Model Pembelajaran Fisika ( 32 Files )

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016

Identifikasi dan Analisis Penalaran Ilmiah Siswa SMA Kelas XI dan
XII
EVI PIPBIYANTI1), SENTOT KUSAIRI2,*), WARTONO3)
Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Negeri Malang. Jl. Semarang 5 Malang
2,3) Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang. Jl. Semarang 5 Malang,
E-mail: evi_pipbiyanti@yahoo.com

1) Pascasarjana

*) PENULIS KORESPONDEN
TEL:082245496965

ABSTRAK: Penalaran ilmiah merupakan salah satu aspek penting dalam pembelajaran, karena
menunjang kemampuan dalam berpikir kritis, kemampuan pemecahan masalah maupun
kemampuan mendesain eksperimen. Mengetahui penalaran ilmiah siswa merupakan salah satu
yang diperlukan untuk mendesain pembelajaran yang digunakan. Artikel ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dan menganalisis penalaran ilmiah siswa. Metode penelitian survey dilakukan
pada siswa kelas XI dan kelas XII SMA Negeri 2 Malang, dengan jumlah 30 siswa kelas XI dan
31 siswa kelas XII. Tes penalaran ilmiah diadaptasi dari LCTSR. Berdasarkan hasil tes, level

penalaran ilmiah siswa dapat diidentifikasi sebanyak 13,3% siswa kelas XI termasuk dalam level
empirical induktive (EI) dan 20% siswa pada level hypothetical deductive (HD). Sedangkan untuk
kelas XII, 12,9 % siswa termasuk level EI dan 9,68% siswa pada level HD. Sebagian besar siswa
dalam level transisi. Dalam penelitian ini diketahui pula siswa belum mampu dalam kategori
penalaran conservation of volume, propotional reasoning, dan control of variabel. Hasil tes ini
dapat digunakan sebagai referensi penalaran ilmiah yang dimiliki siswa SMA Negeri 2 Malang
sehingga guru dapat mendesain pembelajaran yang dilakukan di SMA Negeri 2 Malang untuk
meningkatkan kemampuan bernalar siswa.
Kata Kunci: Penalaran ilmiah, LCTSR.

PENDAHULUAN
Penalaran ilmiah merupakan kegiatan analisis menggunakan logika ilmiah
maupun logikanya sendiri yang berperan menunjang antara lain dalam berpikir kritis,
kemampuan memecahkan masalah maupun dalam melakukan peyelidikan ilmiah.
Manusia mampu menalar jika dia mampu berpikir secara logis dan analitis dalam
menganalisis untuk memecahkan persoalan-persoalan secara ilmiah. Menurut Arends
(2012) penalaran ilmiah merupakan kemampuan dan keterampilan yang diperlukan
untuk keberhasilan membangun penyelidikan ilmiah. Kemampuan ini sangat
mempengaruhi bagaimana siswa dapat mendesain penyelidikan atau eksperimen.
Sementara, Han (2013) menyatakan bahwa pembelajaran yang membangun penalaran

ilmiah sangat ditekankan dalam pendidikan sains, karena sangat mendukung pada
keberhasilan pembelajaran sains. Memiliki penalaran ilmiah yang baik memberikan
dampak yang positif pada hasil pembelajaran (Shayer & Adey, 1994). Penalaran ilmiah
yang baik akan menunjang prestasi siswa dan hasil belajar yang baik (Wahyudi, 2013).
Begitu pula dengan kemampuan dalam memecahkan masalah, dipengaruhi oleh
penalaran ilmiah (Wahyu, 2012).
Mengetahui penalaran ilmiah siswa diperlukan untuk mendesain pembelajaran.
Metode pembelajaran diarahkan untuk membangun penalaran ilmiah agar siswa
mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam bernalar. Menurut Duschl dan Gitomer
(1997), sangat penting untuk mendesain pembelajaran yang melibatkan siswa untuk
membangun pola berpikir, bernalar dan kemampuan pemecahan masalah, hal ini
berguna untuk menyiapkan siswa berperan dalam menjelaskan ilmu pengetahuan dan
dalam mendesain sebuah eksperimen. Reformasi pendidikan sains menekankan
pentingnya keterlibatan siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan penalaran
ilmiah untuk menjelaskan fenomena berdasarkan bukti yang ditemukannya (Brown,
2010).
ISBN 978-602-71279-1-9

PF-M-P-190


SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016
Walaupun mengetahui penalaran ilmiah siswa itu penting, tetapi belum banyak
guru fisika yang melakukannya dalam proses pembelajaran. Umumnya guru fokus pada
prestasi belajar fisika, belum melihat hal lain yang terkait, seperti penalaran ilmiah.
Sebagai dampaknya pembelajaran belum mampu membangun pola pikir siswa dalam
bernalar. Guru seharusya mampu membangun pola pikir siswa sejak dini karena untuk
jangka panjang akan memberikan dampak pola pikirnya dimasa depan. Sehingga
diperlukan proses pembelajaran yang sesuai untuk menyiapkan generasi yang mampu
menghadapi tantangan jaman.
Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian untuk memperoleh data
penalaran ilmiah siswa yang dapat digunakan sebagai gambaran kemampuan awal
siswa dalam hal bernalar di SMA Negeri 2 Malang. Hal ini berguna untuk menunjang
proses pembelajaran. Berdasarkan data tersebut guru dapat menyesuaikan metode
pembelajaran yang diperlukan untuk meningkatkan penalaran ilmiah siswa.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian survey. Pengambilan data dilaksanakan
Pebruari 2016 sampai April 2016. Sampel diambil secara cluster random sampling pada
siswa SMA Negeri 2 Malang. Didapatkan sampel dengan jumlah 30 siswa kelas XI
terdiri dari 15 siswa laki-laki dan 15 siswa perempuan. Sedangkan kelas XII dengan

jumlah 31 siswa terdiri dari 14 siswa laki-laki dan 17 siswa perempuan. Instrumen
penelitian menggunakan butir soal yang diadaptasi dari Lawson s Classroom Test of
Scientific Reasoning (LCTSR). Soal penalaran dengan tipe two-tier structure, 11 soal
berpasangan (jumlah soal 22), yang terdiri dari kategori: (1) conservation of massa and
volume, (2) seration, (3) propotional reasoning (4) control of variabels, (5) probability
reasoning.
Siswa memiliki level penalaran ilmiah Empirical Inductive (EI) jika menjawab
dengan benar dibawah 7 soal, sedangkan siswa pada level Hypothetical deductive (HD)
jika menjawab dengan benar diatas 14 soal. Jika benar antara 7 sampai 14 soal maka
siswa dinyatakan memiliki level transition.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Level Penalaran Ilmiah Siswa kelas XI dan XII
Penelitian ini melibatkan 61 siswa SMA Negeri 2 Malang dengan jumlah 30 siswa
kelas XI dan 31 siswa kelas XII. Hasil tes penalaran ilmiah ini dapat mengidentifikasi
level dan kategori penalaran ilmiah yang dimiliki siswa. Dari data tersebut dapat
dianalisis faktor yang menyebabkan hasil tes tersebut. Level penalaran ilmiah siswa
dibedakan antara kelas XI dan XII untuk melihat pengaruh lamanya proses
pembelajaran yang telah diterima siswa. Seyogyanya penalaran ilmiah kelas XII lebih
tinggi dibandingkan dengan kelas XI. Data hasil penalaran ini merupakan gambaran
awal penalaran ilmiah siswa di SMA Negeri 2 Malang. Level tes penalaran ilmiah

ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Level Penalaran Ilmiah

Level
EI
HD
Transition

Kelas XI
20,0 %
13,3 %
56,7 %

Kelas XII
9,7 %
12,9 %
77,4 %

Dari data tersebut diketahui persentase penalaran ilmiah sebagian besar siswa
berada pada level transisi. Pada level EI yang merupakan level rendah, siswa kelas XI

lebih tinggi daripada kelas XII, sedangkan pada level transisi kelas XII lebih tinggi dari
kelas XI. Salah satu penyebabnya adalah lama proses pembelajaran yang telah
ditempuh kelas XII dan ilmu yang telah dimiliki atau yang telah diperolehnya. Hasil tes
penalaran ilmiah siswa diketahui hanya sedikit yang mencapai level HD, hanya 10 %
saja yang termasuk level tersebut. Menurut Piaget, tingkat penalaran berdasarkan
ISBN 978-602-71279-1-9

PF-M-P-191

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016
kelompok umur diatas 11 tahun adalah level operasional formal atau HD, tetapi data
menunjukkan sebagian besar siswa masih pada level transisi, kemungkinan
penyebabnya pembelajaran yang diberikan adalah pembelajaran yang kurang
membangun cara bernalar siswa. Menurut Etkina (2006), jika kita menganggap
penalaran level HD penting untuk praktek ilmu pengetahuan dan terkait dengan
beberapa aspek ilmu pengetahuan di masa depan, maka pendidik harus lebih
menekankan untuk membantu siswa dalam mengembangkan penalaran ilmiah ini,
sehingga siswa dapat mentransfer penalarannya ke dalam menyelesaikan persoalan
dalam bidang fisika maupun bidang yang lain. Untuk mencapai kesuksesan pada
penalaran HD ini maka perlu perhatian dan pembelajaran berulang-ulang. Eksperimen

merupakan salah satu pembelajaran yang perlu dilakukan berulang-ulang. Selain itu
ada sarana untuk mengontrol pembelajaran dan hasil belajar siswa, agar diketahui
bagaimana perkembangan penalaran siswa.
Kategori Penalaran Ilmiah
Kategori penalaran ilmiah yang diujikan terdiri dari 6 kategori. Persentase hasil tes
penalaran ilmiah masing-masing kategori didasarkan pada jumlah siswa yang
menjawab benar, seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Tes Berdasarkan Kategori Penalaran Ilmiah.
No

Kelas XI

Kelas XII

2

16,7 %

30,6 %


4

37,5 %

37,1 %

59,17 %

71,77 %

1
3
5
6

65 %

53,3 %
36,7 %


Kategori Penalaran Ilmiah

70,2 %

conservation of massa (1,2,5,6)

50 %

seration (7,8)

34,4 %

conservation volume (3,4)

propotional reasoning (9,10,11,12)
control of variabels
(13,14,15,16,17,18)
probability reasoning (19,20,21,22)

Berdasarkan tabel 2, kategori penalaran ilmiah dibawah 50 %, yaitu pada kategori

conservation of volume, propotional reasoning, dan control of variabel, baik kelas XI
maupun kelas XII. Sebagian besar siswa belum mampu dalam ketiga penalaran ilmiah
tersebut. Ada dua faktor yang dianalisis yang merupakan penyebab rendahnya
penalaran tersebut yaitu konten butir soal dan proses pembelajaran yang telah
dilakukan.
Berdasarkan analisis jawaban siswa dapat ditemukan tiga hal sebagai berikut:
pertama, siswa dapat menjawab soal dan alasannya dengan benar, menunjukkan siswa
telah mampu memahami persoalan atau telah mampu dalam kategori penalaran
tersebut; kedua, sebagian besar siswa dapat menjawab soal dengan benar tetapi
sebagian kecil benar dalam memberikan alasan; ketiga, sebagian kecil siswa dapat
menjawab dengan benar baik soal dan alasannya,menunjukkan siswa benar-benar
belum paham dan kurang dalam penalaran tersebut.
Point ke dua ditemukan bahwa 80 % menjawab benar, tetapi salah ketika
memberikan alasan. Kategori tersebut adalah penalaran seration (pengurutan). Butir
soal nomor 7 dan 8 ditunjukkan sebagai berikut:
9. Empat mobil yang sedang melaju di lintasan balap dan diukur waktu perjalanannya. Didapatkan
data sebagai berikut.

Mobil A menempuh 3 putaran dalam 150 detik


Mobil B menempuh 3 putaran dalam 120 detik

Mobil C menempuh 2 putaran dalam 70 detik

Mobil D menempuh 2 putaran dalam 74 detik
Urutkan mobil yang memiliki kelajuan rata-rata terbesar hingga kecil!
E. B-D-C-A
F. D-C-B-A

ISBN 978-602-71279-1-9

PF-M-P-192

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016
G.
H.

C-D-B-A
C-B-D-A

10. Karena
D. Waktu yang dibutuhkan untuk menempuh 1 putaran semakin lambat.
E. Waktu yang dibutuhkan untuk menempuh 1 putaran semakin cepat
F. Semakin panjang lintasan yang ditempuh

Sebagian besar siswa telah dapat menjawab butir soal nomor 7 dengan benar
karena termasuk butir soal yang mudah. Materi kelajuan telah diperoleh ketika di SMP.
Kemungkinan penyebab ketika menjawab alasan salah adalah siswa tidak mampu
membayangkan kata lambat dan cepat pada option A dan B untuk waktu. Kata
tersebut umumnya untuk menyatakan kelajuan . Kemungkinan kalimat untuk option
A dan B diatas mengandung makna ganda.
Point ketiga yang menyatakan sebagian besar siswa tidak dapat menjawab dengan
benar, baik soal maupun alasannya, yaitu nomor 15 dan alasannya nomor 16. Soal
tersebut ditunjukkan sebagai berikut:
16. Dua puluh lalat buah di tempatkan pada empat tabung gelas dan tersegel. Tabung 1 dan 2
sebagian dilapisi kertas hitam, tetapi tabung 3 dan 4 tidak. Posisi tabung 1 dan 3 ditempatkan
vertikal (lihat gambar). Kemudian keempat tabung disinari cahaya merah dari arah atas dan
bawah selama 5 menit. Setelah lima menit, jumlah lalat di setiap sisi tabung ditunjukkan pada
gambar berikut.

Percobaan di atas, dapat disimpulkan bahwa lalat merespon...
E. cahaya merah dan tidak gravitasi
F. gravitasi tetapi tidak cahaya merah
G. cahaya merah dan gravitasi
H. tidak keduanya
17
E.
F.
G.
H.

Karena
Banyak lalat di bagian atas tabung 3, tetapi tersebar merata pada tabung 2.
Bagian bawah tabung 1 dan 3 tidak banyak terisi lalat.
Lalat perlu cahaya untuk melihat dan terbang melawan gravitasi
Beberapa lalat berada di kedua ujung masing-masing tabung.

Penelitian lain juga menyatakan bahwa butir soal di atas (kategori Control of
variables/COV) adalah soal yang sulit. Butir soal diatas dianggap sulit karena siswa
belum dapat menghubungkan keterkaitan variabel-variabel dari data yang tersedia
atau kalimat diatas kurang dapat dipahami siswa. Berbeda dengan soal COV nomor 13
dan 14 tentang pendulum, sebagian besar siswa telah dapat menjawabnya. Soal
pendulum tersebut berhubungan dengan materi gerak harmonis sederhana dan siswa
telah melakukan eksperimen, sehingga siswa lebih mudah memahaminya.
Temuan yang diperoleh bahwa siswa SMA Negeri 2 Malang kurang mampu dalam
kategori penalaran proposional dan Control of variables (COV), hal ini juga dikaji di
beberapa penelitian. Han (2013) menemukan bahwa Control of variables (COV)
merupakan penalaran yang sulit. Terlihat ketika dilakukan tes dengan LCTSR hasilnya
rendah (sampel siswa China dan Amerika). Sedangkan menurut Akatugbaa (2009),
ISBN 978-602-71279-1-9

PF-M-P-193

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016
penalaran proposional sulit karena terdiri dari banyaknya varibel kompleks dan terkait
dengan konteks langsung. Jadi berdasarkan penelitian, kedua penalaran ilmiah
tersebut sulit.
Walaupun penalaran ini sulit tetapi harus dibangun karena merupakan sesuatu
yang vital dalam mendidik siswa. Membangun penalaran ilmiah berguna dalam
memahami ilmu fisika atau ilmu lainnya. Penalaran ilmiah yang kurang akan
mempengaruhi kemampuan dalam memecahkan masalah dalam bidang fisika.
Penelitian Ding (2015) menyatakan kemampuan fisika Hukum Newton dipengaruhi
penalaran ilmiah. Penalaran proposional digunakan pada banyak konsep fisika, dimana
penalaran ini mampu memahami begitu banyak variabel komplek yang saling terkait,
seperti pada materi massa jenis, konsentrasi, gaya, percepatan, tekanan, dan daya
(Akatugbaa, 2009). Pola penalaran proposional membuat individu mampu mengetahui
dan menginterpretasi hubungan-hubungan yang digambarkan dalam variabel yang
diamati (Lawsons, 1995). Selain penalaran proposional, control of variables adalah
penalaran yang dibutuhkan pada higher-order scientific thinking skills. COV juga
kemampuan yang fundamental untuk memahami konsep dan eksperimen (Han, 2013).
Asumsi penyebab lain rendahnya penalaran ilmiah proposional dan COV yaitu
karena proses pembelajaran masih belum mampu untuk membangun penalaran
tersebut. Salah satu cara untuk membangun penalaran ilmiah, yaitu pendidik
seharusnya memasukkan budaya penalaran siswa sebagai bagian dari tujuan
instruksional mereka. Penalaran ilmiah ini dibangun dari paradigma inkuiri (Akatugba,
2009). Pembelajaran inkuiri harus dibelajarkan dan dilatihkan secara berulang-ulang.
Pembelajaran inkuiri sebaiknya dilakukan dengan eksperimen. Pembelajaran dengan
kegiatan eksperimen dapat membangun penalaran ilmiah kategori control of variabel
(Lawsons,1995). Menurut Ding (2015) pemilihan strategi pembelajaran sebaiknya untuk
membangun kemampuan investigasi secara sendiri maupun kerjasama, sehingga siswa
mempunyai kemampuan untuk mentransfer penalaran ilmiah dalam meyelesaikan
masalah.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan
kemampuan penalaran ilmiah. Penelitian (Bao et al., 2009) menunjukkan bahwa
pembelajaran tradisional hanya membuat sedikit perubahan pada skor pre dan post
LCTSR (effect size = 0,1) tetapi ketika dengan pembelajaran inkuiri memberikan
dampak skor pre dan post LCTSR (effect size = 0,6). Hasil penelitian Wahyudi (2013),
pembelajaran yang dilakukan adalah menggunakan model pembelajaran inkuiri dengan
peta konsep, memberikan dampak peningkatan hasil belajar dan juga melihat bahwa
terdapat hubungan kemampuan bernalar dengan tes hasil belajar.
Berdasarkan pembahasan diatas, sebaiknya pendidik mengetahui penalaran ilmiah
siswa, berguna untuk merancang metode pembelajaran yang digunakan. Metode
pembelajaran yang dapat meningkatkan penalaran ilmiah proposional dan COV adalah
metode inkuiri. Untuk penelitian lebih lanjut, dapat meneliti metode pembelajaran
inkuiri yang digunakan, yang dapat secara signifikan meningkatkan penalaran ilmiah
pada level HD.
KESIMPULAN
Dari data penalaran ilmiah siswa SMA Negeri 2 Malang kelas XI dan XII dapat
disimpulkan (1) bahwa level penalaran ilmiah sebagian besar pada tahap transisi, baik
kelas XI maupun kelas XII, (2) siswa belum mampu dalam beberapa kategori penalaran
yaitu conservation of volume, propotional reasoning, control of variabel.
Berdasarkan data hasil ini, diharapkan metode pembelajaran yang dilakukan di
SMA Negeri 2 Malang membangun kemampuan penalaran yang masih dirasakan
kurang, yaitu dengan banyak melakukan penyelidikan ilmiah atau inkuiri untuk
membangun penalaran tersebut.

ISBN 978-602-71279-1-9

PF-M-P-194

SEMINAR NASIONAL JURUSAN FISIKA FMIPA UM 2016
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Dr. Sentot K. dan Bapak Dr.
Wartono yang telah memberikan bimbingan sehingga kami dapat menyelesaikan artikel
ini. Terimakasih kepada Prof Arif Hidayat. Terimakasih kepada bapak dan ibu guru
fisika serta siswa SMA Negeri 2 Malang. Terimakasih pada teman kuliah fisika
Agustini P., Leni S., Siti J., dan Dian P,. Terimakasih pada keluargaku Abdul Ghofar
dan Alfian Zuhdi.
DAFTAR RUJUKAN
Akatugbaa, A.H, and Wallaceb, J. 2009. An Integrative Perspective on Students
Proportional Reasoning in High School Physics in a West African. Context a Curtin
University of Technology, Science and Mathematics Education Centre, Perth,
Australia; Bontario Institute for Studies in Education of the University of Toronto,
Canada. International Journal of Science Education Vol. 31, No. 11, 15 July 2009, pp.
1473 1493. Taylor &Francis group.
Arends, R. I. 2012. Learning to Teach. The McGraw-Hill Companies, Inc.
Bao, L., Cai, T., Koenig, K., Fang, K., Han, J., Wang, JWu, N. 2009. Learning and
Scientific Reasoning. Science, 323(5914), 586-587.
Brown Nathaniel J. S, Furtak Erin Marie, Timms Michael, Nagashima Sam O., Wilson
Mark. 2010. The Evidence-Based Reasoning Framework: Assessing Scientific
Reasoning. Educational Assessment. 15:123 141, 2010. Taylor & Francis Group.
ISSN: 1062-7197
Ding L. 2014. Verification of causal influences of reasoning skills and epistemology on
physics conceptual learning. Physical Review Special Topics - Physics Education
Research 10, 023101.
Duschl, R. A., & Gitomer, D. H. 1997. Strategies and challenges to changing the focus of
assessment and instruction in science classrooms. Educational Assessment.
Etkina Eugenia, Karelina Anna, and Villasenor Maria Ruibal. 2006. Studying Transfer
of Scientific Reasoning Abilities Graduate School of Education, Rutgers University,
New Brunswick, NJ 08904. CP883, 2006 Physics Education Research Conferece,
edited by L. McCullough, L. Hsu, and P. Heron. American Institute of Physics 2007.
Han, J. 2013. Scientific Reasoning: Research, Development, and Assessment. The Ohio
State University.
Lawson, A. E. 1995. Science Teaching and the Development of Thinking. California:
Wadsworth Publishing Company.
Lawson, A. E. 2004. The Nature and Development of Scientific Reasoning: A Synthetic
View. International Journal of Science and Mathematics Education. (2):307-338.
Shayer, M., & Adey, P. S. (1993). Accelerating the development of formal thinking in
middle and high school students IV: three years after a two-year intervention. Journal
of Research in Science Teaching, 30(4), 351-366.
Wahyu, R. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Prestasi
Belajar Fisika Ditinjau Dari Kemampuan Penalaran Ilmiah Siswa SMAN 5 Malang.
Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Fisika Universitas Negeri Malang.
Wahyudi, A. 2013. Pengaruh Penggunaan Peta Konsep dalam Pembelajaran Inkuiri
Terbimbing Ditinjau dari Kemampuan Bernalar Siswa Kelas XI. Pascasarjana
Universitas Negeri Malang.

ISBN 978-602-71279-1-9

PF-M-P-195