Analisis isi pesan dakwah dalam kegiatan dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani di Majlis Dzikir Pondok Pesantern Al-Ishlah Cikarang Utara Bekasi

(1)

CIKARANG UTARA BEKASI

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Untuk Memenuhi Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh :

HILMAN AFIF

NIM : 203051001431

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H/ 2009 M


(2)

CIKARANG UTARA BEKASI

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Untuk Memenuhi Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh :

HILMAN AFIF NIM : 203051001431

Pembimbing

DR. H. Asep Usman Ismail. M.A NIP : 150246393

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1430H/ 2009M


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta 10 Desember 2008


(4)

i ABSTRAK

Hilman Afif

Ananlisis Isi Pesan Dakwah Dalam Kegiatan Dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani Di Majlis Dzikir Pondok Pesantren Al-Ishlah Cikarang Utara Bekasi

Pesan dakwah melalui kegiatan dzikir cukup benar pengarahannya dalam membentuk dan mengajak masyarakat kepada jalan yang benar dan bermakna. Maka dari itu, setiap manusia menginginkan kehidupannya bermakna. Makna hidup adalah nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan mengarah pada kegiatan-kegiatannya. Oleh sebab itu, meraih hidup bermakna merupakan motivasi utama pada diri manusia. Karena setiap orang senantiasa menginginkan dirinya menjadi orang yang berguna dan berharga bagi keluarganya, lingkungan dan masyarakat serta dirinya sendiri.

Dengan kata lain, meraih hidup bermakna adalah menjalani kehidupan dengan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan kehampaan, mempunyai tujuan hidup yang jelas sehingga mempunyai kegiatan yang terarah.

Persoalan yang ada dilingkungan masyarakat sekarang ini ialah kehidupan yang ingin selalu mengutamakan dunia, mengejar dan merebut kekuasaan. Ketika manusia merasakan kehampaan ruhaniah dengan mengutamakan dunia,seperti yang terjadi dewasa ini, manusia kembali kepada hakikat jati dirinya yang sejati. Hal ini dimaksudkan, hakikat jati diri dirasakan ketika manusia menghubungkan dirinya lahir batin dengan Allah melalui dzikir, manusia modern membutuhkan wirid, shalat, sunnah dan dzikir, baik melalui tarekat maupun tidak.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana tanggapan jama’ah dan santri terhadap pesan dakwah melalui kegiatan dzikir di Majlis Pondok Pesantren Al-Ishlah. Melalui observasi dan wawancara, tanggapan jama’ah sangat antusias sekali, sehingga jama’ah pun tidak rela meninggalkan sedikitpun dalam kegiatan dzikir tersebut.

Pesan dakwah dalam kegiatan dzikir yang diadakan di Pondok Pesantren Al-Ishlah, terbukti banyak jama’ah yang merespon kegiatan dzikir ini, karena kegiatan dzikir ini jama’ah bisa merasakan perubahan dalam kehidupan, yang awalnya sombong menjadi tawadhu, tidak bermasyarakat sekarang bermasyarakat, tidak berakhlak menjadi berakhlak, semua ini dikarenakan jama’ah sangat tersentuh asma-asmanya Allah yang disampaikan KH. Ahmad Dasuki Harun melalui dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani


(5)

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat, karunia dan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat beserta salam tidak lupa senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, sebagai Nabi dan Rasul terakhir yang telah membimbing umatnya dari jalan kegelapan kejalan terang benerang.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan segala pihak, baik berupa materiil maupun moril, berupa saran-saran, bimbingan, nasehat dan sebagainya. Oleh karena itu, sudah semestinya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah berjasa, diantaranya kepada :

1. Dekan Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. Murodi, MA dan para pembantu Dekan, yang telah member ijin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini.

2. Kordinator tehnik Program Non Reguler Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Dra. Hj. Asriati Jamil. M,Hum, beserta jajarannya yang telah memberikan kemudahan selama perkuliahan berlangsung.

3. DR. H. Asep Usman Ismail, MA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis dan memotivasi penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.


(6)

iii

4. Seluruh dosen Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya sehingga penulis dapat meyelesaikan studinya.

5. Teristimewa Kedua Orang Tua Penulis Ayahanda Tercinta H. Ahmad Dasuki Harun dan Ibunda Hj. Romlah yang tanpa kenal lelah dan pamrih senantiasa mendukung dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan studinya. Do’a dan pengharapan yang tak henti-hentinya membuat penulis tegar dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan cobaan ini. Budi baikmu tidak pernah penulis lupakan sepanjang masa. Serta Kakak dan adik yang telah sabar dalam memberikan nasehat agar cepat terselesaikan skripsi ini.

6. Pimpinan Pondok Pesantren Al-Ishlah beserta guru-guru yang selalu memberikan motivasi untuk selesainya penulisan skripsi ini.

7. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya dan seluruh karyawan yang telah membantu penulis selama studi dan khususnya dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman angkatan 2003, khususnya Fakultas Dakwah Dan Komunikasi Non Reguler Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Bothel, Rasyidhi, Erikc, Londoy, Ibun, Borland, Topan, serta kelompok KKS Ciawi dan teman-teman wanita Titi, Huzai, Izzy dan yang lain-lain yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Untuk Arifin (some) thank’s banget atas waktu dan sarannya sehingga selesainya penulisan skripsi ini dan Hadi (Wae


(7)

iv

Hong) special thank you tempat tinggalnya yang memunculkan inspirasi-inspirasi sampai selesainya skripsi ini.

9. Ira Purnama Sari (Mimiyo) terima kasih atas do’a dan dorongan selama ini sehingga Fifiyo bisa menyelesaikan skripsi ini.

Pada semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Tanpa mengurangi rasa hormat penulis menyadari bahwa skripsi ini tak luput dari segala kekurangan, saran dan kritik yang bersifat membangun selalu penulis harapkan dari anda yang budiman, sehingga menjadi catatan kebaikan untuk penulis dalam mengembangkan ilmu.

Akhirnya hanya kepada ALLAH SWT semua amal baik tersebut penulis kembalikan, semoga Allah membalas jasa dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis dengan balasan yang berlipat ganda. Penulis berharap semoga skripsi ini menjadi bermafaat bagi para pembaca umunya dan bagi penulis khususnya.

Alhamdulillahi rabbil’alamin.

Jakarta, 30 Agustus 2008


(8)

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Metodologi Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II KERANGKA TEORI TENTANG DAKWAH, DAN DZIKIR, DI MAJLIS DZIKIR PONDOK PESANTREN AL-ISHLAH A. Dakwah ... 16

1. Pengertian Dakwah ... 16

2. Tujuan Dakwah ... 22

3. Sasaran Dakwah. ... 23

4. Strategi Dakwah ... 26

5. Media Dakwah ... 28


(9)

vi

B. Dzikir ... 33

1. Pengertian Dzikir ... 33

2. Macam-macam Dzikir ... 35

3. Tujuan Dzikir ... 36

4. Manfaat Dzikir ... 37

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG OBYEK PENELITIAN A. Syaikh Abdul Al-Qadir Al-Jailani ... 40

1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Syaikh Abdul Qadir Jailani ... 40

2. Karya-karya Ilmiah Syaikh Abdul Qadir Jailani ... 43

3. Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani ... 44

4. Dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani ... 46

B. Pondok Pesantren Al-Ishlah ... 46

1. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren Al-Ishlah ... 46

2. Tujuan, Visi dan Misi Pondok Pesantren Al-Ishlah ... 48

3. Kiprah Pondok Dalam Pendidikan dan Dakwah ... 49

BAB IV ANALISIS TENTANG ISI PESAN DAKWAH DALAM KEGIATAN DZIKIR SYAIKH ABDUL QADIR JAILANI DI MAJLIS DZIKIR AL-ISHLAH CIKARANG UTARA BEKASI A. Analisis Tentang Isi Pesan Dakwah Pada kegiatan Dzikir Yang di Bimbing KH. Ahmad Dasuki Harun Bagi Jamaah.. 51


(10)

vii

B. Analisis Tentang Tingkat Keberhasilan Penyampaian Dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani oleh KH. Ahmad Dasuki Harun di Majlis Dzikir Al-Ishlah ... 54 C. Analisis Tentang Faktor Keberhasilan dan Kegagalan

Penyampaian Dzikir KH. Ahmad Dasuki Harun di Majlis Dzikir Al-Ishlah. ... 58

D. Analisis Tentang Respon Masyarakat Terhadap Penyampaian Dzikir KH. Ahmad Dasuki Harun Dalam Membina Kesehatan Mental ... 60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 63 B. Saran... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64 LAMPIRAN


(11)

8 A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia menginginkan kehidupannya bermakna. Makna hidup (meaning of life) merupakan sesuatu yang dianggap penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidupnya.1 Makna hidup adalah nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan mengarah pada kegiatan-kegiatnnya. Oleh sebab itu, meraih hidup bermakna merupakan motivasi utama pada diri manusia. Karena setiap orang senantiasa menginginkan dirinya menjadi orang yang berguna dan berharga bagi keluarganya, lingkungan dan masyarakatnya serta dirinya sendiri. Penghayatan hidup bermakna dapat diraih dengan mengaktualisasikan kesadaran diri, pengembangan diri, moralitas, transendensi diri, kebebasan dan tanggung jawab.2 Dengan kata lain, meraih hidup bermakna adalah menjalani kehidupan dengan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan kehampaan, mempunyai tujuan hidup yang jelas sehingga mempunyai kegiatan yang terarah.

Pengertian makna hidup di atas menunujukan bahwa di dalamnya terkandung juga tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi,

1

Hanna Djuhana Bastman, Meraih Hidup Bermakna, (Jakarta : Paramadina, 1996), Cet. Ke-1, h.14.

2


(12)

seperti terpenuhinya kebutuhan materi dan spiritual. Bila makna hidup bisa berhasil dan sukses dipenuhi, maka kehidupan ini sangat berarti (meaningful) yang pada gilirannya akan menimbulkan kebahagiaan. Itulah hidup bermakna.3 Sebaliknya, seseorang yang tidak berhasil menemukan dan merealisasikan arti hidup akan menghayati hidupnya tanpa dan tak bermakna (meaningles) yang biasanya gerbang ke arah kesesatan dan penderitaan.

Kehidupan modern yang sarat dengan tantangan dan godaan sering-sering menjadikan seseorang lupa akan makna dan hakikat kehidupan duniawi yang serba fana.4 Abad modern, yang diawali oleh Descartes dan Newton, melahirkan pandangan hidup mekanistik dan atomik. Abad ini ditandai oleh perkembangan sains dan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan yang berhasil mencipatakan peradaban modern yang menekankan pada rasionalitas, sekularisme, pola hidup materealistik dan menjanjikan berbagai kemajuan.5 Di sisi lain, manusia modern lebih berorientasi pada gaya hidup serba keberadaan. Etos kesuksesan material menjadi pandangan dan tujuan hidup mereka. Dan materialisme telah memproyeksikan dan mengukuhkan kapitalisme yang memaksa manusia untuk menjadi hedonistik dan konsumeristis. Bila hedonistik itu adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi itu menjadi tujuan utama bagi

3

Hanna Djuhana Bastman, Makna Hidup Bagi Manusia Modern, Dalam Rekontruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta : Paramadina, 1996), Cet. Ke-1, h.14.

4

Miftah Faridi, dalam Pengantar Buku Hakikat Dzikir Jalan Taat Menuju Allah, (Depok : Intuisi Press, 2003), Cet. Ke-1, h.9.

5

Akbar S. Ahmed, Posmodernisme; Bahaya Dan Harapan Bagi Islam, (Bandung : Mizan, 1996), Cet. Ke-4, h.22.


(13)

kehidupan ini.6 Dan kaum konsumer adalah mereka yang selalu diperbudak oleh kebutuhan-kebutuhan di luar dirinya sendiri. Konsumsi tidak lagi sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi rutilitas atau kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, akan tetapi berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status atau simbol sosial tertentu. Dalam masyarakat konsumer, barang-barang pada akhirnya menjadi pada sebuah tempat para konsumer menemukan makna kehidupan.7 Sehingga mereka kehilangan jati dirinya sendiri. Inilah salah satu fenomena keterasingan pada masyarakat modern yang menimbulkan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, spiritual, dan moral. Kemungkinan, fonomena krisis itu mengejawantah dalam bentuk keterasingan diri dari sosial: kekerasan, kekejaman, kriminalitas, konflik dan sebagainya. Semua itu menunjukan bahwa dalam kegelimangan materi kehidupan modern, kemakmuran jasmani yang melimpah, kebudayaan yang bertumpu pada kebendaan ternyata melahirkan kegersangan ruhaniah.8

Persoalan yang ada di lingkungan masyarakat sekarang ini ialah kehidupan yang ingin selalu mengutamakan dunia, mengejar dan merebut kekuasaan. Ketika manusia merasakan kehampaan ruhaniah dengan mengutamakan dunia, seperti yang terjadi dewasa ini, manusia kembali kepada hakikat jati dirinya yang sejati. Hal ini dimaksudkan, hakikat jati diri

6

A.M. Saefuddin et.al, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, (Bandung : Mizan, 1998), Cet. Ke-4, h.19.

7

Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Dilipat, (Bandung : Mizan, 1999), Cet. Ke-3, h.145.

8

Ahmad Fuad Fanani, Spiritualitas dan Krisis Medernitas, Sinar Pagi (Jakarta), 31 Oktober 1997, h.5


(14)

dirasakan ketika manusia menghubungkan dirinya lahir batin dengan Allah melalui dzikir, manusia modern membutuhkan wirid, shalat, sunnah dan dzikir, baik melalui tarekat maupun tidak.

Dzikir bukan sekedar repitisi lisan, melainkan merasakan dan meresapkan keagungan Allah, kebaikan Allah, nikmat-nikamat-Nya, dan memikirkan kekurangan hamba dalam bersyukur dan kelemahannya dalam memenuhi hak-hak Allah, serta mengakui nikmat-nikmat lahiriah dan batiniah. Jadi, dalam dzikir terdapat pemikiran dan perenungan. Kesadaran mengenai dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan hamba kepada-Nya, dan perenungan mengenai nikmat-nikmat Allah kepadanya dan kewajiban untuk mensyukurinya. Jika seorang hamba sudah merasakan makna dzikir, maka setiap ia mengingat Allah, ia akan berkonsentrasi penuh dengan keseluruhan dirinya, dan hadir bersama Allah dengan totalitasnya. Ia tidak sibuk dengan selain diri-Nya, dan tidak juga lengah dari mengingat diri-Nya, sampai keagungan Allah menguasai hatinya. Hamba pada saat mencapai dzikir maknanya, maka hilanglah bencana kelalaian, dan terhapuslah dari dalam hatinya segala hubungan dan alasan. Sebab, hubungan hati dengan Allah menjadikan sang manusia kosong dari segala-galanya selain Allah. Maka tidak ada ruang bagi dunia, syahwat, terlebih kepada kesalahan dan dosa. Dzikir adalah sarana pengosongan hati dari segala interes, yang dalam


(15)

ungkapan filosofisnya merupakan sarana keterpisahan zat dari obyek eksternal, atau dari ketergantungan kepada keinginan tertentu.9

Salah satu jalan menepis kehampaan spiritual dan nestapa keterasingan itu adalah dengan mengembalikan manusia modern pada jati dirinya kepada fitrah (agama) dengan sebuah alternatif yaitu Dzikrullah. Dengan berdzikir di sini, manusia bisa lebih baik didalam kehidupannya. Tak diragukan lagi bahwa dzikir adalah sarana para sufi menuju kehidupan ruhaniah mereka yang sebenarnya. Karena seseorang yang sedang berdzikir benar-benar tenggelam di hadapan Allah sehingga ia keluar dari kelalaian menuju musyahadah

(kesaksian) dan mukasyafah (keterbukaan). Karenanya, para sufi mengutamakan dzikir atas seluruh perbuatan lainnya, dan mengistimewakan dzikir atas ragam ibadah apapun, seperti jihad dan shalat. Karena dalam pandangan mereka, dzikir adalah tujuan dari shalat.10

Dalam buku Ensiklopedi Nasional Indonesia, dzikir berarti mengingat kepada Allah dengan menghayati kehadiran-Nya, kemahasucian-Nya, kemahaterpujian-Nya, dan kemahabesaran-Nya. Dzikir merupakan sikap batin yang biasanya diungkapkan melalui ucapan tahlil (la ilaha illallah), tasbih (subhanallah), tahmid (alhamdulillah), dan takbir (allahuakbar)11

Menurut Mustafa Zahri, tarekat adalah jalan atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang di contohkan oleh Nabi

9

Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, I, h. 264-270

10

Al-Qusyayri, al-Risalah, Hanna Djuhana Bastman, Meraih Hidup Bermakna, (Jakarta : Paramadina, 1996), Cet. Ke-1.h. 101

11

Djohan Effendi, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), jilid 4c, Dzikir, h.436.


(16)

Muhammad SAW dan dikerjakan oleh para sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in turun menurun sampai kepada guru-guru secara berantai pada masa ini.12

Di antara jamaah yang banyak diikuti pola dzikir dan tarekatnya di Nusantara adalah Syaikh Abdul Qadir Jailani, beliau lahir di kota Jilan pada tahun 470 H/ 1077 M. Wafat di Kota Baghdad pada tahun 561 H/ 1166 M. Baliau ulama yang ahli di bidang ushul dan fiqh dalam Mazhab Hanbali, dia seorang sufi besar di zamannya, dan pendiri tarekat Kadiriah. Ia juga disebut dengan nama Abdul Qadir Jili. Di Baghdad ia dikenal dengan panggilan al-Jami. Nama lengkapnya adalah Muhiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Salih Zangi Dost al-Jailani. Ada pula yang mengatakan bahwa nama lengkapnya adalah Muhiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Salih Zangi Dost Musa bin Abi Abdillah bin Yahya az-Zahid Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdillah bin Musa Jun bin Abdul Muhsin bin Hasan al-Musanna bin Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA. Menurut garis keturunan ini, ia termasuk cucu Nabi Muhammad SAW.

Abdul Qadir Jailani lahir dan di didik dalam lingkungan keluarga sufi. Ia tumbuh di bawah tempaan Ibu Fatimah binti Abdullah as-Sauma'I dan kakeknya Syeikh Abdullah as-Sauma'I, keduanya Wali. Sejak kecil beliau berbeda dengan anak yang lainnya, ia tidak suka bermain. Sejak usia dini ia terus mematangkan kekuatan batin yang dimilikinya dan mulai belajar mengaji pada umur sepuluh tahun.

12

Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), cet. I, h. 56.


(17)

Dalam usia 18 tahun ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu (488 H/1095 M). karena tidak diterima di Madrasah Nizamiyah yang pada waktu itu dipimpin oleh seorang sufi besar, Ahmad al-Ghazali, Abdul Qadir Jailani mengikuti pelajaran fiqh mazhab Hanbali dari Abu Sa'd Mubarak al-Mukharrimi (pemimpin sekolah hukum Hanbali) sampai ia mendapat ijazah dari gurunya tersebut. Mulai tahun 521 H/1127 M Abdul Qadir Jailani mengajar dan berfatwa dalam mazhab tersebut kepada masyarakat luas sampai akhir hidupnya.13

Adapun motif jama'ah Majlis dzikir Pondok Pesantren Al-Ishlah mengikuti wirid dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani adalah, mereka selalu ingin mengharapkan berkah dan kesehatan jiwanya, sehingga mereka merasakan dekat dengan Allah SWT, karena dzikir adalah mengingat Allah SWT yang bisa melahirkan cinta kepada-Nya, dan mengosongkan hati dari kecintaan serta ketertarikan dunia fana ini.

Kaum muslimin yang mengikuti wirid dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani pada prinsipnya terbagi kedalam dua kelompok; Pertama kelompok yang mengikuti wirid dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani ini dengan cara mengikuti tarekat Qadiriyah, tarekat yang di nisbahkan kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani. Kedua, kelompok yang mengikuti wirid dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani dengan tanpa mengikuti terkat Qadiriyah.

13

Abdullah Taufik. Dr. Prof. Ensiklopedi Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), jilid 1, Aba-Far, h.17.


(18)

Pondok Pesantren Al-Ishlah yang terletak di wilayah Cikarang Utara, termasuk kelompok yang kedua. Pesantren ini hanya melakkukan wirid dan dzikirnya Syaikh Abdul Qadir Jailani tanpa tarekat Qadriyah. Pesantren ini di selenggarakan wirid dzikirnya setiap bulan minggu kedua pada hari selasa malam Kliwon.

Sementara itu, harapan Majlis Dzikir Pondok Pesantren Al-Ishlah untuk mendapatkan berkah, kesehatan mental, kedekatan dengan Allah dan kecintaan yang mendalam kepada pengamalan wirid dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani. Secara akademik masih menyisakan ruang pertanyaan. Apakah hal itu sebatas harapan atau benar-benar sudah menjadi kenyataan?

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, penulis meneliti Majlis Dzikir tersebut dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Isi Pesan Dakwah Dalam Kegiatan Dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani Di Majlis Dzikir Pondok Pesantren Al-Ishlah Cikarang Utara, Bekasi, Jawa-Barat”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dari latar belakang masalah dapat dinyatakan bahwa pembatasan masalah di dalam skripsi ini adalah bagaimana dzikir dapat memberikan makna hidup kepada orang beriman sehingga melahirkan akhlak yang baik.


(19)

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pelaksanaan dzikir di Majlis dzikir Al-Ishlah? b. Apa yang disampaikan oleh Pembimbing dzikir?

c. Apakah penyampaian dzikir KH. Ahmad Dasuki Harun berperan dalam membina kesehatan mental jamaah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Penelitian ini di maksudkan untuk mengetahui iss pesan dakwah yang ada di Majlis dzikir Al-Ishlah.

b. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui penyampaian yang digunakan pembimbing dzikir

c. Penelitian ini untuk mengetahui penyampaian dzikir KH. Ahmad Dasuki Harun dalam membina kesehatan mental jamaah..

2. Manfaat Penelitian

a. Penelitian ini dapat menambah wawasan penulis. Berkaitan dengan konsep dan metodologinya, penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pengembangan penelitian serupa dilingkungan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

b. Penelitian ini diterapkan dapat menambah wawasan bagi para teoritis, praktisi, dan pemikir Dakwah dalam menyikapi perkembangan Dakwah di Indonesia, khususnya berkanaan dengan fenomena


(20)

Kegiatan Dzikir sebagai sebuah institusi yang memiliki kontribusi nyata terhadap perkembangan Dakwah Islam di Indonesia. Juga dapat menjadi masukan khususnya bagi Majlis dzikir Al-Ishlah dalam melakukan aktivitas dakwahnya.

D. Metodologi Penelitian

Metode yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif analisa. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan suatu fenomena social keagamaan dengan variabel pengamatan sudah ditentukan secara jelas dan spesifik.14 Pendekatan deskriptif digunakan ketika menggambarkan secara umum tentang pengamalan akhlakul karimah dalam kehidupan serta gambaran umum Majlis dzikir Al-Ishlah Cikarang Utara Bekasi. Selanjutnya pendekatan analisis dilakukan sebagai upaya penulis untuk mengetahui lebih jauh jamaah Majlis dzikir dalam menerapkan akhlakul kariamah serta kesehatan mental dalam kehidupan sehari-hari.

Penelitian ini yang dijadikan populasi adalah jamaah Majlis dzikir Al-Ishlah. Populasi adalah jumlah keseluruhan subjek atau elemen yang ada didalam wilayah penelitian.15 Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi adalah seluruh peserta dzikir di Majlis Dzikir Al-Ishlah yang berjumlah 40 orang. Sampel adalah bagian atau wakil populasi yang diteliti dan dianggap dapat menggambarkan populasinya.16 Untuk mengambil besar sampel, penulis

14

U. Maman KH, MetodologiPenelitian Agama, (Jakarta : Logos, 2002), h.225

15

Suhasimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Tinjauan Praktek, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1998), Cet. Ke-11, h. 15

16

Irawan soehartono, Metodologi Penelitian Sosial, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1999), Cet. Ke-3, h.57


(21)

berpedoman kepada pendapat Winarno Surahmad yaitu apabila jumlah populasi kurang dari 100 responden, maka jumlah sampelnya adalah 50% dari jumlah populasi.17 Yaitu berjumlah 20 orang.

Teknik analisa data dalam penelitian ini dilakukan pendekatan logika untuk data kualitatif, dan rumus menentukan prosentasenya, yaitu:

P = N F

× 100%

Keterangan:

P = Adalah prosentase

F = Adalah jumlah yang mengisi N = Adalah sampel

100% = Adalah bilangan tetap.18

Sedangkan untuk memperoleh data yang berkenaan dengan judul penelitian, penulis menggunakan dua cara sebagai berikut :

1. Library Research (Penelitian Kepustakaan), yaitu mengadakan kajian dengan mencari dan membaca buku-buku yang berkenaan dengan masalah yang diteliti.

2. Field Research (Penelitian Lapangan), yaitu penulis menggunakan penelitian dengan datang langsung ke lapangan atau objek penelitian di Majlis dzikir Al-Ishlah.

17

Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung : Tarsito, 1982), h.100

18

Anas Sudjiono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), Cet. Ke-XI, h.40


(22)

Dalam penelitian lapangan, penulis menggunakan beberapa teknik untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan pembahasan. Adapun teknik pengumpulan data tersebut adalah:

1. Observasi

Observasi berarti pengamatan atau pencatatan secara sistematik terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki.19 Observasi ini dilakukan untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan skripsi ini seperti tentang gambaran umum Majlis dzikir Al-Ishlah dengan keadaan jamaah dan pelaksanaan kegiatannya.

2. Wawancara

Wawancara atau interview merupakan cara yang digunakan dengan mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari responden.20 Atau metode pengumpulan data dengan tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan penyelidikan.21 Berkaitan dengan skripsi ini, maka dilakukan wawancara secara langsung dengan pengelola Majlis Dzikir Al-Ishlah dengan tujuan memperoleh data yang akurat tentang sejarah berdiri dan perkembangan

19

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset,1992), Cet. Ke-21, h.136

20

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Dalam Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia,1993), Cet. Ke-5, h.129

21


(23)

Majlis Dzikir Al-Ishlah, kondisi jamaah, pengurus dan bentuk-bentuk kegiatan teknik pelaksanaanya serta struktur organisasi.

3. Penyebaran Angket

Untuk memperoleh data yang komprehensif, penulis menyebarkan angket atau kuesioner yang merupakan suatu daftar atau rangkaian pertanyaan yang disusun secara tertulis mengenai suatu hal yang berkaitan dengan penelitian, penulis menyebarkan angket kepada jamaah Majlis Dzikir Al-Ishlah yang menjadi sampel penelitian.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku “Pedoman penulisan skripsi, Tesis dan Disertasi”, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press, tahun 2002.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara sederhana agar mempermudah penulisan skripsi ini, maka disusun sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab dengan rincian sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini dijelaskan hal-hal seputar latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : KERANGKA TEORI TENTANG ISI PESAN DAKWAH, DAN DZIKIR DI MAJLIS DZIKIR AL-ISHLAH.


(24)

Kegiatan Dzikir, Dakwah Islam dan Pondok Pesantren Al-Ishlah. Dalam bab ini dijelaskan mengenai Dzikir yaitu, Pengertian Dzikir, Manfaat Dzikir, Tujuan Dzikir, Macam-macam Dzikir, Dakwah Islam, Pengertian Dakwah, Tujuan Dakwah, Sasaran Dakwah, Strategi Dakwah, Media Dakwah. Pesan Dakwah.

BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG OBYEK PENELITIAN. Pembahasannya mencakup tentang Riwayat Hidup dan Pendidikan Syaikh Abdul Qadir Jailani, Karya-karya Ilmiah Syaikh Abdul Qadir Jailani, Corak Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Jailani, Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani, dan Dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani. Pondok Pesantren Al-Ishlah, Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren, Tujuan, Visi dan Missi Pondok Pesantren, Kiprah Pondok Pesantren dalam Pendidikan dan Dakwah, Corak Tasawuf di Pondok Pesantren.

BAB IV : ANALISIS TENTANG ISI PESAN DAKWAH DALAM KEGIATAN DZIKIR SYAIKH ABDUL QADIR JAELANI DI MAJLIS DZIKIR AL-ISHLAH CIKARANG UTARA BEKASI.

Kegiatan Dzikir Pondok Pesantren Al-Ishlah dalam Dakwah Islam di Cikarang Utara. Dalam bab ini dapat dipaparkan mengenai aktivitas Dakwah, Dzikir Pondok Pesantren Al-Ishlah yang meliputi: Analisis Tentang Isi Pesan Dakwah Pada


(25)

kegiatan Dzikir Yang di Bimbing KH. Ahmad Dasuki Harun Bagi Jamaah, Analisis Tentang Tingkat Keberhasilan Penyampaian Dzikir Syaikh Abdul Qadir Jailani oleh KH. Ahmad Dasuki Harun di Majlis Dzikir Al-Ishlah, Analisis Tentang Faktor Keberhasilan dan Kegagalan Penyampaian Dzikir KH. Ahmad Dasuki Harun di Majlis Dzikir Al-Ishlah, Analisis Tentang Respon Masyarakat Terhadap Penyampaian Dzikir KH. Ahmad Dasuki Harun Dalam Membina Kesehatan Mental.

BAB V : PENUTUP.

Dalam bab ini memuat kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dikemukakan di tambah dengan kontribusi saran-saran yang penulis ajukan berkenaan dengan bidang yang penulis teliti.


(26)

BAB II

KERANGKA TORI DAKWAH ISLAM, DZIKIR, KESEHATAN MENTAL DAN PONDOK PESANTREN AL-ISHLAH

A. Dakwah Islam

1. Pengertian Dakwah

Secara etimologi, kata dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti seruan, ajakan, atau jamuan. Bentuk kata tersebut dalam bahasa Arab disebut masdar, diambil dari kata kerja - yang berarti menyeru, memanggil, mengajak atau menjamu.22 Dalam Kamus Kontemporer Arab – Indonesia yang disusun oleh Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, dakwah diambil dari kata - – yang berarti panggilan atau seruan.23 Pengertian tersebut banyak terdapat dalam Al-Quran, surat Yunus ayat 25:

!" # $

%& '()

*+, -./

012 3 5$

67 8

“Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)”.

Sejalam dengan pandangan di atas, Mansyur Amin memberikan makna dakwah secara bebas sebagai berikut:24

22

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), Cet. Ke-8, hal 127.

23

Atabik Ali, Ahmad Zudli Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,

(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1998), Cet. Ke-3, hal. 895.

24

Mansyur Amin, Dakwah dan Pesan Mora, (Yogyakarta: Al-Amin Perss, 1997), Cet ke-1, hal 8.


(27)

a. Mengharap dan berdo’a kepada Allah

Makna ini sesuai dengan pengertian yang terdapat pada Al-Quran, Surah Al-Baqarah ayat 186, yaitu:

9:

;9 < =

> ?@A (B C9D  FG9H I J.AKL ( MN O 9: 8P

>J R S D 9D

T $U9 JV W

!XZ[ \9

]^  &_!G 6` 8

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.

b. Memanggil dengan suara lantang, makna ini sesuai dengan Al-Quran, Surat Al-Rum ayat 25, yaitu:

# $

bc d S &

P L e f 9g

%& h

+i! 3j

c FGV$ < k lX\ 9: !X&m T( n# o$ 6i! 3j 9:

 3p L

P A GV $

67 8

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur)”.(Q.S. Ar-Rum/30:25)

c. Mendorong seseorang untuk memeluk sesuatu keyakinan tertentu, makna ini sesuai dengan Al-Quran, Surat Al-Baqarah ayat 221, yaitu:

qr 9.sT9g t um - vhV

?w1 d x# $U9 z ${j |z(} $U95$ -!G n # o$ ;zum - v5$

! 9

!X&sUS > R L s

qr 9.sT\g

~• m - vhV

?w1 d

T $U9

? !; \9


(28)

-!G n # o$

;0 - v5$

! 9

!X&s > R L s

;€[ 9 < KL

P

 •T

z•} RV

( G bV hV

c d pV: C k

~ o• ;

c d S &

• •}

!XZ[ \9

P G_muJ S

677`8

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (Q.S. Al-baqarah/2:221).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata dakwah memiliki dua arti yaitu: “(1) penyiaran, propaganda: (2) penyiaran agama dan pengembangan di kalangan masyarakat: seruan untuk memeluk, mempelajari dan mengemalkan ajaran agma.” Dalam Ensiklopedia Islam,

dakwah yang berarti setiap kegiatan yang menyeru, mengajak, dan memanggil untuk beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai dengan garis aqidah, syariat, dan akhlak Islamiah.25

Sedangkan pengertian dakwah dari segi terminologi tersebut ada beberapa pendapat, namun tidak jauh berbeda, terkadang pendapat yang satu dengan yang lain saling melengkapi.

Prof. Toha Yahya Oemar, M.A. Dalam bukunya, Ilmu Dakwah,

mendefinisikan dakwah sebagai berikut: Dakwah adalah mengajak

25

Kafrawi Ridwan, dkk., Ensiklopedia Islam, (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), Cet. Ke-6, h,181


(29)

menusia dengan bijaksana pada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.26

K.H. Didin Hafidudin, memberikan pengertian yang intregalistik bahwa dakwah merupakan “suatu proses yang berkesinambungan yang dilakukan oleh para pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia mesuk ke jalan Allah secara bertahap menuju perikahidupan yang Islami.”27

Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa dakwah adalah sebuah proses pengaktualisasian atas keimanan seseorang dengan berbagai upaya-upaya agar kualitas diri dan masyarakatnya meningkat.

Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Drs. Amrullah Ahmad bahwa dakwah merupakan: Aktualisasi iman yang dimanifestasikan dalam suatu kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara terartur untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir, bersikap, dan bertindak manusia pada tataran realitas pada individual dan sosio-kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan dengan cara tertentu.28

Prof. H. M. Arifin, M, Ed. mendefinisikan dakwah sebagai berikut: suatu kegiatan ajakan, baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha

26

Toha Yahya Oemar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1997), Cet. Ke-1, h. 1

27

Didin Hafidudin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani Perss, 1998), Cet. Ke-1, h. 77

28

Amrullah Ahmad, (ed), Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), Cet. Ke-2, h. 11


(30)

mempengaruhi orang lain, baik secara individu maupun secara kelompok agar timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap penghayatan, dan pengamalan terhadap ajaran agama sebagai Message yang disampaikan kepadanya tanpa ada unsur-unsur paksaan.29

Dr. Hamzah Ya’kub memberikan pengertian dakwah secara umum dan khusus. Dakwah secara umum ialah “suatu pengetahuan yang mengajarkan seni dan tehnik menarik perhatian orang guna mengikuti ideologi dan pekerjaan tertentu”. Dengan kata lain, ilmu yang mengajarkan cara mempengaruhi alam pikiran manusia. Dakwah berusaha “menyeberangkan” alam pikiran manusia kepada suatu ideologi tertentu. Sedangkan dakwah secara khusus dalam Islam ialah “mengajak manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya”.

H.S.M. Nasaruddin Latif, mendefinisikan dakwah sebagai “setiap usaha atau aktivitas dengan lisan, tulisan, dan sebagainya, yang bersifat menyeru, mengajak, dan memanggil manusia lainnya untuk beriman dan mentaati Allah SWT, sesuai dengan garis-garis akidah dan syari’ah serta akhlak Islamiyah”.30

Bertitik tolak dari beberapa definisi dakwah yang telah dikemukakan di atas, terlihat bahwa dakwah telah menjadi kewajiban setiap Musmin di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kewajiban

29

H. M. Arifin, Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet. Ke-5, h. 6

30

H.S.M. Nasaruddin Latif, Teori dan Praktek Dakwah Islamiyah, (Jakarta: Firma, 1971, Cet, ke-1,h, 11


(31)

tersebut sesuai dengan kesanggupan dan proporsinya. Hal ini diungkapkan dengan Al-Qur’an sebagai berikut;

#&s 3V !X&s} o$

z•$KL P

-!G9 V* P G $D<

. GU\zpDƒ k

P! ZUT

6#

FG9s}hV

;€[ 9 < KL

X\„

]^ 9 VbhV

6` 8

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Al-Imran/3;104)

(Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya).

Dalam hadist Rasulullah SAW:

!

!" # "$%ﻡ $%ﻡ '

( ) * + , -

. . /012

( ﻥ 2 . /012

(

4

5

2ﻡ !

6

“Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. ia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda. “Siapa yang melihat sebuah perbuatan munkar, haruslah mengubahnya dengan tangannya (tindakan). Jika tidak sanggup, maka dengan mulutnya (kata-kata). Jika tidak sanggup pula, maka dengan hatinya (ketidak setujuan) namun yang terakhir ini merupakan menifestasi yang paling lemah”. (H.R. Muslim).31

Dari uraian di atas, dapat dirangkum bahwa dakwah adalah sebuah proses berkesinambungan harus dibangun oleh unsur kesadaran, keteraturan, peningkatan, dan fleksibilitas. Karena itu aplikasi dakwah harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Allah SWT memberikan rambu-rambu kebijaksanaan untuk orang-orang beriman

31

Abu Zakariyya Yahya ibn Syaraf an Nawawi, Riyad as-Salihin, (Bairut: Dar al-Fikr 1992), t, c,. h, 67


(32)

dalam melaksanakan dakwah yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an yang berikut:

&NU 8…J > =

; k

z hs V* k

z9f ! hV

z T‡ z V*

ZV A

? 1_ k

ˆ „

#‡ d L

•P

;‰k \„

+ L

# h k

•…‡`

#

c L J > =

\„

+ L

~Š S ZhV k

6`7 8

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S. Al- Nahl/16:125).

(Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil).

Dalam ayat tersebut terkandung tiga prinsip pelaksanaan dakwah yaitu: a. Hikmah, yaitu yang berlandaskan informasi tentang hakikat kehidupan psikologi manusia suatu kebijaksanaan yang diambil berdasarkan atas pertimbangan matang sebagai objek dakwah. Informasi tersenut merupakan bahan pengetahuan yang secara obyektif mengambarkan tentang kehidupan manusia dalam segala dimensi dan aspeknya menurut situasi dan kondisi yang melengkapinya.

b. Mau’izah hasanah, yaitu perilaku yang dinyatakan dalam bentuk penasihatan atau ajakan serta keterangan-keterangan yang disampaikan dengan metode yang ckup baik dilihat dari segi kedayagunaan psikologi manusia.


(33)

c. Sistem penyampaian secara tatap muka (face to face meeting) antar pribadi dan kelompok yang dilakukan secara tertib dan berlangsung secara konsisten atas dasar pendekatan-pendekatan psikologi.32

2. Tujuan Dakwah

Adapun tujuan dakwah dapat dijelaskan sebagai berikut:

Abdur Rosyad Shaleh membagi tujuan dakwah menjadi dua, yaitu tujuan akhir (ultimate goal) dan tujuan utama: adapun tujuan akhir, yakni terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat yang diridhai Allah SWT, dan tujuan antara (intermediategoal), yakni perumusan nilai yang diingin dicapai sebagai perantara tujuan utama dakwah.33

Menurut K.H. Didin Hafiduddin dalam bukunya, Dakwah Aktual,

tujuan dakwah secara umum adalah untuk mengubah perilaku sasaran dakwah agar menerima dan merealisasikan ajaran Islam dalam kehidupan yang penuh keberkahan samawi dan ardi34 sebagaimana dijelaskan dalam

Al-Qur’an sebagai berikut:

! 9 •P L

q…U„ L Gf V

T $ & ! 9 •g

T9 Sub9

X"!-‹t um G k

n# o$

& h

6i! 3j

#.s 9 kOJum

tZ pJ9j <9D

h k

p qŒ

P ;. s 6• 8

32

H.M. Arifin , M.Ed Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet. Ke-5,h. 20-21

33

Abd. Rosyad Shaleh, Management Dakwah Islam, (Jakarta Bintang, 1997), Cet, ke, h. 21-22

34

K.H. Didin Hafiduddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani Perss, 1998), Cet. Ke-1,. h. 78


(34)

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (Q.S. Al-A’raf/7;96)

Kemudian tujuan umum tadi dirumuskan ke dalam tujuan-tujuan operasional sehingga dapat dievaluasi keberhasilan yang dicapai. Misalnya berkurangnya angka kemaksiatan, berkurangnya tingkat pengangguran, dan sebagainya.35

3. Sasaran Dakwah

Sasaran dakwah adalah manusia, baik individu maupun kelompok (masyarakat). Dalam hal ini Amrullah Ahmad mengklasifikasikan sasaran dakwah menjadi tujuh kelompok, yaitu:

a. Kelompok sasaran dakwah berdasarkan tempat tinggal, yaitu pendduduk kota dan desa

b. Kelompok sasaran dakwah berdasarkan struktur kemasyarakatan, yaitu masyarakat agraris dan industri.

c. Kelompok sasaran dakwah berdasarkan tingkat pendidikan,

d. Kelompok sasaran dakwah berdasarkan peranan dan struktur kekuasaan, yaitu pemimpin dan rakyat.

e. Kelompok sasaran dakwah berdasarkan agama, yaitu Islam dan non Islam.

f. Kelompok sasaran dakwah berdasarkan sikap terhadap dakwah yaitu orang yang cinta terhadap Islam atau sebaliknya.

35


(35)

g. Kelompok sasaran dakwah berdasarkan usia, misalnya anak (6-13 th), remaja (14-16 th), dewasa (17-35 th), orang tua (35-55 th), dan lanjut usia (55-ke atas).36

Hal ini juga diungkapkan oleh Prof. H.M. Arifin M.Ed, dalam buku Psikologi Dakwah. bahwa sasaran dakwah menjadi delapan kelompok, yaitu:

a. Sosiologis: yaitu masyarakat terasing, pedesaan, kota besar dan kecil, serta masyarakat di daerah marginal dari kota besar.

b. Struktur kelembagaan: yaitu masyarakat, pemerintahan, dan keluarga. c. Sosio-kultural: yaitu golongan priyayi, abangan, dan santri, klasifikasi

ini terdapat dalam masyarakat Jawa.

d. Tingkat usia: yaitu golingan anak-anak, remaja, dan orang tua.

e. Okupasional (propesi atau pekerjaan) yaitu petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri, dan sebagainya.

f. Tingkat sosio-ekonomi: yaitu orang kaya, menengah, dan miskin. g. Masyarakat khusus: yaitu tuna susila, tuna wisma, tuna karya,

narapidana, dan sebagainya.37

h. Masing-masing kelompok masyarakat tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Hal ini menuntut adanya sistem dan metode dakwah yang berbeda pula. Dengan demikian, kegiatan dakwah akan lebih

36

Amrullah Ahmad (ed), Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), Cet. Ke-2, h. 300

37

H.M. Arifin, M.Ed Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet. Ke-5,h. 3-4


(36)

efektif dan efesien jika penggunaan sistem dan metodenya sesuai dengan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.

Dari uraian tentang sasaran dakwah tersebut di atas, menurut hemat penulis, yang sesuai dengan kondisi sasaran dakwah dalam penelitian skripsi ini:

a. Kelompok sasaran dakwah berdasarkan tempat tinggal, yaitu pendduduk desa Tanjung Sari, Kecamatan Cikarang Utara.

b. Kelompok sasaran dakwah berdasarkan struktur kemasyarakatan Desa Tanjung Sari Kecamatan Cikarang Utara, yaitu masyarakat agraris dan industri.

c. Kelompok sasaran dakwah berdasarkan agama, yaitu Islam

d. Kelompok sasaran dakwah berdasarkan usia, misalnya anak (6-13 th), remaja (14-16 th), dewasa (17-35 th), orang tua (35-55 th), dan lanjut usia (55-ke atas).38

e. Struktur kelembagaan: yaitu masyarakat, pemerintahan, dan keluarga f. Okupasional (propesi atau pekerjaan) yaitu petani, pedagang, seniman,

buruh, pegawai negeri, dan sebagainya.

g. Tingkat sosio-ekonomi: yaitu orang kaya, menengah, dan miskin. 4. Strategi Dakwah

a. Pengertian Strategi Dakwah 1) Prespektif Etimilogis

38

Amrullah Ahmad (ed), Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), Cet. Ke-2. h. 300


(37)

Pada awal istilah strategi digunakan dalam dunia militer, yaitu untuk memenangkan suatu peperangan.39 Istilah strategi berasal dari kata Yunani “Strategia” (Stratis = militer, dan ag = memimpin), yang atinya adalah seni atau ilmu untuk menjadi seorang jendral. Strategi bisa juga diartikan sebagai sesuatu rencana untuk pembagian dan penggunaan kekuatan militer dan material pada daerah-daerah tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.40

Secara umum, strategi mempunyai pengertian sebagai suatu garis besar haluan dalam bertindak untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan, penetapan strategi harus didahului oleh analisis kekuatan lawan yang meliputi jumlah personal, kekuatan dan persenjataan, kondisi lapangan, posisi musuh, dan sebagainya.41

Strategi mempunyai beberapa pengertian yaitu: siasat perang dan akal (daya upaya) untuk mencapai suatu maksud.42 Sama halnya yan diungkapkan oleh Harimukti Kridalaksana, bahwa strategi berarti siasat untuk tehnik memenangkan suatu persaingan antara kelompok-kelompok yang berbeda orientasi hidupnya.43

Menurut Prof. Dr. A.M. Kadarman, strategi adalah penentuan tujuan utama yang berjangka panjang dan sasaran dari suatu perusahan

39

Komaruddin, Ensiklopedi Manajemen, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), Cet. Ke-1, h. 539

40

Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21, Terjemahan A.E. Priyonodan Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1996), h. Prakata

41

Abu Ahmad, et al., Strategi Belajar Mengaja, (Bandung: Pustaka setia, 1997), h. 11

42

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Nusa Indah, 1981), Cet. Ke-1, h. 173

43

Fuad Amsyari, Strategi Umat Islam Indonesia, (Bandung: Penerbit Mizan, 1990). Cet. Ke-1, h. 40


(38)

atau organisasi serta pemilihan cara-cara bertindak dan mengalokasian sumberdaya-sumberdaya yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Jadi strategi menyangkut soal pengaturan berbagai sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan agar dalam jangka panjang tidak kalah bersaing.44

Dalam rangka suatu menyusun strategi dakwah diperlukan suatu pemikiran yang luas dan rasional dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi strategi tersebut.

Dalam penyusunan dan strategi ada lima faktor yang perlu diketahui: a) Tujuan, baik tujuan jangka panjang (tujuan akhir) atau tujuan jangka

pendek (tujuan sementara). b) Ilmu Medal (tujuan dan kondisi). c) Kekuatan-kekuatan.

d) Kebijaksanaan Pemimpin. e) Pemimpin.45

Prof. Dr. Onong Ushyana, M.A menyatakan bahwa dalam rangka menyusun strategi diperlukan:

a) Pengenalan susunan, yang meliputi: (1) Faktor kerangka referensi (2) Faktor situasi dan kondisi. b) Pemilihan media.

44

A.M. Kadarman, et al., Pengantar Ilmu Manajemen, (Jakarta: PT. Prenhallindo), h. 58

45

Syarif Usman, Strategi Pembangunan Indonesia dan Pembangunan, (Jakarta: Firma Djakarta, Tanpa Tahun). Cet. Ke-1, h. 6


(39)

c) Pengkajian media d) Peranan komunikator.46

Dr. Fuad Amsyari, membicarakan perjuangan umat Islam Indonesia menyatakan tiga hal pokok dalam penyusunan strategi yaitu: a) Potret umat

b) Permasalahan umat c) Alternatife pemecahan. 5. Media Dakwah

Dalam arti sempit media dakwah dapat diartikan sebagai alat bantu dakwah. Alat bantu yang berarti media dakwah memiliki peranan atau kedudukan sebagai penunjang tercapainya tujuan tanpa adanya media masih dapat mencapai semaksimal mungkin.

Ada beberapa media komunikasi, dakwah yang dapat digolongkan menjadi lima golongan besar, yaitu:

a. Lisan: termasuk dalam bentuk ini adalah khutbah, pidato, diskusi, seminar, musyawarah, nasihat, ramah tamah dalam suatu acara, obrolan secara bebas setiap ada kesempatan yang semuanya dilakukan dengan lidah atau suara.

b. Tulisan: dakwah yang dilakukan dengan perantara tulisan umpamanya, buku-buku, majalah, surat kabar, buletin, risalah, kuliah-kuliah tertulis, pamplet pengumuman tertulis, spanduk, dan lain sebagainya.

46

Onong Uchyana, Teori dan Praktek Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992). Cet. Ke-6, h. 35


(40)

c. Lukisan: yakni gambar-gambar dalam seni lukis, foto dan lain sebagainya. Bentuk tertulis ini banyak menarik perhatian orang dan banyak dipakai untuk menggambarkan suatu maksud yang ingin disampaikan kepada orang lain umpanya komik-komik bergambar Islami untuk anak-anak.

d. Audio visual: yaitu suatu cara menyampaikan sekaligus merangsang penglihatan dan pendengaran. Bentuk ini dilaksanakan dalam televisi, radio, film dan sebagainya.

e. Akhlak: yaitu suatu cara penyampaian langsung ditunjukan dalam perbuatan yang nyata.47

Dari paparan tentang media dakwah di atas, media dakwah yang digunakan di dalam subyek penelitian yaitu: Lisan, Tulisan, Audio Visual

dan Akhlak. adapun alasan hemat penulis, Lisan adalah ucapan langsung dari pembimbing Dzikir, karena itu bisa merangsang akal pikiran seseorang agar teringat selalu akan dzikirannya. Tulisan, sebelum kegiatan dzikir para panitia memberikan pengumuman kepada masyarakat dengan menggunakan tulisan berupa surat kabar dan spanduk, adapun kegiatan dzikir ketika dimulai, para jama’ah diberikan tulisan berupa buku panduan dzikir agar mereka membaca tersusun dengan baik. Audio visual, adapun yang digunakan dalam melaksanakan dzikir menggunakan alat pengeras

47

DR. Hamzah Ya’kub, Publisistik Islam: Tehnik Dakwah dan Ledership, (Bandung: Diponogoro, 1998), h. 47-48


(41)

suara yaitu Sound system, agar jama’ah mendengar dengan jelas apa yang diucapkan pembimbing dzikir.

Dalam literatur lain dikatan bahwa dakwah sebagai suatu kegiatan komunikasi keagamaan dihadapkan pada perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi yang semakin canggih, memerlukan suatu adaptasi terhadap itu. Artinya dakwah dituntut agar dikemas dengan terapan media komunikasi sesuai aneka mad’u yang dihadapai. Dakwah yang menggunakan media komunikasi lebih efektifdan efesien atau dengan bahasa lain dakwah yang dimiliki merupakan dakwah komunikatif.48 a. Media Visual

Media komunikasi visual merupakan alat komunikasi yang digunakan dengan memanfaatkan indera penglihatan dalam menangkap datanya. Jadi masalah yang paling beperan dalam pengembangan dakwah, media komunikasi yang berwujud alat yang merupakan penglihatan sebagai pokok persoalannya.49 Terdiri dari beberapa jenis alat komunikasi yang sangat komplit media visual tersebut meliputi:

1) Film Slide

2) Overhead Proyektor (OHP) 3) Gambar foto diam

4) Komputer. b. Media Auditif

48

Dr. M. Bahri Ghazali, M.A. Dakwah Komunikatif Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997). Cet. Ke-1, h. 33

49


(42)

Media auditif dalam pemahaman komunikatif merupakan alat komunikasi berbentuk hasil teknologi canggih dalam wujud dan hadwer, media auditif dapat ditangkap melalui indra pendengaran.50 6. Pesan Dakwah.

Dalam komunikasi, pesan menjadi salah satu unsur penentuan utama selain komunikator dan komunikan terjadi komunikasi antar manusia. Tanpa ada unsurnya pesan, maka tidak pernah terjadi komunikasi antar manusia.

Pesan dalam kamus besar bahasa Indonesia mengandung arti perintah, nasihat, permintaan, amanat yang harus dilakukan atau disampaikan kepada orang lain.51 Menurut HAW Widjaja pesan adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator.52sedangkan menurut Onong Uchyana Efendi, pesan adalah seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator.53 Pesan dakwah mengandung arti segala peringatan yang berorientasi pada pembntukan perilaku Islam baik secara pribadi (individu) maupun secara kelompok.54

Dari definisi-definisi di atas pemahapan penulis tentang dakwah, maka pesan dakwah dapat diartikan sebagai pernyataan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah yang disampaikan untuk mengajak seluruh

50

Ibid, h. 36

51

Departemen Pendidikan Nasional Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta balai pustaka, 2003), h. 761

52

HAW Widjaja, Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Rineka cipta,2000), cet ke-2, h. 32

53

Onong Uchyana Efendi, Ilmu Komunikasi: Teori dan praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), cet ke 8, h, 18

54

Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta Balai Pustaka, 1989)


(43)

umat manusia agar mengikuti ajaran islam dan mampu merealisasikan dalam kehidupan dengan tujuan kebahagiaan baik di dunia dan akhirat.

Pesan dakwah terdiri dari:

a. Masalah aqidah, yaitu pesan dakwah yang mencakup pada masalah-masalah yang berhubungan erat dengan keimanan atau rukun iman. b. Masalah syari’ah, yaitu pesan dakwah yang berhubungn dengan amal

lahir (nyata) dalam rangka mentaati semua peraturan atau hukum Allah swt. Untuk mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhannya (Habluminallah) dan pergaulan hidup anatara sesame manusia (Habluminannas)

c. Masalah akhlak, yaitu pesan dakwah berupa budi pekerti seseorang yang menjadi penyempurnaan keimanan dan keislaman.

d. Masalah tasawuf, yaitu pesan dakwah yang berkaitan langsung dengan masalah hati.

B. Dzikir

1. Pengertian Dzikir

Kata dzikir berasal dari bahasa arab ( "7- - "78 - "7 - ) Artinya: menyebut, mengingat,55 dzakarallah ( "7 -) artinya: “Memelihara Allah

55

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), Cet. Ke-8,h. 134


(44)

dalam ingatan”. Maksudnya: selalu mengingat dan menyebut nama Allah.56

Imam Abul-Hasanat Muhammad Abdul Hayyi Luknawi Al-Hindi menjelaskan sebagai berikut:

"7 8

ﻥ ( 2 ) 9

:

ﻡ ; ) < = ( 2 + "7 8 (

<.

'"78

2 >ﻡ

ﻡ ? $ﺡ >

ABﻡ C <ﻥ 2

Sesungguhnya dzikir lawan katanya adalah lupa dan dzikir itu asalnya merupakan perbuatan qalbu bkan lisan. Benar, berdzikir dengan lisan memiliki pengaruh yang istimea dan hukum (aturan) yang diketahui tidak ada dalam dzikir qalbu.57

Menurut Hasbi Assiddiqi, dzikir adalah menyebut nama Allah SWT, dengan menbaca tasbih ( ( . ), Tahli ( ) )), tahmid ( ), basmallah ﺡ " ﺡ " 2dan membaca al-Qur’an serta membaca do’a-do’a yang diterima dari Nabi-nabi.58

Sedangkan menurut Dr. Mir Valuddin, dzikir adalah senantiasa dan terus menerus mengingat Allah yang bisa melahirkan cinta kepada Allah serta mengosongkan hati dari kecintaan dan ketertarikan pada dunia fana ini.59

Arti dzikir menurut istilah adalah suatu bentuk usaha bathiniyah dengan melalui proses panca indera yang sifatnya intelektual dengan

56

M. Arifin Ilham dan Bebby Nasution, Hikmah Dzikir Berjama’ah, (Jakarta: Republika, 2003), Cet. Ke-1, h. 1

57

Imam Abul Hasanat Muhammad Abdul Hayyi Al-Luknawi Al-Hindi, Sibahatul Fikri – fi Jahribidz ~ dzikir, Terjemahan Al-Baqir, h. 69

58

Hasbi Asshiddiqi, Pedoman Dzikir dan Do’a, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), Cet. Ke-6, h. 36

59

Mir Valuddin, Zikir dan Kontemplasi dan Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2000), Cet. Ke-6, h. 84


(45)

sarana menyebut nama Allah baik secara jahar maupun khofi guna memperoleh kontemplasi tingkat tinggi.

Dari beberapa pendapat tentang makna dzikir di atas dapat diambil kesimpulan bahwa makna dzikir terdiri dari dua makna. Pertama arti khusus adalah dzikir dengan ucapan (jahar) yaitu mengucapkan tasbih, tahmid, takbir, tahlil, istighfar dan sebagainya dengan cara tertentu yang telah diajarkan Rasulullah SAW, untuk mengingat atau mendekatkan diri kepada Allah. Kedua makna umum adalah dzikir yang berupa perbuatan atau dzikir dengan anggota tubuh (akhlak), semua itu untuk memuliakan keagungan Tuhan sebagai sarana untuk taqarrub (mendekatkan) diri kepada Allah.

Majlis dzikir berasal dari Bahasa Arab, majelis yang berarti tempat duduk. Bila digabungkan keduanya maka pengertian majlis dzikir adalah tempat bagi kita umat Islam untuk selalu mengingat Allah, mendekatkan diri dan tempat renungan bagi kita atas semua fasilitas dan kenikmatan yang tidak ada henti-hentinya yang telah diberikan oleh Allah SWT, agar kita senantiasa bersyukur dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. 2. Macam-macam Dzikir

a. Dzikir Jahar (ucapan jelas)

Dzikir jahar dilakukan untuk lebih mempengaruhi hati, dengan lebih mengeraskan suara di dalam dzikir, akan lebih mudah meluluhkan hati yang kadang-kadang keras seperti batu. Batu masih ada yang mengeluarkan air, sedangkan hati apabila tertutup, tidak lagi menerima


(46)

petunjuk-petunjuk Allah yang telah menutup hati dan pendengaran mereka dan pada penglihatan mereka ad penutup dalam hati mereka ada penyakit. Lalu Allah menambah penyakit mereka dan bagi mereka azab yang pedih, disebabkan apa yang mereka dustakan.60 Maka dengan dzikir yang keras dan dilakukan dengansepenuhnya harapan dan kekhusyuan diharapkan bisa meluluhkan hati yang keras tersebut.

Dzikir yang keras ini akan membuat Qalbu menjadi panas dan bila dilakukan dengan kontinyu akan melahirkan cinta kepada Allah.61 Di dalam buku karya Al-Ghazali “Rahasia Dzikir dan Do’a” disebutkan bahwa pada awal seseorang berdzikir terlebih dahulu harus memaksakan diri agar dapat memalingkan hati dan pikiran dari perasaan was-was bimbang dan ragu kemudian memfokuskan perhatian pikiran, dan perasaan sepenuhnya kepada Allah. Apabila berhasil melakukan secara kontinyu, maka orang yang melakukan berdzikir merasakan kedekatan kepada Allah di dalam jiwa dan tertanamlah di dalam hati perasaan cinta kepada Dia yang kepada-Nya ditunjukan dzikir tersebut.62

b. Dzikir Amaliyah

Sebenarnya cita-cita kita sama adalah dzikir amaliyah ( < "7 - ) sebagai manifestasi kesalehan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Agar kita bisa sampai kepada dzikir amaliyah ini, mestilah kita melakukan

60

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Saudi Arabia), h. 8-9

61

Mir Valuddin, Zikir Dan Kontemplasi Dan Tasawuf (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2000), Cet. Ke-6, h. 40

62

Al-Ghazali, Asrar Al-Dzikri wa ad-Da’awat, Terjemahan: Muhammad Al-Baqir, (Bandung: Karidma, 1996), Cet. Ke-5, h38


(47)

dzikir ritual/lisan terlebih dahulu, jika hal ini dilakukan, insya Allah akan menjadikan hati dan jiwa kita bersih dan suci.63

3. Tujuan Dzikir

Adapun tujuan berdzikir adalah mensucikan jiwa dan membersihkan hati serta membangunkan nurani. Hal ini yang ditunjukkan Allah SWT dalam firman-Nya:

…Vg $ n?6 KL ;VJ9 ]M $ S.sV H L ( Ž• •^ ( Ž• 9‘UT9g 6M & '9ubV FG9sThV s GVm H9 ’

- “Œ L

s

+ U\

$

P \(}•9g

6 8

“Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Kanbuut: 29/45).

Tujuan dari kegiatan dzikir, tentunya adalah menyikap sisi dalam kehidupan manusia untuk sama-sama merasakan hidangan Allah SWT. Dan tentunya, tujuan dzikir taubah itu bercorak moral, seperti membina kejujuran, kesabaran, cinta sesama, penyantun dan mempertajam kepekaan sosial (kecerdasan spiritual).64

4. Manfaat Dzikir

63

M. Arifin Ilham, Harakat Zikir Jalan Taat Menuju Allah, (Jakarta: Intuisi Pres, 2003), Cet. Ke-1, h. 57

64

Samsul Yakin, Menghampiri Illahi Melalui Zikir Taubah: Ikhtiyar M. Arifin Ilham, Membangun Masyarakat Spiritualis-Humanis, (Depok: Darul Akhyar Semesta Ilmu, 2002). Cet. Ke-1,h 5


(48)

Dzikir yang dilakukan seorang hamba, sangatlah memiliki manfaat yang besar bagi tingkat keimana serta ketakwaan atau ibadah seorang hamba. Selain itu, dzikirpun mampu memberikan ketenangan batin seorang hamba (manusia) yang bergelut ditengah bobroknya kehidupan dunia.

Sesuai dengan pendapat Drs. A. Sayuti dalam buku “Percik-percik kesucian”:

Sungguh manakala pengalaman dzikir telah mersap didalam hati seorang hamba Allah, maka buah dzikir itu akan tampak tanda-tandanya dalam setiap perbuatan dan perkataannya. Lidah orang-orang ahli dzikir tidak mempercakapkan kecuali nama-nama-Nya, tubuh mereka tidak bergerak kecuali untuk menjalankan perintah-Nya, dan pikiran merka tidak bersih dari kotoran, kata-katanya bebas dari kebohongan, kekejian, hasutan dan fitnah. Pikiran bening, bersinar dan memancarkan kebenaran karenamendapat petunjuk dari Tuhan, pendeknya tidak mereka mengutarkan apa yang dikandung hati dan hati mereka milik rahasia batin.65

Tidak ada salahnya jika penulis memaparkan manfaat dzikir yang lain, diantaranya:

Pertama. Meningkatkan kedekatan dan kecintaan kepada Allah SWT, sebagaimana firman Allah:

~Š H_ T $ &

~8 ” I9g

Zk \ \H

FGVm J k

’ s qr L

FG“Œ J k

~8 h I9g

I• \ f V

678

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram (Ar-Rad:13/28).

65

As-Sayuti, Percik-percik Kesufian, (Jakarta: Pustaka Imani, 1996), Cet. Ke-1, h. 163-164


(49)

Kedua. Dzikir yang dilakukan secara teratur akan menuntut pelakunya senantiasanya mampu mengendalikan hati dan pikiran, dapat menjernihkan pikiran dan kesadaran untuk memahami akan keberadaan dirinya.

Ketiga. Memperoleh cahaya (nur) dari Allah yang dapat menerangi jalan hidupnya serta diampunkan segala dosanya yang telah lalu disebabkan kuatnya belenggu syetan karena tipisnya iman. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

z"] <[ ~Š H_

T $ &

%–\—V: _

˜GVm :

T-G {um 6`8

 9 d; =

T( Gsk uJ š L

678 \„ H_ F›g‡• !X&sVJ œ •dS9s€[ $

k&s AFGUž J

n# o$

t h\ Ÿf

 }

PHqŒ

~• T $U9hV k

{h d 6F8

“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan

malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya dia

mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). dan adalah dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman”. (Q.S. Al-Ahzab: 33/41-43).

Keempat. Zikrullah menghilangkan kemunafikan

Al-Imam Ibnu-Qayyim mengatakan bahwa banyak-banya berdzikirlah dapat menghilangkan kemunafikan karena ciri-ciri orang munafik adalah sangat sedikit dzkirnya kepada Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam surah An-Nisaa’ ayat 142:

•P

~• b ThV

P 9 &¡

_ \„ !XZ n 9: $ 9H ( Ž• $ 9H ‡ &m

P %& G

ˆ• •T qr ]^ G&mJ _ •r ¢u 9H 6`78


(50)

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”.

(Q.S. An-Nisaa’: 4/142).66

Kelima. Dapat menghapus dosa-dosa yang dilakukan oleh seorang hamba, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Imran ayat 135:

]£Š H_ 9:

\ \9D

,z '.9 9D

U L

h 9

!Xœ@‡ fbp L Gum9:

_

GubV S= 9D

!X Z k p&J

# $ G bV ]¤ pŸH •r !X9 5-.6 g $ \ \9D !X\„

]^ h \

6`F 8

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui”. (Q.S. Al-Imran: 3/135).

Ternyata banyak sekali manfaat dzikir yang kita peroleh apabila kita melakukannya bahkan orang Islam yang tidak pernah berdzikir dan berdo’a kepada Allah maka kehidupannya dalam kesempitan, di hari kiamat dibangkitkan dalam keadaan buta, mudah terjerumus ke jurang kehancuran, berteman dengan syetan serta gampang tergoda oleh keindahan dunia sehingga jiwanya tidak tenang dan gampang terkena stres dan penyakit jiwa lainnya.

66

M. Arifin Ilham dan Debby Nasution Hikmah Dzikir Berjama’ah, (Jakarta: Republika, 2003), Cet. Ke-1, h. 13


(51)

(52)

49 A. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani

1. Riwayat Hidup dan Pendidikan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani lahir di kota Jilan pada tahun 470H/1077M dan wafat di kota Baghdad pada tahun 561H/1166M. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai ulama yang ahli fiqh dan ushul fiqh dalam Mazhab Hanbali beliau seorang sufi besar di zamannya, dan pendiri Tarekat Qadiriah. Ia juga disebut dengan nama Abdul Qadir Al-Jili. Di Baghdad ia dikenal dengan panggilan al-Jami. Nama lengkapnya adalah Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Salih Zangi Dost al-Jili. Ada pula yang mengatakan bahwa nama lengkapnya adalah Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Salih Zangi Dost Musa bin Abi Abdillah bin Yahya az-Zahid Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdillah bin Musa al-Jun bin Abdul Muhsin bin Hasan al-Musanna bin Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA. Menurut garis keturunan ini, ia termasuk cucu Nabi Muhammad SAW.67

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani lahir dan dididik dalam lingkungan keluarga sufi. Ia tumbuh di bawah tempaan ibunda yang bernama Fatimah binti Abdullah as-Sauma’i dan kakeknya Syekh Abdullah as-Sauma’i, yang

67

Abdullah Taufik. Dr. Prof. Ensiklopedi Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), jilid 1, Aba-Far, h.17.


(53)

kedua-duanya wali. Sejak kecil, Abdul Qadir al-Jailani telah tampak berbeda dari anak lainnya. Ia tidak suka bermain-main bersama anak-anak lainnya. Sejak usia dini ia terus mematangkan kekuatan batin yang dimilikinya. Ia mulai belajar mengaji sejak berusia sepuluh tahun. Dalam usia 18 tahun ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu (488H/1095M). Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizamiyah yang pada waktu itu dipimpn oleh seorang sufi besar, Ahmad al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jailani mengikuti pelajaran fikih Mazhab Hanbali dari Abu Sa’ad Mubarak al-Mukharrimi (Pemimpin sekolah hukum Hanbali) sampai ia mendapat ijazah dari gurunya terebut. Mulai tahun 521 H/1127 M Abdul Qadir al-Jailani mengajar dan berfatwa dalam Mazhab tersebut kepada masyarakat luas sampai akhir hidupnya. Untuk itu, ia juga mendapat restu dari seorang sufi besar, Yusuf al-Hamdani (440 H/1048 M-535 H/1140 M). Pada tahun 528 H untuk Abdul Qadir al-Jailani didirikan sebuah Madrasah dan ribat

di Baghdad yang dijadikan sebagai tempat tinggal bersama keluarganya dan sekaligus tempat mengajar murid-muridnya yang juga tinggal bersama.68

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani adalah seorang tokoh yang keras berpegang teguh pada kebenaran dan prinsip perjuangannya. Dia tidak segan-segan memberi nasihat kepada penguasa, bahkan kepada khalifah sekalipun. Pada waktu Khalifah al-Muktafi (531-555 H/1136-1160 M) dari Bani Seljuk mengangkat Ibnu Muzahim yang dikenal seorang yang lalim

68


(54)

sebagai hakim, Abdul Qadir al-Jailani naik mimbar dan berpidato yang isinya antara lain: “Wahai Amirulmukminin, Tuan angkat seorang yang terkenal paling lalim menjadi kadi bagi kaum muslimin. Apakah jawaban Tuan nanti bila ditanya hal itu oleh Tuhan Yang Maha Penyayang?”

Khalifah gemetar dan menangis mendengar khotbah tersebut. Ia langsung memecat Qadi yang diangkatnya itu.69

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyeru murid-muridnya untuk bekerja keras dalam kehidupannya. Tarekat tidak berarti membelakangi kehidupan. Ia berkata: “Sembahlah olehmu Allah Azza Wajalla (Allah Yang Maha Baik dan Maha Mulia). Mintalah pertolongan agar diberikan kerja yang halal untuk memperkuat ibadah kepada-Nya.” Dengan ilmu dan kepribadiannya yang utuh, Abdul Qadir al-Jailani mendapat sanjungan dari berbagai pihak. Ibnu Arabi menganggap Abdul Qadir al-Jailani sebagai orang yang pantas menjadi wali Qutub (pemimpin para wali) pada masanya. Abu Hasan an-Nadwi, seorang ahli sejarah, mengatakan sebagai berikut: “Abdul Qadir al-Jailani telah menyaksikan apa yang telah menimpa umat Islam pada masanya. Mereka hidup terpecah belah dan saling bermusuhan. Cinta dunia telah mendominasi merka di samping berebut kehormatan di sisi Raja dan Sultan. Manusia sudah berpaling pada materi, jabatan dan kekuasaan. Syeikh Abdul Qadir al-Jailani hidup ditengah-tengah mereka, akan tetapi dia menjauhkan diri dari semua itu

69

Abdullah Taufik. Dr. Prof. Ensiklopedi Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), jilid 1, Aba-Far, h. 18


(55)

dengan fisik dan mentalnya. Dia bahkan menghadapinya dengan memberikan nasihat, bimbingan, dakwah, dan pendidikan untuk memperbaiki jiwa kaum muslimin dan membersihkannya.”70

Tarekat Qadiriah yang dirintis oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berpusat di Baghdad. Cabang-cabangnya tersebar dimana-mana, termasuk di Indonesia, sehingga Tarekat ini merupakan suatu organisasi atau pergerakan tasawuf yang mengakar pada ummat. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani terkenal sangat saleh dan mempunyai sifat warak. Makamnya di Baghdad masih ramai dikunjungi orang. Dikatakan bahwa salah satu sifatnya yang unik adalah ia dapat membedakan sufi yang paslu dan yang asli hanya dengan mencium baunya.71

2. Karya-karya Ilmiah Syaikh Abdul Qadir al-Jailan

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani meninggalkan beberapa karya tulis yang berisikan ajaran agama, terutama Tasawuf. Karyanya itu antara lain: a. al-Gunya li Talibi Tariq al-Haqq (Bekal yang cukup bagi Pencari

Jalan yang Benar) terbit di Cairo pada tahun 1288,

b. al-Fath ar-Rabbani (Pembukaan Ketuhanan) atau Sittin Majalis (Enam Puluh Majelis), berisikan 62 khotbah yang disampakannya antara tahun 545 H/ 1150 M-546 H/1152 M, terbit di Cairo pada tahun 1302,

70

Ibid. 71


(56)

c. Futuh al-Gaib (Terbukanya Hal-hal yang Gaib), berisikan 78 khotbah dalam berbagai masalah yang dikumpulkan oleh putranya, Abdur Razzaq, terbit di Cairo pada tahun 1304,

d. Manaqib Abdul Qadir Jailani, berisikan tentang Biografi kehidupannya, terbit di Indonesia.

Karya yang terakhir ini banyak di gunakan oleh masyarakat Indonesia, terutama pada hari-hari tetentu dan penting, seperti hari Asyura (tanggal 10 Muharam), tanggal 27 Rajab, hari Nisfu Syakban (pertengahan bulan Sya’ban, yaitu terjadinya perubahan kiblat dari Baitulmakdis ke Ka’bah), dan hari pertama bulan Safar.72

3. Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani

Manaqib secara leksikal berarti kebaikan sifat, dan sesuatu yang mengandung berkah. Dalam dunia tarekat, manaqib adalah buku catatan riwayat hidup seorang syaikh tarekat yang memaparkan kisah-kisahnya yang ajaib dan bersifat menyanjung hagiografis dengan menyertakan ikhtisar hikayatnya, legenda, kekeramatannya, dan nasihat-nasihatnya. Semua ditulis oleh pengikut tarekat tersebut yang dirangkum dari cerita yang bersumber dari murid-muridnya, orang-orang yang dekat dengannya, keluarganya, dan sahabat-sahabatnya.73

Kitab manaqib yang terkenal dan tersebar luas di Dunia Islam adalah manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Hal ini menunjukan bahwa

72

Abdullah Taufik Dr. Prof. Ensiklopedi Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), jilid 1,h. 18

73


(57)

tokoh sufi ini pernah memiliki tempat dalam hati para pengikutnya di berbagai Negara Islam, menembus batas asal kelahiran dan masa hidupnya dari Timur Tengah hingga ke Afrika dan Asia, termasuk Indonesia. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (1077-1166) dikenal sebagai tokoh pendiri Tarekat Qadiriah. ManaQib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani cukup banyak, antara lain:

a. Bahjat al-Asrar ditulis oleh al-Syattanawi (w. 713 H), merupakan biografi tertua dan terbaik tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang penuh dengan kisah-kisah keajaiban sang wali.

b. Khulasah al-Mafakhir, ditulis oleh al-Yafi’I (w. 768 H) sebagai apologinya tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, memuat 200 kisah legenda tentang kesalehan tokohnya dan sekitar 40 kisah mistik lainnya. Naskah ini dalam bahasa Jawa dikenal sebagai Hikayah ‘Abdul Qadir al-Jailani’ yang hanya memuat 100 kisah, termasuk dalam 79 tembang.

c. Qala’id al-Jawahir karya at-Tadifi. Penyusunannya bersufat historis yang dimulai dengan pembahasan kehidupan, keturunan, dan lingkungan wali dan kisah-kisah ilustratif.

d. Natijah at-Ahqiq oleh Abu Abdullah Muhammad ad-Dilai (w. 1136), memuat deskripsi kehidupan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan ucapan-ucapannya yang menunjukan kebesaran sang wali.

e. An-Nur al-Burhani fi Tarjamah al-Lujaini ad-Dani fi Manaqib Sayyid ‘Abdul-qadir al-Jailani’ oleh Abu Lutfi al-Hakim Muslih bin


(58)

Abdurrahman al-Maraqi, memuat legenda dan kisah-kisah ajaib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

f. Lubabal-Ma’ani fi Tarjamah Lujain ad-Dani fi Manaqib Sayyidi asy-Syekh’Abdul-Qadir oleh Abu Muhammad Salih Mustamir Hajian al-Juwani, memuat kisah kehidupan dan kekramatan Abdul Qadir al-Jailani.74

4. Dzikir Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tertulis di lampiran.

B. Pondok Pesantren Al-Ishlah

1. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren Al-Ishlah

Berdirinya pondok pesantren di Indonesia sering memiliki latar belakang yang sama, dimulai dengan usaha seorang atau beberapa orang secara pribadi atau kolektif, yang berkeinginan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat luas. Mereka membuka kesempatan pengajian secara sederhana kepada penduduk setempat. Biasanya pengajian yang mula-mula dilaksanakan adalah berlatih membaca Al-Qur’an di Mushallah atau Masjid yang sederhana. Beberapa waktu kemudian tumbuh kesadaran masyarakat terhadap pengetahuan dan kelebihan yang dimiliki mereka yang mengajar sehingga penduduk sekitar belajar menuntut ilmu agama. Akhirnya mayarakat memanggil pengajar

74

Abdullah Taufik Dr. Prof. Ensiklopedi Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), jilid 1,h. 153


(1)

75

DR.Hamzah Ya’kub, Publisistik Islam: Tehnik Dakwah dan Ledership, (Bandung: Diponogoro, 1998),

Dr.M.Bahri Ghazali, M.A. Dakwah Komunikatif; Membangun Kerangka DasarIlmu Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1997). Cet. Ke-1,

DepDikNas ; Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2003), Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Saudi Arabia).

Efendi Onong Uchyana, Teori dan Praktek Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992). Cet. Ke-6

Efendi Onong Uchyana, Ilmu Komunikasi: Teori Dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), cet ke 8,

Fuad Amsyari, Strategi Umat Islam Indonesia, (Bandung: Penerbit Mizan, 1990). Cet. Ke-1.

Hanna Djuhana Bastman, Makna Hidup Bagi Manusia Modern dalam Rekontruksidan Renungan Religius Islam, (Jakarta : Paramadina, 1996), Cet. Ke-1,.

H.M.Amin Haedari, Masa Depan Pesantren, (Jakarta :Ird Press, 2004)

H.M.Arifin, Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Cet. Ke-5

H.S.M.Nasaruddin Latif, Teori dan Praktek Dakwah Islamiyah, (Jakarta: Firma, 1971), Cet. Ke-1,

H.A.W.Widjaja, Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Rineka cipta,2000), Cet Ke-2, Hasbi Asshiddiqi, Pedoman Dzikir dan Do’a, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), Cet.

Ke-6.

Imam Abul Hasanat Muhammad Abdul Hayyi Al-Luknawi Al-Hindi, Sibahatul Fikri – fi Jahribidz ~ dzikir, Terjemahan Al-Baqir

Irawan Soehartono, Metodologi Penelitian Sosial, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1999), Cet. Ke-3

Jaenal Efendi, S.Ag, Ernawati, Dra. Profil Organisasi Santri, (Jakarta : CV Fajar Gemilang. 2005)


(2)

76

Komaruddin, Ensiklopedi Manajemen, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), Cet. Ke-1, Kontjaraningrat, Metode-metode Penelitian Dalam Masyarakat, (Jakarta : PT.

Gramedia, 1993), Cet. Ke-5

Miftah Faridi, Pengantar Buku Hakikat Dzikir Jalan Taat Menuju Allah, (Depok : Intuisi Press, 2003), Cet. Ke-1

Mir Valuddin, Zikir Dan Kontemplasi Dan Tasawuf (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2000), Cet. Ke-6,

M.Arifin Ilham, Harakat Zikir Jalan Taat Menuju Allah, (Jakarta: Intuisi Pres, 2003), Cet. Ke-1,

M.Arifin Ilham dan Bebby Nasution, Hikmah Dzikir Berjama’ah, (Jakarta: Republika, 2003), Cet. Ke-1,

M.Arifin Ilham, Membangun Masyarakat Spiritualis-Humanis, (Depok: Darul Akhyar Semesta Ilmu, 2002). Cet. Ke-1,

Ridwa Kafrawi, dkk., Ensiklopedia Islam, (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), Cet. Ke-6,

Shaleh Abd. Rosyad, Management Dakwah Islam, (Jakarta : Bintang, 1997).. Syarif Usman, Strategi Pembangunan Indonesia dan Pembangunan, (Jakarta:

Firma Djakarta, Tanpa Tahun). Cet. Ke-1

Sukamto, Kepemimpinan Kiai Dalam Pesantren LP3ES, Jakarta 1999

Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta : Andi Offset, 1992), Cet. Ke-21

Samsul Yakin, Menghampiri Illahi Melalui Zikir Taubah: Ikhtiyar

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Agama, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1998), Cet. Ke-11

Toha Yahya Oemar , Penyakit Itu Berupa Lemah Keyakinan, Kotoran Jiwa, Budi Rendah, Hati Jahat, Pendusta Sehingga Mereka Tidak Dapat Menerima Kebenaran Ajaran Islam, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Wijaya 1997), Cet. Ke-1

Tim penyusun kamus pembinaan dan pengembangan bahasa, kamus besar bahasa Indonesia (Jakarta : Balai pustaka, 1989)


(3)

77

Yahya Abu Zakariyya ibn Syaraf an Nawawi, Riyad as-Salihin, (Bairut : Dar al-Fikr 1992).

Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Dilipat, (Bandung : Mizan, 1999), Cet. Ke-3,.

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Nusa Indah, 1981), Cet. Ke-1,

Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung : Tarsito, 1982) Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21, Terjemahan A.E. Priyonodan

Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1996),

Zahri Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu,1995), Cet. I,


(4)

Butir angket

Umur

:

Jenis kelamin

:

Pend. Terakhir :

Pekerjaan

:

1. Apa yang anda ketahui tentang dzikir? a. Mengingat Allah

b. Menyebut/ mengucapkan lafaz-lafaz Allah c. Ritualitas keagamaan belaka

2. Apa tujuan anda mengikuti kegiatan dzikir di majelis ini? a. Karena pembimbingnya

b. Karena penyampaiannya c. lain-lain

3. Setelah sekian lama mengikuti kegiatan dzikir ini, pernahkah anda meninggalkannya?

a. Pernah b. Tidak pernah c. Tidak tahu

4. Apa yang anda rasakah ketika tidak mengikuti kegiatan dzikir di Majlis ini? a. Tidak tenang

b. Tenang c. Biasa saja


(5)

5. Bagaimana hubungan anda dengan sesame (keluarga, tetangga) sebelum mengikuti kegiatan dzikir di Majlis ini?

a. Kurang baik b. Tidak baik c. Baik

6. Setelah mengikuti kegiatan dzikir ini, apakah ada perubahan berakhlak dalam kehidupan sehari-hari?

a. Ada b. Tidak ada c. Biasa saja

7. Menurut anda, bagaimana cara penyampaian yang digunkan oleh pembimbing dzikir?

a. Sangat Tepat b. Tepat c. Kurang tepat

8. Bagaimana sarana dan prasarana selama mengikuti kegiatan dzikir ini ? a. Mendukung

b. Tidak mendukung c. Tidak tahu

9. Menurut anda, apakah yang menjadi factor keberhasilan dalam kegiatan dzikir ini?

a. Sosok pembimbingnya


(6)

c. Tidak tahu

10.Menurut anda, apakah kegiatan dzikir di Majlis ini berpengaruh dalam kesehatan mental?

a. Sangat berpengaruh b. Tidak pengaruh c. Biasa saja

11.Menurut anda, apakah ada factor kegagalan dalam kegiatan dzikir di Majlis ini?

a. Ada,………. b. Tidak ada