Kelas Reguler Angkatan 2016 - 2017

RINGKASAN
ANDI FATINAWARE. Kebijakan Pengelolaan Ruang dan Keberlanjutan Kawasan Ekosistem
Karst Maros Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh PROF. DR. IR. AKHMAD
FAUSI, M.SC dan DR. IR. SETIA HADI, MS.
Kawasan Karst Maros Pangkep dikenal dengan KKMP adalah ekosistem karst yang unik di
Sulawesi Selatan. Bagian dari pegunungan Bulusaraung di Utara Kabupaten Maros dan bagian
selatan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. 40.000 ha dari kawasan karst kaya akan flora dan
fauna, yang bernilai ilmiah, sosial, budaya dan ekonomi. Kawasan tersebut berada dibawah
tekanan dari persaingan penggunaan kegiatan ekonomi, seperti pertambangan untuk industri
semen dan marmer.
Sekitar 20 ha KKMP masuk dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
(TN BABUL) dengan keputusan menteri kehutan nomor: SK. 398/Menhut-II/2004 seluas ±
43.750 Ha yang terbagi dalam Hutan Lindung ± 21.343,10 Ha, Cagar Alam ±10.282,65 Ha,
TWA ±1.624,25 Ha, Hutan produksi Terbatas ± 145 Ha, Hutan Produksi Tetap ±10.355 Ha.
Kawasan karst Bantimurung Bulusaraung terbagi dalam lima unit kawasan konservasi dengan
luas ±11.906,9 Ha terdiri dari Cagar Alam Bantimurung, Cagar Alam Karaenta, Cagar Alam
Bulusaraung, Taman Wisata Alam Bantimurung, dan Taman Wisata Alam Gua Pattunuang.
Setengah dari luasan KKMP adalah area penggunaan lain.
Tulisan ini mencoba untuk: (1) Melakukan sintesis terhadap kawasan Bantimurung –
Bulusaraung dalam lima tahun sebelumnya dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan ekosistem
karst pada saat ini; (2) Menganalisis daya dukung lingkungan dan aspek sosial ekonomi kawasan

yang berkelanjutan dalam pengelolaan ruang di kawasan karst. (3) Memberi rekomendasi pilihan
kebijakan pengelolaan kawasan untuk keberlanjutan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Data dianalisis dengan menggunakan analisis spasial, anlaisis CIPP, dan Multi Kriteria
OnBalance.
Hasil penelitian dengan menggunakan analisis spasial menunjukkan bahwa masih tidak
konsisten dalam pengelolaan ruang, di kawasan lindung atau kawasan yang seharusnya
dikonservasi masih ada aktifitas untuk penggunaan lain, khususnya izin pertambangan masuk
dalam kawasan taman nasional. Hasil analisis CIPP, dukungan kelembagaan dan pendanaan,
serta kerjasama multi pihak dalam pengelolaan KKMP termasuk dukungan legislatif di tingkat
provinsi dan di dua kabupaten tersebut.
Analisis multi kriteria OnBalance dengan 14 belas kriteria dari dimensi lingkungan hidup,
sosial – budaya, dan ekonomi menunjukkan kebijakan Business as Usual (BAU) atau model
dalam pengelolaan KKMP yang sedang berlangsung tidak akan berkelanjutan dari dimensi
Lingkungan, ataupun dimensi ekonomi, dan dimensi sosial budaya. Studi ini menawarkan
pengelolaan KKMP dengan pendekatan konservasi dan ekowisata berbasis masyarakat.
Kata kunci: Berkelanjutan, Ekowisata, Konservasi, Kawasan Karst Maros Pangkep (KKMP),
Model OnBalance.

RINGKASAN
DZULFIKAR ALI HAKIM. Indeks Perkembangan Dan Kemandirian Desa di Kabupaten

Sukabumi: Tantangan Pembangunan Wilayah Perdesaan. Dibimbing oleh ARYA HADI
DHARMAWAN dan BAMBANG JUANDA.
Informasi perkembangan dan kemandirian desa di Kabupaten Sukabumi sangat penting
untuk dimiliki oleh pemerintah daerah serta desa untuk dijadikan sebagai data dasar dalam
perencanaan pembangunan. Saat ini informasi indeks perkembangan dan kemandirian desa
yang ada tidak memiliki pembanding sehingga perlu dilakukan kajian lain yang bisa
memberikan pengayaan penggambaran kondisi perkembangan dan kemandirian desa di
Kabupaten Sukabumi.
Pengukuran perkembangan dan kemandirian desa yang menggunakan Principal
Componen Analysis digambarkan dalam sebuah indeks perkembangan dan kemandirian, dan
memuat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan dan kemandirian desa di
Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan Indeks perkembangan dan kemandirian desa di
Kabupaten Sukabumi yang dihasilkan dapat digambarkan tipologi desa yang dibagi kedalam
empat tipologi, yaitu tipologi satu adalah desa berkembang dan mandiri, tipologi dua adalah
desa mandiri namun tertinggal, tipologi tiga merupakan desa tertinggal dan bergantung, dan
tipologi empat adalah desa yang bergantung namun berkembang.
Desa berkembang di Kabupaten Sukabumi berjumlah 110 desa (28,5%) dan desa
tertinggal berjumlah 276 desa (61,5%), dengan faktor yang paling berpengaruh terhadap
perkembangan desa secara berturut-turut adalah, sarana kesehatan, sarana pendidikan, akses
pasar, sarana jalan. Sedangkan dari indeks kemandirian desa di Kabupaten Sukabumi

didapatkan sebanyak 138 (35,2%) desa bergantung dan 248 (64,8%) desa mandiri, dan faktor
yang berpengaruhnya secara berurutan adalah jumlah KK tani, jumlah pengguna kayu bakar,
jumlah pengguna non ledeng dan luas lahan pertanian.
Penggabungan indeks perkembangan dan kemandirian desa menghasilkan data tipologi
desa di Kabupaten Sukabumi, dengan gambaran 53 desa masuk pada tipologi satu yaitu desa
berkembang dan mandiri, 57 desa berada pada kuadran dua (tertinggal berkembang namun
bergantung). Pada tipologi tiga yaitu desa tertinggal dan bergantung, terdata ada 81 desa dan
tipologi terakhir yaitu desa mandiri namun tertinggal terdapat 195 desa dari keseluruhan
(386) desa di Kabupaten Sukabumi.
Jumlah desa berkembang dan mandiri yang hanya berjumlah 53 desa atau setara dengan
13,73% (jumlah paling sedikit dari seluruh tipologi), sangat jauh dari harapan atas
ditetapkannya UU Desa yang diiringi dengan transfer dana desa dari pemerintah pusat.
Jumlah desa tertinggal dan bergantung di Kabupaten Sukabumi jumlahnya masih sangat
besar yaitu 81 desa setara 20,98%, pada tipe desa berkembang tapi bergantung, terdapat 57
desa (14,77%), dan jumlah desa terbanyak pada pentipologian ini adalah desa dengan tipe
tertinggal tetapi mandiri dengan jumlah desa yang masuk pada tipe ini sebanyak 195 desa
(50,52%).
Permasalahan perkembangan desa yang terjadi di Kabupaten Sukabumi terjadi akibat
strategi pembangunan yang sangat bias kota, serta fokus pembangunan pada infrastruktur
jalan dan sarana pelengkap lainnya. Selain itu, paradigma pembangunan yang berkutat pada

permasalahan makro serta percepatan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi dan
investasi yang bersifat eksploitatif telah mendorong terjadi ketergantungan desa terhadap
investasi dan industri formalistik.
Permasalahan yang terkait dengan pembangunan sumberdaya manusia seringkali abai
dilakukan, hal ini terlihat dari porsi dana pembangunan yang lebih menitikberatkan pada
pembangunan infrastruktur (terutama jalan) daripada pembangunan manusia (pemberdayaan)

dengan porsi yang mencapai 70:30. Penelitian ini dilakukan untuk mengkritisi strategi
pembangunan yang selama ini terlalu mengesampingkan sisi humanis dan nilai-nilai kearifan
lokal, dan menggantikannya dengan pembangunan yang dapat menjawab kebutuhan dasar
manusia dalam proses pembangunan yang semakin menekankan arti penting kesatuan
manusia dan alam sekitarnya.
Pembangunan yang lebih mengakar dengan menjadikan potensi lokal sebagai basis
utama industrialisasi adalah sebuah upaya untuk dapat menghindari Dutch Disease di
beberapa wilayah Kabupaten Sukabumi. Kondisi seperti Cikembar, Cidahu dan beberapa
wilayah industri lainnya di Kabupaten Sukabumi yang hanya menjadi “halte” bagi perputaran
kapital, terjadi akibat kurangnya investasi dalam pendidikan, lemahnya perencanaan dan
syahwat pencitraan.
Kata kunci: dutch disease, kemandirian, pembangunan mengakar, perkembangan


RINGKASAN
MAI DAMAI RIA. Analisis Pengaruh Reformasi Birokrasi Terhadap Kinerja Pemerintah
Daerah Studi Kasus Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh HERMANTO
SIREGAR dan DEDDY S. BRATAKUSUMAH.
Reformasi Birokrasi dimaknai sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan
tata kelola pemerintahan. Reformasi birokrasi meliputi perubahan struktur dan reposisi
birokrasi, perubahan sistem politik dan hukum secara menyeluruh, perubahan sikap mental
dan budaya birokrat dan masyarakat, serta perubahan mindset dan komitmen pemerintah serta
partai politik. Pada tahun 2010, reformasi birokrasi ditetapkan sebagai program yang harus
dilaksanakan oleh kementerian/lembaga/pemerintah daerah, ditandai dengan penetapan
Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 20102025. Sampai tahun 2013, instansi yang telah melaksanakan reformasi birokrasi sebanyak 56
kementerian/lembaga. Sedangkan untuk level pemerintah daerah sebanyak 98 pemda menjadi
pilot project. Namun di sisi lain, masih banyak ditemukan permasalahan pada birokrasi
pemerintah. Ditandai dengan terus meningkatnya pengaduan masyarakat mengenai buruknya
kualitas pelayanan publik dan tingginya kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara
atau aparat birokrasi.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi pada
pemerintah daerah, (2) mengetahui pengaruh pelaksanaan reformasi birokrasi terhadap
kinerja pemerintah daerah, dan (3) merumuskan strategi peningkatan tingkat keberhasilan
reformasi birokrasi. Evaluasi pelaksanaan RB menggunakan instrumen kuesioner dengan

skala likert berdasarkan pedoman evaluasi pada Permenpanrb No.14 tahun 2014. Pengaruh
RB terhadap kinerja pemerintah daerah dianalisis menggunakan Uji t. Sedangkan strategi
peningkatan keberhasilan RB dirumuskan dengan metoda AHP (Analytical Hierarchy
Process). Hasil analisis menunjukkan bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi di Pemerintah
Provinsi Jawa Barat pada komponen proses mencapai tingkat keberhasilan 74 persen. Namun
pada komponen hasil hanya mencapai skor 53,93 pada skala 1-100. Selain itu reformasi
birokrasi berpengaruh terhadap kinerja pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat,
namun tidak berpengaruh terhadap kinerja ekonomi. Strategi yang menjadi prioritas utama
dalam peningkatan keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi adalah meningkatkan
kompetensi SDM aparatur.
Kata Kunci : kinerja, pemerintah daerah, reformasi birokrasi

RINGKASAN
TOMMI. Analisis Kerentanan Petani di Daerah dengan Bahaya Banjir Tinggi di
Kabupaten Karawang. Dibimbing oleh BABA BARUS dan ARYA HADI DHARMAWAN.
Banjir merupakan bencana yang sering terjadi di Kabupaten Karawang. Penyebab
banjir di wilayah ini disebabkan oleh kondisi DAS Citarum Hulu yang buruk. Kondisi DAS
Citarum yang buruk terlihat dari luas hutan yang sedikit sehingga menyebabkan erosi dan
peningkatan debit jauh lebih tinggi ketika musim hujan. Debit sungai yang jauh meningkat
ketika musim hujan menyebabkan banjir di daerah hilir seperti Karawang. Banjir yang terjadi

di Kabupaten hampir selalu menyebabkan kegagalan panen. Data dari Distanhut Kabupaten
Karawang dari musim tanam 2008/2009 hingga 2013/2014 rata – rata luas tanaman padi yang
mengalami gagal panen (puso) mencapai 219,84 ha. Kondisi ini tentunya merupakan
ancaman bagi kehidupan petani di Kabupaten Karawang. Maka dari itu, penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis tingkat kerusakan DAS Citarum Hulu, menganalisis tingkat
bahaya banjir di Kabupaten Karawang, dan menganalisis tingkat kerentanan nafkah petani di
Kabupaten Karawang.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Desember 2015 dalam 3
tahapan. Tahapan pertama yaitu melakukan analisis kerusakan DAS Citarum Hulu. Parameter
yang digunakan dalam analisis ini adalah KRS, Koefisien Aliran Permukaan, Indeks Erosi,
Laju Sedimentasi, dan Luas Vegetasi Permanen. Nilai gabungan dari parameter tersebut akan
menghasilkan tingkat kerusakan DAS Citarum Hulu. Tahapan kedua adalah melakukan
analisis tingkat bahaya banjir di Kabupaten Karawang. Analisis ini dilakukan pada sebaran
lahan sawah di Kabupaten Karawang yang dialiri Sungai Citarum. Parameter yang digunakan
dalam analisis ini adalah curah hujan, drainase tanah, dan data historis banjir di lahan sawah
yang terdiri dari tinggi genangan, lama genangan, dan frekuensi banjir selama 5 tahun
terakhir. Hasil dari analisis ini akan menghasilkan peta tingkat bahaya banjir lahan sawah di
Kabupaten Karawang. Tahapan ketiga dalam penelitian ini adalah menganalisis tingkat
kerentanan nafkah petani di daerah dengan dengan bahaya banjir tinggi. Responden petani
yang diambil dalam analisis ini adalah petani yang berada di daerah dengan bahaya banjir

tinggi. Parameter yang digunakan dalam analisis ini adalah kelima sumber modal yaitu modal
manusia, fisik, alam, finansial, dan sosial. Hasil dari analisis ini akan menghasilkan indeks
kerentanan nafkah (LVI) dan peta kerentanan nafkah petani di daerah dengan dengan bahaya
banjir tinggi.
Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini adalah untuk tingkat kerusakan DAS
Citarum Hulu berada pada kriteria agak buruk dengan nilai 3,57. Parameter yang buruk
terdapat pada nilai KRS yang tinggi, indeks erosi (IE) yang tinggi, dan luas vegetasi
permanen yang masih rendah. Tingkat bahaya banjir di Kabupaten Karawang secara
keseluruhan masih berada pada tingkat bahaya sedang. Namun, ada tiga wilayah yang berada
pada tingkat bahaya banjir tinggi yaitu Kecamatan Jayakerta, Kecamatan Telukjambe Barat,
dan Telukjambe Timur. Kerentanan nafkah petani di daerah dengan bahaya banjir tinggi
didapatkan bahwa petani di Dusun Pengasinan dan Dusun Kampek Desa Karangligar
Kecamatan Telukjambe Barat kerentanan nafkahnya lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun
Peundeuy Desa Ciptamarga Kecamatan Jayakerta.
Kerentanan nafkah petani di Dusun Pengasinan yang paling tinggi disebabkan oleh
penguasaan modal yang masih rendah yaitu modal manusia, fisik, dan finansial. Kerentanan
modal petani di Dusun Kampek yang juga tinggi namun masih lebih rendah dibandingkan
dengan Dusun Pengasinan juga disebabkan penguasaan modal yang rendah pada modal
manusia, fisik, dan finansial. Kerentanan nafkah petani yang rendah di Dusun Peundeuy


disebabkan oleh penguasaan keseluruhan modal yang lebih kuat dibandingkan dengan Dusun
Pengasinan dan Dusun Kampek.
Kata Kunci: banjir, kerentanan nafkah, tingkat bahaya

RINGKASAN
WAHYU DARSONO. Analisis Bionomika dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah
Peternakan Ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA
PUTRI dan NAHROWI.
Komoditas peternakan, khususnya ternak ruminansia secara umum berada di perdesaan
yang terkait dengan sumberdaya alam sesuai dengan bionomikanya, yang terdiri dari tiga
komponen utama yaitu lahan, ternak dan pakan. Ruang lingkup penelitian ini adalah pada
aspek biofisik dan manajemen sumberdaya lingkungan dalam pembangunan wilayah melalui
pengembangan komoditas ternak ruminansia. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji aspekaspek bionomika dalam perencanaan pembangunan wilayah peternakan ruminansia terutama
untuk menetapkan wilayah prioritas pengembangannya. Metode analisis yang digunakan
adalah metode Location Quotion (LQ), analisis potensi sumberdaya pakan dan kapasitas
tampung serta karakteristik usaha dan tingkat pendapatan peternak. Populasi ternak
ruminansia di Kabupaten Tasikmalaya adalah 127.847,89 satuan ternak (ST) yang terdiri dari
sapi potong 50.137 ST, sapi perah 2.106,00 ST, kerbau 13.568,85 ST, kambing 47.55,80 ST
and domba 14.482,24 ST. Karakteristik usaha masih bersifat semi intensif dengan
kelembagaan usaha berbentuk kelompok atau gabungan kelompok peternak. Rata-rata

pendapatan peternak dari usaha peternakan adalah sebesar Rp. 2.678.619,- per satuan ternak
per tahun dengan Return on Investment (ROI) paling baik pada komoditas kerbau (152,92%)
dan kambing (87,40%). Terdapat enam kecamatan yang merupakan wilayah basis untuk sapi
potong (Cipatujah LQ=1,62; Karangnunggal LQ=1,16; Cikalong LQ=1,13; Pancatengah
LQ=1,38; Cikatomas LQ=1,40), satu kecamatan (Pagerageung LQ=10,23) sebagai wilayah
basis sapi perah, empat kecamatan (Cipatujah LQ=1,36; Karangnunggal LQ=1,22; Culamega
LQ=1,05; dan Cigalontang LQ=1,02) sebagai wilayah basis kerbau, tiga kecamatan
(Leuwisari LQ=1,20; Sariwangi LQ=2,23; dan Cigalontang LQ=1,22) sebagai wilayah basis
kambing, dan tidak ada wilayah basis ternak domba. Potensi pakan hijauan sebanyak
801,202.62 ton bahan kering (BK) yang menyebar di seluruh kecamatan, terutama di wilayah
basis. Kapasitas tampung wilayah sebesar 341.174.08 ST untuk ternak ruminansia dan dapat
ditingkatkan sebanyak 213.326.19 ST atau sekitar 160% dari populasi yang ada saat ini.
Wilayah prioritas pengembangan ternak ruminansia secara umum masih mengarah pada
wilayah selatan Kabupaten Tasikmalaya, terutama di wilayah basis. Namun demikian, lokasilokasi non basis dapat dijadikan prioritas kedua untuk pengembangannya sesuai dengan
kapasitas tampung wilayahnya dan daya dukung potensi produksi pakan hijauan. Pemerintah
Kabupaten Tasikmalaya perlu mendorong kebijakan pengembangan wilayah ternak
ruminansia melalui penetapan kawasan sentra peternakan dengan komoditas unggulannya
sesuai komoditas basis, peningkatan ketersediaan infrastruktur dasar berupa lahan sebagai
basis ekologi ternak, sumberdaya manusia, kelembagaan dan sarana penunjang lainnya. Kata
kunci: bionomika ternak, ruminansia, wilayah pembangunan


RINGKASAN
YUFITA LISTIANA. Kualitas Belanja Daerah dan Hubungannya Dengan Kinerja
Pembangunan di Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan SRI
MULATSIH.
Belanja daerah atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu pendorong
pertumbuhan ekonomi daerah. Kualitas belanja daerah terdiri dari beberapa indikator
konstruk diantaranya Prioritas, Alokasi, Ketepatan Waktu, Akuntabilitas, dan Efektivitas.
Jawa Timur merupakan salah satu povinsi yang memiliki predikat cukup baik dibandingkan
dengan Provinsi lain di Indonesia. Namun, jika dikaitkan dengan kinerja pembangunan yang
salah satunya dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi maka dapat dibuktikan bahwa masih
ada beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur yang memiliki pertumbuhan ekonomi di bawah
dari pertumbuhan nasional. Hal ini membuktikan bahwa daerah yang memiliki predikat tinggi
belum menjamin bahwa daerah tersebut memiliki kinerja pembangunan yang baik pula.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kualitas belanja daerah di Provinsi Jawa
Timur berdasarkan 5 variabel konstruk. Masing-masing variabel konstruk (laten) terdiri dari
beberapa indikator dalam mengukur kualitas belanja daerah yang berjumlah sebanyak 40
indikator. Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu berupa Evaluasi Penyelenggaran
Pemerintah Daerah (EPPD) masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur. Data
dari kinerja pembangunan menggunakan kemiskinan, pengangguran, Indeks Gini,
Pertumbuhan Ekonomi, PDRB per kapita dan Indeks Pembangunan Manusia. Penelitian ini
menggunakan analisis Structural Equation Modelling (SEM) dengan softwere SmartPLS
versi 2.0. Metode tersebut digunakan untuk mengetahui indikator yang tepat dalam
meningkatkan kualitas belanja daerah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 40 indikator hanya ada 21 indikator yang
telah mencapai kriteria kualitas belanja daerah yang baik. Dari 5 variabel yang memiliki
pengaruh tertinggi terhadap kualitas belanja adalah Efektifitas. Efektifitas memiliki nilai
lebih dari 50% dalam menggambarkan variasi model kualitas belanja di Jawa Timur. Selain
itu perubahan peta kualitas belanja dari tahun 2009 sampai 2012 mengalami peningkatan
secara terus menerus. Pada tahun 2009 daerah yang memiliki tingkat kualitas belanja rendah
sebesar 37% dan pada tahun 2014 tidak ada daerah yang memiliki kategori kualitas belanja
rendah. Pada tahun 2014 hanya terdiri dari tiga kategori (sedang, tinggi, sangat tinggi). Hal
ini menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur setiap tahunnya selalu menghasilkan kinerja
penyelenggaran pemerintah daerah yang lebih baik agar berdampak pada kondisi
pembangunan yang juga semakin membaik.
Keywords: Kualitas Belanja Daerah, Kinerja Pembangunan, Akuntabilitas, Efektifitas,
Structural Equation Modelling