PENGEMBANGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING DALAM ECOPEDAGOGY UNTUK PENINGKATAN KOMPETENSI EKOLOGIS MATA PELAJARAN IPS.

(1)

PENGEMBANGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING

DALAM ECOPEDAGOGY UNTUK PENINGKATAN

KOMPETENSI EKOLOGIS MATA PELAJARAN IPS

(Studi Pengembangan Model Pembelajaran Pada Siswa SMP Negeri di Kabupaten Bangkalan Jawa Timur)

DISERTASI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam Bidang Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Promovendus

MUHAIMIN

NIM 1107162

PROGRAM STUDI S3 PENDIDIKAN IPS

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG


(2)

PENGEMBANGAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING

DALAM ECOPEDAGOGY UNTUK PENINGKATAN

KOMPETENSI EKOLOGIS MATA PELAJARAN IPS

(Studi Pengembangan Model Pembelajaran Pada Siswa SMP Negeri di Kabupaten Bangkalan Jawa Timur)

Oleh Muhaimin

S.Pd STKIP PGRI Bangkalan, 2002 M.Pd Universitas Kanjuruhan, 2004

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) dalam Bidang Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial

© Muhaimin 2014


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Pengembangan Model

Problem Based Learning dalam Ecopedagogy Untuk Peningkatan Kompetensi

Ekologis Mata Pelajaran IPS” beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri. Saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan tersebut, saya siap menanggung resiko/sanksi apabila di kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran etika keilmuan atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya.

Bandung, November 2014 Yang membuat pernyataan

M U H A I M I N NIM 11071062


(4)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR GRAFIK ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 14

C. Rumusan Masalah ... 17

D. Tujuan Penelitian ... 17

E. Manfaat Penelitian ... 18

F. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 22

A. Kajian Tentang Pembelajaran IPS Muatan Ekologis ... 22

1. Hakikat Pendidikan IPS ... 22

2. Tujuan IPS ... 27

3. Ruang Lingkup IPS ... 30

4. Materi Lingkungan Hidup dalam Pembelajaran IPS ... 32

B. Kajian Tentang Model Pembelajaran ... 34

1. Pengertian Model Pembelajaran ... 34

2. Ciri-ciri Model Pembelajaran ... 37

C. Kajian Tentang Model Problem Based Learning (PBL) ... 39

1. Hakikat Problem Based Learning ... 39

2. Karakteristik Model Problem Based Learning ... 47

3. Manfaat Model Problem Based Learning ... 51

4. Sintaks Model Problem Based Learning ... 51


(5)

1. Hakikat Pendidikan Lingkungan Hidup ... 55

2. Tujuan Pendidikan Lingkungan Hidup ... 62

3. Pendidikan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan ... 65

4. Moral Lingkungan ... 69

E. Kajian Tentang Kompetensi Ekologis ... 73

1. Konsep Kompetensi dalam Kurikulum Pendidikan Persekolahan 73 2. Kompetensi Ekologis ... 77

F. Hasil Penelitian yang Relevan ... 87

G. Paradigma Penelitian... 97

BAB III METODE PENELITIAN... 100

A. Rancangan Penelitian ... 100

B. Prosedur Penelitian ... 106

C. Lokasi, Subjek, dan Sampel Penelitian ... 107

1. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 107

2. Sampel Penelitian ... 110

D. Variabel dan Definisi Operasional Variabel ... 112

E. Teknik Pengumpulan Data ... 116

F. Pengembangan Instrumen Penelitian ... 118

1. Validitas ... 118

2. Reliabilitas ... 123

G. Metode Analisis Data ... 125

1. Analisis Deskriptif ... 125

2. Analisis Statistik ... 126

H. Alur Penelitian ... 128

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 129

A. Hasil Penelitian 1. Hasil Studi Pendahuluan ... 129

a. Latar Belakang Guru ... 129

b. Pembelajaran IPS Muatan Ekologis ... 131

2. Pengembangan Model Pembelajaran Berdasarkan Analisis Kebutuhan ... 143

a. Desain Awal Pengembangan Model Ecopedagogy - BMLHL 144 b. Validasi Model Ecopedagogy - BMLHL ... 151

3. Pelaksanaan Uji Coba Terbatas ... 155

a. Implementasi Uji Terbatas 1 ... 156

b. Implementasi Uji Terbatas 2 ... 164

c. Implementasi Uji Terbatas 3 ... 168

d. Hasil Kompetensi Ekologis Uji Terbatas ... 171

e. Kesimpulan Hasil Uji Coba Terbatas Model Ecopedagogy – BMLHL ... 178

f. Respon Guru dan Siswa Terhadap Model Ecopedagogy – BMLHL ... 178


(6)

g. Hambatan dan Keterbatasan Uji Coba Terbatas ... 180

h. Model Ecopedagogy – BMLHL Setelah Uji Coba Terbatas . 183 4. Pelaksanaan Uji Coba Model Secara Lebih Luas ... 188

a. Hasil Kompetensi Ekologis ... 189

b. Temuan Hasil Penelitian Uji Coba Luas ... 200

c. Produk Model Ecopedagogy-BMLHL Setelah Uji Coba Luas204 5. Pengujian Efektivitas Model Ecopedagogy – BMLHL ... 209

a. Hasil Kompetensi Ekologis ... 210

b. Temuan Hasil Penelitian Uji Efektifitas Model ... 222

c. Produk Model Setelah Uji Efektifitas Model ... 227

6. Kelebihan dan Kelemahan Model Ecopedagogy BMLHL ... 230

a. Kelebihan Model Ecopedagogy – BMLHL ... 230

b. Kelemahan Model Ecopedagogy – BMLHL ... 233

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 235

1. Pembahasan Kondisi Faktual Pembelajaran IPS Muatan Ekologis SMP Negeri di Kabupaten Bangkalan Madura ... 235

2. Pembahasan Pengembangan Model Pembelajaran Ecopedagogy BMLHL ... 239

3. Pembahasan Efektifitas Model Ecopedagogy – BMLHL dalam Peningkatan Kompetensi Ekologis Pembelajaran IPS... 242

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 273

A. Simpulan ... 273

B. Saran atau Rekomendasi ... 274


(7)

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Sintaks Pembelajaran Berdasarkan Masalah ... 52

3.1 Daftar Nama SMP Negeri di Kabupaten Bangkalan... 109

3.2 Daftar Sampel Sekolah dalam Tahap Penelitian Pendahuluan ... 111

3.3 Daftar Sampel Sekolah dalam Implementasi Model ... 112

3.4 Variabel Kompetensi Ekologis ... 114

3.5 Hasil Uji Validitas Instrumen Kompetensi Ekologis Aspek Kognitif Soal Objektif ... 119

3.6 Hasil Uji Validitas Instrumen Kompetensi Ekologis Aspek Kognitif Soal Subjektif ... 120

3.7 Hasil Uji Validitas Instrumen Kompetensi Ekologis Aspek Sikap ... 121

3.8 Hasil Uji Validitas Instrumen Kompetensi Ekologis Aspek Keterampilan .. 122

3.9 Hasil Uji Validitas Instrumen Kompetensi Ekologis Aspek Partisipasi ... 123

3.10 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 125

4.1 Latar Belakan Guru ... 130

4.2 Hasil Analisis Studi Pendahuluan ... 132

4.3 Sintaks Model Problem Based Learning dan Pengembangan Ecopedagogy – BMLHL ... 145

4.4 Hasil Validasi Pakar Model Ecopedagogy - BMLHL dalam Pembelajaran IPS ... 152

4.5 Rekapitulasi Kompetensi Ekologis Siswa dalam Uji Terbatas ... 172

4.6 Perbedaan dan Peningkatan Kompetensi Ekologis Sebelum dan Sesudah Perlakuan dalam Uji Coba Terbatas ... 173

4.7 Ringkasan Pelaksanaan Uji Terbatas ... 185

4.8 Keadaan Awal Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 190

4.9 Perbedaan Kompetensi Ekologis Sesudah Perlakuan Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 191


(9)

4.10 Peningkatan Kompetensi Ekologis Siswa Pada Uji Coba Luas ... 195

4.11 Ringkasan Pelaksanaan Uji Coba Luas ... 205

4.12 Proses Pengembangan Model Ecopedagogy - BMLHL ... 206

4.13 Keadaan Awal Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 210

4.14 Perbedaan Kompetensi Ekologis Sesudah Perlakuan Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 212


(10)

DAFTAR BAGAN

Bagan Halaman

2.1 Paradigma Penelitian ... 99

3.1 Alur Kegiatan Penelitian Model Ecopedagogy BMLHL Untuk Peningkatan Kompetensi Ekologis Siswa Pada Mata Pelajaran IPS ... 128

4.1 Desain Awal Sintaks Model Ecopedagogy - BMLHL ... 146

4.2 Sintaks Model Ecopedagogy – BMLHL Setelah Validasi Pakar... 153

4.3 Sintaks Model Ecopedagogy – BMLHL Setelah Uji Terbatas ... 186

4.4 Sintaks Model Ecopedagogy – BMLHL Setelah Uji Coba Luas ... 207


(11)

DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman

4.1 Kompetensi Ekologis di Sekolah A Uji Coba Luas ... 192

4.2 Kompetensi Ekologis di Sekolah B Uji Coba Luas ... 193

4.3 Kompetensi Ekologis di Sekolah C Uji Coba Luas ... 194

4.4 Kompetensi Ekologis di Sekolah A Uji Efektivitas Model ... 213

4.2 Kompetensi Ekologis di Sekolah B Uji Efektivitas Model ... 214


(12)

ABSTRAK

Muhaimin, 2014. Pengembangan Model Problem Based Learning dalam

Ecopedagogy Untuk Peningkatan Kompetensi Ekologis Mata Pelajaran IPS.

Program Studi Pendidikan IPS (PIPS) Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Manusia dan lingkungan merupakan sistem yang integral dalam membentuk ekosistem. Manusia sangat tergantung terhadap lingkungan hidupnya, baik lingkungan secara fisik dan sosial. Salah satu perhatian IPS adalah materi ekologi yang berhubungan dengan interaksi kehidupan manusia dengan lingkungannya. Dalam konteks faktual, kompetensi ekologis dikembangkan dalam IPS baru sebatas pengetahuan, moral dan perilaku ekologis belum dihayati dan diwujudkan dalam bentuk nyata untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektifitas model Ecopedagogy Berbasis Masalah Lingkungan Hidup Lokal (BMLHL) untuk peningkatan kompetensi ekologis pada mata pelajaran IPS siswa SMP Negeri di Kabupaten Bangkalan Madura. Kompetensi ekologis siswa terdiri dari aspek pengetahuan, sikap, keterampilan, dan partisipasi. Desain dan alur pengembangan model meliputi fase: (1) investigasi, (2) desain, (3) realisasi/konstruksi, (4) tes, evaluasi, dan revisi, dan (5) implementasi. Subjek penelitian adalah SMP Negeri di Kabupaten Bangkalan Madura dengan teknik stratified sampling. Metode pengumpulan data menggunakan tes, angket, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: model Ecopedagogy BMLHL lebih efektif meningkatkan kompetensi ekologis siswa dalam pembelajaran IPS baik dalam proses maupun hasil pembelajaran yang meliputi kompetensi aspek kognitif, sikap, keterampilan, dan partisipasi dibandingkan dengan penggunaan model pembelajaran langsung (direct instruction). Efektifitas proses meliputi peningkatan proses dalam hal menganalisis berbagai fakta, mengeksplorasi isu, pemetaan masalah, kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, mengembangkan rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan pengembangan keterampilan sosial. Selain itu adanya peningkatan keterampilan guru dalam melaksanakan sintaks model Ecopedagogy – BMLHL, sistem sosial dan prinsip reaksi berlangsung interaktif dan berpusat kepada siswa. Penelitian ini merekomendasikan secara lebih luas implementasi Ecopedagogy – BMLHL dengan isu-isu lokal dari permasalahan lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah perlu menumbuhkan kompetensi ekologis dengan pembiasaan (habit

formation), memberikan keteladanan (role model), dan gerakan bersama yang

membentuk perilaku dan budaya sekolah yang selaras dengan green curriculum dan green living.


(13)

ABSTRACT

Muhaimin. 2014. Ecopedagogy Model through Problem-Based Learning for the Improvement of Ecological Competences in the Subject of Social Studies. Social Studies Education Study Program, School of Postgraduate Studies, Indonesia University of Education.

Human being and environment are systems that integrally form ecosystem in which human is physically and socially dependent. One of the concerns of social studies is ecological content pertaining to the interaction between human beings and their environment. In a factual context, ecological competences developed in social studies have been merely at the level of ecological knowlegde, moral, and behavior, which have not been appreciated and embodied in concrete forms in order to protect and sustain the environment. In general, the research aimed to analyze the effectiveness of Ecopedagogy model based on Local Environmental Issues to improve the ecological competences in social sciences subject among

state junior secondary schools’ students in Bangkalan Madura regency. Students’

ecological competence including the aspects of knowledge, attitude, skills and participation. The design and workflow of the learning model development included the phases of: (1) Investigation, (2) design, (3) realization/construction, (4) test, evaluation, and revision, and (5) implementation. The subjects were state junior secondary schools in Bangkalan Madura Regency that were selected using stratified sampling. Data collection methods consisted of test, questionnaire, observation, interview, and documentation. Research outcomes showed that Ecopedagogy model based on Local Environmental Issues is more effective than direct instruction model in improving knowledge, attitude, skills and participation aspect of students competence both in the process and achievement. Improvement process in analyzing various facts, exploring issues, mapping problems, thinking logically, critically and creatively, developing curiosity and inquiry, solving problems, and developing social skills. There were improvements in teachers‘ skills in implementing the syntax of model. The social system and reactional principles developed are interactive, student-centered, and engaging students actively in the teaching and learning. The research recommends that the wider scope implementation of Ecopedagogy – BMLHL model, should depart from local issues, from the environmental issues found in daily life, schools cultivate ecological competences through habit formation, role modelling, and a joint movement shaping school behavior and culture that are in line with green curriculum and green living.

Keywords: ecopedagogy model, ecological competences, social studies teaching and learning.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia dan lingkungan merupakan sistem yang integral dalam membentuk ekosistem. Sebagai makhluk yang dikaruniai akal pikiran, manusia merupakan makhluk yang paling sempurna dan mulia. Manusia sangat tergantung terhadap lingkungan hidupnya, baik lingkungan secara fisik dan sosial. Untuk itu kewajiban manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan adalah memanfaatkan secara bertanggungjawab untuk menjaga dan melestarikan lingkungan.

Cara pandang manusia terhadap lingkungan sangat mempengaruhi interaksi manusia dengan lingkungannya. Krisis-krisis global yang terjadi saat ini dapat dilacak dari cara pandang manusia dengan lingkungannya. Selama ini yang dominan adalah menempatkan manusia sebagai penguasa dan pusat dari tatanan alam semesta (antroposentrisme), manusia merasa bebas memanfaatkan lingkungan bahkan mengeksploitasi tanpa memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan.

Kajian tentang manusia sebagai subjek dalam alam semesta, berkembang setelah zaman Pencerahan (Englightenment, Aufklarung). Setelah Reene Descartes (1596-1650) mengemukakan adagiumnya “Cogito ergo Sum” yang berarti “saya berpikir, maka saya ada”, sejak itulah manusia menjadi fokus dalam kajian filsafat. Lebih lanjut, Immanuel Kant (1724-1804) dengan konsep Verstand dan

Vernunft menggeser manusia dari peran sebagai objek menjadi subjek, sehingga

cenderung antroposentris. Dari antroposentrisme inilah berkembang moral dan etika yang menempatkan manusia sebagai pusat kehidupan atau human-centered

ethics. Teori ini menitikberatkan pada kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di

dalam alam semesta ini. Hanya manusialah yang layak dipertimbangkan secara moral (Kant, 1990:23-28; Chang, 2001:42; Wiriaatmadja, 2012: 23).


(15)

2

Dari paham inilah manusia cenderung untuk mengeksploitasi alam sehingga melahirkan krisis ekologi. Berbagai permasalahan lingkungan seperti: pemanasan global, penipisan lapisan ozon, hujan asam, perubahan iklim yang tidak menentu, kerusakan lingkungan, krisis sumber daya alam, pencemaran lingkungan, desertifikasi, penurunan keanekaragaman hayati, kebakaran hutan, deforestasi, kekeringan, banjir, erosi, intrusi air laut, dan sebagainya yang terjadi dalam skala lokal, nasional dan global merupakan permasalahan bersama yang harus ditanggulangi secara kolektif (Palmer, 1998: 38-42; Palmer & Neil, 1994: 57; dan Sapriya 2009:135).

Lingkungan dan manusia memiliki hubungan timbal balik yang membentuk perilaku manusia dalam kehidupannya, seperti yang dinyatakan Soemarwoto (2007:18) sebagai berikut:

Kelangsungan hidup manusia sangat tergantung pada lingkungan. Manusia terbentuk oleh lingkungan hidupnya dan sebaliknya manusia juga membentuk lingkungan hidupnya. Proses interaksi manusia dengan lingkungannya, sangat mempengaruhi pandangan hidup manusia. Manusia mengamati lingkungan hidupnya dan belajar dari pengalaman interaksi, menyusun citra tentang lingkungan hidupnya, sifat lingkungan hidupnya, pengaruh lingkungan hidup terhadap dirinya, dan reaksi lingkungan hidup terhadap aktivitas hidupnya.

Penyebab utama persoalan lingkungan adalah ledakan penduduk yang menjadikan beban lingkungan semakin berat, eksploitasi berlebihan sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan sebagaimana dinyatakan Soeriaatmadja (1977: 4) bahwa:

Faktor yang sangat penting dalam permasalahan lingkungan adalah besarnya populasi manusia. Dengan pertumbuhan populasi manusia yang cepat, dengan berbagai kebutuhan yang tidak terbatas mengakibatkan perubahan yang besar dalam lingkungan hidup. Kemampuan lingkungan menjadi sangat terbatas dalam menyediakan berbagai kebutuhan manusia, yang menimbulkan efek ekologi.

Kesadaran tentang pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama masyarakat dunia. Ward, B & Dubos, R


(16)

3

(1972) menyatakan bahwa bumi hanyalah satu (only one earth) yang kelangsungan hidupnya sangat tergantung kepada manusia untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Perlu penanganan dengan segera berbagai permasalahan di bumi dengan menggunakannya secara bertanggungjawab dan berkeadilan untuk kelangsungan hidup bumi. Schumacher mengarahkan hidup dengan konsep small

is beautiful, dengan kecil itu indah. Menggunakan teknologi produksi yang kecil,

sederhana, dan ramah lingkungan, merupakan bagian dari keseimbangan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Teknologi yang sederhana dan kecil adalah esensi yang sesuai dengan fitrah manusia (Schumacher, 1973: 131).

Kesadaran bumi sebagai satu-satunya planet tempat tinggal manusia dengan segala potensi dan sekaligus keterbatasan dalam menopang keberlanjutan hidup manusia, perlu dikembangkan dalam komitmen bersama. Sebagai sebuah ekosistem global, bumi dibentuk dan dipengaruhi oleh sistem-sistem yang lebih kecil termasuk cara pandang manusia secara individual dalam memahami ruang di mana ia tinggal (act locally). Manusia dan juga ruang secara mikro/individual memiliki karakter, jati diri, dan brand image sebagai sebuah produk dari interaksi lingkungan fisik, sosial, dan budaya. Dalam diri manusia, persepsi tentang ruang diproses melalui keterampilan berpikir dan diwujudkan dalam perilaku keruangan (Maryani, 2014:1).

Komitmen global untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, dilakukan dengan berbagai pertemuan yang membahas tentang lingkungan hidup. Konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm Swedia 1972, konferensi Tbilisi di Georgia 1977, dan konferensi PBB tentang lingkungan dan pembangunan yaitu UNCED (United Nations Conference on Environment and

Development) atau The Earth Summit di Rio de Janeiro Brazil pada Juni 1992, dan

di Johannersburg Afrika Selatan tahun 2002, dilakukan untuk menggugah kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup. Keselarasan manusia untuk mencapai kesejahteraan hidup dengan keserasian lingkungan menumbuhkan gerakan green economy. Green economy sebagai salah satu upaya meningkatkan


(17)

4

kesejahteraan manusia dan dukungan terhadap konservasi lingkungan dengan memanfaatkan lingkungan secara bertanggungjawab dan menjaga kelestariannya. Hal ini merupakan dasar bagi konsep pembangunan yang berkelanjutan

(sustainable development) yang mampu meningkatkan kualitas hidup dan

kehidupan manusia itu sendiri. Pembangunan harus dilakukan serasi dengan lingkungan hidup sehingga tidak mengganggu fungsi ekologi, mengelola sumber daya alam secara arif dan rasional untuk keberlanjutan kehidupan (Salim, 1988: 184; Nebel & Eright, 2000: 9; Soemarwoto, 2001: 10; Hamzah, 2013: 78).

Melestarikan dan menjaga keseimbangan lingkungan harus dilakukan bersama-sama sebagai wujud tanggungjawab untuk masa depan bersama (our

common future) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)

kehidupan yang berkelanjutan. Francis (1995: 4) mengemukakan bahwa:

Mewujudkan keseimbangan dan pelestarian lingkungan dalam konsep pembangunan berkelanjuutan (sustainable development). Keberlanjutan adalah kapasitas pembaharuan dan evolusi dalam ekosistem, serta inovasi dan kreativitas dalam sistem sosial. Keberlanjutan bukan merupakan akhir yang harus dicapai, tetapi target yang secara terus-menerus dilakukan dalam masyarakat.

Kesepakatan pentingnya pendidikan lingkungan menjadi salah satu hal yang mendapatkan penekanan dalam berbagai konferensi PBB tentang lingkungan hidup. Hal ini dilakukan untuk menggugah kesadaran bersama masyarakat dunia untuk memiliki kepedulian terhadap pelestarian lingkungan. Pada konferensi UNCED (United Nations Conference on Environment and Development) di Rio de Janeiro Brazil pada Juni 1992, di deklarasikan yang salah satu isinya menyatakan: “Principle 1, Human beings are at the centre of concerns for sustainable development. They are entitled to a healthy and productive life in harmony with nature (Palmer, 1998: 78).

Pendidikan lingkungan hadir sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian akan lingkungan. Pendidikan lingkungan tidak akan merubah situasi dan kondisi yang telah rusak menjadi baik dalam waktu sekejap,


(18)

5

melainkan membutuhkan waktu, proses, dan sumber daya. Sehubungan dengan pendidikan lingkungan hidup tersebut Gyallay (2003:408) menyatakan:

Saat ini ecopedagogy dan green curriculum dikembangkan di berbagai negara dalam lingkup global. Pendidikan lingkungan hidup menurut konvensi UNESCO di Tbilisi tahun 1977 merupakan suatu proses yang bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat dunia yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan masalah-masalah yang terkait di dalamnya serta memiliki pengetahuan, motivasi, komitmen, dan keterampilan untuk bekerja, baik secara perorangan maupun kolektif dalam mencari alternatif atau memberi solusi terhadap permasalahan lingkungan hidup sekarang dan untuk menghindari timbulnya masalah-masalah lingkungan hidup baru.

UNESCO (1976: 2) menjelaskan pendidikan lingkungan hidup sebagai berikut:

Environmental education is a process aimed at developing a world population that is aware of and concerned about the total environment and its associated problems, and which has the knowledge, attitudes, motivations, commitments, and skills to work individually and collectively toward solutions of current problems and the prevention of new ones.

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, pendidikan lingkungan hidup disajikan dalam 2 macam, yaitu sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri dan terintegrasi dengan mata pelajaran. Sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri dengan subjek Pendidikan Kebersihan dan Lingkungan Hidup (PKLH) yang menjadi muatan lokal wajib di beberapa daerah di Indonesia. Sedangkan yang terintegrasi dengan mata pelajaran umumnya yang dominan adalah dalam IPA dan IPS.

Dalam mata pelajaran IPS, manusia dan lingkungan menjadi tema sentral, baik dalam hal konten, sumber pembelajaran, dan media pembelajaran. Kompetensi yang dikembangkan dalam kurikulum SD - SMP terdapat kompetensi ekologis yang dikembangkan dalam tujuan IPS yaitu mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya, memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri,


(19)

6

perhatian IPS adalah materi ekologi yang berhubungan dengan interaksi kehidupan manusia dengan lingkungan alamnya, memelihara, mengembangkan, dan melestarikannya. Isu-isu ekologis merupakan isu-isu global yang harus direspon dalam pendidikan IPS (Barr, Barth, Shermis, 1978:154; Sumaatmadja, 1980:16; Sapriya, 2011: 135).

Dalam kurikulum IPS jenjang SD - SMP memuat secara khusus materi-materi yang berkenaan dengan lingkungan hidup. Materi-materi-materi tersebut dikembangkan dalam kompetensi dasar pembelajaran IPS. Kepedulian lingkungan menjadi salah satu perhatian utama yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia, yang meliputi: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab (Pusat Kurikulum, 2010: 9-10)

Secara khusus karakter peduli lingkungan menekankan bagaimana siswa mempunyai moral dan etika yang terinternalisasi dalam sikap dan perilaku menjadi perhatian utama dalam pembentukan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia. Pusat Kurikulum (2010:10) mengemukakan:

Kepedulian lingkungan di Indonesia merupakan salah satu nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Kepedulian lingkungan dideskripsikan oleh sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

Masyarakat dan lingkungannya merupakan kajian utama dalam IPS, yang saat ini dikembangkan ke arah reflective inquiry, dengan memfokuskan kajiannya kepada pengembangan kemampuan siswa dalam pembuatan dan pengambilan keputusan, memecahkan permasalahan sosial sebagai bagian dari tanggungjawabnya sebagai anggota masyarakat. IPS sebagai inkuiri reflektif,


(20)

7

mengembangkan kemampuan siswa berpikir kritis, logis, dan ilmiah, mengembangkan inkuiri, mengembangkan kemampuan melakukan investigasi sosial, kemampuan mengambil keputusan dan memecahkan permasalahan. Sebagai pelopor IPS ke arah reflective inquiry adalah Hunt & Metcalf (1955) yang menyatakan bahwa materi dan pembelajaran harus mampu mengarahkan siswa untuk mengembangkan keterampilan memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan sosialnya dengan menggunakan langkah-langkah berpikir reflektif.

Hal ini sejalan dengan pembelajaran yang menghadirkan permasalahan lingkungan hidup dalam kehidupan di sekitar siswa. IPS pada dasarnya merupakan rekonstruksi sosial yang dihadirkan dalam dunia pendidikan dan pembelajaran. Dewey (1916) menyatakan bahwa education as recontrsuction. Manusia mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Brameld (1950) memandang pentingnya pendidikan yang dirancang untuk meningkatkan kesadaran siswa tentang masalah sosial dan melibatkannya untuk memecahkan masalah-masalah tersebut.

Dengan belajar secara langsung dan menganalisis berbagai fakta, peristiwa, dan permasalahan sosial masyarakat siswa dapat membentuk kerangka berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial. Suparno (1997: 18-19) menyatakan bahwa:

Belajar merupakan proses aktif membangun pengetahuan, yang dilakukan berdasarkan apa yang telah diketahui siswa. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang deterministik, yang dapat ditransfer dan diwariskan. Pengetahuan merupakan suatu proses menjadi tahu, yang dibangun melalui pengalaman dan interaksi yang bermakna antara siswa dengan guru, bahan ajar, siswa lain, dan lingkungan, yang dikonstruksi atau minimal diinterpretasikan sendiri oleh siswa. Hal itu terjadi melalui kegiatan menggali, melakukan, menguji coba, menemukan, mengungkapkan dan membangun secara aktif pengetahuan yang baru melalui konteks yang otentik.


(21)

8

secara keseluruhan. IPS muatan ekologis harus didasari permasalahan otentik dalam lingkungan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengangkat isu-isu dan permasalahan lingkungan hidup dalam masyarakat.

Dalam pembelajaran IPS perlu dikembangkan model Problem Based

Learning (PBL) yang menjadikan permasalahan sebagai basis pembelajaran

dengan mengkonstruksi permasalahan nyata menjadikan pembelajaran lebih bermakna dan bermanfaat bagi siswa. Model Problem Based Learning dilakukan dengan menyelidiki dan menganalisis fakta, data, dan pemecahan masalah, mengembangkan inkuiri, berpikir kritis dan analitis, problem solving, menumbuhkan kemandirian dan percaya diri.

Model Problem Based Learning dikembangkan dalam pembelajaran IPS muatan ekologis dilakukan dengan menganalisis masalah lingkungan hidup dalam konteks lokal sesuai dengan karakteristik ekologis dan sosial budaya masyarakat menjadi hal yang menentukan dalam mengatasi berbagai kelemahan, peluang, dan tantangan dalam pembelajaran IPS muatan ekologis. Pembelajaran diarahkan agar siswa dengan lingkungannya dapat beradaptasi sejak dini dan mememanfaatkan lingkungan setempat yang tidak terbatas sebagai bahan dan sumber belajar. Untuk itulah kemampuan guru dalam menguasai model-model pembelajaran inovatif menentukan dalam keberhasilan pembelajaran IPS muatan ekologis.

Dalam konteks faktual, sebagian besar pendidik kurang menyadari dan memahami muatan ekologis dalam pembelajaran IPS. IPS dengan manusia dan lingkungan menjadi garda terdepan dalam konteks pembangunan ilmu pengetahuan yang berwawasan ekologis dan membentuk pengetahuan, sikap, keterampilan, dan partisipasi aktif individu yang sesuai dengan prinsip-prinsip ekologis. Selain itu pada umumnya pendidik kurang mengembangkan berbagai model, pendekatan, strategi, metode, dan media dalam mengembangkan kompetensi ekologis dalam pembelajaran.


(22)

9

Dampak dari hasil pendidikan lingkungan hidup yang terintegrasi dalam berbagai mata pelajaran yang telah dilaksanakan di lembaga-lembaga pendidikan belum banyak terlihat, baik pada masyarakat maupun lingkungan. Sebaliknya, berbagai permasalahan lingkungan hidup yang berakar dari perilaku manusia masih sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan belum maksimalnya capaian hasil pendidikan ini diakui oleh Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia (2004:3) yang menyatakan bahwa materi dan metode pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup tidak aplikatif, kurang mendukung penyelesaian permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi di daerah masing-masing.

Hasil penelitian Sitepu (2002) yang menganalisis tingkat pengetahuan lingkungan terhadap perilaku mencintai lingkungan yang dilakukan pada siswa SMA Negeri Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, tingkat pengetahuan yang baik belum tentu diikuti dengan perilaku lingkungan yang positif. Dari 91 responden (siswa) yang memiliki tingkat pengetahuan lingkungan yang termasuk kategori baik, sebesar 9,9% yang bersikap kurang baik terhadap lingkungan dan sebesar 51,6% yang bertindak kurang baik terhadap lingkungan. Selanjutnya Dewi (2009) yang melakukan penelitian pengetahuan, dan kepedulian terhadap lingkungan hidup yang dilakukan terhadap 84 siswa SMA di Bekasi dengan membandingkan pengetahuan dan kepedulian lingkungan hidup antara siswa SMA yang mengikuti pramuka dan siswa SMA yang tidak mengikuti pramuka, menunjukkan adanya perbedaan tingkat pengetahuan dan kepedulian terhadap lingkungan. Siswa yang mengikuti ekstrakurikuler pramuka lebih baik tingkat pengetahuan dan kepeduliannya terhadap lingkungan.

Hasil penelitian Mogensen & Nielsen (2001) menguji tingkat keberhasilan pengembangan kompetensi isu-isu lingkungan di SD, SMP, dan SMA di Denmark. Hasil penelitian menunjukkan: (1) siswa perempuan memiliki respon dan kemauan mereka untuk terlibat dalam isu-isu lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa laki-laki, (2) siswa SMA memiliki respon dan


(23)

10

kepedulian yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa SMP, (3) separuh dari siswa yakin dengan tindakan mereka untuk terlibat dalam program lingkungan, (4) siswa memiliki keinginan kuat untuk terlibat dalam aksi kepedulian lingkungan, (5) siswa memiliki pengetahuan yang baik tentang permasalahan lingkungan, dan (6) ada korelasi yang kuat antara pembelajaran lingkungan yang terintegrasi dengan keyakinan mereka untuk terlibat dalam program lingkungan.

Penelitian Bruyere, et al (2011) yang mengintegrasikan pembelajaran lingkungan hidup dengan kegiatan alam di lapangan dapat menumbuhkan apresiasi terhadap alam, menggabungkan antara pengetahuan yang diperoleh siswa dalam Environmental Education (EE) dengan kegiatan langsung untuk menumbuhkan apresiasi dan kepedulian terhadap lingkungan. Dalam kegiatan ini menunjukkan hasil yang positif pengintegrasian Environmental Education (EE) dengan kegiatan setelah persekolahan dengan tumbuhnya apresiasi terhadap alam terutama kepedulian terhadap lingkungan secara nyata dalam masyarakat di lingkungan siswa.

Penelitian Mackenzie & Edwards (2013) yang mengembangkan program pendidikan lingkungan hidup dengan mengintegrasikan berbagai jenis permainan yang mendidik dengan memasukkan elemen lingkungan sebagai sumber, media, dan tujuan pembelajaran. Pengembangan melalui berbagai jenis permainan pedagogis, seperti bermain terbuka, bermain model, dan bermain terstruktur dibingkai dengan pendidikan lingkungan memberikan kesempatan bagi anak-anak dan guru untuk mengembangkan pengetahuan melalui pengalaman tentang pendidikan lingkungan dalam pembelajaran sejak usia dini.

Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kompetensi ekologis siswa baik itu aspek kognitif, sikap, keterampilan, dan partisipasi siswa perlu ditingkatkan agar memiliki pengertian, kesadaran, sikap dan perilaku yang rasional serta bertanggungjawab tentang pengaruh timbal balik antara penduduk dan lingkungan hidup dalam berbagai aspek kehidupan. Sekolah merupakan tempat yang strategis dalam membentuk, melatih, dan mengembangkan karakter anak didik melalui


(24)

11

penanaman nilai-nilai moral. Selain itu perlunya menggunakan berbagai model, strategi, pendekatan, dan media untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Sekolah dalam konteks kemasyarakatan merupakan wahana praksis bagi berlangsungnya pendidikan nilai. Tetapi dalam kenyataannya, sekolah dinilai belum mampu mewujudkan pendidikan nilai seperti yang diharapkan semua pihak. Pendidikan lingkungan baik itu sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri maupun yang terintegrasi dengan berbagai mata pelajaran terutama IPS, perlu dikembangkan untuk membentuk pengetahuan, sikap, keterampilan, dan partisipasi lingkungan seperti yang diharapkan.

Dalam konteks faktual, pada umumnya moral ekologis ini belum terbentuk sepenuhnya dalam diri siswa. Siswa lebih banyak memahami pendidikan lingkungan sebatas parsial, tanpa memahami makna yang lebih mendalam bagaimana hakikat menjaga dan melestarikan lingkungan. Pendidikan lingkungan hidup hanya dilakukan secara parsial dan tanpa perencanaan, bahkan dilakukan hanya sebatas seremonial saja. Kelemahan selama ini adalah pelajaran lingkungan hidup terlalu berat pada ekologi dan tidak memasukkan hal-hal praktis dari kehidupan sehari-hari. Karakter ekologis belum tertanam secara kuat dalam diri siswa, sehingga kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan belum mencapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Pendidikan lingkungan hidup diletakkan pada upaya mengembangkan sikap dan perilaku yang bermakna (rasional dan bertanggungjawab) terhadap masalah pengelolaan sumber daya alam.

Menurunnya moralitas pelajar dalam berbagai hal menuntut semua pihak untuk merefleksi diri. Sejauhmana lembaga pendidian kita mampu menjawab dan tanggap atas berbagai persoalan dalam masyarakat. Menyiapkan generasi muda untuk mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa serta menjauhkan mereka dari kontaminasi berbagai virus yang menggerogoti mentalitas bangsa menjadi tugas semua pihak termasuk juga dalam persoalan ekologis.


(25)

12

Keharusan untuk meninjau kembali tentang pelaksananan pendidikan lingkungan hidup juga ditekankan oleh Soemarwoto (2001:180) yang menyatakan bahwa:

Pendidikan lingkungan hidup mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi perlu ditinjau kembali agar bahan pelajaran dapat diinternalkan dan melahirkan masyarakat yang bersikap dan berkelakuan ramah terhadap lingkungan hidup. Kelemahan selama ini adalah pelajaran lingkungan hidup terlalu berat pada ekologi dan tidak memasukkan hal-hal praktis dari kehidupan sehari-hari.

Siswa belum berperilaku sesuai dengan yang diharapkan dalam pendidikan lingkungan hidup. Indikasi dalam beberapa hal adalah masih banyaknya lingkungan sekolah yang kotor, partisipasi siswa dalam kegiatan lingkungan yang masih rendah, belum adanya kesadaran siswa dalam membentuk perilaku lingkungan, perilaku boros dalam dalam penggunaan sumber daya alam, apatis terhadap pelestarian lingkungan sekitar siswa, dan sebagainya.

Mencintai lingkungan tidak ditanamkan sejak kecil. Kebiasaan manusia adalah menggunakan berbagai sumber daya alam, tanpa berpikir bagaimana melestarikannya. Hal ini dilakukan terutama akibat eksploitasi lingkungan oleh berbagai pihak yang membentuk mainstream siswa dalam berperilaku terhadap lingkungan. Proses imitasi inilah yang juga menyebabkan krisis moral ekologis bagi generasi muda khususnya pelajar. Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum untuk mendukung pembentukan karakter ekologis.

Dalam konteks nasional, permasalahan ekologi kritis mencakup air, tanah, udara, hutan, laut dan pantai, dan lingkungan secara keseluruhan. Permasalahan air mencakup: penurunan kualitas air, pencemaran air sungai oleh sampah dan limbah, banjir, penurunan fungsi dan daya dukung sungai, terbatasnya sumber-sumber air. Permasalahan tanah meliputi: lahan kritis dan tandus, tanah longsor, dan pencemaran tanah. Permasalahan hutan meliputi: kebakaran dan kerusakan hutan, berkurangnya jumlah hutan secara drastis, dan penurunan fungsi hutan.


(26)

13

Permasalahan lingkungan meliputi: permasalahan sampah, berkurangngnya lahan hijau, limbah industri, terbatasnya sumber energi, polusi udara, anomali cuaca, pemanasan global. Permasalahan laut dan pantai meliputi: abrasi, intrusi air laut, pencemaran air laut, dan kerusakan ekosistem laut/rusaknya terumbu karang (Salim, 1981; Soemarwoto, 2001; Hamzah, 2013: 78).

Secara khusus kabupaten Bangkalan, mempunyai permasalahan lingkungan hidup yang kompleks baik dari segi letak maupun kondisi geografi. Sebagai daerah penyangga kota metropolitan Surabaya, Bangkalan menjadi kawasan pengembangan Surabaya di kawasan utara. Seiring dengan adanya Jembatan Suramadu, tantangan pengelolaan lingkungan hidup di Kabupaten Bangkalan menjadi lebih berat. Kabupaten Bangkalan menjadi kawasan terpadu pengembangan indutrialisasi Surabaya dan Madura, dan saat ini menjadi kawasan terdepan dalam pengembangan wilayah Madura. Persoalan-persoalan lingkungan hidup menjadi tantangan berat dalam pengembangan ke depan seiring dengan pengembangan kawasan industrialisasi Madura.

Bangkalan Madura memiliki permasalahan lingkungan hidup, terutama yang berkaitan dengan persoalan abrasi yang menggerus sepanjang pantai utara dan selatan di seluruh Kabupaten Bangkalan. Selain itu persoalan sampah dan limbah serta pengelolaannya juga menjadi permasalahan utama yang terjadi di Bangkalan. Kondisi geografis Madura yang beriklim panas dan kering, dibandingkan dengan kondisi pertanahan di bagian lain di Jawa Timur dapat dikatakan bahwa pertanian di daerah Madura kurang subur. Persoalan penghijauan menjadi salah satu permasalahan pokok Madura dengan daerah yang kering dan tandus.

Berdasarkan studi pendahuluan pembelajaran IPS muatan ekologis di SMP Negeri Kabupaten Bangkalan, pada umumnya pembelajaran yang dilakukan berbasis materi dan overkognitif, dengan penekanan pada pencapaian aspek kognitif, sehingga siswa memahami lingkungan hanya sebatas parsial. Selain itu pembelajaran yang dilakukan kurang memanfaatkan lingkungan sekitar siswa


(27)

14

sebagai bahan dan sumber belajar, strategi pembelajaran yang dikembangkan belum mengasah kemampuan berpikir kritis menganalisis berbagai permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, metode pembelajaran yang dikembangkan belum mengembangkan investigasi sosial dalam masyarakat.

Berdasarkan kondisi faktual tersebut perlu dikembangkan berbagai model, pendekatan, strategi, metode, dan media dalam mengembangkan kompetensi ekologis dalam pembelajaran. Pengembangan kompetensi ekologis dalam pembelajaran tidak hanya dilakukan secara parsial, melainkan juga dengan pembelajaran yang bermakna dan bermanfaat secara nyata dalam kehidupan siswa. Kompetensi ekologis dalam mata pelajaran IPS hendaknya diarahkan agar siswa dengan lingkungannya dapat beradaptasi sejak dini dan mememanfaatkan lingkungan yang tidak terbatas sebagai bahan dan sumber belajar.

Permasalahan dan isu-isu lingkungan siswa secara nyata dapat dikembangkan dalam konteks pembelajaran IPS. Siswa diajak mengkaji, menganalisis, dan mencari solusi atas berbagai permasalahan lingkungan di sekitar siswa, baik dalam konteks lokal, nasional, dan global. Dengan mengkaji dan menganalisis berbagai permasalahan lingkungan diharapkan siswa mempunyai kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan secara nyata, mendekatkan siswa dengan kehidupan sehari-hari, yang pada akhirnya siswa akan mudah mengaplikasikan berbagai konsep dan pengetahuan yang sangat bermakna dalam kehidupannya.

Selanjutnya diharapkan siswa memiliki pemahaman yang komprehensif dalam berinteraksi dengan lingkungan dengan mengubah etika antroposentris yang memandang alam diciptakan untuk manusia sebagai sumberdaya yang dieksploitasi secara optimal (Soemarwoto, 2001: 374), menjadi biosentrisme yang memandang bahwa manusia dan organisme lainnya mempunyai hak hidup dan nilai-nilai yang sama, diberi bobot dan pertimbangan moral yang sama (Keraf, 2002, 73-74). Dengan biosentrisme manusia memandang hewan dan tumbuhan sebagai mahluk hidup yang sama dengan manusia. Moral terhadap organisme


(28)

15

lainnya menjadi titik perhatian utama, sebagaimana perlakuan manusia terhadap manusia lainnya.

Dibutuhkan suatu konsep pendidikan dan pembelajaran lingkungan hidup yang integral dan berwawasan ke depan tidak hanya mampu membangkitkan kesadaran dan rasa tanggungjawab tetapi juga memberikan pengetahuan, kemampuan, dan partisipasi dalam bentuk nyata kepada seseorang untuk dapat memperbaiki kondisi lingkungan lokal yang berdampak global secara berkesinambungan, yang bisa dilakukan dalam skala lokal, nasional, dan akhirnya global sebagai bagian dari tanggungjawab untuk masa depan bersama.

B. Identifikasi Masalah

Lingkungan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Persoalan lingkungan merupakan persoalan global yang tidak akan pernah ada habisnya. Perubahan, kompleksitas, ketidakpastian, ketidakadilan, dan konflik merupakan permasalahan pokok manusia dengan lingkungannya. Bagaimana manusia memperlakukan lingkungan dengan memanfaatkan lingkungan secara bertanggungjawab. Melestarikan dan menjaga keseimbangan lingkungan harus dilakukan bersama-sama sebagai wujud tanggungjawab untuk masa depan bersama (our common future) dan mewujudkan keseimbangan dan pelestarian lingkungan dalam konsep pembangunan berkesinambungan (sustainable

development.)

Upaya untuk mewujudkan suatu kehidupan yang berkesinambungan antara manusia dan lingkungannya, harus senantiasa dilakukan secara berkesinambungan. Pendidikan merupakan wahana yang sangat efektif untuk menumbuhkan dan mewujudkan harmonisasi antara manusia dengan lingkungannya. Saat ini permasalahan lingkungan merupakan permasalahan yang mendesak untuk segera diatasi. Pemanasan global, penurunan kualitas sumberdaya, adanya berbagai bencana alam, menurunnya kualitas air dan udara, meningkatnya polusi, menurunnya fungsi hutan, dan sebagainya merupakan


(29)

16

permasalahan mendesak yang perlu diatasi, termasuk dalam dunia pendidikan khususnya yang diemban oleh Pendidikan IPS.

Dalam konteks faktual, pendidikan lingkungan baik itu sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri atau pun terintegrasi dengan berbagai mata pelajaran lainnya, belum mendapatkan porsi yang sebagaimana mestinya, baik itu dalam konteks urgensi, signifikansi, dan relevansi oleh sekolah dan guru sebagai ujung tombak di lapangan. Selain itu materi, waktu, teknik pembelajaran, inovasi yang dilakukan guru dalam konten ekologis dalam pembelajaran kurang dikembangkan secara optimal.

Secara khusus identifikasi permasalahan yang berhubungan dengan pembelajaran IPS muatan ekologis dan kompetensi ekologis siswa adalah sebagai berikut:

Pertama, pada umumnya kompetensi ekologis siswa masih rendah,

sehingga kurang memiliki sikap dan kepedulian terhadap lingkungan. Moral dan kesadaran ekologis siswa masih belum tertanam secara kuat, apatis terhadap lingkungan hidup. Fenomena yang terjadi, terutama di lingkungan sekolah adalah kurangnya kesadaran untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Supriatna, menyatakan secara kasat mata, budaya malas bepergian dengan jalan kaki dan menggantinya dengan kendaraan bermotor, bertebarannya sampah di lingkungan sekolah dan kampus, beralih fungsinya toilet menjadi tempat buang tisu, puntung rokok, pembungkus, dan lain-lain seperti dapat disaksikan di sebagian besar sekolah menunjukkan bahwa kalangan terdidik tidak memiliki kompetensi/kecerdasan ekologis (Supriatna, 2002: 177-178).

Kedua, kompetensi ekologis siswa belum dikembangkan secara

komprehensif. Selama ini pembelajaran dengan muatan ekologis lebih banyak dikembangkan pada aspek kognitif, dibandingkan dengan aspek sikap, keterampilan, dan partisipasi ekologis. Siswa pada umumnya memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang lingkungan hidup tetapi belum diimbangi dengan sikap dan kepedulian terhadap lingkungan hidup.


(30)

17

Ketiga, siswa belum memiliki konsep diri yang baik terhadap lingkungan

hidup. Sikap hidup masyarakat yang cenderung serba ingin mudah dan menggampangkan sesuatu, sehingga melakukan berbagai hal yang merugikan orang lain dan lingkungan hidup. Membuang sampah sembarangan, menggunakan sungai untuk berbagai fungsi yang tidak sesuai, membakar dan menebang hutan, merusak tanaman dan lingkungan menjadi hal yang biasa dilakukan oleh sebagian masyarakat. Konsep diri seperti ini menjalar ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk kalangan generasi muda, khususnya siswa. Perilaku seperti inilah yang harus dihilangkan dalam masyarakat Indonesia, sehingga lebih memiliki konsep diri yang lebih baik dengan lingkungannya.

Keempat, dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, kompetensi

ekologis siswa masih kurang dikembangkan akibat pemahaman guru yang kurang dalam menginterpretasi, mengaplikasikan, dan mengorganisasi muatan dan bahan kurikulum yang mengembangkan kompetensi ekologis dalam pembelajaran IPS. Akibatnya siswa kurang memahami konsep-konsep ekologis yang dipelajari dalam IPS, aktivitas siswa dalam pembelajaran cenderung pasif, serta yang paling berbahaya adalah menganggap apa yang dipelajari tidak ada kaitannya dengan kehidupan siswa sehari-hari dan memahami ekologis dalam IPS hanya secara parsial. Hamzah menyatakan kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang muatan ekologis oleh banyak guru sebagai salah satu unsur yang terintegratif dalam mata pelajaran yang diampunya, sehingga pengetahuan yang berkaitan dengan lingkungan tidak tersentuh (Hamzah, 2013: 7).

Kelima, dalam pembelajaran IPS muatan ekologis, guru kurang

mengembangkan model-model pembelajaran inovatif yang mampu mengembangkan kompetensi ekologis siswa secara keseluruhan. Selain itu penggunaan pendekatan, strategi, metode, dan media yang variatif dan inovatif secara keseluruhan masih kurang dikembangkan dalam pembelajaran IPS muatan ekologis. Penguasaan guru terhadap model-model pembelajaran yang relevan dengan pengembangan kompetensi ekologis siswa perlu ditingkatkan.


(31)

18

Pembelajaran IPS muatan ekologis harus mampu meningkatkan kompetensi siswa secara komprehensif. Model pembelajaran yang dikembangkan harus berangkat dari permasalahan otentik dalam lingkungan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengangkat isu-isu dan permasalahan lingkungan hidup dalam masyarakat.

Keenam, kurangnya memanfaatkan lingkungan hidup di sekitar siswa

dengan segala permasalahan dan kompleksitasnya sebagai sumber dan media pembelajaran dalam IPS muatan ekologis. Pembelajaran lingkungan hidup dengan menganalisis permasalahan lingkungan setempat menjadikan pembelajaran lebih bermakna dan bermanfaat, menyelidiki dan menganalisis fakta, data, dan pemecahan masalah, mengembangkan inkuiri, berpikir kritis dan analitis, problem solving, kemandirian dan percaya diri.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di muka, maka dalam penelitian dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kondisi faktual pembelajaran IPS muatan ekologis SMP di Kabupaten Bangkalan Madura?

2. Bagaimanakah pengembangan model konseptual Ecopedagogy – Berbasis

Masalah Lingkungan Hidup Lokal (BMLHL) untuk peningkatan kompetensi ekologis mata pelajaran IPS pada siswa SMP di Kabupaten Bangkalan Madura?

3. Bagaimanakah efektifitas hasil dan proses implementasi model Ecopedagogy – Berbasis Masalah Lingkungan Hidup Lokal (BMLHL) dalam peningkatan

kompetensi ekologis mata pelajaran IPS pada siswa SMP di Kabupaten Bangkalan Madura?

4. Bagaimanakah kelebihan dan kekurangan model Ecopedagogy – Berbasis

Masalah Lingkungan Hidup Lokal (BMLHL) untuk pengembangan peningkatan kompetensi ekologis mata pelajaran IPS?


(32)

19

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang efektifitas model Ecopedagogy – Berbasis Masalah Lingkungan Hidup

Lokal (BMLHL) untuk peningkatan kompetensi ekologis mata pelajaran IPS. Selanjutnya tujuan umum tersebut dirinci menjadi tujuan khusus sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan dan menganalisis kondisi faktual pembelajaran IPS muatan

ekologis di SMP Kabupaten Bangkalan Madura

2. Mendeskripsikan pengembangan model konseptual Ecopedagogy – Berbasis

Masalah Lingkungan Hidup Lokal (BMLHL) untuk peningkatan kompetensi ekologis mata pelajaran IPS pada siswa SMP di Kabupaten Bangkalan Madura.

3. Mendeskripsikan dan menganalisis efektifitas model Ecopedagogy – Berbasis

Masalah Lingkungan Hidup Lokal (BMLHL) dalam peningkatan kompetensi ekologis mata pelajaran IPS pada siswa SMP di Kabupaten Bangkalan Madura, yang meliputi:

a. Efektifitas hasil yaitu kompetensi ekologis siswa yang meliputi: pengetahuan, sikap, keterampilan, dan partisipasi ekologis.

b. Efektifitas proses pembelajaran implementasi model Ecopedagogy Berbasis Masalah Lingkungan Hidup Lokal (BMLHL) dalam pembelajaran IPS.

4. Mendeskripsikan dan menganalisis kelebihan dan kekurangan model

Ecopedagogy – Berbasis Masalah Lingkungan Hidup Lokal (BMLHL) untuk

peningkatan kompetensi ekologis mata pelajaran IPS.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi baik itu dalam tataran teoritis maupun praktis.


(33)

20

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang kajian dan pengembangan model pembelajaran untuk peningkatan kompetensi ekologis siswa dalam perspektif ilmu pengetahuan. Dalam pengembangan model Ecopedagogy – Berbasis Masalah Lingkungan

Hidup Lokal (BMLHL) dapat dianalisis penggunaan potensi dan kondisi geografis lokal yang dikembangkan menjadi model pembelajaran inovatif. Selain itu, penelitian ini bermanfaat bagi peneliti lain untuk memberikan gambaran dalam mengkaji model pembelajaran untuk peningkatan kompetensi ekologis siswa atau pun sebagai bahan perbandingan untuk meneliti kajian sejenis dalam perspektif yang berbeda.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi siswa untuk membentuk dan menumbuhkan nilai moral yang sesuai dengan prinsip ekologis. Siswa dapat memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang pada akhirnya dapat menumbuhkan kepedulian, komitmen untuk melidungi, memperbaiki serta memanfaatkan lingkungan hidup secara bijaksana, turut menciptakan pola perilaku baru yang bersahabat dengan lingkungan hidup, mengembangkan etika lingkungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup.

Model Ecopedagogy – Berbasis Masalah Lingkungan Hidup Lokal

(BMLHL) dapat membentuk dampak pengiring pembelajaran yang sangat bermanfaat bagi pengembangan potensi siswa dalam berbagai ranah perkembangannya, membentuk siswa berpikir kritis, logis, ilmiah, dan sistematis, mengembangkan kemampuan menganalisis dan menemukan informasi, memecahkan permasalahan, menganalisis dan mengambil keputusan, terlibat aktif dan partisipatif sebagai bagian dari tanggung jawab sebagai anggota masyarakat.

Bagi guru dan lembaga pendidikan, penelitian ini dapat bermanfaat untuk menyelenggarakan program pendidikan yang secara efektif mampu membentuk karakter dan moral ekologis siswa dan pengembangan kompotensi ekologis siswa secara keseluruhan. Dengan penggunaan kebijakan, strategi, metode, media, dan


(34)

21

pendekatan yang efektif mencapai tujuan. Pendidikan lingkungan hidup baik sebagai pembelajaran yang terintegrasi dengan mata pelajaran lain atau yang berdiri sebagai mata pelajaran sendiri, perlu direkonstruksi agar bahan pelajaran dapat diinternalisasikan dan melahirkan masyarakat yang peduli terhadap lingkungan hidup.

Bagi guru model Ecopedagogy – Berbasis Masalah Lingkungan Hidup

Lokal (BMLHL) dapat mengembangkan berbagai model pembelajaran inovatif yang mengasah keterampilan dan kreativitas guru dalam memanfaatkan lingkungan masyarakat sebagai sumber dan media pembelajaran. Hal ini menjadikan pembelajaran menjadi lebih bermakna dan bermanfaat bagi siswa secara keseluruhan. Bagi pengembangan IPS, penelitian ini memberikan manfaat kajian filosofis dan pengembangannya yang sesuai dengan konsep IPS. Mendudukkan IPS pada kontsruksi IPS yang sesungguhnya dengan memperkuat kerangka scientific dan epistimologi IPS itu sendiri, sehingga menjadikan IPS yang bermakna (meaningful), integratif, berbasis nilai-nilai (value-based), menantang (challenging), dan powerfull.

Selain itu dapat dijadikan sebagai bahan informasi yang sangat berguna bagi masyarakat untuk berperan serta dalam pembentukan dan pengembangan karakter ekologis siswa dalam konsep pewarisan ke generasi berikutnya dalam mendukung komunitas yang berkelanjutan untuk mewujudkan masa depan bersama. Hal ini menuntut peran serta masyarakat untuk secara aktif berkontribusi secara langsung dan tidak langsung dalam pendidikan lingkungan hidup. Mewujudkan kepedulian dan komitmen bersama menjadi gerakan bersama dan keteladanan yang dapat membentuk mentalitas ekologis generasi muda sesuai dengan yang diharapkan.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara utuh dalam penyusunan disertasi ini terdiri dari 5 bab. Bab 1 pendahuluan, meliputi: latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan


(35)

22

Dalam bab II memuat kajian pustaka yang memberikan landasan penelitian. Kajian pustaka terdiri dari: (a) Kajian tentang pembelajaran IPS muatan ekologis di SMP yang meliputi: hakikat pendidikan IPS, tujuan IPS, ruang lingkup IPS, materi lingkungan hidup dalam pembelajaran IPS. (b) Kajian tentang model pembelajaran, yang meliputi: pengertian model pembelajaran, ciri-ciri model pembelajaran. (c) Kajian tentang model Problem Based Learning (PBL), yang meliputi: hakikat Problem Based Learning, karakteristik model Problem Based

Learning, manfaat Problem Based Learning, dan sintaks model Problem Based Learning. (d) Kajian tentang pendidikan lingkungan hidup yang meliputi: hakikat

pendidikan lingkungan hidup, tujuan pendidikan lingkungan hidup, pendidikan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, dan moral lingkungan. (e) Kajian tentang kompetensi ekologis yang meliputi: konsep kompetensi dalam kurikulum pendidikan persekolahan dan kompetensi ekologis. Dalam bab ini juga mengkaji hasil penelitian yang relevan dan paradigma penelitian.

Dalam bab III, memuat desain penelitian secara keseluruhan yang meliputi: rancangan penelitian, prosedur penelitian, lokasi, subjek, dan sampel penelitian, variabel dan definisi operasional variabel, teknik pengumpulan data, pengembangan instrumen penelitian, metode analisis data, dan alur penelitian untuk memberikan gambaran yang utuh dalam pelaksanaan penelitian.

Dalam bab IV, berisi hasil penelitian dan pembahasan, yang meliputi: hasil studi pendahuluan, pengembangan model pembelajaran berdasarkan analisis kebutuhan, desain awal pengembangan model Ecopedagogy – BMLHL, dan validasi model Ecopedagogy – BMLHL. Selanjutnya pelaksanaan uji coba terbatas, pelaksanaan uji coba model secara lebih, dan pengujian efektivitas model Ecopedagogy – BMLHL. Pada bab V simpulan dan saran, yang berisi simpulan, saran atau rekomendasi yang berhubungan dengan hasil penelitian.


(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini berorientasi pada pengembangan suatu produk yang dalam proses pengembangannya diawali oleh analisis kebutuhan, penyusunan model yang ditindaklanjuti oleh validasi ahli, dilakukan uji coba dan uji efektivitas model di sekolah. Produk yang dikembangkan adalah model Ecopedagogy Berbasis Masalah Lingkungan Hidup Lokal (Ecopedagogy BMLHL) untuk meningkatkan kompetensi ekologis siswa dalam mata pelajaran IPS.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dan kuantitatif untuk mengembangkan, memperbaiki, dan memvalidasi suatu produk dalam bidang, pendidikan dan pengajaran (Gay, 1992:10, Borg dan Gall, 1979:624). Pendekatan penelitian tersebut tidak dimaksudkan untuk menguji teori, melainkan untuk menjembatani kesenjangan antara hasil riset murni dan terapan di satu sisi dengan kepentingan praksis pendidikan di sisi lain.

Langkah yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti proses penelitian dan pengembangan yang dikemukakan Borg, Gall, dan Gall (2003: 572-573) dengan penelitian pengumpulan informasi (research and information collecting), termasuk di dalamnya review literature, observasi kelas, dan persiapan laporan, perencanaan (planning), mengembangkan bentuk produk pendahuluan (develop preliminary

form of product), uji coba pendahuluan (preliminary field testing), revisi terhadap

rancangan model awal (main product revision), uji coba produk utama (main field

testing), revisi terhadap produk utama (operational product revision), uji coba

operasional (operational field testing), revisi/perbaikan produk akhir (final product

revision), dan deseminasi dan implementasi (dissemination and implementation).

Model Ecopedagogy – BMLHL didasarkan pada pengembangan model teori rekonstruksi sosial yang dikembangkan Harold Rug. Pengembangan model ini


(37)

101

memusatkan perhatian pada problema-problema yang dihadapi dalam masyarakat, dengan mengidentifikasi dan memecahkan masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat (Sukmadinata, 2000: 92). Melalui rekonstruksi sosial yang diharapkan siswa memiliki pengetahuan, sikap, keterampilan, dan partisipasi ekologis.

Model pengembangan rekonstruksi sosial bersumber dari pandangan bahwa pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi, dan kerja sama. Interaksi dan kerja sama bukan hanya antara guru dengan peserta didik, tetapi antar peserta didik dengan peserta didik, peserta didik dengan lingkungan dan sumber belajar lainnya. Melalui interaksi dan kerja sama ini peserta didik berupaya memecahkan problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik. Dengan demikian, model pembelajaran ini lebih memusatkan perhatiannya pada problema-problema yang dihadapi dalam masyarakat.

Desain dan alur pengembangan model pembelajaran mengacu pada model Plomp (1997) yang mendesain model melalui 5 fase, yaitu (1) fase investigasi, (2) fase desain, (3) fase realisasi/konstruksi, (4) fase tes, evaluasi, dan revisi, dan (5) fase implementasi.

Berdasarkan model Plomp ini, desain model pembelajaran Ecopedagogy – BMLHL dilakukan melalui tahapan sebagai berikut.

1. Tahap Investigasi Awal

Studi investigasi awal atau tahap pendahuluan merupakan langkah awal yang dilakukan untuk mengidentifikasi proses pembelajaran IPS saat ini di tingkat Sekolah Menengah Pertama sebagai bahan pertimbangan dalam mengembangkan model Ecopedagogy BMLHL materi ekologis dalam mata pelajaran IPS. Kegiatan ini dilakukan dengan melakukan investigasi dengan mengumpulkan informasi permasalahan pembelajaran IPS muatan ekologis. Analisis kebutuhan dengan need assessment dengan kajian teoritis dan praktis di lapangan tentang permasalahan pembelajaran IPS muatan ekologis. Kegiatan


(38)

102

investigasi awal dengan studi pendahuluan ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.

a. Analisis permasalahan dasar

Dalam investigasi awal dilakukan analisis pembelajaran IPS muatan ekologis di lapangan, permasalahan dan kendala yang dihadapi, strategi, metode, pendekatan, materi, media, sumber pembelajaran, dan sebagainya yang digunakan guru dalam pembelajaran.

b. Analisis siswa

Analisis siswa dilakukan dengan menganalisis kebutuhan siswa dan pengembangan kompetensi siswa dalam pembelajaran IPS muatan ekologis. Pembelajaran yang dilakukan sebelumnya, yang dijadikan dasar untuk mengembangkan pembelajaran.

c. Analisis materi

Analisis materi ditujukan untuk memilih dan menetapkan materi yang relevan dengan pengembangan kompetensi ekologis dalam pembelajaran IPS. Selanjutnya merinci dan menyusun secara sistematis untuk dikembangkan dalam penyusunan model.

d. Studi literatur dan dokumentasi dilakukan untuk menghimpun dan mengkaji teori-teori yang mendasari konsep yang berkaitan dengan model Problem

Based Learning, kompetensi ekologis dalam mata pelajaran IPS termasuk

standar kompetensi dan kompetensi dasar (SK-KD) ekologis dalam kurikulum IPS SMP, ekologis dalam konteks pendidikan, dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan pengembangan kompetensi ekologis.

e. Melakukan kegiatan survey lapangan di SMP yang ada di Kabupaten Bangkalan Madura untuk menghimpun data berkaitan dengan pembelajaran IPS muatan ekologis.


(39)

103

Hasil studi pendahuluan ini akan digunakan sebagai pertimbangan dalam mengembangkan draf model Ecopedagogy BMLHL untuk meningkatkan kompetensi ekologis siswa dalam mata pelajaran IPS pada siswa Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Bangkalan Madura.

2. Tahap Perancangan (Desain)

Kegiatan ini dilakukan dengan merancang komponen-komponen model

Ecopedagogy – BMLHL, yang meliputi: (1) merancang sintaks pembelajaran, (2) merancang sistem sosial, (3) merancang prinsip reaksi, (4) merancang sistem pendukung, dan (5) merancang dampak dari pembelajaran.

Selain itu dalam tahap ini dirancang juga (1) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang memuat langkah-langkah pembelajaran dalam model Ecopedagogy – BMLHL, (2) materi pembelajaran permasalahan lingkungan hidup dalam konteks lokal yang menjadi pegangan guru, (3) Lembar Kerja Siswa, (4) penilaian untuk mengukur kemampuan kompetensi ekologis siswa, (5) proses pembelajaran siswa, dan (6) respon guru terhadap perangkat dan proses pembelajaran.

3. Tahap Realisasi/Konstruksi

Tahap ini sebagai lanjutan kegiatan pada tahap perancangan dengan menghasilkan prototype awal (draf) sebagai hasil perancangan model. Hasil kontsruksi diteliti kembali berkaitan dengan operasional sintaks yang telah ditetapkan dengan segala perangkat pembelajaran yang dirancang. Seluruh perangkat pembelajaran siap diuji valid atau tidaknya oleh pakar/ahli berdasarkan aspek rasional teoritis dan kekonsistenan konstruksinya.

4. Tahap Tes, Evaluasi, dan Revisi

Pada tahap ini dilakukan 2 kegiatan utama, yaitu (1) kegiatan validasi, dan (2) melakukan uji coba lapangan prototype model hasil validasi.


(40)

104

Kegiatan validasi dilakukan memberikan penilaian kelayakan model

Ecopedagogy – BMLHL oleh Pakar yang kompeten dengan meminta pertimbangan ahli tentang kelayakan model pembelajaran (prototype 1) dengan memberikan buku model dan lembar validasi. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap validasi dari Pakar/Ahli.

b. Kegiatan Uji Coba Lapangan

Uji coba dilakukan untuk mengetahui kepraktisan dan keefektifan model

Ecopedagogy – BMLHL dalam pelaksanaan pembelajaran. Adapun kegiatan dilakukan adalah: (1) melakukan uji coba terbatas dan uji coba luas, (2) melakukan analisis terhadap data hasil uji coba, dan (3) melakukan revisi berdasarkan analisis data hasil uji coba.

5. Tahap Implementasi

Implementasi dilakukan setelah pelaksanaan uji coba terbatas dan luas dengan uji efektivitas model. Uji efektivitas model dilakukan setelah revisi dari proses pengembangan menjadi model hipotetik, yang dilakukan untuk menguji efektivitas model.

Metode yang digunakan adalah mixed methods research, merupakan suatu prosedur pengumpulan, penganalisaan, dan penggabungan penelitian kualitatif dan kuantitatif dalam satu kajian tunggal untuk memahami sebuah permasalahan penelitian (Creswell, 2010:304). Pada tahap studi pendahuluan untuk pengembangan model digunakan pendekatan kualitatif, Focus Group Discussion (FGD) dengan ahli atau pakar yang kompeten untuk memvalidasi hasil dari model yang dikembangkan. Pada tahap pengujian model yaitu: uji coba terbatas, uji coba luas, dan uji efektivitas model menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu eksperimen.

Mixed methods research bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis,

faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi tertentu dan menganalisis data yang dikumpulkan. Pendekatan penelitian ini dipilih karena masalah yang diteliti memerlukan pengungkapan yang lebih komprehensif, yakni


(41)

105

mengungkap berbagai faktor yang berhubungan dengan implementasi pengembangan model Ecopedagogy – BMLHL untuk meningkatkan kompetensi ekologis siswa dalam mata pelajaran IPS.

Metode penelitian yang digunakan dalam uji coba terbatas dilakukan dengan eksperimen membandingkan perlakuan sebelum dan sesudah penggunaan model

Ecopedagogy – BMLHL. Uji coba terbatas dilaksanakan dengan 3 tahap uji coba. Dalam pelaksanaan uji terbatas dilakukan dalam 1 sekolah dan 1 kelas. Pelaksanaan 3 tahap uji coba terbatas dilakukan untuk mengetahui efektifitas baik dari kompetensi ekologis siswa, maupun proses pembelajaran. Proses pembelajaran terutama berkaitan dengan tingkat keterlaksanaan sintaks model dan penguasaan keterampilan guru dalam mengimplementasikan model Ecopedagogy – BMLHL secara keseluruhan.

Uji coba luas dan uji efektivitas model dilakukan menggunakan experimental

design (Creswell, 1994:130-134). Penggunaan metode eksperimen pada tahap ini

dicirikan dengan dilakukannya pemisahan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen untuk kemudian diuji melalui pre test dan post test. Selanjutnya akan dibandingkan perbedaan nilai rata-rata antara kelompok kontrol dan kelompok

treatment (Gall, Gall dan Borg, 2003:402-403).

Desain kuasi eksperimen yang digunakan adalah non-equivalent control group design sebagai berikut.

Keterangan:

Group A O1 O1 Group B O2 X O2 X = Treatmen


(42)

106

O1 : Pre-test pada kelompok eksperimen (A) dan kontrol (B) O2 : Post-test pada kelompok eksperimen (A) dan kontrol (B)

X : Pada kelompok eksperimen diberikan perlakuan/treatment menggunakan model Ecopedagogy BMLHL dan pada kelompok kontrol menggunakan model pembelajaran langsung.

Desain kuasi eksperimen dalam uji coba luas dilakukan pada 3 sekolah, dengan masing-masing sekolah 1 kelas eksperimen dan 1 kelas kontrol dengan memperhatikan homogenitas kelas, yaitu rata-rata hasil belajar IPS adalah sama. Sedangkan dalam uji efektifitas model dilakukan dalam 6 sekolah, 3 sekolah sebagai kelompok eksperimen dan 3 sekolah sebagai kelompok kontrol. Pemilihan kelas juga didasarkan atas homogenitas hasil belajar IPS.

B. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dengan desain penelitian pengembangan merupakan suatu rangkaian proses panjang dari analisis pendahuluan sampai dengan pengujian efektivitas model. Penelitian dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut. 1. Need assessment untuk menganalisis kebutuhan dengan melakukan studi

pendahuluan atau investigasi awal. Langkah awal yang dilakukan untuk mengidentifikasi pembelajaran IPS muatan ekologis, dengan mengumpulkan informasi permasalahan pembelajaran IPS muatan ekologis yang meliputi: analisis permasalahan mendasar, analisis siswa, analisis guru, dan analisis materi pembelajaran. Studi literatur dan dokumentasi dilakukan untuk menghimpun dan mengkaji teori-teori yang mendasari konsep yang berkaitan dengan penelitian.

2. Mengembangkan draf model Ecopedagogy BMLHL untuk meningkatkan kompetensi ekologis siswa dalam mata pelajaran IPS dengan merancang komponen-komponen model Ecopedagogy – BMLHL, yang meliputi: (1) merancang sintaks pembelajaran, (2) merancang sistem sosial, (3) merancang prinsip reaksi, (4) merancang sistem pendukung, dan (5) merancang dampak


(1)

290

NCSS. (1983). Curriculum Standards for Social Studies. Washington: National Commision on Social Studies.

NCSS. (1989). Charting A Course: Social Studies for the 21st Century.

Washington: National Commision on Social Studies.

NCSS. (1994). Curriculum Standards for Social Studies: Expectation of

Excellence. Washington: National Commision on Social Studies.

UNEP. (1972). Stockholm declaration on the human environment. United Nations Conference on the Human Environment, Stockholm, Sweden, 1972. New York: United Nations Environment Programme.

UNESCO. (1948). Proceedings of the conference for the establishment of the

International Union for the Protection of Nature. Paris: Author.

UNESCO. (1978). Final report, Intergovernmental Conference on Environmental

Education, organized by UNESCO in cooperation with UNEP, Tbilisi,

USSR, 14–26 October 1977. Paris: Author.

UNESCO-UNEP. (1976). The Belgrade Charter. Connect: UNESCO-UNEP

Environmental Education Newsletter, 1(1), 1–2. Jurnal

Ardoin, NM & Heimlich, JE. (2013). Views From the Field: Conservation

Educators’ and Practitioners’ Perceptions of Education as a Strategy for

Achieving Conservation Outcomes. The Journal of Environmental

Education Volume 44, Issue 2, 2013.

Bednarik, K.P, Surusaki, TK. (2011). Sixth Graders’ Understanding Of Their Own Learning: A Case Study In Environmental Education Course.

International Journal of Environmental & Science Education Vol. 6, No. 1, April 2011 pp. 59-78.

Bouley, T. (2009). The Sky is Falling: An Examination of Ways to Heighten

Young Children’s Awareness of Environmental Issues that Result in Increased Feelings of Self-Efficacy Rather than Disempowerment and Fear. New England Journal of Environmental Education April 2009. pp.

1-17.

Bruyere, B, Wesson, M, Teel, T. (2011). Incorporating Environmental Education into an Urban After-School Program in New York City. International


(2)

291

Journal of Environmental & Science Education Vol. 7, No. 2, April 2012, pp 327-341.

Curtisa, DJ, Howdena, M, Curtisa, F, McColma, I, Scrinea, J , Blomfielda, T , Reevea, I & Ryana, T. (2013). Drama and Environment: Joining Forces to Engage Children and Young People in Environmental Education.

Australian Journal of Environmental Education Volume 29 Issue 02 December 2013, pp 182-201.

Daskolia, M, Dimos, A, Kampylis. G.P. (2012). Secondary Teachers’ Conceptions of Creative Thinking Within The Context of Environmental Education. International Journal of Environmental & Science Education

Vol. 7, No. 2, April 2012, pp 269-285.

Dewi, R. (2009). Studi Kasus Pengetahuan, dan Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup. Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Jakarta. Jurnal Damianus

Vol 8 No. 2 Mei 2009. hal 112-124.

Fien, J, Ai, Yencken, D, Sykes, H and Treagust, D. (2002). Youth Environmental Attitudes in Australia and Brunei: Implications for Education. The

Environmentalist, 22, 205-216, 2002, pp 205-216.

Hill, A. (2013). The Place of Experience and the Experience of Place: Intersections Between Sustainability Education and Outdoor Learning.

Australian Journal of Environmental Education Volume 29 Issue 01 July 2013, pp 18-32.

Hsu, S.J (2004). The Effects of an Environmental Educationa Program on Responsible Environmental Literacy Variables in Taiwan College Students. The Journal of Environmental Education, Winter 2004; 35,2

ProQuest Education Journals, pp. 37-48.

Jorgenson, S. (2013). The Logic of School Gardens: A Phenomenological Study of Teacher Rationales. Australian Journal of Environmental Education,

Volume 29, Issue 02, December 2013. pp 121-135.

Khan, R (2008). From Education for Sustainable Development to Ecopedagogy: Sustaining Capitalisn or Sustaining Life? Green Theory & Practice: The

Journal of Ecopedagogy. Volume 4 No. 1 2008. pp 1 - 14

Khan, R & Humes, B. (2009). Marching Out From Ultima Thule: Critical Counterstories of Emancipatory Educators Working at the Intersection of Human Rights, Animal Rights, and Planetary Sustainability. Canadian


(3)

292

Kopnina, H. (2013). An Exploratory Case Study of Dutch Children's Attitudes Toward Consumption: Implications for Environmental Education. The

Journal of Environmental Education Volume 44, Issue 2, 2013.

Kılınc, A. 2010. Can Project-Based Learning Close The Gap? Turkish Student Teachers And Proenvironmental Behaviours. International Journal of

Environmental & Science Education Vol. 5, No.4 October 2010. pp 495-509.

Mackenzie AC & Edwards, S (2013). Toward a Model for Early Childhood Environmental Education: Foregrounding, Developing, and Connecting Knowledge Through Play-Based Learning. The Journal of Environmental

Education Volume 44, Issue 2, 2013. pp 195-213.

Mogensen, F and Nielsen, K. (2001). Students’ Knowledge About Enviromental Matters and Their Belief in Their Own Action Possibilities – A Danish Study. The Journal of Environmental Education, Fall 2001; 33,1 ProQuest

Education Journals. 33-35.

Puspandari, D. (2008). Upaya Meningkatkan Kesadaran Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pembelajaran Pendidikan Kebersihan dan Lingkungan Hidup (PKLH) Berbasis Contextual Teaching dan Learning (CTL). Jurnal

Pendidikan Inovatif, Jilid 4 Nomor 1 September 2008. hal 28-30.

Song, I & Hattie. (1984). Home Enveronment, Self – Concept and Academic Achievement: A Causal Modelling Approach. Jurnal Of Educational

Psychology, Vol.76. No.6.

Schusler, T dan Krasny M. E. (2010). Environmental Action as Context for Youth Development. The Journal of Environmental Education, 41 (4), pp

208-223.

Tridianto, A. (2001). Masalah Lingkungan Hidup Sebagai Masalah Moral. Jurnal

Biota Vol. VI (3) Oktober 2001 hal 131 – 133.

Ward, KS. (2013). Creative Arts-Based Pedagogies in Early Childhood Education for Sustainability (EfS): Challenges and Possibilities. Australian Journal

of Environmental Education, Volume 29, Issue 02, December 2013. pp 165-181.

Yustina. (2006). Hubungan Pengetahuan Lingkungan dengan Persepsi, Sikap dan Minat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada Guru Sekolah Dasar di Kota Pekanbaru. Jurnal Biogenesis Vol. 2(2) hal 67-71.


(4)

293

Tesis

Sitepu, S. (2002). Analisis Tingkat Pengetahuan Lingkungan Siswa SMU Negeri

Kabupaten Deli Serdang Terhadap Perilaku Mencintai Lingkungan. Tesisi

Program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara: Tidak diterbitkan.

Disertasi

Noriko, N. (2007). Analisis Kebijakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)

dan Desain Model Kurikulum Berwawasan Lingkungan Sekolah Menengah Atas (Studi Kasus pada Sekolah Menengah Atas di Jakarta dan Bekasi) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Tidak

diterbitkan

Penelitian

Hamzah, S. (2007) Pengembangan Model Bahan Ajar Pendidikan Lingkungan

Hidup Berbasis Lokal Dalam Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.

FKIP Universitas Bengkulu.

Supriatno, B, Surakusumah, W, Nilawati, T (2007). Pengembangan Model

Pembelajaran Lingkungan Hidup Untuk Membentuk Sekolah Berbudaya Lingkungan Di Sekolah Dasar. Fakultas: Fakultas Pendidikan Matematika

dan IPA Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Muhaimin, lahir di Desa Banyusangka Tanjungbumi Bangkalan pada tanggal 6 Januari 1977, merupakan putra ketiga dari pasangan Dulaski dan Siti Ramlah. Merupakan Putra Madura yang hobby travelling, kuliner, dan fotografi. Sekarang berdomisili di Jalan Samudra 168 Banyusangka Tanjungbumi Bangkalan Madura 69156 HP. 082331902290 email: muhaimin_mafandi@yahoo.co.id.

Pendidikan formal yang diselesaikan adalah: SDN Banyusangka 2 Kecamatan Tanjungbumi (1989), SMPN 1 Tanjungbumi Bangkalan (1992), MAN Bangkalan (1995). Menempuh jenjang pendidikan tinggi dimulai dengan D-II PGSD IKIP


(5)

294

Negeri Malang (1997), S-1 Program Studi PPKn STKIP PGRI Bangkalan (2002), S-2 Pendidikan IPS Universitas Kanjuruhan Malang (2004). Pada tahun 2011 melanjutkan pendidikan pada Program Doktor (S-3) Pendidikan IPS Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dengan memperoleh beasiswa dari Kemenag RI.

Memulai karier sebagai guru di SDN Aengtabar 1 Kecamatan Tanjungbumi Kabupaten Bangkalan Madura sejak tahun 2000 – sekarang. Dalam karier sebagai guru pernah meraih penghargaan dari Menteri Pendidikan Nasional pada tahun 2009 sebagai Juara 1 Lomba Keberhasilan Guru (LKG) dalam Pembelajaran Tingkat Nasional Tahun 2009. Selain itu pernah menjadi Guru Ideal Tingkat Kabupaten Bangkalan Tahun 2008, Guru Berprestasi Kabupaten Bangkalan tahun 2008, dan menjadi finalis dari berbagai lomba guru dalam tingkat kabupaten dan propinsi. Selain itu sejak tahun itu menjadi tenaga pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Syaichona Kholil Bangkalan.

Aktif dalam berbagai kegiatan ilmiah baik itu sebagai pemateri, instruktur, pemakalah, dan peserta baik dalam tingkat lokal, regional, nasional, dan internasional. Menjadi instruktur dalam bidang kurikulum dan pembelajaran. Dalam keikutsertaan sebagai pemakalah dalam Parallel Session seminar nasional dan internasional sebagai berikut: (1) Pengembangan Nilai Moral dalam

Membentuk Kompetensi Ekologis Siswa dalam Pembelajaran IPS (Seminar

Nasional Inovasi Pembelajaran Sebagai Upaya Meningkatkan Efektivitas Pembelajaran IPS, Prodi IPS PPs UPI Bandung 2012); (2) Reposisi Peran Tokoh

Blater dalam Membentuk Konsep Diri Generasi Muda Madura (First Graduate

Seminar on Local History of Indonesia Pascasarjana Sejarah FIB Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, 2013); (3) Rekonstruksi Pendidikan IPS dalam

Menghadapi Tantangan Global dan Penguatan Jati Diri Bangsa (International

Seminar on Strengthening The Social Studies for The Twenty First Century Prodi PIPS SPs Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 2013); (4) Lingkungan

Masyarakat Sebagai Laboratorium Pendidikan IPS dan Implikasinya Terhadap Inovasi Pembelajaran IPS (Seminar Nasional Prodi PGSD Universitas

Muhammadiyah Purwokerto, 2014), (5) Anak Muda Surabaya dan “Konsep

Diri” Tentang Taman (Seminar Internasional Pendidikan Karakter di FKIP

Unlam Banjarmasin, 2014); dan (6) Kontribusi Budaya Ekologis Sekolah dalam

Membentuk Sikap dan Kepedulian Terhadap Lingkungan Hidup (International

Conference The Social Studies Contribution to Reach Periodic Environmental Education Into Stunning Generation 2045 SEE Expo, Prodi PIPS SPs Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 2014).

Pernah menulis di berbagai media lokal dan nasional. Beberapa tulisan dimuat di jurnal antara lain: Peningkatan Kemampuan Siswa Menceritakan Kisah Nabi

Dengan Penggunaan Komik Sebagai Media Pembelajaran PAI Sekolah Dasar


(6)

295

Peranan Pendidikan dalam Membentuk Sikap Mental Wirausaha (Jurnal

Pendidikan dan Pranata Islam, Syaikhuna, Edisi 2, Nomor 2, 2010); Islam dan

Kepedulian Terhadap Lingkungan (Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam,

Syaikhuna, Edisi 5, Nomor 1, 2012); Pengakuan Orientaslis Barat Terhadap

Toleransi dalam Islam (Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam, Syaikhuna, Edisi 7

Nomor 1, 2013). Teologi Bencana dalam Perspektif Islam, (Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam, Syaikhuna, Edisi 8 Nomor 2, 2014). Selain itu menjadi penulis dan editor buku Metodologi Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dari Konsep Hingga Implementasi, Eja Publisher Yogyakarta, 2013.