INKLUSIVITAS PADA SEKOLAH DASAR DI KOTA MAKASSAR.
Abdul Rahim, 2012
Inklusivitas Pada Sekolah Dasar Di Kota Makassar
DAFTAR ISI
Hal
Halaman Judul ... i
Halaman Pengesahan ... ii
Pernyataan ... iii
Kata Pengantar ... iv
Ucapan Terima Kasih ... v
Abstrak ... vii
Daftar Isi ... viii
Daftar Tabel ... xi
Daftar Gambar ... xii
Daftar Lampiran ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan... 7
D. Manfaat ... 7
E. Struktur Organisasi Penelitian ... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 9
A. Kajian Pustaka... 9
1. Sejarah Pendidikan Inklusi ... 9
2. Landasan Pendidikan Inklusi ... 13
3. Pengertian Pendidikan Inklusi ... 17
4. Sekolah Inklusi ... 20
5. Karakteristik Sekolah Inklusi ... 23
6. Anak Berkebutuhan Khusus ... 25
7. Pelaksanaan Pendidikan Inklusi Pada Jenjang Sekolah Dasar ... 29
8. Dukungan Agar Proses Inklusi Dapat Dilaksanakan ... 30
9. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendidikan Inklusi...32
10. Inklusivitas/Indeks Inklusi...36
B. Hasil Penelitian Tentang Nilai-nilai (Indeks) Inklusi di Sekolah ... 43
C. Kerangka Berfikir...45
BAB III METODE PENELITIAN ... 48
A. Lokasi dan Populasi ... 48
B. Pendekata dan Metode Penelitian ... 49
C. Variabel dan Defenisi Operasional ... 50
D. Validitas dan Reliabilitas ... 51
(2)
Abdul Rahim, 2012
F. Analisis Data ... 56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 60
A. Hasil Penelitian ... 60
1. Inklusivitas Ditinjau dari Sikap Guru pada Sekolah Dasar di Kota Makassar ... 60
2. Inklusivitas Ditinjau dari Pengalaman Pelatihan guru pada Sekolah Dasar Kota Makassar ... 65
3. Inklusivitas Ditinjau dari Jumlah Siswa di Kelas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar ... 67
4. Inklusivitas Ditinjau dari Jumlah Siswa Berkebutuhan Khusus di kelas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar ... 69
5. Inklusivitas Ditinjau dari Jumlah Guru di Kelas pada Sekolah Dasar Model Pelaksanaan Pendidikan Inklusi Kota Makassar ... 71
6. Inklusivitas Sekolah Dasar di Kota Makassar ... 73
a. Sekolah Dasar ...73
b. Sekolah Dasar B...97
c. Sekolah Dasar C...118
B. Pembahasan ... 138
1. Inklusivitas Ditinjau dari Sikap Guru pada Sekolah Dasar di Kota Makassar ... 138
2. Inklusivitas Ditinjau dari Pengalaman Pelatihan guru pada Sekolah Dasar di Kota Makassar ... 140
3. Inklusivitas Ditinjau dari Jumlah Siswa di Kelas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar ... 141
4. Inklusivitas Ditinjau dari Jumlah Siswa Berkebutuhan Khusus di kelas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar ... 142
5. Inklusivitas Ditinjau dari Jumlah Guru di Kelas pada Sekolah Dasar di Inklusi Kota Makassar ... 144
6. Inklusivitas Sekolah Dasar di Kota Makassar ... 145
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 149
A. Kesimpulan ... 149
B. Rekomendasi ... 150
DAFTAR PUSTAKA ... 153
(3)
Abdul Rahim, 2012
Inklusivitas Pada Sekolah Dasar Di Kota Makassar
DAFTAR TABEL
Tabel Hal
3.1 Hubungan Antara Variabel Bebas dan Variabel Terikat ... 51 3.2 Item Skala Sikap ... 52 4.1 Inklusivitas Ditinjau dari Sikap Guru Pada Sekolah Dasar Model
Pelaksanaan Pendidikan Inklusi di Kota Makasar ... 63 4.2 Inklusivitas terhadap Pendidikan Inklusi Ditinjau Pengalaman Pelatihan Guru Pada Sekolah Dasar di Kota Makasar ... 66 4.3 Inklusivitas Ditinjau dari Jumlah Siswa di Kelas Pada Sekolah Dasar Model Pelaksanaan Pendidikan Inklusi di Kota Makasar ... 68 4.4 Inklusivitas Ditinjau dari Jumlah Siswa Berkebutuhan Khusus di Kelas
Pada Sekolah Dasar Model Pelaksanaan Pendidikan Inklusi di Kota
Makasar ... 69 4.5 Inklusivitas Ditinjau dari Jumlah Guru yang Mengajar di Kelas Pada
(4)
Abdul Rahim, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hal
2.1 Konsep Anak Berkebutuhan Khusus ... 29
2.2 Dimensi Indeks Inklusif ... 42
2.3 Kerangka Berfikir ... 47
4.1 Kecendrungan Sikap guru SD A terhadap Pendidikan Inklusif ... 61
4.2 Kecendrungan Sikap guru SD B terhadap Pendidikan Inklusif ... 62
4.3 Kecendrungan Sikap guru SD C terhadap Pendidikan Inklusif ... 62
4.4 Grafik Inklusivitas Ditinjau Berdasarkan Sikap Guru Pada Sekolah Dasar Model Pelaksanaan Pendidikan Inklusi di Kota Makasar ... 64
4.5 Grafik Inklusivitas Pada Sekolah Dasar di Kota Makasar ... 65
4.6 Grafik Inklusivitas Ditinjau Berdasarkan Jumlah Pelatihan Guru Pada Sekolah Dasar di Kota Makasar ... 67
4.7 Grafik Inklusivitas Ditinjau dari Jumlah Siswa di Kelas Pada Sekolah Dasar di Kota Makasar... 68
4.8 Grafik Inklusivitas Ditinjau dari Jumlah Siswa Berkebutuhan Khusus di Kelas Pada Sekolah Dasar di Kota Makasar ... 70
4.9 Grafik Inklusivitas Ditinjau Berdasarkan Jumlah Guru di Kelas Pada Sekolah Dasar di Kota Makasar ... 72
4.10 Grafik Inklusivitas SD A Dalam Dimensi Budaya...80
4.11 Grafik Inklusivitas SD A Dalam Dimensi Kebijakan...87
4.12 Grafik Inklusivitas SD A Dalam Dimensi Praktek...96
4.13 Grafik Inklusivitas Pada Sekolah Dasar A Kota Makassar...97
4.14 Grafik Inklusivitas SD B Dalam Dimensi Budaya...103
4.15 Grafik Inklusivitas SD B Dalam Dimensi Kebijakan...109
4.16 Grafik Inklusivitas SD B Dalam Dimensi Praktek...116
4.17 Grafik Inklusivitas Pada Sekolah Dasar B Kota Makassar...117
4.18 Grafik Inklusivitas SD C Dalam Dimensi Budaya...123
4.19 Grafik Inklusivitas SD C Dalam Dimensi Kebijakan...129
4.20 Grafik Inklusivitas SD C Dalam Dimensi Praktek...136
4.21 Grafik Inklusivitas Pada Sekolah Dasar C Kota Makassar...137
(5)
Abdul Rahim, 2012
Inklusivitas Pada Sekolah Dasar Di Kota Makassar
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
A. Instrumen Skala Sikap Guru terhadap Pendidikan Inklusif B. Instrumen Data Guru dan Murid
C. Kisi-kisi Instrumen Observasi Inklusivitas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar
D. Daftar Pernyataan Kisi-kisi Instrumen Sikap Guru terhadap Pendidikan Inklusif
E. Data Sikap guru Sikap Guru terhadap Pendidikan Inklusif
F. Data Pengalaman pelatihan Guru dalam Pendidikan Inklusif pada Sekolah Dasar di Kota Makassar
G. Data Guru dan Siswa pada Sekolah Dasar di Kota Makassar
(6)
(7)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dahulu sebatas penyediaan layanan pendidikan dengan sistem segregrasi, hingga akhirnya pada saat ini muncullah paradigma baru pendidikan, dimana anak berkebutuhan khusus (ABK) memerlukan suatu bentuk pendidikan yang mengikutsertakan mereka didalam berbagai kegiatan dengan masyarakat luas. Layanan pendidikan yang dimaksudkan adalah mampu mengakomodir segala kebutuhan ABK tanpa adanya bentuk diskriminasi. Maka diterapkanlah suatu pendidikan inklusif diberbagai sekolah reguler, agar ABK dapat ikut serta mengoptimalkan kemampuannya bersama dengan anak-anak pada umumnya.
Pendidikan inklusif pada dasarnya sebagai upaya untuk mememenuhi kebutuhan pendidikan untuk semua anak dengan fokus pada mereka yang rentan terhadap marjinalisasi. Pendidikan inklusif diharapkan pendidikan bagi semua anak dapat terlaksana bukan hanya sebagai slogan tetapi dengan sungguh-sungguh mengayomi seluruh anak tanpa terkecuali. Semua sekolah harus menerima keberagaman setiap peserta didiknya tanpa memandang perbedaan dari segi fisik, emosi, sosial, agama, ekonomi, dan sebagainya. Untuk itulah, pendidikan yang terselenggara hendaknya memberikan jaminan bahwa setiap anak akan mendapatkan pelayanan dalam mengembangkan potensinya, yang sejalan dengan ideologi sistem pendidikan nasional.
(8)
Indonesia menuju pendidikan inklusif secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 Agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak tanpa terkecuali. Sebuah fakta di negeri ini bahwa perbedaan seringkali menjadi hal yang dipertentangkan, didiskriminasikan bahkan dimarginalkan. Masyarakat terkadang belum terbiasa hidup berdampingan dengan sebuah kenyataan atau kondisi yang berbeda sehingga sulit rasanya menciptakan sebuah keadilan diberbagai bidang di negeri ini, termasuk keadilan dalam bidang pendidikan.
Khususnya di Kota Makassar pelaksanaan pendidikan inklusif telah dicanangkan Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2005, yaitu dengan menguji cobakan 2 Sekolah Dasar (SD). Program uji coba tersebut mengembangkan 53 SD uji coba di Kabupaten dan Kota yang tersebar di 8 Kabupaten dan 2 Kota ditunjuk oleh Dinas Pendidikan Provinsi melalui Sub Dinas Pendidikan Luar Biasa. Pada akhirnya dipilih 1 SD tiap kabupaten dan 2 Sekolah Dasar dimasing-masing kota yaitu Makassar dan Pare-pare sebagai percontohan pelaksanaan pendidikan inklusif. Hingga pada tahun 2011, berdasarkan SK (surat keputusan) Gubernur nomor: 188.4/PD4/049/2010 tentang penetapan dan pelaksanaan program pendidikan inklusif, SD, SMP, dan SMA se-Sulawesi Selatan saat ini berjumlah 203 sekolah yang tersebar di 11 kabupaten dan 2 kotamadya.
Pelaksanaan pendidikan inklusif di Sulawesi Selatan khususnya Kota Makassar telah menginjak 6 (enam) tahun. Dalam kurun waktu ini sudah menunjukkan perjalanan yang cukup panjang. Maka, sudah seharunya
(9)
pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Makassar khususnya telah dilakukan evaluasi secara komprehensif. Berdasarkan hasil wawancara pada Iis Masdiana pada tanggal 2 Maret 2011 yang merupakan salah satu tim pengembang pendidikan inklusif di Kota Makassar mengatakan:
“belum pernah dilakukan evaluasi yang komprehensip terhadap sekolah
yang menyenggarakan pendidikan inklusif,belum adanya kejelasan sistem evaluasi sehingga hambatan-hambatan selama pelaksanaan pendidikan inklusi di sekolah tidak teratasi dan pencapaian nilai-nilai inklusi sekolah tidak teridentifikasi sehingga menjadi salah satu faktor penghambat pengembangan sekolah dalam menyukseskan pelaksanaan pendidikan
inklusif”.
Berdasarkan hal tersebut maka, sudah seharusnya keterlaksanaan pendidikan inklusif di Kota Makassar dilakukan evaluasi demi terwujudnya cita-cita pendidikan inklusif. Proses evaluasi itu sendiri akan bermanfaat untuk melihat nilai-nilai inklusif yang telah terjadi pada Sekolah Dasar yang melayani siswa berkebutuhan khusus di Kota Makassar.
Secara teoritis, “keterlaksanaan pendidikan inklusif dapat dievaluasi dengan
suatu indeks yang disebut index for inclusion” (Ainscow, 2000). Indeks inklusi merupakan sumber daya untuk mendukung program pengembangan sekolah. Indeks inklusi ini dibangun dari tiga dimensi, yaitu (1) dimensi Budaya (creating
inclusive cultures), (2) dimensi Kebijakan (producing inclusive policies), dan (3)
dimensi Praktik (evolving inclusive practices). Setiap dimensi dibagi dalam dua bagian, yaitu: Dimensi budaya terdiri atas bagian membangun komunitas (building community) dan bagian membangun nilai-nilai inklusif (establishing
inclusive values). Dimensi kebijakan terdiri atas bagian pengembangan tempat
(10)
untuk keberagaman (organizing support for diversity). Sedangkan dimensi praktik terdiri atas bagian belajar dan memobilisasi sumber daya.
Penelitian ini bermaksud menggambarkan inklusivitas di Sekolah Dasar yang telah melaksanakan pendidikan inklusif selama 6 (enam) tahun di Kota Makassar. Sekolah Dasar dipilih, karena Sekolah Dasar merupakan jenjangan pertama pelaksana pendidikan inklusif di Kota Makassar. Selain itu, Sekolah Dasar tersebut juga dapat melihat inklusivitas yang telah terbagun di sekolah tersebut. Inklusivitas yang dimaksud akan diungkap dengan menggunakan indeks inklusif yang memiliki 3(tiga) dimensi, yaitu; kebijakan, budaya, dan praktek di Sekolah Dasar pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Makassar yang dikembangkan oleh Centre for Studies on Inclusive Education (CSIE).
Berdasarkan hal tersebut, maka untuk mengembangkan pendidikan inklusif yang lebih efisien, efektif serta berkesinambungan kearah yang lebih baik, maka perlu dilaksanakan evaluasi pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Makassar. Bila hal ini dibiarkan terus-menerus, tentunya akan sangat menghambat pengembangan pendidikan inklusif dan cita-cita mewujudkan pendidikan untuk semua hanya sebuah angan-angan belaka.
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Pendidikan inklusif dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi isu yang sangat menarik dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dikarenakan pendidikan inklusif memberikan perhatian pada pengaturan para siswa yang memiliki kelainan atau kebutuhan khusus untuk bisa mendapatkan pendidikan
(11)
pada sekolah-sekolah umum atau reguler sebagai ganti kelas pendidikan khusus atau sekolah luar biasa. Inklusi adalah suatu sistem ideologi dimana secara bersama-sama tiap-tiap warga sekolah yaitu masyarakat, kepala sekolah, guru, pengurus yayasan, petugas administrasi sekolah, para siswa, dan orang tua menyadari tanggungjawab bersama dalam mendidik semua siswa sedemikian rupa sehingga mereka berkembang secara optimal sesuai potensi mereka.
Dalam pelaksanaannya begitu banyak tantangan yang harus diselesaikan khususnya di sekoah regular dalam melaksanakan pendidikan inklusif. Berikut adalah beberapa masalah-masalah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sulawesi Selatan khususnya di Kota Makassar, yaitu adalah membangun pemahaman guru dalam hal pendidikan inklusif. Hal ini menjadi langkah awal, agar dalam pelaksanaannya tidak melenceng dari filosofi pendidikan inklusif. Selanjutnya adalah sikap dan keyakinan yang belum positif kepala sekolah dan guru dalam memberikan pelayanan bagi peserta didik khususnya bagi ABK. Kemudian minimnya fasilitas pembelajaran yang disediakan oleh guru, kurangnya aksesbilitas sekolah dalam memenuhi kebutuhan ABK, Kurangnya pengalaman guru dalam mengikuti kegiatan tentang pelayanan bagi ABK di sekolah dalam seting pendiidkan inklusif, terdapat juga kurangnya tenaga pengajar atau GPK di sekolah inklusif, siswa pada umumnya belum terbiasa menerima teman sebayanya yang memiliki disabilitas, kurangnya dukungan dari orangtua siswa pada umumnya yang merasa enggan bila anaknya digabungkan belajar bersama dengan anak ABK, dan belum maksimalnya dukungan dari masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif. Selanjutnya yang paling esensial dalam
(12)
pelaksaan pendidikan inklusif adalah proses evaluasi secara penuh dalam sebuah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah evaluasi pelaksanaan pendidikan inklusif pelaksaaan pendidikan inklusif di sekolah. Proses evaluasi ini bukan untuk menilai sekolah ataupun person, tetapi untuk menggambarkan inklusivitas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar. Maka, rumusan masalah dalam penelitian adalah:
a. Bagaimanakah inklusivitas ditinjau dari sikap guru terhadap pendidikan inklusif pada Sekolah Dasar di Kota Makassar?
b. Bagaimanakah inklusivitas ditinjau dari pengalaman pelatihan guru pada Sekolah Dasar pelaksanaan pendidikan inklusi di Kota Makassar?
c. Bagaimanakah inklusivitas ditinjau dari jumlah siswa di kelas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar?
d. Bagaimanakah inklusivitas ditinjau dari jumlah siswa berkebutuhan khusus di kelas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar?
e. Bagaimanakah inklusivitas ditinjau dari jumlah guru di kelas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar?
(13)
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran inklusivitas dari segi budaya, kebijakan, dan praktek pada Sekolah Dasar di Kota Makassar
2. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang:
a. Inklusivitas ditinjau dari sikap guru terhadap pendidikan inklusif pada Sekolah Dasar di Kota Makassar
b. Inklusivitas ditinjau dari pengalaman pelatihan yang diikuti guru pada Sekolah Dasar di Kota Makassar.
c. Inklusivitas ditinjau dari jumlah siswa di kelas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar.
d. Inklusivitas ditinjau dari jumlah ABK di kelas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar.
e. Inklusivitas ditinjau dari jumlah guru di kelas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar.
f. Inklusivitas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar.
D. Manfaat
1. Secara teori hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberi masukan atau sumbangan berupa kajian konseptual tentang indeks inklusif yang berkaitan dengan implementasi pendidikan inklusif sehingga turut
(14)
memperkaya dan mempertajam kajian tentang pengembangan pendidikan Inklusif di Indonesia.
2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan penyajian empiris inklusivitas dari masing-masing Sekolah Dasar di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.
E. Struktur Organisasi Penelitan
Tesis ini terdiri dari 5 (lima) BAB. Dimana BAB I memuat tentang latar belakang, idetifikasi masalah dan rumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian. BAB II memuat tentang kajian pustaka dan kerangka pemikiran. BAB III memuat tentang lokasi dan populasi penelitian, metode penelitian, defenisi operasional, instrumen penelitian, validitas dan realibilitas, teknik pengumpulan data, dan teknik analysis data. BAB IV memuat tentang hasil penelitian dan pembahasan. Terakhir BAB V memuat tentang kesimpulan dan rekomendasi.
(15)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Populasi 1. Lokasi
Penelitian ini berlokasi di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Penetapan lokasi penelitian ini berdasarkan pertimbangan bahwa: a) pendidikan inklusi di Kota Makassar khususnya pada tingkat Sekolah Dasar telah dilaksanakan selama 6 (enam tahun), b) Penelitian tentang pendidikan inklusif di Kota Makassar masih minim, c) Kota Makassar telah melaksanakan pendidikan inklusif selama 6 (enam) tahun, dan d) Kota Makassar adalah tempat peneliti berdomisili yang berkomitmen untuk mengembangkan pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Makassar.
2. Populasi
Populasi dapat diartikan sejumlah individu atau subjek yang terdapat pada kelompok tertentu yang dijadikan sebagai sumber data yang berada pada daerah-daerah yang jelas batas-batasnya. Menurut Sugiyono (2009: 117) “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”. Menurut Hasan (2002:58) “populasi merupakan totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang akan diteliti. Objek atau nilai yang akan diteliti dalam populasi disebut unit analisis atau elemen populasi”.
(16)
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas yang berjumlah 25 di 3 (tiga) Sekolah Dasar inklusif di Kota Makassar yang telah melaksanakan pendidikan inklusif selama 6 (enam) tahun. Mengingat jumlah populasi hanya 25 kelas, maka menurut Arikunto (2002: 112) “apabila subjek kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya penelitian populasi. Jika subjeknya lebih besar dapat diambil antara 10-15 % atau 20-25 %”. Berdasarkan teori tersebut maka penelitian ini tidak menarik sampel sehingga penelitian ini disebut penelitian populasi.
B. Pendekatan dan Metode Penelitian 1. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif mengutamakan objektifitas desain penelitian dengan menggunakan angka-angka dan pengolahan statistik. Pendekatan kuantitatif digunakan karena dalam penelitian ini akan menggambarkan inklusivitas di Sekolah Dasar yang disajikan dalam bentuk angka-angka .
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Adapun metode deskriptif merupakan metode penelitian yang bertujuan mendeskripsikan suatu keadaan atau fenomena-fenomena apa adanya. “Dalam metode deskriptif, peneliti tidak melakukan manipulasi atau memberikan perlakuan-perlakuan tertentu terhadap objek penelitian” (Sukmadinata, 2005:18). Metode deskriptif menurut Sugiyono, (2011:18) “metode deskriptif adalah mendeskripsikan suatu keadaan atau fenomena-fenomena apa adanya dan dalam
(17)
metode deskriptif, peneliti tidak melakukan manipulasi atau memberikan perlakuan-perlakuan tertentu terhadap objek penelitian”. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan inklusivitas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar.
C. Variabel dan Defenisi Operasional 1. Variabel
Penelitian ini terdiri dari dua (2) variabel, variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sikap guru terhadap pendidikan inklusif, pengalaman pelatihan guru dalam pendidikan inklusif, jumlah siswa di kelas, jumlah ABK di kelas, dan jumlah guru di kelas. Sedangkan variabel terikatnya adalah inklusivitas.
2. Defenisi Operasional
Berdasarkan variable di atas, maka defenisi operasional dalam penelitian ini adalah :
a. Inklusivitas adalah gambaran atau hal-hal yang terjadi di Sekolah Dasar yang melaksanakan pendidikan inklusi selama 6 (enam) tahun ditinjau dengan menggunakan indeks inklusif dalam dimensi budaya, kebijakan, dan praktik yang dikembangkan oleh CSIE (Center School Inclusive Education).
b. Sikap guru tentang pendidikan inklusif adalah kecendrungan guru yang mengajar di kelas untuk melakukan dan menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif, netral dan negatif dalam memberikan pelayanan bagi ABK.
(18)
c. Pengalaman pelatihan guru tentang pendidikan inklusif adalah jumlah diklat atau pelatihan yang telah diikuti guru pendamping khusus dan guru kelas yang berhubungan dengan pendidikan inklusif.
d. Jumlah siswa di kelas adalah jumlah rata-rata siswa di dalam setiap kelasnya. e. Jumlah ABK dikelas adalah jumlah rata-rata siswa ABK di dalam setiap
kelasnya.
f. Jumlah guru dikelas adalah jumlah rata-rata guru yang mengajar di kelas yaitu guru kelas dan guru pendamping khusus.
Hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat akan digambarkan pada tabel berikut ini:
Tabel 3.1
Hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat
Sikap (X1)
Inklusivitas Y1
Jumlah guru di kelas (X5)
Variabel Terikat Variabel Bebas
Y2 Y3 Y4 Y5
Penglaman pelatihan guru (X2)
Jumlah siswa (X3)
Jumlah ABK (X4)
D. Validitas dan Realibilitas 1. Validitas
Pengujian validitas instrumen dalam penelitian ini adalah skala sikap. Pengujian validitas dilakukan dengan meminta masukan dari ahli (expert
judgement) untuk mengetahui kesesuaian isi atau makna item-item instrumen
dengan konteks penelitian. Penilaian instrumen ini dilakukan oleh 3 (tiga) orang dosen Prodi Pendidikan Kebutuhan Khusus UPI, yang menurut pandangan peneliti yang memahami konsep-konsep tentang pendidikan inklusif. Setelah
(19)
kepada guru-guru di Sekolah Dasar inklusi di Kota Bandung. Jumlah guru yang menjadi responden dalam uji coba instrumen skala sikap ini adalah 23. Selanjutnya hasil dari uji coba tersebut akan diuji validitasnya.
Uji validitas dilakukan dengan mengkorelasikan skor item dengan skor total itu sendiri. Jika nilai koefisien korelasinya kurang dari 0,3 maka item tersebut dapat dikatakan tidak valid, seperti yang dikemukakan oleh Sugiyono (2009:126) “Bila korelasi tiap faktor tersebut positif dan besarnya 0,3 ke atas maka faktor tersebut merupakan konstruk yang kuat”. Dalam penelitin ini perhitungannya menggunakan Formula korelasi product moment dari Pearson dengan bantuan software SPSS Statistics 17.0. Formula korelasi product moment (Arikunto, 2006:127) yang digunakan adalah sebagai berikut:
N. ∑xy-(∑x) (∑y)
r
xy =√{N.∑x²-(∑x) ²- (∑x)²(N∑y²-(∑y²)} Keterangan :
rxy = Koefisien korelasi product moment N = Jumlah responden
X = Rata – rata skor responden pada item Y = Rata – rata skor responden pada skala sikap
Melalui perhitungan (terdapat pada lampiran) tersebut, diperoleh kesimpulan pada item – item pernyataan sikap sebagai berikut :
Tabel 3.2 Item skala sikap
Item Valid 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,,11,12,13,14,15,16,17,18,19,20,21,22,23,24,25,26
,28,29,30,31,32,33,34,35,36,37,38,39,40,41,42,43,44,45,46,47,48,49, 50,51,52,53,54,55,56,57,58,59,60,61,62,63,64,65,66,67,68,69,70,71, 72,74,75,76,77,78,79,80,81,82,83,84,85,86,87,88,89,90,91,93,94,95,9 6,97,98,99,100,101,102
(20)
Melalui tabel 3.2 tersebut terlihat bahwa dari 102 pernyataan yang diujicobakan, 99 pernyataan dinyatakan valid tau memiliki koefisien korelasi lebih dari 0,3. Seluruh pernyataan yang valid diikutsertakan dalam instrumen penelitian.
2. Reliabilitas
Rumus yang digunakan pada uji reliabilitas adalah Rumus Alpha. Menurut Arikunto (2002:196) “Rumus Alpha digunakan untuk mencari reliabilitas instrumen yang skornya bukan 1 dan 0, misalnya angket atau soal bentuk uraian”. Penghitungan reliabilitas menggunakan rumus Alpha dilakukan dengan bantuan
software SPSS Statistics 17.0. Rumus Alpha pada (Arikunto, 2006:127) yang
digunakan adalah sebagai berikut: k (1-∑vb²) r11 = ( )
(k-1) V²t Keterangan :
r
11 = reliabilitas instrumenk = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal ∑vb² = jumlah varians butir
v²t = varians total
Reliabi lity Statistics
,977 ,978 99
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based
on St andardized
(21)
E. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian 1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sikap, kuesioner, dan observasi.
a. Skala Sikap
Menurut Sudjana dan Ibrahim (1989:105) “skala adalah alat ukur untuk menilai, sikap, minat, perhatian, motivasi, yang disusun dalam bentuk pernyataan untuk dinilai guru dan hasilnya dalam bentuk rentangan nilai angka sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh peneliti”. Skala sikap digunakan untuk mengukur kecendrungan sikap dengan respondenya adalah guru di Sekolah Dasar Kota Makassar terhadap pendidikan inklusif.
b. Kuesioner
Menurut Sugiyono (2007:199), bahwa “Kuesioner adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya”. Penggunaan kuesioner ini dimaksudkan untuk mendapat informasi tentang data guru dan siswa di sekolah. Responden dalam pengumpulan data ini adalah guru kelas dan GPK di kelas.
c. Observasi
Observasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah observasi non-partisipan, karena peneliti tidak terlibat langsung dalam aktivitas orang-orang yang akan diamati dan hanya sebagai pengamat independent. Jenis observasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah observasi terstruktur. Menurut
(22)
Sugiyono (2011:205) “observasi terstruktur adalah observasi yang telah dirancang secara sistematis, tentang apa yang akan diamati, kapan dan dimana tempatnya dan peneliti telah tahu dengan pasti tentang variable yang akan diamati”. Jenis observasi terstruktur digunakan untuk mengamati inklusivitas pada 3 (tiga) Sekolah Dasar di Kota Makassar .
Observer dalam penelitian ini berjumlah 10 (sepuluh) orang, yaitu: peneliti, 3 (tiga) orang guru Sekolah Luar Biasa, 3 (tiga) alumni mahasiswa jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Makassar, dan 1 (satu) orang guru yang berada di masing-masing sekolah, dan 2 (dua) orang mahasiswa jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Makassar . Banyaknya observer dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hasil yang lebih objektif dalam menentukan inklusivitas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar.
2. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian terdiri dari 3 (tiga) bagian (terlampir). Instrumen bagian A untuk mengukur sikap guru terhadap pendidikan inklusif dengan menggunakan skala sikap. Instrumen skala sikap disusun dalam bentuk skala sikap dari Likert.
Sedangkan instrumen yang B adalah kuesioner. Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data guru, kelas dan siswa di sekolah, dengan rincian mengetahui pengalaman guru mengikuti pelatihan, jumlah ABK di kelas, jumlah siswa di kelas, dan jumlah guru yang mengajar di kelas yang diisi oleh masing-masing guru di dalam kelas.
(23)
Sedangkan instrumen bagian C, yaitu instrumen observasi untuk mengukur inklusivitas yang terjadi pada Sekolah Dasar di Kota Makassar yang berpedoman pada Index for inclution yang dikembangkan oleh (Ainscow,2002).
F. Analisis Data
Analisis data dilakukan sesuai dengan ketentuan penelitian kuantitatif yaitu diinterpretasikan dan dianalisis setelah pengumpulan data dilakukan. Teknik analysis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif. Menurut
Sugiyono (2011:207) “statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan
cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk
umum atau generalisasi”. Analysis data statistik deskriptif digunakan karena
penelitian ini akan menggambarkan secara deskritif inklusivitas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar tanpa ada maksud untuk membuat kesimpulan yang berlaku secara umum.
Adapun tahap-tahap dalam menganalysis data dalam penelitian ini adalah: 1. Skala sikap
a. Menghitung skala sikap berdasarkan instrumen dengan 4 (empat) piihan jawaban, yaitu sangat setuju,setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Item pernyataan bisa bersifat favorable dan unfavorable. Pada Item favorable, jawaban diberi skor sebagai berikut: SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1. Sedangkan pada item unfavorable, jawaban diberi skorsebagai berikut: SS = 1, S = 2, TS = 3, STS = 4.
(24)
: Jumlah item soal
1 2 3 4
netral
b. Menentukan kecendrungan sikap guru terhadap pendidikan inklusi berdasarkan skor (rata-rata) dari setiap guru pada masing-masing sekolah dengan tujuan untuk mengetahui kecendrungan sikap guru terhadap pendidikan inklusi. Kecendrungan sikap dibagi atas 3 (tiga) yaitu (+) positif , (n) netral dan (-) negatif. Sikap (+) postif yaitu mendukung, sikap netral yaitu antara mendukung dan menolak dan sikap (-) negatif yaitu menolak pelaksanaan pendidikan inklusi. Skor maksimal pada skala sikap adalah 396 dan skor minimal adalah 99. Dalam menentukan sikap guru terhadap pendidikan inklusif digunakan rumus yang ditetapkan oleh peneliti, yaitu:
Jumlah skor Jumlah responden
Setelah ditemukan skor kecendrungan sikap guru terhadap pendidikan inklusi, maka selanjutnya akan digambarkan sebagai berikut:
Keterangan:
1 sampai 2 = sikap yang negatif 2,5 = sikap yang netral 3 sampai 4 = sikap yang positif
(25)
2. Mengitung skor dari tiap indikator indeks inklusif dengan menggunakan instrumen observasi tiap variabel penelitian dengan kriteria yang ditetapkan oleh peneliti, yaitu:
a. Skor 3 (tiga) bila hasil observasi teridentifikasi indikator instrumen indeks inklusif.
b. Skor 2 (dua) bila hasil observasi peneliti ragu-ragu dalam memberikan skor dari indikator instrumen indeks inklusif.
c. Skor 1 (satu) bila hasil observasi tidak teridentifikasi indikator indeks inklusif.
3. Menghitung hasil obsevasi dari setiap indikator melaui statistik rata-rata atau mean. Teknik statistik rata-rata ini digunakan karena data ini bersifat interval
atau rasio. Sejalan dengan pendapat (Furqon,1999:30) “Rata-rata biasanya
digunakan untuk menunjukkan gejala pusat suatu perangkat data yang berskala interval atau rasio”. Dengan kata lain, skor akhir hasil observasi yang
digunakan adalah nilai rata – rata. Atau dapat dilihat pada rumus rata – rata hitung
menurut Sudjana (2002:67) berikut :
Keterangan :
x = Skor akhir (rata - rata)
Σxi = jumlah skor seluruh item pernyataan responden
n = Jumlah item pernyataan
4. Menghitung persentase inklusivitas berdasarkan total skor dari instrumen
observasi indeks inklusif tiap variabel peneltian. Untuk menghitung persentase rumus seperti yang dikemukakan oleh Ali (1985:184) adalah :
(26)
Keterangan:
% : persentase (jumlah presentase yang dicari)
n :skor yang diperoleh N :Skor tertinggi ideal
100 : bilangan tetap
5. Menetapkan inklusivitas dari masing-masing Sekolah Dasar yang berpedoman pada kriteria yang disusun oleh Riduwan (2010:13), yaitu:
a. 0 % - 20% : sangat buruk b. 21% - 40% : buruk c. 41% - 60% : sedang d. 61% - 80% : baik
e. 81% - 100% : sangat baik
6. Menyajikan data dalam bentuk grafik persentase 7. Penarikan kesimpulan
(27)
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan meninjau rumusan masalah, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah:
1. Sikap guru-guru terhadap pendidikan inklusi, yaitu: SD A rata-rata sikap guru di sekolah tersebut 3,21 dengan kecendrungan positif , SD B rata-rata sikap guru di sekolah tersebut 2,5 dengan kecendrungan netral, dan SD C rata-rata sikap guru di sekolah tersebut 3,27 dengan kecendrungan positif. Dari data tersebut maka sikap guru SD A dan SD C kecendrungannya positif dengan rata-rata inklusivitasnya 87% atau lebih tinggi dari sikap guru SD B kecendrungannya netral dengan rata-rata inklusivitasnya 73%. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan sikap guru terhadap pendidikan inklusi yang kecendrungannya positif, inklusivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan sikap guru yang kecendrungannya netral.
2. Inklusivitas ditinjau dari pengalaman pelatihan guru pada Sekolah Dasar di Kota Makassar diperoleh data jumlah pelatihan guru dengan rata-rata 3 (tiga) sampai 5 (lima) dengan inklusivitas 87% atau lebih tinggi dibandingkan jumlah pelatihan guru 1 (satu) sampai 2 (dua) yang memperoleh inklusivitas 73%.
3. Inklusivitas ditinjau dari jumlah siswa di kelas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar diperoleh data jumlah siswa dikelas dengan rata-rata berjumlah kurang dari 30 siswa dengan inklusivitas 87% atau lebih tinggi dibandingkan
(28)
jumlah siswa di kelas dengan rata-rata bejumlah lebih dari 30 siswa yang memperoleh inklusivitas 73%.
4. Inklusivitas ditinjau dari jumlah siswa berkebutuhan khusus di kelas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar diperoleh data, yaitu jumlah rata-rata siswa berkebutuhan khusus di dalam kelas yang berjumlah 1 (satu) sampai 3 (tiga) adalah 89% atau lebih tinggi inklusivitasnya dibandingkan jumlah siswanya lebih dari 3 (tiga) yaitu 79%.
5. Inklusivitas ditinjau dari jumlah guru di kelas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar diperoleh data inklusivitas dari kelas yang jumlah guru dalam setiap kelas yang berjumlah rata-rata 2 (dua) orang memperoleh inklusivitas sebesar 87% atau lebih tinggi dibandingkan jumlah guru dalam setiap kelas yang berjumlah rata-rata 1 (satu) orang adalah 73%.
6. Inklusivitas di Sekolah Dasar di Kota Makassar adalah rata-rata inklusivitas pada SD A 86% sedangkan SD B adalah 73% dan pada SD C adalah 89%. Hasil inklusivitas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar adalah 82 %, bila dikategorikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan termasuk dalam kategori sangat baik. Inklusivitas yang dicapai masing-masing Sekolah Dasar terindikasi oleh 5 (lima) faktor di atas.
B. Rekomendasi
Dari temuan penelitian di lapangan, bahwa Sekolah Dasar yang rata-rata jumlah gurunya 2 (orang) di kelas, sikap guru yang positif, jumlah pengalaman pelatihan lebih dari 3 (tiga) kali, jumlah siswa kurang dari 30 siswa, jumlah ABK
(29)
kurang dari 3 (tiga) inklusivitas sekolah termasuk dalam kategori sangat baik. Maka penulis memberikan rekomendasi sebagi berikut:
1. Pihak Sekolah
Berdasarkan hasil penelitian,maka penulis merekomendasikan sebagai berikut: a. Guru dari masing-masing sekolah yang telah mengikuti pelatihan lebih banyak
agar melakukan diskusi kepada guru lainnya yang belum atau masih minim mengikuti pelatihan.
b. Dalam melaksankan pendidikan inklusi, sekolah perlu mempertimbangkan keberadaan guru pendamping khusus, jumlah ABK dan jumlah siswa pada umumnya di dalam kelas agar kebutuhan belajar siswa dapat terpenuhi,
c. Menjalin kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak-pihak yang berkompeten tentang penyelenggaraan sekolah inklusif.
2. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Kota Makassar
Dalam mewujudkan pendidikan untuk semua, pemerintah provinsi dan kota harus menjalankan fungsi administratifnya sesuai dengan peraturan mentri nomor 70 tahun 2009 tentang penddikan inklusif pasal 6 dan pasal 10. Paling terpenting adalah:
1. Pemerintah menyediakan minimal 1 (satu) GPK pada setiap sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi khususnya di Kota Makasssar dengan alternatif sebagai berikut:
a. Pemerintah melakukan pengangkatan GPK yang ahli pada bidang pendidikan khusus untuk ditempatkan di sekolah inklusi.
(30)
b. Pemerintah menunjuk SLB terdekat dari sekolah inklusi untuk membantu memenuhi kebutuhan GPK dengan konsekuensi, pemerintah memberikan insentif bagi guru SLB yang bertugas di sekolah inklusi.
2. Pemerintah menyediakan anggaran dana untuk merehabilitasi gedung-gedung sekolah agar dapat diakses oleh semua anak tanpa terkecuali.
(31)
DAFTAR PUSTAKA
Ali M. (1985). Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa Aksara
Alimin Z. (2008). Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan pada Anak
yang mengalami Kehilangan fungsi Penglihatan [on line]. Tersedia
http//z.alimin.blogspot.com/2011/11/hambatan-belajar-dan-hambatan.html Arikunto S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan dan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta
Azwar. (2008). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Booth, T. and Ainscow, M. (2002). Index for Inclusion. Developing Learning
and Participation in School, London: CSIE.
Depdiknas. (2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Jakarta: Depdiknas
Furqon. (1999). Statistika Terapan Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
Ichrom & Watterdal, T. M. (eds) .(2004). Mengelola Kelas Inklusif dengan
Pembelajaran yang Ramah. Jakarta: Direktorat PLB dan Braillo Norway
Jhonsen. B. H. &Skjorten ,M. D. (Eds.) (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus
Sebuah Pengantar. Alih Bahasa: Susi. S. R. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Mangkuatmodjo. (2003). Pengantar Statistik. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Mariam. (2001). Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar (terjemahan). Bandung: Program Pascasarjana UPI
Mc.Conkey, R. at. al. (2001).Understanding and Responding to Children’s Need
Inclusive Classroom a Guide for Teachers, Paris: Unesco
Mudjito. (2005). Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Inklusiv. Depdiknas.
Raven and Rubin. (1983). Sosial Pshicology second Edition. Jhon Wiley and Sons: Canada
(32)
Riduwan. (2010). Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta
Sapon-Shevin, M. (1991).Because We Can Change The World: An Practical
Guide to Building Cooperative, Inclusive Classroom Communities.
Boston: Allyn and Bacon.
Stubbs S. (2002). Inclusive Education Where there are a Few Resuerce. Atlas Allience: Oslo
Sudjana dan Ibrahim. (1989). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Sudjana N. (2002). Penilaiam Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Rosda Karya
Sukmadinata. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda karya Stainback, W. & Stainback, S. (1990). Support Networks for Inclusive
Schooling: Independent Integrated Education. Baltimore: Paul H.
Brooks.
Staub, D. & Peck, C.A. (1995).What are the outcomes for nondisabled students?
Educational Leadership.Baltimore: Paul H. Brooks.
Undang-undang nomor 20 tahun 2003. Tentang Pendidikan Nasional
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997. Tentang Perlindungan terhadap Penyandang Cacat. Jakarta: BP Restindo Mediatama
UNESCO. (1994). Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi dalam Pendiidkan
Kebutuhan Khusus. Jakarta UNESCO OFFICE
_______. (1999). Open file Inclution. Paris: UNESCO Publisher
Sugiyono.(2011). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R and D. Bandung. PT Alvabeta
_______.(2009). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
(33)
Bandung: Pusat Kajian dan Inovasi Pendidikan – Sekolah Pasca Sarjana UPI.
Tarsidi, D. (2002). “Jaringan Kerja Untuk Inklusi”. Makalah pada Seminar
Pendidikan Inklusif Peringatan Hari Kemerdekaan Louis Braille, Dinas Pendidikan Luar Biasa, Bandung.
(1)
Abdul Rahim, 2012
Inklusivitas Pada Sekolah Dasar Di Kota Makassar
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
jumlah siswa di kelas dengan rata-rata bejumlah lebih dari 30 siswa yang memperoleh inklusivitas 73%.
4. Inklusivitas ditinjau dari jumlah siswa berkebutuhan khusus di kelas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar diperoleh data, yaitu jumlah rata-rata siswa berkebutuhan khusus di dalam kelas yang berjumlah 1 (satu) sampai 3 (tiga) adalah 89% atau lebih tinggi inklusivitasnya dibandingkan jumlah siswanya lebih dari 3 (tiga) yaitu 79%.
5. Inklusivitas ditinjau dari jumlah guru di kelas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar diperoleh data inklusivitas dari kelas yang jumlah guru dalam setiap kelas yang berjumlah rata-rata 2 (dua) orang memperoleh inklusivitas sebesar 87% atau lebih tinggi dibandingkan jumlah guru dalam setiap kelas yang berjumlah rata-rata 1 (satu) orang adalah 73%.
6. Inklusivitas di Sekolah Dasar di Kota Makassar adalah rata-rata inklusivitas pada SD A 86% sedangkan SD B adalah 73% dan pada SD C adalah 89%. Hasil inklusivitas pada Sekolah Dasar di Kota Makassar adalah 82 %, bila dikategorikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan termasuk dalam kategori sangat baik. Inklusivitas yang dicapai masing-masing Sekolah Dasar terindikasi oleh 5 (lima) faktor di atas.
B. Rekomendasi
Dari temuan penelitian di lapangan, bahwa Sekolah Dasar yang rata-rata jumlah gurunya 2 (orang) di kelas, sikap guru yang positif, jumlah pengalaman pelatihan lebih dari 3 (tiga) kali, jumlah siswa kurang dari 30 siswa, jumlah ABK
(2)
Abdul Rahim, 2012
Inklusivitas Pada Sekolah Dasar Di Kota Makassar
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
kurang dari 3 (tiga) inklusivitas sekolah termasuk dalam kategori sangat baik. Maka penulis memberikan rekomendasi sebagi berikut:
1. Pihak Sekolah
Berdasarkan hasil penelitian,maka penulis merekomendasikan sebagai berikut: a. Guru dari masing-masing sekolah yang telah mengikuti pelatihan lebih banyak
agar melakukan diskusi kepada guru lainnya yang belum atau masih minim mengikuti pelatihan.
b. Dalam melaksankan pendidikan inklusi, sekolah perlu mempertimbangkan keberadaan guru pendamping khusus, jumlah ABK dan jumlah siswa pada umumnya di dalam kelas agar kebutuhan belajar siswa dapat terpenuhi,
c. Menjalin kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak-pihak yang berkompeten tentang penyelenggaraan sekolah inklusif.
2. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Kota Makassar
Dalam mewujudkan pendidikan untuk semua, pemerintah provinsi dan kota harus menjalankan fungsi administratifnya sesuai dengan peraturan mentri nomor 70 tahun 2009 tentang penddikan inklusif pasal 6 dan pasal 10. Paling terpenting adalah:
1. Pemerintah menyediakan minimal 1 (satu) GPK pada setiap sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi khususnya di Kota Makasssar dengan alternatif sebagai berikut:
a. Pemerintah melakukan pengangkatan GPK yang ahli pada bidang pendidikan khusus untuk ditempatkan di sekolah inklusi.
(3)
Abdul Rahim, 2012
Inklusivitas Pada Sekolah Dasar Di Kota Makassar
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
b. Pemerintah menunjuk SLB terdekat dari sekolah inklusi untuk membantu memenuhi kebutuhan GPK dengan konsekuensi, pemerintah memberikan insentif bagi guru SLB yang bertugas di sekolah inklusi.
2. Pemerintah menyediakan anggaran dana untuk merehabilitasi gedung-gedung sekolah agar dapat diakses oleh semua anak tanpa terkecuali.
(4)
Abdul Rahim, 2012
Inklusivitas Pada Sekolah Dasar Di Kota Makassar
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu DAFTAR PUSTAKA
Ali M. (1985). Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa Aksara
Alimin Z. (2008). Hambatan Belajar dan Hambatan Perkembangan pada Anak
yang mengalami Kehilangan fungsi Penglihatan [on line]. Tersedia
http//z.alimin.blogspot.com/2011/11/hambatan-belajar-dan-hambatan.html Arikunto S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan dan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta
Azwar. (2008). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Booth, T. and Ainscow, M. (2002). Index for Inclusion. Developing Learning
and Participation in School, London: CSIE.
Depdiknas. (2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Jakarta: Depdiknas
Furqon. (1999). Statistika Terapan Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
Ichrom & Watterdal, T. M. (eds) .(2004). Mengelola Kelas Inklusif dengan
Pembelajaran yang Ramah. Jakarta: Direktorat PLB dan Braillo Norway
Jhonsen. B. H. &Skjorten ,M. D. (Eds.) (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus
Sebuah Pengantar. Alih Bahasa: Susi. S. R. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Mangkuatmodjo. (2003). Pengantar Statistik. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Mariam. (2001). Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar (terjemahan). Bandung: Program Pascasarjana UPI
Mc.Conkey, R. at. al. (2001).Understanding and Responding to Children’s Need
Inclusive Classroom a Guide for Teachers, Paris: Unesco
Mudjito. (2005). Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Inklusiv. Depdiknas.
Raven and Rubin. (1983). Sosial Pshicology second Edition. Jhon Wiley and Sons: Canada
(5)
Abdul Rahim, 2012
Inklusivitas Pada Sekolah Dasar Di Kota Makassar
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Riduwan. (2010). Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta
Sapon-Shevin, M. (1991).Because We Can Change The World: An Practical
Guide to Building Cooperative, Inclusive Classroom Communities.
Boston: Allyn and Bacon.
Stubbs S. (2002). Inclusive Education Where there are a Few Resuerce. Atlas Allience: Oslo
Sudjana dan Ibrahim. (1989). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Sudjana N. (2002). Penilaiam Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Rosda Karya
Sukmadinata. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda karya Stainback, W. & Stainback, S. (1990). Support Networks for Inclusive
Schooling: Independent Integrated Education. Baltimore: Paul H.
Brooks.
Staub, D. & Peck, C.A. (1995).What are the outcomes for nondisabled students?
Educational Leadership.Baltimore: Paul H. Brooks.
Undang-undang nomor 20 tahun 2003. Tentang Pendidikan Nasional
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1997. Tentang Perlindungan terhadap Penyandang Cacat. Jakarta: BP Restindo Mediatama
UNESCO. (1994). Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi dalam Pendiidkan
Kebutuhan Khusus. Jakarta UNESCO OFFICE
_______. (1999). Open file Inclution. Paris: UNESCO Publisher
Sugiyono.(2011). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R and D. Bandung. PT Alvabeta
_______.(2009). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
(6)
Abdul Rahim, 2012
Inklusivitas Pada Sekolah Dasar Di Kota Makassar
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Sunanto, Djuang. 2009. Implementasi Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar. Bandung: Pusat Kajian dan Inovasi Pendidikan – Sekolah Pasca Sarjana UPI.
Tarsidi, D. (2002). “Jaringan Kerja Untuk Inklusi”. Makalah pada Seminar
Pendidikan Inklusif Peringatan Hari Kemerdekaan Louis Braille, Dinas Pendidikan Luar Biasa, Bandung.