Pemikiran sufistik Abdul Qadir Jailani

(1)

PEMIKIRAN SUFISTIK

SYEKH ABDUL QADIR JAILAINI

Makalah

Theologi Islam dan Tasawuf

Dosen Pengampu: Dr. In’amuzzahidin M. Ag

Disusun Oleh:

1. Nanang Qasim (1600118034)

2. Nur Hadi (1600118035)

3. Zaimah (1600118042)

PASCASARJANA

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG


(2)

A. Latar Belakang

Tasawuf berasal dari kata shafa yang berarti suci, bersih, atau murni. Pandangan lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shaff yang berarti barisan atau ash-shufu berarti buku atau wol kasar.

Sedangkan, orang yang bertasawuf adalah orang yang mensucikan dirinya lahir dan batin dalam suatu pendidikan etika dengan menempuh jalan atas dasar didikan tiga tingkat dalam istilah tasawuf, yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli.

Orang yang sudah mencapai tingkat-tingkat tersebut, berarti sudah mencapai tingkat sufi. Diantara tokoh-tokoh sufi yang terkenal adalah ibnu Taimiyah, al-Ghazali, Syekh Siti Jenar, Abdul Qadir Jailani, dan lain sebagainya.

Salah satu diantaranya yaitu Abdul Qadir Jailani yang terkenal dengan sebutan Shulthanul Awliya’. Perjalanan Abdul Qadir Jailani memperoleh gelar sufi tidaklah mudah. Akan tetapi, terdapat banyak rintangan dan amalan-amalan yang harus dilakukan untuk mencapai taraf sufi.

Oleh karena itu, dalam makalah ini akan kami jelaskan bagaimana kehidupan Abdul Qadir Jailani dan bagaimana pemikiran sufistik Abdul Qadir Jailani.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana biografi Abdul Qadir Jailani?

2. Bagaimana pemikiran sufistik Abdul Qadir Jailani?

C. Pembahasan

1. Biografi Abdul Qadir Jailani

Nama lengkap Abdul Qadir Jailani yaitu Muhyi al-Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih al-Jailani. Beliau lahir di desa Jailan/Jilan/Kilan/al-Jil pada Ramadhan 470 H.1 Nama desa tempat lahir

Beliau kemudian dinisbatkan pada nama akhir beliau. Beliau juga mendapat gelar Suthanul Awliya (pemimpin para wali).2

Ibunya bernama Syarifah Fatimah binti Sayid Abdillah al-Shuma’i al-Zahid bin Abi Jamaludin Muhammad bin Sayid Thahir bin Sayid abi

1 Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Biografi Tokoh-tokoh Sufi), Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 169


(3)

al-Aha’ Abdullah bin Sayid Kamaluddin Isa bin Alaudidin, Muhammad al-Jawad bin Sayid Ali Rihda bin Sayid Musa al-Khadim bin Sayid Ja’far al-Shadiq bin Sayid Muhammad al-Baqir bin Sayid Zainal Abidin bin Sayid al-Husain bin Sayid Ali bin Abi Thalib.3

Abdul Qadir Jailani dilahirkan dari pasangan suami isteri yang ahli sufi. Kedua orangtuanya merupakan keturunan Nabi, sehingga Beliau mempunyai garis keturunan Nabi. Akan tetapi, sejak kecil Beliau sudah hidup sebagai anak yatim karena ayahnya meninggal ketika Beliau masih dalam kandungan.

Sejak kecil Abdul Qadir Jailani dikenal sebagai seorang pendiam, qana’ah, suka ber-tafakur dan sering melakukan sesuatu agar lebih baik. Pengalaman ghaib sudah dialami sejak umur 18 tahun.4 Bahkan, Beliau

dibesarkan dalam lingkungan sufi yang hidup secara sederhana dan ikhlas. Beliau sangat mudah meneteskan air mata, rendah hati, dermawan, menolong karena Allah, dan lain sebagainya.

Beliau bermahdzab Hambali dan menjadi guru besar pada mahdzab tersebut. Beliau mempunyai akidah yang akhlus sunnah mengikuti jalan Salafush Shalih. Selain itu, Beliau juga mempunyai banyak keutamaan dan karamah.5

Keistimewaan Abdul Qadir Jailani tersebut nampak semenjak beliau lahir (1 Ramadhan), beliau juga melakukan puasa dengan tidak menetek selama siang hari. Hal ini dibuktikan dengan perkataan Sayyidah Fatimah, “semenjak aku melahirkan anakku, ia tidak pernah menetek di siang bulan Ramadhan.” Riwayat lain menyakatan bahwa suatu ketika, pada saat cuaca mendung, orang-orang tidak mengetahui waktu sudah masuh berbuka atau belum. Kemudian, orang-orang tersebut bertanya kepada Sayyidah Fatimah karena orang-orang tahu bahwa anaknya (Abdul Qadir Jailani) tidak menetek pada siang hari. Dan pada

3 Muslih Abddurahman, al-Burhani, Semarang: Toha Putra, tth, hlm. 14 4 Samsul Munir Amin, Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi, hlm. 246


(4)

saat itu, Abdul Qadir Jailani sudah menetek, berarti sudah menunjukkan waktu berbuka.6

Pada tahun 488-551 H Beliau mengembara ke Baghdad untuk menuntut ilmu. Setalah melalui pendidikan tersebut, Beliau memulai perjalanan sufi hingga meninggalkan Baghdad. Kemudian, kembali ke Baghdad untuk mengelola madrasah pemberian Abu Sa’ad al-Muharrimi. Beliau mengabdikan dirinya untuk mencari dan mengamalkan ilmu. Akhirnya, Beliau wafat pada tanggal 10 Rabi’ul Akhir tahun 561 H pada usia 91 tahun dan dimakamkan di Bab al-Azaj, Baghdad.7

Guru dan Murid

Guru-guru beliau antara lain al-Qadhi’ Abu Sa’id al-Mubarak, Syaikh Abu Hasan Ali bin Abi Yusuf al-Quraisyi, yaitu guru-guru yang mempunyai sambungan berantai dan langsung hingga Muhammad al-Baqir dan kakeknya, Sayyidina Husain (cucu Rasulullah). Sedangkan, guru dalam bidang tasawuf antara lain Abu Nashr Muhammad bin al-Banna, Abu Khair Muhammad bin Muslim ad-Dabbas, dan lain sebagainya.8

Adapun murid-murid beliau yang banyak terkenal seperti al-Hafizh Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam fi Kalami Khairil Anam, Syaikh Qadamah penyusun kitab Fiqh al-Mughni.9

Karya-karya

Karya-karya Abdul Qadir Jailani diantaranya adalah:10

a. Tafsir al-Jilani i. ar-Rasael

6 Zainur Rafiq, Biografi Syekh Abdul Qadir Jailani, Jombang, Darul Hikmah, 2011, hlm. 41

7 Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Biografi Tokoh-tokoh Sufi), Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 176

8 Samsul Munir Amin, Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi, Jakarta: Amzah, 2008, hlm. 246 9 Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Biografi Tokoh-tokoh Sufi), Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 172


(5)

b. al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haq

c. Futuhul Ghaib d. al-Fath ar-Rabbani e. Jala’ al-Khawathir f. Sirr al-Asror g. Malfuzhat

h. Khamsata ‘Asyara Maktuban

j. ad-Diwaan

k. Sholawat wal-Aurod l. Yawaqitul Hikam m. Jalaa al-Khotir n. Amrul Muhkam o. Usul as-Sabaa p. Mukhtasar Ulumudin

2. Pemikiran Sufistik Abdul Qadir Jailani

Sufi menurut Abdul Qadir Jailani adalah orang yang telah merealisasikan makna-makna tasawuf hingga dia berhak disebut sebagai seorang sufi. Sebagaimana pendapat Sa’id bin Musfir al-Qathani yang mengutip Syaikh Abdul Qadir Jailani berkata:

“Sufi diambil dari kata mushafaat yaitu seorang hamba yang disucikan Allah atau orang yang suci dari penyakit jiwa, bersih dari sifat-sifat tercela, menempuh mahdzabnya yang terpuji, mengikuti hakekat, dan tidak tunduk kepada salah seorang makhluk.”11

Beliau menegaskan bahwa seorang sufi yang hakiki adalah seorang yang jernih hatinya dengan memakan makanan yang halal dan jujur kepada Allah. Sebagaimana perkatan beliau:

“Wahai Ghulam, bersihkan hatimu dengan makan makanan yang halal dan kamu telah mengetahui Allah, maka bersihkan nikamtmu, bersihkan pakaianmu, dan bersihkan hatimu karena kamu sudah menjadi seorang yang sufi.”12

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan Abdul Qadir Jailani bertasawuf sehingga menjadi seorang sufi diantaranya yaitu:13

11 Sa’id bin Musfir al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Jakarta: Darul Falah, 2003, hlm. 421

12 Sa’id bin Musfir al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Jakarta: Darul Falah, 2003, hlm. 422


(6)

1. Beliau tumbuh dalam pengakuan keluarga yang shaleh. Ayah, ibu, kakek serta keluarga lainnya mempunyai keshahehan, perilaku yang baik, giat beribadah, dan semcamnya.

2. Pertemuan dengan orang-orang sufi di Baghdad.

3. Ketidakcocokannya dengan perilaku sebagian fuqaha dan penasehat pada zamannya dan orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsu dan keuntungan pribadi. Orang-orang lebih mementingkan kepentingan mahdzab masing-masing tanpa melihat kemaslahatan yang hakiki.

4. Pada zamannya, tasawuf merupakan kedudukan yang tinggi dan mulia karena usaha dari al-ghazali (w.505 h). Abdul qadir jailani pernah hidup bersama dengan al-Ghazali selama 17 tahun ketika berada di Baghdad, sehingga mustahil jika Abdul Qadir tidak berguru kepada al-Ghazali.

Abdul Qadir Jailani hidup di lingkungan sufi, sehingga tidak heran jika beliau menjadi tokoh sufi yang terkenal. Bahkan beliau mengatakan bahwa seorang syaikh tidak akan mencapai puncak spiritual jika tidak memenuhi 12 karakter berikut ini:14

1. Dua karakter dari Allah yaitu sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).

2. Dua karakter Rasulullah, penyayang dan lembut.

3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya. 4. Dua karakter dari Umar, yaitu amar ma’ruf nahi munkar.

5. Dua karakter dari Utsman, yaitu dermawan dan bangun (tahajud) pada waktu orang lain sedang tidur.

6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani. Meskipun Abdul Qadir Jailani merupakan tokoh sufi yang terkenal, tetapi beliau tidak menutup diri untuk tidak menikah dan membenci dunia. Akan tetapi, beliau menolak untuk menikmati keinginan yang menimbulkan tenggelam dan asyiknya hati, sehingga lupa akan Allah dan

14 Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Biografi Tokoh-tokoh Sufi), Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 175


(7)

kehidupan akhirat. Sebagaimana perkataan Abdul Qadir Jailani dalam wacananya:

“Kuasailah dunia, jangan dikuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan dimiliki dunia. Setirlah dunia, jangan diperbudak olehnya. Ceraikanlah dunia, jangan kau diceraikan olehnya. Janganlah engkau dibinasakan olehnya. Tasarufkanlah dunia, karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta adalah harta hamba yang shaleh.”

Abdul Qadir Jailani mengibaratkan dunia seperti air sungai yang selalu mengalir. Begitu pun dengan hawa nafsu manusia yang tamak akan kenikmatan dunia. Beliau beranggapan bahwa kehidupan yang hakiki adalah kehidupan akhirat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kehidupan dunia hanyalah salah satu proses menuju kehidupan akhirat yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Jadi, keduanya harus seimbang (balance). Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Qhashash: 77























































Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.15

Akan tetapi, jika seseorang ingin kehidupan yang benar-benar kekal dan hanya Allah tujuan akhir dan satu-satunya, maka ia melepaskan keduanya (dunia dan akhirat).

15 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2015, hlm. 240


(8)

“Campakkanlah dirimu dan campakkanlah kesenangan dan ciptaan jika kau menghendaki Sang Pencipta. Lepaskanlah sepatu dunia dan akhirat. Nafikanlah dari segala kemaujudan, hal-hal yang akan maujud dan segala dambaan. Lepaskanlah dari segala sesuatu, berbahagialah dengan Allah, campakkanlah kesyirikan dan ikhlaslah dalam kehendak. Mendekatlah kepada-Nya dengan hormat, dan jangan memandang kehidupan akhirat, kehidupan duniawi, orang-orang dan kesenangan.16

Dikatakan, jika seseorang sudah mencapai peringkat (maqam) seperti di atas, maka orang seperti ini telah dihiasi dengan kemuliaan (karamat) dari Allah. Seperti perkataan Abdul Qadir Jailani:

“Barang siapa lebih menyukai tidur dari pada shalat malam, berarti ia memilih sesuatu yang buruk, sesuatu yang mematikannya dan membuatnya acuh terhadap segala keadaan. Sebab tidur adalah saudara kematian. Oleh karena itu Allah tidak tidur, sebab Ia bersish dari segala keaiban. Begitu pula para Malaikat, ia senantiasa dekat kepada Allah, demikian pula para penghuni langit, mereka sangat mulia dan suci. Tidur adalah penghancur kehidupan. Kebaikan terletak pada keberjagaan dan keburukan terletak pada ketiduran dan kekacauan terhadap upaya.17

Konsepsi sufistik Abdul Qadir Jailani adalah konsepsi sufistik yang murni, yang dilandasi oleh ketentuan syari’at Ilahi. Beliau melarang seseorang mencebur dalam dunia sufistik sebelum seseorang itu matang dan kuat syari’atnya. Sebagaimana yang Beliau tuturkan :

“Jangan engkau ambisi menjadi seorang sufi jika engkau belum menjadi musuh kedirianmu, dan benar-benar telepas dari organ tubuhmu dan terlepas dari semua hubungan dengan kemaujudanmu, dengan pendengaranmu, penglihatanmu, langkahmu, perbuatanmu, fikiranmu dan semua yamg wujud sebelum wujud ruhmu dan semua yang maujud setelah tiupan ruh itu, karena yang demikian itu (ambisi) akan menutupi dan menghalangi antara engkau dan Tuhanmu. Sebagaimana kata Nabi Ibrahim terhadap firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya mereka itu musuhku, kecuali Tuhan Rabbul alamin.” Maka pandanglah segala kemaujudanmu sebagai berhala, demikian juga segala ciptaan lainnya. Dan periharalah perintah serta larangan-Nya. Jika tidak demikian, maka ketahuilah bahwa engkau bahwa engkau difitnah

16 Abdul Qadir Jailani, Futuh al-Ghaib, terj: Syamsu Basyarudin dan Ilyans Hasan, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 165


(9)

oleh syaitan dan dipermainkannya. Maka kembalilah kepada syari’at Islam dan berpegang teguhlah serta tinggalkan hawa nafsu, karena setiap hakekat yang tidak dilandasi syari’at adalah batal.18

Abdul Qadir Jailani membagi manusia menjadi empat kategori : Pertama, manusia yang tak berlidah dan tak berhati. Mereka ini adalah bodoh dan hina. Kedua, manusia yang berlidah, tapi tak berhati. Mereka ini berbicara bijak, tapi tak berbuat bijak. Mereka menyeru kepada Allah, tapi mereka sendiri jauh dari-Nya. Mereka jijik dengan noda orang, tetapi mereka sendiri berbuat dan tenggelam dalam noda. Manusia demikian ini yang pernah disinggung oleh Nabi, yang bersabda: “Hal yang paling mesti ditakuti, yang aku takuti dan oleh pengikut-pengikutku, yaitu orang yang berilmu jahat. Orang kategori ini juga disinggung oleh Allah dalam firman-Nya: “Amat besar kebencian disisi Allah, bahwa kamuamengatakan apa-apa yang tidak kamu perbuat.”

Ketiga, manusia yang berhati tapi tidak berlidah dan beriman. Mereka ini di beri anugerah dan pengetahuan oleh Allah tentang noda-noda dirinya sendiri, mencerahkan hatinya dan membuatnya sadar akan madharatnya, berbaur dengan manusia akan kekejian berbicara dan yang telah yakin, bahwa keselamatan ada dalam kediaman. Sebagaimana sabda Nabi: “Barang senantiasa diam, maka ia memperoleh keselamatan.” “Sesungguhnya pengabdian kepada Allah terdiri atas sepuluh bagian, yang sembilan adalah bagian kediaman.” Keempat, manusia yang diundang ke dunia ghaib. Manusia semacam ini memiliki pengetahuan tentang Allah dan tanda-Nya. Ia diberi pengetahuan dan rahasia-rahasia yang dalam. Ia diberi maqam sejajar dengan maqam Nabi.19

D. Kesimpulan

18 Abdul Qadir Jailani, Futuh al-Ghaib, terj: Syamsu Basyarudin dan Ilyans Hasan, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 135

19 Abdul Qadir Jailani, Futuh al-Ghaib, terj: Syamsu Basyarudin dan Ilyans Hasan, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 118-120.


(10)

Abdul Qadir Jailani lahir pada 1 Ramadhan 407 H di Jilan. Beliau dilahirkan di lingkungan yang shaleh dan taat beribadah, sehingga Beliau pun mempunyai perilaku yang baik dan taat beribadah pula. Beliau wafat pada 10 Robi’ul akhir 561 H dan dimakamkan di Baghdad. Diantara karya-karya Beliau adalah Tafsir al-Jilani, al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haq, Futuhul Ghaib, al-Fath ar-Rabbani, Jala’ al-Khawathir, Sirr al-Asror, dan lain sebagainya.

Pemikiran sufistik Abdul Qadir Jailani dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karena kelurga, bertemu dengan ahli sufi, tidak cocok dengan orang yang hanya mementingkan nafsu duniawi, dan pengaruh dari gurunya yaitu al-Ghazali. Beliau berpendapat bahwa untuk mencapai puncak spiritual harus sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf), penyayang dan lembut, jujur dan dapat dipercaya, amar ma’ruf nahi munkar, dermawan dan bangun (tahajud) pada waktu orang lain sedang tidur, dan alim (cerdas/intelek) serta pemberani.


(11)

DAFTAR PUSTAKA

Abddurahman, Muslih, al-Burhani, Semarang: Toha Putra, tth.

al-Qathani, Sa’id bin Musfir, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Jakarta: Darul Falah, 2003.

Amin, Samsul Munir, Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi, Jakarta: Amzah, 2008. Jailani, Abdul Qadir, Futuh al-Ghaib, terj: Syamsu Basyarudin dan Ilyans

Hasan, Bandung: Mizan, 1987.

Nasution, Ahmad Bangun dan Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Biografi Tokoh-tokoh Sufi), Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Rafiq, Zainur, Biografi Syekh Abdul Qadir Jailani, Jombang, Darul Hikmah, 2011.


(1)

1. Beliau tumbuh dalam pengakuan keluarga yang shaleh. Ayah, ibu, kakek serta keluarga lainnya mempunyai keshahehan, perilaku yang baik, giat beribadah, dan semcamnya.

2. Pertemuan dengan orang-orang sufi di Baghdad.

3. Ketidakcocokannya dengan perilaku sebagian fuqaha dan penasehat pada zamannya dan orang-orang yang dikendalikan oleh hawa nafsu dan keuntungan pribadi. Orang-orang lebih mementingkan kepentingan mahdzab masing-masing tanpa melihat kemaslahatan yang hakiki.

4. Pada zamannya, tasawuf merupakan kedudukan yang tinggi dan mulia karena usaha dari al-ghazali (w.505 h). Abdul qadir jailani pernah hidup bersama dengan al-Ghazali selama 17 tahun ketika berada di Baghdad, sehingga mustahil jika Abdul Qadir tidak berguru kepada al-Ghazali.

Abdul Qadir Jailani hidup di lingkungan sufi, sehingga tidak heran jika beliau menjadi tokoh sufi yang terkenal. Bahkan beliau mengatakan bahwa seorang syaikh tidak akan mencapai puncak spiritual jika tidak memenuhi 12 karakter berikut ini:14

1. Dua karakter dari Allah yaitu sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).

2. Dua karakter Rasulullah, penyayang dan lembut.

3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya. 4. Dua karakter dari Umar, yaitu amar ma’ruf nahi munkar.

5. Dua karakter dari Utsman, yaitu dermawan dan bangun (tahajud) pada waktu orang lain sedang tidur.

6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani. Meskipun Abdul Qadir Jailani merupakan tokoh sufi yang terkenal, tetapi beliau tidak menutup diri untuk tidak menikah dan membenci dunia. Akan tetapi, beliau menolak untuk menikmati keinginan yang menimbulkan tenggelam dan asyiknya hati, sehingga lupa akan Allah dan 14 Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Biografi Tokoh-tokoh Sufi), Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 175


(2)

kehidupan akhirat. Sebagaimana perkataan Abdul Qadir Jailani dalam wacananya:

“Kuasailah dunia, jangan dikuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan dimiliki dunia. Setirlah dunia, jangan diperbudak olehnya. Ceraikanlah dunia, jangan kau diceraikan olehnya. Janganlah engkau dibinasakan olehnya. Tasarufkanlah dunia, karena sabda Nabi: Sebaik-baik harta adalah harta hamba yang shaleh.”

Abdul Qadir Jailani mengibaratkan dunia seperti air sungai yang selalu mengalir. Begitu pun dengan hawa nafsu manusia yang tamak akan kenikmatan dunia. Beliau beranggapan bahwa kehidupan yang hakiki adalah kehidupan akhirat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kehidupan dunia hanyalah salah satu proses menuju kehidupan akhirat yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Jadi, keduanya harus seimbang (balance). Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Qhashash: 77























































Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.15

Akan tetapi, jika seseorang ingin kehidupan yang benar-benar kekal dan hanya Allah tujuan akhir dan satu-satunya, maka ia melepaskan keduanya (dunia dan akhirat).

15 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2015, hlm. 240


(3)

“Campakkanlah dirimu dan campakkanlah kesenangan dan ciptaan jika kau menghendaki Sang Pencipta. Lepaskanlah sepatu dunia dan akhirat. Nafikanlah dari segala kemaujudan, hal-hal yang akan maujud dan segala dambaan. Lepaskanlah dari segala sesuatu, berbahagialah dengan Allah, campakkanlah kesyirikan dan ikhlaslah dalam kehendak. Mendekatlah kepada-Nya dengan hormat, dan jangan memandang kehidupan akhirat, kehidupan duniawi, orang-orang dan kesenangan.16

Dikatakan, jika seseorang sudah mencapai peringkat (maqam) seperti di atas, maka orang seperti ini telah dihiasi dengan kemuliaan (karamat) dari Allah. Seperti perkataan Abdul Qadir Jailani:

“Barang siapa lebih menyukai tidur dari pada shalat malam, berarti ia memilih sesuatu yang buruk, sesuatu yang mematikannya dan membuatnya acuh terhadap segala keadaan. Sebab tidur adalah saudara kematian. Oleh karena itu Allah tidak tidur, sebab Ia bersish dari segala keaiban. Begitu pula para Malaikat, ia senantiasa dekat kepada Allah, demikian pula para penghuni langit, mereka sangat mulia dan suci. Tidur adalah penghancur kehidupan. Kebaikan terletak pada keberjagaan dan keburukan terletak pada ketiduran dan kekacauan terhadap upaya.17

Konsepsi sufistik Abdul Qadir Jailani adalah konsepsi sufistik yang murni, yang dilandasi oleh ketentuan syari’at Ilahi. Beliau melarang seseorang mencebur dalam dunia sufistik sebelum seseorang itu matang dan kuat syari’atnya. Sebagaimana yang Beliau tuturkan :

“Jangan engkau ambisi menjadi seorang sufi jika engkau belum menjadi musuh kedirianmu, dan benar-benar telepas dari organ tubuhmu dan terlepas dari semua hubungan dengan kemaujudanmu, dengan pendengaranmu, penglihatanmu, langkahmu, perbuatanmu, fikiranmu dan semua yamg wujud sebelum wujud ruhmu dan semua yang maujud setelah tiupan ruh itu, karena yang demikian itu (ambisi) akan menutupi dan menghalangi antara engkau dan Tuhanmu. Sebagaimana kata Nabi Ibrahim terhadap firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya mereka itu musuhku, kecuali Tuhan Rabbul alamin.” Maka pandanglah segala kemaujudanmu sebagai berhala, demikian juga segala ciptaan lainnya. Dan periharalah perintah serta larangan-Nya. Jika tidak demikian, maka ketahuilah bahwa engkau bahwa engkau difitnah 16 Abdul Qadir Jailani, Futuh al-Ghaib, terj: Syamsu Basyarudin dan Ilyans Hasan, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 165


(4)

oleh syaitan dan dipermainkannya. Maka kembalilah kepada syari’at Islam dan berpegang teguhlah serta tinggalkan hawa nafsu, karena setiap hakekat yang tidak dilandasi syari’at adalah batal.18

Abdul Qadir Jailani membagi manusia menjadi empat kategori :

Pertama, manusia yang tak berlidah dan tak berhati. Mereka ini adalah

bodoh dan hina. Kedua, manusia yang berlidah, tapi tak berhati. Mereka ini berbicara bijak, tapi tak berbuat bijak. Mereka menyeru kepada Allah, tapi mereka sendiri jauh dari-Nya. Mereka jijik dengan noda orang, tetapi mereka sendiri berbuat dan tenggelam dalam noda. Manusia demikian ini yang pernah disinggung oleh Nabi, yang bersabda: “Hal yang paling mesti ditakuti, yang aku takuti dan oleh pengikut-pengikutku, yaitu orang yang berilmu jahat. Orang kategori ini juga disinggung oleh Allah dalam firman-Nya: “Amat besar kebencian disisi Allah, bahwa kamuamengatakan apa-apa yang tidak kamu perbuat.”

Ketiga, manusia yang berhati tapi tidak berlidah dan beriman. Mereka ini di beri anugerah dan pengetahuan oleh Allah tentang noda-noda dirinya sendiri, mencerahkan hatinya dan membuatnya sadar akan madharatnya, berbaur dengan manusia akan kekejian berbicara dan yang telah yakin, bahwa keselamatan ada dalam kediaman. Sebagaimana sabda Nabi: “Barang senantiasa diam, maka ia memperoleh keselamatan.” “Sesungguhnya pengabdian kepada Allah terdiri atas sepuluh bagian, yang sembilan adalah bagian kediaman.” Keempat, manusia yang diundang ke dunia ghaib. Manusia semacam ini memiliki pengetahuan tentang Allah dan tanda-Nya. Ia diberi pengetahuan dan rahasia-rahasia yang dalam. Ia diberi maqam sejajar dengan maqam Nabi.19

D. Kesimpulan

18 Abdul Qadir Jailani, Futuh al-Ghaib, terj: Syamsu Basyarudin dan Ilyans Hasan, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 135

19 Abdul Qadir Jailani, Futuh al-Ghaib, terj: Syamsu Basyarudin dan Ilyans Hasan, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 118-120.


(5)

Abdul Qadir Jailani lahir pada 1 Ramadhan 407 H di Jilan. Beliau dilahirkan di lingkungan yang shaleh dan taat beribadah, sehingga Beliau pun mempunyai perilaku yang baik dan taat beribadah pula. Beliau wafat pada 10 Robi’ul akhir 561 H dan dimakamkan di Baghdad. Diantara karya-karya Beliau adalah Tafsir al-Jilani, al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haq, Futuhul Ghaib, al-Fath ar-Rabbani, Jala’ al-Khawathir, Sirr al-Asror, dan lain sebagainya.

Pemikiran sufistik Abdul Qadir Jailani dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karena kelurga, bertemu dengan ahli sufi, tidak cocok dengan orang yang hanya mementingkan nafsu duniawi, dan pengaruh dari gurunya yaitu al-Ghazali. Beliau berpendapat bahwa untuk mencapai puncak spiritual harus sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf), penyayang dan lembut, jujur dan dapat dipercaya, amar ma’ruf nahi munkar, dermawan dan bangun (tahajud) pada waktu orang lain sedang tidur, dan alim (cerdas/intelek) serta pemberani.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Abddurahman, Muslih, al-Burhani, Semarang: Toha Putra, tth.

al-Qathani, Sa’id bin Musfir, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Jakarta: Darul Falah, 2003.

Amin, Samsul Munir, Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi, Jakarta: Amzah, 2008. Jailani, Abdul Qadir, Futuh al-Ghaib, terj: Syamsu Basyarudin dan Ilyans

Hasan, Bandung: Mizan, 1987.

Nasution, Ahmad Bangun dan Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Biografi Tokoh-tokoh Sufi), Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Rafiq, Zainur, Biografi Syekh Abdul Qadir Jailani, Jombang, Darul Hikmah, 2011.