PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN AKHLAK MULIA PESERTA DIDIK PADA MATA PELAJARAN PAI MADRASAH DINIYAH AWWALIYAH (MDA).

(1)

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK

MENINGKATKAN AKHLAK MULIA PESERTA DIDIK

PADA MATA PELAJARAN PAI MADRASAH DINIYAH

AWWALIYAH (MDA)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat

untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

dalam Bidang Pengembangan Kurikulum

Promovendus

HJ. NUR DEWI AFIFAH

NIM 0800847

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2013


(2)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA DISERTASI

Promotor Merangkap Ketua,

Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, M.Pd.

Ko-Promotor Merangkap Sekertaris,

Prof. Dr. H. As’ari Djohar, M.Pd.

Anggota,

Prof. Dr. Hj Mulyani Sumantri, M.Sc

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pengembangan Kurikulum


(3)

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK

MENINGKATKAN AKHLAK MULIA PESERTA DIDIK

PADA MATA PELAJARAN PAI MADRASAH DINIYAH

AWWALIYAH (MDA)

Oleh :

HJ. NUR DEWI AFIFAH

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Pengembangan Kurikulum Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan

Indonesia

©

HJ

. NUR DEWI AFIFAH 2013

Universitas Pendidikan Indonesia Juni 2013


(4)

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian,


(5)

ABSTRAK

Afifah, Nur Dewi. (2013). 0800847. Pengembangan Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Akhlak Mulia Peserta Didik pada Mata Pelajaran PAI Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA), Disertasi. Program Studi Pengembangan Kurikulum. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Kata kunci: akhlak mulia, Pendidikan Agama Islam, pengembangan, Madrasah Diniyah.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh maraknya perilaku peserta didik yang belum mencerminkan akhlak mulia. Penelitian ini memanfaatkan teori akhlak mulia, model pembelajaran, prinsip pembelajaran PAI, dan filsafat konstruktivisme dalam pembelajaran sebagai pijakan teoretisnya. Pendekatan yang digunakan adalah Research and Development yang diadaptasi dari buku Borg and Gall. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, dokumentasi, wawancara, angket dan tes. Hasilnya adalah (1) Pertama, intervensi proses pembelajaran berupa rekayasa model pembelajaran merupakan kebutuhan. Hal itu didasarkan pada kelemahan proses pembelajaran, rendahnya kreativitas guru, dan sarana yang tidak mendukung tumbuh kembangnya akhlak mulia peserta didik; (2) model yang dikembangkan adalah model yang valid berdasarkan uji validitas internal dan eksternal (uji luas). Kontennya bersifat integratif, diorganisasikan secara tematis, dan diimplementasikan dalam pembelajaran dengan prinsip plan-do-evaluate; dan (3) model yang dikembangkan efektif meningkatkan pemahaman dan akhlak mulia peserta didik secara signifikan dengan derajat peningkatan sangat baik. Model pembelajaran memiliki implikasi teoretis maupun praktis bagi studi pengembangan kurikulum, yaitu: (a) pembelajaran PAI tidak sekedar mentransfer pengetahuan dan nilai kepada peserta didik, tetapi yang paling penting adalah penguatan akhlak peserta didik; (b) pembelajaran PAI akan efektif jika nilai-nilai ajaran Islam sebagai spirit yang mendasari proses pembelajaran mampu dipadukan dengan penguatan akhlak mulia secara kontekstual; (c) pembelajaran PAI akan efektif jika ada keteladanan yang diberikan guru dalam proses pembelajaran, dan mewariskan nilai-nilai positif melalui keterlibatan aktif peserta didik dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran; (d) pembelajaran PAI dengan langkah-langkah: orientasi, aktualisasi, presentasi, verifikasi, dan refleksi, efektif meningkatkan ahklak mulia peserta didik. Direkomendasikan agar kepala madrasah dan guru hendaknya mempertimbangkan penggunaan model ini untuk meningkatkan akhlak dan mengaktifkan peserta didik dalam belajar, demikian pula peneliti lain hendaknya melanjutkan penelitian ini dengan mata pelajaran dan pada jenjang dan kelas yang berbeda, serta cakupan yang lebih luas dengan sampel yang lebih besar. LPTK terutama di PTAI dapat memanfaatkan sebagai model pilihan dalan penguatan akhlak peserta didik.


(6)

Afifah, Nur Dewi. (2013). 0800847. Developing Model of Teaching to Increase

Students’ Akhlak at Madrasah Diniyah Awwaliyah in the PAI Lesson. Dissertation, Program Study of Curriculum Development. Indonesia University of Education. Bandung.

Key words: noble character, PAI, developing, Madrasah Diniyah.

This research underpined by the tendency of lack of students’ morality case. This developmental research of model was underline on principles of akhlak, models of teaching, the principles of teaching the PAI lesson, and principles of the constructivism in teaching-learning. Using R&D model adapted from Borg and Gall, the techniques of collecting data were observation, documentation, interview, questionnare and test. The results were (1) intervention learning process by engineering model of teaching is a necessity. This was based on the weakness of the learning process, teachers lack creativity, and facilities that do not support the growth of noble character of students; (2) the model developed was a valid model based on internal and external validity (field evaluation). It was in integrated content, thematically organized, and implemented by plan-do-evaluate princilples; and (3) the model was effective in increasing students’ understanding and effective in enhancing noble character of learners significantly with the degree of improvement was very good. This research has theoretical and practical implications for the study of curriculum development, they were (a) PAI learning not just transferring knowledge and value to students, but the most important is the strengthening of learners’ noble character;(b) PAI learning will be effective where the moral values of Islam as the spirit underlying the learning process is able to be combined with contextual reinforcement of noble character; (c) PAI learning will be effective if teacher was a figure in the learning process, and pass on positive values through the active involvement of learners in the overall learning activities; (d) the PAI learning steps: orientation, actualization, presentations, verification, and reflections, was effective in increasing noble character learners. The prcatical implication were: (a) the teaching - as akhlak as its orientation - will be effective by good planning, (b) the excellent

model shold be followed by the teacher’ skills. Its recomended that: a) headmasters

and teachers should consider continuously using model since this model is able to

increase students’ akhlak and students’ learning activity; b) other researchers - who are interested in learning model development - to carry out further investigation with broader scope and more participants to be the samples involve; c) LPTK (Teachers Training Institution) especially at Islamic universities should take benefit of this comparative model as another model of teaching akhlak models.


(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR GRAFIK ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Identifikasi, Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 21

D. Definisi Operasional... 21

E. Manfaat Penelitian ... 26

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Pendidikan Agama Islam (PAI) di MDA ... 29

B. Hakikat Akhlak Mulia ... 47

C. Hakikat Belajar Pembelajaran ... 60

D. Model Pembelajaran ... 68

E. Konstruktivisme dalam Pembelajaran ... 86

F. Kerangka Pikir Penelitian ... 113

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 116

B. Prosedur Penelitian ... 117

... C. Subjek dan Lokasi Penelitian ... 119

D. Teknik Pengumpulan Data ... 125

E. Teknik Analisis Data ... 126


(8)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian Pendahuluan ... 129

1. Kondisi Peserta Didik... 130

2. Kondisi Guru ... 138

3. Kondisi Sarana Prasarana ... 160

4. Interpretasi Hasil Studi Pendahuluan ……….. 162

B. Pengembangan Model Pembelajaran ... 164

1. Draf I Model Pembelajaran PAI Meningkatkan Akhlak Mulia ... 164

2. Uji Ahli Pembelajaran... 171

3. Draf II Model Pembelajaran PAI Meningkatkan Akhlak Mulia ... 174

4. Uji Coba Terbatas ... 180

5. Uji Coba Luas (UjiValidasi) ... 199

C. Efektivitas Model Pembelajaran PAI Meningkatkan Akhlak Mulia .. 239

D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 249

1. Kondisi Pembelajaran PAI Saat Penelitian Dimulai ... 249

2. Model Pembelajaran PAI yang Dikembangkan ... 254

3. Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran PAI ... 266

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan ... 270

B. Implikasi ... 274

C. Saran ... 275

DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT PENULIS LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

No.Tabel Hal

2.1. Kurikulum MDA dan Wustha ... 37

2.2. Kurikulum Diniyah Ulya ... 37

2.3. Model-model Pembelajaran Rumpun Pemrosesan Informasi ... 75

2.4. Model-model Pembelajaran Personal (Pribadi) ... 76

2.5. Model-model Pembelajaran Interaksi Sosial ... 77

2.6. Model-model Pembelajaran Rumpun Perilaku ... 79

2.7. Prosedur Pembelajaran Terpadu ... 84

3.1. Peserta Didik pada Penelitian Awal ... 123

3.2. Responden sebagai Subjek Penelitian Uji Terbatas ... 123

3.3. Responden sebagai Subjek Penelitian Uji Luas ... 123

3.4. Guru sebagai Subjek Penelitian ... 124

4.1. Tanggapan Responden (peserta Didik) terhadap Desain dan Penerapan Pembelajaran PAI di MDA ... 130

4.2. Kemampuan Peserta Didik MDA Kelas 3 pada Mata Pelajaran PAI ... 133

4.3. Minat Belajar Peserta didik pada mata Pelajaran PAI ... 136

4.4. Latar belakang Pendidikan Responden (Guru) ... 139

4.5. Tujuan Guru Mengajar ... 141

4.6. Harapan Guru terhadap Peserta Didik... 141

4.7. Tugas guru ... 141

4.8. Guru dapat Mengembangkan Kurikulum yang akan Diajarkan ... 142

4. 9. Hal-hal yang dikembangkan Guru Jika belum mampu Mengembangkan Kurikulum ... 143

4. 10. Sikap Guru dalarn Penguasaan Materi ... 143

4. 11. Hal-hal yang Dilakukan Guru Jika Belum Menguasai Materi ... 144

4. 12. Guru Perlu Memperbaiki Cara Mengajar ... 145

4. 13. Kemampuan Guru Mengelola Kelas ... 145

4. 14. Hal-hal yang Dilakukan Guru Jika Belum Mampu Mengelola Kelas ... 146

4.15. Pengalaman Guru Mengajar ... 146

4.16. Hal Paling Penting dalam Pembelajaran PAI... 147

4.17. Pengembangan Rencana Pembelajaran ... 148

4.18. Implementasi Pembelajaran PAI di MDA ... 152

4.19. Penguasaan Guru ... 156

4.20. Kinerja Guru ... 158

4.21. Kelengkapan Sarana dan Prasarana ... 161

4.22. Desain Perencanaan Pembelajaran ... 170

4.23. Desain Implementasi Pembelajaran ... 170

4.24. Desain Evaluasi Pembelajaran ... 171

4.25. Hasil Uji Ahli Pembelajaran ... 172


(10)

4.27. Data Uji Coba Terbatas 1 Peserta Didik pada

Kegiatan Berwudhu’ ... 183

4.28. Data Uji Coba Terbatas 2 pada Kegiatan Sholat Sunnah Rawatib ... 186

4.29. Data Peserta Didik Uji Terbatas 3 pada Kegiatan Kebersihan ... 189

4.30. Hasil Pengamatan/Observasi Kegiatan Peserta Didik pada Uji Terbatas Kegiatan Berwudhu', Sholat Sunnah Rawatib, dan Kebersihan ... 196

4.31. Uji Coba Luas 1 Pada Kegiatan Berwudhu' di MDA MII Cidangiang ... 199

4.32. Uji Coba Luas 2 tentang Kegiatan Sholat Sunnah Rawatib di MDA MII Cidangiang ... 201

4.33. Uji Coba Luas 3 tentang kebersihan di MDA MII Cidangiang ... 203

4.34. Uji Luas 1-3 Peserta Didik tentang Sikap Peserta Didik pada Pelaksanaan Berwudhu', Sholat Sunnah, dan Menjaga Kebersihan di MDA MII Cidangiang ... 206

4.35. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban 'Ya ... 207

4.36. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, 3 pada Jawaban ‘Kadang-kadang’ ... 207

4. 37. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, 3 pada Jawaban ‘Tidak Pernah’ ... 208

4.38. Uji Coba Luas 1 Pada Kegiatan Berwudhu' di MDA Al-Mubtadin ... 208

4. 39. Uji Coba Luas 2 Pada Kegiatan Sholat sunnah Rawatib di MDA Al-Mubtadin ... 211

4.40. Uji Coba Luas 3 Pada Kegiatan Kebersihan di MDA Al-Mubtadin ... 213

4.41. Pelaksanaan Berwudhu', Sholat Sunnah Rawatib, dan Menjaga Kebersihan di MDA Al-Mubtadin ... 215

4.42. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Ya’ ... 216

4.43. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Kadang-kadang’ ... 216

4. 44. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Tidak Pernah’ ... 217

4. 45. Kegiatan Berwudhu' di MDA Al-Fatimah ... 218

4. 46. Kegiatan Sholat Sunnah Rawatib di MDA Al-Fatimah ... 220

4. 47. Kegiatan Kebersihan di MDA Al-Fatimah ... 222

4. 48. Akumulasi Sikap responden pada Uji Luas 1-3 ... 223

4. 49. Perbandingan Hasil uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban 'Ya’ ... 224

4.50. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Kadang-kadang’ ... 224

4.51. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Tidak Pernah’ ... 225

4.52. Kegiatan Berwudhu' di MDA Masyariqul Anwar Sepan ... 226 4.53. Kegiatan Sholat Sunnah Rawatib di MDA Masyariqul


(11)

Anwar Sepan ... 228

4.54. Kegiatan Kebersihan di MDA Masyariqul Anwar Sepan ... 230

4.55. Akumulasi Respon pada Uji Coba. Luas 1, 2, dan 3 pada. MDA Masyariqul Anwar Sepan ... 231

4.56. Perbandingan Hasit Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Ya’ ... 232

4.57. Perbandingan Hasil Uji Coba. Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban. ‘Kadang-kadang’ ... 232

4.58. Perbandingan Hasil Uji Coba. Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Tidak Pernah’ ... 233

4.59. Rata-rata Skor Uji 1 dan Uji 2 ... 240

4.60. Perbedaan Uji rata-rata Skor uji 1 dan Uji 2 ... 241

4.61. Rata-rata skor Uji 2 dan Uji 3 ... 241

4.62. Perbedaan Uji rata-rata Uji 2 dan Uji 3 ... 241

4.63. Pengamatan 1 Peningkatan Akhlak Mulia ... 244

4.64. Pengamatan 2 Peningkatan Akhlak Mulia ... 246

4.65. Tabel Konversi Peningkatan Akhlak Mulia ... 268


(12)

No. Gambar Hal

2.1. Kerangka Teoretis Penelitian ... 28

2.2. Kerangka Terminologis Pendidikan ... 30

2.3. Konten dan Arah Pendidikan Islam ... 34

2.4. Akhlak, Etika, Moral dan Relevansinya ... 54

2.5. Hubungan Teaching, Learning, dan Instruction ... 65

2.6. Prosedur Pembelajaran CTL ... 88

2.7. Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan REACT ... 96

2.8. Pelaksanaan Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual ... 98

2.9. Kerangka Pikir Penelitian ... 115

4.1. Draft Awal Model Pembelajaran Meningkatkan Akhlak Mulia ... 165

4.2. Desain Awal Perencanaan Pembelajaran ... 166

4.3. Desain Awal (Draft I) Implementasi Pembelajaran ... 167

4.4. Desain awal (Draft I) Kegiatan Evaluasi ... 169

4.5. Draft II Model Pembelajaran Meningkatkan Akhlak Mulia ... 175

4.6. Draft III Model Pembelajaran Meningkatkan Akhlak Mulia ... 177

4.7. Model Akhir Model Pembelajaran Yang Dikembangkan ... 264


(13)

DAFTAR GRAFIK

No. Grafik Hal

4.1. Tanggapan Responden (Peserta Didik) terhadap

Desain dan Penerapan Pembelajaran PAI ... 132

4.2. Tanggapan Responden (Peserta Didik) terhadap Kemampuan Responden ... 135

4.3. Minat Belajar Peserta Didik pada Mata Pelajaran PAI kelas 3 MDA ... 137

4.4. Pengembangan Rencana Pembelajaran ... 150

4.5. Implementasi Pembelajaran PAI di MDA ... 155

4.6. Penguasaan Guru ... 157

4.7. Kinerja Guru ... 160

4.8. Respon Guru terhadap Sarana dan Prasarana ... 162

4.9. Penilaian Hasil Pengamatan 1 ... 246


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

Bab Pendahuluan ini membahas tentang latar belakang penelitian, identifikasi masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, definisi operasional, dan manfaat penelitian.

A. Latar Belakang Penelitian

Pendidikan merupakan cita-cita kemanusiaan dan idealisme kemanusiaan. Hal itu karena pendidikan adalah aspek insani yang paling urgen dalam membentuk pribadi ahsanu taqwim yang beradab dan berbudaya. Melalui pendidikan, kepribadian seseorang ditempa, dibentuk dan diarahkan sehingga dapat mencapai derajat kemanusiaan sebagai makhluk berbudaya. Pendidikan diupayakan tidak hanya sekadar aktivitas transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan (transfer of knowledge and skill) semata, namun lebih dari itu adalah transmisi perilaku (transmission of attitude). Bahkan yang terpenting adalah transmisi nilai/akhlak (transmission of value).

Fungsi utama pendidikan tidak lain adalah menyiapkan manusia untuk menjadi pribadi, anggota masyarakat, dan warga negara yang baik. Dimensinya adalah dimensi personal dan sosial. Ditilik dari aspek yuridis, dalam UU Nomor.


(15)

20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 2, Pasal 3 disebutkan bahwa “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Fungsi dan tujuan pendidikan tersebut di atas dipertegas dengan orientasi pendidikan nasional yakni “… untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa” sebagaimana tercantum pada pasal 31 ayat 3. Pasal ini

menekankan dan mengingatkan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa kecerdasan harus didasari oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia. Pada bagian ini menjelaskan bagaimana pendidikan dilaksanakan dengan sebuah ketentuan agar terwujud kecerdasan peserta didik yang penuh keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia.

Cita-cita luhur pendidikan nasional seiring-sejalan dengan kehadiran Islam sebagai agama. Tujuan utama Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW untuk rahmatan lil-alamin adalah memperlihatkan kepentingan nilai akhlak atau moral dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yaitu: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (Imam Malik: 132). Oleh sebab itu Islam sebagai agama dapat dijadikan acuan pandangan pendidikan.


(16)

Agama Islam sebagai ad-Diin atau way of life – antara lain – sangat menekankan kepada pendidikan dan pendidikan akhlak. Bahkan, Tujuan pertama dan utama pendidikan Islam adalah membangun kepribadian yang memiliki akhlakul

karimah.

Cara pikir di atas mencerminkan bahwa pengarusutamaan pendidikan akhlak, budi pekerti, atau pendidikan karakter di sekolah adalah keputusan strategis bahkan merupakan suatu bentuk “mujahadah dan ibadah”. Oleh karena itu, Pendidikan Agama Islam dan mata pelajaran lain diharapkan mampu membentuk peserta didik yang berilmu dan berakhlak mulia.

Fenomena yang kasat mata di tengah masyarakat memperlihatkan bahwa secara umum hasil pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum dewasa ini belum seluruhnya efektif, dan bahkan dinilai gagal. Pendidikan Agama Islam dinilai masih terkesan berorientasi pada pengajaran agama yang bersifat kognitif dan hafalan (pembelajaran tentang agama). Pembelajaran yang kurang berorientasi pada aspek pengamalan ajaran agama. Di antara indikator yang sering dikemukakan bahwa dalam kehidupan masyarakat kerap dijumpai kasus tindakan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran agama. Masalah tersebut memperlihatkan adanya penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran Agama Islam peserta didik yang belum akomodatif.

Menurut Harun Nasution (dalam Muhaimin, 2007: 91), salah satu penyebab kegagalan dan kelemahan Pendidikan Agama Islam adalah karena dalam praktik pendidikannya, hanya memperhatikan aspek kognitif semata. Pembelajaran PAI


(17)

telah mengabaikan aspek afektif dan konatif-volutif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi bermoral. Padahal inti dari pendidikan agama adalah pendidikan moral.

Pendidikan termasuk pendidikan agama mendorong ke arah perubahan. Perubahan yang diperoleh peserta didik setelah melalui proses belajar diharapkan meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Pendidikan Agama Islam diharapkan dapat dipahami dengan baik oleh peserta didik, agar dengan pemahaman ini peserta didik dapat mengaktualisasikan nilai-nilai agama yang diperoleh dalam praktek kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu, pendidik diharapkan dapat menyampaikan materi secara komunikatif, edukatif dan persuasif sehingga tujuan yang diharapkan dapat terpenuhi. Pendidikan Agama Islam diharapkan memiliki peran penting dalam penanggulangan perilaku yang kurang baik melalui interaksi edukatif yang dilakukan antara pendidik dan peserta didik.

Kehadiran PAI di sekolah yang belum dirasakan dampaknya secara berarti, juga disadari oleh pemerintah. Oleh sebab itu pemerintah melalui peraturan terkait mengeluarkan kebijakan tentang penguatan pendidikan agama di luar pendidikan atau sekolah umum ataupun sekolah formal. Hajat besar negara mengatasi kelemahan pendidikan agama di sekolah, antara lain diselenggarakannya sistem


(18)

pendidikan agama nonformal yang disebut Madrasah Diniyah yang populer disebut Madin.

Pembelajaran PAI - di sekolah maupun madrasah, termasuk di dalamnya Madrasah Diniyah (Madin) meliputi pembelajaran berbagai kompetensi. Kompetensi tersebut mengarahkan peserta didik agar beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT; berakhlaq mulia (berbudi pekerti luhur) yang tercermin dalam perilaku sehari-hari dalam hubungannya dengan Allah SWT, sesama manusia, dan alam sekitar; mampu membaca dan memahami Al Qur'an; mampu beribadah dan bermuamalah dengan baik dan benar; serta mampu menjaga kerukunan intern dan antar umat beragama (sumber: Kompetensi Mata Pelajaran PAI Sekolah Dasar).

Pemerintah tampaknya berharap banyak dengan adanya Madin. Apalagi dalam sejarahnya, tumbuh-kembangnya Madin ini dilatarbelakangi oleh keresahan sebagian orang tua peserta didik (baca: wali murid), yang merasakan pendidikan agama di sekolah umum kurang memadai mengantarkan anaknya untuk dapat melaksanakan ajaran agama Islam sesuai dengan yang diharapkan. Berangkat dari kebutuhan dan keresahan masyarakat serta kerisauan pemerintah maka lembaga seperti Madin inilah tetap harus dikembangkan.

Secara normatif, Madrasah Diniyah merupakan suatu lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khusus pendidikan keislaman. Fungsinya untuk menambah pendidikan agama bagi peserta didik sekolah umum. Saat ini keberadaan Madrasah Diniyah telah diakomodasi oleh UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa pendidikan tersebut dapat dilaksanakan oleh


(19)

pemerintah dan masyarakat. Secara kuantitatif keberadaan Madrasah Diniyah semakin hari semakin meningkat jumlahnya namun secara kualitatif proses

pendidikan berjalan seadanya. Karena itu, perlu ada „pemikiran besar‟ sekaligus

diimplementasikan dalam bentuk action sehingga Madrasah Diniyah akan terus berkembang dan meningkat kualitasnya.

Pada awalnya penyelenggaraan pendidikan diniyah ini berjalan secara tradisional. Metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar adalah

halaqah yaitu seorang guru menerangkan ilmu-ilmu agama sambil duduk di

lantai, dikelilingi oleh peserta didik yang mengitarinya. Di Aceh pendidikan itu disebut dayah atau munasah, sedangkan di Sumatera Selatan disebut langgar.

Dalam pertumbuhannya, metode yang digunakan mengalami perkembangan, pengajaran mulai diorganisasikan dengan sistem klasikal, materi yang diajarkan tidak lagi sekadar membaca Al-Qur‟an dan ilmu-ilmu dasar agama, akan tetapi meliputi pula ilmu-ilmu keIslaman lainnya. Sistem klasikal ini mulai dilaksanakan sekitar pertengahan abad ke 19 sejalan dengan yang dilaksanakan oleh pemerintah Belanda. Sistem ini kemudian dalam sejarah pendidikan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan pendidikan di tanah air termasuk pendidikan Islam, seperti bergesernya sistem

halaqoh. Pendidikan keagamaan semacam itu oleh Charles Michael Stanton

(dalam Muhaimin, 2009: 124) digolongkan sebagai pendidikan keagamaan eksklusif, yakni lembaga pendidikan keagamaan yang tertutup terhadap pengetahuan umum.


(20)

Madrasah Diniyah dari awal pertumbuhannya hingga saat ini terus mengalami peningkatan, berdasarkan data Direktorat Jenderal Lembaga Islam tahun 2000-2003 jumlah Madrasah Diniyah mencapai 37.600 buah, dengan jumlah peserta didik 2.173.012 orang berada di lingkungan pesantren. Adapun perinciannya adalah: tingkat Awwaliyah berjumlah 18.629 buah dengan jumlah peserta didik 1.244.491, tingkat wustha berjumlah 11.649 buah dengan jumlah peserta didik 626.005 orang dan tingkat ulya berjumlah 7.322 buah dengan jumlah peserta didik 302.506. Adapun Madrasah Diniyah di luar pesantren berjumlah 15.577 buah, yang terdiri dari suplemen (tambahan) 3.478 buah, komplemen (pelengkap) 2.678 buah dan independen 9.473 buah.

Begitu pentingnya peran Madrasah Diniyah, beberapa pemerintah daerah mengeluarkan regulasi khusus yang mengatur pelaksanaan Madrasah Diniyah di masing-masing daerah. Di Kab. Bogor misalnya, Pemda mengeluarkan Peraturan Daerah no. 11 Tahun 2010 tentang Pendidikan Diniyah Takmiliyah. Kab. Sukabumi, untuk mendukung program nasional tersebut dibuat regulasi yang lebih rinci berupa (1) Peraturan Daerah 8 Tahun 2009 tentang Wajib Belajar Pendidikan Keagamaan, (2) Peraturan Bupati 6 Tahun 2006 Program Wajib Belajar Pendidikan Keagamaan sebagai bagian dari Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar, (3) Peraturan Bupati 7 Tahun 2006 Pedoman Akreditasi Madrasah Diniyah, (4) Peraturan Bupati 30 Tahun 2007 tentang Kurikulum Madrasah Diniyah Awwaliyah di Kabupaten Sukabumi. Kab. Cianjur menerapkan Peraturan Bupati no. 12 Tahun 2006 tentang Pemberdayaan Pendidikan Diniyah.


(21)

Di provinsi Banten, salah satunya di Kabupaten Pandeglang regulasi yang mengatur Madrasah Diniyah juga telah dilaksanakan. Sejak Peraturan Daerah No. 1 tentang wajib sekolah madrasah (diniyah) ditetapkan pada tahun 2006, jumlah madrasah di Kabupaten Pandeglang semakin bertambah. Dari sekitar 946 madrasah, jumlah itu meningkat menjadi sekitar 1.500 madrasah pada tahun 2007. Peningkatan jumlah madrasah mencapai sekitar 60 persen (Kompas, 11-4-2007).

Otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, menjadikan pemerintah daerah berupaya menggali dan mengelola berbagai potensi yang ada di daerahnya pada berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan agama. Upaya ini sesuai dengan tujuan pemerintah daerah yaitu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang beriman dan bertaqwa. Untuk meraih upaya tersebut pula, Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang membuat kebijakan berupa penetapan Wajib Belajar Madrasah Diniyah Awwaliyah (selanjutnya disingkat MDA) selama 4 tahun bagi anak mulai usia 8 tahun.

Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Wajib Belajar MDA, dan Peraturan Bupati Pandeglang Nomor 1 Tahun 2008, tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Wajib Belajar MDA, maka pemerintah daerah mewajibkan anak usia 8-12 tahun yang duduk di bangku kelas III sampai kelas VI sekolah dasar, untuk mengikuti kegiatan belajar di MDA selama 4 tahun. Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana tersebut di atas, Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang dan seluruh komponen masyarakat


(22)

wajib mengupayakan penyelenggaraan pendidikan MDA agar dapat terlaksana dengan optimal sehingga dapat diwujudkan generasi penerus bangsa yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri.

Pelaksanaan kegiatan belajar di MDA tersebut berdasarkan Bab VI Pasal 8 Kurikulum MDA. Pasal tersebut menyatakan bahwa kurikulum tersebut merupakan pedoman dalam kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan penyelenggaraan pendidikan MDA, sedangkan Pasal 9 menjadi dasar bagi struktur program pembelajaran, yang memuat kurikulum pokok, yaitu: (1) Al-Qur‟an; (2) Hadits; (3) Aqidah Akhlak; (4) Fiqih; (5) Sejarah Kebudayaan Islam; (6) Bahasa Arab; (7) Praktik Ibadah.

Kurikulum dan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di MDA dirancang untuk mengantarkan peserta didik kepada peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta pembentukan akhlak yang mulia. Keimanan dan ketakwaan serta kemuliaan akhlak yang tertuang dalam tujuan akan dapat dicapai dengan terlebih dahulu jika peserta didik memiliki pengetahuan dan pemahaman yang utuh dan benar terhadap ajaran Agama Islam, sehingga dapat terinternalisasi dalam penghayatan dan kesadaran untuk melaksanakannya dengan benar. Dengan demikian rancangan kurikulum dan pembelajaran mata pelajaran PAI di MDA seharusnya dapat menghantarkan peserta didik kepada pengetahuan dan pemahaman yang utuh dan seimbang antara penguasaan ilmu pengetahuan tentang Agama Islam, kemampuan melaksanakan ajarannya serta pengembangan nilai-nilai akhlakul karimah.


(23)

Dalam pelaksanaannya, MDA tidak luput dari berbagai problem sebagaimana problem madrasah pada umumnya. Arif Rahman (2003: 199-200) mengungkapkan kriteria problematika pendidikan termasuk madrasah di Indonesia adalah peserta didik hanya sebagai pelaku pasif pendidikan, proses pendidikan berubah menjadi proses pengajaran dan materi pendidikan dan buku-buku pelajaran ditulis dengan cara dan metode yang miskin akan upaya-upaya untuk menyeimbangkan faktor praktek dan teori, faktor ilmu pengetahuan dan teknologi, serta iman dan taqwa.

Senada dengan Arif Rahman, Tilaar (1999: 30-51) juga mengungkapkan beberapa kriteria problematika pendidikan termasuk Madrasah Diniyah di Indonesia yaitu kualitas guru masih rendah dan masih terdapat salah kamar atau salah pegang (mismatch) mata pelajaran, inputnya rendah, sarana dan prasarana kurang memadai, kurikulum yang digunakan tidak relevan dengan kebutuhan dan bebannya terlalu berat, dan dalam proses belajar mengajar, peserta didik untuk kurikulum, bukan kurikulum untuk peserta didik, sehingga beban terlalu berat, pencapaian target dan terkesan adanya pemaksaan.

Fadjar (1998: 37) menandaskan bahwa sebenarnya problem aktual yang dihadapi madrasah dewasa ini adalah adanya perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap layanan pendidikan serta perkembangan dunia pendidikan lainnya dan adanya tuntutan agar madrasah mampu mengembangkan kemampuan anak didiknya agar dapat memiliki dua kompetensi sekaligus, yaitu kompetensi Ilmu Pengetahuan Teknologi (IPTEK) dan kompetensi keagamaan berupa kualitas


(24)

iman dan takwa kepada Allah (IMTAQ). Dengan dua kompetensi tersebut, diharapkan madrasah dapat mempersiapkan peserta didik untuk dapat mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi sekaligus dapat bersaing dengan sekolah-sekolah lainnya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa output madrasah masih dianggap kurang berkualitas dan belum mampu bersaing dengan sekolah-sekolah umum lainnya.

Jika madrasah sebagai sistem memiliki berbagai problem yang harus ditemukan solusi pemecahannya, maka pembelajaran Pendidikan Agama Islam sebagai bagian dari sistem madrasah juga menghadapi sejumlah persoalan. Salah satu persoalan yang dikemukakan oleh Rasdiyanah adalah pembelajaran agama Islam berorientasi pada kemampuan membaca teks, bukan pada upaya internalisasi ajaran agama sehingga dapat menjadi karakter peserta didik (Muhaimin, 2009: 25).

Temuan penelitian di atas juga di dukung hasil observasi dan pengalaman empiric peneliti di berbagai MDA di Kabupaten Pandeglang, bahwa secara umum pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di MDA belum maksimal. Hal itu terjadi karena berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah faktor guru. Guru umumnya merupakan guru kelas yang mengajarkan berbagai mata pelajaran rumpun Pendidikan Agama Islam, sehingga guru dituntut untuk menguasai seluruh bidang keilmuan yang diajarkan, dan mampu mengajarkannya dengan baik. Rumpun mata pelajaran pembelajaran PAI disampaikan secara terpisah, sementara berbagai mata pelajaran tersebut sebenarnya merupakan satu kesatuan


(25)

yang saling terkait (satu rumpun). Selain itu bentuk evaluasi yang dilakukan oleh guru berbentuk ulangan formatif dan ulangan sumatif dengan penilaian yang parsial (terpisah-pisah). Aspek yang dinilai lebih menekankan pada aspek kognisi dengan menggunakan jenis penilaian tes objektif. Pelaksanaan pembelajaran PAI tidak diiringi dengan praktik (contoh), begitu pula tidak dilakukannya evaluasi dalam bentuk praktik. Guru pun masih kurang mampu mengelola kegiatan pembelajaran PAI di kelas karena jumlah peserta didik yang terkadang melebihi jumlah ideal dalam satu kelas (40 peserta didik).

Berangkat dari persoalan di atas, maka perlu adanya pembelajaran PAI yang tidak saja menekankan aspek pengetahuan (kognitif), tetapi yang lebih penting adalah pembelajaran PAI yang mampu memberikan bimbingan secara intensif tentang aspek psikomotorik dan afektif para peserta didik. Ketiga aspek tersebut harus berjalan secara berimbang. Pada aspek kognitif nilai-nilai ajaran agama diharapkan dapat mendorong peserta didik untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya secara optimal. Dengan penguatan aspek afektif diharapkan nilai-nilai ajaran agama dapat memperteguh sikap dan perilaku keagamaan. Demikian pula aspek psikomotor diharapkan mampu menanamkan keterikatan dan keterampilan peran keagamaan.

Terkait dengan bentuk-bentuk kemerosotan akhlak yang banyak terjadi dalam dunia pendidikan itu sendiri diantaranya adalah kesenjangan dan penyimpangan, seperti tawuran antara pelajar, pornografi dan pornoaksi yang diperankan oleh para pelajar, penyalahgunaan narkoba, penyalahgunaan media


(26)

yang semakin canggih. Pendidikan saat ini seolah hanya mengejar angka kelulusan dan kurang memperhatikan nilai-nilai agama Islam yang menyentuh spiritual kaum pelajar. Setiap materi yang diajarkan seolah tidak membekas di hati dan tidak tercermin dalam tingkah laku mereka. Muncul berbagai perbuatan memalukan yang jauh dari perilaku akhlak mulia pada masyarakat yang menjunjung nilai agama dan budaya.

Menurut hasil penelitian BNN (Badan Narkotika Negara) dan UI (Universitas Indonesia) tentang penyalahgunaan narkoba dalam 33 provinsi tahun 2006-2009 meningkat 1,4 % dengan rincian SLTP 4,2 %, SMA 6,6 %, dan Mahasiswa 6,0 %. Dalam harian ekonomi neraca per-april 2010, BNN mencatat prevalensi penyalagunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa meningkat 5,7 % berarti dalam 1 tahun terakhir setiap 100 orang pelajar dan mahasiswa terdapat 5-6 pemakai. Selain kasus narkoba ada pula kasus yang akhir-akhir ini menghantui masyarakat khususnya generasi muda yakni pergaulan bebas (seks bebas) yang ikut melanda para pelajar, Komisi Perlindungan Anak (KPA) mengungkapkan data bahwa 97% remaja Indonesia pernah menonton dan mengakses pornografi, 93 % pernah berciuman, 62 % pernah berhubungan badan serta 21 % remaja telah melakukan aborsi.

Di Jawa Barat tawuran remaja yang menimbulkan korban tercatat pada enam bulan pertama tahun 2012 tercatat sudah ada 139 kasus dengan menewaskan 12 pelajar. Belum lagi kasus narkoba, freesex, bahkan aborsi. Mirisnya, pelaku kasus-kasus tersebut adalah remaja-remaja berseragam. Remaja ini sudah


(27)

dipastikan menerima berbagai pendidikan setiap harinya (http: //news.detik.com, Kamis, 04/10/2012). Bagaimanapun, remaja-remaja tersebut adalah output dari sebuah sistem bernama pendidikan. Mengendarai kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi (ngebut), keterlibatan perkelahian antar pelajar, termasuk keinginan untuk tidak mengikuti pelajaran di sekolah (membolos), meninggalkan rumah tanpa seizin orang tua, dan melakukan coret-coret di dinding, tindakan kriminal termasuk pemerasan, pencurian serta perusakan gedung adalah contoh-contoh akhlak peserta didik yang perlu dicermati (Santoso dan Kristianti, 2000: 1).

Dalam konteks yang lebih sempit kasus kenakalan remaja pun berulang terjadi di Kabupaten Pandeglang. Terdapat tiga orang remaja melakukan pembantaian kepada seorang siswa SMP hanya dengan motif pencurian (Radar Banten, 2011). Begitu pula dengan kasus asusila yang dilakukan oleh peserta didik tingkat pendidikan dasar terhadap teman perempuannya, dan dalam kasus lain dilakukan terhadap anak perempuan yang masih dibawah umur, mencoreng kota Pandeglang yang terkenal dengan sebutan “sejuta santri seribu ulama‟” (BantenNews.com, 2012).

Temuan Salamah (2004), menegaskan bahwa pelaksanaan PAI di sekolah yang cenderung hanya memperhatikan aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif dan konatif volutif, yaitu kemauan dan tekad untuk mengamal nilai-nilai ajaran agama sehingga dapat membentuk siswa yang berakhlak mulia. Gojwan (2004) juga menemukan bahwa dalam realisasinya di lapangan pembelajaran PAI


(28)

menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, baik dalam proses maupun hasil pembelajaran siswa. Ada beberapa hal yang dicatatnya sebagai kendala, di antaranya: (1) rendahnya motivasi belajar siswa pada pembelajaran PAI; (2) materi pembelajaran PAI masih berorientasi pada kemampuan kognitif dan kurang dalam pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaan (psikomotorik); (3) terbatasnya sikap dan pemahaman guru agama dalam pengembangan pendekatan pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student centered), sehingga pembelajaran masih berjalan secara konvensional; dan (4) terbatasnya sarana dan prasarana penunjang belajar.

Mengacu pada berbagai fakta dan data di atas, kondisi ini mengindikasikan bahwa pendidikan Agama di Indonesia belum maksimal bahkan cenderung tidak berhasil. Kegagalan tersebut nampak pada perwujudan sebagian perilaku peserta didik atau sekelompok peserta didik yang belum mengamalkan nilai-nilai akhlak mulia dan cenderung memiliki aklak yang buruk atau tercela, serta jauh dari tuntutan dan tuntunan ajaran Islam. Kemerosotan akhlak sebagian peserta didik tersebut dapat diamati dari perilaku sehari-hari peserta didik, seperti tidak jujur ketika ulangan atau ujian, berkata-kata kasar dan jorok, mengumpat, mencaci maki dengan kata-kata kasar dan tidak sepantasnya, tidak disiplin dalam berpakaian, dan mengerjakan tugas-tugas sekolah, termasuk dalam pelaksanaan ibadah sholat dan bertadarus. Tidak/kurang hormat terhadap guru, tidak saling menghormati dan menghargai dengan sesama teman, juga terhadap orangtua. Untuk itulah diperlukan upaya sungguh-sungguh mengatasi permasalahan tersebut


(29)

melalui pendidikan yang diselenggarakan baik secara formal maupun nonformal, baik secara perseorangan maupun kelembagaan. Untuk itulah penelitian ini dinilai relevan.

B. Identifikasi, Perumusan Masalah Dan Pertanyaan Penelitian

1. Identifikasi masalah

Penelitian pengembangan ini bertolak dari adanya permasalahan kemerosotan akhlak yang terjadi pada peserta didik. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kemerosotan akhlak pada peserta didik.

Pertama, pengaruh lingkungan keluarga dan orang tua. Lingkungan keluarga dan peran orang tua menyumbang persentase yang cukup tinggi sebagai basis pendidikan pertama yang dapat membentuk perilaku peserta didik agar memiliki akhlak yang baik serta membentengi peserta didik dari pengaruh-pengaruh negative diluar rumah.

Kedua, pengaruh lingkungan sekolah dengan berbagai factor yang terkait didalamnya, termasuk factor guru dan pembelajaran PAI di sekolah. Pembelajaran PAI yang diharapkan mampu menjadi sumber rujukan bagi penambahan pemahaman, pelaksanaan ibadah dan pencerminan akhlak peserta didik, dianggap belum maksimal sehingga hasil yang di dapat belum sepenuhnya berdampak pada perilaku peserta didik. Berdasarkan hal tersebut, kehadiran Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) menjadi salah satu alternative yang diharapkan dapat membantu peserta didik agar dapat lebih banyak lagi menyerap pemahaman akan


(30)

materi PAI, mendorong peserta didik agar dapat melaksanakan ibadah dengan benar, sehingga hasil akhirnya peserta didik memiliki perilaku yang baik (akhlakul karimah).

Salah satu aspek yang diduga sangat dominan berpengaruh dalam pelaksanaan pembelajaran PAI adalah model pembelajaran yang spesifik. Efektifitas model pembelajaran yang digunakan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kualitas hasil pembelajaran. Oleh karena itu perlu dikembangkan model pembelajaran dengan cara mengidentifikasi masalah-masalah yang terkait dengan pelaksanaan kurikulum mata pelajaran PAI. Hasil observasi awal peneliti teridentifikasi berbagai persoalan sebagai berikut.

a) Proses pembelajaran kurang menarik dan tidak dikaitkan dengan kehidupan serta tidak sehingga terjadi pembelajaran yang bermakna. Perlu dikaji bagaimana upaya menciptakan suasana belajar sehingga pembelajaran berlangsung dalam suasana akrab, terbuka, saling menghargai, menerapkan persamaan kesempatan, menyenangkan, dan memperhatikan keragaman peserta didik, dan peserta didik mendapat pencerahan akhlak mulia.

b) Hasil pembelajaran mata pelajaran PAI kurang mengembangkan potensi peserta didik yang holistik dan masih bersifat parsial. Tidak ditemukan pembelajaran oleh guru yang memungkinkan pengorganisasian dan pengintegrasiaan komponen kompetensi (knowledge, skills, and attitudes), melalui proses pembelajaran mengalami dengan belajar sambil melakukan.


(31)

c) Pembelajaran mata pelajaran PAI masih bersifat situasional (sesuai dengan situasi sekolah), dimana proses dan hasil belajar masih belum memberi makna yang lebih luas. Hasil belajar hanya bermuara pada nilai mata pelajaran yang diberikan oleh guru.

d) Lingkungan sekolah kurang menantang tanggung jawab dan kurang memotivasi peserta didik untuk mengalami peran sebagai pribadi yang baik. Oleh karena itu perlu dikaji bagaimana pengorganisasian dan pengintegrasian lingkungan belajar dalam suasana yang mendukung akhlak mulia.

e) Sebagai ciri pembelajaran konvensional, guru masih sangat dominan dan kurang memberikan peran kepada peserta didik untuk menentukan jalannya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran peserta didik berperan semu karena penentu jalannya proses pembelajaran didominasi oleh guru. Perlu dilakukan perubahan orientasi pembelajaran dari konvensional ke model pembelajaran dimana peserta didik diberi peran yang lebih luas dalam proses pembelajaran agar mereka menangkap makna pembelajaran tersebut sebagai milik dirinya. Maka perlu dikaji bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik dalam penanaman nilai PAI. f) Penilaian tertulis dan penilaian hasil akhir merupakan alat evaluasi untuk

melihat pencapaian kompetensi peserta didik. Idealnya, pencapaian kompetensi harus diukur dengan cara yang bervariasi sesuai dengan kriteria akhlak mulia yang harus dilakukan untuk memperoleh gambaran hasil belajar yang sebenarnya. Guna memperoleh hasil evaluasi yang menggambarkan


(32)

pencapaian kompetensi peserta didik, maka perlu dikaji dan digunakan teknik-teknik penilaian yang dapat menghasilkan data yang autentik. Hal ini memudahkan guru dalam mengisi skill pasport sebagai bukti pencapaian kompetensi peserta didik.

Para guru lebih terbiasa menggunakan pembelajaran yang terpusat pada guru (teacher centered). Proses belajar berlangsung dengan tanpa mempertimbangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik. Padahal peserta didik dengan segala macam potensinya, harus diarahkan untuk mencapai tujuan mata pelajaran. Pengajar hanya aktif membacakan, menterjemahkan dan menerangkan materi pelajaran yang diakhiri dengan tugas menghafal ayat-ayat dan hadis. Dengan kata lain, guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam lebih dominan menggunakan strategi pembelajaran menghafal (rote learning) dan jarang sekali menggunakan strategi pembelajaran bermakna (meaningful

learning).

Hasil observasi awal peneliti di atas diperkuat oleh pandangan Muhaimin (2007: 27; 2001: 24) yang menganggap bahwa titik lemah pendidikan agama

Islam di antaranya adalah “pembelajaran di sekolah, seolah-olah lepas sama sekali dengan kehidupan sosial masyarakat”. Mata pelajaran PAI seperti Qur‟an Hadits yang dipelajari misalnya, hanya sekadar dihafal dan belum sampai pada analisis dan investigasi mendalam dengan melihat kaitannnya langsung dengan kehidupan masyarakat masa kini.


(33)

Berdasarkan berbagai persoalan tersebut, penulis memandang pentingnya model pembelajaran yang lebih mengedepankan aspek aktivitas peserta didik dalam setiap interaksi edukatif untuk melakukan konstruksi dan menemukan pengetahuannya sendiri. Hal ini karena nilai yang diajarkan dalam rumpun mata pelajaran PAI adalah religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli, demokratis, santun, disiplin, bertanggung jawab, cinta ilmu, ingin tahu, percaya diri, menghargai keberagaman, patuh pada aturan sosial, bergaya hidup sehat, sadar akan hak dan kewajiban, serta kerja keras. Maka model pembelajaran yang memungkinkan untuk dikembangkan adalah model pembelajaran yang menyediakan kesempatan kepada peserta didik untuk menginternalisasikan nilai-nilai dan tuntunan agama dalam kehidupan nyata di bawah bimbingan dan teladan pendidik.

2. Perumusan Masalah

Bersandar pada latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dipaparkan di awal, maka permasalahan kemerosotan akhlak peserta didik menjadi tanggung jawab bersama yang harus segera dicari pemecahannya. Lembaga pendidikan baik formal maupun non formal dituntut untuk mampu memfasilitasi peserta didik agar mendapatkan pembelajaran PAI dengan baik, sehingga hasilnya dapat terwujud dalam perilaku sehari-hari. Penelitian ini dibatasi pada pengembangan model pembelajaran PAI di MDA sebagai upaya untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik.


(34)

Model pembelajaran PAI yang dikembangkan yaitu untuk peserta didik kelas 3 MDA di wilayah Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Model pembelajaran PAI yang dikembangkan juga dibatasi pada penguatan akhlak (afeksi) peserta didik sehingga tidak secara khusus menguatkan kognisi peserta didik. Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Model

Pembelajaran yang bagaimana yang dapat meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA pada mata pelajaran rumpun Pendidikan Agama Islam?

3. Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada pengembangan model pembelajaran PAI untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA di Kabupaten Pandeglang. Permasalahan penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian berikut ini:

1) Bagaimana kondisi pelaksanaan pembelajaran PAI MDA di Kabupaten Pandeglang pada saat penelitian ini dimulai ?

2) Bagaimana model pembelajaran PAI yang dikembangkan untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA?

3) Bagaimana efektivitas penerapan model pembelajaran PAI yang dikembangkan untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA?


(35)

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu model pembelajaran adaptif-inovatif dalam pembelajaran mata pelajaran rumpun Pendidikan Agama Islam untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA di Kabupaten Pandeglang. Berdasarkan tujuan yang bersifat umum tersebut dijabarkan beberapa tujuan yang lebih khusus.

(a) Mendeskripsikan kondisi objektif proses pembelajaran mata pelajaran rumpun PAI di MDA, yang berkaitan dengan desain, kemampuan dan aktivitas belajar peserta didik MDA, kemampuan dan kinerja guru MDA, serta kondisi sarana, fasilitas, dan lingkungan MDA.

(b) Menghasilkan suatu model pembelajaran mata pelajaran rumpun PAI yang efektif meliputi langkah perencanaan, implementasi dan langkah-langkah evaluasi dalam setting MDA. Model yang dikembangkan mempertimbangkan pembelajaran yang relevan dengan peningkatan akhlak mulia peserta didik.

(c) Mengetahui dan menganalisis efektivitas penerapan model pembelajaran mata pelajaran rumpun PAI yang dikembangkan di MDA dan efektivitas model pembelajaran tersebut dalam meningkatkan akhlak mulia peserta didik.

D. Definisi Operasional

Ada dua variabel yang perlu dirumuskan dalam penelitian ini yakni (1) model pembelajaran Pendidikan Agama Islam, dan (2) akhlak mulia peserta didik. Rumusan definisi operasional kedua variabel tersebut penting untuk memahami


(36)

semua variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian.

(1) Model pembelajaran Pendidikan Agama Islam.

Model pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah tahapan atau prosedur pembelajaran berupa kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan tujuan pembelajaran. Pendidikan

Agama memiliki muatan ajaran iman (keyakinan), ibadah dan mu‟amalah. Kajian

konten keagamaan menuntut peserta didik untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pengkajian konten keagamaan dibarengi dengan upaya penanaman dan perasukan nilai-nilai ajaran tersebut sehingga nilai tersebut membentuk karakter peserta didik. Daradjat, et al., (2001: 172) menyatakan bahwa “pendidikan agama adalah suatu usaha yang secara sadar dilakukan guru untuk mempengaruhi peserta didik dalam rangka pembentukan manusia

beragama”. Pemberian pengaruh pendidikan agama disini sebagai salah satu sarana mendidik peserta didik untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Inti dari materi pendidikan Islam itu adalah Iman (Aqidah), Ibadah, dan Akhlakul Karimah. Secara mendasar ketiga materi pendidikan tersebut harus ditanamkan sejak dini kepada anak, misalnya materi pendidikan keimanan dapat menghantarkan anak untuk mengenali siapa Tuhannya, bagaimana cara bersikap kepada Tuhannya, dan apa saja yang meski mereka perbuat dalam hidup ini. Hal


(37)

ini tentu saja untuk mengikat anak dengan dasar iman, rukun Islam dan

dasar-dasar syari‟ah. (Ulwan, 1981: 151). Materi pendidikan Ibadah, yang

membicarakan seluruh tata peribadatan, bila diperkenalkan sejak dini dan sedikit demi sedikit dibiasakan dalam diri anak, maka kelak mereka akan tumbuh menjadi insan yang bertakwa dan memiliki jiwa takwa (Mahmud, 2000: 102).

Kaitannya dengan terminologi model, Joyce, et.al. (2009), memberi nama tiap-tiap pendekatan sebagai model pengajaran, meskipun salah satu dari beberapa istilah lain, seperti strategi pengajaran, metode pengajaran, atau prinsip pengajaran, telah digunakan. Istilah model yang dipilih oleh Joyce, et.al., (2009) digunakan untuk dua alasan penting. Pertama, istilah model mempunyai makna yang lebih luas daripada suatu strategi, metode, atau prosedur. Istilah model pengajaran mencakup pendekatan pengajaran yang luas dan menyeluruh. Kedua, model pengajaran dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi yang penting, apakah yang dibicarakan adalah tentang mengajar di kelas, atau praktek mengawasi anak-anak. Model pengajaran sering pula disebut sebagai model pembelajaran karena interaksinya terjadi dua belah pihak, antara guru dan peserta didik.

Model pembelajaran Pendidikan Agama Islam didasarkan atas beberapa pendekatan tertentu dalam pembelajaran agama Islam, yang intinya adalah sebagai berikut.


(38)

a) Pendekatan pengalaman (experience approach), yaitu memberikan pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan.

b) Pendekatan pembiasaan (habitual approach), yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk senantiasa mengamalkan ajaran agamanya agar terwujud sikap dan perbuatan yang baik (akhlakul karimah).

c) Pendekatan emosional (emotional approach), yaitu usaha untuk menggugah perasaan dan emosi peserta didik dalam meyakini, memahami dan menghayati akidah Islam serta memberi motivasi agar peserta didik ikhlas dalam mengamalkan ajaran agamanya, khususnya yang berkaitan dengan akhlakul karimah.

d) Pendekatan rasional (rational approach), yaitu usaha memberikan peranan rasio dalam memahami dan menerima ajaran agama Islam.

e) Pendekatan fungsional (functional approach), yaitu menyajikan ajaran agama Islam dengan menekankan kepada segi kemanfaatannya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkat perkembangannya.

f) Pendekatan keteladanan (modeling approach), yaitu menyuguhkan keteladanan, baik yang langsung melalui penciptaan kondisi pergaulan antara personal sekolah, perilaku pendidikan dan tenaga kependidikan lain


(39)

yang mencerminkan akhlak terpuji, maupun yang tidak langsung melalui suguhan ilustrasi/ tontonan berupa kisah-kisah keteladanan.

(2) Akhlak mulia peserta didik

Akhlak mulia peserta didik adalah perilaku dan sifat baik yang harus dimiliki oleh peserta didik, yang sesuai dengan prinsip-prinsip akhlak mulia. Akhlak adalah “keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dulu)” (Miskawaih dalam Zahruddin dan Sinaga, 2004: 4). Keadaan ini terbagi dua: ada yang berasal dari tabiat aslinya, namun ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang-ulang. Serta tidak menutup kemungkinan pada mulanya tindakan-tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan kemudian dilakukan terus menerus, maka jadilah suatu bakat dan akhlak.

Kemudian “akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dahulu)” (Al Ghazali dalam Zahruddin dan Sinaga, 2004: 4). Jika keadaan pada jiwa itu melahirkan tindakan-tindakan yang baik menurut akal dan agama, keadaan itu disebut sumber akhlak yang baik. Akan tetapi, jika melahirkan tindakan-tindakan yang buruk, keadaan itu disebut sumber akhlak yang buruk.

Adapun ilmu Akhlak adalah tindakan yang berhubungan dengan tiga unsur penting sebagai berikut: (1) kognitif, yaitu pengetahuan dasar manusia melalui potensi intelektualitasnya; (2) afektif, yaitu pengembangan potensi akal manusia


(40)

melalui upaya menganalisis berbagai kejadian sebagai bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan; (3) psikomotorik, yaitu pelaksanaan pemahaman rasional ke dalam bentuk perbuatan yang konkret (Saebani & Hamid, 2010: 16).

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Fokus penelitian ini adalah pengembangan model pembelajaran Pendidikan Agama Islam untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA. Berdasarkan hal itu, manfaat yang bisa diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. a) Memberikan masukan khususnya bagi guru mata pelajaran rumpun PAI dan

hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam mengembangkan model pembelajaran mata pelajaran rumpun Pendidikan Agama Islam di MDA.

b) Menjadi masukan bagi pihak pembuat kebijakan pendidikan (Kepala MDA, Kepala Kantor Kemenag, Kanwil Kemenag dan Kemenag), bahwa hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan bentuk implementasi kurikulum dan pembelajaran mata pelajaran rumpun Pendidikan Agama Islam di MDA.

c) Bahan pertimbangan bagi pihak pengembang kurikulum (lembaga atau instansi terkait) dalam mengembangkan dan menyebarluaskan model


(41)

pembelajaran mata pelajaran rumpun PAI di MDA.

d) Menjadi acuan bagi para peneliti lanjutan yang berkenaan dengan implementasi kurikulum dan pembelajaran mata pelajaran rumpun Pendidikan Agama Islam untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA.

2. Manfaat Teoretis

Dari penelitian ini dapat ditemukan sejumlah dalil atau kaidah khususnya yang berkenaan dengan pengembangan model pembelajaran mata pelajaran rumpun Pendidikan Agama Islam, yang dapat meningkatkan akhlak mulia peserta didik di MDA. Munculnya kaidah tersebut dapat dilihat dari perspektif teori kurikulum, teori pembelajaran, teori pendidikan agama Islam dan akhlak mulia serta interaksi antar individu dalam proses pembelajaran. Selanjutnya kaidah tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu dasar dalam studi yang berkaitan dengan upaya untuk menghasilkan suatu teori baru sesuai dengan karakteristik-karakteristik lapangan.

Manfaat teoretis lainnya adalah bahwa dalil atau kaidah yang dirumuskan berdasarkan temuan-temuan penelitian ini, dapat digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena pengembangan model pembelajaran mata pelajaran rumpun PAI di MDA, yang tidak menutup kemungkinan akan berkembang di kemudian hari. Hal ini penting untuk


(42)

mengantisipasi terjadinya pengembangan model pembelajaran dan implementasi kurikulum yang tidak sesuai di lapangan.


(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini berisi uraian tentang Metode Penelitian, Prosedur Penelitian, Subjek dan Lokasi Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis Data,

A. Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu produk berupa model pembelajaran untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) kelas 3 di Kabupaten Pandeglang.

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, diperlukan berbagai informasi dan data-data sebagai bahan analisa dari objek yang diteliti, baik informasi dan data internal maupun eksternal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan (Research and Development) atau R&D berdasarkan pendapat Borg dan Gall (1979 : 624). Penelitian pengembangan dipakai sebagai pendekatan mengingat tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan model pembelajaran. R&D adalah penelitian yang menekankan pada proses atau tahapan untuk mengembangkan suatu produk (model) baru atau


(44)

menyempurnakan produk model pembelajaran yang telah ada. Penelitian ini secara spesifik digolongkan ke dalam jenis penelitian pengembangan program pengajaran (developing of instruction program). Sugiyono (2008 : 407) berpendapat bahwa siklus penelitian dan pengembangan meliputi studi hasil – hasil penelitian itu sendiri untuk mengembangkan produk tersebut berdasarkan temuan lapangan.

B. Prosedur Penelitian

Dalam penelitian pengembangan ini prosedur yang akan digunakan berpedoman pada langkah-langkah menurut Borg dan Gall (1979 : 626) yang mengemukakan 10 langkah, yaitu:

1) Research and information collecting (penelitian dan pengambilan informasi)

termasuk didalamnya review literature, observasi kelas, dan persiapan laporan. Review literature yang dilakukan untuk menentukan wilayah pengetahuan mana penelitian dilakukan, sehingga dapat menunjang pengembangan model pembelajaran.

2) Planning (perencanaan), kegiatan didalamnya adalah merencanakan desain

pembelajaran, menetapkan tujuan, menetapkan urutan pelajaran yang dilakukan, uji kelaikan dalam skala kecil tentang model pembelajaran yang dikembangkan.


(45)

3) Develop preliminary form of product (mengembangkan bentuk model awal).

Tahapan ini adalah mempersiapkan materi pelajaran, buku yang akan digunakan, media dan evaluasi. Mengembangkan bentuk awal model yang dimaksud adalah menyusun model pembelajaran PAI integrated-tematik. 4) Preliminary field testing (uji coba model awal terbatas). Kegiatan yang

dilakukan hanya di 1 MDA dengan subjek dan kelas tertentu.

5) Main product revision (perbaikan terhadap model awal hasil uji coba).

Perbaikan dilakukan berdasarkan temuan, saran, dan dari hasil uji coba terbatas.

6) Main field testing (uji coba model yang sudah diperbaiki secara lebih luas).

Uji coba lebih luas melibatkan 3 MDAyang semuanya berada di Kabupaten Pandeglang.

7) Operasional product revision (revisi produk operasional, yaitu merevisi

kembali model pembelajaran berdasarkan hasil uji coba secara luas. Tahap ini dilakukan bekerjasama dengan guru mata pelajaran rumpun PAI MDA untuk menghasilkan model pembelajaran integrated-tematik yang ideal.

8) Operasional field testing (melakukan pengujian lapangan operasional) yaitu

uji coba model secara lebih banyak melibatkan sekolah dan subjek. Langkah ini mengumpulkan data angket, observasi, dan hasil wawancara untuk kemudian dianalisis.


(46)

9) Final product revision (revisi produk akhir). Perbaikan model akhir dilakukan

berdasarkan hasil uji coba model lebih luas sehingga di dapat produk model pembelajaran yang baru.

10)Dessimination and distribution (penyebaran dan distribusi produk baru).

Tahap ini untuk memonitoring sebagai control terhadap kualitas model.

Dari 10 langkah research and development yang dikembangkan oleh Borg dan Gall diatas, hanya 7 langkah yang diadaptasikan pada penelitian ini, yakni langkah ke 1 sampai dengan langkah ke 7. Ke tujuh langkah tersebut di sederhanakan menjadi 3 langkah pokok yang sudah di modifikasi, yaitu : (1) studi awal; (2) perencanaan dan pengembangan model; (3) pengujian model (Sukmadinata, 2008 : 189), dengan uraian sebagai berikut :

Pertama, studi pendahuluan (pre survey). Pada tahap studi pendahuluan

ini peneliti melakukan persiapan untuk pengembangan sebuah model pembelajaran. Ketiga tahap yang dimaksud adalah ;

a) Tahap studi kepustakaan. Pada tahapan ini, peneliti melakukan kajian untuk menelaah konsep dan teori yang berkenaan model pembelajaran PAI dengan berbagai pendekatannya, karakteristik pengajaran PAI dan karakteristik peserta didik Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA). Konsep dan teori tersebut dikaji melalui buku, hasil penelitian, artikel, makalah, dan sumber-sumber lainnya yang berkaitan.

b) Tahap survei lapangan. Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan data berkenaan dengan kondisi pembelajaran PAI di kabupaten Pandeglang.


(47)

Fokus utama dalam survey ini adalah bagaimana pengembangan diri guru PAI, bagaimana desain dan implementasi pembelajaran PAI saat ini, bagaimana pemahaman dan minat belajar peserta didik terhadap mata pelajaran PAI, bagaimana kemampuan dan kinerja guru PAI dan pemanfaatan berbagai sumber belajar yang mendukung peningkatan pemahaman (understanding) dan minat belajar peserta didik dalam mata pelajaran PAI. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, studi dokumen, pengamatan dan angket.

Kedua, perencanaan dan pengembangan model pembelajaran, pada tahap

ini hal yang peneliti lakukan adalah :

a) Tahap penyusunan draft pengembangan. Berangkat dari hasil survey dan studi kepustakaan tersebut, maka peneliti melakukan penyusunan draft pengembangan. Hasil yang peneliti harapkan dari tahap ini adalah tersusunnya sebuah draft model pengembangan yang berisikan model pembelajaran PAI yang dapat meningkatkan akhlak mulia peserta didik kelas 3 Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) dalam mata pelajaran PAI.

b) Draf model ini kemudian direview dalam sebuah pertemuan dengan para ahli dalam bidang yang akan dikembangkan dalam hal ini para promotor. Hasil review ini kemudian dijadikan dasar untuk melakukan penyempurnaan draft model yang siap untuk diuji cobakan secara terbatas.

Ketiga, pengujian model pembelajaran. Setelah melakukan perbaikan atas


(48)

seminar proposal, maka draft model hasil perbaikan tersebut diuji cobakan. Ada tiga tahap dalam proses pengembangan model pembelajaran dalam penelitian ini yaitu tahap uji coba terbatas, tahap uji coba luas, dan tahap uji validasi.

Tahap pertama adalah tahap uji coba terbatas. Pada tahap ini, peneliti hanya menetapkan satu Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) sebagai subjek penelitian yaitu Madrasah Diniyah (MDA) Jami’atul Muslimin di Pandeglang. Sebelum uji coba di mulai, peneliti mengundang para guru mata pelajaran PAI untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan mengikuti format yang berlaku di madrasah tetapi skenario pembelajarannya harus mengikuti acuan draft model yang dikembangkan oleh peneliti. Selama uji coba ini, peneliti melakukan pengamatan, pencatatan dan pertemuan dengan guru setiap pertemuan selesai. Hasil pencatatan, pengamatan dan pertemuan tersebut kemudian dijadikan dasar untuk melakukan perbaikan draft model secara terus menerus hingga ditemukan model yang ideal.

Tahap kedua adalah uji coba luas. Uji coba luas ini peneliti lakukan dengan melibatkan Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) yang lebih banyak dibanding dengan uji coba terbatas. Uji coba luas ini juga bertujuan untuk proses pengembangan model pembelajaran yang diinginkan. Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) yang ditetapkan sebagai lokasi uji coba luas tersebut ditentukan dengan menggunakan purposive sampling, karena dalam penelitian ini semua MDA berstatus sama atau belum ada MDA yang telah terakreditasi.

Tahap ketiga adalah Uji validasi. Pada tahap ini, peneliti melakukan pengujian keampuhan model pembelajaran yang dikembangkan berupa model


(49)

pembelajaran PAI untuk meningkatkan akhlak mulia bagi peserta didik kelas 3 Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) di Kabupaten Pandeglang.

Setelah dilakukan uji validasi yang menghasilkan produk baru yang dapat dipraktikkan pada madrasah dengan level yang sama, langkah disseminasi tidak perlu dilakukan dalam penelitian ini, karena langkah ini tidak menjadi tujuan dalam penelitian ini.

Atas dasar langkah-langkah yang dikembangkan oleh Borg and Gall, berdasarkan hasil studi pendahuluan (langkah 1) kemudian disusun suatu perencanaan (langkah 2) dan uji kemungkinan dalam skala kecil. Langkah berikutnya adalah pengembangan produk (langkah 3). Hasilnya diuji coba dan dilakukan revisi sampai mendapat hasil yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan (langkah 4 dan 5).

Dalam pelaksanaan penelitian ini akan dibatasi hanya sampai dengan langkah tujuh (7) yaitu dihasilkannya model setelah mengalami dua kali uji lapangan (langkah 4 dan langkah 6). Untuk lebih jelasnya prosedur penelitian pengembangan model pembelajaran untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik kelas 3 MDA di Kabupaten Pandeglang digambarkan pada bagan 3.1.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah guru dan peserta didik MDA yang berada di wilayah Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Dipilihnya Kabupaten Pandeglang sebagai lokasi penelitian, karena Pemerintah Daerah Kabupaten


(50)

Pandeglang menjadikan MDA sebagai program wajib belajar yang diwajibkan bagi peserta didik pada tingkat pendidikan dasar sejak kelas 3 s/d kelas 6 SD, dan sertifikat kelulusan yang dikeluarkan oleh MDA (dalam hal ini Kantor Kementrian Agama Kabupaten Pandeglang) menjadi syarat untuk masuk ke jenjang pendidikan berikutnya (SMP/MTs).

Adapun jumlah peserta didik yang dijadikan subyek penelitian adalah sebanyak 150 orang responden. Rinciannya 100 orang responden peserta didik digunakan pada penelitian awal, 25 orang responden pada uji terbatas dan 100 orang responden pada uji luas berasal dari 4 MDA dengan jumlah respondennya masing-masing sebanyak 25 orang peserta didik. Adapun guru yang dijadikan subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 10 orang responden. Untuk lebih jelasnya, berikut akan disajikan tabel-tabel tentang peserta didik dan guru yang dijadikan sebagai subjek peneliti

Tabel 3.1. Peserta Didik pada Penelitian Awal

No Jumlah Responden Nama Madrasah Kecamatan

1 25 orang MDA MII Cidangiang Majasari

2 25 orang MDA Al-Mubtadiin Kaduhejo

3 25 orang MDA Al Fatimah Cipeucang

4 25 orang MDA Masyariqul Anwar Sepan Labuan

Jml 100 orang 4 MDA 4 kecamatan

Tabel 3.2. Responden sebagai Subjek Penelitian Uji Terbatas

No Jumlah Responden Nama Madrasah Kecamatan 1 25 orang MDA Jami’atul Muslimin Cipuecang


(51)

Tabel 3.3. Responden sebagai Subjek Penelitian Uji Luas

No Nama Madrasah Kecamatan

1 MDA MII Cidangiang Majasari

2 MDA Al-Mubtadiin Kaduhejo

3 MDA Al Fatimah Cipeucang

4 MDA Masyariqul Anwar Sepan Labuan

Jml 4 MDA 4 Kecamatan

Tabel 3.4. Guru sebagai Subjek Penelitian

No Jumlah Guru Nama Madrasah Kecamatan Keterangan

1 1 orang MDA MII Cidangiang Majasari Digunakan juga sebagai subjek penelitian pada

uji luas

2 1 orang MDA

Al Mubtadin

Kaduhejo

3 1 orang MDA

Al Fatimah

Cipeucang

4 1 orang MDA

Masyariqul Anwar Sepan

Labuan

5 1 orang MDA Raudhatul Athfal Majasari (*)Digunakan sebagai subjek dalam uji terbatas

6 1 orang MDA

An Nasihin

Majasari

7 1 orang MDA Assarbiniyah Kaduhejo

8 1 orang MDA

Raudhatul Irfan

Kaduhejo

9 1 orang MDA

Jami’atul Muslimin (*)

Cipeucang

10 1 orang MDA Teluk Labuan

Jml 10 orang 10 MDA 4 Kecamatan

Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pertimbangan pemanfaatan teknik ini adalah : (a) karakteristik peserta didik yang siap untuk menjadi subjek perlakuan, yaitu subjek sudah mahir menulis dan memberikan respon tertulis; (b)


(52)

kelas yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelas 3 MDA (setara dengan kelas 5 SD); (c) keberadaan MDA yang mewakili karakteristik geografis Kabupaten pandeglang yang berbeda-beda (perkotaan, pedesaan/perkampungan, pegunungan, dan pesisir).

Arikunto ( 2006 : 139) menyatakan bahwa purposive sampling didasarkan atas adanya tujuan tertentu, yang dilakukan dengan beberapa pertimbangan, misalnya alasan keterbatasan waktu, tenaga, dan dana, sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar dan jauh, dengan syarat-syarat sebagai berikut :

a. Pengambilan sampel harus didasarkan atas cirri-ciri, sifat-sifat, atau karakteristik tertentu, yang merupakan cirri-ciri pokok populasi.

b. Subjek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subjek yang paling banyak mengandung cirri-ciri yang terdapat pada populasi (key

subjectis).

c. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam studi pendahuluan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara:

1) Observasi. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi awal MDA secara keseluruhan yang dijadikan sebagai subjek penelitian. Disediakan pula Lembar penilaian yang dikembangkan untuk mengukur akhlak mulia peserta didik, aspek – aspek yang dinilai adalah sebagai berikut berikut :


(53)

kedisiplinan, kebersihan, sopan santun, hubungan social, kejujuran, dan kegiatan ibadah dari masing-masing peserta didik MDA

2) Angket. Penyebaran angket dilakukan pada saat peneliti melakukan survei awal untuk melihat kondisi awal pembelajaran PAI di MDA di wilayah Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Angket disebarkan pada peserta didik dan guru. Angket responden dari peserta didik berisi seputar pemahaman mereka terhadap mata pelajaran PAI, kemampuan responden MDA Kelas 3 pada Mata Pelajaran PAI, minat belajar peserta idik pada mata pelajaran PAI kelas 3 MDA.

Adapun angket guru berisi seputar latar belakang pendidikan, pengembangan diri, perencanaan pembelajaran PAI, implementasi PAI, kemampuan guru, kinerja guru, dan kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan. Angket juga dibagikan kepada responden dan guru setelah uji coba model pada uji terbatas dan luas.

3). Dokumentasi. Kegiatan ini berkisar pada profil madrasah, visi dan misi, serta kondisi sekolah yang memungkinkan untuk dilakukannya penelitian. 4). Wawancara. Kegiatan ini dilakukan pada ketua yayasan, kepala madrasah,

guru, dan peserta didik. Kegiatan ini dipadukan diskusi bersama dosen untuk menyamakan persepsi tentang model pembelajaran yang akan dikembangkan.


(54)

Untuk teknik analisis data, Mc Niff (1992 : 85) menyatakan bahwa analisis data merupakan upaya peneliti untuk dapat memahami data penelitian dalam situasi apa adanya/nyata. Prinsipnya adalah multiguna untuk dapat digunakan dalam pemecahan masalah penelitian. Dalam penelitian ini digunakan analisis data kualitatif dengan metode deskriptif evaluatif. Data kuantitatif berupa peningkatan pemahaman peserta didik dianalisis dengan menggunakan Uji t. Uraiannya adalah sebagai berikut :

1) Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan data yang dihasilkan dari observasi dan angket pada penelitian awal dan selama proses pengembangan model berlangsung. Hasil analisis yang dilakukan dari observasi dan angket adalah untuk mengetahui respon peserta didik dan guru, memperoleh informasi tambahan dari peserta didik dan guru, yang terkait dengan efektivitas model pembelajaran yang akan dikembangkan, dan peningkatan akhlak mulia peserta didik.

2) Metode evaluatif digunakan untuk mengevaluasi proses dan hasil ujicoba pengembangan model. Model dikembangkan melalui ujicoba dan setiap ujicoba diadakan evaluasi, Berdasarkan temuan-temuan hasil ujicoba tersebut diadakan penyempurnaan (Sukmadinata, 2005: 167).

3) Data kuantitatif diperoleh melalui hasil uji coba model pembelajaran. Data di analisis dengan Uji t untuk mengetahui perbedaan rata-rata peningkatan pemahaman peserta didik pada setiap tahapan.


(1)

Mc Niff, Jean. (1992). Action Research : Principle and Practice. London : Macmilla Education.

Milhollin, C. C. (2011). Integration in An Integrated Learning System: Does it Make a Difference? An Observational Research Study.[Online].Tersedia: http://Cassiamilhollin@doglas.k2.ga.us [12 Febrauari 2011].

Muhaimin, et al. (2008). Pengembangan Model KTSP pada Sekolah dan Madrasah. Jakarta: PT RajagrafindoPersada.

__________(2002). Paradigma Pendidikan Islam Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. __________(2003). Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

__________(2007). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

__________(2009). Rekonstruksi Pendidikan Islam, dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Muhammad, A. (2006). PAI, Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Naim, N dan Patoni, A. (2007).Materi Penyusunan Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Nasution, S. (1996) . Beberapa Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara.

Nelson, M. (2005).How Does the Use of an Integrated Learning System Effect Failing/Truant Students and Classroom Dynamics in A Repeat Pre-Algebra

Class. [Online].Tersedia:

http://academics.georgiasouthern.edu/cet/workshops/mot/brnstrmng.doc.pdf [12 Februari 2011].

Nurhadi. (2004). Kurikulum 2004; Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta : Grasindo Patoni, A. (2007). Materi Penyusunan Desain Pembelajaran PAI. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Patten, L. K. (2011). The Integrated Learning System: An Althernative Path to

Academic Achievement. [Online].Tersedia:

http://www.wooster.edu/education/courses/260/syllabus.pdf [3 Februari 2011].


(2)

Paul, H. (1988). Management of Organizational Behavior Utilizing Human Resourches. New York: Printice-Hall.

Peraturan Bupati Pandeglang Nomor 01 Tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Wajib Belajar Madrasah Diniyah Awaliyah.

Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Wajib Belajar Madrasah Diniyah Awaliyah

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006 tentang standar isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 dan 23 tahun 2006.

Poze, T. (2006). Integrated Learning (Secondary Connected Outcomes Group).In International Journal of Education Research, XXIX. May 8 (2006), 20-29. [Online].Tersedia: http://www.emeraldinsight.com/Insight/viewContent [7 Februari 2011].

Ramayulis. (2002). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia

_________(2005). Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia Rasdianah.(1995). Butir-butir Pengarahan Dirjen Binbaga Islam pada Pelatihan

Peningkatan Wawasan Ilmu Pengetahuan dan Kependidikan Bagi Dosen PAI Di Perguruan Tinggi Umum, 11 Desember.

Rasyad, A. (2003). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Uhamka Press dan Yayasan PEP-Ex 8.

Reigeluth, C. M. (1983). Instructional-Design Theories and Models: An Overview of Their Current Status. Volume I. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers

Richmond, E.D. danJanathan.(2007). Moral and Character Education.Review of Educational Research 1934; 4; 507.[Online].Tersedia: http://www.wwwords.co.uk/pdf/vatidate.asp [9 Februari 2011].Rogers, Everett. M. (1962). Diffusion of Innovations. New York ; Mac Millan Pub. Co., Inc.

Romiszowski, A.J. (1981). Designing Instructional Systems. London: Kogan Page Ltd.

Roqib, M. (2009). Ilmu Pendidikan Islam, Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Jogyakarta: LkiS


(3)

Ryan, K. (1998). Teacher Education and Moral Education. Journal of Teacher

Education; 39; 18.[Online].

Tersedia:http://jte.sagepub.com/cgi/content/abstract/39/5/168 [4 Februari 2011].

Saebani, B. A, et al. (2010). Ilmu Akhlak. Bandung: Pustaka Setia. Sagala, S. (2007). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta

Salamah.(2004). Pengembangan Model Pembelajaran Bidang Studi Pendidikan Agama Islam untuk Meningkatkan Akhlak Siswa SMU di Banjarmasin. Tesis. TidakDiterbitkan. UPI: Bandung

Sanjaya, W. (2006). Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

____________(2008). Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Santoso, S.S dan Kristanti, Ch. M.. (2000). Kenakalan Remaja Di Propinsi Jawa Barat Dan Bali. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. [Online].Tersedia:http://ejournal.litbang.depkes.go.id. Vol 10, No 4 Des (2000). [14Januari 2013].

Schubert, W. H. (1986). Curriculum, Perspective, Paradigm, and Possibility. USA: MacMillan Pub. Comp.

Shaleh, A.R. (2005). Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Shihab, M. Q. (1997). Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung. Penerbit Mizan.

Silver, H. F. et al. (2007). The Strategic Teacher. USA: Thoughtful Ed. Press.

Slavin, R. E. (1995). Cooperative Learning. Second edition. Boston: Allyn and Bacon.

Steenbrink, K A. (1986).Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalamKurun Modern. Jakarta: LP3ES.

Sudrajat, Ajat. (t.t). Membangun Kultur Akhlak Mulia di Kalangan Siswa Sekolah Dasar dan Menengah di Indonesia. FISE UNY ; Prodi Ilmu sejarah.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta


(4)

Sukmadinata, N.S. (1997). Pengembangan Kurikulum Teori danPraktek Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sukmadinata, N.S. (2005) Metodologi Penelitian. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sulaiman, F. H. (2000). Sistem Pendidikan menurut Al-Ghazali. Jakarta: Dea Press. Suparlan, et al. (2009). Pembelajaran Aktif, Kreatif, efektif dan Menyenangkan.

Bandung: Genesindo.

Suprayogo, I, et al. (2003).Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Supriawan, D dan Surasega, A.B. (1990). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: FPTK-IKIP Bandung.

Surat Keputusan Kepala Kanwil Departemen Agama Kabupaten Pandeglang Nomor. Kd.28.02?PP.00.8/2010.

Suryanti, et.al., (2008). Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surabaya. Universitas Negeri Surabaya.

Syafaat, A., et al. (2008). Peranan Pendidikan Agama Islam Dalam Mencegah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Taba, H. (1962). Curriculum Development, Theory and Practice. USA: Harcourt, Brace & World, Inc.

Tafsir, A. (2005) Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

_________(2006). Filsafat Pendidikan Islam, Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu, Memanusiakan Manusia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

_________(2007). Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Tegeh, I.M. (2009). Perbandingan Prestasi Belajar Mahasiswa yang Diajar dengan Menggunakan Problem Based-Learning dan Ekspositori yang Memiliki Gaya Kognitif Berbeda. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.


(5)

____________(2008). Kebijakan Pendidikan. Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik. Jogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tim Pengembang PGSD. (1997). Pembelajaran Terpadu D-II & S2 PGSD. Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Tohirin. (2005). Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Press.

Tyler, R. W. (1949). Basic Principles of Curriculum and Instruction. London: The University of Chicago Press.

Undang-undangNomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung: Fokus Media.

Uno, H. B. (2008). Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Vandenplas, C. (2000). Children’s Books and Films as Media for Moral Education: Some Cognitive-Developmentally Orientated Considerations. School

Psychology International, Vol. 11;

31.[Online].Tersedia::http://jte.sagepub.com/cgi/content/abstract/11/1/31 [4 Februari 2011].

Vare, W. J. (2011). Moral Education for the Gifted: a Confluent Model. [Online].Tersedia: http://jte.sagepub.com/cgi/content/abstract/23/3/487 [4 Februari 2011].

Wadsworth, B. J. (1971). Piaget’s Theory of Cognitive and Affective Development. New York: Longman Inc.

Wena, M. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara.

White, R. C. (2005). Curriculum Innovation. (Terjemahan). Jakarta: Grasindo.

Winataputra, U. S. (2003). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

Witrock, M. C. et al. (1986). Handbook of Research on Teaching. New York: MacMillan Pub. Com.

Ya’qub, Hamzah. (1983). Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (Suatu Pengantar). Bandung : Diponegoro


(6)

Yamin, M. (2007). Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada.

Yasin, A.F. (2008). Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam .UIN-Malang Press.

Zahruddin AR dan Sinaga, H. (2004). Pengantar Studi Akhlak. Jakarta : Raja Grafindo Press.

Zais, R. S., (1976). Curriculum Principles and Foundations. New York: Thomas Y. Crowell Harper & Row. Publisher.

Zuhairini dan Ghofir, A. (2004). Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Malang: UM Press.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Kegiatan Muhadharah Diniyah terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Aqidah Akhlak di MTs Hidayatut Thalibin II Bogor

8 57 131

Pengaruh bimbingan akhlak terhadap akhlak santri di Madrasah Diniyah Awwaliyah Baitussalam Yayasan Baitussalam Kramat Jati Jakarta Timur

1 13 61

Pengembangan Kurikulum Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah Di Kabupaten Bogor

10 108 182

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN PERMAINAN BAHASA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN KOMUNIKASI SISWA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INGGRIS DI MADRASAH TSANAWIYAH.

2 8 80

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN: Studi Pengembangan Model Pembelajaran pada Mata Pelajaran Bahasa Arab di Madrasah Ibtidiyah di Kabupaten Lamongan.

0 25 76

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP.

3 18 98

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN LIFE SKILLS PESERTA DIDIK :Studi pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Pertama.

0 1 77

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCE UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK PADA MATA PELAJARAN FISIKA SMA KELAS X.

3 30 417

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN AIR (AUDITORY INTELLECTUALY REPETITION) DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN PESERTA DIDIK PADA MATA PELAJARAN PAI DI SMP NEGERI 13 SURABAYA.

0 1 131

Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran Konsiderasi untuk Meningkatkan Moral Peserta Didik pada Mata Pelajaran Akidah Akhlak di MTs. Madani Alauddin PaoPao Kab.Gowa - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 2 96