Konsep ibadah Abdul Qadir Al-Jailani dalam Kitab Sir Alasrar ditinjau dari Maqashid Syariah Al-Syatibi

(1)

KONSEP IBADAH ABDUL QADIR JAILANI DALAM KITAB SIR AL-ASRAR DITINJAU DARI MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memnuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

IRMANSYAH NIM. 107043102190

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

i

SKRIPSI

Diajukan untuk Memnuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun oleh :

IRMANSYAH NIM. 107043102190

Dibawah bimbingan

Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP.196511191998031002

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 2014-06-26


(5)

iv ABSTRAK

IRMANSYAH, NIM 107043102190. Konsep Ibadah Abdul Qadir Al-Jailani Dalam Tinjauan

Maqashid Syari’ah Al-Syatibi. Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH),

Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqh, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 / 2014 M. Dibimbing oleh Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag (196511191998031002).

Isi vii + 68 halaman + 41 literatur.

Abdul Qadir al-Jailani adalah seorang faqih sekaligus sufi, dalam buku sirr al-asrar beliau bercerita tentang konsep ibadah yang mempunyai yang mempunyai dimensi syariat, tarekat dan

hakikat. Bagaimana kerangka teori maqashid syari’ah al-Syatibi meninjau konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani.

Penelitian ini untuk menganalisis bagaimana konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani di kitab Sirr – Al-Asrar dengan kerangka teori pemikiran al-Syatibi tentang maqashid -syari’ah dan adakah kesesuaian praktik ibadah Abdul Qadir al-Jailani dengan maqashid syar’iah al-Syatibi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan melakukan pendekatan normatif filosofis. Adapun sumber data yang didapat melalui data primer dan data sekunder dengan pengumpulan data melalui studi pustaka (Librari Reasearch), Data yang diperoleh tersebut disusun secara teratur dan sistematis, kemudian dianalisis secara deskriptif normatif filosofis.

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani yang

ditijau dari maqashid syari’ah al-syatibi mempunyai keseuaian dan mewujudkan maqashid

syari’ah.

Kata Kunci : Ibadah Abdul Qadir al-Jailani, maqashid syari’ah, al-Syatibi. Pembimbing : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag


(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat ilahi Rabbi, yang telah menurunkan cahaya ilmu-Nya, shalawat dan salam semoga selalu tercurah ke hadirat Rasul pembawa cahaya Muhammad SAW. Di balik

terselesaikannya skripsi dengan judul “konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani ditinjau dari maqashid syariah al-syatibi”, maka penulis ingin mengucapkan terima kasih terutama kepada :

1. Bapak H. JM. Muslimin, MA, Ph.D, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, sebagai Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum dan Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si, sebagai Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya selama penulis menyelesaikan skripsi. Terima kasih atas bimbingan, kesabaran, keramahan hati, dan nasehat-nasehat yang berharga yang telah bapak berikan.


(7)

vi

5. Segenap pimpinan dan staf perpustakaa utama dan perpustakaan Fakultas Syari’ah Dan Hukum yang telah memberikan fasilitasnya.

6. Kepada kedua orang tua yang penulis hormati dan cintai, penulis persembahkan skripsi ini kepada ayahanda H.Zulkifli (alm) dan Ibunda Hj. Nurhasanah, yang telah membimbing dan mendidik. Atas dukungan moril, materil, kesabaran, perhatian, cinta, keikhlasan serta kasih sayang yang tiada habisnya, semoga Allah membalas dengan seluruh kebaikan, ananda sadar bahwa semua yang kalian berikan tak akan mungkin tergantikan oleh apapun.

7. Untuk guru-guruku Ust. Cipta Bakti Gama, Lc, KH.Muhyidin, Ust.Syarif, Lc, Ust. Muzammil al-hafidz, Ust.Zaenal muhtadi, al-hafidz, Ust. Ruslan, al-hafidz, Muhammad Noer, Om Bagus, Ibu Ida farida, Ibu Sumarni, dan yang tak tersebutkan tanpa bimbingan dan ilmu dari kalian, muridmu bukanlah apa-apa. Semoga Allah membalas dengan pahala yang selalu mengalir.

8. Untuk teman-teman yang pernah hadir dalam hidupku fajar anugrah ramadhan, mahatir, cb

gama, ahmad jaelani, adnan syafi’i, akmal, andiyanto,iyus, syahiru, ujang, agus, syahirul, irfan, maulana, irawan,khoirudin,septianto, prakoso bayu,gustar,adnan hanafi, wahyu ischan, mulyani azam,rio sulaeman, zaenal ali muslim hidayat, subhan, arman, bimma, elvin gunawan, aris, vera, maria, siti khoiriyah, ani rohimah,latifah nuzuli, nurhayati, jumiatun diniah, betie febriana, teh dini retno utami, fikriyah, dan semua yang pernah kenal baik semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada kehidupan kalian semua (Aamiin).


(8)

vii

KKN 77 ceria cibitung kulon pamijahan.

10. Untuk istri tercinta yanah abdul hamid yang selalu memotivasi untuk menyelesaikan tugas akhir ini, putriku tersayang naila khairina yang selalu membuat hatiku damai dengan melihat senyum dan tawanya, semoga Allah selalu satukan kita sampai surga.

Demikian ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak-pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga selesainya skripsi ini, semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal baik dan memperoleh balasan pahala yang berlimpah ganda dari Allah Swt, (Aamiin) maka akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umunya.

Bogor, 5 Ramadhan 1435 H 2 juli 2014 M


(9)

(10)

ix

SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

DAFTAR ISI ... . v

KATA PENGANTAR ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang masalah ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 7

C. Tujuan ... 7

1. Tujuan Penelitian ... 7

2. Manfaat Penelitian ... 7

D. Kajian Pustaka Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian……….. 10

F. Sistematika Penulisan………. 10

BAB II AL-SYATIBI DAN TEORINYA TENTANG MAQASHID SYARI’AH……… ... 12

A. Biografi al-Syatibi ... 12

1 kehidupan dan pendidikan al-Syatibi ... 10

2 Karya-karya ... 15

B. Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi... 16

1. Pengertian Maqashid Syariah ... 16

2. Dasar Maqashid Syariah ... 18

3. Pembagian Maqashid Syari’ah ... 17

4. Syarat Memahami Maqashid Syari’ah ... 27


(11)

x

1. Kehidupan Dan Pendidikan ... 30

2. Karya-karya ... 33

B. Pandangan Abdul Qadir al-Jailani Terhadap Realitas ... 34

C. Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani Dalam Sirr Al-Asrar .. 36

1. Thaharah ... 36

2. Shalat ... 39

BAB IV ANALISA KONSEP IBADAH ABDUL QADIR AL-JAILANI DALAM KITAB SIRR AL-ASRAR DITINJAU DARI MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI……. ... 44

A. Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani ditinjau dari teori maqashid syariah al-syatibi. ... 44

1. Thaharah ... 47

2. Shalat ... 54

B. Kesesuaian Praktik Ibadah Abdul Qadir al-Jailani Dengan Maqashid Syariah Al-Syatibi… ... 58

1. Analisa Umum ... .. 59

Bab V PENUTUP……… ... 65

5.1 Kesimpulan……. ... 65

5.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ………. ... 67 LAMPIRAN


(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sebagai agama yang menekankan ketundukan secara total pada Tuhan baik lahir maupun batin. Formalisasi sistem ketundukan total ini kemudian dikemas dengan seperangkat panduan praktek lahiriah yaitu syari’ah.1

Syari’ah adalah cara formal untuk melaksanakan peribadatan kepada Allah,2 yang dirujuk oleh al-Qur’an sebagai tujuan utama penciptaan manusia sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surah az -zariyat ayat 56.

Syari’ah adalah dimensi perundang-undangan dalam islam. Ia adalh ketentuan yang ditetapkan oleh Syari’(Allah), melalui Rasul-Nya Muhammad SAW. Baik yang berupa perintah atau larangan3

Dengan demikian tujuan Allah menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah ini harus dilakukan dengan penuh ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. Sehingga apapun yang dilakukan manusia harus diniatkan untuk beribadah kepada Allah swt semata.

1

M. Sa'i & Shohimun Faisol, Kontribusi Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah dalam Dakwah Islamiyah di Lombok, Jurnal Penelitian Keislaman, vol. 1 No.2, juni 2005, h. 4.

2

Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta, Erlangga, 2006), Cet.I, h.27

3

Kharisudin Aqid, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah, (Surabaya, Dunia Ilmu, 1998), Cet I, h. 61


(13)

2

Di sisi lain, dipahami bahwa ibadah adalah perbuatan manusia yang menunjukan ketaatan kepada aturan atau perintah dan pengakuan kerendahan dirinya di hadapan yang memberi perintah. Adapun yang memberi perintah untuk beribadah, adalah tiada lain kecuali Allah swt. sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat al -Baqarah (2) : 21.

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa sasaran ibadah hanyalah kepada Allah swt. Dengan kata lain, bahwa manusia beribadah adalah untuk mengabdikan dirinya keada Allah sebagai Tuhan yang telah menciptakan mereka.4

Ibadah yang diklasifikasikan kepada wadah syariah mempunyai tujuan – tujuan yang dikenal dengan istilah maqashid syariah. Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan asy-syari’ah. Sebelum menjelaskan pengertian maqashid asy-syari’ah secara istilah terlebih dahulu dijelaskan pengertiannya secara bahasa (lughawi).

Secara bahasa, maqashidmerupakan jama’ dari

kata maqshid yang berarti kesulitan dari apa yang ditujukan atau dimaksud. Secara akar bahasa, maqashid berasal dari kata qashada, yaqshidu, qashdan, qashidun, yang berarti keinginan yang kuat,

4


(14)

3

berpegang teguh, dan sengaja. Namun, dapat juga diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (qashada ilaihi).

Sedangkan kata asy-syari’ah berasal dari kata syara’a as -syai yang berarti menjelaskan sesuatu, atau diambil dari

asy-syar’ah dan asy-syari’ah dengan arti tempat sumber air yang tidak

pernah terputus dan orang datang ke sana tidak memerlukan alat. Terkadang bisa juga diartikan sumber air, di mana orang ramai mengambil air. Selain itu asy-syari’ah berasal dari akar katasyara’a,

yasri’u, syar’an yang berarti memulai pelaksanaan suatu

pekerjaan, dengan demikian asy-syari’ah mempunyai pengertian pekerjaan yang baru mulai dilaksanakan. Syara’a juga berarti menjelaskan, menerangkan dan menunjukkan jalan. Syar’a lahum

syar’an berarti mereka telah menunjukkan jalan kepada meraka atau

bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan atau peraturan.

Jadi, secara bahasa syari’ah menunjukkan kepada tiga pengertian, yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan terang dan juga awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan.5

Jika Syari’ah adalah jalan maka pasti ada tujuan mengapa harus melalui jalan ini dan maqashid syari’ah adalah tujuan hukum islam yang harus dicapai. Tujuan tersebut dapat ditelusuri dalam ayat-ayat

5

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997., cet. 14, hal. 712.


(15)

4

al-Qur’an dan hadits – hadist Nabi sebagai sumber hukum utama sehingga dapat dirumuskan hukum – hukum fiqh yang berorientasi pada kemaslahatan.6

Syari’ah adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama, atau hukum yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah baik berupa ibadah (shaum, shalat, haji, zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau muamalah yang menggerakkan kehidupan manusia (jual, beli, nikah, dan lain-lain). Sebagaimana firman Allah SWT (QS. al- Jatsiyah :18).

Dengan mengetahui pengertian maqashid dan asy-syari’ah secara bahasa, maka dapat membantu kita menjelaskan pengertian yang terkandung dalam istilah, yaitu tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan pemenuhan manfaat umat. Atau tujuan dari Allah menurunkan

syari’at, dimana menurut al-Syatibi tujuan dari pada maqashid

syari’ah adalah untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia

dan akhirat.7

Teori maqashid syari’ah sering diatribusikan kepada Umar Bin Khattab. Al-Ghazali, melalui bimbingan al-Juwaini, mengembangkan teori ini. Ditangan al-Syatibi, teori ini menjadi terkenal di seluruh

6

Ramin Abd. Wahid, Maqashid al-Syari'ah dan Penerapan Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Islam, Volume 15 Nomor 1, Juni 2012, h.126

7 Rahmat Sadchalis, Maqashid asy-Syari’ah,

http://sadchalis15.wordpress.com/2013/09/09/maqashid-asy-syariah/, (diakses 15/02/2014)


(16)

5

dunia islam. Di zaman modern, Muhammad Abduh dan Rasyid Rida di Mesir, juga al-Maududi di India (kemudian Pakistan), mendorong mengulas konsep maqashid secara agak mendalam.8

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan

maqashid al Syari’ah adalah tujuan Allah sebagai Syari’ (Pembuat Hukum) dalam menetapkan hukum terhadap hambaNya. Adapun inti dari maqashid al Syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat, atau dengan kata lain adalah untuk mencapai kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara

tujuan-tujuan syara’9

.

Terkait ibadah, Abdul Qadir Al-Jailani yang juga di juluki

“Sulthanul-Auliya” ini mengupas tentang aspek lahir dan batin dari ibadah seperti shalat, puasa, ibadah haji, zakat dan lain sebagainya. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani telah menggambarkan secara lengkap

tentang tasawuf yang memadukan antara ilmu Syari’ah yang

didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah melalui penerapan praktis

8

Yudian Wahyudi, Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik, (yogyakarta,nawesea,2007), cet. II, h.28

9

Doni Darmawan, Pendekatan Maqashid al-Syari’ah Dalam Memeriksa dan Memutuskan Perkara, http://www.pa-sijunjung.go.id/-index/index-artikel/395- pendekatan-maqashid-al-syariah-dalam-memeriksa-dan-memutuskan-perkara-oleh-doni-dermawan-sag-mhi--1312.html. (diakses 15/02/2014)


(17)

6

dengan keharusan untuk menghayati hakikat serta tujuan dari diterapkannya syariat.10

Mengingat ketertarikan penulis mengenai uraian di atas, dan melihat belum adanya yang membahas tetang konsep ibadah Abdul Qadir Al-Jailani dalam tinjauan Maqashid Syari’ah maka penulis mencoba untuk mengangkat sebuah judul skripsi tentang “ KONSEP IBADAH ABDUL QADIR AL-JAILANI DALAM TINJAUAN MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI ”.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

1. Perumusan Masalah

Perumusan masalah adalah salah satu upaya untuk mempermudah pembatasan dalam penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

a) Bagaimana konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani ditinjau dari teori maqahid syari’ah al-Syatibi.?

b) Adakah kesesuain praktik ibadah Abdul Qadir al-Jailani dengan maqashid syar’iah al-Syatibi.?

2. Pembatasan Masalah


(18)

7

Sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang timbul dalam penelitian ini, maka penulis perlu membatasi masalahnya. Hal ini dimaksudkan agar pembahasannya mengenai sasaran dan tidak mengambang. Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah bersuci dan shalat pada buku Sirrul-Asrar karya Abdul Qadir al-Jailani dalam Bab Ibadah.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui kerangka teori al-Syatibi tentang

maqashid syari’ah dalam konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani di

kitab Sirr – Al-Asrar.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

a. Memperluas dan memperdalam wawasan ilmu pengetahuan khususnya dibidang Syari’ah.

b. Memberikan kontribusi positif dengan tersedianya data tentang pandangan Al-Syatibi tentang maqashid al-syari’ah dalam konsep ibadah Abdul Qadir Al-Jailani di kitab Sirr – Al-Asrar.

c. Sebagai sumbangan pemikiran dan bahan rujukan bagi pengembangan khazanah keilmuan ke depan.


(19)

8

untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama maka diperlukan tinjauan kajian pustaka terdahulu. Berdasarkan pengamatan dan pengkajian yang telah dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan terkait dengan permasalahan yang di bahas dalam penulisan skripsi ini, Penelitian seputar kitab sirr al-asrar abdul qadir al-jailani bukanlah yang pertama dan sering ditemukan, hingga penelitian ini disusun penulis menemukan skripsi yang terkait dengan kitab sirr al-asrar yaitu :

pada tahun 2009, ditulis skripsi atas nama mukhamad ma’ruf (04511779) konsentrasi aqidah dan filsafat UIN sunan kali jaga

yogyakarta dengan judul “Konsep Zikir Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (Telaah Kitab Sirr Al-Asrar)” yang membahas tentang zikir menurut abdul qadir al-jailani dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.

Pada skripsi di atas membahas tentang zikir dan dalam skripsi diatas tidak menerangkan tentang konsep shalat ataupun bersuci menurut abdul qadir al-jailani, sedangkan skripsi ini membahas bersuci dan shalat menurut abdul qadir al-jailani.

Sedangkan penelitian mengenai konsep maqashid syariah al-syatibi sudah sangat banyak dan sering ditemukan, penulis juga menemukan skripsi tentang maqashid syariah yatiu :

Pada tahun 2009, ditulis skripsi atas nama asnawi (04350018) konsentrasi ahwal syakhsiyah UIN sunan kali jaga yogyakarta dengan


(20)

9

Agama” yang membahas kasus perkawinan beda agama dan

bagaimana tinjauan maqashid syariah.

Pada skripsi diatas objek bahasannya adalah nikah beda agama, sedangkan skripsi ini membahas konsep bersuci dan shalat menurut abdul qadir al-jailani, jadi disnilah letak perbedaan dengan skripsi sebelumnya.

E. Metode Penelitian

Pembahasan skripsi ini dilakukan dengan cara deskriptif dengan melakukan pendekatan deskriptif normatif filosofis. Penulis menggunakan dokumentasi naskah dengan menelusuri buku-buku, artikel, dan karya ilmiah lainnya yang berkenaan dengan tema bahasan ini.

Data yang diperoleh tersebut disusun secara teratur dan sistematis, kemudian dianalisis secara deskriptif normatif filosofis, dengan demikian penelitian dalam karya ilmiah ini adalah penelitian deskriptif normatif filosofis. Adapun teknik penulisan, penulis

menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini dan untuk mempermudah dalam memahami penulisan ini, penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:


(21)

10

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan Bab pembukaan skripsi yang meliputi latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : AL-SYATIBI DAN TEORINYA

TENTANG MAQASHID SYARI’AH

Bab ini menguraikan sosok Al-Syatibi meliputi biografi intelektual serta karya-karyanya dan Maqashid Syari’ah menurut Al -Syatibi.

BAB III : ABDUL QADIR AL-JAILANI DAN KONSEP IBADAH DALAM SIRR AL-ASRAR

Bab ini membahas tentang sosok Abdul Qadir Al-Jailani yang meliputi meliputi biografi intelektual serta karya-karyanya dan konsep ibadah Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sirr Al-Asrar.

BAB IV : ANALISIS TERHADAP KONSEP

IBADAH ABDUL QADIR AL-JAILANI DALAM KITAB SIRR ASRAR DITINJAU DARI MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI

Bab ini membahas analisa prinsip umum syariat-tarekat-hakikat ibadah dilihat dari pandangan maqashid syariah al-syatibi dan analisa aplikasi prinsip umum ibadah (bersuci, shalat, zakat, puasa, dan haji) dalam sirr al-asrar.


(22)

11

BAB V : PENUTUP


(23)

12

BAB II

AL-SYATIBI DAN TEORINYA TENTANG MAQASHID

SYARI’AH

A. Biografi al-Syatibi

1. Kehidupan dan Pendidikan al-Syatibi

Beliau adalah Ibrahim bin Musa, bin Muhammad al-Lakhmi al Ghamathi Abu Ishak, yang lebih dikenal dengan sebutan al-Syathibi, yang dijuluki dengan al Imam al Allaamah (yang sangat dalam ilmu pengetahuannya), al Muhaqqiq (yang memiliki kemampuan untuk meneliti sesuatu guna menemukan kesalahan dan kemudian memberi solusi), al Qudwah (yang pantas diikuti), al Hafizh (yang telah menghafal dan menjaga ribuan hadits), dan Mujtahid (yang mampu mendayagunakan kemampuan untuk menghasilkan hukum).1

al-Syatibi oleh banyak penulis sejarah diduga berada di Granada pada masa pemerintahan Ismail ibn Farraj yang berkuasa tahun 713 H, Muhammad ibn Ismail yang berkuasa tahun 725 H, Abu Hajjaj ibn Yusuf ibn Ismail berkuasa pada tahun 734 H dan Muhammad al-Ghani bi Allah ibn Abi Hujjaj Yusuf tahun 755 H.2

1 Imam Asy-Syathibi, Al-I’tisham (buku induk pembahasan bid’ah dan sunnah),

(Jakarta, Pustaka Azzam, 2006), Cet. I, h. 15

2 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, (jakarta,


(24)

13

Di masa al-Syatibi, Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada, sehingga Granada pada masa itu hampir dapat disamakan dengan Cordova di masa filosof dan faqih ternama Ibn Rusyd (w.594 H/1198 M). Istana Hamra yang didirikan oleh Muhammad ibn Ahmar sebagai bukti kesamaannya dengan Cordova yang merupakan puncak kemegahan arsitektur Islam di Spanyol.3

al-Syatibi Beliau menimba ilmu pengetahuan Arab dan sebagainya dari beberapa Imam besar, diantaranya:

a. Ibnu al Fakhar al Albiri. al Imam yang sudah terkenal mendapat kelapangan dari Allah dalam keilmuannya. Kalau pun tidak mengambil guru lain yang memiliki spesialisasi lain, niscaya ia telah cukup.

b. Abu al Qasim as-Sabthi. al Imam yang mulia, bapak ilmu lisan (bahasa), yang juga menjadi pensyarah kitab Makshurah Hazim.

c. asy-Syarif Abu Abdullah at Talmasani. al Imam al Muhaqqiq yang terpandai pada masanya.

d. Abu Abdullah al Muqri. al Imam yang memiliki keluasan ilmu pada masanya (menurut kesepakatan umum).

3Sidik Tono, “

Pemikiran dan Kajian Teori Hukum Islam Menurut al-Syatibi”. Al-Mawarid Edisi XIII. (t.p 2005): h. 104.


(25)

14

e. Quthb Ad-Dairah —Syaikh al Jalah—. Seorang pemimpin yang dikenal dengan sebutan Abu Said bin Lub. Imam yang mulia, penjelajah ilmu, dan mahir dalam berdiploma.

f. Ibnu Marzuq Al Jad. Ulama besar, AIMuhaqqiq, dan guru ilmu ushul.

g. Abu Abdullah al Balansi. Ulama besar, ahli tafsir, dan pengarang.

h. Abu Ja'far Asy-Syaquri al Haj yang memiliki keluasan ilmu, penjelajah ilmu, mahir dalam berdiploma, dan orang-orang yang selalu bersamanya dapat mengambil banyak manfaat darinya.

i. Abu al Abbas al Qabab. Penghafal hadits dan ahli dalam ilmu fikih.

j. Abu Abdullah al Hafar. Seorang mufti dan seorang ahli hadits. Untuk ilmu yang akan ditimba, beliau selalu menyertai gurunya hingga hari wafatnya.4

Disamping itu, al-Syatibi mendalami pula ilmu falak, mantiq, debat dan sastra. Pengetahuan sastra ia terima dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi, salah seorang sastrawan Spanyol. Sebagai seorang ulama, al-Syatibi telah menjadi rujukan masyarakat dan pemerintah pada waktu itu dalam memecahkan permasalahan-permasalahan keagamaan atau permasalahan-permasalahan kenegaraan yang

4 Imam Asy-Syathibi, Al-I’tisham (buku induk pembahasan bid’ah dan sunnah),


(26)

15

memerlukan tilikan keagamaan, ketokohan al-Syatibi sebagai ilmuwan, disamping terlihat dari kegiatan belajar mengajar yang diemban dan keterlibatannya dalam memberi respon terhadap permasalahan keagamaan yang muncul sesuai dengan disiplin keilmuan yang didalaminya, juga terlihat dari warisan karya-karya ilmiah yg ditinggalkannya. al-Syatibi meninggal pada tahun 790 H.5

2. Karya-Karya

al-Syatibi banyak membuat karya-karya berharga diantaranya: 1. Syarah terhadap kitab Al-Khulashah fi An-Nahwi,

2. Kitab Al Muwafaqat yang hanya membahas tentang ilmu ushul fikih, yang beliau beri nama Unwan At-Ta'rif bi Ushul At-Taklif. Kitab berharga yang belum ada tandingannya, yang sekaligus menunjukkan dan memantapkan posisinya sebagai seorang imam.

3. Kitab Al-Ifadat wa Al-Irsyadat dicetak dalam dua buku. 4. Kitab Unwan Al It-Tifaq fi Ilmi AI Isytiqaq.

5. Kitab dasar mengenai ilmu nahwu. Hal ini telah beliau sebutkan secara bersamaan dalam kitab Syarh Alffyah.6

5 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, h. 23-25. 6 Imam Asy-Syathibi, Al-I’tisham (buku induk pembahasan bid’ah dan sunnah),


(27)

16

Beberapa pandangan yang dikemukakan oleh ulama semasa al-Syatibi, para pemikir-pemikir pembaharuan dalam Islam dan cendikiawan-cendikiawan muslim akhir-akhir ini memberikan gambaran awal bahwa al-Syatibi merupakan salah seorang ulama yang telah meletakan dasar pengembangan pemikiran hukum Islam, Ushul fiqh.7

B. Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi 1. Pengertian Maqashid Syari’ah

Maqashid al-Syari’ah secara lughawi (bahasa), terdiri dari dua kata yakni maqashid dan syari’ah. Maqashid merupakan bentuk

jama’ dari kata maqshid yang berarti tujuan.8 Secara akar

bahasa, maqashid berasal dari kata ( دصق ) qashada,( دصْقي )

yaqshidu,( اًدْصق ) qashdan, yang berarti Tujuan, Maksud, dan Sengaja.9

Sedangkan syari’ah adalah peraturan-peraturan yang di ciptakan Allah atau diciptakan pokok-pokoknya, agar manusia berpegang

7 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, h. 31. 8

Lihat Hans Wehr, a dictionary of modern written arabic,J. Milton Cowan (ed) (new york, spoken english service, 1976), h. 767

9

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 1997), cet. 14, h. 1123.


(28)

17

padanya dalam melakukan hubungan dengan Tuhan, saudara sesama muslim, saudara sesama manusia, alam semesta dan kehidupan.10

Pada mulanya, istilah syariat mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti fikih dan hukum, tetapi mencakup pula akidah dan segala yang diperintahkan Allah, menaati-Nya, beriman kepada rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari pembalasan dan segala sesuatu yang membuat seseorang menjadi muslim sejati.11

Maqashid Syari’ah secara istilah adalah tujuan-tujuan syariat Islam yang terkandung dalam setiap aturannya. Imam al-Syatibi

mengungkapkan tentang syari’ah dan fungsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-Muwafaqat :

ه ه

نيدلا يف م حلاصم مايق يف ع اشلا دصاقم قيقحتل تعض .... ةعي شلا

اعم ايندلا

“Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya

(mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”.12

Menurut al-Syatibi, Allah menurunkan Syariat (aturan hukum) untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadharatan

(jalbul mashalih wa dar’u al-mafasid). Dengan bahasa lebih mudah,

10

Mahmud Syaltut, Islam Akidah dan Syariah, (jakarta, pustaka amani, 1966), Cet.III, h. 5.

11

Hamka haq, Al-Syatibi Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muawafaqat, (t.t, Erlangga, 2007), Cet.I, h.14.

12

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Ahkam,(Beirut, Ibrahim ibn Musa al-Maliki, t.t) Jilid I, h. 3.


(29)

18

aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanya untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.13

al-Syatibi membagi maslahat ini pada tiga bagian penting yaitu

dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyyat

(pelengkap).14

Pertama daruriyyat yaitu sesuatu yang harus ada demi kelangsungan hidup manusia, jika tidak ada makakehidupan manusia akan hancur. kedua hajiyyat sesuatu yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia jika tidak ada manusia tak akan hancur tapi mengalami kesulitan, ketiga tahsiniat sesuatu yang memperindah atau melngkapi.15

Penulis melihat maqashid syari’ah dimaknai tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam membuat hukum Islam. Tujuan ini bisa diketahui dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebagai alasan kuat bagi rumusan satu hukum yang mempunyai visi pada kemaslahatan manusia.

2. Dasar Maqashid Syari’ah

Penekanan maqashid syari’ah yang dilakukan oleh al-Syatibi secara umum bertitik tolak dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an yang

13

Asmuni Mth, Studi Pemikiran Al-Maqashid, Al-Mawarid Edisi XIV thn 2005.h. 167.

14

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,(Darul ibn Affan, Abu Ubaidah Mashur ibn Hasan Al-Salamah, t.t) Jilid I, h. 18.

15 Yudian Wahyudi, Maqashid Syari’ah dalam Pergumula Politik, (yogya,


(30)

19

menunjukkan bahwa hukum-hukum Allah SWT mengandung kemaslahatan.16

Ayat-ayat itu antara lain adalah berkaitan dengan pengutusan Rasul dalam al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 165 Allah SWT berfirman:

















































(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ayat ini megisyaratakan bahwa Rasul-rasul yang diutus Allah bukan hanya sekedar membawa peringatan tapi menyampaikan maksud-maksud Tuhan.

Dalam surah al-Anbiya ayat 107 Allah SWTmenegaskan:























Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

16

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,( Darul ibn Affan, Abu Ubaidah Mashur ibn Hasan Al-Salamah, t.t) Jilid I, hlm. 12.


(31)

20

Dalam ayat ini jelas sekali Tuhan mengutus Nabi Muhammad Saw untuk memberi kemaslahatan bagi manusia dan seluruh alam.

Berkaitan dengan asal penciptaan, Allah SWT berfirman dalam surah Hud ayat 7













































Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.17

Ketiga ayat diatas menunjukan pada kita bahwa semua yang Tuhan ciptakan dan Tuhan turunkan berupa syariat adalah rahmat sekaligus maslahat bagi manusia dan alam.

3. Pembagian Maqashid Syari’ah

Allah SWT mensyari’atkan hukum bertujuan memelihara

kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui

taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, Al-Qur’an dan Hadist. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan

17

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,( Darul ibn Affan, Abu Ubaidah Mashur ibn Hasan Al-Salamah, t.t) Jilid I, h. 12.


(32)

21

penelitian para ahli ushul fiqih, ada lima unsur yang harus dipelihara dan diwujudkan.18

Kelima pokok tersebut adalah agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima unsur dengan baik.19

Dalam usaha memperoleh gambaran utuh tentang teori

maqashid syari’ah, berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing yaitu20:

1) Hifdz ad-Din (memelihara agama)

Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara agama peringkat daruriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat ini diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama.

b. Memelihara agama peringkat hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama, bermaksud menghindari kesulitan, seperti shalat jamak dan shalat qashar bagi orang yang sedang bepergian. jika tidak dilaksanakan maka tidak mengancam

18

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. 1, h.125.

19

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,( Darul ibn Affan, Abu Ubaidah Mashur ibn Hasan Al-Salamah, t.t) Jilid I, hlm. 12.

20

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. 1, h.128-130


(33)

22

eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.

c. Memelihara agama peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan, misalnya menutup aurat, baik di dalam maupun di luar shalat, membersihkan badan, pakaian, dan tempat.21 2) Hifdz an-Nafs (memelihara jiwa)

Hak pertama dan utama yang diperhatikan islam adalah hak hidup, maka tidak diherankan bila jiwa manusia dalam syariat Allah sangat dimuliakan, harus dipelihara, dijaga, dipertahankan.22 berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.

b. Memelihara jiwa dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka

21 Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah Peran dan Relevansinya Dalam

Pengembangan Hukum Islam Kontemporer” Ahkam XI, No.2 (juli 2011): h.171.

22

Ahmad Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta, Amzah, 2009), Cet.II, h. 23.


(34)

23

tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.

c. Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, atau pun mempersulit kehidupan seseorang.23

3) Hifdz al-Aql (memelihara akal)

Akal mendapat penghargaan tinggi karena berkemampuan untuk mengetahui maslahah sebagai tujuan syariat, Allah menciptakan menciptakan manusia dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Kemudian Allah memberinya ilmu dan petunjuk untuk kemaslahatannya di dunia dan akhirat.24

Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara akal dalam peringkat daruriyyat, seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.

b. Memelihara akal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak akal,tetapi akan

23Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah..” Ahkam XI, h

.172

24

Hamka Haq, Syathibi : Aspek Teologis Konsep Maslahah Dalam Kitab Al-Muwafaqat,(t.t Erlangga, 2007) Cet.I, h. 109.


(35)

24

mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

c. Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat, seperti menghindarkan diri dari mengkhayal mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.25

4) Hifdz an-Nasl / an-Nasb (memelihara keturunan)

Pernikahan dalam islam merupakan hal yang sangat penting karena sangat erat kaitannya dengan keberlangsungan kehidupan manusia di atas bumi, sehingga Allah SWT dan Rasul-Nya Saw, menetapkannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, berkaitan pernikahan. 26

Islam ingin menjaga eksistensi keturunan atau kehormatan dengan melarang zina, memerintahkan nikah dan melarang menuduh zina tanpa bukti.

Islam juga mengharuskan orang tua memenuhi hak-hak anak, misalnya hak mendapat perawatan yang layak dan pilihan untuk menentukan fasilitas perawatan diserahkan kepada rasa estetika dan kemampuan lokal.27

25Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah..” Ahkam XI, h.172. 26 Anita Masduki, “

Pemikiran beda agama menurut persfektif femiis liberal” Islamia III, No.5 (2010): h.99.

27

Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh Vs hermeneutika : membaca islam dari kanada dan amerika, (yogyakarta, nawesea, 2007) Cet.IV, h.51.


(36)

25

Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, sepert disyariatkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.

b. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq padanya. c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti

disyari’atkan khitbah dan walimah dalam perkawinan.28 5) Hifdz al-Mal (memelihara harta benda)

Harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan dimana manusia tidak akan bisa terlepas darinya, manusia termotivasi mencari harta untuk menjaga eksistensinya, namun semua motivasi dibatasi tiga syarat, yaitu harta di cari dengan halal, digunakan untuk hal-hal yang halal, dan harta harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup. 29

Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti

syari’at tentang tata cara kepemilikan harta dan larangan

28Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah..” Ahkam XI, h.172

.

29


(37)

26

mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya aksistensi harta.

b. Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat, sepert syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.

c. Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari tindak penipuan dan pengecohan.30

maqashid al-daruriyat dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia diatas. maqashid al-hajiyyat dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi, Sedangkan maqashid al-tahsiniyat dimaksudkan untuk penyempurnaan lima unsur pokok.31Pembagian-pembagian tersebut di atas, sebagaimana yang telah dijelaskan secara rinci, menjadi titik tolak dalam memahami hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah SWT.

30Mahfuk Muis, “Maqashid Al-Syari’ah..” Ahkam XI, h.172.


(38)

27

mas฀lah฀ah bersifat universal, berlaku umum dan abadi bagi

seluruh manusia dan dalam segala keadaan. Mas฀lah฀ah yang diwujudkan manusia adalah untuk kebaikan manusia sendiri, bukan untuk kepentingan Allah. Namun demikian, manusia tidak boleh menurutkan nafsunya, tetapi harus berdasarkan syariat Allah.32

4. Syarat-syarat dalam memahami Maqashid Syari’ah Bagi al-Syatibi

Sumber utama ajaran Islam adalah al-Qur’an. maqashid

syari’ah terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu,

pemahaman dan penggaliannya memerlukan beberapa syarat. Menurut al-Syatibi sekurang-kurangnya ada tiga syarat yang dibutuhkan dalam rangka memahami maqashid syari’ah diantaranya yaitu:

a. Memiliki pengetahuan bahasa arab b.Memiliki pengetahuan tentang sunnah c. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat33

Ketiga hal diatas harus dimiliki sebagai alat membedah

maqashid jika tidak tentu akan kesulitan untuk memahami maksud dan tujuan Tuhan dalam al-Qur’an.

32

Hamka Haq, Syathibi : Aspek Teologis Konsep Maslahah Dalam Kitab Al-Muwafaqat, Cet.I, h. 109.


(39)

28

C. Maslahah adalah Maqashid Syari’ah

mas฀lah฀ah secara bahasa atau etimologi (bahasa arab) adalah

berarti kemanfaatan, kebaikan, kepentingan. Dalam bahasa Indonesia sering ditulis dan disebut dengan kata maslahat (lawan kata dari mafsadat) yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan (keselamatan), faedah, guna. Sedangakan kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan.34

Syari’ah Islam itu adalah syari’ah mashlahah. Norma hukum yang dikandung teks-teks syari’ah pasti dapat mewujudkan

mas฀lah฀ah, sehingga tidak ada maslahah diluar petunjuk teks

syari’ah dan karena itu tidak ada pertentangan antara mashlahah dan teks syari’ah.35

Adapun pengertian mas฀lah฀ah secara terminologi adalah memelihara dan mewujudkan tujuan syara’ yaitu meliputi pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan. Setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai mas฀lah฀ah.36

Sementara itu pembagian mas฀lah฀ah pada umumnya ulama lebih dulu meninjaunya dari segi ada atau tidaknya kesaksian syara’ terhadapnya.

34

Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang, UIN malang Press, 2007) Cet. 1, h.113.

35Asmawi, “

Maslahah, Hukum Islam, dan Hukum Negara” Ahkam XI, No.2 (juli 2011): h.142.

36


(40)

29

Berdasarkan segi ada tidaknyan ketegasan justifikasi syara’

maslahah dibagi tiga yaitu :

1) al-mas฀lah฀ahal-mu’tabarah atau mu’atsirah yaitu mas฀lah฀ah

yang mendapat ketegasan justifikasi syara’ terhadap penerimaannya atau mas฀lah฀ah yang secara khusus diakui oleh syara’.37

2) al- mas฀lah฀ah al-mursalah yaitu mas฀lah฀ah yang tidak

terdapat dalil syara’ yang secara khusus mengakui ataupun menolaknya.

3) al- mas฀lah฀ah al-mulgha adalah mas฀lah฀ah yang terdapat

kesaksian syara’ yang membatalkannya (menolaknya),

mas฀lah฀ah mulgha ini batil artinya tidak dapat dijadikan hujjah

atau sumber hukum karena ia bertentangan dengan nash. 38

Sesungguhnya penilaian sesuatu itu mas฀lah฀ah atau tidak adalah murni akal tetapi ulama membuat tiga katagori ini agar jelas mana maslahat yang bisa di ambil dan yang tidak. Sehingga jelas konsep mas฀lah฀ah ini tidak menabrak koridor-koridor yang disepakati.

37Asmawi, “

Maslahah, Hukum Islam, dan Hukum Negara” Ahkam XI, No.2 (juli 2011): h.143.

38


(41)

30

BAB III

ABDUL QADIR AL-JAILANI DAN KONSEP IBADAH DALAM SIRR AL-ASRAR

A. Biografi Abdul Qadir Al-Jailani

1. Kehidupan dan Pendidikan Abdul Qadir al-Jailani

Abdul Qadir al-Jailani lahir pada tanggal 1 Ramadhan tahun 470 Hijriah atau 1077 Masehi di Jailan, Persia. Ibunya seorang yang saleh bernama Fatimah binti Abdullah al-Shama’i al-Husayni ketika melahirkan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ibunya berusia 60 tahun, suatu kelahiran yang tidak lazim terjadi bagi wanita seumurnya.1

Nama ayah Abdul Qadir al-Jailani adalah Abu Shaleh Musa bin Abdullah bin Musa al-jun bin Abdullah al-Mahdh bin Abu Muhammad Hasan al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abu Thalib (suami dari Sayyidah Fathimah, putri Rasulullah saw).2

Ayahnya Abu Shaleh Musa adalah seorang yang sangat zuhud dan rajin beribadah hingga beliau mendapat gelar dalam bahasa persia dengan sebutan Jangki Dausat atau muhibb al-jadid yakni orang yang mencintai jihad melawan hawa nafsu.3

1

Sri Mulyati, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia,( Jakarta, Prenada Media, 2005), Cet.2, h. 26 .

2

Syukron Maksum, Wirid-Wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, (yogyakarta, mutiara media, 2014), Cet. I, H. 201.

3

Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar ...Rasaning Rasa, (Ciputat, Salima, 2013), cet. II, h.xxv


(42)

31

Abdul Qadir al-Jailani tiba di Baghdad pada tahun 488 H, pada saat beliau berusia 18 tahun. Tahun itu juga betepatan dengan keputusan Imam Abu Hamid al-Ghazali untuk meninggalkan tugasnya mengajar di Universitas Nizhamiah, Baghdad. Sang imam ternyata lebih memilih melakukan uzlah.4

Beliau (Abdul Qadir al-Jailani) kemudian sibuk dalam mempelajari Al-Qur’an sampai menguasainya. Lalu belajar fikih serta memantapkan keilmuan beliau dalam bidang ushul fikih,

furu’ul-fikh, dan ilmu khilaf.5

Beliau juga mempelajari hadist dan sibuk dengan mau‟idhah sampai beliau mahir memberikan mau‟idhah. Beliau belajar ilmu dari para ulama yang tersohor pada masanya. Di antara guru-guru beliau adalah sebagai berikut.6

Ali bin Aqil Abul Wafa’ bin Aqil (w. 513 H), Mahfudz bin Ahmad bin Hasan Abul Khattab al-Kalwadzaniy (w. 510 H), Yahya bin Ali bin Muhammad Abu Zakariya At-Tibriziy (w.502 H), Muhammad bin Muhammad bin Husain Abul-Husain bin Abu ya’la al-Farra’ (w.526 H), Habitullah bin Mubarak bin Musa Abul-Barakat As-Saqhathy (w 509. H), Hammad bin Muslim Abu Abdillah Ad-Dabbas Ar-Rahbiy (w.525 H), dan guru-gurnya yang lain.7

4

Shaih Ahmad al-Syami, terjemah Mawaa‟izh al-Syekh „Abd al-Qadir al-Jaylani, (Jakarta, Zaman, 2012), Cet. IV, h. 16.

5

Abdul Qadir Al-Jailani, Kitab Para Pencari Tuhan, (Yogyakarta, Citra Media Pustaka, 2013), Cet. I, h. XV

6

Ibid., h.XV

7


(43)

32

Selain itu pada umur 18 tahun beliau belajar di madrasah Abu Said al-Makhzumi setelah 33 tahun belajar gurunya Abu Said al-Makhzumi wafat dan menyerahkan madrasahnya kepada Abdul Qadir al-Jailani, mulai saat itu, beliau memberikan kuliah di madrasahnya. Beliau memberikan materi 3 kali dalam seminggu. Beliau menguasai berbagai cabang ilmu dalam islam, mulai dari ilmu Tafsir, Hadis, Fikih, Bahasa, Qira’at, dan lain sebagainya. Dalam hal fikih, beliau memberi fatwa menurut mazhab imam Asy-Syafii dan Imam Ahmad ibn Hanbal.8

Ada dua jenis materi pembelajaran yang di sajikan Abdul Qadir al-Jailani. Pertama materi pembelajaran tersetuktur yang mencakup banyak ilmu pengetahuanb yang berhubungan dengan pendidikan rohani dan ini sudah ada sejak sekolah didirikan, kedua materi pembelajaran terkait tausiah dan dakwah umat yang rutin diadakan dalm 3 sesi, (1). Jumat pagi (2) selasa sore (3) ahad pagi. Pada jumat dan selasa di sekolah sedang ahad dilakukan di asrama.9

Murid – murid Abdul Qadir al-Jailani tak terhitung banyaknya tapi ada beberapa muridnya yang menjadi bintang-bintang di dunia keilmuan dan menjadi pelita ditengah-tengah umat. Diantarnya Al-

8

Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h. xxvi

9

Shaih Ahmad al-Syami, terjemah Mawaa‟izh al-Syekh „Abd al-Qadir al-Jaylani, h. 76.


(44)

33

Qadhi Abu Mahasin Umar bin Ali Hadhar Al-Qurasyi, Taqiyudin Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur Al-Maqdisi, dan Muwaffiquddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qadamah Al-Maqdusi.10

Di antara perkataan beliau yang masyhur adalah, “Aku telah

meneliti semua amal shaleh, dan tidak ada yang melebihi keutamaan

amal memberi makan.” Dan dikalangan kaum Sufi Abdul Qadir al-Jailani diakui sosok yang menempati hierarki mistik yang tertinggi (al-Ghawts al-A’zham).11 Selain itu juga beliau dijuluki sebagai

Sulthan al-Auliya (pemimpin para wali) karena klaim beliau dan pengakuan ulama-ulama sufi yang sezaman dengan beliau.

Abdul Qadir al-Jailani meninggal pada malam sabtu tanggal

delapan Rabi’ul Akhir tahun 561 H setelah magrib jenazahnya

dikubur di sekolahannya setelah disaksikan oleh manusia yang tidak terhitung jumlahnya. 12

Diceritakan dalam pengantar tafsir al-jailani bahwa Pada saat itu, semua tanah lapang, jalan, pasar, penuh oleh lautan manusia, sehingga tak mungkin pemakaman Syekh dapat dilakukan disiang hari.

Kemudian ibnu an-Najjar berkata, “Syekh Abdul Qadir al -Jailani wafat pada masa pemerintahan Al-Mustanjid Billah Abul

10

Said bin Musfir Al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, (Jakarta, Darul Falah, 2003), Cet. I, h. 16

11

Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h. xxv

12


(45)

34

Muzhaffar Yusuf bin Al-Muqtafa li-Amrillah bin Al-Mustazhhar Billah al-Abbasi rahimahumullah.13

2. Karya – karya

1) Karya-Umum

Berikut adalah beberapa karya Abdul Qadir al-Jailani14 : a. Al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haq,

b. Futuhul Ghaib, c. Al-Fath ar-Rabbani, d. Jalâ‟ Al-Khâthir, e. Sirr Al- Asrâr, f. Ar-Rasâil,

g. Mukhtasar „Ulûm Ad-dîn, h. Ushûl Ad-dîn

i. Ushûl-As-Saba‟

j. Ash-Shalawât wa al-Aurâd

k. Al-Amr al-Muhkam

l. Tafsîr Al-Jailâni. m. Asrâr-Al-Asrâr

n. Yawâqît al-Hikam dan masih banyak karya yang lainya.15

13

Abdul Qadir al-Jailani, Tafsir Al-Jailani, (pentahkik Dr. Muhammad Fadhil Jailani Al-Hasani), (Ciputat, Salima Publika, 2013), Cet I, h. X.

15


(46)

35

Dalam disertasi Said al-Qathani yang berjudul buku putih Abdul Qadir al-Jailani dinyatakan bahwa Abdul Qadir al-Jailani tidak mempunyai karya berupa buku karena beliau terlalu sibuk mengajar dan memberi nasehat.

al-Qathani hanya menerima tiga buku yang ditulis oleh murid-murid Abdul Qadir al-Jailani yaitu Al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haq, Futuhul Ghaib, dan Al-Fath ar-Rabbani.16 Dan tidak menerima isi dalam ketiga kitab diatas jika berkaitan dengan masalah aqidah dan suluk (tasawuf).

Sebenarnya buku-buku yang dinisbatkan Abdul Qadir al-Jailani banyak ditulis oleh murid-murid beliau dan memang banyak yang isinya adalah ceramah saat mengajar, tapi buku-buku ini banyak diwariskan kepada generasi selanjutnya.

pada saat ini telah berdiri markaz al-Jailani yang mengumpulkan manuskrip dari seluruh dunia serta melakukan riset terhadap buku-buku Abdul Qadir al-Jailani dan empat belas buku yang disebutkan diatas diakui oleh pimpinan markaz al-jailnai yaitu Dr. Muhammad Fadhil jailani al-Hasani yang dijadikan pengantar di buku Tafsir al-Jailani, yang berhasil beliau tahkik.17

2) Kitab Sirr Al- Asrâr

16

Said bin Musfir Al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, h.30-35.

17


(47)

36

Dalam membaca buku ini secara singkat dapat dikatakan bahwa buku ini menjelaskan hal-hal mendasar dari ajaran islam, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji berdasarkan sudut pandang sufistik (tasawuf).

Kitab yang ditulis Abdul Qadir al-Jailani di anggap sebagai jembatan yang mengantarkan pada tiga karyanya yang terkenal yaitu

Ghunyah li Thalibi Thariq Haqq, Fath Ar-Rabbani wa Al-Faydh Ar-Rahmani dan Futuh Al-Ghaib.18

Adapun metode pengajaran dan penyampaian yang digunakan dalam kitab sirrul asrar adalah metode bayani (penjelasan), yakni dengan kata-kata yang tepat, ungkapan yang mudah, seimbang dan jauh dari keruwetan. Sesuai dengan namanya yaitu Sirrul Asrar, setidaknya 24 macam rahasia yang diungkapkan Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab ini.19

B. Pandangan Abdul Qadir al-Jailani Terhadap Realitas

Penulis melihat Abdul Qadir al-Jailani mempunyai cakrawala berfikir yang unik dalam menjelaskan ajaran islam. Abdul Qadir al-Jailani memandang realitas dunia ini tidak hanya secara fisik yang bisa terindera saja tapi juga ada tingkatan alam-alam.

Dalam kitab Sirr Al- Asrâr dijelaskan manusia yang terdiri dari jasad serta ruh dan sesungguhnya ruh-ruh itu berasal dari Nur

18

Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h. xxi

19


(48)

37

Muhammad di alam lahut selanjutnya ruh-ruh diturunkan ke alam terendah ke dalam jasad-jasad manusia.20

Proses turunnya ruh setelah diciptakan di alam lahut, kemudian diturunkan ke alam jabarut. Lalu disana ia dibalut dengan cahaya

jabarut sebagai pakaian antara dua haram (dua tempat antara dimensi ketuhanan dan dimensi makhluk, di alam kabir). Ruh dilapisan kedua ini disebut Ruh Sulthani. Lalu diturunkan lagi ke alam Malakut dan dibalut cahaya Malakut kemudian disebut Ruh Ruwani. Kemudian diturunkan ke alam Mulki dan dibalut cahaya Mulki. Ruh dilapisan keempat inilah yang disebut Ruh Jismani. Selanjutnya Allah menciptakan jasad-jasad sebagaimana firman Allah (QS. Thâha [20] : 55), setelah tercipta jasad-jasad Allah SWT memerintahkan Ruh (di alam Mulki tadi) agar masuk ke dalam jasad-jasad itu dan Ruh pun masuk kedalamnya.21

Abdul Qadir al-Jailani melihat bahwa kehidupan ini sesungguhnya ada hirarki transendental dari alam Mulki, alam Malakut, alam Jabarut, dan alam Lahut (negeri asal), dan sesungguhnya cakrawala pengetahuan tentang hirarki ini bisa di capai dengan menjalankan syariat, tariqat dan hakikat.

C. Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani dalam Kitab Sirr Al-Asrar

20

Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h. 10 21 Ibid, h. 13-14.


(49)

38

Dalam penelitian ini penulis mencoba menelaah kitab sirrul asrar khususnya pada bab tentang ibadah yaitu konsep thaharah dan shalat. Pada kitab Sirr Al-Asrar Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan tentang

thaharah (bersuci) dan shalat menurut syari’at dan tarekat. 1. Thaharah

Bersuci ada dua macam yakni bersuci secara lahir; dan bersuci secara batin. Bersuci secara lahir dilakukan dengan menggunakan air. Adapun bersuci secara batin dilakukan dengan tobat, talqin, membersihkan kalbu dan menjalankan tarekat. Bila wudhu syari’at batal karena keluarnya najis, maka seseorang wajib memperbaharui wudhunya.22

Setiap memperbaharui whudu akan menghapuskan dosa-dosanya, Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

Artnya : “Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah

SAW bersabda: “Apabila seorang hamba muslim atau mukmin berwudhu, lalu membasuh wajahnya maka keluarlah dari wajahnya segala dosa-dosa karena penglihatan matanya bersama dengan air atau bersama tetes air yang terakhir. Apabila membasuh kedua tangannya maka keluarlah dari kedua tangannya segala dosa-dosa karena perbuatan kedua tangannya bersama dengan air atau bersama tetes air yang terakhir. Apabila membasuh kedua kakinya maka keluarlah dari kedua kakinya segala dosa-dosa yang ditempuh oleh kedua kakinya bersama dengan air atau bersama tetes air yang

22


(50)

39

terakhir sehingga ia keluar dalam keadaan bersih dari dosa-dosa” (HR.Muslim)23

Bila wudhu batin batal karena melakukan amalan yang tercela dan akhlak yang hina, seperti (dosa kalbu yakni) sombong, „ujub (berbangga diri), hasad (dengki), hiqd (dendam), mengumpat, mengadu-adu, dan bohong atau dosa badan, seperti dosa mata, telinga, tangan, dan kaki. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

Artinya : “Kedua mata dapat berzina, kedua tangan dapat berzina, & kemaluan membenarkannya atau menolaknya.”(HR.Ahmad).24

Maka cara memperbarui wudhunya adalah dengan tobat yang ikhlas dari semua dosa kalbu dan badan di atas dan dengan memperbarui inabah (kembali kepada Allah) yakni dengan menyesali semua dosa-dosa dan memohon ampunan serta menghancurkan dosa-dosa tersebut langsung dari batinnya.

Bagi Abdul Qadir al-Jailani Seorang ahli makrifat harus selalu menjaga tobatnya dari dosa-dosa yang merusak tadi, agar shalatnya menjadi sempurna. Sebagaimana firman Allah SWT ,







  



23 Abū al

-Ḥusayn Muslim ibn al-Ḥajjāj ibn Muslim al-Qushayrī an-Naysābūrī, Shahih Muslim, (Beirut, Darul al-afak al-jadidah, t.t), juz I, hlm.148.

24

Ahmad ibn Hambal, Musnad Imam Ahmad Ibn Hambal, (Kairo, Yayasan Cordova, t.t), juz II, hlm. 344.


(51)

40

Artinya :“Inilah yang dijanjikan kepadamu, yaitu kepada setiap hamba yang selalu kembali kepada Allah dengan bertobat dan memelihara semua peraturan-peraturannya. ” (QS. Qaf (50): 32).

Jika wudhu lahir dan shalat lahir mempunyai waktu tertentu setiap satu hari satu malam, maka wudhu batin dan shalat batin waktunya seumur hidup, dari hari ke hari tanpa putus.25

Penulis melihat dari hasil perpaduan wudhu lahir dan batin akan meghasilkan buah yaitu akhlak seperti lebih rendah hati, lebih beradab, sehingga ada peningkatan dari hari ke hari. Itulah buahnya sehingga kita bisa lebih dekat kepada Allah. Sebab, justru di hadapan Allah kita semakin menundukan kepala, karena semua ini adalah pemberian-Nya, kalau bukan karena pemberian-Nya bagaimana bisa mengerti segala yang kita miliki ini.

2. Shalat

Shalat menurut Syariat adalah ibadah yang sudah sangat dikenal yaitu ucapan dan perbuatan yang diawali dengan ucapan takbir dan diakhiri dengan ucapan salam.26

Shalat memeiliki beberapa persyaratan yang harus dilakukan sebelumnya, yaitu: bersuci dengan air yang suci, dengan pakaian

25

Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.169.

26

Ahmad Saiful Islam Hasan Al-Banna, Tafsir Hasan Al-Banna, (Jakarta, Suara Agung, 2010), cet. 1, h. 134


(52)

41

yang suci, bertempat di tempat yang suci, menghadap kiblat, niat, dan telah masuk pada waktunya.27

Maksud shalat syari’at, yang disebutkan dalam Al-Qur’an ini,





 









“Hendaklah kamu menjaga shalat-shalatmu dan shalat wustha

(yang di tengah).” (QS. Al-Baqarah (2): 238)

Ialah shalat yang rukun-rukunnya berkaitan dengan gerakan anggota badan yang lahir, seperti berdiri, membaca ayat atau surah, rukuk, sujud, dan mengeluarkan suara dan bacaan-bacaan. Makanya

Allah SWT menggabungkan dengan lafadz jamak “shalawat”

(beberapa shalat) sebagai isyarat akan shalat syari’at yang lima waktu.

Adapun shalat tarekat adalah shalatnya kalbu dan itu dilakukan tanpa batas waktu atau selama-lamanya. Sebagaimana diisyaratkan

pada ayat di atas dalam kalimat, “Shalat Wustha.” Maksud dari

shalat al-wustha yaitu shalat kalbu karena hati berada di tengah (al-wasth) badan; antara kanan dan kiri; antara atas dan bawah; juga yang menjelaskan rasa antara bahagia dan menderita.

Sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW,

27

Abdul Qadir Al-Jailani, Rahasia Muslim Sejati : menyelami jalan tasawuf (suluk) menjadi kekasih Allah, (jogjakarta, Bening, 2010), Cet.I, h.13


(53)

42

Artinya :“Sesungguhnya kalbu manusia ada di antara dua jari-jari Allah, Allah membolak-baliknya sesuai dengan kehendak-Nya.” (HR. Muslim)28

Maksud dari dua jari Allah SWT ialah dua sifat Allah, yaitu sifat Maha Memaksa (Al-Qahhar) dan sifat Maha Lembut ( Al-Lathif). Dari ayat dan hadits di atas diketahui bahwa shalat yang pokok adalah shalat kalbu. Bila shalat kalbu dilupakan, maka rusaklah shalat kalbu dan shalat jawarih-nya. 29

Hal itu karena, orang yang shalat sedang bermunajat (berdialog) dengan Tuhannya. Sedangkan, alat untuk munajat adalah

kalbu. Bila kalbu lupa maka “batallah” shalat kalbu sekaligus shalat

badannya karena kalbu merupakan inti, dan anggota badan yang lain mengikutinya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

Artinya :

Sesungguhnya di dalam jasad manusia ada segumpal daging. Bila ia baik, kekujur badan akan ikut baik dan bila ia buruk,

sekujur badan pun menjadi buruk. Itulah hati. ” (HR.Al-Bukhari)30

Shalat syari’at sebagaimana diketahui secara fiqh mempunyai waktu tertentu, dalam satu hari satu malam wajib dikerjakan lima

kali. Dan, shalat syari’at ini sunahnya dilakukan di masjid secara

28 Abū al

-Ḥusayn Muslim ibn al-Ḥajjāj ibn Muslim al-Qushayrī an-Naysābūrī, Shahih Muslim, (Beirut, Darul al-afak al-jadidah, t.t), juz 8, hlm.51.

29

Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.174.

30

Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Ju'fi al-Bukhari, al-Jami‟ al-Shahih (Kairo, Darul Aswab, 1987), juz 1, h. 20.


(54)

43

berjamaah, menghadap ka’bah dan mengikuti gerakan imam, tanpa riya’ dan sum’ah.

Sedangkan shalat tarekat dilakukan seumur hidup tanpa batas waktu. Masjidnya adalah kalbu. Cara berjamaahnya ialah dengan memadu kesucian batin untuk menyibukkan diri dengan asma-asma tauhid melalui lisan batin. Imamnya adalah rasa rindu di dalam kalbu untuk sampai kepada Allah SWT. Kiblatnya ialah Hadhrah Al-Ahadiyah (fase tertinggi dari maqam ruh) yakni hadirat Allah yang Maha Tunggal dan Keindahan Allah SWT. Itulah kiblat yang hakiki. Selamanya, kalbu dan ruh tidak boleh lepas dari shalat ini.31

Dalam menjalankan shalat tarekat ini, kalbu tidak boleh tidur dan tidak boleh mati. Ia selalu punya kegiatan, saat tidur maupun terjaga. Shalat tarekat dilakukan dengan hidupnya kalbu tanpa suara, tanpa berdiri dan tanpa duduk. Orang yang menjalankan shalat tarekat, akan selalu berhadapan dengan Allah SWT dan senantiasa

siaga dengan ucapan, “Kepada-Mu kami beribadah dan kepada-Mu

kami memohon pertolongan,” dan mengikuti Nabi Muhammad

SAW karena begitulah keadaan Nabi.32

Al-Qadhi di dalam menafsirkan ayat di atas berkata, “Ayat ini merupakan isyarat tentang kalbu seorang ahli makrifat kepada Allah, yang telah berpindah dari keadaan gaib kepada Al-Hadrah Ahadiyah

31

Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar, h.175.

32


(55)

44

(fase tertinggi dari maqam ruh). Ini, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW,”

Artinya : “Para Nabi dan para wali selalu shalat di alam kuburnya,

seperti halnya mereka shalat di rumahnya.” (HR. Al-Bazzar)33

Abdul Qadir al-Jailani mengartikan, mereka selalu sibuk bermunajat pada Allah SWT karena hatinya yang hidup.

Bagi Abdul Qadir al-Jailani Bila dua shalat syari’at dan shalat tarekat ini telah berpadu secara lahir dan batin, maka sempurnalah shalat itu dan pahalanya pun sangat besar. Pahalanya berupa Al-Qurbah (dekat dengan Allah) yang diraih oleh shalat ruhaniahnya dan pahala derajat (surga) yang diraih oleh shalat badannya. Maka orang yang melakukan shalat seperti ini berarti ia lahiriahnya ahli ibadah, dan batinnya „arif billah (makrifat kepada Allah). Dan, bila shalat tarekatnya tak mampu menghidupkan kalbu, maka nilainya berkurang dan pahalanya pun hanya derajat (surga), tidak mendapat pahala Al-Qurbah.34

33

al-Imam al-Hafidz al-Kabir Abu Bakrin Ahmad ibn Abdi al-Kholiqi al-Basharyi Al-Bazzar, Musnad al-Bazzar, (Madinah, Maktabah Ulum wal Hikmah, 2009), juz 13, h.62.

34


(56)

45

BAB IV

ANALISIS TERHADAP KONSEP IBADAH ABDUL

QADIR AL-JAILANI DALAM KITAB SIRR AL-ASRAR

DITINJAU DARI MAQASHID SYARIAH AL-SYATIBI

A. Konsep Ibadah Abdul Qadir al-Jailani Ditinjau Dari Teori Maqashid Syari’ah Al-Syatibi

Penulis berpendapat bahwa pandangan Abdul Qadir al-Jailani tentang hakikat ibadah adalah untuk menuju realitas tertinggi, bukan hanya sekedar melaksanakan saja sebagaimana tata cara yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang, sebagai balasannya nanti mendapat kenikmatan-kenikmatan ragawi di akhirat.

Bagi Abdul Qadir al-Jailani ibadah itu bukan hanya melaksanakan sesuai dengan Nabi Muhammad Saw laksanakan, tetapi ada aspek batin yang dengan itu kita dapat meraih realitas tertinggi. Dan ini bisa di capai dengan melatih diri meninggalkan hawa nafsu serta melakukan kegiatan ruhaniyah dengan tujuan ridha Allah tanpa riya (ingin dipuji orang) dan sum‟ah (mencari kemasyhuran).1

Cakrawala berpikir Abdul Qadir al-Jailani yang memandang bahwa aspek syariat, tarekat, dan hakikat sebagai jalan menuju realitas

1

Abdul Qadir al-Jailani, Sirrul – Asrar ...Rasaning Rasa, (Ciputat, Salima, 2013), cet. II, h.23.


(57)

46

tertinggilah yang menjadikannya mempunyai cara pandangan yang mampu menemukan rahasia dari sebuah ibadah yang diperintahkan Allah Swt.

Konsep Abdul Qadir al-Jailani tentang hakikat ibadah sesungguhnya merealisasikan semua maslahah yang dijelaskan oleh al-Syatibi dan membaginya ke dalam tingkatan – tingkatan. Sebagaimana kita ketahui konsep maslahah di bagi tiga dari segi ketegasan justifikasi syara‟; bagian pertama maslahah mu‟tabarah (yang diterima syara‟), kedua maslahah mulgah (yang ditolak syara‟), ketiga maslahah mursalah (tidak tegas diterima atau ditolak syara‟).2

Kemudian secara tingkatan di bagi tiga bagian; yang pertama

daruriyyah (primer/wajib ada), yang kedua hajiyyah (sekunder/kebutuhan untuk menghindarkan kesulitan), yang ketiga tahsiniyyah

(tertier/keindahan). Jika dirinci kepada kasus hukum yang detail (fiqh) akan terlihat klasifikasi maslahah seperti daruriyyah mu‟tabarah,

daruriyyah mulghah, hajiyyah mu‟tabarah dan lain sebagainya.

Sebagai contoh daruriyyah mu‟tabarah adalah kebolehan memakan bangkai jika tidak ada makanan lain atau dalam kondis yang darurat, jika tidak makan bangkai akan mati. Hal ini merealisasikan penjagaan terhadap jiwa atau hidz an-nafs.

2

Asmawi, “Maslahah, Hukum Islam, dan Hukum Negara” Ahkam XI, No.2 (juli 2011): h.143.


(58)

47

Dalam kasus daruriyyah mulgha bisa di ambil contoh riba, mengapa ada larangan mengambil riba pada al-qur’an seperti pada surat al-Baqarah ayat 275-281, jika dilihat maqashid larangan mengambil riba jelas hifdz al-mal tapi sekarang riba adalah salah satu bentuk sistem perbankan, sehingga bunga bank dianggap sebagai maslahah juga dengan alasan hifdz al-mal. Meskipun ini daruriyyah tetapi termasuk mulgha karena larangan di ayat diatas dan juga fatwa MUI no.1 tahun 2004 tentang keharaman bunga bank.

Contoh kasus daruriyyah mursala adalah lampu lalulintas di jalan raya yang berfungsi sebagai pengatur lalulintas kendaraan sehingga tidak terjadi kecelakaan dan terwujudnya tertib lalulintas. Disisi lain lampu lalulintas ini mewujudkan maqashid syari‟ah yaitu hifdz nafs yaitu menghindarkan kecelakaan maut bagi pengguna jalan, selain itu sebenarnya aspek hajiyyah dan tahsiniyyah juga terwujud. Seperti dari sisi

hajiyyah mempermudah transfortasi dan tahsiniyyah memperindah tata kota.

Kasus hajiyah mu‟tabarah adalah diperbolehkannya tidak berpuasa di bulan ramadhan bagi musafir, ini adalah bentuk kemudahan untuk menghilangkan kesulitan. Selain itu juga ada contoh hajiyyah yang lain seperti diperbolehkannya penggunaan hand phone pada saat ini adalah bentuk menghilangkan kesulitan dan mendatangkan kemudahan.


(59)

48

Contoh kasus tahsiniyyah mu‟tabarah adalah anjuran memperbanyak amalan sunnah, selain berfungsi melengkapi amalan wajib. Amalan sunnah juga menjadi penghias untuk memperindah amalan wajib. Selain itu juga tahsiniyyah ini memperindah sekaligus sebagai adab seperti shalat memakai pakaian yang bersih dan wangi, walaupun sebenarnya sah – sah saja memakai pakaian bau dan kucel ketika shalat tapi tentu kurang indah dan kurang beradab.

Berikut ini uraian konsep thaharah dan shalat menurut Abdul Qadir al-Jailani ditinjau dari teori maqashid syari‟ah al-Syatibi.

1. Thaharah

a. Berdasarkan kategori daruriyyah

Islam mensyari’atkan thaharah (bersuci), di sana dianjurkan beberapa hal yang dapat menyempurnakannya3. Berdasarkan aspek

daruriyyat, bagi al-Syatibi kemaslahatannya adalah memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan. Kalau tidak melaksanakan

thaharah maka shalat menjadi tidak sah. Karena thaharah merupakan syarat sahnya shalat.

Dalam kitab sirrul asrar Abdul Qadir al-Jailani membagi

thaharah (bersuci) menjadi dua macam yakni bersuci secara lahir; dan bersuci secara batin. Bersuci secara lahir dilakukan dengan menggunakan air. Adapun bersuci secara batin dilakukan dengan tobat,

3

Abdul Wahab Khalaf, Ulum Ushul Fiqh, (Kairo, Maktabah Ad-da’wah,t.t , juz I, h. 205.


(60)

49

talqin, membersihkan kalbu dan menjalankan tarekat. Bila wudhu

syari‟ah batal karena keluarnya najis, maka seseorang wajib memperbaharui wudhunya.

Pandangan Abdul Qadir al-Jailani mengenai thaharah secara batin ini bisa mewujudkan maqashid syari‟ah yang lain. Sebagai contoh hifdz aql, kita bisa melihat orang-orang sufilah yang pada kenyataannya bisa mengapresiasi rasionalitas, orang-orang yang terlalu tekstual mereka akan melihat agama ini bertentangan dengan rasionalitas dan agama sering mengekang eksplorasi rasionalitas karena dianggap sudah selesai pada masa lalu.

Dalam hal thaharah atau bersuci kita bisa lihat manusia yang mensucikan batinnya dan mencapai drajat kesempurnaan dirinya (hakikat) dia tidak akan mungkin melakukan dosa. Seperti membunuh orang lain dan ini secara tidak langsung mewujudkan maqashid syari‟ah yang dharuriyyah yaitu hifdz ad-din. Apalagi wudhu batin ini waktunya seumur hidup, dari hari ke hari tanpa putus.4

Pada saat kita bisa melihat kenapa orang – orang banyak yang menjalankan syari‟ah tapi orang-orang itu masih korupsi. Secara fiqh

orang-orang tadi melanggar hukum amanah tentang menunaikan hak orang lain sehingga dia korupsi. Tapi secara batin mereka melakukan aktivitas seperti itu karena mereka belum mencapai drajat melaksanakan ibadah itu secara hakikat tapi ibadahnya orang-orang

4


(1)

64

sampai pada hakikatlah yang bisa menjadi tonggak-tonggak agama.

Dan agama bisa lebih dimengerti tujuannya, bukan hanya sekedar

dogma.

Ibadah yang tidak difahami aspek hakikatnya, tampak

seperti dogma dari hegemoni orang-orang tertentu yang memaksa

orang lain untuk menyetujui pernyataan-pernyataan saja bukan

realitas.

Agama yang seperti ini banyak sudah dicampakkan oleh

masyarakat modern yang sudah mulai mengerti adanya kebejatan

dari orang-orang yang menghegemoni itu, namun masyarakat

modern mencoba mencari alternatif tapi tidak menemukannya,

padahal tafsiran para sufilah yang mampu menjadi alternatif bagi

masyarakat modern saat ini sekaligus merealisasikan maqashid syari‟ah.


(2)

65 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas penulis menarik kesimpulan bahwa :

1. Pertama Abdul Qadir al-Jailani sebagai seorang yang faqih dan juga

memiliki pengalaman sufistik dia mempunyai cakrawala berfikir

bahwa tujuan ibadah atau hakikat ibadah adalah menuju realitas

tertinggi bukan hanya sekedar melaksanakan atau memenuhi

kewajiban saja. Abdul Qadir al-Jailani mengklaim bahwa agama

mempunyai aspek lahir dan batin. Aspek lahir adalah syariat,

sedangkan aspek batin adalah tarekat dan hakekat. Semua aturan

ibadah mempunyai aspek syariat, tarekat dan hakekat. Dilihat dari

kerangka teori al-Syatibi Konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani

tentang hakikat ibadah sesungguhnya merealisasikan maqashid syari’ah.

2. praktik ibadah Abdul Qadir al-Jailani itu sesuai dengan maqashid syari’ah karena tidak bertentangan dengan konsep maqashid syari’ah al-Syatibi bahkan secara tidak lagsung merealisasikan maqashid syari’ah. Jika dilihat dari kerangka teori al-Syatibi bahwa di balik ajaran agama itu ada tujuan-tujuan sebagaimana akar kata syari’ah itu


(3)

66

sendiri yang berarti jalan untuk mengantarkan kita pada tujuan.

al-Syatibi dan Abdul Qadir al-Jailani keduanya sama-sama mencari

tujuan itu. al-Syatibi membatasi penelitiannya pada aspek fiqh dan

ushul fiqh sedangakan Abdul Qadir al-Jailani sebagai faqih yang sufi

dia mencoba menambahkan pengalaman sufistik itu untuk melengkapi

analisa-analisa fiqh tanpa mengabaikannya dan setelah di elaborasi

lebih jauh konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani secara tidak langsung

mewujudkan maqashid syari’ah. .

B. Saran

Penulis menyarankan bahwa untuk mengetahui lebih lengkap

seperti apa tentang konsep ibadah Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab

Sirrul Asrar diperlukan kajian lebih dalam dan langsung mengkaji

kitab tersebut. Penulis hanya menganalisis konsep Ibadah Abdul Qadir

al-Jailani dalam tinjauan maqashid syari’ah al-Syatibi tentang thaharah dan shalat, sehingga selanjutnya diperlukan juga penelitian

tentang konsep ibadah yang lainnya seperti zakat, puasa dan haji.


(4)

67

DAFTAR PUSTAKA

Al-Banna , Ahmad Saiful Islam Hasan, Tafsir Hasan Al-Banna, cet. 1, Jakarta, Suara Agung, 2010.

Al-Bazzar Imam Hafidz Kabir Abu Bakrin Ahmad ibn Abdi Kholiqi al-Basharyi, Musnad al-Bazzar, Madinah, Maktabah Ulum wal Hikmah, 2009, juz 13.

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Ahkam, Jilid I, Beirut, Ibrahim ibn Musa al-Maliki, t.t.

Asy-Syathibi, Imam, Al-I’tisham (buku induk pembahasan bid’ah dan sunnah), Cet. I, Jakarta, Pustaka Azzam, 2006.

Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam Jilid I, Darul ibn Affan, Abu Ubaidah Mashur ibn Hasan Al-Salamah, t.t.

At-Tirmizi, Muhammad bin 'Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak, Sunan at-Tirmidzi (t.p, t.t),juz 10,.

Al-Qathani , Said bin Musfir, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Cet. I, Jakarta, Darul Falah, 2003.

al-munawwir , Ahmad warson, al-munawwir kamus arab-indonesia, cet 14 Surabaya, pustaka progressif, 1997.

Abu Dawud Sulayman ibn al-Ashʿ ath al-Azdi al-Sijistani, Sunan Abu Daud, (Beirut, Darul Kutub, t.t), juz I,.

Ahmad al-Syami ,Shaih, terjemah Mawaa’izh al-Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jaylani, Cet. IV, Jakarta, Zaman, 2012.

Ahmad ibn Hambal, Musnad Imam Ahmad Ibn Hambal, Kairo, Yayasan Cordova, t.t, juz II.

Asmawi, “Maslahah, Hukum Islam, dan Hukum Negara” Ahkam XI, No.2 juli 2011. Aqid, Kharisudin, Al-Hikmah; Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah Wa


(5)

68

al-Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi, Al-Jami’ As-Shahih, Kairo, Darul Aswab, 1987, juz I.

Darmawan, Doni, “Pendekatan Maqashid al-Syari’ah Dalam Memeriksa dan Memutuskan Perkara”,artikel diakses 15 februari 2014 dari http://www.pa- sijunjung.go.id/-index/index-artikel/395-pendekatan-maqashid-al-syariah-dalam-memeriksa-dan-memutuskan-perkara-oleh-doni-dermawan-sag-mhi--1312.html. Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Cet. 1, Jakarta, Logos Wacana Ilmu,

1997.

Haq, Hamka, Al-Syatibi Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muawafaqat, Cet.I, t.t, Erlangga, 2007.

Idah, Suaidh, Ibadah Dalam Al-Qur’an, vol.1, no 1 oktober 2012.

Jaya Bakri, Asafri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi, Cet.I , jakarta, RajaGrafindo, 1996.

Jauhar, Ahmad Husain, Maqashid Syariah, Jakarta, Amzah, 2009, Cet.II, h. 23.

Kartanegara, Mulyadhi, Menyelami Lubuk Taswuf, Cet 1,Jakarta, Erlangga, 2006.

Khalaf, Abdul Wahab, Ulum Ushul Fiqh, Kairo, Maktabah Ad-da’wah,t.t, juz I.

Muslim, Abū al-Ḥusayn ibn al-Ḥajjāj ibn Muslim al-Qushayrī an-Naysābūrī, Shahih Muslim, Beirut, Darul al-afak al-jadidah, t.t, juz I

Masduki, Anita “Pemikiran beda agama menurut persfektif femiis liberal” Islamia III, No.5 2010.

Mth, Asmuni, Studi Pemikiran Al-Maqashid, Al-Mawarid Edisi XIV thn 2005.

Muis, Mahfuk , Maqashid Al-Syari’ah Peran dan Relevansinya Dalam Pengembangan Hukum Islam Kontemporer, Ahkam XI, No.2 juli 2011.

Mulyati, Sri, Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Cet.2, Jakarta, Prenada Media, 2005.

Maksum, Syukron, Wirid-Wirid Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Cet. I, yogyakarta, mutiara media, 2014.

Qadir Al-Jailani, Abdul, Kitab Para Pencari Tuhan, Cet. I, Yogyakarta, Citra Media Pustaka, 2013.


(6)

69

Qadir al-Jailani , Abdul, Tafsir Jailani, (pentahkik Dr. Muhammad Fadhil Jailani Al-Hasani), Cet I, Ciputat, Salima Publika, 2013.

Qadir Al-Jailani, Abdul, Rahasia Muslim Sejati : menyelami jalan tasawuf (suluk) menjadi kekasih Allah, CET.1, jogjakarta, Bening, 2010.

Qadir al-Jailani, Abdul, Sirrul – Asrar, Ciputat, Salima, cet. II, 2013.

Sayid Sabiq, fiqh as-sunnah, Beirut, Darul Kutub, t.t, juz 1,.

Syaltut, Mahmud, Islam Akidah dan Syariah, Cet.III, jakarta, pustaka amani, 1966.

Shohimun Faisol dan Muhammad Sa’I, Kontribusi Tarekat Qadiriyah Dan Naqshabandiyah Dalam Dakwah Islam Di Lombok, jurnal penelitian keislaman, Vol. 1 No. 02 juni 2005.

Sadchalis, Rahmat, Maqashid asy-Syari’ah, artikel diakses 15 februari 2014 dari http://sadchalis15.wordpress.com/2013/09/09/maqashid-asy-syariah/.

Tamrin, Dahlan, Filsafat Hukum Islam, Cet. 1, Malang, UIN malang Press, 2007.

Tono, Sidik, Pemikiran dan Kajian Teori Hukum Islam Menurut al-Syatibi. Al-Mawarid Edisi XIII. 2005

Wahid, Ramin Abd, Maqashid Al-Syari’ah Dan Penerapan Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Islam, vol 15 no 1 2012.

Wahyudi,Yudian, Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik, cet. II yogyakarta, nawesea, 2007.

Wehr, Hans, a dictionary of modern written arabic,J. Milton Cowan (ed), new york, spoken english service, 1976.

Wahyudi, Yudian, Ushul Fiqh Vs hermeneutika : membaca islam dari kanada dan amerika, Cet.IV, yogyakarta, nawesea, 2007.