Kelas Reguler Angkatan 2015 - 2016

RINGKASAN
ARMAN. Keterkaitan Ekonomi Interregional ; Kajian Empiris Keterkaitan Pulau Sulawesi, Jawa
Timur, dan Kalimantan Timur. Dibimbing oleh SETIA HADI, NOER AZAM ACHSANI dan
AKHMAD FAUZI.
Masalah ketidakmerataan pembangunan antar wilayah Pulau Sulawesi dengan Jawa Timur
dan Kalimantan Timur menjadi poin utama dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis pola keterkaitan ekonomi antar wilayah Pulau Sulawesi (Sulawesi Lain), Sulawesi
Selatan, Jawa Timur dan Kalimantan Timur, menganalisis dampak Spillover dan Feedback antar
wilayah, menganalisis nilai tambah dan aliran nilai tambah (upah, pajak dan surplus usaha) di
suatu wilayah dan merumuskan kebijakan pembangunan antar wilayah. Lokasi penelitian di
Wilayah Sulawesi Lain (Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara),
Sulawesi Selatan (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat), Jawa Timur dan Kalimantan Timur.
Data yang digunakan adalah Data IRIO Tahun 2005, selanjutnya data tersebut diprediksi ke
Tahun 2011 dengan menggunakan teknik RAS.
Hasil analisis menunjukkan bahwa keterkaitan (hubungan) ekonomi Sulawesi Lain
Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan terhadap Jawa Timur relatif tinggi. Hubungan ekonomi
tersebut relatif lebih banyak memberikan manfaat ekonomi kepada wilayah Jawa Timur.
Wilayah Jawa Timur memberikan pengaruh spillover yang kecil terhadap seluruh wilayah tetapi
memperoleh pengaruh feedback yang lebih besar. Wilayah Kalimantan Timur memberikan
pengaruh spillover yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah Jawa Timur (seperti halnya
dengan wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Lain).

Wilayah Sulawesi Selatan dianggap mampu menjadi jembatan ekonomi terhadap wilayah
lain karena memberikan pengaruh spillover yang paling besar terhadap total wilayah. Peran
Sulawesi Selatan sebagai jembatan ekonomi dalam rangka mendorong pemerataan pembangunan
ekonomi wilayah dan memperkuat keterkaitan ekonomi antar Sulawesi Selatan dengan wilayah
Sulawesi Lain, Kalimantan Timur serta Kawasan Timur Indonesia.
Pergerakan arus modal diharapkan mampu meningkatkan investasi pemerintah (melalui
Dana Alokasi Khusus), investasi swasta serta ekspor hingga 100%. Sektor primer ditingkatkan
outputnya untuk menjadi input antara industri makanan dan minuman, industri pengolahan hasil
laut, industri tekstil serta industri kayu dan rotan. Skenario kebijakan wilayah Sulawesi Lain
sama dengan Sulawesi Selatan. Skenario kebijakan wilayah Jawa Timur lebih difokuskan pada
investasi industri manufaktur.
Hasil skenario kebijakan menunjukkan bahwa peran Sulawesi Selatan jangka menengah)
mempengaruhi struktur ekonomi (meskipun belum signifikan). Kontribusi output Sulawesi
Selatan meningkat dari 2,16% menjadi 2,48%. Kontribusi peran Sulawesi Lain meningkat dari
2,27% menjadi 2,7%. Implikasi kebijakan adalah (1) reformulasi instrumen DAK (Dana Alokasi
Khusus) untuk mengurangi ketimpangan antar wilayah melalui perubahan konsep dan
pengelompokan DAK (tidak hanya untuk infrastruktur) seperti perlunya DAK untuk industri dan
DAK untuk prioritas utama yaitu pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, (2) mendorong
wilayah Sulawesi Selatan sebagai Jembatan ekonomi terhadap wilayah lain terutama terhadap
Kawasan Timur Indonesia, (3) meningkatkan dan memperbaiki interkonektifitas antara wilayah

Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Lain dalam rangka menciptakan economic lingkages antar
wilayah tersebut, (4) mendorong interregional capital movement ke wilayah Sulawesi dan
Kalimantan Timur dalam rangka pemerataan pembangunan antar wilayah, (5) menciptakan

keterkaitan sektor (hilirisasi industri) pertambangan (Kaltim), perkebunan (Sulsel), industri besi
(Sulain) di dalam dan antar wilayah Kalimantan Timur dan (6) memperkuat ekonomi wilayah
dari interregional Linkage menuju Interregional Partnership
Kata kunci: Keterkaitan ekonomi, penghubung ekonomi dan spillover

RINGKASAN
FARIDA. Analisis Kinerja Kredit Usaha Mikro dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Usaha
Mikro di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR, NUNUNG
NURYARTONO, EKA INTAN KUMALA PUTRI.
Program kredit usaha rakyat (KUR) digulirkan oleh pemerintah dalam rangka
mengentaskan kemiskinan melalui pemberdayaan usaha mikro. Jenis pembiayaan ini formal
yang disalurkan melalui bank-bank pelaksana yang ditunjuk oleh pemerintah. Banyak rumah
tangga usaha mikro yang belum tersentuh oleh pembiayaan KUR ini. Sebelumnya banyak
skim kredit telah digulirkan juga, namun banyak yang mengalami kendala karena tidak tepat
sasaran, banyaknya kebocoran kredit maupun gagal bayar. Sehingga banyak skim kredit tidak
bisa berlanjut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mendorong

rumah tangga usaha mikro untuk mengakses KUR, menganalisis faktor-faktor dalam
pembayaran kembali KUR, menganalisis dampak KUR terhadap pendapatan rumah tangga
usaha mikro, menganalisis efisiensi penyaluran KUR dan keberlangsungan program KUR.
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Margorejo dan Kecamatan Dukuhseti,
Kabupaten Pati Jawa Tengah dari bulan Mei sampai Agustus 2014. Sumber data primer
dengan pemilihan sampel yang diambil secara purposive untuk rumah tangga usaha mikro.
Total responden yang menjadi sampel sebanyak 332 rumah tangga yang terdiri dari 155
rumah tangga usaha dengan KUR dan 177 rumah tangga tanpa menggunakan KUR. Metode
analisis yang digunakan adalah regresi logistik, propensity score matching, dan data
envelopment analysis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi rumah tangga
usaha mikro untuk mengakses KUR adalah usaha baru yang dijalankan oleh laki-laki yang
menghadapi kesulitan modal, memiliki rekening di bank dan tidak memiiki sumber pinjaman
lain akan lebih besar peluangnya untuk mengakses KUR. Faktor-faktor yang mendorong
dalam pengembalian pinjaman KUR adalah jenis usaha pengolahan, meningkatnya modal
kerja, meningkatnya pengeluaran makanan, memiliki sumber pinjaman lain, dan tidak
dikenakan agunan saat pinjam akan memberikan peluang lebih besar untuk tidak membayar
pinjaman. Sedangkan adanya pekerjaan sampingan, adanya agunan BPKB, screening awal
yang ketat akan mendorong rumah tangga usaha mikro untuk membayar kembali KUR.
Ternyata KUR memberikan dampak pada peningkatan keuntungan dan total pendapatan,

berkurangnya share pengeluaran untuk makanan, meningkatnya jumlah pekerja dan
meningkatnya kepemilikan aset. Keberlangsungan program dilihat dari dua sisi, yaitu
nasabah memperoleh manfaat atau dampak adanya program KUR, dan dari sisi penyalur
KUR, mampu menguntungkan, efisien dan Non Performance Loannya rendah.
Kata kunci: usaha mikro, kredit mikro, logit, propensity score matching, DEA, non
performance loan

RINGKASAN
MANGASA AUGUSTINUS SIPAHUTAR. Keterkaitan Kredit dan Kelembagaan Perbankan
Indonesia pada Perekonomian Nasional dan Regional. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI,
HERMANTO SIREGAR dan BAMBANG JUANDA
Kredit perbankan Indonesia merupakan growth accelerating factor pada perekonomian
nasional melalui sektor riil sebagai transmission channel. Terdapat bi-direction causality
antara kredit perbankan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu bahwa kredit
perbankan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi
berpengaruh terhadap credit depth. Kredit perbankan memberikan kontribusi 6,5% pada
keragaman pertumbuhan ekonomi. Kredit perbankan berperan sebagai source of economic
growth dan akselerator pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Lebih lanjut, kredit perbankan
berpengaruh positip mereduksi pengangguran dan kemiskinan. Hal ini berarti bahwa dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka pada proses perencanaan pembangunan

nasional, kredit perbankan adalah endogenous variable.
Inflasi, BI rate dan funds rate merupakan faktor penting yang harus dikendalikan agar
kredit perbankan berperan sebagai stimulus perekonomian. Terdapat bi-direction causality
antara credit depth dengan inflasi, antara credit depth dengan BI rate, dan antara credit depth
dengan funds rate. Lebih lanjut, terdapat trade-off antara credit depth dengan inflasi, antara
credit depth dengan BI rate, dan antara credit depth dengan funds rate. Bersama dengan
NPL, inflasi, BI rate dan funds rate merupakan faktor kendala pada maksimisasi credit depth.
Berdasarkan penggunaan kredit, pengaruh yang nyata adalah pada kredit investasi dan
konsumsi. Kredit investasi berpengaruh positif dan mampu menurunkan pengangguran
sedangkan kredit konsumsi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada tingkat
pendapatan tetap, kredit konsumsi menurunkan propensity to consume dan propensity to save
secara bersamaan dan berpengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi. Kredit konsumsi
tidak bersifat sebagai multiplier effect pada pertumbuhan ekonomi. Meskipun kredit modal
kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi kredit modal kerja
berperan untuk memelihara tingkat likiditas korporat.
Berdasarkan sektor ekonomi kredit, pertumbuhan ekonomi tidak tergantung pada credit
depth tetapi pada komposisi kredit berdasarkan sektor ekonomi terhadap total kredit
perbankan. Pengaruh kredit ke sektor pertanian, perindustrian, perdagangan dan jasa terhadap
total kredit perbankan adalah signifikan, sedangkan kredit ke sektor pertambangan tidak
signifikan. Meskipun kredit ke sektor pertanian signifikan, tetapi pengaruhnya negatif. Lebih

lanjut, pengaruh sektor ekonomi GDP (terutama yang bersifat produktif) terhadap
pertumbuhan ekonomi perkapita adalah positif dan signifikan. Hal ini berimplikasi bahwa
dibutuhkan komposisi kredit sektor pertanian dan pertambangan yang lebih besar agar
kontribusinya signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Berhubung kredit investasi
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi maka kredit investasi yang ditujukan
pada sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, pertambangan dan penggalian,
industri pengolahan, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan
komunikasi merupakan sources of economic growth melalui perannya untuk memperbesar
capital di sektor-sektor tersebut.
Berdasarkan aspek regional, terdapat beberapa provinsi yang secara signifikan memiliki
hubungan kausal antara kredit perbankan dengan pertumbuhan ekonomi, namun demikian,
terjadi ketidakpastian hubungan kausal pada provinsi, baik dengan kategori tingkat credit
depth rendah maupun tinggi. Ketidakpastian hubungan kausalitas ini merupakan signal
bahwa baik kredit perbankan maupun pertumbuhan ekonomi regional tidak cukup kuat untuk
menghasilkan hubungan kausalitas. Sebagai source of regional economic growth, diperlukan

kredit perbankan yang lebih tinggi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya,
dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi untuk mendorong kredit perbankan.
Kredit perbankan secara signifikan akan mereduksi tingkat kemiskinan di masingmasing provinsi, tetapi terdapat ketidakpastian hubungan antara credit depth, pertumbuhan
ekonomi regional dan kemiskinan di masing-masing provinsi. Beberapa provinsi dengan high

credit depth dan pertumbuhan ekonomi sangat cepat ternyata berada pada kategori tingkat
kemiskinan yang tinggi. Diperlukan credit depth dan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
terutama pada provinsi dengan kategori tingkat kemiskinan tinggi.
Dalam hal BPD sebagai bank yang dimiliki oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan
kota, peran BPD pada perekonomian regional masih sangat rendah. Penempatan pada SBI
yang tinggi serta BPD yang lebih berorientasi pada kredit konsumsi mengindikasikan bahwa
BPD kurang memiliki kemampuan untuk melakukan peran intermediasi serta kontribusinya
terhadap pertumbuhan ekonomi regional masih rendah. Dalam kerangka pertumbuhan
ekonomi regional, BPD seharusnya mendorong kredit investasi agar menghasilkan
pertumbuhan ekonomi dan akhirnya berpengaruh positif untuk mereduksi pengangguran dan
kemiskinan.
Perbankan Indonesia menghadapi situasi ketatnya kompetisi dalam hal penghimpunan
DPK dalam bentuk perang suku bunga yang menjadikan cost of loanable funds meningkat
dan berdampak pada tingginya suku bunga kredit. Situasi yang terjadi di perbankan ini
mengindikasikan bahwa transmission mechanism melalui credit channel dibatasi oleh kinerja
perbankan itu sendiri atau didefinisikan sebagai bank view. Di samping itu, karena faktor
NPL menjadi prioritas perbankan maka faktor balance sheet channel tetap menjadi bagian
yang tidak terpisahkan bagi perbankan untuk menjalankan perannya pada monetary
transmission mechanism. Oleh karena itu, faktor kesehatan bank dan balance sheet channel
menjadi elemen penting pada bank view.

Terdapat trade-off antara peran otoritas moneter BI terhadap perannya sebagai
pengendali moneter dalam kerangka stabilitas nilai mata uang, stabilitas harga dan inflasi
dengan bank view merupakan faktor penghambat efektifitas dari setiap kebijakan moneter.
Sebagai fungsi utama untuk stabilitas nilai tukar untuk mendukung pembangunan ekonomi
yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, BI harus memiliki kewenangan
secara mandatory kepada perbankan untuk secara simultan mengimplementasikan kebijakan
moneter di tatanan operasional sebagai credit channel.
Kata kunci : endogenous growth, growth accelerator, kredit perbankan, pertumbuhan
ekonomi, source of economic growth

RINGKASAN
NOVITA ERLINDA. Pembangunan Wilayah Berkelanjutan di Provinsi Jambi dan Implikasi
Model JAMRUD. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI (Ketua), SLAMET SUTOMO
(Anggota), dan EKA INTAN KUMALA PUTRI (Anggota)
Pembangunan berkelanjutan telah menjadi konsen nasional dan wilayah. Pencapaian
pembangunan yang seimbang antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan telah menjadi
perhatian pengambil kebijakan yakni bagaimana mencapai pembangunan berkelanjutan
tersebut secara terukur dan layak. Belakangan konsern pembangunan berkelanjutan juga telah
bergeser dari sekeder konsern global atau internasional ke lebih lokal atau regional (Giaoutzi
dan Nijkamp 1993, Nijkamp dan Vreeker 2000, Clement, Hansen, dan Bradley 2003,

Patterson dan Theobold 1995). Nijkamp dan Vreeker (2000) menyatakan bahwa pergeseran
ini diperkuat dengan fakta bahwa wilayah lebih memiliki demarkasi yang jelas sehingga
pengukuran empiris pembangunan berkelanjutan lebih mudah dilakukan dan lebih relevan
pada tinggat wilayah.
Perhatian pada integrasi pembanguann berkelanjutan pada tingkat regional telah
memicu perkembangan kaidah pembangunan yang disebut sebagai Sustainable Regional
Development atau SRD. Dengan demikian SRD pada prinsipnya adalah sebuah konsep yang
mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam praktek
pengembangan wilayah (Clement et al. 2003). Clement et al (2003) lebih jauh menyatakan
bahwa SRD melibatkan berbagai aktivitas dan instrumen yang mendukung pembangunan
berkelanjutan di tingkat wilayah. Sehingga integrasi pembangunan berkelanjutan ke
pembangunan wilayah merupakan unsur yang penting dalam pembangunan wilayah secara
keseluruhan. Schleicher-Tappeser and Lukesch (1999), menyatakan bahwa pembangunan
wilayah bukanlah konsep singular yakni bukan hanya mementingkan aspek spasial semata,
namun juga kebutuhan akan penilaian kualitatif dan kuantitatif dalam pembangunan wilayah.
Dengan demikian SRD mengacu pada aspek konsep dan instrumen integrasi pembangunan
(Haughton dan Councel 2004).
Situasi seperti ini dihadapi oleh Provinsi Jambi saat ini. Dengan penduduk lebih kurang
3 juta jiwa dan sebagian besar wilayahnya adalah wilayah konservasi, Provinsi Jambi
memiliki target pembangunan yang cukup ambisius melalui agenda JAMBI EMAS (Ekonomi

Maju Adil dan Sejahtera) dengan target pertumbuhan ekonomi sekitar 8% per tahun. Namun
dalam agenda pembangunan ini, konsern lingkungan dan aspek pembangunan berkelanjutan
belum sepenuhnya diakomodasi dalam agenda pembangunan. Jambi EMAS sendiri sudah
berakhir pada tahun 2015 dan pada awal 2016, agenda pembangunan Jambi menuju
pembangunan baru dengan pemerintahan yang baru. Dengan demikian menjadi penting
dalam konteks ini bukan hanya untuk mengevaluasi pembangunan berkelanjutan yang sudah
berjalan namun juga bagaimana menawarkan skenario pembangunan berkelanjutan di masa
mendatang.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan evaluasi pembangunan
berkelanjutan di Provinsi Jambi melalui dua pendekatan yang belum pernah digunakan di
Indonesia yakni pendekatan bendera atau FLAG (Nijkamp dan Ouwersloot 1996), dan
pendekatan Imprecise Decision Model atau IDM yang dikembangkan oleh Danielson et al
(2003). Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk 1) mengevaluasi tingkat keberlanjutan
pembangunan di Provinsi Jambi melalui kerangka SRD, 2) mengembangkan model skenario
pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi dengan mempertimbangkan aspek risiko dan
ketidakpastian, dan 3) Memberikan rekomendasi model dan implikasi kebijakan SRD di
Provinsi Jambi bagi pembangunan di masa mendatang. Evaluasi keberlanjutan dilakukan
dengan menggunakan tiga belas indikator yang meliputi aspek ekonomi, sosial dan

lingkungan. Ketiga belas indikator ini kemudian dievaluasi melalui tiga rejim pembangunan

berkelanjutan yakni strong, moderate dan weak serta empat skenario kebijakan pembanguann
yakni Business as Ususal (BAU), Peningkatan Daya Saing (PDS), Memanfaatkan Sumber
Daya Lokal (MSDL), dan pengembangan Ekonomi Non-Ekstraktif (ENE).
Hasil studi menunjukkan bawah pembangunan di Provinsi Jambi dengan skenario
business as usual cenderung tidak akan berkelanjutan baik dengan menggunakan basis data
perencanaan maupun basis data capaian pembangunan saat ini. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya frekuensi bendera kuning dan merah, bahkan hitam pada skenario BAU.
Pembangunan berkelanjutan dengan banyaknya bendera hijau dicapai pada skenario strong
progression yang mengindikasikan kuatnya pengendalian lingkungan. Hasil ini juga
diperkuat dengan hasil analisis IDM yang menunjukkan bahwa skenario BAU cenderung
memiliki risiko yang lebih tinggi, sementara risiko yang lebih kecil akan diperoleh pada
skenario pembangunan dengan MSDL dan ENE. Hasil analisis tornado pada IDM juga
menunjukkan bahwa beberapa variabel seperti pertumbuhan ekonomi, lahan kritis, hot spot
dan kemiskinan cenderung mempengaruhi cukup penting bagi capaian pembangunan
berkelanjutan di Provinsi Jambi.
Penelitian ini menawarkan paradigma pembangunan baru bagi pembangunan
berkelanjutan di Provinsi Jambi dengan menawarkan model pembangunan yang disebut
sebagai model JAMRUD (Jambi Regional sUstainable Development). Paradigma
pembangunan ini didasarkan pada pertumbuhan inklusif yang bersifat pro poor dan sektor
yang lebih luas serta didukung oleh basis ekonomi hijau. Studi ini menawarkan pula beberapa
strategi pembangunan dengan model JAMRUD untuk mendukung skenario pembangunan
PDS, MSDL dan ENE. Beberapa diantara skenario tersebut antara lain pengembangan skema
Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL), penguatan UMKM yang mendorong pengembangan
sumber daya lokal dan ekonomi non-ekstraktif, pengembangan eko-wisata. Selain itu di
sektor primer perlu juga dikembangkan pertanian yang berkelanjutan, pengembangan
solidarity alternative dan berbagai kebijakan yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi
yang inklusif dan berkelanjutan. Paradigma pembangunan yang ditawarakan dari hasil studi
ini juga sejalan dengan beberapa agenda pembangunan yang ditawarkan oleh pemerintah
baru Provinsi Jambi yakni Jambi TUNTAS, dan juga mendukung beberapa tujuan dari
agenda global terkait dengan Sustainable Development Goals (SDGs).
Keywords: Imprecise Decision Model, Model FLAG, Model JAMRUD, Pembangunan
Wilayah Berkelanjutan.

RINGKASAN
WERENFRIDUS TAENA. Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wilayah Perbatasan
Negara yang Adaptif terhadap Perubahan Iklim dalam Pembangunan Berkelanjutan (Kasus:
Daerah Aliran Sungai Tono di Pulau Timor). Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING,
BAMBANG JUANDA, BABA BARUS, RIZALDI BOER.

Penelitian ini bertujuan untuk: (i) analisis hubungan antara pembangunan wilayah
perbatasan dengan perubahan penggunaan lahan, (ii) analisis pengaruh perubahan
penggunaan lahan dan perubahan iklim terhadap banjir dan kekeringan, dan dampaknya
terhadap produksi dan efisiensi usahatani tanaman pangan, (iii) evaluasi kelembagaan
pengelolaan DAS wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste, dan (iv) disain
kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara Indonesia dan Timor Leste yang
adaptif terhadap perubahan iklim.
Metode analisis menggunakan analisis multivariat untuk analisis hubungan
pembangunan dengan penggunaan lahan, dan spatial durbin model untuk analisis
ketergantungan spatial pendapatan petani. Metode logit untuk analisis peluang banjir dan
kekeringan. Analisis multivariat juga digunakan untuk analisis dampak banjir dan kekeringan
terhadap produksi usahatani tumpangsari, dan analisis regresi berganda untuk analisis
produksi usahatani monokultur, serta analisis frontier untuk evaluasi efisiensi ekonomi
usahatani. Selanjutnya pembobotan faktor internal dan faktor eksternal untuk evaluasi
kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara, dan analisis hirarki proses untuk
menentukan model pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara.
Hasil analisis multivariat menunjukkan peningkatan jumlah penduduk dan kemudahan
akses meningkatkan konversi lahan konservasi menjadi lahan budidaya (pemukiman,
pertanian lahan kering campur, sawah), sedangkan spatial durbin model menunjukkan
peningkatan pendapatan petani pada hulu menyebabkan penurunan pendapatan petani di hilir.
Peningkatan luas pertanian lahan kering campur, dan akumulasinya dengan peningkatan
temperatur bulanan dan penurunan curah hujan bulanan menyebabkan peluang kekeringan
makin tinggi. Analisis logit juga menunjukkan peningkatan curah hujan bulanan dan
pertanian lahan kering campur, serta penurunan luas hutan dan sawah meningkatkan peluang
banjir di DAS Tono. Dampaknya terjadi penurunan produksi dan efisiensi ekonomi usahatani
tanaman pangan. Analisis frontier menunjukkan rendahnya efisiensi ekonomi usahatani,
yakni 0,36 untuk usahatani lahan basah dan 0,30 untuk usahatani lahan kering (standar
efisiensi ≥0.8).
Kurang koordinasinya kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara
(masyarakat, unilateral dan bilateral) menjadi akar penyebabnya. Hasil pembobotan faktor
internal dan eksternal berada pada kuadran III, yang berarti dibutuhkan rekonstruksi
kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara. Kelembagaan ini sebagai bentuk
adaptasi terhadap perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim. Kelembagaan ini akan
mewujudkan pembangunan berkelanjutan dalam bentuk road map yakni: perjanjian
kerjasama, forum DAS, dan badan pengelola DAS.
Kata kunci: Kelembagaan pengelolaan DAS wilayah perbatasan negara, Indonesia dan Timor
Leste, Perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim, Pembangunan
berkelanjutan

RINGKASAN
WIDHIANTHINI. Pengendalian Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tabanan, Provinsi
Bali: Analisis Kelembagaan Subak dan Pakraman. Dibimbing oleh ARYA HADI
DHARMAWAN, NOER AZAM ACHSANI dan SETIA HADI.
Konversi lahan pertanian tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Situasi
ekonomi yang menguntungkan di suatu wilayah selanjutnya akan mendorong terjadinya proses
migrasi penduduk ke wilayah tersebut sehingga akan berdampak pada pergeseran lahan pertanian
ke penggunaan lainnya. Penyebab pertama, kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu
pihak pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi di sisi lain kebijakan
pertumbuhan industri atau manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong
terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian. Penyebab kedua, cakupan kebijakan yang terbatas.
Peraturan-peraturan tersebut di atas baru dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan atau badan
hukum yang akan menggunakan tanah atau akan merubah tanah pertanian ke non pertanian.
Perubahan penggunaan tanah sawah ke non pertanian yang dilakukan secara
individual/peorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut, di sisi lain perubahan
fungsi lahan yang dilakukan secara individual secara langsung diperkirakan cukup luas. Dalam
kenyataannya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) justru merencanakan untuk mengkonversi
tanah sawah beririgasi teknis menjadi non pertanian.
Kelemahan lain penyebab konversi lahan pertanian adalah lemahnya peraturan
perundangan yang ada, yaitu: (1) Objek lahan pertanian yang dilindungi dari proses konversi
ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan relatif mudah direkayasa,
sehingga konversi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku; (2)
Peraturan yang ada cenderung bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik
besarnya sanksi maupun penentuan pihak yang dikenai sanksi; (3) Jika terjadi konversi lahan
pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku sulit ditelusuri lembaga yang paling
bertanggung jawab untuk menindak karena ijin konversi adalah keputusan kolektif berbagai
instansi.
Pembangunan yang mendominasikan pariwisata sebagai basis pertumbuhan akan
menghadapi masalah bagi masyarakat lokal. Secara evolutif, hubungan antara wisatawan dengan
masyarakat lokal menyebabkan terjadinya proses komersialisasi dari keramahtamahan
masyarakat lokal. Pada awalnya wisatawan dipandang sebagai 'tamu' dalam pengertian
tradisional, yang disambut dengan keramahtamahan tanpa motif ekonomi. Dengan semakin
bertambahnya jumlah wisatawan, maka hubungan berubah terjadi atas dasar pembayaran, yang
tidak lain daripada proses komersialisasi, dimana masyarakat lokal sudah mulai agresif terhadap
wisatawan, mengarah kepada eksploitasi dalam setiap interaksi, tanpa mempertimbangkan
konsekuensi jangka panjang.
Berkembangnya industri pariwisata modern, seperti maraknya villa, cottage, atau hotel
telah mengubah struktur agraria dalam konteks penguasaan tanah dari makna tanah yang bersifat
kolektif dalam organisasi produksi agraria subak menjadi makna tanah yang bersifat privat
individualistik, manakala tanahtanah berubah peruntukannya menjadi hotel yang komersial,
seperti yang terjadi di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Kondisi ini mempengaruhi keberadaan
subak yang basis filosofi agrarianya “kolektivitas” dalam pendistribusian air berubah menjadi
disfungsional karena struktur agrarianya menjadi privat individualistik. Ketidakberfungsian

subak melalui “proses individualisasi penguasaan tanah” menyebabkan laju konversi lahan
pertanian dari peruntukan pangan ke non pangan (turisme) meluncur dengan hebat.
Terkait dengan uraian permasalahan di atas, penelitian ini memiliki tiga tujuan, yaitu: (1)
mengetahui peran stakeholder dan kelembagaan lokal dalam mencegah konversi lahan pertanian;
(2) merumuskan model pengendalian konversi lahan pertanian yang berbasis kelembagaan lokal
subak dan desa pakraman; dan (3) merumuskan arahan kebijakan bagi pemerintah daerah dan
kelembagaan lokal subak dan desa pakraman dalam mengendalikan konversi lahan pertanian.
Ketiga tujuan tersebut menggunakan berbagai data yang berasal dari pemerintah daerah,
kelembagaan lokal (subak, desa pakraman), dan sumber data lainnya.
Tujuan pertama penelitian dijawab dengan menggunakan analisis stakeholder. Analisis ini
dilakukan dengan menganalisis tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing stakeholder dan
kelembagaan subak serta desa pakraman ke dalam matriks. Tujuan kedua dan ketiga dijawab
dengan menggunakan sistem dinamik. Sistem dinamik pada dasarnya menggunakan hubunganhubungan sebab-akibat (causal) dalam menyusun model suatu sistem yang kompleks, sebagai
dasar dalam mengenali dan memahami tingkah laku dinamis sistem tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Terdapat dua kekuatan stakeholder yang
berpengaruh terhadap laju konversi lahan pertanian, yaitu: (a) pemerintah daerah dan swasta
yang sangat pro konversi lahan; (b) pemerintah desa pakraman dan subak yang anti konversi
lahan. Selama ini pemerintah daerah dan swasta adalah pihak yang paling dominan dalam
menentukan pemanfaatan ruang sehingga sangat pro konversi lahan. Agar terjadi keseimbangan
antara pihak yang pro dengan yang anti konversi lahan, maka pemerintah desa pakraman dan
kelembagaan lokal subak harus diikutsertakan dalam perencanaan pemanfaatan ruang. Proposal
ini meniscayakan apa yang kemudian dikonseptualisasikan sebagai “duality of land governance”.
Upaya pencegahan konversi lahan pertanian akan maksimal apabila mengikutsertakan
kelembagaan subak di dalam pengambilan keputusan investasi oleh semua stakeholder mulai
dari perencanaan hingga evaluasi; (2) Kelembagaan lokal subak dan desa pakraman berpengaruh
signifikan dalam mengendalikan konversi lahan melalui efektivitas bekerjanya awig-awig; (3)
Untuk menahan laju konversi lahan pertanian ke peruntukan lain, maka diusulkan implementasi
skenario I. Skenario ini berintikan gagasan model pengendalian konversi lahan pertanian yang
diarahkan pada pengurangan akses jalan umum yang menuju lahan sawah, peningkatan bantuan
pemerintah terhadap desa (desa wisata), serta dukungan sarana prasarana untuk kelembagaan
lokal subak dan desa pakraman.
Kata kunci: kelembagaan lokal (subak dan desa pakraman), konversi lahan pertanian, sistem
dinamik, skenario, stakeholder.