Studi Deskriptif Motif Prososial Pada Rohaniawan Sinode Gereja "X" Kota "B".

(1)

ii

Abstrak

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif mengenai motif prososial Rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran motif prososial Rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B”. Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori motif prososial dari Raykowski.

Pemilihan sample menggunakan metode pupposive sampling, dan sample dalam penelitian ini berjumlah 15 orang. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian deskriptif. Alat ukur yang digunakan bersifat semi proyektif dan validitas alat ukur ini bersifat exspert validity, terdiri atas 12 situasi.

Dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa 73,33% Rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B” cenderung memiliki motif intrinsic, 20% cenderung memiliki motif endosentric dan 6,67% cenderung memiliki motif endosentric-intrinsic.

Kesimpulan yang diperoleh adalah sebagian besar rohaniwan memiliki kecenderungan motif prososial intrinsic. Aspek kondisi awal, akibat awal dan kondisi yang mendukung telah berkembang sedangkan aspek kondisi yang menghambat dan kualitas tindakan kurang berkembang sehingga pelayanan rohaniwan kadang kurang optimal. Peneliti menyarankan untuk meneliti lebih jauh mengenai keterkaitan antara reinforcement terhadap perkembangan motif prososial dan keterkaitan antara modeling terhadap perkembangan motif prososial. Saran kepada Sinode Gereja “X” kota “B” untuk meninjau kembali pembagian tugas pelayanan rohaniwan sehingga dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanannya.


(2)

vi

DAFTAR ISI

Lembar Judul

Lembar Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... vi

Daftar Bagan ... x

Daftar Tabel ... xi

Daftar Lampiran ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 7

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8

1.3.1. Maksud Penelitian ... 8

1.3.2. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Kegunaan Penelitian... 8

1.4.1. Kegunaan Teoretis ... 8

1.4.2. Kegunaan Praktis ... 8

1.5. Kerangka Pikir ... 9


(3)

vii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 21

2.1. Teori Motif Prososial ... 22

2.1.1. Sejarah Prososial ... 22

2.1.2. Pengertian Tingkah Laku Prososial ... 22

2.1.3. Pengertian Motif Prososial ... 23

2.1.4. Jenis-Jenis Motif Prososial ... 27

2.1.4.1. Ipsocentric Motivation ... 27

2.1.4.2. Endosentric Motivation ... 28

2.1.4.3. Intrinsic Motivation ... 28

2.1.5. Aspek-Aspek Motif Prososial ... 28

2.1.5.1. Kondisi Awal ... 28

2.1.5.2. Akibat Awal ... 29

2.1.5.3. Kondisi yang Mendukung ... 29

2.1.5.4. Kondisi yang Menghambat ... 29

2.1.5.5. Karakteristik Kualitas dari Tindakan ... 30

2.1.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motif Prososial... 31

2.1.6.1. Faktor Eksternal ... 31

2.1.6.1.1. Keluarga ... 31

2.1.6.1.2. Lingkungan ... 32

2.1.6.1.3. Norma Sosial ... 34

2.1.6.2. Faktor Internal ... 35

2.1.6.2.1. Perkembangan Kognisi ... 35


(4)

viii

2.1.6.3.3. Jenis Kelamin ... 38

2.2. Teori Tahap Perkembangan Dewasa Awal ... 40

2.3. Teori Tahap Perkembangan Dewasa Madya... 42

2.4. Teori Tahap Perkembangan Dewasa Akhir ... 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 47

3.1. Rancangan Penelitian ... 47

3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 47

3.2.1. Variabel Penelitian ... 47

3.2.2. Definisi Operasional... 48

3.3. Alat Ukur ... 50

3.3.1. Alat Ukur Motif Prososial ... 50

3.3.2. Uji Coba Alat Ukur ... 55

3.3.2.1 Validitas Alat Ukur ... 56

3.3.3. Kuesioner Data Penunjang ... 56

3.4. Populasi Sasaran dan Teknik Penarikan Sampel ... 56

3.4.1. Populasi Sasaran ... 56

3.4.2. Karakteristik Populasi ... 56

3.4.3. Teknik Penarikan Sampel ... 57

3.5. Teknik Analisis Data ... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 58


(5)

ix

4.1.1. Persentase Rohaniwan Berdasarkan Usia ... 58

4.1.2. Persentase Rohaniwan Berdasarkan Lama Bertugas... 59

4.1.3 Persentase Rohaniwan Berdasarkan Jenis Kelamin ... 59

4.2. Hasil Penelitian ... 60

4.2.1. Persentase Motif Prososial Para Imam ... 60

4.3. Pembahasan ... 61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

5.1. Kesimpulan ... 70

5.2. Saran ... 71

Daftar Pustaka ... 73

Daftar Rujukan ... 74


(6)

x

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1. Kerangka Pemikiran... 20 Bagan 3.1. Bagan Rancangan Penelitian... 47


(7)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Indikator Alat Ukur ... 54

Tabel 4.1. Persentase Rohaniwan Berdasarkan Usia ... 58

Tabel 4.2. Persentase Rohaniwan Berdasarkan Lama Bertugas ... 59

Tabel 4.3. Persentase Rohaniwan Berdasarkan Jenis Kelamin ... 60


(8)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Fungsi Rohaniwan

Lampiran 2 : Visi Misi dan Sejarah Gereja “X” Kota “B” Lampiran 3 : Alat Ukur

Lampiran 4 : Tabel Data Penunjang Lampiran 5 : Tabel Data Sekunder

Lampiran 6 : Tabel Motif Prososial per Cerita


(9)

Tabel L.1

Tahap Perkembangan (dewasa)

Motif yang dominan

Tahap Perkembangan (dewasa)

Awal % Madya %

Intrinsic 10 71.43 1 100.00

Endosentric 3 21.43 0 0.00

Ipsosentric 0 0.00 0 0.00

Endosentric-Intrinsic 1 7.14 0 0.00

100.00 100.00

Tabel L.2 Jenis Kelamin

Motif yang dominan

Jenis Kelamin

Laki-laki % Perempuan %

Intrinsic 1 20.00 10 100.00

Endosentric 3 60.00 0 0.00

Ipsosentric 0 0.00 0 0.00

Endosentric-Intrinsic 1 20.00 0 0.00

100.00 100.00

Tabel L.3 Lama Bertugas

Motif yang dominan

Lama Bertugas

1-5 thn % 6-10 thn %

11-15 thn %

16-20 thn %

>21 thn %

Intrinsic 7 100.00 0 0.00 2 66.67 1 50.00 1 100.00

Endosentric 0 0.00 2 100.00 0 0.00 1 50.00 0 0.00

Ipsosentric 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Endosentric-Intrinsic 0 0.00 0 0.00 1 33.33 0 0.00 0 0.00


(10)

Tabel L.4 Kondisi Awal

Motif yang Dominan

Jawaban

In/In/In In/In/E In/E/E Ip/E/In Total

Intrinsic 91.0% 0.0% 0.0% 9.0% 100%

Endosentric 0.0% 66,7% 33,3% 0.0% 100% Endosentric-Intrinsic 0.0% 100.0% 0.0% 0.0% 100%

Tabel L.5 Akibat Awal

Motif yang Dominan

Jawaban

In In/E In/Ip E/E Total Intrinsic 54,5% 18,2% 27,3% 0.0% 100% Endosentric 0.0% 0.0% 66,7% 33,3% 100% Endosentric-Intrinsic 0.0% 100.0% 0.0% 0.0% 100%

Tabel L.6

Kondisi yang Mendukung

Motif yang Dominan

Jawaban

In/In/In In/In/En In/E/E In/In/Ip E/E/E Total Intrinsic 18.0% 55.0% 18.0% 9.0% 0.0% 100% Endosentric 0.0% 0.0% 0.0% 33,3% 66,7% 100% Endosentric-Intrinsic 0.0% 100% 0.0% 0.0% 0.0% 100%

Tabel L.7

Kondisi yang Menghambat

Motif yang Dominan

Jawaban

In/In In/E E/E Total

Intrinsic 9.0% 64.0% 27.0% 100%

Endosentric 0.0% 0.0% 100.0% 100% Endosentric-Intrinsic 0.0% 100.0% 0.0% 100%


(11)

Tabel L.8

Kualitas Tindakan

Motif yang Dominan

Jawaban

In/In In/E In/Ip E/Ip Ip/Ip Total Intrinsic 9.0% 18.0% 9.0% 64.0% 0.0% 100% Endosentric 33.3% 33.3% 0.0% 0.0% 33.4% 100% Endosentric-Intrinsic 100% 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% 100%

Tabel L.9

Orang Tua Melakukan Tindakan Prososial

Motif yang dominan

Melakukan Tindakan Prososial

Ya % Tidak %

Intrinsic 9 69.23 2 100.00

Endosentric 3 23.08 0 0.00

Ipsosentric 0 0.00 0 0.00

Endosentric-Intrinsic 1 7.69 0 0.00

100.00 100.00

Tabel L.10

Orang Tua Memuji

Motif yang dominan

Memuji

Ya % Tidak %

Intrinsic 5 71.43 6 75.00

Endosentric 1 14.29 2 25.00

Ipsosentric 0 0.00 0 0.00

Endosentric-Intrinsic 1 14.29 0 0.00


(12)

Tabel L.11

Orang Tua Menegur

Motif yang dominan

Menegur

Ya % Tidak %

Intrinsic 8 80.00 3 60.00

Endosentric 1 10.00 2 40.00

Ipsosentric 0 0.00 0 0.00

Endosentric-Intrinsic 1 10.00 0 0.00

100.00 100.00

Tabel L.12

Teman Melakukan Tindakan Prososial

Motif yang dominan

Melakukan Tindakan Prososial

Ya % Tidak %

Intrinsic 8 66.67 3 100.00

Endosentric 3 25.00 0 0.00

Ipsosentric 0 0.00 0 0.00

Endosentric-Intrinsic 1 8.33 0 0.00

100.00 100.00

Tabel L.13 Teman Memuji

Motif yang dominan

Memuji

Ya % Tidak %

Intrinsic 6 60.00 5 100.00

Endosentric 3 30.00 0 0.00

Ipsosentric 0 0.00 0 0.00

Endosentric-Intrinsic 1 10.00 0 0.00


(13)

Tabel L.14 Teman Menegur

Motif yang dominan

Menengur

Ya % Tidak %

Intrinsic 4 57.14 7 87.50

Endosentric 2 28.57 1 12.50

Ipsosentric 0 0.00 0 0.00

Endosentric-Intrinsic 1 14.29 0 0.00

100.00 100.00

Tabel L.15

Pengajar Melakukan Tindakan Prososial

Motif yang dominan

Melakukan Tindakan Prososial

Ya % Tidak %

Intrinsic 4 66.67 7 77.78

Endosentric 1 16.67 2 22.22

Ipsosentric 0 0.00 0 0.00

Endosentric-Intrinsic 1 16.67 0 0.00

100.00 100.00

Tabel L.16

Pengajar Mengingatkan

Motif yang dominan

Mengingatkan

Ya % Tidak %

Intrinsic 5 55.56 6 100.00

Endosentric 3 33.33 0 0.00

Ipsosentric 0 0.00 0 0.00

Endosentric-Intrinsic 1 11.11 0 0.00


(14)

Tabel L.17

Pengajar Menegur

Motif yang dominan

Menegur

Ya % Tidak %

Intrinsic 5 71.43 6 75.00

Endosentric 1 14.29 2 25.00

Ipsosentric 0 0.00 0 0.00

Endosentric-Intrinsic 1 14.29 0 0.00

100.00 100.00

TABEL PROFIL MOTIF PROSOSIAL ROHANIWAN

No Ipsosentric Endosentric Intrinsic Yang dominan

1 3 3 6 Intrinsic

2 1 4 7 Intrinsic

3 0 3 9 Intrinsic

4 1 4 7 Intrinsic

5 3 2 7 Intrinsic

6 1 2 9 Intrinsic

7 0 2 10 Intrinsic

8 1 3 8 Intrinsic

9 1 4 7 Intrinsic

10 1 5 6 Intrinsic

11 1 3 8 Intrinsic

12 1 6 5 Endosentric

13 3 7 2 Endosentric

14 1 6 5 Endosentric


(15)

DATA PRIBADI

Nama : (L/P)

Umur :

Gereja :

Lama Melayani :

Jawablah pernyataan di bawah ini sesuai dengan keadaan diri saudara. Berilah tanda silang (X) pada bila sesuai dengan keadaan diri saudara. Berilah tanda silang (X) pada B, bila tidak sesuai keadaan diri saudara. Saudara juga dapat memilih huruf C dan mengisikan kata yang sesuai dengan pernyataan tersebut dengan diri saudara.

1. PADA SAAT TETANGGA AKAN MELAKUKAN ACARA, ORANG TUA SAYA AKAN TURUT MEMBANTUNYA.

a. YA b. TIDAK c. ...

2. TEMAN AKAN MENEGUR SAYA BILA SAYA BERSIKAP TIDAK PEDULI TERHADAP ORANG YANG BUTUH BANTUAN SAYA.

a. YA b. TIDAK c. ...

3. ORANG TUA MENEGUR BILA SAYA TIDAK MEMBANTU TEMAN YANG BUTUH BANTUAN.

a. YA b. TIDAK c. ...


(16)

4. PENGAJAR KETIKA SAYA DI SEMINARI MENEGUR SAYA BILA TIDAK MENOLONG TEMAN YANG BUTUH BANTUAN SAYA.

a. YA b. TIDAK c. ...

5. TEMAN MEMUJI SAYA BILA SAYA MEMBANTU ORANG YANG SEDANG BERKESUSAHAN

a. YA b. TIDAK c. ...

6. ORANG TUA SAYA MEMUJI BILA SAYA MENOLONG ORANG YANG BERKESUSAHAN

a. YA b. TIDAK c. ...

7. HAMBA TUHAN DI GEREJA SAYA DULU SERINGKALI SALING MEMBANTU SAAT MENGHADAPI KESULITAN

a. YA b. TIDAK c. ...

8. DOSEN DI SEMINARI SERING MENGINGATKAN SAYA UNTUK MAU MEMBANTU ORANG LAIN YANG SEDANG DALAM KESUSAHAN.

a. YA b. TIDAK c. ...

9. PADA SAAT SAYA MENGALAMI KESULITAN, TEMAN SAYA DATANG MEMBANTU SAYA.

a. YA b. TIDAK c. ...


(17)

KUESIONER MOTIF PROSOSIAL

Pada halaman berikut ini terdapat sejumlah cerita. Bayangkanlah

Saudara sebagai pelaku utama dalam cerita tersebut, yaitu A. Hayatilah situasi dan kondisi dimana A berada, kemudian pilihlah jawaban yang sesuai dengan keadaan Saudara. Setiapkali pilihan Saudara, hendaklah didasarkan

pada keadaan diri Saudara dan jangan didasarkan atas apa yang Saudara anggap wajar. Di setiap cerita ada tiga (3) buah kemungkinan jawaban.

Pilihlah satu jawaban yang paling sesuai dengan keadaan diri Saudara, yaitu (a) atau (b) atau (c), dengan cara melingkari huruf yang ada di

depan pilihan jawaban Saudara. Tidak ada jawaban yang salah, semuanya

benar bila sesuai dengan keadaan diri Saudara.

Contoh:

A seorang penginjil. Suatu hari A sedang terburu-buru akan berkhotbah di salah satu gereja. Di perjalanan A bertemu dengan seorang jemaat yang sedang memerlukan tumpangan kendaraan ke arah yang berbeda. A memohon maaf kepada jemaat karena tidak bisa memberi tumpangan.

A melakukan hal tersebut, karena : a. A sedang terburu-buru.

b. A merasa tidak enak jika datang terlambat padahal A akan berkhotbah. c. A takut dicap sebagai orang yang suka terlambat.

Bila saudara memandang bahwa alasan A melakukan hal tersebut karena A sedang terburu-buru, maka saudara melingkari huruf (a).

Kami sangat mengharapkan Saudara dapat menjawab setiap pernyataan yang diajukan dan mohon semua nomor diisi, jangan ada yang terlewati.


(18)

1. A seorang Hamba Tuhan yang sudah cukup lama melayani. A ingin sekali membeli sebuah laptop untuk mempermudah tugas-tugas pelayanannya. A telah menabung untuk membeli sebuah laptop. Ketika jumlah tabungan A sudah cukup untuk membeli sebuah laptop seorang jemaat yang kurang mampu datang kepada A dan menceritakan tentang masalah yang sedang dialaminya. Jemaat tersebut sedang mengalami kesulitan membayar biaya perawatan anaknya di rumah sakit.

Tindakan A:

a. A meminjamkan tabungannya karena sebagai Hamba Tuhan ia berkewajiban

menolong jemaat.

b. A menjelaskan bahwa A tidak memiliki uang untuk membantu jemaat tersebut.

c. A meminjamkan uang tabungan agar jemaat tersebut dapat melunasi biaya perawatan anaknya.

2. A merasa lelah karena telah seharian bekerja. Seusai jam kerja A bermaksud untuk segera pulang dan beristirahat. Dalam perjalanan menuju rumah A ditelepon salah seorang jemaat. Jemaat tersebut sedang mengalami permasalahan yang cukup berat dan meminta A untuk datang ke rumahnya. A tidak jadi pulang dan mampir ke rumah jemaat itu.

A mau datang karena:

a. A dikenal sebagai seorang Hamba Tuhan yang baik.

b. A merasa sebagai seorang Hamba Tuhan wajib menolong jemaatnya selama A bisa.


(19)

3. A seorang Hamba Tuhan yang sibuk dengan tugas-tugasnya. Suatu ketika rekan sepelayanannya yang bernama C sakit. C meminta A untuk menggantikannya berkhotbah 2 hari mendatang karena C khawatir tidak dapat mempersiapkan pelayanannya dengan baik. A bersedia menggantikan C berkhotbah walaupun sebenarnya A sibuk.

A menggantikan C karena:

a. Dahulu ketika A sakit C juga pernah menggantikan A berkhotbah. b. Agar C dapat beristirahat dan memulihkan kesehatannya.

c. Sebagai Hamba Tuhan, A harus menunjukkan sikap menolong.

4. A seorang Hamba Tuhan yang sibuk. Pada suatu kesempatan A mendapat 1 hari libur dan A mendengar bahwa salah seorang jemaatnya masuk rumah sakit. A menawarkan diri untuk menjaga jemaat tersebut walaupun hari itu seharusnya hari untuk A beristirahat.

A menawarkan bantuannya karena:

a. A kebetulan sedang tidak ada kegiatan, menjenguk jemaat dapat dipakai untuk memanfaatkan waktu.

b. A merasa jemaat yang sedang sakit perlu ditemani untuk dihibur.

c. Sebagai seorang Hamba Tuhan A merasa berguna telah melakukan sesuatu untuk orang lain.


(20)

5. A melayani di sebuah gereja kecil. Jumlah Hamba Tuhan yang melayani di gereja tersebut tidak terlalu banyak bahkan cenderung terlalu sedikit. Selain itu tunjangan hidup yang diberikan gereja ke setiap Hamba Tuhan yang melayani sangat minim. Bahkan kadang A mengalami kesulitan untuk memenuhi biaya hidupnya sehari-hari. Sebetulnya A pernah mendapat tawaran untuk melayani di gereja yang lebih besar. Walaupun demikian A menolak tawaran tersebut dan tetap melayani di gerejanya saat ini.

A tetap bertahan karena:

a. A merasa tenaga pelayanan di gereja tersebut sangatlah kurang dan jika A meninggalkan pelayanan tersebut maka gereja akan kerepotan.

b. A merasa tidak etis jika keluar dikarenakan masalah tunjangan hidup. c. A ingin membuktikan pada dirinya bahwa ia dapat melayani Tuhan

dengan berkorban.

6. A diajak oleh rekan sepelayanannya melayani ke suatu daerah yang baru tekena bencana alam. A sebenarnya sedang tidak ingin pergi keluar kota karena A cukup banyak pekerjaan akan tetapi A tetap pergi.

A melakukan hal tersebut karena:

a. A khawatir disebut sebagai Hamba Tuhan yang tidak mau melayani. b. A merasa perlu membantu S dalam pelayanan S ke luar kota.

c. A merasa sebagai Hamba Tuhan perlu untuk mengutamakan setiap pelayanan yang ditawarkan.


(21)

7. Gereja akan mengadakan kegiatan rekreasi bersama. Biaya pendaftarannya cukup mahal. S seorang remaja yang kurang mampu ingin sekali mengikuti kegiatan tersebut. A seorang Hamba Tuhan baru di gereja tersebut berinisiatif untuk membayar biaya rekreasi S.

A melakukan tersebut karena

a. A ingin disukai dan diterima oleh S dan jemaat.

b. A merasa kasihan karena S ingin berekreasi bersama teman – teman S yang lain.

c. Firman Tuhan mengajarkan A untuk hidup berbagi.

8. A mendapatkan tugas khotbah minggu ini. Pada saat A sedang mempersiapkan khotbahnya, Y seorang jemaat A memintanya melayani upacara kedukaan anggota keluarga Y yang baru meninggal. Keluarga Y bukanlah keluarga yang berada/kaya. A menyanggupi pelayanan kedukaan tersebut walaupun sebenarnya A harus mempersiapkan khotbahnya.

A mau melakukannya karena.

a. A takut dikira membeda-bedakan jemaat kaya dan miskin jika menolak pelayanan tersebut.

b. A merasa keluarga yang sedang berduka perlu dihibur dan dikuatkan. c. A merasa mempersiapkan khotbah ataupun pelayanan kedukaan

sama-sama merupakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang Hamba Tuhan.


(22)

9. A berencana untuk mengunjungi orang tua A selama beberapa hari pada waktu liburan. Akan tetapi beberapa hari menjalang liburan, gereja memberikan A suatu tugas pelayanan pada waktu bersamaan ketika A akan mengunjungi orang tuanya. A memilih untuk tetap mengunjungi orang tua A dan menolak pelayanan tersebut. A melakukan hal tersebut karena

a. A sangat ingin mengunjungi orang tuanya, karena A sudah lama tidak bertemu dengan orang tuanya.

b. A takut dianggap tidak bijak dalam membagi waktu antara pelayanan dan keluarga.

c. Bagi A, keluarga merupakan salah satu prioritas utama dalam pelayanan.

10. A seorang Hamba Tuhan yang sibuk. Suatu ketika A berjanji untuk mengajak keluarganya pergi berlibur. Saat di perjalanan A mendapat kabar tentang salah seorang jemaat yang sedang sakit dan perlu untuk dibesuk. A memilih untuk tetap pergi berlibur bersama keluarga.

Alasan A memilih untuk berlibur karena:

a. A merasa butuh berlibur untuk menyegarkan kembali pikirannya dari kejenuhan.

b. A takut keluarganya akan marah karena A membatalkan rencana liburan. c. A merasa perlu menepati janji pada keluarganya.


(23)

11. A, seorang Hamba Tuhan, mendapatkan surat permohonan dari salah seorang jemaatnya yang bernama X. Surat permohonan itu berisi tentang permohonan beasiswa bagi dua anak X yang masih sekolah karena X baru saja di-PHK dan ia tidak mampu membayar uang iuran.

Yang dilakukan A:

a. Mengajukan surat permohonan tersebut ke Departemen Diakonia agar bisa ditindak-lanjuti.

b. Memberikan bantuan sesuai dengan prosedur gereja yang berlaku. c. Berusaha untuk membantu X mendapatkan pekerjaan yang baru.

12. Pada saat yang bersamaan A mendapatkan 2 proposal dari 2 gereja kecil di pedesaan. Kedua gereja tersebut mengajukan permohonan bantuan dana untuk pembangunan gereja. Gereja A hanya memiliki dana yang terbatas dan A harus memutuskan pemberian dana yang akan dikirimkan.

Yang dilakukan A:

a. A akan membagi rata dana yang ada dan dikirimkan ke gereja tersebut. b. A akan mensurvei ke gereja-gereja tersebut sebelum A mengirimkan dana

bantuan.


(24)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Indonesia sedang mengalami krisis multidimensi yang berkepanjangan. Krisis ini telah berdampak kepada berbagai aspek kehidupan. Sejak krisis moneter sekitar tahun 1997, banyak masyarakat Indonesia yang mengalami kemiskinan. Kemiskinan berdampak terhadap tatanan kehidupan masyarakat karena kemiskinan meningkatkan masalah-masalah lain seperti kriminalitas dan pendidikan. Kondisi ekonomi yang buruk mengakibatkan bertambahnya pengangguran, individu mengembangkan cara-cara lain untuk dapat menyambung hidupnya. Melihat hal tersebut maka tidaklah aneh apabila pada dekade belakangan ini semakin banyak anak-anak dan remaja yang terpaksa putus sekolah. Mereka ikut bekerja membantu orangtuanya karena tidak memiliki biaya untuk menghidupi mereka. Seringkali mereka mencari nafkah dengan cara menjadi pengemis atau pengamen.

Keadaan bangsa Indonesia menjadi semakin memprihatinkan dengan adanya banyak bencana alam yang melanda Indonesia. Sebagai contoh, tsunami di Aceh dan sekitarnya, gempa bumi di Yogyakarta, Bengkulu, dan ada juga bencana yang diakibatkan oleh manusia sendiri seperti bencana lumpur di Jawa Timur (Lumpur Lapindo). Peristiwa-peristiwa tersebut mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit bagi bangsa Indonesia, baik secara material seperti harta benda,


(25)

2

tempat tinggal maupun non material seperti kehilangan anggota keluarga, kesempatan pendidikan, pekerjaan dan sebagainya.

Kondisi Indonesia yang demikian turut mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kondisi yang kurang baik ini mengakibatkan semakin banyak masyarakat yang membutuhkan pertolongan. Perilaku tolong menolong itu sendiri merupakan perilaku yang penting. Ketika manusia lahir ia tidak memiliki kemampuan untuk hidup tanpa orang lain. Manusia memerlukan orang lain untuk merawatnya, memberinya makan, dan menyediakan berbagai kebutuhan yang tidak dapat disediakan dirinya sendiri. Ketika sudah menjadi tua karena kemampuan fisiknya semakin merosot, manusia juga memerlukan orang lain untuk menolongnya. Bukan hanya dari segi fisik, dari segi psikologis manusia juga memerlukan orang lain. Murray (1938), seorang ahli di bidang psikologi, mengungkapkan bahwa setiap manusia memiliki beberapa kebutuhan yang berorientasi pada sesamanya. Menurutnya manusia memiliki dorongan untuk dicintai, dihargai, ditolong maupun kebutuhan untuk menolong. Namun demikian, perilaku tolong menolong sudah semakin meluntur. Belakangan ini terdapat banyak kasus menunjukkan penyimpangan dalam memberikan pertolongan. Contoh kasus yang berhubungan dengan penyimpangan tersebut adalah pemberian subsidi pendidikan bagi warga yang tidak mampu, sehingga warga yang membutuhkan seringkali tidak mendapat atau dipersulit prosesnya. Bahkan seringkali subsidi tersebut juga dinikmati oleh warga yang sebenarnya mampu secara ekonomi (www.kompas.com, tanggal 24 Juli 2007). Contoh lainnya, peristiwa yang dimuat dalam harian Kompas 5 Mei 2005, seorang dokter yang


(26)

3

menolak datang ketika seorang pasien membutuhkan pertolongan di malam hari. Kasus tesebut merupakan salah satu kasus yang menunjukkan bahwa keadaan menyebabkan manusia menjadi semakin egois dan tidak memperhatikan kebutuhan orang lain.

Perilaku memberi bantuan terhadap sesama dikenal dengan istilah perilaku prososial (Hoffman, 1970). Profesi sebagai rohaniwan merupakan salah satu profesi yang sangat berhubungan dengan perilaku prososial. Seorang rohaniwan selalu diharapkan menjadi penolong, menjadi teladan dan panutan, menjadi penguat iman, atau bahkan menjadi seorang pembimbing bagi jemaatnya. Seorang rohaniwan di gereja biasa dikenal dengan sebutan pendeta atau penginjil. Tanggung jawab seorang pendeta atau penginjil begitu berat secara fisik maupun psikis. Sebagai seorang manusia biasa sangatlah mungkin bila suatu saat mereka akan mengalami kejenuhan. Dalam menjalankan tugas pelayanannya, seorang pendeta tidak akan selalu mendapatkan umpan balik, apakah pekerjaannya berhasil atau tidak. Pekerjaan ini akan berlangsung terus menerus, selalu berhubungan dengan tuntutan-tuntutan yang tidak akan habis-habisnya. Melayani manusia berarti harus bekerja dengan berbagai kondisi yang sama dari tahun ke tahun. Oleh karena itu seorang rohaniwan akan sangat banyak mengorbankan waktu pribadi bahkan waktu bersama keluarga untuk orang lain. Menjadi seorang rohaniwan membutuhkan kesediaan diri, komitmen dan panggilan melalui ajaran agama dan kepekaan terhadap lingkungan. Yang tidak kalah penting seorang rohaniwan perlu memiliki jiwa sosial untuk menolong orang lain tanpa pamrih.


(27)

4

Dalam wawancara yang dilakukan peneliti terhadap seorang pendeta di Gereja “X” di kota “B”, kegiatan pelayanan yang harus dilakukan rohaniwan setiap hari antara lain: mempersiapkan kotbah dan ibadah (termasuk perjamuan kudus, baptisan, dan sakramen gerejawi lain), melakukan pembinaan terhadap jemaat, mengadakan kunjungan kepada jemaat yang sakit untuk memberi perhatian dan mendoakan, mengadakan kunjungan kepada jemaat yang sedang dilanda masalah dalam rangka memberikan dukungan atau bahkan terlibat langsung untuk membantu menyelesaikan masalah, memberi masukan atau nasihat, memberikan konseling kepada jemaat yang membutuhkan, memimpin upacara keagamaan khusus seperti upacara pernikahan atau upacara pemakaman. Melihat pekerjaan-pekerjaan tersebut, hampir setiap tugas mereka berhubungan dengan kegiatan menolong orang lain.

Wawancara yang dilakukan terhadap salah seorang jemaat yang telah sekitar 13 tahun menjadi anggota jemaat di Sinode Gereja “X” mengungkapkan data bahwa pengertian tentang tugas rohaniwan adalah seorang yang melayani dalam hal bimbingan iman para jemaat, menjadi teladan, memberikan perhatian dan memberikan bantuan jemaat ketika menghadapi masalah, melakukan kunjungan dan mendoakan orang yang sakit, dan memimpin kegiatan keagamaan. Dari wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa tugas rohaniwan selalu berhubungan dengan perilaku menolong yang berhubungan dengan orang lain.

Ada berbagai motif yang melandasi seseorang dalam memberi bantuan dan memberi pertolongan kepada orang lain (Hoffman, 1970). Motif ketika seseorang menunjukkan perilaku menolong ini dikenal dengan istilah motif prososial. Motif


(28)

5

prososial itu sendiri memiliki pengertian sebagai suatu keinginan yang kuat untuk menolong atau memberikan bantuan kepada orang lain (Hoffman, 1970). Motif prososial terbentuk secara individu karena pembentukannya dipengaruhi oleh pengalaman sosialisasi individu. Pada saat seorang rohaniwan akan melakukan tindakan prososial, tindakannya tersebut akan selalu didasari oleh motif prososial.

J. Reykowski (1982) menjelaskan, motif seseorang dalam menolong itu berbeda-beda. Ada motif yang berorientasi pada timbal balik apakah perilaku menolongnya menguntungkan bagi pelaku atau tidak; ada motif yang berorientasi pada tuntutan peran dan tanggung jawab dalam perilaku prososialnya; dan juga ada motif yang berorientasi pada kepuasan dan dorongan dalam diri untuk melakukan perilaku prososial.

Setiap motif untuk menolong menyebabkan kualitas yang berbeda dalam seseorang memberi pertolongan. Contohnya, ketika seorang rohaniwan menjalankan tugasnya untuk mendampingi jemaat yang sedang bermasalah. Apabila motif rohaniwan tersebut berorientasi pada timbal balik agar perilaku menolongnya menguntungkan bagi pelaku, maka mungkin perilaku menolongnya itu mengharapkan suatu imbalan berupa pujian atau bahkan dalam hal materi. Motif ini disebut sebagai Ipsocentric Motivation. Dengan motif ini akan sangat mungkin mengakibatkan secara tidak sadar seorang rohaniwan membedakan antara jemaat yang satu dengan jemaat yang lain. Lain halnya apabila motif rohaniwan itu berorientasi pada tuntutan tanggung jawab dan peran. Motif ini disebut Endocecntric Motivation. Perilaku prososial dengan motif ini mungkin akan diwarnai dengan tuntutan diri dan menghindari rasa tidak bertanggung


(29)

6

jawab. Dengan motif tersebut mungkin mengakibatkan perilaku menolong yang dilakukan hanya sekadar kewajiban dan tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Lain halnya dengan motif yang berorientasi pada kepuasan dan dorongan dalam diri untuk melakukan perilaku prososial. Motif ini dikenal dengan Intrinsic Motivation. Dengan motif tersebut maka dalam melakukan tindakan menolong, seorang rohaniwan tidak perlu memiliki alasan apa pun kecuali dorongan dari dalam dirinya, sehingga ia tidak mengharapkan imbalan, atau menghindari cemooh dalam memberikan bantun, akibatnya rohaniwan dengan motif ini tidak memilih-milih dalam memberikan bantuan dan akan memberikan pertolongan sesuai dengan kapasitas maksimalnya.

Menurut wawancara pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap seluruh Rohaniwan Sinode Gereja “X” kota ”B”, 80% mengungkapkan ketika mereka merasa jenuh dalam menjalankan tugas pelayananya, biasanya mereka dapat bertahan dengan membaca kitab suci dan mengingat kembali akan tugas panggilannya. Dengan kata lain, mereka bertahan karena merasa harus menjalankan tanggung jawab panggilan mereka. Sebanyak 20% mengungkapakan bahwa mereka dapat bertahan ketika melihat orang-orang yang sangat membutuhkan pelayanan mereka. Dengan kata lain mereka bertahan karena memperhatikan kebutuhan orang lain. Melalui wawancara di atas disimpulkan bahwa rohaniwan tersebut mendasari perilaku prososialnya dengan motif

endocentric. Mereka melakukan tugas pelayannya berdasarkan peran yang

menurutnya diberikan oleh Tuhan, oleh karena itu ia harus bertanggung jawab dalam menjalankannya.


(30)

7

Seseorang yang mendasari tindakannya dengan motif endocentric cenderung akan kurang memperhatikan kebutuhan objek sosial. Mereka akan hanya menjalankan tindakan menolong sebagai suatu kegiatan menjalankan tugas, kualitas tindakan tidak terpusat kepada kebutuhan objek sosialnya. Pada kenyataannya, seorang rohaniwan diharapkan memiliki motif Intrinsic. Seorang yang memiliki motif prososial intrinsic akan memberi pertolongan kepada orang lain tanpa dipengaruhi oleh lingkungan tetapi merupakan dorongan dari dalam dirinya. Akibatnya, orang dengan tipe tersebut tidak akan memilih siapa yang akan ditolongnya, apakah ia kaya atau miskin. Selain itu orang dengan tipe ini juga dalam memberikan pertolongan bukan merupakan tuntutan karena perannya atau profesinya. (Reykowski, 1982).

Kesenjangan antara motif yang diharapkan pada diri seorang rohaniwan yaitu motif intrinsic dengan kenyataan yang ada pada Rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B” menyebabkan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah :

Bagaimana motif prososial pada para rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B” .


(31)

8

1.3. Maksud dan Tujuan 1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah memperoleh gambaran motif prososial pada para rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B”.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran motif prososial yang dominan pada para rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B”.

1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoritis

• Memberikan informasi bagi para ilmuwan dalam bidang Psikologi Sosial mengenai motif prososial pada para rohaniwan Kristen.

• Sebagai landasan informatif bagi para ilmuwan dalam bidang Psikologi, khususnya bidang Psikologi Sosial dan Psikologi Intergratif untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan motif prososial pada para rohaniwan Kristen.

1.4.2. Kegunaan Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, antara lain :


(32)

9

• Diharapkan dapat memberikan masukan bagi Sinode Gereja “X” kota “B” dalam hal peningkatan pelayanan terhadap jemaat dengan memperhatikan motif prososial.

• Diharapkan dapat memberikan masukan bagi Sinode Gereja “X” kota “B” dalam hal pemberian bimbingan pada para pendeta atau penginjil dan para jemaat dalam meningkatkan motif prososialnya.

• Sebagai masukan bagi seminari-seminari dalam hal memberikan pendidikan dan pembinaan calon pendeta dan penginjil dalam mengembangkan motif prososialnya.

• Memberikan informasi bagi para rohaniwan dalam hal mengidentifikasi motif prososial sehingga dapat meningkatkan kesadaran untuk memunculkan perilaku prososial di lingkungan dimana mereka bertugas.

1.5. Kerangka Pikir

Perilaku menolong atau yang dikenal dengan perilaku prososial merupakan perilaku atau tindakan seperti menolong atau berbagi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain. (Hoffman, 1970). Istilah prososial pada seorang rohaniwan mencakup perilaku seperti: menolong jemaat yang mengalami kesulitan, memperhatikan kebutuhan jemaat, mendampingi jemaat yang bermasalah, mendoakan jemaat hingga memberikan bimbingan dalam bidang spiritual. Semua tindakan memiliki karakteristik umum, bahwa tindakan


(33)

10

seorang rohaniwan diorientasikan pada perlindungan dan pengarahan terhadap objek sosial yaitu para jemaat, suatu kelompok masyarakat ataupun masyarakat secara keseluruhan dan institusi sosial keagamaan. Tindakan seorang rohaniwan diklasifikasikan sebagai prososial berdasar pada arti sosialnya, yaitu jika karakteristik tindakan menunjukkan bahwa hal tersebut memiliki konsekuensi yang bernilai untuk orang lain dan bukan merupakan suatu keadaan yang dipaksakan.

Dalam menjalankan profesinya, seorang rohaniwan akan diperhadapkan dengan tugas-tugas yang berhubungan dengan pelayanan terhadap jemaatnya. Dalam buku Tata Cara Pelayanan dan Pelaksanaan Tugas Gereja di Sinode “X” dijabarkan bahwa tugas seorang penginjil atau rohaniwan antara lain ialah menumbuhkan iman kerohanian jemaat, memimpin pelayanan mimbar (upacara-upacara keagamaan seperti upacara kedukaan, pengucapan syukur), memperhatikan kehidupan jemaat, memberikan konseling dan bimbingan kepada jemaat, menjadi teladan bagi jemaat. Dengan memperhatikan karakteristik profesi seorang rohaniwan, maka sebagian besar dari tugasnya tersebut akan berhubungan dengan tindakan prososial.

Ada berbagai motif yang melandasi seseorang memberi bantuan dan memberi pertolongan kepada orang lain. Motif pada saat seseorang melakukan perilaku menolong dikenal dengan istilah motif prososial. Motif prososial itu sendiri memiliki pengertian sebagai suatu keinginan yang kuat untuk menolong atau memberikan bantuan kepada orang lain (Hoffman, 1970). Motif prososial


(34)

11

terbentuk secara individu karena pembentukannya dipengaruhi oleh pengalaman sosialisasi individu.

Setiap orang, termasuk seorang rohaniwan melakukan tindakan prososial berdasarkan motif tertentu pada dirinya. Reykowski (1982) membedakan jenis motif seseorang dalam melakukan tindakan prososial. Ada tiga mekanisme motif yang berbeda dari tingkah laku prososial seseorang. Pertama tingkah laku prososial dikontrol oleh harapan untuk memperoleh keuntungan (atau menghindari kerugian). Kedua, tingkah laku prososial dikendalikan oleh harapan terhadap perubahan self-esteem bergantung pada realisasi norma sosial. Ketiga, tingkah laku prososial dikendalikan oleh kebutuhan objek sosial eksternal.

Seorang rohaniwan dalam menjalankan tugasnya menolong jemaat bisa jadi dikarenakan ingin mendapatkan keuntungan atau reward dari pelayanannya tersebut. Reward bisa berupa pujian atau penghargaan dari jemaatnya, mendapatkan hadiah dari jemaat maupun berupa dukungan dana untuk pelayanan gereja, dapat juga berupa simpati dari jemaat, disukai jemaatnya, atau bahkan mungkin untuk mengharapkan mendapat berkat dari Tuhan. Selain itu bisa juga seorang rohaniwan dalam menjalankan pelayanannya disebabkan rasa takut dirugikan atau mendapatkan hukuman seperti dianggap tidak bertanggung jawab, reputasinya rusak karena menolak memberikan pertolongan, kehilangan profesinya sehingga tidak memiliki penghasilan, atau bahkan ia merasa takut dihukum oleh Tuhan. Pada mekanisme motif prososial jenis pertama ini Reykowski (1982) menyebutnya sebagai Ipsocentric Motivation.


(35)

12

Seorang rohaniwan dengan Ipsocentric Motivation akan selalu mengorientasikan tindakan prososialnya pada keuntungan diri sendiri. Akibatnya dalam menjalankan pelayanan, seorang rohaniwan dengan motif ini cenderung akan memilih-milih objek mana yang menguntungkan bagi dirinya sendiri. Perilaku umum yang dapat terlihat oleh masyarakat umumnya antara lain ketika memberikan pertolongan seorang rohaniwan dengan tipe ini akan lebih mengutamakan jemaat yang kaya, yang lebih memiliki pengaruh, atau jemaat yang baik sedangkan jemaat yang miskin, yang tidak memiliki pengaruh, dan jemaat yang kurang disukainya cenderung tidak diprioritaskan.

Mekanisme motif kedua disebut oleh Reykowski (1982) sebagai

Endocentric Motivation. Seorang rohaniwan dengan motif jenis ini akan

menjalankan tugas pelayanannya karena dorongan untuk mengikuti norma-norma dalam hidupnya. Dengan kata lain, yang menjadi sumber dorongan untuk menolong orang lain adalah karena rasa tanggung jawabnya terhadap suatu norma yang dianutnya. Dasar norma yang dianut oleh seorang rohaniwan berasal dari kitab suci. Seorang rohaniwan Kristen memiliki tanggung jawab untuk melakukan setiap perintah yang tertulis dalam kitab suci. Dalam kitab suci agama Kristen terdapat perintah untuk menolong dan memperlakukan orang lain dengan baik. Apabila yang mendasari perilaku seorang rohaniwan dalam menolong adalah rasa tanggung jawab untuk melakukan perintah tersebut, maka rohaniwan tersebut memiliki motif tipe ini.

Seorang rohaniwan dengan Endocentric Motivation cenderung akan menunjukkan kualitas pelayanan yang juga berorientasi pada diri sendiri.


(36)

13

Orientasi seorang rohaniwan dengan motif ini mengarah kepada self-esteem-nya. Suatu tindakan dengan motif tipe ini menimbulkan kualitas yang tidak sempurna bahkan bisa jadi tidak jauh berbeda dengan tipe yang pertama di atas.

Mekanisme motif ketiga disebut oleh Reykowski (1982) Intrinsic

Motivation. Seorang Rohaniwan dengan motif jenis ini akan menjalankan tugas

pelayanannya menolong orang lain dengan alasan karena seseorang yang akan ditolongnya dirasakan benar-benar membutuhkan pertolongan. Seorang rohaniwan dengan motif ini ketika menjalankan tugas pelayanannya akan menunjukkan kualitas perilaku yang cenderung lebih berkualitas dan adekuat. Demikian juga dalam tindakan prososial yang ditunjukkannya rohaniwan dengan tipe ini cenderung akan menunjukkan sikap yang tidak memilih-milih dikarenakan yang menjadi penekanan bukanlah dirinya sendiri akan tetapi objek sosial yang membutuhkan bantuan; dengan kata lain ketika salah seorang membutuhkan pertolongan, rohaniwan tersebut akan berusaha membantu sebaik mungkin walaupun orang tersebut tidak kaya bahkan saat tidak ada orang lain yang melihatnya.

Dengan menetapkan bahwa suatu tingkah laku prososial seorang rohaniwan dikontrol oleh mekanisme motivasi yang sudah disebutkan sebelumnya, diasumsikan bahwa ada perbedaan yang besar dalam proses pembentukan tindakan tersebut. Perbedaan mengacu pada (a) Perbedaan dalam kondisi awal tindakan diberikan; (b) Perbedaan dalam karakteristik dari akibat awal tindakan diberikan yaitu karekateristik yang diharapkan dari outcome tersebut yang mengontrol tindakan; (c) Perbedaan dalam kondisi-kondisi yang


(37)

14

memudahkan peristiwa diberikan; (d) Perbedaan dalam kondisi yang menerapkan suatu efek pencegahan dari suatu tindakan diberikan; dan (e) Perbedaan dalam karakteristik kualitas dari tindakan diberikan.

Perbedaan dalam kondisi awal tindakan diberikan berhubungan dengan suatu situasi yang dapat menimbulkan tindakan menolong pada Rohaniwan Sinode Gereja ”X” kota ”B”. Pada rohaniwan dengan ipsosentric motivation, kondisi awal yang memunculkan tindakan prososial adalah harapan akan mendapatkan keuntungan pribadi, popularitas atau penghargaan, atau menghindari celaan, kerugian. Pada rohaniwan dengan endocentric motivation kondisi awal yang memunculkan tindakan prosial adalah keinginan untuk memenuhi norma dalam diri. Sedangkan pada rohaniwan dengan intrinsic motivation, tindakan prososial dapat muncul karena persepsi terhadap objek sosial yang membutuhkan bantuan, atau sedang berada dalam kesulitan.

Perbedaan dalam karakteristik dari akhir penetapan tindakan diberikan berhubungan dengan akibat awal dari suatu tindakan diberikan. Seorang rohaniwan dengan Intrinsic Motivation melakukan suatu tindakan prososial berorientasi pada keuntungan dirinya sendiri termasuk melindungi minat dirinya. Seorang rohaniwan dengan Endocentric Motivation berorientasi pada peningkatan

self-esteem dirinya atau sebaliknya menghindari penurunan self-esteem pada

dirinya. Seorang rohaniwan dengan Intrinsic Motivation berorientasi pada kepuasan mengetahui objek sosial merasa tertolong.

Perbedaan dalam kondisi-kondisi yang menunjang tindakan diberikan berhubungan dengan hal-hal yang mendukung suatu tindakan prososial


(38)

15

meningkat. Seorang rohaniwan dengan Ipsocentric Motivation meningkatkan suatu tindakan prososial apabila keuntungan yang didapatkan juga meningkat atau rasa takut kehilangan reward juga meningkat. Seorang rohaniwan dengan

Endocentric Motivation akan terpacu untuk melakukan suatu tindakan prososial

terkonsentrasi pada aspek-aspek moral dari perilaku dan apek-aspek moral dari dalam diri. Seorang rohaniwan dengan Intrinsic Motivation terfokus pada objek sosialnya.

Perbedaan dalam kondisi yang menerapkan suatu efek pencegahan dari suatu tindakan diberikan berhubungan dengan hal-hal yang menghambat suatu tindakan prososial diberikan. Seorang rohaniwan dengan Ipsocentric Motivation akan menghindari tindakan prososial apabila terdapat kemungkinan dirinya mengalami kerugian karena terlibat di dalam aksi prososial atau kemungkinan dirinya memperoleh reward yang lebih tinggi untuk tindakan nonprososial. Seorang rohaniwan dengan Endocentric Motivation akan menghindari perilaku apabila suatu kondisi yang meyebabkan aspek-aspek dirinya mengakibatkan bertolak belakang dengan norma sosial. Seorang rohaniwan dengan Intrinsic

Motivation akan menghindari tindakan prososial ketika pertimbangan dirinya

menyatakan bahwa objek sosial akan lebih mendapatkan kepuasan ketika tindakan prososial tidak diberikan.

Perbedaan dalam karakteristik kualitas dari tindakan diberikan berhubungan dengan kualitas dari tindakan prososial. Seorang rohaniwan dengan

Ipsocentric Motivation dan Endocentric Motivation memiliki level minat yang


(39)

16

mengakibatkan derajat kecermatan dalam memberikan pertolongan cenderung rendah. Seorang rohaniwan dengan Intrinsic Motivation memiliki level minat yang tinggi dalam melihat kebutuhan objek sosial yang sesungguhnya. Hal tersebut mengakibatkan derajat kecermatan dalam memberikan pertolongan cenderung tinggi.

Dalam menetapkan tipe-tipe motif prososial, Reykowski (1982) menggunakan pendekatan kognitif. Reykowski mengasumsikan bahwa suatu tindakan didasari oleh pengorganisasian kognisi yang dibentuk sebagai suatu produk dari interaksi antara perkembangan seseorang dan lingkungan sosialnya. Organisasi kognisi yang dihasilkan sebagai suatu sistem yang kembali menghadirkan objek fisik dan sosial serta interaksi keduanya. Objek-objek disandikan dalam sistem sebagai struktur kognisi. Akan tetapi walaupun sistem kognitif dibentuk sebagai penyampaian kembali dari objek, kejadian dan relasi, hal tersebut juga memiliki kemampuan umum.

Reykowski (1982) secara implisit menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi motif prososial rohaniwan yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi proses pembentukan kognisi dalam diri rohaniwan antara lain adalah faktor keluarga dan lingkungan. Mussen (dalam Reykowski ,1982) mengamati relasi antara anak yang dididik dalam keluarga yang mengajarkan kejujuran dan kebiasaan saling menolong akan menunjukkan tindakan prososial yang lebih tinggi frekuensinya. Lingkungan keluarga, dimana orang tua sebagai model akan membuat para rohaniwan akan mengobservasi tingkah laku prososial orang tua, dan hal ini sangat mempengaruhi perkembangan


(40)

17

tingkah laku prososial para rohaniwan. Orang tua yang menggunakan

reinforcement (Reward and Punishment) dalam perkembangan anak, sehingga

tingkah laku akan diulang lagi atau tidak yang mengarah pada pembentukan motif ipsosentrik. Menggunakan petunjuk secara verbal dalam membentuk tindakan menolong dan menjelaskan mengapa para rohaniwan harus menolong, merupakan teknik yang penting yang dapat digunakan orang tua untuk mengajarkan tingkah laku menolong pada rohaniwan yang mengarah pada pembentukan motif endosentrik atau intrinsik. Orang tua dapat menunjukkan tingkah laku menolong yang dikehendaki dan dapat menstimulasi penalaran moral mengapa tingkah laku ini harus dibentuk. Dengan menuntun perhatian anak pada akibat dari tingkah laku mereka orang tua melatih kepekaan anak terhadap kebutuhan orang lain dan meninggikan kapasitas empati mereka (Hoffman, 1970).

Selain orang tua, lingkungan teman sebaya dan lingkungan pendidikan juga berpengaruh pada perkembangan tingkah laku prososial rohaniwan. Paspalanowa (dalam Reykowski, 1982) menemukan suatu indikasi bahwa perilaku menolong bergantung pada norma kelompok, seseorang akan lebih menunjukkan sikap menolong terhadap orang asing jika berada dalam lingkungan kelompok yang suka menolong dan menjadi tidak suka menolong jika berada dalam lingkungan kelompok yang membedakan dan tidak simpati terhadap orang asing. Selain itu Paspalanowa (dalam Reykowski, 1982) menyimpulkan bahwa konformitas menjadi pertimbangan bagi seseorang untuk melakukan tindakan prososial sehingga motif prososial rohaniwan dipengaruhi oleh konformitas sesuai dengan peran dari lingkungannya. Lingkungan para rohaniwan dapat memberikan


(41)

18

teknik bermain peran untuk membangun kepekaan terhadap kebutuhan orang lain dan meningkatkan kemampuan perspektif sosial dan empati. (Ahamer & Murray, 1979).

Faktor internal yang mempengaruhi motif prososial rohaniwan antara lain usia (berhubungan dengan perkembangan kognitif) dan jenis kelamin. Tahap perkembangan kognisi pada para rohaniwan berhubungan dengan usia. Para rohaniwan di Sinode Gereja “X” kota “B” pada umumnya berada pada tahap perkembangan dewasa yang telah mampu berpikir secara formal operasional sehingga cenderung telah menginternalisasikan sistem norma, peran, dan nilai yang ada. (Piaget dalam Santrock; 2005). Kemampuan kognitif pada masa dewasa yang telah mencapai formal opersional akan memungkinkan untuk mengetahui dan memikirkan untung dan rugi dari tindakan dunia interpersonal, adanya hubungan timbal balik dan mendudukkan diri pada posisi diri maupun orang lain dan kemampuan untuk memahami situasi dari sudut pandang orang lain (perspective taking) dalam suatu kondisi tertentu (Bar-Tal. 1981). Pada tahap ini orang dewasa mengerti perspektif orang lain yang lebih rumit dan membuatnya mampu untuk memiliki alasan yang menggambarkan bahwa ia memiliki pendapat tentang sesuatu yang mendasari tindakan mereka. (Bar-Tal. 1981)

Tugas perkembangan yang harus dicapai rohaniwan pada masa dewasa antara lain ialah mengenal, menanamkan dan mengembangkan norma lingkungan, sikap positif terhadap diri sendiri seperti sikap prososial dan adanya keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain (Santrock, 2005). Tidak hanya menjalankan peran rohaniwan sesuai dengan tuntutan lingkungannya,


(42)

19

menginginkan dan memperlihatkan perilaku prososial yang dapat dipertanggung jawabkan secara sosial. Erikson, 1968 (dalam Santrock, 2005) mengatakan dalam usia tersebut, para rohaniwan terdapat pada fase Generativity VS Stagnation yang menunjukkan adanya keinginan untuk berguna bagi orang lain.

Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka pikir untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :


(43)

20

Rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B”

Bagan 1.1. Kerangka Pikir

Motif prososial Faktor-faktor yang mempengaruhi : 1. Faktor eksternal : - Keluarga

- Lingkungan 2. Faktor internal : - Usia

- Jenis Kelamin

5 aspek dari motif prososial : 1. Kondisi awal

2. Akibat awal

3. Kondisi yang mendukung 4. Kondisi yang menghambat 5. Kualitas tindakan

Ipsocentric motivation

Endocentric motivation

Intrinsic prosocial motivation


(44)

21

1.6. Asumsi

Berdasarkan uraian diatas dapat diasumsikan bahwa :

1. Tindakan prososial pada rohaniwan didasari oleh motif prososial.

2. Terdapat tiga jenis Motif Prososial pada Rohaniwan yaitu Ipsocentric

Motivation, Endocentric Motivation, dan Intrinsic Motivation.

3. Setiap Rohaniwan memiliki ketiga jenis motif tersebut tetapi terdapat motivasi yang lebih mendominasi.

4. Jenis motif prososial pada Rohaniwan dinilai melalui kondisi awal, akibat awal, kondisi yang mendukung, kondisi yang menghambat, dan kualitas tindakan.


(45)

70

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Berdasarkan pengolahan data dan pembahasan hasil yang diperoleh maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B”, pada umumnya memiliki motif prososial intrinsic yang dominan.

2. Aspek kondisi awal, akibat awal dan kondisi yang mendukung pada motif prososial Rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B” telah berkembang sehingga rohaniwan dapat menunjukkan tindakan prososial dalam pelayannya berdasarkan motif intrinsic.

3. Kondisi yang menghambat motif prososial dalam pelayanan Rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B” belum berkembang. Rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B” kurang memiliki pemahaman pentingnya memenuhi kebutuhan pribadi.

4. Kualitas tindakan yang akan diberikan dalam pelayanan Rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B” pada umumnya belum optimal. Hal tesebut diduga karena rohaniwan terlalu sibuk dalam melakukan tugas pelayanannya.

5. Ada keterkaitan antara motif prososial dengan jenis kelamin dimana pada rohaniwan berjenis kelamin perempuan motif prososialnya cenderung


(46)

71

mengarah pada motif intrinsic dibadingkan rohaniwan berjenis kelamin laki-laki.

5.2. SARAN

A. Saran untuk Pengembangan Penelitian

1. Bagi peneliti bidang psikologi sosial disarankan untuk meneliti mengenai pengaruh jenis kelamin terhadap motif prososial rohaniwan.

2. Bagi peneliti bidang psikologi sosial disarankan untuk meneliti mengenai pengaruh reinforcement (reward dan punishment) terhadap motif prososial rohaniwan.

3. Bagi peneliti bidang psikologi sosial disarankan untuk meneliti mengenai pengaruh modeling terhadap motif prososial rohaniwan.

4. Kepada peneliti yang lain disarankan untuk meneliti mengenai hubungan motif prososial rohaniwan dengan tingkah laku prososial di Sinode Gereja “X” kota “B” .

B. Saran untuk Lembaga

1. Bagi Sinode Gereja “X” kota “B” agar mengevaluasi motif prososial rohaniwan kemudian memberikan program bimbingan kepada rohaniwan yang belum memiliki motif prososial intrinsic agar dapat mengembangkan motif intrinsic sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanannya terhadap jemaat.


(47)

72

2. Untuk lembaga pendidikan seminari, agar lebih memperhatikan dan membantu calon-calon rohaniwan yang belum memiliki motif intrinsic dalam upaya menambah wawasan mengenai motif dan perilaku prososial dan mengembangkan motif prososial mereka ke arah motif intrinsic. 3. Bagi Sinode Gereja “X” kota “B” agar kembali mempertimbangkan

pembagian tugas pelayanan rohaniwan sehingga rohaniwan tidak terlalu sibuk dan dapat mengoptimalkan tugas pelayanannya.

4. Bagi rohaniwan agar terus melakukan evaluasi terhadap pemberian pelayanan dan mendiskusikan dengan rekan kerja. Mengembangkan waktu untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri sehingga dapat lebih mengoptimalkan pelayanan.


(48)

73

DAFTAR PUSTAKA

Bar-Tal, Daniel., 1976. Prososial Behavior Theory and Research, Washington D.C: Hemisphere Publishing Corp

Eisenberg, Nancy., 1982. The Development of Prosocial Behavior, New York: Academic Press Inc

Gulo, W., 2002. Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Hurlock, Elisabeth B., 1980.Developmental Psychology A Life Span Approach. Fifth Edition. NewYork : Tata Mc Graw – Hill Publishing Company LTD.

Hurlock, Elisabeth B., 1997. Psikologi perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga

Prasetyo, F. Mardi, SJ., 1997. Unsur-Unsur Hakiki Rohaniwan, Yogyakarta: Kanisius

Santrock, John W. 2005. Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga.

Sears, David., 2000. Social Psychology. 10th Edition, Los Angeles: Prentice Hall International Inc

Siegel, Sidney., 1988. Statistik Parametik untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: PT Gramedia


(49)

74

DAFTAR RUJUKAN

Darnaedi, Chandranila. 2006. Studi Deskriptif Mengenai Tingkah Laku Prososial Pada Remaja Usia 13-15 Tahun Dalam Masyarakat Kasepuhan Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Skripsi. Bandung: Program Sarjana fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Majalah Komunikasi No 45 Tahun 2003

Pidada, Sri Untari. 1988. Peranan Lingkungan Kepramukaan dalam Mengembangkan Motif Prososial Anggota Pramuka. Tesis. Bandung: Program Pasca Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran


(1)

1.6. Asumsi

Berdasarkan uraian diatas dapat diasumsikan bahwa :

1. Tindakan prososial pada rohaniwan didasari oleh motif prososial.

2. Terdapat tiga jenis Motif Prososial pada Rohaniwan yaitu Ipsocentric Motivation, Endocentric Motivation, dan Intrinsic Motivation.

3. Setiap Rohaniwan memiliki ketiga jenis motif tersebut tetapi terdapat motivasi yang lebih mendominasi.

4. Jenis motif prososial pada Rohaniwan dinilai melalui kondisi awal, akibat awal, kondisi yang mendukung, kondisi yang menghambat, dan kualitas tindakan.


(2)

70 5.1. KESIMPULAN

Berdasarkan pengolahan data dan pembahasan hasil yang diperoleh maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B”, pada umumnya memiliki motif prososial intrinsic yang dominan.

2. Aspek kondisi awal, akibat awal dan kondisi yang mendukung pada motif prososial Rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B” telah berkembang sehingga rohaniwan dapat menunjukkan tindakan prososial dalam pelayannya berdasarkan motif intrinsic.

3. Kondisi yang menghambat motif prososial dalam pelayanan Rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B” belum berkembang. Rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B” kurang memiliki pemahaman pentingnya memenuhi kebutuhan pribadi.

4. Kualitas tindakan yang akan diberikan dalam pelayanan Rohaniwan Sinode Gereja “X” kota “B” pada umumnya belum optimal. Hal tesebut diduga karena rohaniwan terlalu sibuk dalam melakukan tugas pelayanannya.

5. Ada keterkaitan antara motif prososial dengan jenis kelamin dimana pada rohaniwan berjenis kelamin perempuan motif prososialnya cenderung


(3)

mengarah pada motif intrinsic dibadingkan rohaniwan berjenis kelamin laki-laki.

5.2. SARAN

A. Saran untuk Pengembangan Penelitian

1. Bagi peneliti bidang psikologi sosial disarankan untuk meneliti mengenai pengaruh jenis kelamin terhadap motif prososial rohaniwan.

2. Bagi peneliti bidang psikologi sosial disarankan untuk meneliti mengenai pengaruh reinforcement (reward dan punishment) terhadap motif prososial rohaniwan.

3. Bagi peneliti bidang psikologi sosial disarankan untuk meneliti mengenai pengaruh modeling terhadap motif prososial rohaniwan.

4. Kepada peneliti yang lain disarankan untuk meneliti mengenai hubungan motif prososial rohaniwan dengan tingkah laku prososial di Sinode Gereja “X” kota “B” .

B. Saran untuk Lembaga

1. Bagi Sinode Gereja “X” kota “B” agar mengevaluasi motif prososial rohaniwan kemudian memberikan program bimbingan kepada rohaniwan yang belum memiliki motif prososial intrinsic agar dapat mengembangkan motif intrinsic sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanannya terhadap jemaat.


(4)

2. Untuk lembaga pendidikan seminari, agar lebih memperhatikan dan membantu calon-calon rohaniwan yang belum memiliki motif intrinsic dalam upaya menambah wawasan mengenai motif dan perilaku prososial dan mengembangkan motif prososial mereka ke arah motif intrinsic. 3. Bagi Sinode Gereja “X” kota “B” agar kembali mempertimbangkan

pembagian tugas pelayanan rohaniwan sehingga rohaniwan tidak terlalu sibuk dan dapat mengoptimalkan tugas pelayanannya.

4. Bagi rohaniwan agar terus melakukan evaluasi terhadap pemberian pelayanan dan mendiskusikan dengan rekan kerja. Mengembangkan waktu untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri sehingga dapat lebih mengoptimalkan pelayanan.


(5)

73

DAFTAR PUSTAKA

Bar-Tal, Daniel., 1976. Prososial Behavior Theory and Research, Washington D.C: Hemisphere Publishing Corp

Eisenberg, Nancy., 1982. The Development of Prosocial Behavior, New York: Academic Press Inc

Gulo, W., 2002. Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Hurlock, Elisabeth B., 1980.Developmental Psychology A Life Span Approach.

Fifth Edition. NewYork : Tata Mc Graw – Hill Publishing Company LTD.

Hurlock, Elisabeth B., 1997. Psikologi perkembangan: Suatu Pendekatan

Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga

Prasetyo, F. Mardi, SJ., 1997. Unsur-Unsur Hakiki Rohaniwan, Yogyakarta: Kanisius

Santrock, John W. 2005. Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga.

Sears, David., 2000. Social Psychology. 10th Edition, Los Angeles: Prentice Hall

International Inc

Siegel, Sidney., 1988. Statistik Parametik untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: PT Gramedia


(6)

74

DAFTAR RUJUKAN

Darnaedi, Chandranila. 2006. Studi Deskriptif Mengenai Tingkah Laku Prososial

Pada Remaja Usia 13-15 Tahun Dalam Masyarakat Kasepuhan Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat. Skripsi. Bandung: Program Sarjana fakultas

Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Majalah Komunikasi No 45 Tahun 2003

Pidada, Sri Untari. 1988. Peranan Lingkungan Kepramukaan dalam

Mengembangkan Motif Prososial Anggota Pramuka. Tesis. Bandung:

Program Pasca Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran