Kelas Reguler Angkatan 2014 - 2015

RINGKASAN
HERTANTI SHITA DEWI. Kinerja Pembangunan Daerah : Suatu Evaluasi terhadap Kursus
Keuangan Daerah. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan BAMBANG JUANDA.
Sejak diberlakukan otonomi daerah di bidang keuangan, pemerintah melakukan kebijakan
desentralisasi fiskal berdasarkan peraturan Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dalam kebijakan ini pemerintah memberikan sumber
pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada pemerintah daerah
untuk membiayai pembangunan daerah. Konsekuensinya setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) wajib menyusun laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) sebagai
pertanggungjawaban atas dana yang diterima. Kondisi laporan keuangan baik di pusat maupun
daerah berdasarkan hasil audit yang telah dilakukan BPK dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi
opini. Permasalahan sampai saat ini menunjukkan bahwa kualitas LKPD belum mencapai opini
yang diharapkan yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Dalam upaya meningkatkan kualitas
laporan keuangan dan kinerja pembangunan yang baik perlu dikelola oleh sumberdaya manusia
yang kompeten. Pengelolaan keuangan yang baik menekankan perencanaan dan penganggaran
berdasarkan kriteria belanja berkualitas. Sehubungan dengan hal tersebut Pemerintah
menyelenggarakan kursus keuangan daerah (KKD)untuk meningkatkan kinerja aparat daerah di
bidang pengelolaan keuangan.
Fenomena atas penilaian opini BPK dan kinerja pembangunan daerah di evaluasi dengan
memperhitungkan indikator kinerja diantaranya : PDRB per kapita, Indeks Pembangunan
Manusia, proporsi belanja modal, alokasi pendapatan dan belanja daerah serta banyaknya jumlah

alumni KKD. Untuk mendapatkan informasi daerah yang mempunyai penilaian terbaik atas dua
penilaian tersebut makadilakukan klasifikasi menjadi beberapa kategori.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik wilayah berdasarkan opini
audit BPK dan kinerja pembangunan daerah serta menganalisis faktor yang mempengaruhi opini
audit BPK dan kinerja pembangunan daerah. Penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai
sumber data. Metode analisis menggunakan program Excelserta program Minitab, dan diolah
dengan menggunakan regresi logistik biner dan regresi berganda.
Hasil penelitian teridentifikasi bahwa wilayah Indonesia bagian barat mempunyai
karakteristik predikat opini dan kinerja pembangunan daerah dengan kategori terbaik
dibandingkan wilayah lainnya. Hasil pengujian juga menunjukkan terdapat adanyahubungan
antara kinerja pembangunan daerah dengan opini audit BPK yang bersifat timbal balik atau saling
memengaruhi. Opini audit BPK dipengaruhi kinerja pembangunan daerah demikian pula
sebaliknya. Karakteristik wilayah berdasarkan penilaian kategori ideal (A dan B) sebanyak 139
SKPD (26,53%). Dan untuk kategori C sampai dengan F sebanyak 385 SKPD (73,47%). Kategori
A-B tertinggi dicapai wilayah bagian barat yaitu sebanyak 104 SKPD (33,88%), kemudian bagian
tengah dengan jumlah 32 SKPD (20,92%), dan bagian timur 3 SKPD (4,69%). Sedangkan untuk
kategori (C sampai dengan F), pencapaian wilayah barat sebanyak 203 SKPD (66,12%), wilayah
tengah sebanyak 121 SKPD (77,08%), dan di wilayah bagian timur sebanyak 61 SKPD (95,31%).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa opini audit BPK dengan predikat WTP/WDP dipengaruhi
oleh jumlah alumni, PDRB per kapita, Indeks Pembangunan Manusia, dan porsi belanja modal

dengan nilai odd ratio tertinggi adalah pengaruh IPM sebesar 1.08, jumlah alumni sebesar 1.05,
PDRB per kapita sebesar 1.00 dan porsi belanja modal sebesar 0.94. Untuk variabel PDRB per
kapita dipengaruhi secara signifikan oleh jumlah alumni, proporsi belanja modal, PAD, alokasi

belanja, dummy opini, dummy wilayah dan kepulauan, sementara IPM dipengaruhi oleh jumlah
alumni, opini BPK, alokasi belanja pendidikan, alokasi belanja kesehatan, dummy wilayah dan
dummy kepulauan.
Kursus Keuangan Daerah(KKD) sangat membantu dalam meningkatkan kinerja daerah.
Hal ini terlihatdari manfaat pelatihan KKD yang memberikan kemampuan staf melakukan
pengelolaan keuangan dengan persentase tertinggi pada proses penganggaran dan tugas
administrasi keuangan.
Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah.

RINGKASAN
JUMADI. Karakteristik Struktur Output Sektor Ekonomi dan Disparitas Regional di Indonesia,
Periode 2000-2010. Dibawah bimbingan ERNAN RUSTIADI dan SETIA HADI
Pembangunan (ekonomi) dalam jangka panjang akan membawa serangkaian perubahan
mendasar (struktural) dalam perekonomian suatu negara. Perubahan struktural merupakan masa
transisi mengandung ketidakseimbangan jangka panjang yang dapat mengakibatkan disparitas
regional. Sebagai hasil dari proses pembangunan, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan

cukup tinggi terutama pada periode 1970-1975 sebesar 6,95 persen, 1975-1980 sebesar 7,92
persen, dan 1990-1995 sebesar 7,13 persen. Pertumbuhan ekonomi tersebut telah mendorong
perubahan struktur ekonomi, dimana pada tahun 1960 sektor pertanian masih mendominasi
struktur perekonomian Indonesia (kontribusi 53,92 %), diikuti sector jasa (31,73 %) dan sektor
industri pengolahan (8,35 %). Pada 2010, sektor jasa telah mendominasi struktur perekonomian
Indonesia (pangsa 46,78 %), diikuti sector industri (23,88 %) dan sektor pertanian (14,60 %).
Penelitian ini bertujuan menganalisis: (i) struktur ekonomi nasional dan struktur output sektor
ekonomi regional; (ii) disparitas regional dan pengaruh perubahan kontribusi sektor ekonomi
terhadap disparitas regional; dan (iii) karakteristik tipologi wilayah berdasarkan struktur output
sektor ekonomi dan disparitas regional di tujuh region selama 2000- 2010. Wilayah studi meliputi
tujuh region, yaitu Sumatera, Jawa-Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan
Papua. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif, Shift Share Analysis, Indeks
Williamson, Indeks Entropi Theil, Regresi Data Panel, dan Analisis Cluster.
Selama 2000-2010, kontribusi PDB pertanian yang semakin kecil, namun masih memiliki
serapan/pangsa tenaga kerja yang besar, sebaliknya kontribusi PDB industri manufaktur yang
cukup besar, namun memiliki serapan tenaga kerja yang kecil. Kondisi ini menunjukkan bahwa
transformasi output sektor ekonomi tidak diikuti oleh transformasi tenaga kerja sektoral secara
proporsional. Dilihat dari struktur output sektor ekonomi selama 2000-2010, terjadi loncatan
(jumping) transformasi ekonomi, kecuali region Jawa-Bali dan nasional. Selanjutnya, dilihat dari
perkembangan kontribusi dan indeks differential shift sektor industry manufaktur selama 20002010, terdapat indikasi terjadinya gejala de-industrialisasi dalam perekonomian regional dan

nasional. Hal ini ditunjukkan oleh kecenderungan penurunan kontribusi sektor industri manufaktur
terhadap perekonomian, region Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan nasional berkisar 0,57 persen hingga -2,18 persen dan sektor tersebut mengalami perlambatan pertumbuhan di
region Jawa-Bali (indeks differential shift -0,007); Kalimantan (-0,381); Maluku (- 0,272), dan
nasional (-0,057) selama 2000-2010.
Berdasarkan hasil analisis Indeks Williamson, selama 2000-2010 disparitas antar region
masih rendah (indeks 0,270 hingga 0,308), namun menunjukkan kecenderungan (trend) yang
meningkat. Selama 2000-2010, disparitas antar provinsi di dalam region (intra region) untuk
region Kalimantan dan Jawa-Bali paling tinggi, dengan indeks Williamson 0,749 hingga 0,923;
region Sumatera 0,432 hingga 0,562; dan region Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua
paling rendah rendah (0,004 hingga 0,255). Ketimpangan intra region menunjukkan trend
menurun, kecuali region Jawa-Bali dan Nusa Tenggara. Berdasarkan analisis indeks entropi Theil,
disparitas intra region memberikan kontribusi paling besar terhadap disparitas regional
dibandingkan disparitas antar region. Ketimpangan wilayah sebesar 85,81 persen hingga 89,14
persen disebabkan oleh disparitas intra region (proporsinya meningkat) dan hanya 10,86 persen
hingga 14,19 persen disebabkan oleh disparitas antar region (proporsinya menurun). Berdasarkan

hasil analisis Regresi Data Panel dengan model Fixed Effect Model (FEM), perubahan disparitas
regional (DR) di tujuh region dan tanpa region Jawa-Bali selama 2000- 2010 dipengaruhi oleh
perubahan kontribusi/pangsa (share) sektor pertanian (SP); pertambangan dan penggalian (STG);
industri manufaktur (SIM); dan perdagangan dan jasa (SPJ) secara negatif (berbanding terbalik),

dimana perubahan kontribusi sektor pertanian memberikan pengaruh paling besar, sebaliknya
sector pertambangan dan penggalian paling kecil terhadap disparitas regional.
Berdasarkan hasil Analisis Cluster (K-Means Cluster), terdapat empat cluster atau tipologi
wilayah didasarkan karakteristik perkembangan struktur output sector ekonomi dan disparitas
regional di tujuh region selama 2000-2010. Keempat tipologi wilayah tersebut selanjutnya diberi
nama: Tipologi I: Wilayah Tertinggal (region Papua); Tipologi II: Wilayah Sedang Berkembang
(region Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku); Tipologi III: Wilayah Transisi (region Sumatera,
Kalimantan), dan Tipologi IV: Wilayah Maju (region Jawa-Bali). Berdasarkan analisis korelasi
sederhana pergeseran kontribusi antara sektor pertanian dengan sektor industry manufaktur dan
sektor perdagangan dan jasa selama kurun waktu 2000-2010 memiliki pola yang berbeda-beda,
yang menunjukkan bahwa transformasi ekonomi antar tipologi wilayah maupun antar region
memiliki tahapan, proses, dan kecepatan yang berbeda-beda. Secara umum, arah pergeseran
kontribusi sektor industry manufaktur terhadap sektor pertanian tidak sesuai teori tahapan
transformasi ekonomi (penurunan kontribusi sektor pertanian tidak diikuti peningkatan kontribusi
sektor industri manufaktur), kecuali region Sumatera, Nusa Tenggara, dan Papua, dimana region
Sumatera berpotensi mengalami proses industrialisasi pada taraf yang lebih tinggi. Transformasi
ekonomi pada Tipologi IV: Wilayah Maju (region Jawa-Bali) diawali dengan proses
industrialisasi, sedangkan pada tipologi wilayah lainnya mengalami loncatan pergeseran peranan
(kontribusi) sector pertanian langsung digantikan oleh sektor perdagangan dan jasa. Proses
industrialisasi selama 2000-2010 tidak dapat mendukung upaya peningkatan pendapatan per kapita

dan penurunan kemiskinan, kecuali di region Sumatera dan Nusa Tenggara. Kondisi ini
memperkuat indikasi gejala de-industrialisasi di Indonesia. De-industrialisasi dapat mengarahkan
perekonomian regional dan nasional terjebak pendapatan menengah (middle income trap).
Pengembangan sektor perdagangan dan jasa dapat meningkatkan pendapatan per kapita dan
menurunkan kemiskinan. Implikasi kebijakan: pengembangan sektor industry manufaktur di
seluruh tipologi wilayah dan region, kecuali region Jawa-Bali untuk memperkokoh struktur
perekonomian, mencegah terjadinya gejala deindustrialisasi, meningkatkan pendapatan per kapita
dan menurunkan kemiskinan, serta mewujudkan pertumbuhan dan transformasi ekonomi secara
bertahap dan berkelanjutan.
Kata kunci: Struktur output sektor ekonomi, loncatan transformasi ekonomi, deindustrialisasi,
disparitas regional, tipologi wilayah

RINGKASAN
YULIANA SUSANTI. Pengembangan Sapi Potong untuk Peningkatan Perekonomian di Provinsi
Jawa Tengah: Suatu Pendekatan Perencanaan Wilayah. Dibimbing oleh DOMINICUS SAVIO
PRIYARSONO dan SRI MULATSIH.
Sapi potong merupakan salah satu ternak ruminansia yang mempunyai kontribusi terbesar
sebagai penghasil daging, serta untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani. Pengembangan sapi
potong berdasarkan pendekatan perencanaan wilayah merupakan salah satu upaya untuk
meningkatan peran sapi potong dalam meningkatkan perekonomian di Provinsi Jawa Tengah,

dengan mensinergiskan antara potensi komoditas dan wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis peranan sapi potong dalam perekonomian Jawa Tengah dan potensi pengembangan
berdasarkan perencanaan wilayah, serta merumuskan strategi pengembangannya.
Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan peranan sapi potong dalam perekonomian
Jawa Tengah, yang dilihat dari peranannya terhadap pemenuhan kebutuhan daging sapi baik di
tingkat provinsi maupun ditingkat nasional, serta kontribusinya terhadap PDRB dan tenaga kerja.
Identifikasi potensi pengembangan sapi potong menggunakan analisis KPPTR (Kapasitas
Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia), analisis Location Quotient (LQ), serta analisis
Skalogram. Perumusan strategi pengembangan sapi potong menggunakan analisis deskriptif untuk
mengelompokkan wilayah berdasarkan nilai KPPTR, nilai LQ dan hierarki wilayah yang
ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan pengembangan sapi potong.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan sapi potong di Provinsi Jawa Tengah
memberikan kontribusi positif dalam pemenuhan kebutuhan daging sapi, namun kontribusi sapi
potong terhadap sumbangan PDRB dan penyerapan tenaga kerja masih relatif kecil. Provinsi Jawa
Tengah memiliki potensi ketersediaan hijauan pakan yang cukup besar, sehingga masih bisa
menambah populasi ternak ruminansia berdasarkan nilai KPPTR sebesar 5.232.130 ST. Wilayah
yang mempunyai KPPTR positif terdapat pada 17 kabupaten dari 21 kabupaten yang ditetapkan
sebagai wilayah pengembangan sapi potong, sedangkan 4 kabupaten lainnya mempunyai KPPTR
negatif. Wilayah basis sapi potong di Jawa Tengah terdapat pada 7 kabupaten, namun berdasarkan
hasil penilaian secara fisik untuk kapasitas pelayanan pendukung pengembangan sapi potong pada

wilayah basis tersebut masih tergolong rendah dan sedang. Strategi untuk peningkatan peran
sapi potong dalam perekonomian Provinsi Jawa Tengah adalah dengan pendekatan perencanaan
wilayah, yang bertujuan untuk meningkatkan populasi dan produksi sapi potong, serta nilai tambah
bagi peternak dan penyerapan tenaga kerja. Pengelompokan wilayah pengembangan sapi potong
menghasilkan 4 (empat) kelompok berdasarkan: wilayah sumber hijauan pakan, wilayah basis sapi
potong dan hierarki wilayah berdasarkan tingkat kapasitas pelayanan untuk mendukung
pengembangan sapi potong, serta pemetaan wilayah untuk program produksi sapi potong
(pembibitan, pembesaran dan penggemukan).
Kata kunci : sapi potong, perekonomian, perencanaan wilayah