungan adalah : 1. Kesempatan untuk bertemu teman lama hanya saat ini, sedangkan

menghadiri pertemuan lingkungan bisa lain waktu 2. Kasihan, teman datang jauh-jauh ditinggal.

3. Ingin melepas kangen dengan teman lama.

Ketika sedang berjalan-jalan A melihat seorang pengemis yang sedang melihat makanan yang dimakan oleh orang di sebuah restoran, dan A merasa tersentuh ingin menolongnya

A akan menolong dengan melakukan hal dibawah ini : 1. A memberikan uang sekedarnya kepada pengemis itu

2. Karena sepertinya si pengemis itu lapar, maka A membelikan makanan dan memberikannya kepada pengemis tersebut.

3. A menghampiri pengemis tersebut dan mengajak pengemis tersebut makan bersamanya.


(37)

titik temu, A unjuk bicara untuk meluruskan dan menyelesaikan perdebatan tersebut.

Apa yang diperoleh A dengan melakukan hal tersebut :

1. Agar anggota lingkungan mengerti dengan benar siapa itu Yesus 2. A bisa cepat pulang dan menyelesaikan tugas yang lain

3. Sebagai Imam, harus dapat menengahi dan memberi pelajaran yang benar tentang Yesus


(38)

LAMPIRAN 4 : TABEL DATA PENUNJANG

L.1. Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Tahap Perkembangan

Tabel L.1.Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Tahap Perkembangan

Dominan Tahap

Perkembangan

(dewasa) Endocentric % Intrinsic %

Endosentric-Intrinsic % Total

Awal 2 33,33 2 33,33 2 33,33 6

Madya 1 6,25 15 93,75 0 0 16

Akhir 1 12,5 7 87,5 0 0 8

L.2. Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Lama Bertugas

Tabel L.2. Motif Prososial Berdasarkan Lama Bertugas

Dominan Lama Endosentric % Intrinsic %

Endosentric-

Intrinsic % Total %

2 - 10 tahun 0 0 8 80 2 20 10 33,33

11 - 20 tahun 2 13,33 13 86,67 0 0 15 50

21 - 30 tahun 0 0 3 100 0 0 3 10

31 - 40 tahun 2 100 0 0 0 0 2 6,67

L.3. Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Tindakan Prososial Orang Tua

Tabel L.3. Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Tindakan Prososial Orang Tua

Dominan Orang tua

melakukan tindakan

prososial Endocentric % Intrinsic %

Endosentric-

Intrinsic % Total %

Ya 4 13,33 23 79,31 2 6,89 29 96,67

Tidak 0 0 1 100 0 0 1 3,33

L.4. Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Teguran Orang Tua

L.4. Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Teguran Orang Tua

Dominan Orang

tua

menegur Endocentric % Intrinsic %

Endosentric-Intrinsic % Total %

Ya 3 17,64 14 82,353 0 0 17 56,67


(39)

L.5. Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Pujian Orang Tua

Tabel L.5. Motif Prososial Para Imam berdasarkan Pujian Orang Tua

Dominan Orang

tua

memuji Endocentric % Intrinsic %

Endosentric-Intrinsic % Total %

Ya 4 16,67 19 79,17 1 4,167 24 80

Tidak 0 0 5 83,33 1 16,66 6 20

L.6. Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Teguran Teman

Tabel L.6. Motif Prososial Para Imam berdasarkan Teguran Teman

Dominan Teman

menegur Endocentric % Intrinsic %

Endosentric-

Intrinsic % Total %

Ya 3 18,75 13 81,25 0 0 16 53,33

Tidak 1 7,14 11 78,57 2 14,28 14 46,67

L.7. Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Pujian Teman

Tabel L.7. Motif Prososial Para Imam berdasarkan Pujian Teman

Dominan Teman

Memuji Endocentric % Intrinsic %

Endosentric-Intrinsic % Total %

Ya 3 12,5 20 83,33 1 4,16 24 80

Tidak 1 16,67 4 66,67 1 16,67 6 20

L.8. Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Tindakan Prososial Teman

Tabel L.8. Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Tindakan Prososial Teman

Dominan Teman

Membantu Endocentric % Intrinsic %

Endosentric-Intrinsic % Total %

Ya 4 17,39 19 82,61 0 0 23 76,67


(40)

L.9. Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Teguran Pengajar

Tabel L.9. Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Teguran Pengajar

Dominan Pengajar

Menegur Endocentric % Intrinsic %

Endosentric-Intrinsic % Total %

Ya 3 14,28 19 82,61 1 4,35 23 76,67

Tidak 1 14,28 5 71,42 1 14,28 7 23,33

L.10. Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Tindakan Prososial Pengajar

Tabel L.9. Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Tindakan Prososial Pengajar

Dominan Pengajar

membantu Endocentric % Intrinsic %

Endosentric,-Intrinsic % Total %

Ya 4 14,81 23 85,18 0 0 27 90

Tidak 0 0 1 33,33 2 66,66 3 10

L.11. Motif Prososial Para Imam Berdasarkan Para Imam diingatkan oleh Pengajar

Tabel L.11. Motif Prososial Parra Imam Berdasaarkan Para Imam Diingatkan Oleh Pengajar

Dominan Pengajar

mengingatkan Endosentric % Intrinsic %

Endosentric-Intrinsic % Total %

Ya 4 13,33 24 80 2 6,67 30 100


(41)

LAMPIRAN 5 NO OT MEMBANTU TEMAN MENEGUR OT MENEGUR PENGAJAR MENEGUR TEMAN MEMUJI OT MEMUJI

SESAMA IMAM MEMBANTU

PENGAJAR MENGINGATKAN

TEMAN MEMBANTU

1 YES NO NO NO NO NO NO YES NO

2 YES YES YES YES YES YES YES YES YES

3 YES NO YES NO YES YES YES YES YES

4 NO YES NO YES YES YES NO YES NO

5 YES YES NO YES NO NO YES YES YES

6 YES NO NO YES YES NO YES YES YES

7 YES NO NO YES YES YES NO YES NO

8 YES NO YES YES YES YES YES YES YES

9 YES YES NO YES YES YES YES YES YES

10 YES NO NO YES YES YES YES YES YES

11 YES YES NO NO YES YES YES YES YES

12 YES NO NO YES NO NO YES YES YES

13 YES NO YES NO YES YES YES YES YES

14 YES NO YES YES YES YES YES YES NO

15 YES YES NO YES YES YES YES YES YES

16 YES YES YES YES YES YES YES YES YES

17 YES NO NO YES NO YES YES YES NO

18 YES YES YES YES YES YES YES YES YES

19 YES YES NO YES YES YES YES YES YES

20 YES YES YES NO YES YES YES YES YES

21 YES YES YES YES YES YES YES YES YES

22 YES YES YES YES YES YES YES YES YES

23 YES YES YES YES YES YES YES YES YES

24 YES NO YES NO YES YES YES YES YES

25 YES NO NO NO NO NO YES YES NO

26 YES YES YES YES YES YES YES YES YES

27 YES NO YES YES YES NO YES YES NO

28 YES YES YES YES NO YES YES YES YES

29 YES NO YES YES YES YES YES YES YES


(42)

No

Lama bertugas di

kota “B” Umur

Pernah Bertugas di luar kota “B”

1 9 38 no

2 11 39 no

3 10 43 ya

4 4 56 ya

5 18 62 ya

6 17 56 no

7 6 43 no

8 32 78 no

9 16 47 ya

10 10 57 ya

11 14 44 ya

12 13 66 ya

13 12 75 ya

14 23 77 ya

15 26 65 no

16 12 57 ya

17 24 74 ya

18 13 55 no

19 6 48 no

20 24 63 no

21 14 53 no

22 38 55 ya

23 25 64 ya

24 5 48 ya

25 15 53 no

26 12 67 ya

27 4 56 ya

28 3 41 ya

29 10 67 ya


(43)

LAMPIRAN 6

DATA MOTIF PROSOSIAL PER CERITA

No cerita1 cerita2 cerita3 cerita4 cerita5 cerita6 cerita7 cerita8 cerita9 cerita10 cerita11 cerita12 cerita13 cerita14 cerita15

1 E I I E E I I E E I E I IP I E

2 I I I E I I I I E I IP I I E I

3 E I I E E IP E I I I E E I E I

4 IP I I I I I I I IP I I I IP I I

5 I I I I I I I I I I E I I I I

6 E I I I E IP I I IP E E IP I I E

7 I I I E IP E E I IP E E I IP I E

8 E I I E E E E E I I IP I IP E I

9 I I I E IP I E I I E E I IP I I

10 E I I I IP I E I E I E I I I E

11 E I I I E I E E IP I E I E E E

12 I I I I I I I I I I I I I I I

13 I I I I I I E I IP I I I I I I

14 I I I I I I E I I I E I I I I

15 I I I I I I I I I I I I I I I

16 I I I I I I I I IP I I I I I I

17 IP I I I I I I I I I I I I I I

18 IP I I I IP I I I IP I E E I I I

19 IP I E E E I E I E I E I I I I

20 E E I I E I IP I IP I I I E I I

21 I I I I I IP I E I I I I E I I

22 E E I E E I E E IP I E E E I E

23 I I I I I I I I I IP I I E I I

24 I I I I I I I I E IP IP I I I I

25 I I E I E I I I I I IP E I I E

26 I I I E E I I E E I I IP I E I

27 I I I E I I I I E I IP I I E I

28 I E I I E I E I I IP E IP I I E

29 I I I E E IP IP I E IP I I I E E


(44)

Lampiran 7 : TABEL PROFIL MOTIF

NO IPSOCENTRIC ENDOCENTRIC INTRINSIC

1 RENDAH TINGGI RENDAH

2 TINGGI RENDAH RENDAH

3 RENDAH TINGGI RENDAH

4 TINGGI RENDAH TINGGI

5 RENDAH RENDAH TINGGI

6 TINGGI TINGGI RENDAH

7 TINGGI TINGGI RENDAH

8 TINGGI TINGGI RENDAH

9 TINGGI TINGGI RENDAH

10 RENDAH TINGGI RENDAH

11 RENDAH TINGGI RENDAH

12 RENDAH RENDAH TINGGI

13 RENDAH RENDAH TINGGI

14 RENDAH RENDAH TINGGI

15 RENDAH RENDAH TINGGI

16 RENDAH RENDAH TINGGI

17 RENDAH RENDAH TINGGI

18 TINGGI RENDAH RENDAH

19 TINGGI TINGGI RENDAH

20 RENDAH TINGGI RENDAH

21 RENDAH RENDAH TINGGI

22 RENDAH TINGGI RENDAH

23 RENDAH RENDAH TINGGI

24 TINGGI RENDAH TINGGI

25 RENDAH TINGGI RENDAH

26 RENDAH TINGGI RENDAH

27 TINGGI RENDAH RENDAH

28 TINGGI TINGGI RENDAH

29 TINGGI TINGGI TINGGI


(45)

0 20 40 60 80 100 Persentase

(%)

Ipso Endo Int

Motif Prososial

Persentase Frekuensi Profile Motif

Prososial

Rendah Tinggi


(46)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan teknologi dan informasi pada jaman globalisasi berlangsung dengan sangat cepat. Globalisasi telah menimbulkan dampak dalam berbagai dimensi kehidupan manusia termasuk di Indonesia. Globalisasi merupakan proses internasionalisasi seluruh tatanan masyarakat modern. Pada awalnya proses ini hanya pada tataran ekonomi, namun dalam perkembangannya cenderung menunjukkan keragaman. Malcolm Waters (1980) mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu: globalisasi ekonomi, globalisasi politik, dan globalisasi sosial-budaya. (Kompas, 17 Juli 2002)

Budayawan Benny Susetyo di koran Kompas 17 juli 2002 mengatakan bangsa Indonesia telah memasuki krisis nilai dalam bidang sosial-budaya karena globalisasi di Indonesia telah menyebababkan pergeseran sikap dan lunturnya nilai-nilai moral seperti nilai kejujuran, sikap toleransi dan keinginan menolong orang lain yang memunculkan sikap cenderung eksklusif dan individualistis yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan orang lain.. Peneliti melakukan wawancara kepada dua puluh orang dengan mengajukan pertanyaan jika mereka sedang mengendarai mobil di jalan yang sepi dan melihat seorang pengendara motor terjatuh dan terluka, maka apa yang akan mereka lakukan. Hasilnya adalah tiga belas orang mengatakan akan melihat dan terus


(47)

2

melanjutkan perjalanannya. Tujuh orang mengatakan pura-pura tidak melihat dan terus melanjutkan perjalanannya, dan tidak seorang pun yang akan mengatakan akan menolongnya. Dan ketika peneliti bertanya mengapa mereka memilih melakukan hal tersebut, mereka bertanya apa untungnya menolong pengendara tersebut dan mereka takut bila melakukan hal tersebut akan menyebabkan mereka berada dalam masalah. Hal ini merupakan salah satu pertanda bahwa masyarakat sekarang ini kurang memiliki kesadaran untuk menolong atau memberikan bantuan kepada orang lain.

Perilaku menolong adalah perilaku yang penting karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam membantu memenuhi kebutuhannya mulai dari manusia lahir yang membutuhkan orang lain untuk merawatnya dan membesarkannya sampai ketika tua karena kemampuan fisiknya yang semakin lemah membutuhkan bantuan orang lain. Manusia membutuhkan orang lain bukan secara fisik saja, tetapi juga secara psikologis. Murray (1938) mengatakan bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan yang berorientasi kepada sesamanya seperti dorongan untuk dicintai, dihargai, ditolong dan menolong. Perilaku memberi bantuan pada sesama disebutkan oleh Hoffman (1970) sebagai perilaku prososial, sedangkan alasan-alasan dalam perilaku prososial adalah motif prososial Pada masa kini banyak profesi yang berhubungan dengan perilaku prososial seperti profesi dokter yang bertugas menolong orang sakit, profesi pengajar yang bertugas membagikan pengetahuannya kepada murid-muridnya, profesi polisi yang bertugas melindungi


(48)

3

masyarakat dan profesi biarawan yang bertugas mengajarkan dan menerapkan ajaran cinta kasih kepada sesama.

Profesi biarawan salah satunya adalah Imam di keuskupan “X” kota “B”. Motif prososial menjadi penting karena Imam menjadi model dan panutan dalam menanamkan sikap prososial melalui ucapan, sikap dan perilakunya dan mempengaruhi kualitas pelayanannya. Hal ini sesuai dengan tugas dan kewajiban Imam dengan melakukan tugas mengajar, menyebarkan dan mengamalkan cinta kasih pada sesama juga memberikan pelayanan sakramen kepada umat katholik seperti sakramen ekaristi, baptis, kematian, tobat dan pelayanan Paroki seperti memberikan seminar, mengajar kepada calon umat katholik, melakukan pembinaan untuk persiapan perkawinan, memberikan konseling dan membagikan pengalaman kepada umat yang membutuhkan serta mengatur organisasi dan administrasi paroki, anggaran biaya paroki dan mendukung kegiatan paroki tersebut (Team FTK Wedabhakti, 1985). Selain itu team FTK Wedabhakti (1985) mengatakan bahwa ada pelayananan khusus akibat kehidupan paroki dan masyarakat yang beranekaragam karena tugas seorang Imam disesuaikan oleh kebutuhan masyarakat dimana mereka bertugas, seperti mengajar di sekolah atau perguruan tinggi, pelayanan di rumah sakit dan lain-lain.

Seorang Imam dituntut untuk selalu siap membantu dan melakukan pelayanan sosial dua puluh empat jam sehari. Dalam menjalankan profesinya, Imam selalu berhubungan dengan orang lain dan perilaku prososial yaitu menolong umatnya yang mengalami kesulitan, khususnya kesulitan mengenai masalah sosial dan pribadi. Imam dapat dikatakan sebagai tokoh yang dapat


(49)

4

memberikan pengarahan, bimbingan dan dukungan secara moril. Jika dilihat dari sisi profesi, Imam memang bukanlah suatu profesi ekonomis yang mengejar uang, melainkan suatu profesi yang bersifat pelayanan sosial dengan konsekuensi harus hidup selibat serta melayani umat dan hidup bersama orang lain yang beraneka ragam sesuai dengan tempat di mana nantinya dia ditempatkan.(Team FTK Wedabhakti, 1985) Maka dari itu menurut Almarhum Uskup Bandung Mgr, Aleksander Djoyosiswoyo, Pr (Majalah Komunikasi No 45 tahun 2003) profesi Imam adalah suatu panggilan. Panggilan untuk menjadi rasul dan mengabdi ke Gereja Kudus.

Keuskupan “X” di kota “B” adalah salah satu komunitas pemuka agama yang mengedepankan sikap tolong-menolong antar sesama umat manusia. Hal itu dapat dilihat dari visi keuskupan “X” yaitu membangun Komunitas Umat beriman pada Yesus Kristus yang bersatu dengan masyarakat dan misi keuskupan “X” yaitu, menjadi orang Katholik yang dewasa dan mandiri dengan menyebarkan cinta kasih kepada sesama melalui perbuatan, perkataan dan pikiran. (Bulentin Seminari Tinggi “F” No 1 Tahun VI November 2003). Berdasarkan wawancara kepada Pastor B, OSC keuskupan “X” juga rutin mengadakan rekoleksi, Imam di keuskupan “X” selalu berkumpul untuk saling menguatkan, memperbaharui kaul, dan mengevaluasi perkembangan keuskupan termasuk membahas visi dan misi keuskupan yang biasanya diadakan sebelum hari rabu abu, yaitu hari dimana umat katholik mulai memasuki bulan prapaskah yang memperingati Yesus berpuasa selama 40 hari.


(50)

5

Melayani manusia seperti Imam adalah pekerjaan tanpa mengenal waktu karena orang dapat membutuhkan pelayanan, pertolongan dari seorang Imam kapan saja, bisa dari pagi sampai pagi. Melayani manusia berarti berurusan dengan tuntutan-tuntutan yang tidak ada habis habisnya karena itu dibutuhkan tenaga besar untuk melayani orang-orang yang mempunyai berbagai macam kebutuhan. Orang yang datang kepada Imam, bukan mencari pelayanan rohani saja melainkan untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian serta pertolongan. Orang yang melayani manusia harus banyak mengorbankan waktu pribadi. (Stanford. 1982). Tuntutan masyarakat begitu besar pada profesi Imam yang selalu diharapkan menjadi penolong, sandaran hidup, penguat iman bagi para umatnya, maka bukan tidak mungkin ia akan merasa lelah baik secara fisik maupun emosional dan kehilangan semangat dalam pengabdian profesinya. Wawancara yang dilakukan peneliti kepada tiga Imam di Paroki ‘X’ di kota B, terungkap bahwa pada diri mereka menyatakan sering kali timbul perasaan malas untuk membantu, menolong dan melayani orang lain dalam melakukan tugas pelayanan sosial yang harus mereka lakukan, mereka menolong hanya karena itu adalah kewajiban mereka atau profesionalisme, bukan atas dasar kemanusiaan, bahwa orang tersebut memang harus ditolong atau dilayani. Apalagi menurut mereka seorang imam kerap kali disamakan dengan dukun, karena Imam dianggap paling benar, suci, dipercaya serta paling mengetahui setiap persoalan hidup. Bahkan tidak jarang, umat meminta Imam untuk memberikan nama kepada anaknya, dan meminta tanggal, hari baik untuk melangsungkan suatu acara, seperti meresmikan rumah, tunangan, pernikahan. Peneliti mewawancarai tiga


(51)

6

orang aktivis Gereja keuskupan “X” kota “B” yang mengatakan bahwa sering ada perbedaan persepsi antara Imam dan umat. Ketika Imam tidak datang ke rapat lingkungan karena keterbatasan waktu yang mereka miliki, seperti harus memberikan ibadat penutupan peti di tempat lain yang lebih mendesak keperluannya, tapi umat merasa bahwa Imam tidak hadir karena tidak peduli pada lingkungannya dan tidak memiliki jiwa menolong.

Uraian di atas menjelaskan bahwa Imam dengan tuntutan masyarakat yang besar akan keteladanannya dan peran sertanya dalam membantu menanamkan kesadaran menolong orang lain yang dianut masyarakat membutuhkan kesediaan diri, Kepekaan terhadap lingkungan dan jiwa sosial. Kesediaan diri untuk menolong orang lain dan mengamalkan cinta kasih pada sesama melalui perbuatan dan perkataan. Kepekaan terhadap lingkungan dan adanya jiwa sosial yaitu kesadaran, keinginan dan alasan Imam untuk menolong orang lain dengan sepenuh hati (Team FTK Wedabhakti, 1985).

Imam dalam menjalankan profesinya akan selalu dihadapkan pada kesempatan untuk menolong atau tidak sehingga Imam memiliki alasan-alasan untuk menolong orang lain, seperti pada kasus mengapa Imam membantu seorang umat yang kaya untuk mendapatkan sakramen perkawinan, yang menjadi persoalan selanjutnya ialah apakah perilaku menolong yang dilakukan Imam didorong karena melihat umat membutuhkan bantuannya, atau karena hanya perilaku tersebut adalah tugasnya sebagai Imam, atau hanya dikarenakan untuk mendapatkan nafkah. Banyak alasan yang melandasi Imam dalam membantu dan


(52)

7

menolong orang lain, dan alasan-alasan itu disebut motif prososial. (Janusz Rewkowski dalam Eisenberg, 1982).

Januzs Reykowski (dalam Eisenberg, 1982) membedakan jenis-jenis motif prososial. Ada motif yang berorientasi pada timbal balik apakah perilaku menolong Imam menguntungkan bagi Imam atau tidak. Ada motif yang berorientasi pada tuntutan peran dan tanggung jawab dalam perilaku prososialnya. Ada juga motif yang berorientasi pada kepuasan dan dorongan dalam diri untuk melakukan perilaku prososial. Setiap motif untuk menolong tersebut menyebabkan kualitas yang berbeda dalam setiap perilakunya. Contohnya, ketika seorang Imam menjalankan tugasnya untuk mendampingi umat yang bermasalah, jika alasan Imam menolong karena perilaku menolong tersebut menguntungkan bagi Imam dan mengharapkan imbalan berupa pujian atau uang. Motif ini disebut

Ipsocentric Motivation. Dengan motif ini mungkin Imam secara tidak sadar

membedakan antara umat yang satu dengan yang lain seperti umat yang kaya dan miskin. Jika alasan Imam menolong karena perilaku tersebut adalah karena tuntutan peran dan tanggung jawab, maka motif ini disebut sebagai Endocentric

Motivation. Motif ini memunculkan perilaku menolong dilakukan hanya sekedar

melaksanakan kewajiban dan menghindari rasa tidak bertanggung jawab sehingga tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jika alasan Imam menolong karena berorientasi pada kepuasan dan dorongan dalam diri untuk memperbaiki kondisi orang lain menjadi lebih baik, maka motif ini disebut Intrinsic Motivation. Dengan motif ini maka dalam perilaku menolong, Imam tidak perlu alasan apapun kecuali dorongan dalam dirinya, sehingga ia tidak mengharapkan imbalan, atau


(53)

8

menghindari cemoohan dalam memberikan bantuan, akibatnya dalam memberikan bantuan akan menolong semua orang yang benar membutuhkan bantuan dan akan memberikan bantuan sesuai dengan kapasitas maksimalnya. Menurut Reykowski (dalam Eisenberg, 1982) pelayanan kepada sesama oleh Imam akan lebih konsisten dan stabil jika Imam memiliki Intrinsic Motivation karena dalam menolong tidak dipengaruhi oleh lingkungan tetapi merupakan dorongan dari dalam dirinya.

Hasil wawancara kepada delapan orang Imam menunjukan bahwa tiga Imam mengatakan bahwa mereka menolong orang lain karena mereka mendapatkan dan mencari kepuasaan diri dalam kegiatan menolong dengan melihat yang ditolong tersenyum bahagia itu sudah cukup bagi mereka, walaupun mereka tidak mendapatkan reward sosial seperti pujian, uang dan bahkan ucapan terima kasih. Lima Imam mengatakan bahwa mereka membantu orang lain karena itu adalah kewajiban dan memang tugas serta pekerjaan mereka. Dengan kata lain, kelima Imam tersebut ingin menjaga citra Imam, walaupun sebenarnya mereka kadang enggan melakukannya karena menolong orang lain harus mengorbankan kepentingan pribadinya dan mereka kadang merasa tidak ada untungnya bagi mereka.

Wawancara di atas dapat dilihat pada tiga Imam pertama tingkah laku prososial dapat digolongkan Intrinsic Motivation, sedangkan lima Imam yang kedua tingkah laku prososial dikendalikan dengan mengharapkan perubahan

self-esteem yang berorientasi pada tuntutan peran dan tanggung jawab sebagai imam


(54)

9

Wawancara peneliti kepada lima belas anggota lingkungan keuskupan “X” yang menggunakan jasa Imam menunjukkan bahwa tiga belas dari lima belas orang tersebut tidak puas atas pelayanan yang diberikan Imam. Mereka merasa bahwa bantuan Imam tidak dilakukan secara ikhlas karena Imam dalam melayani orang sering melihat dari keuntungan apa yang akan Imam peroleh seperti berapa banyak uang, makanan, perhatian yang diberikan kepada Imam. Mereka menyimpulkan hal tersebut dari sulitnya para umat yang miskin untuk meminta waktu Imam untuk mendampingi komunitas-komunitas di keuskupan “X” sedangkan Imam akan berlomba-lomba untuk memberikan bantuan kepada umat yang kaya, karena Imam akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik di lingkungan umat yang kaya dibandingkan di lingkungan umat yang miskin. Alasan menolong Imam yang mengharapkan reward digolongkan Ipsosentrik

motivation.

Uraian diatas menyatakan bahwa pelayanan kepada umat sangat erat kaitannya dengan tugas Imam yang berarti terjadi interaksi antara Imam di keuskupan “X” kota “B” melalui tingkah laku prososial kepada masyarakat di kota “B” yang menuntut adanya motif prososial guna mencapai visi dan misi Keuskupan “X”. Dalam wawancara di atas ternyata Imam memiliki motif prososial yang berbeda-beda, oleh sebab itu maka peneliti melihat adanya kesenjangan antara keadaan yang ideal yang mengharapkan Imam memiliki motif intrinsik dengan kenyataan yang ada.

Keadaan ini menimbulkan minat peneliti untuk menggali lebih dalam tentang jenis motif prososial yang dimiliki Imam di keuskupan “X” kota “B” .


(55)

10

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah yang akan diteliti adalah ingin diketahui jenis motif prososial Imam di keuskupan “X” kota “B”

1.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN 1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah menggambarkan tentang jenis motif prososial Imam di keuskupan “X” kota “B”.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menunjukkan kaitan antara motif prososial dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada Imam di keuskupan “X” kota “B”.

1.4. KEGUNAAN PENELITIAN 1.4.1. Kegunaan Teoretis

Kegunaan teoretis penelitian ini adalah :

o Memberikan informasi bagi bidang Psikologi Sosial secara khusus tentang


(56)

11

o Sebagai landasan informatif untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan

dengan motif prososial pada Imam.

1.4.2. Kegunaan Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, antara lain :

o Diharapkan dapat memberikan masukan bagi keuskupan “X” kota “B” dalam

hal pemberian bimbingan kepada Imam dalam mengembangkan motif prososialnya.

o Memberikan informasi bagi Imam dalam hal mendeteksi motif prososial

sehingga dapat meningkatkan kesadaran untuk memunculkan perilaku prososial di lingkungan di mana mereka bertugas.

o Sebagai masukan untuk seminari-seminari dalam hal memberikan pendidikan

dan pembinaan calon Imam dalam mengembangkan motif prososialnya

1.5. KERANGKA PEMIKIRAN

Imam adalah pemimpin yang mempersembahkan kurban misa atau memimpin upacara gereja (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2000). Dalam gereja Katholik, seorang calon imam akan mengikuti pendidikan dan pembinaan untuk dibentuk menjadi imam yang diharapkan sesuai dengan panggilan mereka nantinya sebagai imam. Seorang calon imam harus melalui berbagai tahapan persiapan yang sangat panjang. Pada awalnya seorang calon imam harus benar-benar merasa terpanggil untuk menjalani profesi imam, karena profesi imam


(57)

12

bukanlah profesi yang bersifat ekonomis untuk mengejar uang, melainkan suatu profesi yang bersifat sosial dengan konsekuensi yang harus diterima dan dihadapi. Seorang imam harus hidup selibat tidak menikah untuk melayani umat dan hidup bersama orang lain yang beraneka ragam sesuai dengan tempat di mana nantinya dia ditempatkan. Masa pembinaan seminari tinggi merupakan salah satu tahap yang harus dilewati oleh setiap calon imam. Mereka akan hidup bersama dalam suatu komunitas religius dan akan dibina dan dibiasakan secara fisik maupun mental untuk menghadapi tantangan hidup dalam menjalani profesi imam, nantinya. Setelah menyelesaikan masa pembinaan di seminari tinggi, mereka akan ditahbiskan menjadi imam, yaitu seorang pemimpin, penggembala dan pelayan umat (Hardawiryana. 2000).

Tugas dan kewajiban Imam antara lain adalah menjadi pelayan Iman, pelayanan Paroki, dan melakukan pelayanan khusus. Pelayan Iman cinta kasih yang dapat menjadi saksi kehadiran Tuhan di dunia dengan mengajar, menyebarkan dan mengamalkan cinta kasih pada sesama juga memberikan pelayanan sakramen kepada umat katholik seperti sakramen ekaristi, baptis, kematian, tobat. Pelayanan Paroki seperti memberikan seminar, mengajar kepada calon umat katholik, memberikan persiapan perkawinan, memberikan konseling dan membagikan pengalaman kepada umat yang membutuhkannya juga mengatur organisasi dan administrasi paroki, anggaran biaya paroki dan mendukung kegiatan paroki tersebut (Team FTK Wedabhakti, 1985) Selain itu team FTK Wedabhakti (1985) mengatakan bahwa ada pelayananan khusus akibat kehidupan paroki dan masyarakat yang beranekaragam karena tugas seorang Imam


(58)

13

disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dimana mereka bertugas, seperti mengajar di sekolah atau perguruan tinggi, pelayanan di rumah sakit dan lain-lain.

Seorang Imam dituntut untuk mempunyai jiwa sosial yang tinggi, karena profesi imam tidak dapat dilepaskan dari pelayanan kepada sesama sebagai pengabdiannya kepada Gereja (Hardawiryana. 2000). Menolong orang sebagaimana profesi yang ditunjukkan oleh Imam, dalam psikologi disebut perilaku prososial (Hoffman. 1970).

Menurut Reykowski (1982) setiap perilaku prososial memiliki alasan-alasan yang menimbulkan kebebasan bagi Imam untuk memutuskan akan menolong atau tidak. Pada dasarnya, dalam setiap diri individu sudah terdapat motif. Ketika Imam menghadapi situasi prososial, maka motif itu akan mulai diarahkan pada usaha pencapaian tujuan dan melalui pertimbangan akhirnya diambil keputusan tentang bentuk tindakan yang akan dilakukan (Kornadt, 1985; dalam Sri Untari Pidada, 1988). Meleswka dan Muszynski (dalam Eissenberg, 1982) mengatakan bahwa tindakan moral seperti menolong, dikontrol oleh motif-motif yang berbeda. Demikian pula tindakan prososial Imam dapat didasari oleh motif prososial yang berbeda-beda. Reykowski (1982) mengatakan bahwa perilaku prososial memiliki berbagai macam jenis motif dan membedakan motif prososial menjadi tiga yaitu Ipsosentic Motivation, Endocentric Motivation dan

Intrinsik Motivation.

Ipsosentric Motivation adalah alasan Imam untuk menampilkan perilaku

menolong atau berbagi dengan orang lain yang didasari oleh harapan untuk mendapatkan keuntungan atau menghindari kehilangan. Contohnya, ketika Imam


(59)

14

memimpin ibadat dengan harapan mendapatkan uang yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Endocentric Motivation adalah derajat keinginan untuk menampilkan perilaku menolong atau berbagi dengan orang lain yang didasari oleh harapan untuk mendapatkan perubahan dalam self-esteem yang positif yang berorientasi pada tuntutan peran dan tanggung jawab, contohnya jika Imam memimpin ibadat karena merupakan kewajiban statusnya sebagai Imam. Sedangkan Intrinsik Motivation adalah derajat keinginan untuk menampilkan perilaku menolong atau berbagi dengan orang lain yang didasari oleh harapan untuk memperbaiki kondisi seseorang yang lain menjadi lebih baik yang berorientasi pada kepuasan dan dorongan dalam diri untuk melakukan perilaku prososial, misalkan Imam memimpin ibadat karena ingin orang yang mengikuti ibadat mendapatkan perubahan positif menjadi lebih baik dan menjadi lebih dekat pada Tuhan, dan dapat menjadi berkat bagi orang lain.

Reykowski (1982) membedakan ketiga jenis motif prososial berdasarkan lima aspek, yang pertama adalah kondisi awal tindakan diberikan, yaitu kondisi yang merangsang Imam untuk melakukan tindakan prososial. Ipsocentric

Motivation menekankan harapan Imam untuk mendapatkan reward social (pujian,

keuntungan materi, dsb.) atau mencegah hukuman. Endocentric Motivation menekankan harapan Imam dapat mengakutualisasikan norma-norma pribadi yang relevan. Intrinsic Motivation menekankan harapan untuk memperbaiki kondisi orang lain menjadi lebih baik.

Aspek kedua adalah akibat awal yang diterima oleh Imam karena melakukan tindakan prososial. Ipsocentric Motivation menekankan Imam


(60)

15

memperkirakan akan mendapatkan keuntungan pribadi jika melakukan tindakan prososial. Endocentric Motivation menekankan dengan melakukan tindakan prososial diperkirakan akan membawa peningkatan yang positif terhadap

self-esteem dan mencegah penurunan self-self-esteem. Intrinsic Motivation menekankan

dengan melakukan tindakan prososial diperkirakan akan menjaga minat sosial Imam yaitu mendapatkan kepuasan dalam diri dengan memperbaiki kondisi orang lain menjadi lebih baik.

Aspek ketiga adalah kondisi yang mendukung Imam untuk melakukan tindakan prososial. Kondisi yang mendukung Ipsocentic Motivation adalah harapan Imam terhadap reward meningkat atau meningkatnya ketakutan kehilangan reward jika tidak melakukan tindakan prososial. Kondisi yang mendukung Endocentic Motivation adalah terpenuhinya aspek-aspek moral yang sesuai dengan nilai-nilai moral pribadi Imam. Kondisi yang mendukung Intrinsic

Motivation adalah pemahaman Imam terhadap kebutuhan orang lain yang

ditolong, dimana Imam memusatkan perhatian pada kebutuhan orang lain

Aspek keempat adalah kondisi yang menghambat untuk melakukan tindakan prososial. Kondisi yang menghambat Ipsosentic Motivation adalah pertimbangan untung-rugi Imam jika melakukan tindakan prososial. Kondisi yang menghambat Endocentic Motivation adalah Imam menekankan pada aspek-aspek pribadi Imam yang tidak dihubungkan dengan norma sosial (seperti, karena stress, kerugian, berjuang untuk meraih prestasi). Kondisi yang menghambat Intrinsic

Motivation adalah Egosentris Imam yaitu memusatkan pada kebutuhan Imam


(61)

16

Aspek kelima adalah karakteristik kualitas tindakan. Ipsosentric

Motivation menunjukan minat yang rendah terhadap kebutuhan orang lain,

sehingga dalam menolong atau berbagi kurang memperhatikan kebutuhan orang lain dan minat Imam lebih terarah pada kebutuhan pribadi. Endocentric

Motivation menunjukan tingkat ketepatan penawaran pertolongan rendah dan

minat untuk menolong orang lain diukur dari sudut pandang Imam, sehingga dalam menolong atau berbagi, kebutuhan yang ditolong dipandang berdasarkan pengalaman Imam. Intrinsic Motivation menunjukan minat yang tinggi terhadap kebutuhan-kebutuhan orang lain dan berada pada derajat akurasi yang tinggi dalam memberikan bantuan, sehingga dalam menolong dan berbagi lebih memperhatikan dan memahami kebutuhan yang ditolong dan pada saat menolong orang lain, waktu, materi pertolongan disesuaikan dengan kebutuhan orang lain.

Reykowski (1982) secara implisit menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi motif prososial yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi proses pembentukan kognisi dalam diri Imam antara lain adalah pola asuh dalam keluarga, lingkungan sosial dan norma kelompok. Mussen (dalam Reykowski ,1982) mengamati relasi antara anak yang dididik dalam keluarga yang mengajarkan kejujuran dan kebiasaan saling menolong akan menunjukan tindakan prososial yang lebih tinggi frekuensinya. Lingkungan keluarga, dimana orang tua sebagai model akan membuat Imam akan mengobservasi tingkah laku prososial orang tua, dan hal ini sangat mempengaruhi perkembangan tingkah laku prososial Imam. Orang tua menggunakan


(62)

17

tingkah laku akan diulang lagi atau tidak yang mengarah pada pembentukan motif ipsosentrik. Menggunakan petunjuk secara verbal dalam membentuk tindakan menolong dan menjelaskan mengapa Imam harus menolong, merupakan teknik yang penting yang dapat digunakan orang tua untuk mengajarkan tingkah laku menolong pada Imam yang mengarah pada pembentukan motif endosentrik atau intrinsik. Orang tua dapat menunjukan tingkah laku menolong yang dikehendaki dan dapat menstimulasi penalaran moral mengapa tingkah laku ini harus dibentuk. Dengan menuntun perhatian anak pada akibat dari tingkah laku mereka orang tua melatih kepekaan anak terhadap kebutuhan orang lain dan meninggikan kapasitas empati mereka (Hoffman, 1970).

Selain orang tua, lingkungan teman sebaya dan lingkungan pendidikan juga berpengaruh pada perkembangan tingkah laku prososial Imam. Paspalanowa (dalam Reykowski, 1982) menemukan suatu indikasi bahwa perilaku menolong bergantung pada norma kelompok, seseorang akan lebih menunjukan sikap menolong terhadap orang asing jika berada dalam lingkuingan kelompok yang suka menolong dan menjadi tidak suka menolong jika berada dalam lingkungan kelompok yang membedakan dan tidak simpati terhadap orang asing. Selain itu Paspalanowa (dalam Reykowski, 1982) menyimpulkan bahwa konformitas menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk melakukan tindakan prososial sehingga motif prososial Imam dipengaruhi oleh konformitas sesuai dengan peran dari lingkungannya. Lingkungan Imam dapat memberikan teknik bermain peran untuk membangun kepekaan terhadap kebutuhan orang lain dan meningkatkan kemampuan perspektif sosial dan empati. (Ahamer & Murray, 1979).


(63)

18

Faktor internal yang mempengaruhi motif prososial Imam antara lain perkembangan kognisi, usia dan jenis kelamin. Tahap perkembangan kognisi pada Imam berhubungan dengan usia. Imam di keuskupan “X” kota “B” pada umumnya berada pada tahap perkembangan dewasa yang telah mampu berpikir secara formal operasional sehingga cenderung telah menginternalisasikan sistem norma, peran, dan nilai yang ada. (Piaget dalam Santrock; 2005).

Kemampuan pada masa dewasa yang telah mencapai formal opersional akan memungkinkan untuk mengetahui dan memikirkan untung dan rugi dari tindakan dunia interpersonal, adanya hubungan timbal balik dan mendudukan diri pada posisi diri maupun orang lain dan kemampuan untuk memahami situasi dari sudut pandang orang lain dalam suatu kondisi tertentu (Bar-Tal. 1981). Pada tahap ini orang dewasa mengerti perspektif orang lain yang lebih rumit dan membuatnya mampu untuk memiliki alasan yang menggambarkan bahwa ia memiliki pendapat tentang sesuatu yang mendasari tindakan mereka. (Bar-Tal. 1981)

Tugas perkembangan yang harus dicapai Imam pada masa dewasa antara lain ialah, mengenal, menanamkan dan mengembangkan norma lingkungan, sikap positif terhadap diri sendiri seperti sikap prososial dan adanya keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain (Santrock, 2005). Tidak hanya menjalankan peran Imam sesuai dengan tuntutan lingkungannya, menginginkan dan memperlihatkan perilaku prososial yang dapat dipertanggung jawabkan secara sosial. Erikson, 1968 (dalam Santrock, 2005) mengatakan dalam usia tersebut,


(64)

19

Imam terdapat pada fase Generality VS Stagnation yang menunjukan adanya keinginan untuk berguna bagi orang lain.

Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka pikir untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :


(1)

1.6. ASUMSI PENELITIAN

Berdasarkan uraian di atas dapat diasumsikan bahwa : 1. Tindakan prososial Imam didasari oleh motif prososial.

2. Motif prososial Imam dapat berupa motif Ipsosentric, motif Endocentric dan motif Intrinsic.

3. Setiap Imam memiliki ketiga jenis motif tersebut tetapi terdapat motif yang lebih dominan.

4. Jenis motif prososial dinilai melalui kondisi awal, akibat awal, kondisi yang mendukung, kondisi yang menghambat, dan kualitas tindakan.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Berdasarkan pengolahan data dan pembahasan hasil yang diperoleh maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Imam di Keuskupan “X” kota “B”, pada umumnya memiliki motif prososial intrinsic.

2. Ada keterkaitan antara motif prososial dengan tahap perkembangan dimana pada tahap perkembangan dewasa awal, motif prososial Imam masih tersebar, tetapi pada dewasa madya dan dewasa akhir, motif prososial Imam cenderung mengarah pada motif intrinsic.

3. Tidak ada keterkaitan yang jelas antara motif prososial dengan kehadiran model yang melakukan tindakan prososial dan pemberian reward,

punishment pada Imam yang memiliki motif prososial intrinsic.

5.2. SARAN

A. Saran untuk Pengembangan Penelitian

1. Bagi peneliti bidang psikologi sosial disarankan untuk lebih meneliti mengenai kontribusi faktor keluarga, faktor lingkungan sosial dan norma sosial, usia dalam mempengaruhi motif prososial Imam.


(3)

2. Bagi peneliti lain, disarankan untuk meneliti lebih lanjut apakah ada perbedaan motif prososial pada Imam dengan para Suster Katholik yang mempunyai visi dan misi yang sama.

3. Kepada peneliti yang lain disarankan untuk meneliti mengenai hubungan motif prososial Imam dengan tingkah laku prososial di keuskupan “X” kota “B” .

B. Saran untuk Lembaga

1. Bagi Keuskupan “X” kota “B” agar mendeteksi motif prososial Imam kemudian memberikan program bimbingan kepada Imam yang belum memiliki motif prososial intrinsic dengan cara banyak memberikan pujian pada Imam jika melakukan tindakan prososial dan memberikan teguran jika tidak melakukan tindakan prososial.

2. Bagi Imam agar mendeteksi motif prososial yang dimilikinya sehingga meningkatkan kesadaran untuk memunculkan perilaku prososial di lingkungan di mana mereka bertugas.

3. Untuk lembaga pendidikan seminari, agar lebih memperhatikan dan membantu calon-calon Imam yang belum memiliki motif intrinsic dalam upaya menambah wawasan mengenai motif dan perilaku prososial dan mengembangkan motif prososial mereka ke arah motif intrinsic dengan cara mengadakan kelas-kelas diskusi masalah prososial yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, diskusi film yang berhubungan dengan


(4)

dilema-dilema moral dalam kehidupan sehari-hari Imam, atau menambah buku-buku yang berhubungan dengan prososial di perpustakaan


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Bar-Tal, Daniel., 1976. Prososial Behavior Theory and Research, Washington D.C : Hemisphere Publishing Corp

Dokumen Konsili Vatikan II. 1992. Terjemahan, Dekrit Tentang Pelayanan dan

Kehidupan Imam. Jakarta : Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI.

Eisenberg, Nancy., 1982. The Development of Prosocial Behavior, New York : Academic Press Inc

Gulo, W., 2002. Metodologi Penelitian, Jakarta : PT. Raja Grafindo

Hurlock, Elisabeth B., 1980.Developmental Psychology A Life Span Approach.

Fifth Edition. NewYork : Tata Mc Graw – Hill Publishing Company LTD.

Hurlock, Elisabeth B., 1997. Terjemahan, Psikologi perkembangan: Suatu

Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima. Jakarta:

Erlangga

Paus Yohanes Paulus II. 1983. Kitab Hukum Kanonik. Jakarta : KWI.

Prasetyo, F. Mardi, SJ., 1997. Unsur-Unsur Hakiki Rohaniwan, Yogyakarta :Kanisius:

Hardawiryana, Robert S.J. 2000. Spiritualitas Imam Diosesan Melayani Gereja di

Indonesia Masa Kini. Yogyakarta : Kanisius

Santrock, John W. 2005. Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga.

Sears, David., 2000. Social Psychology. 10th Edition, Los Angeles : Prentice Hall

International Inc

Siegel, Sidney., 1988. Statistik Parametik untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: PT Gramedia

Team FTK Wedabhakti, 1985. Kamu Adalah Saksiku. Yogyakarta : Para Wali Gereja Regio Jawa.


(6)

DAFTAR RUJUKAN

Bulentin Seminari Tinggi Fermentum no 1, Tahun VI November 2003.

Darnaedi, Chandranila. 2006. Studi Deskriptif Mengenai Tingkah Laku Prososial

Pada Remaja Usia 13-15 Tahun Dalam Masyarakat Kasepuhan Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Skripsi. Bandung: Program Sarjana fakultas

Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Majalah Komunikasi No 45 Tahun 2003

Pidada, Sri Untari. 1988. Peranan Lingkungan Kepramukaan dalam

Mengembangkan Motif Prososial Anggota Pramuka. Tesis. Bandung:

Program Pasca Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran

Susetyo, Benny. Nilai-nilai dalam Globalisasi. 17 Juli 2002. Jakarta :www.kompas.co.id