PEMBELAJARAN BIOKIMIA MELALUI ANALISIS KASUS-KASUS OLAHRAGA UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SPORT-BIOCHEMISTRY MAHASISWA ILMU KEOLAHRAGAAN.

(1)

i

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 9

C. Tujuan Penelitian... 10

D. Manfaat Penelitian... 11

E. Definisi Operasional... 12

BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Pembelajaran Kimia/Biokimia Berbasis Konteks... 13

B. Literasi Sport Science (Literasi Sport-Biochemistry)... 23

C. Peningkatan Sport Scientific Literacy Mahasiswa………... 39

D. Indikator-indikator Biokimia dalam Aktivitas Olahraga... 44

E. Pembelajaran Berbasis Konteks Olahraga dan Literasi Sport-Biochemistry... 47

F. Studi-studi Terkait……… 52

BAB III. METODE PENELITIAN A. Paradigma dan Desain Penelitian………. 65

B. Subjek Penelitian………. 70

C. Instrumen……….. 73

D. Prosedur Penelitian………... 88


(2)

ii BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian……….. 103

B. Pembahasan………... 156

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan... 163

B. Rekomendasi... 165

DAFTAR PUSTAKA... 167

LAMPIRAN-LAMPIRAN... 176

A. Alat Pengumpul Data... 176

B. Data Penelitian... 184


(3)

iii

DAFTAR TABEL

Nama Tabel

Tabel 2.1. Roadmap penelitian terdahulu dalam pembelajaran biokimia……. 56

Tabel 3.1. Topik/pokok bahasan literasi sport-biochemistry .……….. 74

Tabel 3.2. Proses-proses dalam tes literasi sport-biochemistry... 75

Tabel 3.3. Persentase jenis pertanyaan dalam tes LiSBi... 76

Tabel 3.4. Kriteria nilai validasi butir soal... 78

Tabel 3.5. Kriteria daya pembeda... 79

Tabel 3.6. Kriteria tingkat kesukaran butir soal... 79

Tebel 3.7. Nilai rentang validitas butir soal setiap sport-biochemistry unit... 80

Tabel 3.8. Nilai rentang daya pembeda butir soal setiap SBU... 80

Tabel 3.9. Nilai rentang tingkat kesukaran butir soal setiap SBU... 82

Tabel 3.10. Nilai korelasi SBU ganjil-genap... 82

Tabel 3.11. Pedoman penentuan level LiSBi mahasiswa ... 84

Tabel 3.12. Sebaran pertanyaan-pertanyaan angket pada setiap komponen... 85

Tabel 3.13. Pedoman penskoran tugas mahasiswa... 87

Tabel 3.14. Tafsiran efektivitas pembelajaran biokimia melalui MAKOR... 99

Tabel 3.15. Interpretasi koefisien φ ... 101

Tabel 4.1. Hasil studi lapangan di sebuah LPTK Jawa Timur... 104

Tabel 4.2. Nilai rata-rata matakuliah prasyarat biokimia mahasiswa prodi Ilmu Keolahragaan angkatan tahun 2010... 105

Tabel 4.3. Persentase mahasiswa angkatan tahun 2003, tahun 2002, tahun 2001 dan tahun 2000 berdasarkan konsepsi tentang prodi ilmu keolahragaan... 106

Tabel 4.4. Karakteristik instrumen... 106


(4)

iv Tabel 4.6. Klasifikasi kasus-kasus olahraga yang dieksplorasi mahasiswa

Kelas A... 119

Tabel 4.7. Klasifikasi kasus-kasus olahraga yang dieksplorasi mahasiswa

Kelas B... 120 Tabel 4.8. Aspek-aspek biokimia kasus yang dieksplorasi mahasiswa

Kelas A dan B pada SBU-1: sel... 121 Tabel 4.9. Aspek-aspek biokimia kasus yang dieksplorasi mahasiswa

Kelas A dan B pada SBU-2: air, SBU-3: elektrolit dan SBU-4:

sistem bufer... 122 Tabel 4.10. Aspek-aspek biokimia kasus yang dieksplorasi mahasiswa

Kelas A dan B pada SBU-5: enzim... 123 Tabel 4.11. Aspek-aspek biokimia kasus yang dieksplorasi mahasiswa

Kelas A dan B pada SBU-6: hormon... 124 Tabel 4.12. Aspek-aspek biokimia kasus yang dieksplorasi mahasiswa

Kelas A dan B pada SBU-7: metabolisme energi, SBU-8: Metabolisme karbohidrat, SBU-9: metabolisme lemak dan

SBU-9: metabolisme protein... 126 Tabel 4.13. Penyebab kesulitan mahasiswa dalam mendeskripsikan kasus.... 127 Tabel 4.14. Perkembangan Kemampuan mahasiswa mendeskripsikan dan

Menjelaskan kasus selama 4 minggu terakhir... 131 Tabel 4.15. Kasus-kasus olahraga yang dipresentasikan mahasiswa kelas A

dan kelas B dalam diskusi panel... 134 Tabel 4.16. Persentase mahasiswa yang mendeskripsikan dan menjelaskan

kasus selama 4 minggu terakhir... 135 Tabel 4.17. Kemampuan mahasiswa dalam mendeskripsikan dan menjelaskan

kasus setelah intervensi (M-7)... 137 Tabel 4.18. Deksripsi nilai pretes-postes dan N-gain LiSBi mahasiswa... 142 Tabel 4.19. Ringkasan hasil uji-t berpasangan (paired samples test)……... 143


(5)

v Tabel 4.20. Ringkasan hasil uji homogenitas varians dan uji beda mean

N-gain literasi sport-biochemistry..……… 144 Tabel 4.21. Nilai N-gain literasi sport-biochemistry mahasiswa kelas A, B,

C dan D………. 145

Tabel 4.22. Ringkasan hasil uji-t berpasangan (paired sampels test) proses-1,

Proses-2, dan proses-3 kelompok kontrol dan eksperimen... 146 Tabel 4.23. Deskripsi nilai N-gain LisSBi mahasiswa kelompok eksperimen

dan kontrol pada jenis proses LiSBi... 148 Tabel 4.24. Ringkasan hasil uji homogenitas varians dan uji beda mean

N-gain kelompok eksperimen dan kontrol pada setiap proses... 148 Tabel 4.25. Persentase mahasiswa kelompok kontrol dan eksperimen pada

Setiap level literasi sport-biochemistry………... 149 Tabel 4.26. Persentase kemampuan yang dikembangkan mahasiswa…... 152 Tabel 4.27. Sikap mahasiswa tentang biokimia, perkuliahan biokimia,

Keyakinan berhasil belajar biokimia dan mendukung karir... 154 Tabel 4.28. Tingkat asosiasi sikap mahasiswa kelompok eksperimen dan

Kontrol sebelum dan sesudah pembelajaran MAKOR

Berdasarkan hasil uji chi kuadrat dan koefisien φ... 155


(6)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Tahap-tahap pengembangan dalam sebuah konteks CHik... 15

Gambar 2.2. Adaptasi framework for PISA 2006 science assesment dalam Ilmu keolahragaan……….. 35

Gamber 3.1. Paradigma penelitian………... 65

Gambar 3.2. Desain penelitian... 68

Gambar 3.3. Tahap-tahap penelitian... 91

Gambar 4.1. Draf model pembelajaran biokimia melalui analisis kasus olahraga untuk ujicoba terbatas... 107

Gambar 4.2. Model pembelajaran biokimia melalui analisis kasus olahraga... 113

Gambar 4.3a. Perkembangan tugas analisis kasus mahasiswa kelas A... 141

Gambar 4.3b. Perkembangan tugas analisis kasus mahasiswa kelas B... 141

Gambar 4.4. Persentase mahasiswa yang mengalami perubahan level SBL... 150


(7)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

A. Alat Pengumpul Data

1. Angket... 176

2. Hasil validasi dan ujicoba instrumen... 178

B. Data Penelitian 1. Nilai mahasiswa pada tes literasi sport-biochemistry (LiSBi)... 184

2. Rekap nilai mahasiswa pada setiap proses dalam LiSBi………. 186

3. Rekap jawaban benar mahasiswa pada tes LiSBi………... 190

4. Sikap mahasiswa terhadap biokimia……….. 192

5. Nilai rata-rata tugas mahasiswa………. 194

6. Perkembangan tugas mahasiswa... 194

7. Hasil analisis sikap mahasiswa terhadap biokimia... 210


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Melalui deklarasi Surabaya pada tahun 1999, ilmu keolahragaan ditetapkan sebagai salah satu bagian dari disiplin ilmu eksakta atau sains yang memiliki fokus kajian analisis gerak manusia dalam aktivitas olahraga. Olahraga tidak lagi hanya dipandang sebagai aktivitas bermain atau berlatih melainkan merupakan objek kajian ilmu pengetahuan yang melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan (Sun, 2007), seperti: fisiologi, biomekanika, kinesiologi, ilmu gizi, dan biokimia. Untuk itu kemampuan memahami konsep dasar ilmu-ilmu fisika, kimia, biologi dan logika matematika sangat dibutuhkan untuk memberikan landasan pemahaman dan kemampuan dalam melakukan analisis gerak (KDI Ilmu Keolahragaan, 2000).

Ditinjau dari konsep scientific literacy (OECD, 2003), literasi sport-biochemistry (LiSBi) merupakan kemampuan minimal yang dibutuhkan mahasiswa untuk berperan dalam kehidupan sosialnya (masyarakat olahraga). Konsep tersebut menggambarkan bahwa mahasiswa dituntut tidak hanya menguasai biokimia melainkan juga memiliki kepekaan yang tinggi dan mampu memahami isu-isu dan fenomena keolahragaan, menginterpretasi fakta-fakta dan membuat kesimpulan dalam upaya mengatasi masalah-masalah keolahragaan yang berkaitan dengan biokimia. Selain itu, tumbuhnya sikap mahasiswa yang positif terhadap biokimia olahraga (attitudes toward sport-biochemistry) untuk mendukung tanggung jawab dan perannya sebagai analis,


(9)

evaluator, konsultan, programer keolahragaan bahkan sebagai peneliti dalam pengembangan ilmu keolahragaan.

Permasalahan yang paling mendasar setelah ilmu keolahragaan dinyatakan sebagai rumpun ilmu-ilmu eksakta (sains) adalah bagaimana upaya agar mahasiswa lulus matakuliah biokimia yang memiliki literasi sport-biochemistry (LiSBi). Padahal mahasiswa pada umumnya datang dengan membawa persepsi awal: ”kuliah di fakultas ilmu keolahragaan hanya untuk berlatih olahraga, bukan untuk mempelajari sains/IPA yang selama ini seringkali dianggap sebagai mata pelajaran yang sangat sulit ketika belajar di tingkat SMA (Wawancara informal kepada calon mahasiswa ilmu keolahragaan di suatu LPTK Surabaya). Mahasiswa berharap akan lebih banyak mengandalkan kemampuan ototnya untuk dilatih sesuai dengan cabang olahraga yang diminatinya. Persepsi awal tersebut kemudian diperparah oleh kegiatan perkuliahan biokimia yang bersifat teoretik dan perkuliahan olahraga di lapangan yang belum mengaplikasikan sains, khususnya biokimia. Akibatnya, biokimia menjadi kurang jelas kaitannya dengan olahraga, sehingga tidak dapat memenuhi harapan mahasiswa. Materi biokimia menjadi terkesan semakin abstrak dan semakin tidak jelas manfaatnya bagi mahasiswa.

Dari asil analisis kemampuan berpikir pada tahun 2005 menemukan bahwa pada umumnya mahasiswa ilmu keolahragaan hanya mampu menggunakan kemampuan berpikir konkrit dan kesulitan mengoperasikan kemampuan berpikir abstraknya (Kristiyandaru & Erman, 2005). Atmosfir akademik yang kurang kondusif juga menjadi penghambat upaya peningkatan kemampuan berpikir mahasiswa. Masyarakat olahraga bahkan masyarakat pada umumnya lebih mengenal olahraga yang hebat dari sisi


(10)

penampilan skill yang bertumpu pada kecerdasan kinestetiknya dan bukan pada sisi ilmu pengetahuan keolahragaan yang bertumpu pada logika dan kecerdasan aritmetika (Tim PHK A-1 Penkesrek Unesa, 2007). Kondisi tersebut berdampak sangat jelas, tidak hanya terhadap hasil belajar mahasiswa tetapi juga terhadap minat belajar terutama pada matakuliah bidang sains dan terapannya termasuk biokimia olahraga.

Hasil belajar mahasiswa ilmu keolahragaan pada matakuliah biokimia dapat dikatakan tergolong masih rendah dengan tingkat penguasaan rata-rata kurang dari 30%. Dalam setiap tahun pembelajaran biokimia, rata-rata kurang dari 10% mahasiswa yang mendapatkan nilai A, sedangkan yang mendapat nilai B tidak lebih dari 20%. Pada umumnya mahasiswa mendapatkan nilai C dan sebagian hanya mendapat nilai D dan E (Kristiyandaru & Erman, 2005; Martini & Erman, 2009). Beberapa fakta yang menunjukkan rendahnya motivasi mahasiswa belajar biokimia olahraga adalah keengganan mahasiswa untuk mencatat penjelasan dosen, mencari dan membaca literatur pendukung termasuk untuk memiliki buku acuan yang sudah disiapkan. Ujian ulang yang dilakukan dalam kegiatan remidial tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan hasil belajar mahasiswa. Padahal soal dalam tes/ujian yang digunakan, sebelumnya sudah dibahas jawabannya dan ujian bersifat open book (Martini & Erman, 2009). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran biokimia selama ini yang dilakukan dalam bentuk ceramah, diawali dengan memperkenalkan konsep, prinsip dan teori biokimia dan aplikasinya dalam olahraga disertai dengan pemberian contoh fenomena olahraga kurang efektif.

Ilmu keolahragaan merupakan bidang ilmu yang bersifat multidisipliner, yaitu amalgamasi dari berbagai bidang ilmu, seperti sains dan terapannya, psikologi dan


(11)

ilmu-ilmu sosial lainnya. Tentu saja untuk memahami dan menguasainya memerlukan kemampuan berpikir dan motivasi belajar yang tinggi (Hartono & Erman, 2004). Jika hal ini terus berlanjut maka sulit berharap kelak akan mendapatkan lulusan prodi ilmu keolahragaan yang memiliki kompetensi yang diharapkan. Oleh karena itu pembelajaran biokimia di prodi ilmu keolahragaan memerlukan strategi khusus, tidak hanya sekedar untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa, melainkan juga dapat menciptakan situasi yang kondusif untuk memotivasi mahasiswa belajar biokimia olahraga. Upaya tersebut tidak mudah dilakukan karena memerlukan kajian yang mendalam terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas belajar biokimia mahasiswa untuk menentukan solusi pembelajaran yang tepat.

Hasil kajian pendahuluan terhadap pembelajaran biokimia di prodi ilmu keolahragaan menemukan faktor-faktor penyebab mahasiswa kurang tertarik belajar biokimia dan materi sains pada umumnya. Pertama, persepsi awal mahasiswa yang menganggap bahwa kuliah di prodi ilmu keolahragaan hanya untuk berlatih olahraga sesuai dengan minat atau spesialisasinya masing-masing. Mereka tidak akan belajar sains dan ilmu terapannya yang memerlukan kemampuan berpikir tinggi (Hartono & Erman, 2004). Kedua, belajar sains dan terapannya termasuk biokimia hanya bersifat teoretik dan sulit diterapkan dalam aktivitas olahraga yang diminati mahasiswa. Bahkan ada anggapan bahwa untuk menguasai keterampilan olahraga tertentu tidak perlu harus menguasai biokimia dan terapannya terlebih dahulu (Hasil wawancara bebas kepada mahasiswa dalam studi lapangan di suatu LPTK Surabaya tahun 2009). Dalam setiap melakukan latihan olahraga, konsep, prinsip dan teori biokimia belum dilibatkan, baik untuk memahami setiap gerakan maupun untuk menjelaskan adaptasi kondisi fisik


(12)

pelaku olahraga. Ketiga, mahasiswa kesulitan menggunakan kemampuan berpikir abstraknya, padahal reaksi-reaksi biokimia berlangsung dalam sel yang terkesan abstrak (Kristiyandaru & Erman, 2005). Dari ketiga faktor tersebut, yang paling berpengaruh adalah faktor kedua, yaitu tidak tampaknya hubungan atau manfaat belajar biokimia dalam pengembangan kemampuan olahraga mahasiswa. Pembelajaran biokimia selama ini belum selaras dengan persepsi awal dan belum sesuai dengan karakteristik mahasiswa.

Materi perkuliahan biokimia pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 aspek, yaitu struktur, fungsi dan energi. Dalam perkuliahan biokimia di prodi ilmu keolahragaan lebih difokuskan pada aspek fungsi dan energi agar terkesan lebih mudah dipelajari mahasiswa. Meskipun demikian kesan kompleks dalam perhitungan energi yang menyertai setiap tahap reaksi sel yang panjang, reversibel bahkan berupa siklus, seperti: reaksi glikolisis dan siklus Krebs tak dapat dihindarkan. Hampir semua konsep dan reaksi dalam sel pada umumnya bersifat abstrak yang menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya minat mahasiswa mempelajari biokimia dan timbulnya kesalahan konsep pada matakuliah biokimia (Morton, Doran & Maclaren, 2007). Menurut Jeremy (2005) inovasi strategi pembelajaran akan berhasil mencapai tujuan jika dalam implementasinya disesuaikan dengan karakteristik mahasiswa. Untuk menarik minat mahasiswa mempelajari biokimia adalah dengan menggunakan strategi yang tepat dalam pembelajaran (Hermes-Lima et al., 2007). Oleh karena itu, model pembelajaran perlu dikembangkan untuk memudahkan mahasiswa memahami materi biokimia yang kompleks.


(13)

Hasil roadmap dalam lingkup penelitian pembelajaran biokimia, banyak dihasilkan model dan strategi-strategi pembelajaran biokimia yang inovatif dan kreatif. Namun semua strategi tersebut pada umumnya hanya diterapkan kepada mahasiswa jurusan kimia yang sebelumnya sudah dibekali dengan banyak matakuliah prasyarat pendukung, disamping konteksnya yang relevan dengan minat mahasiswa.

Salah satu strategi pembelajaran adalah dengan menggunakan konteks olahraga dalam pembelajaran kimia. Semua aspek kimia yang terkait dengan olahraga ditampilkan dalam bentuk mind mapping, seperti kimia organik (bahan-bahan sepatu, raket dan alat olahraga lainnya), metabolisme energi (biokimia), dan kimia analitik untuk memahami penggunaan bahan-bahan kimia atau doping (Potter & Overton, 2006). Pembelajaran tersebut dapat meningkatkan hasil belajar kimia mahasiswa. Namun strategi tersebut sulit untuk diterapkan kepada mahasiswa ilmu keolahragaan karena memerlukan dasar-dasar pengetahuan kimia organik, kimia analitik, kimia anorganik yang memadai, yang tidak diberikan dalam kurikulum prodi ilmu keolahragaan.

Penggunaan olahraga sebagai konteks pembelajaran sains juga pernah dilakukan oleh Hammrich, Richardson dan Livingston (2003) melalui program Sisters in Sport Scientific (SISS). Mereka menemukan peningkatan hasil belajar sains siswa sekolah dasar, bahkan diduga dapat mempromosikan literasi sains siswa. Namun cara ini lebih dominan pada aspek fisika yang berkaitan dengan gerak mekanik untuk siswa sekolah dasar.

Literasi sport-biochemistry berperan penting dalam pengembangan ilmu keolahragaan. Aktivitas olahraga dapat meningkatkan penampilan (performance)


(14)

seseorang karena hasil adaptasi-adaptasi fisiologi pada tingkat selular yang melibatkan banyak proses biokimia, seperti: sintesis protein baik untuk meningkatkan volume sel, hormon, enzim maupun untuk meningkatkan produksi energi (Viru & Viru, 2001).

Dalam olahraga prestasi, kemampuan fisik merupakan kondisi dasar yang harus dimiliki seorang atlet. Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI), misalnya, membuat kebijakan sertifikasi bagi setiap pemain asing sebelum menjadi pemain klub di Indonesia. Sertifikasi tersebut diberikan berdasarkan hasil tes fisik, terutama kemampuan mengambil oksigen maksimal (VO2 maks.) di samping kemampuan fisik

lainnya (Tim Sertifikasi Pemain Asing, 2008). Dalam olahraga kesehatan dan rekreasi, seperti senam dan aktivitas gerak olahraga lainnya yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat memerlukan kajian ilmiah yang melibatkan konsep, prinsip, hukum dan teori biokimia, fisiologi, dan ilmu gizi. Kajian tersebut diperlukan untuk memahami bagaimana proses adaptasi selular terjadi sebagai dampak dari latihan/olahraga yang dilakukan.

Sebuah organisasi ekonomi, Organization for Economic Cooperation and Development atau OECD menganggap literasi sains memiliki peran strategis dalam pengembangan kehidupan ekonomi suatu bangsa. PISA (The Programme for International Student Assesment) menganggap literasi sains sebagai bagian dari tujuan pendidikan sains. Bahkan literasi sains dipandang sebagai level ilmu pengetahuan minimal yang harus dimiliki setiap warga negara untuk menjalankan perannya dalam kehidupan sosialnya (OECD, 2006). Kehidupan sosial tersebut diilustrasikan oleh PISA tahun 2006 sebagai sebuah konteks (Kim & Lavonen, 2009). Hal ini berarti bahwa dalam belajar biokimia, mahasiswa ilmu keolahragaan diharapkan dapat memperoleh


(15)

LiSBi agar dapat menjalankan perannya dalam kehidupan sosialnya (masyarakat olahraga) atau dalam konteks keolahragaan.

Salah satu inovasi pembelajaran yang diharapkan dapat mengintegrasikan biokimia ke dalam konteks olahraga adalah melalui Model Analisis Kasus-kasus Olahraga (MAKOR). Inovasi pembelajaran tersebut terdiri dari 5 tahap, yaitu: (1) mengeksplorasi kasus-kasus olahraga yang sudah menjadi isu publik, (2) mendeskripsikan kasus olahraga yang berhasil dieksplorasi, (3) menjelaskan kasus yang sudah dideskripsikan dengan menggunakan literatur untuk mengidentifikasi dan menjelaskan aspek-aspek biokimia dalam kasus olahraga, (4) mengaplikasikan konsep, prinsip, hukum dan teori biokimia untuk menjelaskan secara komperehensif kasus olahraga, dan (5) mendiskusikan hasil yang diperoleh pada tahap (1) sampai dengan (4) untuk berbagi dengan peserta lain. Melalui model pembelajaran ini diharapkan hubungan antara biokimia dengan aktivitas olahraga menjadi semakin jelas bagi mahasiswa. Dalam model MAKOR, mahasiswa akan mengeksplorasi kasus olahraga publik yang menarik perhatian mereka dan masyarakat pada umumnya, kemudian mengkajinya dengan menggunakan literatur untuk menggali konsep, prinsip dan teori biokimia dalam setiap kasus, isu dan fakta tersebut.

Dalam model MAKOR, kemampuan inkuiri dikembangkan melalui kemampuan mengeksplorasi, mendeskripsikan dan menjelaskan kasus-kasus olahraga. Mahasiswa akan mendapatkan penjelasan yang komprehensif melalui kajian literatur dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan (berpikir integratif), sampai pada aspek-aspek biokimia, sehingga tumbuh rasa penasaran untuk ingin tahu yang sebenarnya. Semakin banyak kasus yang dianalisis, semakin banyak informasi yang diperoleh mahasiswa tentang


(16)

biokimia melalui fenomena-fenomena olahraga. Dengan demikian mahasiswa tidak hanya melihat perkembangan performance seseorang sebagai dampak latihan dari sudut pandang skill olahraga, tetapi juga sebagai hasil adaptasi pada tingkat selular.

Monitoring dan evaluasi kemajuan latihan olahraga secara cermat dan akurat menggunakan indikator-indikator biokimia selular (Viru & Viru, 2001). Akibatnya, mahasiswa akan menganggap biokimia bukan hanya sebatas teori, tetapi landasan ilmu pengetahuan yang sangat penting perannya untuk memahami isu-isu olahraga, di samping untuk mendukung upaya mengatasi berbagai permasalahan olahraga, baik olahraga prestasi maupun olahraga kesehatan dan rekreasi masyarakat, atau disebut memiliki literasi sport-biochemistry (LiSBi).

B. Rumusan Masalah

Masalah pokok dalam penelitian ini adalah ”Bagaimanakah model pembelajaran biokimia melalui analisis kasus olahraga yang efektif untuk meningkatkan Literasi Sport-Biochemistry mahasiswa ilmu keolahragaan?”. Bertolak dari masalah tersebut dikembangkan sejumlah pertanyaan berikut sebagai fokus kajian dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimanakah karakteristik model pembelajaran biokimia melalui analisis kasus-kasus olahraga untuk meningkatkan literasi sport-biochemistry mahasiswa?

2. Bagaimanakah kemampuan mahasiswa dalam mengeksplorasi, mendeskripsikan, dan menjelaskan kasus olahraga dan aspek-aspek biokimianya (konsep, prinsip, dan teori) setelah mengikuti model pembelajaran biokimia melalui analisis kasus-kasus olahraga?


(17)

3. Apakah model pembelajaran biokimia melalui analisis kasus-kasus olahraga yang dikembangkan efektif untuk meningkatkan literasi sport-biochemistry mahasiswa? 4. Bagaimanakah peningkatan literasi sport-biochemistry mahasiswa setelah mengikuti

model pembelajaran biokimia melalui analisis kasus-kasus olahraga?

5. Apakah model pembelajaran biokimia melalui analisis kasus-kasus olahraga yang dikembangkan efektif untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa memahami aspek-aspek biokimia dan mengaplikasikannya dalam menjelaskan kasus-kasus olahraga?.

6. Apakah model analisis kasus-kasus olahraga dapat membangun persepsi positif mahasiswa tentang matakuliah biokimia?.

7. Apakah keunggulan dan keterbatasan model pembelajaran biokimia melalui analisis kasus-kasus olahraga?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengembangkan model pembelajaran biokimia melalui analisis kasus-kasus olahraga untuk meningkatkan literasi sport-biochemistry mahasiswa

2. Meningkatkan literasi sport-biochemistry mahasiswa melalui peningkatan kemampuan dalam menganalisis kasus olahraga, yaitu kemampuan mengeksplorasi, mendeskripsikan, menjelaskan kasus-kasus olahraga, menjelaskan aspek-aspek biokimia (konsep, prinsip dan teori) dan mengaplikasikannya dalam menjelaskan kasus-kasus olahraga


(18)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini yang merupakan sebuah ”model pembelajaran biokimia melalui analisis kasus-kasus olahraga” kelak akan memperluas wawasan dan memperkaya pengetahuan tentang strategi pembelajaran biokimia yang sesuai dengan konteks di mana biokimia tersebut diterapkan. Dengan demikian hasil penelitian ini kelak dapat digunakan oleh:

1. Mahasiswa, terutama fakultas ilmu keolahragaan untuk mengatasi kesulitan belajar mahasiswa, dalam mempelajari sains dan biokimia pada khususnya, mengevaluasi dan meningkatkan literasi sport-biochemistry dan hasil belajar mahasiswa.

2. Dosen pengampu matakuliah biokimia di fakultas ilmu keolahragaan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa memahami dan mengaplikasian konsep, prinsip, hukum, dan teori biokimia, menjelaskan dan untuk memberikan landasan pengetahuan biokimia untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dalam bidang dan profesinya masing-masing.

3. Dosen pengampu matakuliah yang berbasis sains di program studi ilmu keolahragaan, seperti: fisiologi, ilmu gizi olahraga, biomekanika dan psikologi untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa memahami konsep, hukum dan teori dalam bidang ilmu setiap matakuliah dalam konteks keolahragaan sehingga menjadi lebih jelas keterkaitannya dengan aktivitas olahraga yang diminati mahasiswa. 4. Dosen pengampu matakuliah bidang sains di berbagai program studi lain selain

program studi sains, seperti: farmasi, kesehatan, pertanian, industri untuk memudahkan mahasiswa memahami materi sains dan lebih mendekatkan sains dengan konteks bidang ilmu mahasiswa.


(19)

5. Ilmuwan atau peneliti di bidang keolahragaan terutama untuk mengembangkan ilmu keolahragaan, konsep kepelatihan dan pendidikan olahraga di Indonesia yang melibatkan aspek-aspek biokimia dalam kajian fisiologi olahraga.

E. Definisi Operasional

Definisi operasional diperlukan untuk menjelaskan arti atau makna dari istilah-istilah yang digunakan dalam tulisan ini, yaitu:

1. Kasus-kasus olahraga adalah isu, fakta, atau masalah-masalah dalam biokimia olahraga, baik dalam olahraga prestasi maupun olahraga kesehatan masyarakat yang sudah menjadi isu publik, seperti: kasus doping darah dan obat tertentu, program diet dan olahraga, penjenuhan oksigen hemoglobin sebelum pertandingan, dan pemberian pisang kepada atlet menjelang suatu kompetisi.

2. Literasi sport-biochemistry (LiSBi) adalah kapasitas menggunakan ilmu pengetahuan biokimia untuk mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan, menginterpretasi dan menjelaskan isu-isu, kasus, fenomena keolahragaan yang mengandung aspek-aspek biokimia serta menarik kesimpulan berdasarkan fakta, agar dapat membuat keputusan secara tepat untuk mengatasi berbagai masalah keolahragaan dalam kehidupannya.

3. Level literasi biochemistry mahasiswa adalah tingkat literasi sport-biochemistry dalam skala Bybee (1997), yaitu: (1) sport-sport-biochemistry illiteracy, (2) nominal sport biochemistry literacy, (3) functional sport-biochemistry literacy, (4) conceptual sport-biochemistry literacy dan (5) multidimentional sport-biochemistry literacy yang dicapai mahasiswa berdasarkan skor yang diperolehnya melalui tes sport-biochemistry literacy.


(20)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Paradigma dan Desain Penelitian

Salah satu penyebab mahasiswa ilmu keolahragaan kurang berminat belajar sains dan biokimia pada khususnya karena mereka tidak menemukan manfaat atau peranan matakuliah biokimia untuk mengembangkan skill olahraga yang diminatinya. Pembelajaran biokimia selama ini diawali dengan pemahaman konsep, prinsip, hukum dan teori biokimia disertai dengan contoh aplikasinya dalam konteks olahraga kurang efektif untuk menunjukkan peranan biokimia dalam konteks olahraga.

Gambar 3.1. Paradigma Penelitian Adaptasi sel

Olahraga atau Latihan

Biokimia

Meningkatkan kapasitas motorik

Meningkatkan skill

Kasus-kasus Olahraga

Meningkatkan perfomance Olahragawan


(21)

Penggunaan konteks olahraga dalam pembelajaran biokimia di fakultas ilmu keolahragaan diharapkan dapat menunjukkan hubungan yang menggambarkan peran dan manfaat mempelajari biokimia dalam membentuk kompetensi mahasiswa di bidang olahraga. Mereka menjadi tertarik untuk belajar materi biokimia yang selama ini sering dianggap sulit karena banyak mengandung konsep, prinsip dan teori biokimia yang kompleks dan abstrak. Agar tujuan tersebut tercapai maka konteks yang digunakan melalui analisis kasus-kasus olahraga harus dikenal mahasiswa atau sering menjadi isu publik.

Kasus-kasus olahraga yang populer di masyarakat baik melalui media massa maupun dari pelaku olahraga pada umumnya mengandung aspek-aspek biokimia. Mahasiswa yang mampu mengeksplorasi, mendeskripsikan dan menjelaskan kasus olahraga dengan baik akan dapat menunjukkan aspek-aspek biokimia yang selanjutnya dapat memahaminya atau bahkan menguasainya. Melalui kasus yang telah dideskripsikan tersebut, mahasiswa akan mengidentifikasi aspek-aspek biokimia sebagai acuan dalam menelusuri literatur untuk mendapatkan penjelasan tentang konsep, prinsip, hukum dan teori biokimia dalam setiap kasus olahraga. Selanjutnya pemahaman biokimia mereka dalam kasus olahraga akan dimantapkan melalui diskusi kelompok dan diskusi panel antar kelompok dalam kelas.

Bertolak dari kasus olahraga yang menarik tersebut, dosen dapat mengarahkan mereka untuk mengenal dan memahami aspek-aspek biokimia sesuai dengan pokok bahasan yang dipelajari. Aspek-aspek biokimia tersebut meliputi konsep, prinsip, hukum dan teori yang ditelusuri mahasiswa dari berbagai sumber literatur.


(22)

Dari uraian tersebut maka langkah awal dari penelitian ini adalah analisis kualitatif untuk mengkaji kasus/fenomena olahraga, aspek-aspek biokimia serta pembahasannya yang dibuat mahasiswa. Untuk mengetahui seberapa efektif penggunaan konteks olahraga dalam pembelajaran biokimia, kegiatan dilanjutkan dengan pemberian pretes dan postes untuk mengukur literasi sport-biochemistry (LiSBi) mahasiswa. Selain itu, sebelum intervensi tersebut mahasiswa juga diberikan angket untuk mengetahui sikap mahasiswa tentang biokimia dan pembelajarannya. Demikian pula halnya setelah semua rangkaian intervensi pembelajaran, mahasiswa diberikan angket untuk mengetahui ada tidaknya perubahan sikap mahasiswa tentang biokimia dan pembelajarannya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian yang melibatkan data kualitatif dan data kuantitatif atau termasuk penelitian mixed method. Dalam penelitian mixed method terdapat empat jenis desain yang dapat digunakan, yaitu: (1) triangulation design, (2) embedded design, (3) explanatory design dan (4) exploratory design. Embedded design terdiri dari tiga model, yaitu: embedded design, embedded experimental model, dan embedded correlational model. Oleh karena penelitian ini mengembangkan sebuah model pembelajaran yang melibatkan kegiatan ujicoba (eksperimen) model tersebut, maka desain yang digunakan adalah embedded design, yaitu: model ”Embedded Experimental Model” (Creswell & Clark, 2007) yang dapat digambarkan pada Gambar 3.2.

Tahap 1. Analisis kualitatif sebelum intervensi bertujuan untuk menggali

informasi kepada mahasiswa tentang kasus-kasus olahraga yang berkaitan dengan kondisi fisik atlet atau pelaku olahraga yang sudah dikenal mahasiswa atau menjadi isu


(23)

publik, kemampuan mahasiswa mendeskripsikan kasus olahraga, kemampuan mahasiswa menelusuri literatur untuk mendapatkan teori yang menjelaskan dan

Kelompok Eksperimen

Keterangan: Qual = kualitatif, QUAN = kuantitatif (ditulis huruf besar karena

kuantitatif lebih prioritas daripada kualitatif), LiSBi = literasi sport-biochemistry, dan MAKOR = model pembelajaran berbasis analisis kasus olahraga

Gambar 3.2. Desain Penelitian

mengidentifikasi aspek-aspek biokimia dalam kasus. Analisis kualitatif sebelum intervensi juga akan mengkaji literatur-literatur yang dapat digunakan untuk mengembangkan aspek-aspek LiSBi (literasi sport-biochemistry) yang akan digunakan untuk pengembangan instrumen pada tahap 2. Selain itu, analisis kualitatif sebelum intervensi juga bertujuan untuk mengetahui persepsi mahasiswa tentang biokimia, ketersediaan literatur dan faktor pendukung pelaksanaan pembelajaran biokimia melalui analisis kasus olahraga. Hasil analisis kualitatif tersebut akan digunakan untuk membuat

Qual Sebelum Intervensi: Gambaran awal analisis kasus & persepsi mahasiswa tentang biokimia Qual Sebelum Pembela-jaran: Gambaran awal persepsi mahasiswa tentang biokimia QUAN Pretes (LiSBi) Qual Sesudah Intervensi: Gambaran akhir analisis kasus mahasiswa dan persepsi mahasiswa tentang biokimia Qual Sesudah Pembelajaran: persepsi mahasiswa tentang biokimia QUAN Postes (LiSBi)

Qual selama Intervensi: informasi

kemampuan analisis kasus mahasiswa dan penerapan model MAKOR

Interpretasi hasil-hasil QUAN (qual): memberi makna hasil implementasi berdasarkan uji statistik (uji-t), kemampuan analisis kasus & persepsi mahasiswa tentang biokimia, serta analisis keunggulan & keterbatasan model MAKOR yang dikembangkan Kelompok Kontrol QUAN Pretes (LiSBi)) QUAN Postes (LiSBi)


(24)

prototipe/model awal atau tahap-tahap pembelajaran. Tahap 1 menghasilkan prototipe model pengkajian kasus olahraga dan instrumen LiSBi.

Tahap 2. Model pembelajaran yang dikembangkan pada tahap 1 selanjutnya

diujicoba dengan menggunakan pendekatan kuasi eksperimen dengan menggunakan desain pretest-posttest control group design pada taraf signifikan,

α

= 0,05. Tes yang

digunakan adalah tes LiSBi yang mengandung aspek kemampuan pemahaman konsep, kemampuan mengidentifikasi isu-isu biokimia dalam aktivitas olahraga, kemampuan menjelaskan fenomena gerak olahraga secara ilmiah, kemampuan menggunakan fakta-fakta olahraga dalam memahami aspek-aspek biokimia, dan minat mahasiswa belajar biokimia.

Sebelum dilanjutkan ke tahap 3 dilakukan pembelajaran biokimia dalam konteks yang berbasis olahraga dengan menggunakan model yang dikembangkan pada tahap 1 selama 7 minggu atau 14 kali tatap muka. Selama perlakuan atau pembelajaran berlangsung dilakukan analisis kualitatif yang diberikan pada setiap akhir pertemuan untuk mengetahui perkembangan kemampuan mahasiswa dalam mengeksplorasi kasus, kemampuan mendeskripsikan, menjelaskan dengan menggunakan teori melalui literatur, mengidentifikasi aspek-aspek biokimia dalam kasus olahraga. Analisis kualitatif selama ujicoba tersebut bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan model pembelajaran biokimia melalui analisis kasus olahraga. Berdasarkan hasil analisis sejumlah faktor yang terlibat dalam pembelajaran dilakukan perbaikan-perbaikan dalam penerapan model sehingga diperoleh hasil yang maksimal dalam penerapan model tersebut secara efektif.


(25)

Tahap 3. Analisis kualitatif setelah intervensi bertujuan untuk mengetahui

perkembangan kemampuan mahasiswa dalam mengeksplorasi kasus, mendeskripsikan, menjelaskan dengan menggunakan teori melalui literatur, mengidentifikasi aspek-aspek biokimia dalam kasus olahraga dan sikap mahasiswa melalui angket. Hasil analisis kualitatif setelah intervensi adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab keberhasilan penerapan model pembelajaran yang dicobakan.

Tahap 4. Interpretasi hasil kuantitatif (QUAN) dan kualitatif (QUAL), yaitu

kegiatan yang dilakukan untuk memberikan makna terhadap hasil ujicoba dan hasil analisis kualitatif baik sebelum (tahap 1), pada saat penerapan model (tahap 2) maupun setelah ujicoba berlangsung (tahap 3). Hasil interpretasi tersebut akan mengarahkan kepada pembuatan kesimpulan berdasarkan hasil analisis data kuantitatif dan kualitatif.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah mahasiswa program studi S1 Ilmu Keolahragaan Fakultas Ilmu Keolahragaan di sebuah LPTK di Surabaya angkatan tahun 2010 sebanyak 107 orang yang sedang mempelajari matakuliah biokimia olahraga. Mahasiswa tersebut selanjutnya dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan menggunakan stratified random sampling berdasarkan jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru, yaitu: (1) jalur penerimaan melalui penelusuran bakat dan minat calon mahasiswa (PMDK), (2) jalur SNMPTN (seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri), (3) SPMB-1 (seleksi mandiri LPTK lokasi penelitian yang dilakukan setelah proses seleksi SNMPTN dan sebelum pengumuman kelulusan SNMPTN tersebut dan (4) jalur seleksi SPMB-2 (seleksi


(26)

penerimaan mahasiswa baru di lokasi penelitian yang diselenggarakan setelah pengumuman SNMPTN).

Mahasiswa yang diterima melalui jalur PMDK adalah calon mahasiswa yang dianggap berprestasi di sekolah menengah asal masing-masing calon disamping telah lulus seleksi yang mekanisme dan kriterianya ditentukan oleh perguruan tinggi penerima. Mahasiswa yang diterima melalui jalur SNMPTN adalah mahasiswa yang lulus seleksi masuk perguruan tinggi lokasi penelitian yang ditetapkan melalui kriteria-kriteria terpusat secara nasional. Adapun mahasiswa yang diterima melalui jalur SPMB-1 dan SPMB-2 adalah seleksi mandiri, baik mekanisme dan kriteria seleksinya ditentukan oleh perguruan tinggi penerima. Bedanya, calon mahasiswa yang mengikuti seleksi SPMB-1 adalah mereka yang ragu tidak lulus SNMPTN atau tidak mengikuti SNMPTN sedangkan calon mahasiswa yang mengikuti seleksi SPMB-2 adalah mereka yang sudah jelas tidak lulus SNMPTN karena diselenggarakan setelah pengumuman SNMPTN. Berdasarkan pengalaman sebelumnya (tahun 2009) dimana mahasiswa yang diterima dari setiap jalur seleksi tersebut ditempatkan secara terpisah ke dalam kelas yang berbeda tampak bahwa mahasiswa yang diterima melalui jalur SNMPTN paling unggul (prestasi belajar dan suasana belajar mengajar yang lebih kondusif) kemudian disusul mahasiswa yang diterima melalui jalur PMDK jika dibandingkan dengan mahasiswa yang diterima melalui jalur SPMB-1 maupun SPMB-2 (Hasil studi lapangan tahun 2010). Dengan demikian jalur seleksi yang ditempuh mahasiswa dapat dijadikan sebagai dasar prediksi kemampuan awal akademik mahasiswa yang diterima di prodi S1 Ilmu Keolahragaan LPTK lokasi penelitian ini.


(27)

Dalam penelitian ini, mahasiswa yang diterima melalui keempat jalur seleksi tersebut secara acak dibagi ke dalam 4 kelas, yaitu kelas A, kelas B, kelas C dan kelas D. Selanjutnya, keempat kelas tersebut kemudian dipilih secara acak dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: kelas eksperimen (kelas A dan kelas B) dan kelas kontrol (kelas C dan kelas D). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap kelas memiliki distribusi mahasiswa yang sama berdasarkan jalur seleksi (PMDK, SNMPTN, SPMB-1 dan SPMB-2). Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa mahasiswa pada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol) relatif tidak berbeda ditinjau dari kemampuan akademiknya. Nilai rata-rata pretes mahasiswa kedua kelompok dalam tes SBL telah membuktikan asumsi tersebut disamping nilai-nilai matakuliah prasyarat biokimia, yaitu matakuliah biologi dan kimia yang dipelajari mahasiswa pada semester pertama sebelum memprogram matakuliah biokimia pada semester kedua.

Mahasiswa pada kedua kelompok tersebut mengikuti perkuliahan biokimia yang sama, baik kurikulum maupun materi biokimia termasuk buku acuan yang digunakan, namun berbeda dalam hal strategi perkuliahan yang digunakan dosen pengampu. Mahasiswa kelompok eksperimen (kelas A dan B) mengikuti pembelajaran biokimia melalui analisis kasus-kasus olahraga sedangkan mahasiswa pada kelompok kontrol (kelas C dan D) mengikuti pembelajaran biokimia secara konvensional, yaitu melalui penyajian materi dengan ceramah yang didukung oleh media visual (power point) disertai tanya jawab dan pemberian tugas mengerjakan soal-soal pada setiap akhir pokok bahasan yang tersedia melalui buku acuan.


(28)

C. Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini pada dasarnya terdiri dari tiga jenis instrumen, yaitu: (1) tes evaluasi LiSBi dalam konteks ilmu keolahragaan yang digunakan sebelum (pretes) dan sesudah (postes) kegiatan pembelajaran biokimia melalui analisis kasus-kasus olahraga, (2) angket, yaitu sekelompok pernyataan yang digunakan untuk mengetahui sikap mahasiswa tentang matakuliah biokimia sebelum dan setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran analisis kasus yang dikembangkan, dan (3) pedoman analisis tugas mahasiswa dalam melakukan analisis kasus-kasus olahraga baik secara individu maupun kelompok atau diskusi.

Pengembangan ketiga instrumen tersebut dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) melakukan telaah kurikulum biokimia olahraga yang digunakan di lokasi penelitian untuk mengetahui topik/pokok bahasan perkuliahan biokimia olahraga, (2) mengkaji teori yang melandasi konsep LiSBi untuk menentukan karakteristik instrumen yang akan digunakan, mengembangkan dimensi dan indikator variabel yang akan diukur, (3) membuat kisi-kisi instrumen dalam bentuk tabel dalam bentuk dimensi, indikator, nomor butir dan jumlah butir, (4) menetapkan besaran atau parameter dalam setiap butir dalam bentuk rentangan kontinum, (5) menulis butir-butir instrumen dalam bentuk pertanyaan/pernyataan, (6) melakukan konsultasi terhadap butir-butir instrumen yang telah disusun kepada dosen pembimbing, (7) merevisi butir-butir instrumen sesuai dengan saran dosen pembimbing, (8) melakukan proses validasi dengan menggunakan validasi isi dalam bentuk expert judgment dengan meminta pendapat 3 pakar (pakar biokimia, pakar pendidikan IPA dan pakar ilmu keolahragaan), (9) melakukan


(29)

konsultasi dengan pembimbing untuk persiapan revisi instrumen berdasarkan saran dalam expert judgment, (10) melakukan revisi instrumen berdasarkan saran-saran ketiga pakar tersebut, (11) melakukan ujicoba di lapangan untuk mengetahui validasi empirik butir soal dan reliabilitas instrumen, (12) melakukan analisis butir, butir-butir yang tidak valid diperbaiki dan dirakit kembali, (13) menghitung koefisien reliabilitas instrumen, dan perakitan kembali butir-butir instrumen yang memiliki nilai validitas, tingkat kesukaran atau daya pembeda yang bernilai negatif untuk dijadikan instrumen penelitian.

Berdasarkan hasil telaah kurikulum dan kajian teori yang relevan, tes LiSBi terdiri dari 50 item yang terdistribusi dalam 10 SBU (sport-biochemistry unit) sesuai dengan kurikulum biokimia olahraga yang berlaku di lokasi penelitian. Kesepuluh SBU tersebut ditampilkan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Topik/Pokok Bahasan Literasi Sport-Biochemistry (LiSBi)

SBU Topik/Pokok bahasan

SBU-1 SBU-2 SBU-3 SBU-4 SBU-5 SBU-6 SBU-7 SBU-8 SBU-9 SBU-10

Sel (adaptasi fungsi sel dan komponen-komponennya selama latihan) Air (dehidrasi dan dampaknya pada atlet)

Elektrolit (keseimbangan elektrolit)

Sistem buffer (jenis dan peran sistem buffer) Enzim (peran enzim dan adaptasinya selama latihan) Hormon (peran hormon dan adaptasinya selama latihan)

Metabolisme energi (konservasi energi, degradasi energi dan faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan energi)

Metabolisme karbohidrat (aerob, anaerob dan perhitungan jumlah energi) Metabolisme lemak (metabolisme aerob dan perhitungan jumlah energi) Metabolisme protein (fungsi protein dan metabolismenya)

Pengembangan item-item tes dalam tiap SBU masih mengacu pada model instrumen PISA 2003 (OECD, 2003). Meskipun demikian instrumen yang dikembangkan juga mengakomodasi PISA 2006 yang telah dikembangkan dengan lebih kompleks (Bybee,


(30)

McCray, 2011) yaitu dengan pemberian angket untuk mengukur sikap mahasiswa terhadap biokimia secara terpisah. Hal ini dilakukan selain karena untuk penyederhanaan agar tampak lebih mudah bagi mahasiswa ilmu keolahragaan juga karena karakteristik model pembelajaran yang dikembangkan yang berbasis pada analisis kasus-kasus olahraga. Faktor lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah pernyataan Rodrigues dan Oliveira (2009) bahwa mengakses literasi sains harus melibatkan ilmu pengetahuan faktual (sesuai dengan konteks dan kurikulum). Itulah sebabnya tiap SBU terdiri dari 5 item tes yang mencakup 3 jenis proses, yaitu: (1) describing, explaining and predicting sport-biochemistry phenomena, (2) understanding sport-biochemistry investigation, dan (3) interpreting sport-biochemistry evidence and conclusion (OECD, 2003). Persentase setiap proses ditampilkan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Proses-proses dalam Tes Literasi Sport-Biochemistry

Karakteristik Proses Jumlah

Item

Persentase (%) Proses 1: Describing, explaining and predicting sport-

biochemistry phenomena

Proses 2: Understanding sport-biochemistry investigation Proses 3: Interpreting sport-biochemistry evidence and

Conclusion

30 10 10

60 20 20

Setiap SBU, proses 1 terdiri dari 3 item tes, sedangkan proses 2 dan proses 3 masing-masing terdiri dari 1 item tes. Sesuai dengan jumlah pokok bahasan, jumlah butir soal tes SBL sebanyak 50 butir tes, yaitu 30 butir item tes proses 1, dan masing-masing 10 butir item tes untuk proses 2 dan proses 3. Proses 1 lebih banyak (3 item tes) daripada dua proses lainnya (proses 2 dan proses 3) yang masing-masing hanya 1 item disebabkan oleh model pembelajaran yang digunakan yaitu pembelajaran biokimia


(31)

melalui analisis kasus-kasus olahraga yang berbasis pada kemampuan mendeskripsikan dan menjelaskan serta mempresentasikan kasus olahraga. Melalui kemampuan mendeskripsikan dan menjelaskan serta mempresentasikan kasus, mereka diharapkan akan dapat memahami bagaimana proses investigasi, menginterpretasi data atau fakta yang terdapat dalam kasus dan kemudian menghasilkan kesimpulan. Ketiga proses tersebut didistribusikan dan ditulis secara acak pada nomor-nomor item tes dalam setiap SBU dalam 4 jenis pertanyaan, yaitu: (1) S-R (structured-response), OC-R (open constructed-response), M-C (multiple choice) dan CM-C (complex multiple-choice) dengan distibusi yang sama pada setiap SBU. Distribusi jenis-jenis pertanyaan tersebut ditampilkan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Persentase Jenis Pertanyaan dalam Tes LiSBi

Jenis Pertanyaan Jumlah Item Persentase (%)

Structured-response (S-R)

Open constructed-response (OC-R) Multiple-choice (M-C)

Complex multiple-choice (CM-C)

10 20 10 10

20 40 20 20

Setiap butir soal diberi rentang nilai 0 - 1, kecuali soal nomor 5 SBU-6 diberi rentang nilai 0 – 2 (proses 1) yang ditulis dalam bentuk S-R dan soal nomor 2 SBU-10 (proses 1) dalam bentuk OC-R diberi rentang nilai 0 – 3 karena memiliki tingkat kesulitan dan kompleksitas yang lebih tinggi daripada soal-soal lainnya. Pemberian skor pada setiap jawaban pertanyaan yang ditulis dalam bentuk OC-R dan CM-C tidak selalu bulat tergantung pada tingkat kebenaran jawaban mahasiswa sedangkan pada soal-soal yang ditulis dalam bentuk M-C dan S-R diberi skor dikotomi, yaitu jawaban benar diberi skor 1 dan jawaban salah diberi skor 0. Skor total semua butir soal tes LiSBi


(32)

adalah 53. Waktu mengerjakan tes LiSBi semula ditetapkan sebanyak 100 menit dengan asumsi waktu menyelesaikan tiap butir soal masing-masing 2 menit.

Validasi instrumen SBL ditentukan dengan menggunakan validitas isi, yaitu dengan meminta pertimbangan 3 validator, yaitu 1 validator pakar biokimia (Guru besar biokimia), 1 validator pakar pendidikan IPA dan 1 validator pakar ilmu keolahragaan. Hasil validasi pakar terhadap semua sport-biochemistry unit (SBU) dalam tes LiSBi menunjukkan bahwa ketiga pakar pada dasarnya menerima semua item tes dalam LiSBi baik dari aspek pesan singkat, pertanyaan-pertanyaan dalam tes, jawaban pertanyaan maupun skor jawaban pertanyaan. Tak ada satu pun pakar yang menyatakan menolak suatu item tes ditinjau dari keempat aspek tersebut. Meskipun demikian pada setiap SBU, ada beberapa aspek yang mendapat catatan saran untuk revisi dari satu atau dua pakar. Hanya SBU-5 pada aspek pesan singkat, ketiga pakar memberikan saran revisi. Aspek-aspek yang banyak mendapatkan saran revisi adalah aspek pesan singkat dan pertanyaan pada setiap SBU. Adapun jawaban pertanyaan dan skor hampir semuanya diterima tanpa revisi. Aspek-aspek dari setiap item tes yang diterima dengan revisi selanjutnya direvisi sesuai dengan saran validator sehingga semua item-item tes dalam LiSBi dinyatakan valid.

Reliabilitas tes LiSBi ditentukan melalui ujicoba instrumen pada 36 mahasiswa sebuah LPTK di lokasi penelitian angkatan tahun 2009 yang sudah lulus mata kuliah biokimia olahraga dengan menggunakan metode belah dua (split-half method). Melalui metode belah dua tersebut, soal-soal dalam tes SBL dibagi menjadi dua bagian yang sama berdasarkan pada nomor sport-biochemistry unit (SBU), yaitu SBU bernomor ganjil dan SBU bernomor genap. Pembagian butir soal berdasarkan nomor SBU


(33)

tersebut karena setiap SBU pada dasarnya memiliki karakteristik, seperti: jenis proses, jenis pertanyaan dan kemampuan yang diukur relatif sama meskipun pengukuran dilakukan dalam konteks yang berbeda sesuai dengan pokok bahasan. Selain karena alasan-alasan tersebut metode belah dua dipilih karena tingkat ketelitian yang relatif lebih terjamin dibandingkan dengan metode test-retest disamping mudah dilakukan karena cukup dengan sekali ujicoba (Oppenheim, 1992; Arikunto, 1998).

Melalui ujicoba instrumen tersebut, selain untuk menentukan reliabilitas instrumen LiSBi juga menentukan 3 parameter, yaitu: (1) validitas tiap butir soal, (2) daya pembeda tiap butir soal, dan (3) tingkat kesukaran tiap butir soal dalam tes LiSBi. Validasi tiap butir soal dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi Pearson (rxy):

N ΣXY – (ΣX)(ΣY)

rxy =

[NΣX2 – (ΣX)2][NΣY2 – (ΣY)2]

Keterangan:

rxy = koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y

N = jumlah mahasiswa

X = jumlah nilai setiap butir soal dalam tes LisBi Y = Nilai tes setiap mahasiswa

dengan kriteria seperti yang ditampilkan pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Kriteria Nilai Validasi Butir Soal (Arikunto, 2008)

Nilai rxy Kategori

0,81 ≤ r xy ≤ 1,00

0,61 ≤ r xy ≤ 0,80

0,41 ≤ r xy ≤ 0,60

0,21 ≤ r xy ≤ 0,40

0,00 ≤ r xy ≤ 0,20

Sangat tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah


(34)

Penghitungan daya beda dilakukan dengan menggunakan rumus (Arikunto, 2008):

BA BB

DP = - = PA - PB JA JB

Keterangan:

DP = daya pembeda

BA = jumlah kelompok atas yang menjawab benar JA = jumlah kelompok atas

BB = Jumlah kelompok bawah yang menjawab benar JB = jumlah kelompok bawah

PA = Proporsi kelompok atas yang menjawab benar PB = Proporsi kelompok bawah yang menjawab benar Dengan kriteria yang ditampilkan dalam Tabel 3.5.

Tabel 3.5. Kriteria Daya Pembeda

Nilai Daya Pembeda Interpretasi

0,00 – 0,20 0,20 – 0,40 0,40 – 0,70 0,70 – 1,00

Jelek Cukup

Baik Baik Sekali

Penentuan tingkat kesukaran (TK) dilakukan dengan menggunakan rumus (Arikunto, 2008) sebagai berikut:

Jumlah mahasiswa yang menjawab soal dengan benar TK =

Jumlah seluruh mahasiswa

Kriteria tingkat kesukaran butir soal ditampilkan dalam Tabel 3.6.

Tabel 3.6. Kriteria Tingkat Kesukaran Butir Soal

Nilai Tingkat Kesukaran Interpretasi

0,00 – 0,30 0,30 – 0,70 0,70 – 1,00

Sukar Sedang Mudah


(35)

Hasil perhitungan validitas butir soal pada setiap SBU secara ringkas ditampilkan pada Tabel 3.7.

Berdasarkan nilai validitas diketahui dua butir soal yang memiliki nilai validitas negatif atau kategori jelek, yaitu butir 1 SBU-6 dan butir 1 SBU-8. Tidak ada satu butir soal yang mencapai kategori baik.

Tabel 3.7. Nilai Rentang Validitas Butir Soal Setiap Sport-Biochemistry Unit (SBU)

Jenis SBU Rentang Nilai Kategori

SBU-1 SBU-2 SBU-3 SBU-4 SBU-5 SBU-6 SBU-7 SBU-8 SBU-9 SBU-10

0,039 – 0,588 0,129 – 0,364 0,097 – 0,424 0,077 – 0,363 0,489 – 0,591 -0,082 – 0,525 0,139 – 0,503 -0,113 – 0,495 0,111 – 0,493 0,119 – 0,326

Sangat rendah – Cukup Sangat rendah – Rendah

Sangat rendah – Cukup Sangat rendah – Rendah

Cukup – Cukup Jelek – Cukup Sangat rendah – Cukup

Jelek – Cukup Sangat rendah - Cukup Sangat rendah – Rendah

Hasil perhitungan daya pembeda butir soal dalam tes LiSBi pada setiap SBU mengandung daya pembeda butir soal yang bervariasi, yaitu dari kategori jelek sampai dengan kategori baik. Daya pembeda butir soal setiap SBU secara ringkas ditampilkan pada Tabel 3.8.

Tabel 3.8. Nilai Rentang Daya Pembeda Butir Soal Setiap SBU

Jenis SBU Rentang Nilai Kategori

SBU-1 SBU-2 SBU-3 SBU-4 SBU-5 SBU-6 SBU-7 SBU-8 SBU-9 SBU-10

0,06 – 0,61 0,11 – 0,44 0,06 – 0,50 0,05 – 0,33 0,12 – 0,50 0,00 – 0,56 0,06 – 0,28 -0,06 – 0,28

0,06 – 0,39 -0,05 – 0,22

Jelek – Baik Jelek – Baik Jelek – Baik Jelek – Baik Jelek – Baik Jelek – Baik Jelek – Cukup Sangat jelek – Cukup

Jelek - Cukup Sangat jelek – Cukup


(36)

Berdasarkan analisis daya pembeda diketahui 2 butir soal yang tergolong sangat jelek karena memiliki nilai daya pembeda negatif, yaitu butir 1 8 dan butir 1 SBU-10. Berdasarkan tingkat kesukarannya, butir-butir soal dalam tes LiSBi pada umumnya tergolong dalam kategori sukar dan sedang. Hanya satu butir soal yang termasuk dalam kategori mudah, yaitu butir 2 SBU-2 dengan nilai tingkat kesukaran sebesar 0,78. Secara ringkas, tingkat kesukaran butir soal ditampilkan pada Tabel 3.9. SBU-1 memiliki butir soal kategori sedang kecuali butir 5 yang termasuk kategori sukar dengan nilai tingkat kesukaran 0,19. Sebaliknya, SBU-7, SBU-8, SBU-9 dan SBU-10 masing-masing hanya memiliki satu butir soal kategori sedang sedangkan lainnya tergolong kategori sukar. Adapun SBU-2, SBU-3, SBU4, SBU-5 dan SBU-6 memiliki butir soal dengan kategori sukar dan kategori sedang yang relatif berimbang.

Berdasarkan ketiga kriteria tersebut, ditemukan 3 butir soal yang memiliki satu atau lebih parameter yang bernilai negatif, yaitu: butir 1 pada SBU-6, butir 1 pada SBU-8, dan butir 1 pada SBU-10. Selain ketiga butir soal tersebut, semua butir soal memiliki nilai ketiga parameter yang positif. Butir-butir soal yang memiliki nilai ketiga parameter yang tidak negatif (positif) langsung dapat digunakan tanpa revisi sedangkan butir soal yang memiliki satu parameter atau lebih yang bernilai negatif dikonsultasikan dengan pembimbing sebelum kemudian dilakukan revisi. Menurut Djaali dan Muljono (2008), berdasarkan hasil analisis butir, butir-butir yang tidak valid dikeluarkan (dibuang) atau diperbaiki (dirakit kembali). Dengan demikian berdasarkan hasil analisis butir tersebut, dalam penelitian ini tidak ada butir soal dalam LiSBi yang dibuang.

Reliabilitas tes LiSBi ditentukan dengan menghitung nilai korelasi antara nilai mahasiswa pada SBU bernomor ganjil dengan nilai mahasiswa pada SBU bernomor


(37)

genap dengan menggunakan korelasi Pearson. Perhitungan koefisien korelasi tersebut dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS seri-12. Ringkasan hasil uji korelasi tersebut tampak pada Tabel 3.10.

Tabel 3.9. Nilai Rentang Tingkat Kesukaran Butir Soal Setiap SBU

Jenis SBU Rentang Nilai Kategori

SBU-1 SBU-2 SBU-3 SBU-4 SBU-5 SBU-6 SBU-7 SBU-8 SBU-9 SBU-10

0,19 – 0,64 0,25 – 0,78 0,14 – 0,58 0,03 – 0,56 0,11 – 0,64 0,25 – 0,39 0,03 – 0,36 0,00 – 0,39 0,03 – 0,64 0,00 – 0,31

Sukar – Sedang Sukar – Mudah Sukar – Sedang Sukar – Sedang Sukar – Sedang Sukar – Sedang Sukar – Sedang Sukar – Sedang Sukar – Sedang Sukar – Sedang

Jika dikonfirmasi dengan kriteria pada Tabel 3.4. dapat dikatakan bahwa nilai korelasi SBU ganjil dan SBU genap tergolong tinggi dan signifikan pada taraf signifikan 0,01.

Tabel 3.10. Nilai Korelasi SBU Ganjil-Genap

Nilai Statistik SBU Ganjil SBU Genap

Mean Standar deviasi N Korelasi, r 6,6944 3,3685 36 0,620** 6,3889 2,6675 36 0,620**

** signifikan pada level signifikan 0,01.

Selanjutnya, nilai reliabilitas tes LiSBi ditentukan dengan menggunakan rumus berikut:

2 x rxy

rxy =

1 + r xy

rxy = nilai korelasi Pearson ganjil-genap (Arikunto, 2008)


(38)

Dengan menggunakan rumus tersebut diperoleh nilai koefisien korelasi, rxy = 0,765.

Menurut Litwin (1995), koefisien reliabilitas pada taraf 0,70 atau lebih dapat diterima sebagai instrumen dengan reliabilitas yang baik, sedangkan menurut Nunnally (1970), koefisien reliabilitas yang memadai sebaiknya terletak di atas 0,60. Dengan demikian ditinjau dari reliabilitasnya, instrumen LiSBi tergolong baik.

Berdasarkan hasil ujicoba, waktu mengerjakan soal LiSBi semula ditetapkan 100 menit berubah menjadi 150 menit. Perubahan tersebut dilakukan karena waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh mahasiswa ilmu keolahragaan di lokasi ujicoba memerlukan waktu sekitar 3 menit untuk menjawab setiap butir soal sehingga untuk menjawab 50 butir soal diperlukan waktu sebanyak 150 menit. Waktu 3 menit tersebut dibuat dengan asumsi waktu membaca setiap kasus yang disediakan 1 menit sehingga setiap SBU diberikan waktu 5 menit untuk membaca dan memahami kasus yang disediakan sebelum kemudian menjawab butir-butir soal dengan alokasi waktu masing-masing 2 menit.

Berdasarkan skor yang diperoleh setiap mahasiswa pada tes LiSBi tersebut dapat ditetapkan level literasi sport-biochemistry (LiSBi) yang dicapai mahasiswa baik sebelum maupun sesudah pembelajaran. Pedoman yang digunakan dalam penentuan level LiSBi mahasiswa dikembangkan berdasarkan pada karakteristik setiap level Bybee (1997) dan literasi sains PISA 2003 serta item-item pertanyaan dalam tes LiSBi. Pedoman penetapan level literasi sport-biochemistry mahasiswa ditampilkan pada Tabel 3.11.

Selain menggunakan instrumen literasi sport-biochemistry, dalam penelitian ini juga menggunakan angket untuk mengukur sikap mahasiswa terhadap biokimia


(39)

olahraga (attitudes towards sport-biochemistry). Menurut Woonough (1994) dan Osborne (2003), sikap terhadap sains memiliki domain sikap sebagai berikut: persepsi guru sains, kecemasan terhadap sains, keyakinan diri terhadap sains, motivasi belajar sains, senang terhadap sains, sikap peer dan teman terhadap sains, sikap orang tua

Tabel 3.11. Pedoman Penentuan Level LiSBi Mahasiswa Berdasarkan tes LiSBi (Shwartz, Ben-Zvi & Hofstein, 2006; Bybee, 1997; PISA, 2003, & PISA, 2006)

Level Literasi Sport-Biochemistry (LiSBi)

Skor

Proses-1 Proses-2 Proses-3

Level-1

Sport-biochemistry illiteracy

0 0 0

Level-2

Nominal sport-biochemistry literacy

0 - 6 0 0

Level-3

Functional sport-biochemistry literacy

6 - 13 0 0

Level-4

Conceptual sport-biochemistry literacy

13 - 21 1 - 4 0 - 3

Level-5

Multidomensional sport-biochemistry literacy

21 - 32 4 - 9 3 - 10

terhadap sains, hakekat lingkungan belajar, prestasi belajar sains, usaha agar tidak gagal dalam belajar sains. Dalam penelitian ini, sikap terhadap biokimia olahraga diukur dalam domain sikap terhadap biokimia, sikap terhadap perkuliahan biokimia, keyakinan berhasil dalam belajar biokimia dan peranan biokimia dalam menunjang karir mereka. Dalam bidang keolahragaan sikap demikian dapat dikategorikan sebagai domain afektif (Kanasa & Nichols, 2008).

Angket yang digunakan terdiri dari 4 komponen, yaitu: (1) sikap mahasiswa terhadap biokimia, (2) sikap mahasiswa terhadap perkuliahan biokimia, (3) keyakinan mahasiswa berhasil dalam belajar biokimia dan (4) sikap mahasiswa tentang peranan biokimia untuk berkarir di bidang keolahragaan. Dari keempat kategori tersebut


(40)

dikembangkan 20 item pernyataan sikap yang disusun dalam bentuk pernyataan positif dan pernyataan negatif dengan menggunakan skala Likert (sangat setuju/SS, setuju/S, ragu-ragu/R, tidak setuju/TS dan sangat tidak setuju/STS) (Kanasa & Nichols, 2008). Sebaran item-item angket tersebut ditampilkan dalam Tabel 3.12.

Tabel 3.12. Sebaran Pernyataan-pernyataan Angket pada Setiap Komponen

Komponen Sikap Jumlah

Item

Pernyataan (+) (60%)

Pernyataan (-) (40%)

No. Item No. Item

1. Sikap terhadap biokimia

2. Sikap terhadap perkuliahan biokimia 3. Keyakinan berhasil belajar biokimia 4. Peran biokimia untuk mendukung karir di

bidang keolahragaan

5 5 5 5

1, 3, 15 2, 5, 19 7, 9, 14 13, 16, 18

10, 17 4, 12 6, 20 8, 11

Validasi angket dilakukan melalui validasi isi dalam bentuk expert judgment yang melibatkan 3 orang pakar, yaitu: (1) pakar biokimia, (2) pakar pendidikan sains dan (3) pakar ilmu keolahragaan. Hasil validasi angket menunjukkan bahwa pada umumnya semua item dalam angket diterima tanpa revisi. Hanya 3 item yang diterima dengan revisi oleh seorang validator namun diterima tanpa revisi oleh dua validator lainnya. Revisi tersebut hanya berkaitan dengan redaksi item angket tetapi bukan pada aspek substansinya. Berdasarkan saran validator ketiga item yang mendapat catatan revisi dikonsultasikan dengan pembimbing dan kemudian direvisi sesuai dengan saran validator dan pembimbing. Adapun item lainnya yang diterima tanpa revisi langsung dapat digunakan. Dengan demikian semua item pernyataan yang digunakan dalam angket ini dapat dinyatakan valid. Dalam penelitian ini kualitas angket hanya ditentukan dengan menggunakan expert judgment.


(41)

Instrumen pedoman penilaian tugas mahasiswa bertujuan untuk menganalisis tugas-tugas mahasiswa pada kelompok eksperimen yang mengikuti pembelajaran biokimia melalui analisis kasus-kasus olahraga. Pedoman penilaian tugas ini dikembangkan dengan mengacu pada tugas-tugas mahasiswa dalam perkuliahan, yaitu: (1) penilaian kemampuan mengeksplorasi kasus, (2) penilaian kemampuan mendeskripsikan kasus, (3) penilaian kemampuan menjelaskan kasus, dan penilaian mempresentasikan hasil analisis kasus. Penilaian kemampuan mengeksplorasi, mendeskripsikan dan menjelaskan kasus dilakukan secara individual atau untuk setiap mahasiswa sedangkan kemampuan mempresentasikan kasus dilakukan secara berkelompok.

Kemampuan mengeksplorasi kasus terdiri dari 4 komponen, yaitu: (1) jumlah kasus yang dieksplorasi (NJE), (2) jumlah kasus yang relevan dengan olahraga (NRO), (3) jumlah kasus yang relevan dengan biokimia (NRB), dan jumlah kasus yang urgen untuk dikaji ditinjau dari konsep ilmu keolahragaan (NUK). Kemampuan mendeskripsikan kasus dinilai dari 6 komponen pertanyaan “who”, “what”,” when”, “where”, “why” dan “how” atau disingkat W5H. Kemampuan menjelaskan kasus

dinilai dari 3 komponen, yaitu: (1) jumlah literatur (JL) yang digunakan untuk menjelaskan kasus, (2) kemampuan menjelaskan aspek-aspek biokimia dalam kasus (ABK), dan (3) kemampuan membuat paparan, argumen dan kesimpulan tentang kasus yang dijelaskan (PAK). Kemampuan mempresentasikan kasus ditinjau dari 4 komponen, yaitu: (1) bahan presentasi (BP), (2) kemampuan menyajikan hasil diskusi kelompok (PHD), (3) kemampuan menjawab pertanyaan dalam diskusi (JP) dan (4)


(42)

kemampuan membuat kesimpulan hasil diskusi (KHD). Penskoran dari setiap aspek ditampilkan pada Tabel 3.13.

Berdasarkan skor dari setiap komponen penilaian tugas tersebut dapat dihitung skor total setiap komponen tugas. Dengan target 3 kasus dan minimal 1 kasus untuk setiap mahasiswa, maka skor total untuk setiap komponen sebagai berikut: (1) kemampuan mengeksplorasi kasus, skor total sebesar 30, kemampuan mendeskripsikan kasus, skor total 30, dan kemampuan menjelaskan kasus (explanation) skor total 60, sedangkan kemampuan presentasi dalam diskusi (1 kasus/kelompok) dengan skor total 28. Namun jika mahasiswa mampu menganalisis lebih dari 3 kasus, maka skornya akan

Tabel 3.13. Pedoman Penskoran Tugas Mahasiswa

Jenis Tugas Skor Jenis Tugas Skor

A. Kemampuan mengeksplorasi kasus

1. Jumlah kasus dieksplorasi

2. Jumlah kasus relevan dengan

olahraga

3. Jumlah kasus relevan dengan

biokimia

4. Jumlah kasus yang urgen untuk

dikaji

B. Kemampuan mendeskripsikan kasus dari 6 komponen

pertanyaan: 1. Who 2. What 3. Where 4. When 5. Why 6. How 1/kasus 3/kasus 3/kasus 3/kasus

0 – 1 0 – 2 0 – 1 0 – 1 0 – 2 0 – 3

C. Kemampuan menjelaskan kasus

1. Jumlah literatur

2. Aspek-aspek biokimia kasus

3. Paparan, argumen dan

kesimpulan tentang kasus yang dijelaskan

D. Kemampuan

mempresentasikan kasus

1. Bahan presentasi

2. Penyajian hasil diskusi

3. Menjawab pertanyaan

4. Menyimpulkan hasil diskusi

0 – 5 0 – 5 0 – 10

1 – 4 1 – 4 0 – 10 0 – 10

diakumulasikan dalam skor capaian tugas mahasiswa. Dengan demikian tidak ada nilai skor maksimum dari setiap komponen tugas analisis kasus olahraga. Skor mahasiswa tergantung pada jumlah kasus yang dianalisis.


(43)

Kualitas instrumen pedoman penilaian tugas hanya mengandalkan hasil dari expert judgment. Berdasarkan hasil validasi ketiga pakar, semua aspek dalam pedoman penilaian tugas mahasiswa diterima. Namun pada semua jenis tugas (mengeksplorasi, mendeskripsikan, mengaplikasikan dan mempresentasikan kasus) dari aspek penskoran parameter pada umumnya mendapatkan saran revisi terutama yang berkaitan dengan pembobotan. Sedangkan aspek paramater penilaian diterima tanpa revisi. Hasil validasi pedoman penilaian tugas ini selanjutnya dikonsultasikan kepada pembimbing untuk direvisi sesuai dengan saran ketiga expert.

D. Prosedur Penelitian

Berdasarkan desain mixed method yang digunakan, langkah-langkah dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dapat dibagi menjadi 3 tahap utama, yaitu: (1) tahap persiapan dalam bentuk studi pendahuluan yang dilakukan melalui studi lapangan dan studi pustaka, (2) tahap pelaksanaan yang meliputi ujicoba terbatas dan ujicoba skala besar, dan (3) tahap interpretasi untuk memberi makna terhadap hasil ujicoba skala besar. Secara skematik, seluruh rangkaian tahap penelitian diuraikan pada Gambar 3.3.

1. Tahap Persiapan

Studi pendahuluan yang dilakukan melalui studi lapangan dan studi pustaka. Studi lapangan bertujuan untuk mendapatkan gambaran awal tentang sensitivitas mahasiswa terhadap kasus-kasus olahraga yang sudah menjadi isu publik, kemampuan mahasiswa mendeskripsikan dan memahami kasus dan menelusuri literatur yang berkaitan dengan kasus. Dalam studi lapangan juga akan dilakukan analisis kebutuhan mahasiswa dalam


(44)

matakuliah biokimia dan menetapkan kasus-kasus berdasarkan kebutuhan mahasiswa/pokok bahasan dalam matakuliah biokimia terutama dari aspek ketersediaan literatur dan akses informasi dalam analisis kasus. Studi lapangan dilakukan dalam bentuk studi dokumen terutama kurikulum biokimia olahraga dan observasi langsung serta wawancara tak terstruktur baik kepada mahasiswa maupun kepada dosen dan pimpinan jurusan/prodi. Studi pustaka bertujuan selain untuk menggali informasi terkait dengan mahasiswa ilmu keolahragaan dan untuk mendapatkan modal teori dalam mengembangkan prototipe model pembelajaran biokimia melalui analisis kasus olahraga. Hasil studi pendahuluan tersebut akan memberikan arah kepada perancangan model pembelajaran biokimia melalui analisis kasus olahraga dan pengembangan instrumen penelitian.

Model pembelajaran yang sudah berhasil dirancang selanjutnya diujicoba secara terbatas kepada mahasiswa kelas A berjumlah 30 orang yang berasal dari prodi ilmu keolahragaan sebuah universitas di Jawa Timur. Ujicoba terbatas tersebut dilakukan untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan model pembelajaran yang dikembangkan. Oleh karena itu, lama ujicoba terbatas sangat tergantung pada pemahaman peneliti terhadap tingkat keterlaksanaan model pembelajaran yang diujicobakan. Dalam penelitian ini, lama ujicoba terbatas sebanyak empat kali pertemuan atau dua minggu masa perkuliahan (dua kali tatap muka setiap minggu) karena dalam kurun waktu tersebut sudah dapat diketahui tingkat keterlaksanaan model yang diujicobakan dan bagaimana seharusnya model pembelajaran yang siap untuk diimplementasikan sebagai acuan perbaikan model.


(45)

2. Tahap Pelaksanaan

Setelah dilakukan perbaikan model pembelajaran analisis kasus, selanjutnya dilakukan ujicoba dengan skala yang lebih luas, yaitu dengan melibatkan 4 kelas mahasiswa dengan jumlah 107 orang. Langkah-langkah yang digunakan dalam ujicoba ini menggunakan hasil perbaikan langkah-langkah yang digunakan pada ujicoba terbatas.

Sesuai dengan desain penelitian yang digunakan maka secara garis besar, langkah-langkah dalam implementasi model atau ujicoba skala luas yang dilakukan pada kelompok eksperimen kelas A dapat diuraikan pada Gambar 3.3.

1) Pemberian pretes pada hari ke-1 minggu ke-1 untuk mengetahui literasi sport- biochemistry (LiSBi) dan sikap mahasiswa terhadap matakuliah biokimia sebelum penerapan model pembelajaran analisis kasus-kasus olahraga.

2) Pada hari ke-2 minggu ke-1, menjelaskan tugas yang akan dikerjakan mahasiswa, mulai dari tugas mengeksplorasi, mendeskripsi, dan menjelaskan kasus-kasus olahraga. Selain itu, mahasiswa juga diberikan penjelasan tentang konsep, hukum dan teori disertai dengan contoh agar mereka tidak kesulitan dalam menjelaskan kasus yang sudah dideskripsikan. Setelah dijelaskan cara mengerjakan tugasnya, setiap mahasiswa diberikan tugas untuk mengeksplorasi fenomena atau kasus berkaitan kondisi fisik atlet atau pelaku olahraga, mendeskripsikan dan menjelaskan dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang terkait dengan menelusuri literatur.


(46)

TAHAP PERSIAPAN

TAHAP PELAKSANAAN: UJICOBA SKALA LUAS

TAHAP INTERPRETASI

Gambar 3.3. Tahap-tahap Penelitian

Studi Pendahuluan:

1.Studi lapangan 2.Studi Pustaka

3.Studi dokumen (kurikulum dan nilai prasyarat belajar biokimia, yaitu biologi dan kimia)

4. Perancangan model pembelajaran 5. Ujicoba terbatas draf model pembelajaran (MAKOR)

(1)

QUAL Sebelum Intervensi:

Analisis kemampuan mahasiswa menganalisis kasus

(2)

a. QUAL selama intervensi: Analisis kualitatif tugas mahasiswa

b. QUAN selama intervensi: Analisis tugas, LiSBi dan sikap mahasiswa

Hasil:

1. Instrumen (LiSBi, angket, pedoman

analisis tugas)

2. Draf model pembelajaran analisis kasus

3. Karakteristik mahasiswa dan kurikulum

4. Model pembelajaran (MAKOR) yang siap

diimplementasikan dalam ujicoba skala luas

Hasil

Gambaran awal kemampuan mahasiswa mengeksplorasi, mendeskripsikan dan menjelaskan kasus

Hasil

1. Data nilai tugas mahasiswa berdasarkan pedoman penilaian tugas

2. Data tes LisBi mahasiswa

3. Data sikap mahasiswa

Hasil

Gambaran akhir kemampuan mahasiswa mengeksplorasi, mendeskripsikan dan menjelaskan kasus

(3)

QUAL Sesudah Intervensi:

Analisis kemampuan mahasiswa

menganalisis kasus

Interpretasi QUAN (qual):

Interpretasi hasil uji statistik berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif tugas mahasiswa

Hasil

1. Efektivitas model MAKOR untuk

meningkatkan LiSBi mahasiswa

2. Sikap mahasiswa terhadap biokimia

3. Kesimpulan dan rekomendasi

4. Keunggulan dan kelemahan model


(47)

Selanjutnya dilakukan ujicoba skala yang lebih besar yang tidak hanya melibatkan kelas A tetapi juga kelas B dengan menerapkan hasil modifikasi model pembelajaran berbasis analisis kasus olahraga. Langkah-langkah dalam ujicoba skala luas dapat diuraikan sebagai berikut:

3) Pada hari ke-2 minggu ke-2 mahasiswa kelas B mulai dilibatkan dalam mengikuti penjelasan tugas yang nanti akan dilakukan. Kemudian baik kelas A maupun kelas B ditugaskan melakukan eksplorasi, mendeskripsikan dan menjelaskan kasus-kasus olahraga sesuai dengan petunjuk. Disamping tugas individual juga dilakukan pembagian kelompok diskusi dengan anggota lima orang untuk setiap kelompok sehingga jumlah kelompok setiap kelas 6 kelompok. Tugas kelompok adalah membuat bahan presentasi kasus olahraga yang paling baik dari kasus yang sudah dikerjakan oleh anggota kelompoknya agar tidak membebani mahasiswa. Tujuan diskusi adalah untuk berbagi dengan sesama temannya baik dalam kelompok maupun dengan kelompok lain.

4) Pada hari ke-1 minggu ke-3 dilakukan evaluasi tugas dan remidial tugas mahasiswa baik kelas A maupun kelas B. Hasilnya terjadi peningkatan pada kemampuan mendeskripsikan kasus meskipun sebagian besar masih kesulitan dalam menjelaskan kasus. Selanjutnya dilakukan remidial tugas analisis kasus olahraga. 5) Pada hari ke-2 minggu ke-3, meskipun masih kesulitan dalam menjelaskan

kasus-kasus yang dideskripsikannya, dimulai kegiatan diskusi yang dipilih sesuai dengan topik bahasan atau yang relevan dengan topik bahasan. Hasil diskusi tersebut ternyata masih jauh dari yang diharapkan. Meskipun demikian mahasiswa menjadi mendapatkan pengalaman mempersentasikan tugas yang mereka kerjakan selama


(1)

Ainley, M. and Ainley, J. (2011). A Cultural Perspective in The Structure oc Student Interest in Science. International Journal of Science Education, 33, 1, 51-71. Ali S. et al. (2007). Correlation between Exercise Induced Lactic Acidosis and

Leucocytosis. Annals, 13 (3), 198-201.

Allen, D. and Tanner, K. (2003). Approaches to Cell Biology Teaching: Learning Content in Context-Problem-based Learning. Cell Biology Education, 2, 73-81. Anderson, T. and Grayson, D, (2006). Improving Students’ Understanding of

Carbohydrate Metabolism in First-year Biochemistry at Tertiery. Journal Research in Science Education, 24 (1), 1-10.

Anderson, G.L. and Heck, M.L. (2005). Theme-based Tests: Teaching in Context. Biochemistry and Moleculer Biology Education, 33 (1), 8-14.

Anson, C.M. and Dannels, D.P. (2009). Using Informal Writing and Speaking to Enhance Learning: Fefteen Strategies. NC State Campus Writing and Speaking Program, 91, 9, 513-577.

Arikunto, S. (1998). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Arikunto, S. (2008).

Belt, S.T. et al. (2005). Using a Context-based Approach to Undergraduate Chemistry Teaching- A Case Study for Introductory Physical Chemistry. Chemistry Education Research and Practice, 6 (3), 166-179

Belt, S.T., and Phipps, L.E.(1998). Using Case Studies to Develop Key Skill in Chemists: A Preliminary Account. University Chemistry Education, 2, 16-20. Brickman, P. et al., (2009). Effects of Inquiry-based Learning on Students’Science

Literacy Skills and Confidence. International Journal for The Scholarship of Teaching and Learning, 3 (2), 1-22.

Brunner-La Rocca, H.P. et al, (1999). Is Blood Pressure Response to the Valsalva Maneuver Related to Neurohormones, Exercise Capacity, and Clinical Findings in Heart Failure? American College of Chest Physicians, 4 Oktober 1999, 861-867. Bybee, R.W. (1997). Achieving Scientific Literacy: From Purposes to Practices.


(2)

Bybee, R.W, McCrae, B., and Laurie, R. (2009). PISA 2006: An Assesment of Scientific Literacy. Journal of Research in Science Teaching, 46 (8), 865-883. Creswell, J.W. and Clark, V.P. (2007). Designing and Conducting Mixed Method

Research. USA: SAGE Publication

Dawson, V. (2003). Effect of a forensic DNA testing module on adolescents' ethical decision-making abilities. Australian Science Teachers' Journal, 49 (4), 12-17. Elliot, K.A. et al. (2003). Educational Tchnologies That Integrate Problem Based

Leraning Principles: Do These Resources Enhance Student Learning? Proceeding of 20 th Annual Conference of Australasian Society for Computers in Learning in Tertiery Education, December 7-10, 2003.

Engberts, J.B.F.N, (2006). The Theory of Creative Synthetic Learning and Its Implementation in China. Austria: International Whitehead Conference, July 21, 2006.

Epstein, R.J., (2004). Learning from The Problem-based Learning. BMC Medical Education, 4, 1-7.

Gratton, C. and Jones, I. 2003. Research Methods for Sport Studies. New York: Routledge Taylor & Francis Group.

Gultekin, Z., Kin-Isler, A., and Surenkok, O., (2006). Hemodynamic and Lactic Acid Responses To Proprioceptive Neuromuscular Facilitation Exercise. Journal of Sports Science and Medicine, 5, 375-380.

Hammrich, P.L., Richardson, G.M., and Livingstone, B. (2003). Sisters in Sport Science: A Sport-Oriented Science and Mathematics Enrichment Program, Electronic Journal of Science Education, 7 (3)

Hartono, S. dan Erman, (2004). Persepsi Mahasiswa tentang Prodi S1 Ilmu Keolahragaan FIK Unesa. Surabaya: Laporan Penelitian DIPA Unesa.

Hermes-Lima et al., (2007). The Use of Multiple Tools for Teaching Medical Biochemistry. Adv. Physiol Educ., 32, 38-46.

Ibrahim, S.Y., et al. (2008). Validation of a Helath Literacy Screening Tool (REALM) in A UK Population with Coronary Hearth Disease. Journal of Public Health, 30 (4), 449-455.


(3)

Ishikawa, H., et al., (2008). Developing a Measure of Communicative and Critical Health Literacy: A Pilot Study of Japanese Office Workers. Health Promotion International, 23 (3), 269-274.

Jian, H. (2009). A Contrastive Study of Cultural Diversity of Learning Style Between China and the United States. International Education Studies, 2, 1, 163-166. Jeremy, E.C., (2005), Why Eucational Innovations Fail: An Individual Difference

Perspective, Cleveland State University, 33, 569 – 578.

Kanasa, H. And Nichols, K. (2008). Addressing Emerging Science and Technology Issues: Raising Scientific Literacy Skills of Middle Years Students in Quesland Schools. AARE Conference, Brisbane 2008.

KDI-Keolahragaan. (2000). Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Dikti.

Kim, M. and Lavonen, J. (2009). Experts’ Opinion on The High Achievement of Sciencefic Literacy in PISA 2003. A Comparative Study in Finland and Korea. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education, 5 (4), 379-393.

Kirkwood, V. and Symington, D., (1996). Lecturer Perceptions of Students Difficulties in First-year Chemistry Course, Australian Science Education Association Conference, 73, 339 – 343.

Kjaernsli, M. and Lie, S. (2011). Students’ Preference for Science Careers: International Comparisons Based on PISA 2006. International Journal of Science Education, 33, 1, 121-144.

Kristiyandaru, A., dan Erman, (2005), Hubungan Tingkat Kemampuan Berpikir dengan Hasil Belajar Mahasiswa pada Matakuliah Fisiologi dan Biomekanika, Laporan Penelitian DIK Unesa.

Laugkhsch, R.C. (2000). Scientific Literacy: A Conceptual Overview. Rondesbosch: John Wiley&Sons, Inc.

Lewis, S.E. and Lewis, J.E. (2007). Predicing At-risk Students in General Chemistry: Comparing Formal Thought to A General Achievement Measure. Chemistry Education Research and Practice, 8 (1), 32-51.


(4)

Manganello, J.A. (2008). Health Literacy and Adolescents: A Framework and Agenda for Future Research. Health Education Research, 23 (5), 840-847.

Margetson, D. (1998). Why is Problem-based Learning A Challenge? London: Kogan Page.

Martini dan Erman, (2009). Intervensi konstruktivisme dalam bahan ajar biokimia olahraga untuk melatih mahasiswa berkemampuan pikir konkrit memahami konsep abstrak. Surabaya: Laporan Penelitian Hibah Strategi Nasional

Martin, M.O. Mullis, I.V.S., and Foy, P. 2008. TIMSS 2007 International Science Reports: Finding froms IEA’s Trends in International Mathematics and Science Study at The Fourth and Eight Grades. Boston, MA: TIMSS and PIRL International Study Center, Lynch School of Education.

McCray, A.T. (2005). Promoting Health Literacy. Journal of The American Medical Informatics Assosiation, 12, 152-163.

Morton, J.P, Doran, D.A., and McLaren, D.P.M. (2008). Common Student Misconceptions in Exercise Physiology and Biochemistry. Adv. Physiol Educ, 32, 142-146.

Mourtzakis, M. et al., (2006). Carbohydrate Metabolism during Prolonged Exercise and Recovery: Interactions between Pyruvate Dehydrogenase, Fatty Acids, and Aminos Acids. J. Appl. Physiol, 100, 1822-1830.

Owen, R.L. and Breyer, E.D., (2005). A Participant-oriented, Research-Based Approach for Design of A Biochemistry Workshop for Faculty at Undergraduate Institution. OECD. 2006. Assessing Scientific, Reading, and Mathematical Literacy: A Framework

for PISA 2006. Paris: OECD.

Osborne, J. (2003). Attutudes towards Science: A Review of The Literature and Its Implication. International Journal of Science Education, 25, 9, 1049-1079.

Osborne, J., Simon, S, and Tytler, R. 2009. Attitudes Towards Science: An Update. Paper Presented at The Annual Meeting of The American Educational Research Association. San Diego April, 13-17, California.


(5)

Passos, R.M. et al., (2008). Pizza and Pasta Help Students Learn Metabolism. Adv. Physiol Educ, 30, 89-93.

Poter, N.M. and Overton, T.L. (2006). Chemistry in Sport: Context-based e-Learning in Chemistry. Chemistry Education Research and Practice, 7 (3), 195-202.

Renkert, S., and Nutbeam, D. (2006). Opportunities to Improve Maternal Health Literacy through Antenatal Education: An Exploratory Study. Health Promotion International, 16 (4), 381- 388.

Rodrigues, A. and Oliveira, M. (2009). Assessing Scientific Literacy should Include Factual Knowledge. Europeran Commission.

Schondborn, K.J., and Anderson, T.R. (2006). The Importance of Visual Literacy in The Education of Biochemistry. Biochemistry and Molecular Biology Education, 34 (2), 94-102.

Schultz, E. (2005). A Guided Discovery Approach for Learning Metabolic Pathways. Biochemistry and Molecular Biology Education, 33 (1), 1-7.

Scott, C. (2005). Misconceptions about Aerobic and Anaerobic Energy Expenditure, Journal of the International Society of Sport Nutrition, 2 (2), 32-37.

Sevgi, L. (2006). Speaking with Numbers: Scientific Literacy and Public Understanding of Science. Turk J Elec Engin, 14 (1), 33-40.

Shwarts, Y., Ben-Zvi, R., and Hofstein, A. (2006). The Use of Scientific Literacy Taxonomy for Assessing The Development of Chemical Literacy Among High-schoola Students. Chemistry Education Research and Practice, 7 (4), 203-225. Sjoberg, S. (2007). Constructivism and Learning. International Encyclopedia of

Education 3rd Edition, Oxford: Elsevier

Sun, J., (2007). The Establishment of Sports System Engineering as a Discipline. International Journal of Sports Science and Engineering, 1, 1, 67-72.

Viru, A and Viru, M. (2001). Biochemical Monitoring of Sport Training. New Zealand. Human Kinetics.

Weinstein, C.E., Braten, I, and Andreassen, R. . 2006. Learning Strategies of Self Reguler Learning. Learning Strategies. Oslo: Univeersity of Oslo.


(6)

Wellington, J. and Osborne, J. 2001. Language and Literacy in Science Education. Burkingham Open University Press.

Wiske, M.S. 1998. Teaching for Understanding. Linking Research with Practice. Jossey-Bass.

Hake, R.R. (1998). Interactive-engagement vs. traditional methods:Asix-thousand-student survey of mechanics test data for introductory physics courses. American Journal of Physics, 66, 64–74.